Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Dehumanisasi dari Sarang Burung Kukuk

author = Ifan Afiansa

Vivarium (2019)

Sutradara: Lorcan Finnegan
Dibintangi oleh: Imogen Poots, Danielle Ryan, Molly McCann

Yang Tom (Jesse Eisenberg) dan Gemma (Imogen Poots) inginkan hanyalah sebuah rumah. Tidak perlu berada di pusat kota, cukup di pinggiran saja. Itu pun masih disertai beberapa pertimbangan yang tidak mudah diputuskan begitu saja. Faktor ekonomi mungkin menjadi akar permasalahannya. Gemma hanyalah guru di taman kanak-kanak, sedangkan Tom hanyalah tukang kebun serabutan. Kedua kombinasi “hanyalah” tersebut menjadikan keduanya tidak punya banyak pilihan. Bahkan ketika mereka sampai di agensi Perumahan Yonder, oleh sebab yang sama, Tom gagal melarikan diri dari jeratan FOMO (fear of missing out) yang dilontarkan Martin (Jonathan Aris)—sang agen perumahan—betapa pun ia tampak creepy nan canggung.

“Welcome to Yonder.”

Begitulah Martin menyambut sesampainya di lokasi perumahan, di depan rumah nomor 9. Dalam sekali pandang, Perumahan Yonder tampak seperti tipikal perumahan homogen pada umumnya. Memiliki bentuk yang sama persis satu dengan lainnya, baik di interior maupun eksteriornya. Namun dengan cat warna hijau pucat membuatnya tampak menimbulkan kesan berbeda, dan awan mungil berwarna kemerahmudaan menggantung di atasnya. 

Homogenitas Yonder ini sedikit banyak mengingatkan pada serial Spongebob Squarepants di episode “Squidville”, yang mana Squidward ingin melarikan diri dari  keseharian aneh kedua tetangganya dengan pindah ke Tentacle Acres, sebuah perumahan terkhusus bagi yang memiliki tentakel, dengan rutinitas dan lingkungan yang serupa. Barangkali Martin dan Squidward mengatakan hal yang serupa meski dengan motif yang berbeda, bahwa perumahan tersebut adalah perumahan yang ideal sekaligus lingkungan yang sempurna. Begitu selesai mengenalkan keseluruhan bagian rumah, Martin pun menghilang.

Teror-teror Vivarium dan Upaya Dehumanisasi

Hilangnya Martin menjadi awal mula teror Vivarium (2020) berlangsung. Secara perlahan Perumahan Yonder membuka kedoknya sebagai labirin perumahan tanpa ujung. Ke mana pun mobil Gemma berjalan, mereka selalu terhenti di rumah nomor 9. Eskalasi teror pun dilanjutkan dengan suara-suara kegelisahan yang dilontarkan keduanya, ditambah visual-visual yang  saling bertumpukan, perpaduan audio-visual ini membuat sebuah kengerian tersendiri di babak awal. 

Setelah berbagai upaya Gemma dan Tom melarikan diri dari Yonder tidak membuahkan hasil, kehadiran bayi dari dalam kardus coklat adalah babak baru teror Vivarium. Dalam sekejap, upaya-upaya Gemma dan Tom “terpaksa” dialihkan untuk mengurusi bayi tersebut. Sebagai pasangan yang belum menikah—yang bahkan mencari rumah idaman saja belum terwujud, tiba-tiba harus dihadapkan kenyataan bahwa mereka harus dipaksa menjadi “orangtua” bagi bayi tersebut.

Secara mengejutkan bayi tersebut tumbuh cepat menjadi anak berumur 8 tahun dalam tiga bulan. Dari sinilah ketidaksiapan Gemma dan Tom diserang habis oleh anak tersebut, seperti ketenangan di pagi hari diusik dengan lengkingan yg memekakkan telinga, tatapan mata si anak yang seolah-olah terus mengawasi keduanya, laku impersonate yang disturbing, hingga privasi hubungan mereka sebagai pasangan diterobos oleh si anak di malam hari. Di tempat yang sehening Perumahan Yonder, yang bahkan embusan angin saja tidak terasa. Tom dan Gemma terus saja dihajar oleh rutinitas yang dipaksakan kepada keduanya.

Setting Vivarium sedikit banyak mengingatkan pada Midsommar (2019), ia mengandalkan warna-warna yang relatif terang-benderang nan cerah, alih-alih menggunakan warna gelap dan memunculkan makhluk-makhluk yang membuat bulu kuduk berdiri. Tidak hanya di situ, teror yang diaplikasikan pun seakan mengekor film thriller besutan Ari Aster tersebut, yaitu teror yang bertujuan mendehumanisasi, meski serangan teror ditujukan berbeda. Apabila Midsommar menyerang sisi empati dan simpati penonton, hingga penonton kebingungan untuk merespons berbagai hal di luar nalar yang dilakukan oleh warga Hårga, antara turut merayakan atau menolaknya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang jahat. Namun di Vivarium, teror ditujukan untuk menghabisi sisi empati dan simpatinya Tom dan Gemma. Berbagai perilaku ganjil si anak yang bukan lagi di taraf “anak bandel” tetapi sudah berada di titik menyerang rasa kasih sayang dan mencabik-cabiknya sampai habis. 

