Author: Tobma

  • Nama untuk Si Remaja

    author = Danya Banase

    Gadis itu datang satu jam lebih awal dari biasanya. Mungkin karena hari ini akan ada ujian atau sesi diskusi bersama dosen yang kerap melemparkan beberapa pertanyaan tentang materi kuliah minggu lalu. Segala kemungkinan bisa terjadi. 

    Udara pagi yang sejuk dan murni masih dirasakannya saat ia membuka jendela kelas yang masih tertutup. Ia menghirup dalam-dalam aroma kemenangan pagi dan obrolan rahasia burung-burung gereja. Tubuh rampingnya pun meruapkan wangi bunga-bunga musim semi, tetapi sorot matanya segetir padang rumput kering yang berbulan-bulan merindukan siraman hujan. Bersandar pada kusen jendela, matanya terkatup seolah-olah jiwanya sedang melakukan meditasi sederhana. Kelopak matanya bergerak-gerak, laksana mencari alur cerita yang masih samar-samar membekas dalam ingatannya. 

    *** 

    “Kau tak akan pernah mengerti apa yang aku rasakan. Kita berbeda. Bagai matahari dan burung hantu, aku mencoba menjauh darimu,” kalimat pertama yang diucapkan Grace setelah jeda panjang saat ia menceritakan pengalaman pahit itu, pengalaman meyakitkan yang terasa bagai napas tertahan di tengah-tengah tenggorokan. 

    Ia adalah gadis malang yang berusaha bangkit dari keterpurukan dan masa kelam. Masa remajanya tidak senormal gadis-gadis seusianya, yang dengan bebas dapat mengekspresikan diri mereka: hang-out, nonton bioskop, bergosip membicarakan cowok keren di kampus, clubbing atau melakukan macam-macam hal yang identik dengan anak zaman now. Ia sudah telanjur terbelit dalam kondisi yang membuatnya harus melepaskan kulit luarnya yang kering dan bernoda. Memaksanya mengenakan jubah baru. Hidup kembali. 

    Masa muda adalah masa yang tidak akan pernah dilupakan. Aku seperti kalimat dari buku yang pernah kita baca, Matilda. Kau seharusnya bangga dengan gelar kebangsaanmu. Angkat kepalamu, Scout!” ucap Grace tampak berusaha kuat. “Aku berusaha menjadi seperti gadis tomboi itu. Kondisi kami memang berbeda, tetapi pembawaan dirinya membuatku merasa Harper Lee tidak sedang menciptakan tokoh imajinatif, tapi nyayian kehidupan yang nyata. Scout. Ia begitu bebas, bukan? Mengungkapkan pikiran dan berbicara pada dunia.” 

    “Ya, kalian mirip, bahkan kau pun punya poni. Tapi aku kurang setuju pada beberapa hal. Ia hanyalah tokoh fiktif. Lihatlah kehidupanmu yang sekarang. Masa lalumu tidak serupa pohon tua perkasa yang terabaikan sendirian, dengan ranting-ranting kurus tak berdaun yang kepanasan di siang hari dan menggigil di malam hari. Kau hanya akan terseret mimpi yang tak akan pernah selesai. Terlalu halus dirimu untuk menjadi jahat. Bukan salahmu seutuhnya,” jawab Matilda memegang tangan Grace yang kasar dan biru lebam akibat pukulan. Ujung jari kirinya bengkok tak beraturan dan bekas darah masih sedikit basah di sana. 

    *** 

    Lamunan gadis itu sontak dibuyarkan oleh suara segerombolan mahasiswa yang berlomba lebih dahulu masuk kelas. Senyum bahagia terbit di bibir dan wajah mereka yang bersinar, mereka tampak serius membicarakan pelbagai hal remeh yang mereka pedulikan. Mungkin tentang nilai mata kuliah, atau mungkin tentang biduan yang sedang naik daun meskipun hampir semua lirik lagunya payah bukan main itu. Ia tak berusaha menyimak. Ia hanya menatap komat-kamit mulut mereka dan duduk kembali, mengambil tempat di baris kedua dari depan. Dekat jendela. Selalu dekat jendela. Setengah melamun, pandangannya terarah pada sosok gadis berambut hitam lebat yang mengenakan kemeja biru laut dengan garis-garis putih samar. Si rambut jerami hangus menghampirinya dengan langkah tergesa-gesa sambil sesekali membetulkan letak kacamata minus tebal yang membuat wajahnya lebih mirip seorang profesor paruh baya daripada seorang mahasiswi semester lima. 

    “Apa kau masih memikirkan Grace? Aku pun mengingatnya. Hari ini persis dua bulan sejak ia memutuskan untuk berhenti kuliah karena kasus pelecehan itu, bukan? Tadi saja, aku mencoba untuk jeli memilih angkutan umum yang benar-benar aman untuk dinaiki, apakah kosong atau tidak, seperti apa raut muka sopir dan konjaknya, memastikan bagaimana kondisi angkutan bemo itu. Untung saja, di dalamnya ada beberapa orang tua yang sibuk dengan bahan belanjaan mereka dan beberapa mahasiswa yang diam memandang satu sama lain. “Kau tidak lupa hari ini, bukan?” tanya Martha sambil menyentuh bahu gadis di sampingnya. Kalimat- kalimatnya memancur deras seperti seteko teh panas yang dituang ke dalam gelas kosong. 

    “Tentu saja,” jawab Matilda singkat. “Ia sedang berusaha. Bukan untuk menyobek lembaran kehidupannya, tapi sedang menatanya agar lembaran itu menjadi seruan bagi orang lain.” Martha hanya menatap lekat-lekat wajah Matilda. Mereka memang tidak dapat melupakan insiden yang dialami Grace sehari sebelum ia memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya dua bulan lalu. Mereka seolah-olah sedang mengenang peristiwa pemakaman yang khusyuk tetapi jiwa si mayat masihlah hidup dan diam dalam dimensi antara bangkit atau tidur kembali. Percakapan keduanya tidak terusik oleh embusan angin yang dingin ataupun hiruk-pikuk obrolan teman-teman lainnya. 

    “Masih sangat pagi aku tiba tadi. Masih sangat dini usia kita kini. Masih sangat mulia kehidupannya sekarang untuk diratapi. Apa kau ingat apa yang dikatakan Atticus pada Scout di buku bacaan kesayangan Grace?” 

    “Kau tak akan pernah mengenal seseorang sampai kau berada dalam posisinya dan mencoba menjalani hidupnya,” jawab Martha menganggukkan kepala. 

    *** 

    Gadis di sampingnya menjadi kelam untuk beberapa saat yang cukup lama. Matilda berpikir bahwa sahabatnya itu mungkin butuh waktu untuk menenangkan diri, tetapi kedipan matanya mengisyaratkan bahwa ia sungguh-sungguh ingin berlari dari ikatan yang mengguncang dirinya. 

    “Berapa lama?” tanya Grace sontak. 

    “Apanya?” 

    “Pasti cukup lama,” tawanya ringan. 

    “Mungkin,” gadis itu terdiam cukup lama, “Kau perlu ke dokter untuk memeriksanya, itu bukan sakit biasa, bukankah semua ibu yang sakit seharusnya ke dokter?” 

    “Entahlah. Aku merasa sangat lelah belakangan ini. Semakin tua, aku semakin lupa bahwa perut ini juga butuh mengenal dokter.” 

    “Kau baru berumur 20 tahun.” 

    “Bukankah ini lucu,” tawanya semakin keras, “Sering-seringlah menghubungiku selagi kau punya waktu luang. Waktu akan terus berjalan. Semua akan berubah. Luka ini pun akan terus mengingatkanku pada masa remaja yang aku idam-idamkan. Pada mulanya, rasa sakit ini perih sekali. Sangat perih. Perlahan tapi pasti akan semakin coklat dan mengering, akan menyatu dengan kulit. Hanya saja, semakin kering artinya semakin mudah terkelupas. Apa kau mengerti maksudku?” 

    “Kurasa begitu. Akan kucoba untuk mengerti.” 

    “Kau sudah mengerti, tapi mencoba terlihat tak mengerti. Pulanglah. Pulang pada hari esok. Masa remajamu telah menunggu di sana. Cobalah untuk menggunakan waktumu sebaik mungkin. Bangunlah temanku, kita masih harus terus berjalan.” 

    “Aku tahu. Selangkah demi selangkah!” 

  • Melarung Sesajen Luka

    author = Sinta Ridwan

    Ujung wajah layung sedikit mengintip dari balik awan saat kakiku yang bersepatu biru menapaki Terminal Harjamukti, Cirebon. Baru kutumpangi bus Bandung-Cirebon dari Jatinangor. Aku dilanda rindu kepada Mimi dan ingin segera sampai rumah. Perjalananku belum selesai di terminal ini, aku masih harus menyambung elf mengarah Tegal. Posisi tempat tinggalku tepat di sebelah sungai yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah.

    Ekor mataku bergerak ke kanan dan kiri sebelum melangkah lagi dan mencapai puncak keriuhan di terminal sore ini. Suasananya mirip menjelang dan sehabis Lebaran, hampir dipadati penumpang dan banyak bus yang berlalu-lalang. Aku lupa kalau minggu ini adalah minggu terakhir penghujung tahun. Daun telingaku bergerak mendengar teriak kernet elf yang menyebut tujuan, “Tegal, Tegal!”

    Langkah kaki kuperpanjang dan dipercepat. Andai tidak kulakukan, hampir ditinggalnya aku oleh elf hitam yang sudah berpenumpang penuh itu. Ditambah, aku sempat berhenti dulu tadi, meski hanya sepersekian detik demi menyedot sisa oksigen yang ada di lingkungan terminal ini. Udara yang lain sudah bercampur knalpot dan debu yang berkeliaran. Dadaku masih saja berdegup kencang, padahal sudah duduk di samping sopir. Kuelus-elus dada untuk menenangkan diri. Sesak kian bersarang di paru, gelombang asap rokok yang keluar-masuk dari bibir sopir membuatku terbatuk-batuk.

    “Jangan kambuh di sini, kumohon,” bisikku kepada dada yang sedang meringkih ini.

    Sepanjang perjalanan dari terminal ke rumah Mimi di Losari, tepatnya berada di Kampung Ambulu, terasa angin Pantura menampar kencang wajahku lewat jendela pintu elf yang menganga. Aku urung menutup jendela, karena kepulan asap rokok sopir tiada henti melambung. Ah, sudahlah, biar kurasa saja angin dari arah laut itu. Aku tak sabar ingin segera bertemu Mimi dan bercerita banyak hal. Kepulanganku ini, selain libur akhir tahun, juga ingin menghadiri acara adat nelayan di kampung ibuku itu.

    Mimi panggilan ibuku, ia asli Ambulu. Kampung nelayan itu termasuk yang masih bertahan dan ada beberapa jenis produktivitas ekonominya masih aktif selain menangkap ikan. Mimi sendiri bekerja sebagai pengupas rajungan. Perusahaan tempat ia bekerja itu mengirim daging rajungan olahan yang ditangkap nelayan kampung sampai ke Amerika. Mimi bekerja tiap hari, mulai pukul satu malam sampai tujuh pagi. Ia bekerja sedari gadis, sebelum menikahi Mama.

    Mamaku seorang nelayan, ia meninggal tahun lalu akibat tenggelam saat mengikuti ritual adat kampung nelayan. Waktu itu ketua adat memutuskan untuk melarungkan kembali satu kepala kambing ke tengah laut bersama isi sesajen lain, dibandingkan dengan kampung pesisir lain, kampung kami satu-satunya yang menyedekahkan tiga kepala kambing, sementara kampung lain masih memegang tradisi, yaitu melarung satu kepala kerbau. Sudah tiga tahun berturut-turut kesepakatan kampungku mengganti kepala kerbau dengan kepala kambing. Konon, mereka merasa mubazir. Atau bisa jadi, menurutku, mereka masih merasa trauma, karena tiap tahunnya kampung kami dilanda kejadian yang aneh-aneh dan tak dapat dipercaya.

    Sebenarnya, salah satu tujuanku ikut acara kampung untuk memperingati satu tahun Mama. Meski Mimi tidak merayakan secara khusus karena aku tahu ia tak memiliki uang untuk melaksanakan peringatan Mama, aku pribadi ingin melakukan sesuatu untuk mengingat Mama. Yaitu melarung bunga dan doa yang masih bermekaran.

    Tradisi melarung di kampungku merupakan agenda perayaan pesta laut setiap tahunnya di awal musim hujan waktu pelaksaannya. Pesta laut sendiri acaranya penuh dengan hiburan selain ritual yang melarungkan sebuah kapal buatan berisi sesajen utama dan lantunan doa minta keberkahan yang diucapkan kuncen secara khusus di atas kapal yang berada di tengah laut. Hiburan-hiburan yang biasa ditanggap ada pertunjukan sandiwara, wayang kulit, tarling, dangdut, tari topeng, dan masih banyak lagi kesenian lainnya. Kesemuanya itu diadakan serentak dari malam pertama dimulai sampai malam ketiga habis. Dari pagi pertama membuka cakrawala hingga pagi ketiga melahap habis matahari. Demi terselenggaranya pesta laut yang lancar dan bisa menanggap beberapa hiburan, tiap warga kampung oleh panitia yang sengaja dibuat tiap tahunnya, diminta udunan[1]Urunan, patungan. dengan jumlah yang sudah ditetapkan di rapat tahunan kampung.

    Di beranda yang diterangi lampu dari pinggir jalan, aku sudah menunggu Mimi yang tak ada di dalam rumah sekitar setengah jam. Tampaknya ia sedang berada di mushola seberang rumah. Biar kutunggu saja di luar rumah ini, karena memang aku tak membawa kunci rumah Mimi, lupa kubawa serta, kunci itu masih menggantung di dinding sebelah meja belajarku. Kulihat Mimi memasuki halaman depan.

    “Mi, nembé balik tah?[2]Mi, baru pulang? sapaku, setelah mengucap salam sambil menciumi punggung tangannya yang berbau laut itu beberapa kali. Tradisi mencium tangan seperti ini sudah turun temurun di keluarga kami. Mimi tampak kaget melihatku muncul dari balik cahaya bohlam depan rumahnya sendiri. Aku juga sebenarnya sedikit kaget melihat Mimi muncul dari balik kegelapan mengenakan atasan mukena warna putih kusam. Dari kejauhan seperti, ah tak ingin kusebutnya itu.

    “Eh, Nok. Ira wis balik. Tak sangka, ira bli inget mlaku balik ning umah blésak ini. Arêp mangan tah, Ta? Mimi cuma nggawé tempe tahu mau awan.[3]Nok (panggilan perempuan). Kamu sudah pulang. Kukira, kamu tidak ingat jalan pulang ke rumah jelek ini. Mau makan tidak, Ta? Ibu hanya masak tempe tahu tadi siang. Sindiran Mimi yang ada di kalimatnya barusan membuatku tersenyum simpul.

    Mimi selalu menyebut rumahnya itu jelek hingga membuatku menjadi jarang pulang. Padahal, rumah Mimi yang terbuat dari kayu jati ini sudah berumur gemuk nan menawan di mataku yang suka dengan benda-benda bersejarah. Bagiku, rumah Mimi ini salah satu artefak yang pasti menyaksikan banyak peristiwa yang terjadi. Apalagi Mimi dapat rumah ini secara turun-temurun di keluarga besarnya.

    Aku disuguhi makan malam yang nikmat, setelah membersihkan debu-debu yang menggantung di tubuhku sepanjang perjalanan. Kusantap lahap orek tempe ditambah goreng ikan asin dadakan dan juga sambal terasi. Bersama sayur asam, semuanya lengkap. Nikmat. Mimi telah bercanda tadi denganku dengan mengatakan ia hanya punya tahu dan tempe saja di meja dapurnya.

    Di Jatinangor, mana bisa kutemui makanan dengan rasa yang Mimi suguhkan ini, karena masuk di wilayah Sunda Priangan dengan karakter manisnya berbeda rasa dengan makanan ala pesisiran macam kampungku ini. Bagi orang Sunda sendiri, makanan manis itu biasanya makanan Jawa. Namun, bagi kami yang tinggal di pesisiran ini, masakan khas Sunda sama manisnya dengan masakan khas Jawa. Termasuk pengalaman lidahku sendiri, sepertinya semua warung di tempatku belajar berasa giung. Namanya sayur asam, tapi rasanya seperti gula merah dicemil. Berbeda sayur asam yang dimasak Mimi, rasanya lebih gurih, asam, dan asin dengan sedikit manisnya.

    Rasa nikmat masakan Mimi membuatku melupakan pikiran-pikiran yang bersarang di kepalaku. Sampai-sampai aku tak sadar kalau Mimi memperhatikan raut wajahku sedari tadi, yang seperti menunjukkan masalah-masalah yang tak terucap.

    “Cem-cemané bli mélu nang kéné, Ta?[4]Pacarnya tidak ikut kemari, Ta? Tiba-tiba Mimi menanyakan pacarku yang pernah bertemu sekali pada tahun lalu ketika Mama mangkat. Namanya Syarif, ah, tapi ia sudah bukan pacarku lagi, sejak dua hari yang lalu tepatnya.

    “Bli, Mi,[5]Tidak, Bu. aku menggeleng, lalu menunduk seakan kepalaku terbenam di tanah.

    “Napa? Mama’é tah?[6]Kenapa? Bapaknya, ya?Aku kaget mendengar Mimi bertanya seperti itu. Aku mengangguk pelan. Kuingat-ingat lagi, apa aku pernah bercerita soal bapaknya Syarif yang tidak menyetujui hubungan aku dan Syarif, ya?

    Sebenarnya aku memiliki beban datang ke kampung seperti ini, satu sisi aku rindu ibuku sendiri, tapi sisi lain aku merasa dipandang aneh oleh warga kampung. Di kampungku sangat jarang ada perempuan yang belum menikah di atas usia dua puluh tahunan. Apalagi aku sudah menginjak kepala tiga, semakin berat saja bebanku. Aku juga menyadari kondisi Mimi, pasti ia juga mendapat omongan dari tetangganya.

    Namun, aku punya alasan sendiri kenapa aku belum mau menikah sampai usia segini, aku sedang mengejar sesuatu dulu, dan aku sering meminta maklum dari Mimi. Agar ia bisa paham dengan apa yang sedang kulakukan ini.

    “Mi, Mimi bangga bli duwé anak kaya kula? Kang bisa sekola sampé duwur mengkénén.[7]Bu, Ibu bangga tidak punya anak seperti saya? Yang bisa sekolah sampai tinggi begini. Kepalaku dijatuhkan ke bahu Mimi. Lupa cuci tangan di kobokan. Kubiarkan sisa sambal yang menempel di sela jari. Meski panas masih terasa. Tak ada yang lebih nyaman di dunia ini selain bersandar di bahu Mimi sambil berkeluh kesah.

    Mimi mengelus-elus rambutku, “Pisan, Nok. Ira siji-siji’é wadon ning kéné kang bisa sekola sampé apa jaré’é? Master? Kayak Deddy Corbuzier baé ira master sulap.[8]Bangga sekali, Nak. Kamu satu-satunya perempuan di sini yang bisa sekolah sampai apa namanya? Master? Seperti Deddy Corbuzier saja kamu master sulap. Tampak Mimi sedang nyengir. Mungkin ia sedang membayangkan suatu saat nanti kepalaku akan botak seperti pesulap itu.

    “Iya, Mi, wis master. Délat maning kula dadi doktor.[9]Iya, Bu, sudah master. Sebentar lagi aku jadi doktor. Kulihat Mimi masih menyengir semringah. Entah ia paham atau tidak dalam membedakan istilah master dan doktor. Bisa jadi di pikirannya doktor adalah dokter. Apa Mimi tahu juga kenapa aku sekolah terus? Ucapan-ucapanku tentu saja urung dilontarkan padanya. Selama ini aku ingin terus sekolah tinggi demi menyamakan diri dengan ayahnya pacarku. Ups, mantanku, sekarang. Namun, aku seperti kehilangan setengah energi ketika menghadapi berakhirnya hubunganku dengan Syarif, seolah sia-sia sudah apa yang sudah kulakukan selama ini.