Posisi Gemma dan Tom yang “dipaksa” untuk menjadi orangtua, ditambah iming-iming Yonder akan “dilepaskan” setelah mengurus anak tersebut menghadapi dilema ketika berhadapan dengan perilaku disturbing si anak. Dalam mindset masyarakat pada umumnya yang semestinya menyayangi dan mengasihi anak, tidak peduli siapa pun dia, tidak akan berlaku bagi Tom dan Gemma. Mereka yang dijebak oleh keterpaksaan yang secara perlahan benih-benih pikiran untuk menyingkirkan anak tersebut muncul. Dari berbagai macam gejolak perasaan dan dilema yang muncul, menunjukkan dehumanisasi kepada keduanya membuahkan hasil.

Ada dilema yang menarik muncul di kala dehumanisasi ini, adalah posisi Gemma sebagai manusia dan perempuan. Dibandingkan dengan Tom yang perlahan mulai terkikis rasa kemanusiaannya, Gemma lebih mampu menjaga kewarasannya sebagai manusia, dengan tetap mengurusi anak tersebut dengan baik, meski memiliki rasa muak yang sama dengan Tom. Pilihan membunuh atau tidak tentu pernah sampai di benak mereka. Dalam posisi keduanya sebagai orang yang lebih dewasa dari si Anak, keduanya tentu mempunyai kuasa untuk itu. Terlebih anak tersebut tidak mempunyai ikatan batin apapun dengan si Anak. Gemma dan Tom tentu bisa menggunakan kekerasan, sebuah hal yang tentu merupakan kejahatan pada anak. Apabila itu terjadi, Gemma dan Tom sudah berhasil terdehumanisasi sebagai manusia dan “orangtua”. Tom nyaris saja masuk di fase tersebut, Gemma selalu berhasil menahan Tom dari proses dehumanisasi tersebut.

Dehumanisasi dari Sarang Burung Kukuk

Perihal memahami gambaran besar Vivarium dimulai dari dua hal, pertama, judul film itu sendiri, vivarium berarti wadah atau habitat sintesis untuk meneliti hewan secara alami, dan kedua, scene paling awal dari film ini, yaitu induk burung kukuk yang meletakkan telurnya di sarang burung lain. Ketika anak burung tersebut menetas, ia menyingkirkan telur-telur dari burung yang dihinggapinya, jadilah ia burung parasit yang diberi makan oleh burung yang dihinggapinya. Kemudian di scene selanjutnya fenomena tersebut ditanggapi oleh seorang anak murid dari Gemma, “Aku tidak suka caranya. Itu mengerikan.” “Begitulah cara kerja alam, memang mengerikan, sesekali,” jawab Gemma. Atas dua hal tersebut dialegorikan dengan apik oleh Lorcan Finnegan sebagai sutradara.

Walaupun sebenarnya Vivarium bukanlah film dengan alur cerita yang mind-blowing, sutradara hanya menyajikan realitas yang kita sebenarnya kita hadapi setiap harinya, hanya saja disajikan di titik yang lebih ekstrim. Lorcan Finnegan seakan meneropong dengan kehidupan manusia dengan lanskap yang lebih luas, apabila sehari-hari kita melihat para ahli biologi meneliti flora dan fauna, bagaimana jadinya jika kita adalah objek yang diteliti oleh sesuatu yang lebih besar, atau dalam film ini adalah alien. Atau mungkin hal-hal yang lebih simbolis seperti kapitalisme? Memahami ketidakberdayaan Gemma dan Tom seperti melihat ketidakberdayaan masyarakat berdaya ekonomi rendah menghadapi pengembang besar. Namun Vivarium tampak tidak ingin berbicara banyak soal simbolisme tersebut.

Vivarium tampak lebih ingin menyoroti sekaligus mempertanyakan, apakah cara kerja alam yang terkadang kejam membuat manusia terdehumanisasi? Apabila kita menganggap cara kerja alam itu seperti apa yang dilakukan si anak kepada Tom dan Gemma. Lalu lantas membuat manusia kehilangan kewajarannya atas hal-hal kejam yang dilakukan alam. Tentu kita sering kali melihat ada sekumpulan singa tengah memangsa buruannya, lalu di mata kita sebagai manusia terbesit perasaan bahwa hal itu kejam. Kemudian membalasnya dengan membantai lalu menguliti para singa untuk dijadikan tas dengan harga selangit? Apakah dengan menampilkan posisi Gemma dan Tom sebagai warga kelas pekerja sebagai kelompok rentan yang terdehumanisasi oleh cara kerja alam—atau (kembali) secara simbolis adalah sistem kapitalisme, hingga mereka tampak sosok yang tidak berdaya kemudian melakukan hal-hal yang membuat mereka menjadi tidak manusiawi? Penghujung cerita film Vivarium tentu bukan hal yang menyenangkan. Namun penghujung cerita merupakan cara terbaik untuk tetap menjaga kemanusiaan dalam diri Tom dan Gemma, meskipun diliputi penyesalan.