    “Nok, Mimi bli bisa mai ira duwit kang akéh kanggo sekola. Mimi ya cuma sekola sampé SD baé. Tapi Mimi setuju baé, ira sekola duwur.” Aku tersenyum mendengarnya. Tenang. Kuceritakan kepadanya kalau aku tidak akan pusing lagi sekarang soal biaya sekolah dan hidup sehari-hari. Aku mendapatkan beasiswa dari dinas pendidikan untuk melanjutkan kuliah program doktor di Belanda.

    Namun, aku khawatir meninggalkan Mimi sendiri di sini. Aku berencana jika kondisi keuanganku stabil, rasanya ingin mengajak Mimi juga.

    “Ira napa, Nok?” Mimi tahu di wajahku melipat kesedihan dan kekhawatiran, tapi aku tidak mau menunjukkan sedih di hadapannya. Aku menikmati percakapan dengan Mimi seperti ini, menggunakan bahasa ibu sendiri. Hal yang sering kurindukan. Mimi tak terbiasa berbahasa Indonesia, dalam kehidupan sehari-harinya dan lingkungan di kampungnyalah yang masih membiasakan berbahasa yang disebut ahli bahasa sebagai bahasa Jawa-Cirebonan daerah pesisiran.

    Kulihat meski dalam kehidupannya Mimi berbahasa Jawa-Cirebonan, ia sering melatih diri mendengarkan bahasa Indonesia lewat radio dan televisi. Ia mampu memahami ketika mendengarkan orang lain berbahasa Indonesia, tetapi ketika akan mengucapkannya, lidahnya tak terbiasa. Itu kenapa ia bisa tahu siapa itu master sulap, ya pasti dari televisi.

    Andai aku tidak disuruh keluar kampung untuk sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas oleh Mama dulu, mungkin aku tidak bisa sekolah sampai di Jatinangor. Mama memaksaku untuk sewa kamar dan hidup mandiri. Daripada harus bolak-balik dari kampung ke kota, Mama menyarankan sewa kamar. Tentu saja ada banyak perjanjian di dalamnya, Mama tidak melepaskanku begitu saja, misalnya aku sewa kamar yang posisinya dekat dengan rumah saudara Mama di kota, jadi Mama lebih tenang ketika tahu ada yang memantau dan mengawasiku.

    Aku menghela napas dalam.

    “Syarif, Mi. Kula dipegati. Jaré’é wong tuwo’é bli gêlêm karo kula. Jaré’é kula miskin lan penyakitan. Bapa’é ‘kan profesor, Mi. Béda kelas jaré’é. Bapa’é péngéné karo kang sugih.[10]Syarif, Bu. Dia memutuskan saya. Katanya, orang tuanya tidak setuju dengan saya. Katanya saya miskin dan penyakitan. Bapaknya ‘kan profesor, Bu. Beda kelas katanya. Bapaknya inginnya sama yang kaya. Aku menahan air mata yang sudah ditahan sedari dua hari lalu. Semenjak Syarif mengenyahkanku dari hidupnya, kekuatan cita-citaku untuk sekolah tinggi demi melawan ayahnya tak lagi sekokoh pertama kali aku memutuskan lanjutkan sekolah.

    “Mimi hatur hampura. Dudu wong sugih. Cuma pengupas rajungan. Dudu profesor kaya bapa’é Syarif.[11] Ibu minta maaf, ibu bukan orang kaya. Hanya pengupas rajungan (kepiting laut). Bukan profesor seperti bapaknya Syarif.Wajah Mimi sedikit berubah, tak lagi ada senyum di bibirnya, wajahnya seperti dirundung awan yang menggulung sisa malam.

    Aku menjelaskan kepada Mimi ini bukan soal kaya atau miskin, apalagi menyesali lahir dari rahim Mimi. Aku malah bersyukur lahir dari seorang Mimi yang sungguh kuat menjalani hidup ini, apalagi setelah Mama berpulang. Rasanya pasti kehilangan banyak hal ketika setiap hari ada yang menemani, ada yang membantu, ada yang dilihat, dibandingkan sekarang yang diselimuti kesendirian.

    Kuperhatikan dengan saksama lekuk-lekuk di wajah Mimi yang berkerut cahaya bohlam. Aku menjadi sadar diri untuk siapa seharusnya aku menyelesaikan dan menggapai cita-citaku. Ini kulakukan demi memperbaiki hidupku dan demi Mimi.

    “Lita, apa ira blajar ning sekolah kanggo muas-muasi napsu angkara karo bapa’é Syarif? Mimi wêru ira gelisah arêp pisan kawin, wis umur’é ongkoh. Tapi lamun Syarif bli gêlêm ya uwis. Ngko pasti ana maning. Jodo bli pernah salah, Nok. Uwis, aja balas dendam karo keluarga’é Syarif. Ikhlasi baé. Fokus karo sekola ira déwék. Mimi dukung pisan. Bangga karo ira. Kang penting ira sehat lahir batin. Supados lupus’é bli kambuh baé. Mangan kang akéh.[12]Lita, apa kamu belajar di sekolah untuk memuaskan nafsu amarah kepada bapaknya Syarif? Ibu tahu kamu gelisah ingin sekali nikah, sudah umurnya juga. Tapi kalau Syarif tidak mau, ya sudah. Nanti pasti … Continue reading

    Mendengar perkataan Mimi, aku seperti dihajar oleh waktu. Ya, aku sadar, sesadar-sadarnya. Aku juga harus memperhatikan kesehatanku sendiri, kalau terlalu larut pada kesedihan dan amarah, lupusku bisa kambuh tiba-tiba tak mengenal waktu. Aku memiliki lupus sejak sepuluh tahun lalu. Akibatnya belum diketahui oleh dunia kedokteran. Namun, menurutku mungkin kebiasaanku yang jelek yang mendatangkan lupus ke dalam hidupku, seringnya begadang dan hampir tidak tidur, tidak mengonsumsi makanan bergizi dan lebih menahan lapar sejak pergi dari kampung demi sekolah sejak umur belasan tahun, terlalu banyak mengonsumsi makanan yang instan, sering terlalu capai melakukan kegiatan, atau mungkin juga sering terkena sinar matahari yang berlebih dan bisa jadi juga karena aku sering mengonsumsi obat-obatan kimia sedari hidup sendiri. Kalau di kampung, Mimi pasti mengobatiku dengan jamu bila aku sakit.

    Aku tak usah menjelaskan banyak hal tentang lupus yang kumiliki ini, aku tak ingin membebani Mimi terlalu banyak, biar saja kutanggung sendiri. Telah tiba saatnya aku tak boleh terpuruk begini, di dekat Mimi yang sudah memahami kondisiku, aku menjadi lebih tenang menapaki anak-anak tangga menunggu cita-cita. Harus kusudahi percakapan yang membuat hatiku mengiris. Aku harus tunjukkan senyum pada Mimi, ibuku sendiri, satu-satunya orang berharga yang kumiliki di dunia ini.

    Di penghujung malam, Mimi banyak ngewejangiku, katanya menuntut ilmu harus dengan niat ibadah. Ilmu dipelajari untuk disebarkan lagi kelak. Soal jodoh dan memiliki keturunan yang dipermasalahkan keluarga Syarif karena penyakit lupusku, tak usah dihiraukan. Biarkan angin laut membawa sakit hati itu ke batas laut paling akhir dan menghilang ditelannya. Percayakan saja pada Sang Hyang Kuasa, kata Mimi.

    Aku pun terlelap setelah melepaskan semua kegelisahanku kepada Mimi. Acara melarung esok pagi Mimi kebagian membuat sajen masakan utama seperti nasi dan lauknya. Ia tidak menemaniku yang tertidur di ruang tengah, tapi langsung menuju dapur menyalakan hawu.

     

    ***

    Riak-riak laut berkilauan diterpa sinar mentari yang baru bangun. Aku dan Mimi sudah berada di pinggir sungai hendak ikut perahu ikan yang dikendalikan Mamang. Semenjak Mama meninggal, perahu miliknya dipelihara dan dipakai Mamang, adik kandung Mama. Terkadang tetangga lain suka menyewa perahu Mama itu dan uang sewanya diberikan sepenuhnya kepada Mimi.

    Tak lama langit biru melengkung, pasukan awan mulai menggantung di atas pesisir wilayah utara. Mamang menyalakan mesin perahu tepat pukul delapan pagi. Perahu-perahu lain pun suaranya menderu. Asap hitam dari solar melayang-layang bikin kelabu dunia atas.

    Dari kejauhan terdengar tetabuhan gamelan sedang cek suara. Biasanya, pukul sembilan tepat nanti akan ada pertunjukan wayang kulit purwa melakon kisah Budug Basu dan Dewi Sri. Dua tokoh yang mereka anggap sebagai Raja Ikan dan Ratu Padi, dewa-dewi kesejahteraan. Kami—masyarakat nelayan—mempercayai cerita-cerita yang dilakon wayang kulit purwa itu. Itulah mengapa setiap tahun diadakan sedekah bumi dan pesta laut di kampung kami, juga di kampung-kampung sepanjang pesisir utara, demi mengucapkan rasa syukur kepada Alam Semesta dan Penciptanya.

    Perahu bergerak susuri tubuh sungai sebelum masuk wilayah Laut Jawa. Antar perahu saling mengiringi. Tiap perahu membawa sesajen khusus keluarga. Namun, ada sesajen utama perwakilan kampung yang ditempatkan di perahu barisan paling depan. Perahu itu membawa juga tiga kepala kambing. Setelah sekian puluh menit berlalu, semua perahu berhenti dan berkumpul di tengah laut. Kepala kampung dan kuncen membacakan doa dan ucap syukur akan rezeki yang dilimpahkan. Lalu, semua sesajen yang dibawa serta dilarungkan ke laut.

    Kulihat Mimi sibuk berdoa dan membasuh muka, kepala dan tangan. Seluruh keluarga nelayan lain juga basuh diri, bahkan ada yang mencebur ke laut. Kupejamkan mata dan mengatur napas. Aku menenangkan diri, karena di waktu inilah Mama kecelakaan.

    Waktu itu, Mama terlalu bersemangat membasuh diri demi barokah Alam Semesta. Tanpa sadar, kepala Mama terbentur ujung perahu yang lebih besar ukurannya di sebelahnya yang sedang melaju mendekati kerumunan setelah pelarungan. Tubuhnya terpelanting dan jatuh terkena mesin yang masih berputar. Ibu-ibu dan perempuan menjerit panik melihat air laut memerah. Sementara itu, bapak-bapak terjun ke laut menolong Bapak. Aku dan Mimi berdiri kaku melihat Mama.

    “Hei. Kamu Lita, ya?” Sapaan itu membuyarkan ingatanku pada Mama. Aku tak langsung menjawab pertanyaannya, memilih memejamkan mata dan melafalkan doa untuk Mama. Sekian detik aku menghening dan menarik napas dalam berkali-kali. Setelah itu aku membuka mata dan menatap wajah sang penyapa. “Saya Janu. Saya tahu tentang kamu dari ibumu,” lanjutnya lagi tanpa menunggu kata-kataku keluar lebih dulu.

    Aku masih menatap lelaki bertubuh kurus itu, tetapi di kepalaku masih dipenuhi Syarif. Syarif yang beberapa hari lalu mengirim surat via Facebook dengan kalimat-kalimat tegas menyuruhku pergi. Sebuah surat yang tak bisa kubalas, karena dadaku begitu sakit membacanya dan tangis kepedihan memenuhi mataku. Namun, ada hal yang paling menyakitkanku setelah ia berkirim surat, beberapa jam kemudian kulihat fotonya sedang tertawa riang dengan perempuan segar, perempuan montok yang sehat. Sungguh, cintaku terluka.

    “Lita, kudengar penelitian sekolahmu tentang budaya pesisir, ya?” Lagi, lelaki ini membuyarkan lamunanku. “Aku juga, Ta. Aku sedang penelitian tentang pesta laut seperti ini. Apa kamu mau membantuku mengumpulkan data? Aku sudah punya sedikit bahan, sudah tiga bulan aku tinggal di sini, salah satu narasumberku ibumu.”

    “Tentu,” jawabku sambil mengingat dulu Syarif juga berlaku sama, meminta bantuan dan data untuk menyelesaikan penelitiannya hingga lulus sekolah. Aku akan bantu siapa pun itu, aku tak pernah menyesalinya.

    Langkahku menuju ujung perahu. Kularungkan kembang-kembang yang menggunung. Kularung hati berduka yang membusuk, tumpukan balas dendam dan sakit hati pada kesia-siaan. Kularung demi kebaikan di masa akan datang. Kuberi secangkir senyum pada lelaki yang masih berdiri, sambil biarkan serangkaian kembang tujuh rupa mengambang mengitari tiga kepala kambing yang perlahan tenggelam tengah laut.

    Mimi mendekatiku sambil berbisik, “Janu kaya’é wong bener, sapa sangka jadi jodoh, barokah sing laut ya.[13]Janu sepertinya orang benar, siapa kira jadi jodoh, barokah dari laut ya.

    Aku bergidik melihat senyum penuh godaan yang menggaris di bibir Mimi.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    References

    References
    1 Urunan, patungan.
    2 Mi, baru pulang?
    3 Nok (panggilan perempuan). Kamu sudah pulang. Kukira, kamu tidak ingat jalan pulang ke rumah jelek ini. Mau makan tidak, Ta? Ibu hanya masak tempe tahu tadi siang.
    4 Pacarnya tidak ikut kemari, Ta?
    5 Tidak, Bu.
    6 Kenapa? Bapaknya, ya?
    7 Bu, Ibu bangga tidak punya anak seperti saya? Yang bisa sekolah sampai tinggi begini.
    8 Bangga sekali, Nak. Kamu satu-satunya perempuan di sini yang bisa sekolah sampai apa namanya? Master? Seperti Deddy Corbuzier saja kamu master sulap.
    9 Iya, Bu, sudah master. Sebentar lagi aku jadi doktor.
    10 Syarif, Bu. Dia memutuskan saya. Katanya, orang tuanya tidak setuju dengan saya. Katanya saya miskin dan penyakitan. Bapaknya ‘kan profesor, Bu. Beda kelas katanya. Bapaknya inginnya sama yang kaya.
    11 Ibu minta maaf, ibu bukan orang kaya. Hanya pengupas rajungan (kepiting laut). Bukan profesor seperti bapaknya Syarif.
    12 Lita, apa kamu belajar di sekolah untuk memuaskan nafsu amarah kepada bapaknya Syarif? Ibu tahu kamu gelisah ingin sekali nikah, sudah umurnya juga. Tapi kalau Syarif tidak mau, ya sudah. Nanti pasti ada lagi. Jodoh tidak pernah salah, Nak. Sudah, jangan balas dendam kepada keluarganya Syarif. Ikhlaskan saja. Fokus dengan sekolah kamu sendiri. Ibu dukung sekali. Ibu bangga kepadamu. Yang penting kamu sehat lahir batin. Agar lupusnya tidak kambuh saja. Makan yang banyak.
    13 Janu sepertinya orang benar, siapa kira jadi jodoh, barokah dari laut ya.

  • Matahari di Pelupuk

    author = Juan Kromen

    Sore yang bikin gerah memeluk tubuh rampingnya. Sepoi yang berarak teratur dari selatan dan beraroma asin membelai parasnya yang ayu. Rambut hitamnya yang ikal ia biarkan terurai. Sesekali angin menerbangkan rambutnya dengan mesra lantas dengan gemulai yang menawan merebahkannya kembali. Sebagian ikalnya menutupi wajah. Ia perlahan-lahan menyusuri bibir pantai dengan kaki telanjang. Sementara itu rombongan burung-burung laut berarak kembali ke bukit-bukit cadas tempat mereka kawin. Bocah-bocah pantai yang telanjang masih mengakrabi laut. Kulit legam mereka yang basah kelihatan mengkilap di bawah sinar matahari. Mereka riang. Tawa mereka lepas seperti ombak yang bergulung ritmis menerjang pantai.

    Raut wajah  perempuan itu kontras dengan wajah-wajah bocah pantai. Di balik sebagian ikal yang menutupi wajah, matanya sayu. Ia nelangsa meski dikelilingi aura semesta yang sedang ceria. Hatinya gundah seperti awan hitam di atas laut ketika musim penghujan berkunjung. Ia lalu menghempaskan pantatnya di atas pasir yang lembut, mengatur rambut yang menutupi wajah dengan gerakan anggun ke belakang kuping dan memandangi lautan. Matanya tertuju ke horizon, nun di batas cakrawala. Petang merembang dan ia ingin matahari yang bergerak perlahan-lahan itu menjemput dirinya bersama-sama tenggelam di kedalaman lautan.

    Sepertinya kesendirian dan pantai memang berjodoh. Kira-kira benaknya berkata demikian. Tak ada tempat paling khusyuk untuk merayakan kesendirian selain pantai. Pasir hitam yang membentang hangat, suara ombak yang mendebur, desau angin yang ritmis, matahari yang bergerak lamban, kicau burung-burung, dan tentu saja laut hijau kebiruan yang menghampar luas di hadapannya seolah-olah menyapanya. Awan hitam yang mengerubungi hatinya memang tak sirna seketika. Namun demikian, ia merasa diterima oleh semesta. Ia merasa disapa dan entah bagaimana, pantai selalu mendengarnya dengan caranya yang mistis. 

    Langit telah jingga dan bocah-bocah telanjang mulai memunguti pakaian mereka yang berserak di atas pasir, hendak pulang ke rumah. Ia masih terpekur sendirian dengan sepasang kaki jenjang kecoklatan membujur di atas pasir. Sesekali ombak menciprati telapak kakinya dan ia tenggelam dalam palung batinnya.

    “Benarkah ia telah pergi?” 

    Ia makin larut dalam kesendirian. Bahkan aroma laut yang menguar tajam menembus penciuman tak lantas membikin ia terhenyak. Ia masih tenggelam dalam sendiri, masih membaui aroma tubuh itu. Tubuh tempat ia bersandar, berpeluh selepas berpacu liar merayakan ritual erotik paling purba akan penyatuan. Ia masih merasakan detak jantungnya berdentum hebat, darahnya berdesir kilat merambat naik memenuhi ubun-ubun kepalanya, hingga pipinya yang berlesung terasa hangat dan seketika merona manakala bibir yang basah itu mendarat telak menyapu bibirnya. 

    Langit telah jingga dan jantungnya berdentum hebat, detaknya semakin cepat. Dadanya sesak serasa ingin meledak. Rasanya seperti saat ia masih bocah dan nyaris mati tenggelam. Ia meneguk bergelas-gelas air laut tanpa ia kehendaki namun mau tak mau harus ia minum. Dadanya perih dan panas. Semakin ia menghela nafas, semakin banyak air laut yang memenuhi rongga dadanya, hingga rasa-rasanya ia menggelembung seperti ikan bulat jelek yang berduri. Semakin lama di dalam air, dadanya seperti ditusuk oleh ikan-ikan iblis jahanam itu. Lalu ia meledak menjadi serpihan-serpihan daging segar, menjadi makanan ikan-ikan iblis yang bulat dan berduri.

    “Tidak, tidak demikian rasanya. Ini sesak yang berbeda.” 

    Ia menghela nafas, dadanya turun naik dengan cepat. Tanpa ia sadari jari-jarinya telah merenggut pasir-pasir yang pasrah dengan naluri peremuk dalam genggamannya. Butir-butir bening tumpah dari sudut bola matanya yang sayu, bergerak turun di pipi lalu ia merasa asin yang akrab menjalari bibirnya. Kesadarannya pulih. Matahari kian tenggelam. Ia menatap matahari dengan pandangan iri. 

    “Ah, engkau matahari… Tak pernah renta, selalu muda ketika menyingsing di timur jauh. Tak  pernah pula hirau pada jiwa-jiwa yang nelangsa seolah-olah derita mereka adalah kutukan yang harus ditanggung sendiri.”

    Pasang air laut telah naik hingga ke lututnya. Ia bangkit dengan enggan. Lamat-lamat di kejauhan dentang lonceng gereja berbunyi. Sesaat ia menatap buih-buih ombak yang bermain di atas pasir. Jejak-jejak kakinya di atas pasir basah pun telah lenyap disapu ombak, sama seperti lelaki yang hadir sesaat lantas hilang disapu waktu.

    Ia maju beberapa langkah, menceburkan separuh lengannya yang berpasir ke dalam laut. Sedikit membungkuk ia membasuh wajahnya dengan air laut. Hangat dan asin menjalari wajahnya. Ia menoleh ke belakang dengan pandangan takzim sesaat. Ia telah siap. Matahari telah tenggelam, gelap telah bertandang, dan ia terus melangkah dengan pasti.

  • Masa Depan Nolan

    author = Galeh Pramudianto

    Ketika Wawan mendengar, atau tepatnya menonton atau lebih tepatnya lagi membaca teks terjemahan dari seorang perempuan kepada Christian Bale, yaitu: kalau kau lebih kurus dan kurus lagi, kau tidak akan eksis, Wawan jadi teringat temannya yang nasibnya mungkin saja berbeda atau sama atau hampir mirip dari akhir cerita film The Machinist. Betul. Wawan jadi teringat temannnya secara langsung, tanpa harus mengorek lebih dalam lagi apa itu yang disebut kenangan, dan Wawan tidak mencoba menggaruk kenangan itu secara eksplisit dan serampangan hanya agar dapat disangkutpautkan dengan dialog dari sebuah film. Dengan kebetulan-kebetulan yang dipaksakan. Betul, itu maksudnya. Bukan dengan kebetulan-kebetulan yang dipaksakan.

    Wawan ingat saat itu ia tidak mencoba mengingat. Tapi hal itu, ingatan tentang temannya, datang secara deras berhamburan seperti kucuran darah dari leher ayam yang dibelek secara gegas, karena satu keluarga yang lapar tak sabar untuk menikmatinya di meja makan. Tetapi, kau bisa saja mengubah kehendakmu untuk mengganti kalimat awal cerita ini dari teks terjemahan di sebuah film lain, yaitu: perut buncit membuat seorang lelaki kelihatan bebal atau seperti gorilla. Tapi pada perempuan, perut buncit sungguh seksi. Begitu, seperti yang dikatakan istri Butch di Pulp Fiction dalam glorifikasi dan pembelaannya.

    Kau juga bisa saja memilih kalimat awal cerita ini dengan teks yang berasal dari mana pun: spanduk tentang ajakan berzikir, baliho besar pengajian, pengumuman di majalah dinding sebuah desa, atau iklan di tiang listrik tentang kakus dan bimbingan belajar dan seterusnya. Dari yang jatmika sampai amburadul, kau bisa menempelkannya saja untuk kalimat awal cerita ini. Tetapi, ada sesuatu yang tidak bisa kau pilih dalam menebak arah hidup dan kisah temannya Wawan. Teman Wawan, yang belum disebut namanya ini, adalah seseorang yang tidak mudah ditebak. Dari perangai, hobi, cita-cita, kekasih idaman sampai warna kulit dan rambutnya.

    Pada paragraf ketiga di kalimat menuju akhir, kau belum tahu siapakah nama dari teman Wawan yang akan diceritakan ini. Dan di paragraf keempat kau telah mengetahui namanya dari penggalan ini: Saat ini Nolan 20 tahun, tidak ada yang tahu apakah ia bisa bernapas sampai angka 35, 43, 57, 66, 71, 82, 91 atau 28, 32, 41 atau setelah kisah ini ditulis—79 detik kemudian ia mati karena terpeleset di kamar mandi, atau terkena peluru nyasar atau ia kaget dan jantungan ketika ia disambangi oleh pihak keamanan di sebuah kos-kosan milik temannya, saat ia sedang menusukkan jagoannya, Pedro ke sebuah gua yang baru ia kenal 15 menit di sebuah zenit yang adem dan kudus.

    Bahkan Nostrodamus dan Jayabaya pun tidak akan tahu masa depan Nolan akan seperti apa. Apakah ia akan menjadi ulama, pendeta, tabib, tukang pijat, petugas parkir, wartawan, sutradara, guru, pegawai bank, dan seterusnya. Tentu, astrolog Perancis dan filsuf Jawa itu tidak tahu nasib dan takdir Nolan, atau kelahiran Nolan dan (mungkin) calon kemunculan adimanusia lainnya. Sebab keduanya, tidak menuliskan kisah adolesen dan multitafsir seperti ini:

    Ketika semasa kuliah, Wawan mengajak Nolan menonton sebuah pertunjukan teater karya dramawan J. Wawan akan mulai menceritakannya pada adegan terakhir, ketika Lukman, tokoh utama itu tertembak, dan suara-suara terberai ke segala arah di panggung. Suara yang keluar dari mulut panggung dan dari belakang skena.

    Sebelum lampu padam, Nolan sempat memfoto Lukman. Wawan bertanya kenapa ia baru memfoto sekarang, Nolan menjawab, karena inilah momen yang tepat untuk mengetahui masa depanku. Wawan bertanya lagi, apa maksudnya dari momen yang tepat untuk mengetahui masa depan?  Ia menjawab, kamu akan segera tahu ketika aku bertemu dan bertanya banyak hal kepada Lukman.

    Ketika lampu padam, 5 atau 6 detik kemudian lampu kembali nyala dan ucapan selamat dan ucapan terima kasih datang dari sutradara dan seterusnya. Wawan tersenyum dan bertepuk tangan, sementara Nolan hanya tersenyum tipis seperti melihat tikus mati di jalan yang sudah gepeng dan bercak darahnya telah kering menjadi stiker serta aksesoris tambahan di jalan.

    Hal seperti itu seharusnya tidak terjadi ketika seseorang melihat tikus mati di jalan, tapi Nolan membenci tikus seperti ia membenci tikus dan tikus. Tidak ada hal yang dibencinya kecuali tikus dan tikus. Sekali lagi, Wawan tidak akan memberi tahu alasan mengapa Nolan kadung benci terhadap tikus, tentu, karena memang ia tidak tahu alasannya.

     

    **

     

    “Kau tidak merasa aneh?” Nolan bertanya pada Wawan saat itu. Wawan tidak langsung menjawab, karena suaranya tersapu oleh suara-suara lainnya; seseorang mengantar bunga kepada aktor seusai pertunjukan, orangtua memuji kemampuan akting anaknya dan merasa sangat bahagia dan gerombolan orang-orang seperti kereta api berduyun-duyun menuju stasiun; berfoto dengan para aktor.

    “Aneh bagaimana maksudmu?”

    “Lihatlah wajah Lukman, mengapa ia begitu mirip denganku?”

    “Ya, karena memang begitulah wajahnya. Sesuai kebutuhan peran bukan, sih?” Wawan kembali bertanya karena jam terbangnya menonton pertunjukan teater hanya sedikit.

    “Iya betul. Tapi bukan itu maksudku. Pertanyaannya itu, mengapa dia benar-benar mirip denganku?”

    “Memangnya kenapa kalau mirip? Bukankah sudah biasa orang kembar atau mirip dengan seseorang lainnya, bahkan di Chernobyl dan Uganda sekalipun.”

    “Ya ampun, bukan begitu maksudnya. Tapi, ini benar-benar mirip seperti kembar identik! Padahal kau tahu, aku anak tunggal. Memangnya kau tak melihat di bagian awal ketika ia berceramah panjang dan cerita yang buruk itu diakhir dengan kedatangannya lagi? Deus ex machina.”

    “Aku tidak melihat di bagian awal, karena ponselku kedatangan pesan. Aku juga tidak melihat bagian penutup, karena aku ke toilet tadi” Wawan menjawabnya sambil mengetikan pesan di layar sentuh ponselnya.

    “Aku juga tidak tahu istilahmu itu tadi, apa? Dus? Zeus?” ketika Wawan menoleh dan bertanya, ternyata Nolan telah hilang dari sampingnya. Wawan mulai mencari. Dimulai dari posisi kursi di baris ketiga dari depan. Tak lama, ia melihat Nolan dari kursi paling depan di baris pertama, di sebelah kanan—nampak ia hendak membuka pintu dan menuju keluar.

    Wawan langsung mengejarnya saat itu, dan langsung memasukan ponselnya ke kantong celana sebelah kanan, bersamaan dengan uang dua ribuan di dalamnya. Setelah pintu terbuka, Wawan lihat orang-orang begitu ramai dengan berbagai macam suara yang memekakkan telinga. Lagi-lagi, ucapan selamat, permintaan foto dan sebagainya. Ia kehilangan jejak Nolan.

    Di antara para manusia, ia menembus di sela-sela himpitan dan lalu lalang. Ketika sampai di pintu keluar atau pintu masuk, ia melihat aktor yang dikatakan Nolan sangat mirip dengannya. Lukman terlihat sedang menjura ke rekan aktor lainnya, dan Wawan hendak ingin mencapainya untuk bertanya apakah ia melihat Nolan.

    “Maksud mas? Nolan yang mana?” ia kembali bertanya, setelah sebelumnya Wawan telah bertanya padanya: apakah mas Lukman melihat temanku yang bernama Nolan? Lukman menggeleng, memandang Wawan dengan bingung. Wawan memandang Lukman dengan terukur dan seksama. Ia mendelik. Dari sorot mata serta bentuk rahangnya, Lukman nampak begitu mirip dengannya. Ia mengingat bahwa sebelumnya Nolan telah mengatakan bahwa Lukman mirip dengan Nolan. Tapi mengapa Lukman juga bisa mirip dengan Wawan? Ia menggelengkan kepala dan menghela napas. Ia seperti berhadapan pada spektrum doppelgänger.

    “Evaluasi. Langsung ke dalam lagi ya semua!” suara itu keluar dari pria berkacamata hitam, kru dari pertunjukan Poligon yang Wawan tonton 15 menit silam. Wawan langsung mengeluarkan ponsel untuk menelepon Nolan. Tapi yang terdengar adalah suara lain yang tidak bersepakat bahwa ponselnya akan bertemu dengan ponsel lainnya. Beberapa kali Wawan menelpon, menghubungi lewat layanan pesan daring maupun luring, dan sebagainya dan sebagainya. Tapi, nihil. Lamat-lamat orang-orang ramai tadi mengerucut menjadi udara. Kendaraan yang awalnya mengerubung di pelataran parkir kini telah berkurang dan menyusut lengang.

    Wawan masih penasaran dengan hilangnya Nolan tanpa memberi kabar. Apa boleh buat, saat itu Wawan pulang dengan dua pertanyaan yang menganga. Pertama, mengapa Nolan mengatakan ia mirip dengan Lukman, aktor di pentas Poligon. Kedua, mengapa ia kandas begitu saja tanpa ada kabar yang jelas.

    Tapi, tunggu. Sebelum lampu padam, Nolan sempat memfoto Lukman. Wawan bertanya kenapa Nolan baru memfoto sekarang, ia menjawab, karena inilah momen yang tepat untuk mengetahui masa depan. Wawan bertanya lagi, apa maksudnya dari momen yang tepat untuk mengetahui masa depan? ia menjawab, kamu akan segera tahu ketika aku bertemu dan bertanya banyak hal kepada Lukman. Tapi, Lukman telah mati tertembak di Poligon dan Nolan tiba-tiba raib ketika keluar dari gedung pertunjukan.

    Untuk Hans-Thies Lehmann
    Cikini, 2016.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Marabunta

    author = Irwan Apriansyah

    PISAU itu terhunus ke dalam perut seseorang, berulang-ulang, tanpa peduli darah muncrat ke tangan dan pakaiannya. Lambung mayat itu telah robek, sesosok tangan menarik usus dari perut dengan penuh keyakinan. Ia menarik usus itu hingga memanjang ke atas, lalu dengan silet merk Tiger menyayat dari ujung ke ujung membentuk garis vertikal hingga isinya terburai ke mana-mana. Kemudian dengan perlahan tangannya merogoh jantung dan menggenggamnya, terkadang ditatapnya lama-lama jantung yang masih berdegup itu selama masih berada dalam genggaman, sesekali mengelusnya seperti mengelus bulu anak ayam yang baru lahir. Seusai ritual kecil itu, ia tidak segan memasukkan jantung tersebut ke dalam rongga mulutnya yang menganga. Mengunyahnya pelan-pelan, mengunyahnya dengan penuh kenikmatan. Lalu, sepasang matanya menyala.  

    Bercak darah di mana-mana, di wajah lelaki, di kemeja putihnya, di celana abu-abunya dan di sepasang tangannya yang berlumuran darah. Sepasang matanya menyorot tajam ke arah si mayat penuh kebencian. Seolah-olah hanya dengan sorot mata, ia telah melepaskan nyawa dari sangkar tubuh seseorang. Jemarinya lihai mengaduk-aduk isi perut, mencerabut jantung, dan menarik usus. Baginya, membunuh adalah seni tertinggi. Hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak hanya berbakat tapi juga memiliki kelihaian khusus dalam membaca perilaku dan isi kepala si calon korban.

    “Dulu aku percaya bakat dapat mengubah masa depan seseorang,” gumamnya pada diri sendiri, “Tapi kini, aku juga percaya pada kerja keras yang membuat masa depan seseorang bisa jadi lebih baik.”

    Berbakat membunuh, mencuri, merayu, (atau keahlian apa pun), serta mampu mengorganisir orang-orang saja tidak cukup. Segalanya mesti dibarengi kerja keras, kehendak untuk menguasai, ketelitian dan kesabaran yang terlatih dan juga insting tajam. Hidup dengan mengandalkan bakat yang tak terasah, tidak akan mampu membuat seseorang mencapai level ahli, paling hanya mencapai level medioker. Muncul lalu lenyap seketika, seperti meteor, ya, meteor. Dan demikianlah yang dirasakan Marabunta. Lelaki dengan sebilah pisau yang setiap malam hanya memburai bagian tubuh manusia. Itu berarti, setiap hari Marabunta harus mendapat korban untuk melatih kelihaiannya dalam seni mutilasi tubuh.

    *

    Marabunta tidak peduli pada kisah hidup si mayat. Tapi terkadang sesekali terlintas pertanyaan macam-macam di kepalanya. Siapa kekasih mayat ini? Ah, barangkali kekasihmu sedang menunggumu di sebuah restoran yang sederhana. Sambil terus memandangi wajah si mayat yang telah terpotong dari lehernya, sepasang mata Marabunta seperti tidak berkedip, lamunannya melayang ke masa hidup si mayat ketika sebelum dirobeknya kulit di batang leher dengan sebilah pisau pada suatu sore di sebuah gang dekat restoran yang sepi.

    Pernah sesekali terlintas di benaknya tentang seorang perempuan yang menjadi kekasih hatinya. Siapa pun nama perempuan itu, entah dari mana asal perempuan itu, ia tidak peduli, asalkan mampu menerima segala keburukannya. Dibayangkannya sosok perempuan berambut lurus sepundak dengan poni menggantung di kening sedang melambai padanya. Dan juga sebuah senyuman dilemparkan pada hati Marabunta yang kesepian. Lalu mengajaknya makan di sebuah restoran kecil, atau nonton film di bioskop. Mungkin hari-hari Marabunta akan dipenuhi kebahagiaan. Mungkin Marabunta tidak perlu mencari korban untuk dicincang. Mungkin ia akan menjadi Marabunta yang lain, bukan menjadi Marabunta yang sekarang.

    Darah hangat yang mengalir dari leher si mayat ke jari-jemari Marabunta menyadarkan dirinya dari lamunan. Membuyarkan balon-balon khayalan yang mengambang di udara. Marabunta kini sadar siapa dirinya, hanya seorang yang hatinya didera sepi dan masih hidup di dunia. Lampu-lampu merkuri bercahaya, berjejer di setiap pinggir jalan. Sementara langit menyaksikan perilakunya lewat kerlip bintang-bintang.

    *

    Keesokan harinya, ketika matahari telah condong ke barat dan menyepuh separuh langit dengan warna kemerah-merahan. Di sebuah taman kota, seorang lelaki dengan sebilah pisau terselip di pinggang, di balik jaket baseball-nya. Marabunta sedang duduk di bangku taman, menghabiskan waktu senja sambil mencari mangsa.

    Di bangku sebelahnya tampak seorang perempuan sedang gelisah menunggu kekasihnya. Sesekali diliriknya jam di layar ponsel. Wajahnya dipenuhi kecemasan dan rasa kesal. Lalu ditekannya tombol pemanggil di ponsel layar sentuhnya. Dan hanya “tut, tuut, tuut, nomor yang Anda hubungi sedang sibuk,” demikian yang didengar dari seberang sana.

    Perempuan dengan rambut bergelombang itu mengenakan kaos ketat putih bergambar wajah Marilyn Monroe di bagian depan. Bagian rambut Monroe menutupi bentuk dada yang padat menerobos bahan katun. Bagian bawahnya dibalut celana jins abu-abu ketat yang terbuat dari bahan tipis, sehingga tiap leluk lutut, paha, dan bongkahan pinggul montok yang sedang duduk gelisah itu tidak bisa berdiam diri.

    Sampai Marabunta mendekat dan mengajaknya berkenalan, perempuan itu masih merasa segalanya berjalan baik-baik saja, segalanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan Marabunta berhasil menggiring korbannya menonton film seperti yang dikhayalkannya semalam. Mereka keluar dari bioskop ketika hari telah malam.

    “Aku akan mengantarmu pulang,” ucap Marabunta, padahal hatinya mengharapkan lain. Jika si perempuan mengiyakan, itu berarti secara tidak langsung berkata “aku ikut ke mana pun kau mau,” dan Marabunta merasa berhasil malam itu setelah mendengar kata “boleh” dari mulut pasangannya. Maka Marabunta mengajaknya mampir ke apartemen sebelum mengantar si perempuan pulang. Sesekali dirabanya pisau dalam sarung yang terselip di pinggang, di balik jaket baseball-nya.

    *

    Di balkon, di puncak apartemen, sebuah bayangan hitam mengoyak tubuh seorang perempuan. Tepat di bawah bulan pucat, disayatnya perlahan dari belahan dada sampai bawah pusar. Setiap garis yang ditarik dari ujung pisau itu mengeluarkan darah. Darah menyembul pelan-pelan dari balik kulit yang tergores. Malam seperti milik Marabunta sepenuhnya.

    Tadi sebelum ia menikam leher perempuan itu, sesuatu singgah di dadanya. Ada rasa cinta muncul tiba-tiba. Rasa kasih sayang yang menyergap batinnya. Ia berkeringat, dadanya bergetar. Tapi tangannya merogoh sesuatu yang menyembul di balik punggung. Tangan yang gemetar itu mengeluarkan sebilah pisau. Ada keraguan hinggap di dadanya. Hampir ia membatalkan kehendaknya namun sesuatu berbisik di relung batinnya.

    “Hidupmu ditempa rasa sakit, didera kesendirian, dan diasingkan orang-orang,” bisik suara asing itu menggema ke seluruh lorong tergelap jiwanya.

    Layar malam yang ditatapnya menjelma gambar-gambar masa silam. Ia ingat bagaimana dirinya harus bertahan hidup. Sejak kecil diasingkan masyarakat. Sebab ayah dan ibunya aktivis sebuah partai berlambang palu arit. Suatu pagi didapatinya kekosongan dalam rumah. Marabunta kecil terbangun mendengar suara kukuruyuk ayam. Dipanggilnya ayah dan ibunya, namun tak ada jawaban. Dipanggilnya berkali-kali, suaranya terpantul-pantul dalam  kesunyian.

    “Ayah?”

    “Ibu?”

    Ternyata malam sebelum pagi itu, ketika kedua orangtuanya dalam perjalanan pulang ke rumah, segerombolan orang mencegat dan membawa mereka ke suatu tempat. Beberapa orang menyilet kulit orangtuanya semasa nyawa masih dalam tubuh lalu menggorok leher dan mengoyak tubuh mereka sampai hancur. Sebelum eksekusi mengerikan itu, ibunya diperkosa beramai-ramai sampai pingsan.

    Marabunta kecil segera bangkit, ketika segerombolan orang menyiram pintu dan jendela dengan bensin. Ia tergagap, wajahnya pucat dan penuh ketakutan. Sebelum seseorang melempar sebatang puntung rokok sambil berteriak “anjing komunis!” Marabunta telah bergegas keluar lewat pintu belakang. Menyembunyikan tubuhnya dalam kebun belakang rumah. Diterobosnya daun-daun kacang, kakinya yang telanjang meninggalkan tapak mungil. Ia sembunyi di balik pohon salak. Ditatapnya rumah yang terbakar sejenak, sebelum Marabunta memutuskan lari untuk selama-lamanya. Ia lari dalam ketakutan. Lari dari kampung ke kampung, melewati sungai, ngarai, dan jalan bebatuan. Dan bayangan itu pudar, Marabunta mendapati dirinya tengah menggenggam sebilah pisau.

    “Dan ini balasanku pada kalian…” pisau pun menggores leher yang terbalut kulit halus.

    *

    Pada suatu pagi, orang-orang mendapati sebuah kardus besar tergeletak begitu saja di depan pintu rumah mereka. Di bagian atas kardus tertera sebuah kertas bertuliskan: Anjing Komunis!  Seorang lelaki tua yang melihat tulisan tersebut terperangah. Ia kaget dan sekaligus ada rasa takut menyergapnya. Ia takut bukan lantaran seorang komunis. Tapi diingatnya sesuatu, sebuah kata-kata yang pernah diteriakkannya pada masa muda yang penuh gelora.

    “Anjing komunis, anjing, komunis, anjing komunis…” ucapnya terbata-bata dan penuh rasa takut. Sebatang rokok masih menyala, hendak dilemparkannya, namun urung sebab tangannya hanya gemetar. Rokok itu terjatuh di samping kaki keriputnya.

    Lalu tangannya membuka kardus. Ketika terbuka ia melihat tubuh yang terpotong-potong perbagian seperti; tangan, paha, kaki, perut, jantung, dada, dan kepala, semua bagian tubuh itu masih penuh dengan bercak darah. Lelaki tua itu menjerit sekeras-kerasnya, tubuhnya tersungkur ke lantai. Seluruh penghuni rumah keluar, melihat apa yang terjadi.

    “Pak, anak kita, Pak!” jerit seorang ibu sambil berurai airmata.

    “Itu kepala Lasmi, ah!” seorang kakak segera menangis.

    “Anjing, aku anjing, Bu…” Lelaki tua itu perlahan bangkit dan tersungkur kembali.

    “Aku yang anjing, aku yang anjing, bukan keluarga rumah itu…”

    Seluruh penduduk kampung menjerit panik. Para lelaki tua ketakutan. Bayangan masa silam menyergap pikiran mereka. Sekali lagi suara jeritan terdengar di mana-mana. Para lelaki tua di kampung itu berlarian keluar rumah. Mereka berhamburan satu-persatu sambil dikejar-kejar anak istri yang merasa khawatir. Orang-orang itu berlari ke sebuah tempat di mana sisa-sisa tembok rumah yang pernah dibakar dulu masih ada, tapi hampir punah.

    Sementara Marabunta terlelap di apartemennya. Ia lelah setelah semalam mengendarai mobil ke sebuah kampung masa kecilnya. Berkali-kali ia melakukan hal tersebut dengan memutilasi tubuh putra-putri para penduduk di sana, sampai lelaki-lelaki tua di kampung itu bunuh diri dengan sendirinya. Bunuh diri satu-persatu karena rasa bersalah yang menghantui batin mereka, rasa bersalah yang menggelisahkan malam-malam mereka.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

  • Lelaki yang Bersepeda Melintasi Waktu

    author = Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.

    “Nder, aku datang dari masa depan,” bisiknya ketika kopi panas tersaji di meja kami.

    Ya, itu kalimat pertama yang diucapkannya padaku setelah sebulan lebih tak bersua. Bukankah seharusnya ia menanyakan kabar atau basa-basi terlebih dahulu layaknya manusia normal lainnya? Aku sudah mengenalnya lebih dari sepuluh tahun. Memang terkadang ia tidak bertindak layaknya manusia normal, tapi sungguh, ini di luar ekspektasiku. Ia bilang ia datang dari masa tujuh tahun ke depan. Aku tidak tahu harus mempercayainya atau tidak, namun suaranya yang tidak lantang itu—bahkan cenderung setengah berbisik—terdengar penuh keyakinan. Belum sempat aku memutuskan aku harus mempercayainya atau tidak, ia sudah menjejali aku dengan prediksi-prediksi tujuh tahun ke depan. Ia bahkan menyuruhku bertaruh untuk sebuah tim sepakbola medioker yang setahuku saat ini ada di Divisi Kedua sebagai Juara Divisi Utama enam tahun lagi. Ia bilang aku bisa untung besar karena tak ada yang mengunggulkan tim itu. Padahal alih-alih memikirkan keuntungan dari perjudian tersebut, benakku dipenuhi dengan pertanyaan, mengapa ia hanya datang dari tujuh tahun ke depan. Bukan sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Bukankah umumnya dalam film-film fiksi ilmiah itu, tokoh utamanya datang dari berabad-abad mendatang, memamerkan dengan arogan segala teknologi canggih yang sudah diciptakan di masanya namun kembali ke masa lalu karena bumi telah rusak dan tak terselamatkan. Lalu kalau seandainya benar ia dari masa depan, berarti mesin waktu benar-benar sudah diciptakan. Aku bertanya-tanya seperti apa bentuk mesin waktunya.

    “Aku datang dari masa depan menggunakan sepeda.”

    Kutil kuda! Jawabannya membuatku melongo. Kupikir akan lebih mudah dicerna otak jika dia datang dari masa depan, muncul dari dalam laci seperti dalam kartun, atau melalui lorong waktu yang dibuat oleh sebuah teko yang bisa berbicara atau menggunakan mesin yang sangat rumit serupa dengan portal dalam film-film fiksi ilmiah. Ia sendiri tidak tahu bagaimana ia bisa sampai ke masa sekarang. Ia ingat betul ia bersepeda untuk kembali ke rumahnya. Sesampainya di rumah ia melihat ayahnya ada di rumah. Ayah yang di masa tujuh tahun mendatang, mati di depan mata kepalanya sendiri. Ayah yang seharusnya sudah tenang di alam sana, ia lihat sedang bersantai sembari membaca koran di ruang tamu rumahnya. Aku sendiri tidak melihat ada yang aneh dengan itu. Ayahnya memang seharusnya di rumah. Di tempat yang sama aku terakhir bertemu dengan ayahnya sebulan yang lalu. Masih segar bugar di usia setengah abad lebih. Masih tangkas bermain badminton di lapangan RW. Lalu ia menjelaskan kepadaku di masa tujuh tahun mendatang, ayahnya besok akan mati. Ayahnya akan terjatuh dari sepeda motor dan tergilas truk yang supirnya terlambat menginjak rem dalam sepersekian detik. Darah muncrat membekas di atas aspal, kepala ayahnya entah seperti apa bentuknya. Secara kebetulan ia melihat secara langsung saat-saat terakhir kematian ayahnya. Hatinya remuk seketika ketika mengetahui ayahnya benar menjadi korban kecelakaan tersebut. Saat itu ia hanya terduduk lemas, tak tahu harus berbuat apa. Siapa yang bisa berpikir jernih jika mengalami hal seperti itu. Bahkan semenjak itulah ia tidak pernah menyentuh barang bernama sepeda motor. Ia tak mau bernasib seperti ayahnya. Ia bersepeda tanpa embel-embel motor. Sepeda yang dikayuh dan tak perlu diberi minum bensin supaya mau jalan saat tuas gasnya dipelintir. Sepeda yang gambarnya ada di kaleng-kaleng kue wafer, dalam bentuk yang lebih modern dan harganya hampir sama dengan ponsel pintarku. Sepertinya trauma akan kejadian itu membekas cukup dalam. Sungguh, sukar dipercaya ia bisa meninggalkan motornya. Ia dan motornya sudah seperti dua hal yang membentuk simbiosis mutualisme seperti Nobita yang selalu mendapat masalah dan Doraemon yang selalu memiliki solusinya. Hanya ke warung sembako yang ada di ujung gang dekat rumahnya pun ia menggunakan sepeda motor—tak lupa menggunakan helm untuk menjaga kewarasan kepalanya. Sejak pertama kali mengenalnya di hari pertama masuk SMA, aku malah baru tahu dia bisa bersepeda. Tahun pertama kami di SMA, ia selalu diantar-jemput ayahnya mengendarai sepeda motor cungkring yang biasa digunakan oleh pegawai kecamatan. Baru tahun kedua rengekannya untuk meminta sepeda motor sendiri berhasil. Ia mulai mengendarai sepeda motor bebek bekas berwarna biru yang katanya dibelikan ayahnya dengan cara mengangsur dari pamannya. Semenjak itu ia seperti terobsesi dengan sepeda motor. Semua berita dan buku tentang motor dibacanya. Ia sendiri mencoba-coba mengulik motornya sendiri. Entah kebetulan atau tidak, mungkin berkat sepeda motor itulah ia berhasil merebut hati teman sekelasku. Aku turut berbahagia, setidaknya aku tidak perlu mendengarkan keluhan tentang hidupnya yang hampa karena tidak memiliki pacar. Dan seperti jamaknya orang berpacaran, tentu saja proses berpacarannya tidak semulus kulit putri raja yang biasa dibaca dalam buku dongeng anak-anak. Dari keluhannya ia setidaknya sudah pernah putus dua kali walaupun akhirnya hubungan mereka kembali membaik dan berpacaran lagi. Entah memang jodoh atau memang sudah belajar dari kebodohan mereka, aku belum pernah lagi mendengarnya mengeluhkan pacarnya. Paling hanya pertengkaran kecil yang bagi mereka seperti bumbu pedas manis dalam manisan salak yang asam. Hubungan mereka berjalan langgeng, sudah berjalan sekitar tiga puluh lima bulan. Aku ingat betul karena terakhir ia mengabariku bahwa mereka berbaikan dan kembali menyambung hubungan asmara bersamaan dengan sepeda motorku—atas namaku tentu saja—yang baru saja terbeli—dengan gaji yang sudah kutabung selama setahun sebagai uang muka. Sepeda motor berjenis skuter dengan balutan plastik yang menyelimuti rangkanya dan bertransmisi otomatis.  Ia pernah berkomentar bahwa aku akan tetap kesulitan mendapatkan pacar karena perempuan tidak menyukai lelaki yang mengendarai skuter matik. Ia bilang aku seharusnya membeli motor sport yang menurutnya lebih maskulin. Tapi bagaimana aku harus percaya pendapat seorang lelaki yang mengendarai sepeda motor bebek keluaran awal milenium dan tidak pernah melihatnya menggunakan sepeda motor dengan kopling manual. Lagipula aku tidak menyukai sepeda motor yang seperti itu. Selain tampak arogan, juga terlalu banyak tuas untuk dioperasikan. Ayolah, akui saja. Apakah dengan arus informasi yang sudah sedemikian kencang ini kamu lebih memilih ponsel dengan dua belas tombol angka—masih ditambah tombol navigasi—atau memilih ponsel dengan tiga tombol—volume atas bawah dan power, sisanya menggunakan layar sentuh? Tentu saja yang kedua. Yang lebih sedikit tombolnya. Logika yang sama kugunakan dalam memilih sepeda motor. Arus lalu lintas yang membuat kita lebih banyak berdoa—kepada Tuhan tentu saja—dan memaki—kepada pengguna jalan yang ngawur—secara simultan membuatku tidak ingin semakin direpotkan dengan banyaknya tuas kendali sepeda motor yang kukendarai. Skuter matik bagiku adalah pilihan terbaik bagiku yang hanya membutuhkan maju, berhenti, berbelok dan tentu saja memberi tanda dengan benar ketika akan berbelok. Bulan depan sepeda motorku ini akan lunas, dan ia masih berpacaran dengan temanku. Setahuku yang lebih lama dari hubungan pacarannya adalah hubungan pertemanan kami dan hubungannya dengan motor bebek biru kesayangannya.

    Ketika ia menghubungi dan mengajakku bertemu di warung kopi langganan kami, aku heran ia datang memasuki parkiran warung kopi dengan bersepeda. Ia mengenakan topi alih-alih helm hitam yang biasa ia pakai. Terakhir kami bertemu ia masih menggunakan sepeda motornya. Selain itu aku merasa melihat dia sebagai orang yang berbeda. Tampilan fisiknya masih sama, kurus dengan beberapa lekuk tulang yang menonjol dari balik kulitnya yang coklat kusam. Ia masih mengenakan kaus hitam polos yang sering sekali ia kenakan. Yang berbeda adalah wajahnya yang lebih cerah penuh kepercayaan diri, sorot mata yang lebih tajam, juga cara bicaranya yang lebih tegas. Seandainya aku orang buta, mungkin aku akan mengira ia adalah orang yang berbeda. Entah hal itu karena aku sudah lama tak bertemu dengannya, atau karena ia memang menjadi berbeda atau karena ia benar datang dari tujuh tahun yang akan datang. Ia tidak seperti dulu, yang peragu, dan sering meminta pertimbangan dariku. Entah apa pertimbangannya semua hal harus dipertimbangkan denganku. Aku sendiri bukan seseorang yang bijak. Pernah aku memberi nasihat agar sesekali berpegang dengan pendiriannya ketika ia bertengkar dengan pacarnya. Hasilnya? Hancur lebur. Hubungan mereka merenggang, dan dia menjadi seperti orang linglung.

    Aku membayangkan kekagetannya ketika ia bertemu dengan ayahnya. Mungkin rasanya seperti bertemu dengan hantu. Aku sendiri belum pernah bertemu hantu. Hanya saja, aku kerap kali bertemu dengan almarhum kakekku yang meninggal delapan tahun yang lalu di dalam mimpi. Sama seperti ketika ayahnya yang ia temui sedang duduk santai di ruang tamu, kakekku juga selalu menemuiku dalam keadaan santai. Entah sedang duduk di kursi goyang atau sedang duduk lesehan bersandar pada pohon kersen. Hal tersebut membuatku heran. Manusia sering takut pada kematian, padahal orang yang telah mati selalu nampak santai tanpa beban ketika mereka datang menemui kita dalam alam mimpi.

    Ketika ia bilang ayahnya akan mati, aku sempat berpikir apakah dia adalah anak durhaka yang menubuatkan ayahnya sendiri mati mengenaskan. Tapi anak durhaka macam mana yang mencintai kedua orang tuanya setulus itu. Aku tahu betul ia sangat mencintai kedua orang tuanya. Bahkan aku sendiri ragu aku mampu mencintai kedua orang tuaku seperti dirinya. Aku berpikir apakah ia diberi kesempatan kedua untuk menyelamatkan ayahnya dan memperbaiki hidupnya. Apakah karena ia begitu mengasihi kedua orang tuanya, Tuhan berbaik hati untuk memutar roda waktu? Aku pernah mendengar cerita-cerita tentang orang yang menembus waktu. Entah dari buku Wells atau kartun-kartun yang tayang ketika aku masih kecil. Tapi waktu itu aku tak pernah memikirkan bagaimana hal tersebut bisa saja terjadi. Dalam fiksi, semua adalah kebenaran. Aku sama sekali tak mengerti prinsip-prinsip ruang dan waktu dalam fisika atau apalah nama keilmuannya. Entah ia melintasi persimpangan ruang dan waktu, atau berimpitan dengan lipatan waktu, aku tak tahu. Entah benar atau tidak apa yang dikatakannya pun, aku tak begitu mempedulikannya. Jika benar pun, untung saja ia datang dari masa depan dengan bersepeda dan memberitahu ia datang dari masa depan kepadaku dengan berbisik. Bayangkan ia datang dari masa depan dengan mobil norak DeLorean kemudian berteriak-teriak lantang seperti Yohanes Pembabtis mungkin ia hanya bertahan paling lama sejam. Ia kemudian diarak, dihakimi, dituduh menistakan agama, dirajam dan dibakar massa, kemudian DeLorean akan dijual kiloan ke pengepul besi tua.

    Namun apakah dia satu-satunya orang yang diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu? Bayangkan saja jika ternyata seseorang di sekitar kita adalah orang dari masa depan. Seperti Cak Mahmud pemilik warung kopi ini. Bagaimana jika ia ternyata berasal dari masa sepuluh tahun yang akan datang. Ia tahu bahwa bisnis warung kopi akan melejit karena banyak mahasiswa yang terlalu malas mengolah kopi sendiri untuk mendapatkan kopi yang enak, sedangkan waktu mereka terbatas karena terhimpit tugas-tugas kuliah yang berkejaran menghantui. Kemudian ia kembali ke masa lalu untuk membangun warung kopi yang harganya bersahabat dengan kantong namun keuntungannya dapat ia gunakan untuk hidup yang lebih baik.

    “Aku besok akan menyelamatkan ayahku. Aku akan mengantarkannya sampai depan kantornya dengan selamat, lalu akan kujemput saat pulang.”

    Aku pikir, dia adalah seseorang yang sangat beruntung. Ia diberi kesempatan kembali ke masa lalu dan menyelamatkan nyawa ayahnya dengan semudah itu. Semudah mengantar kerja dan menjemputnya sepulang kantor. Seandainya mendapatkan pacar semudah mengantar dan menjemput, pastilah pabrik motor adalah pihak yang paling beruntung. Membayangkan berapa omzet tambahan yang akan didapat sudah membuat kepalaku pening.

    Sesudah mengatakan itu ia berpamitan untuk pulang. Ia memintaku mendoakannya supaya ia dan ayahnya berhasil selamat. Mungkin ia lupa, aku tak pernah berdoa. Bukan aku tidak ingin satu hal buruk terjadi padanya, tapi jika kau percaya Tuhan Maha Baik, segala sesuatu pasti terjadi dengan baik. Sepintas setelah ia berlalu, aku teringat sebuah teori bahwa kepakan kecil sayap kupu-kupu di Brasil dapat menimbulkan angin puyuh di Texas beberapa bulan kemudian. Apakah yang dilakukannya saat ini benar-benar mampu menyelamatkan ayahnya di kemudian hari? Namun memang dunia tidak berjalan seperti asumsi dan kemauan manusia. Keputusanku untuk tidak berdoa mungkin aku sesali karena esok lusa aku mendapat kabar duka dari jarkom pesan singkat teman sekelas semasa SMA. Ia dan ayahnya meninggal secara mengenaskan karena kecelakaan lalu lintas.

     

    *Gambar adalah digital painting karya Hang

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Lamunan Sepanjang Jalan

    author = Rinandi Dinanta

    Mona memulai hari itu seperti biasa. Bangkit dari tempat tidurnya
    seperti biasa, beranjak ke kamar mandi, membersihkan gigi dan wajah seperti
    biasa, lalu membasuh air wudu dan salat subuh seperti biasa. Langit masih gelap
    saat ia membuka jendela. Udara masuk perlahan, membuat sebagian kulitnya sedikit
    meremang. Ia segera merapikan meja serta kasur sebelum mulai menyiapkan
    kebutuhannya untuk hari itu.

    Dengan tubuh yang telah bersih, berbalut kemeja polos hijau gelap dan
    celana denim yang juga ia pakai di hari sebelumnya, Mona mengunci kamar dan
    melangkah menuju pintu keluar pondokan.

    Jarak yang perlu ia tempuh untuk sampai ke kampus memang tidak terlalu
    jauh. Orangtuanya telah memilihkan rumah pondok, tak jauh di balik perlintasan
    kereta sebelah timur kompleks universitas itu untuk Mona tinggali. Ia tak
    keberatan berjalan kaki beberapa ratus meter setiap pagi, juga sore menjelang
    magrib saat semua aktivitas hariannya telah selesai. Ia tak keberatan tinggal
    di pondokan itu. Semua, seperti hal-hal lain dalam hidupnya, telah dipilih dan
    disiapkan untuk Mona.

    Perempuan itu masih ingat betul bagaimana Bapak terus mendorongnya untuk
    ikut tes penerimaan universitas tempat ia berkuliah kini. Menyiapkan
    berkas-berkas yang diperlukan, juga mengantarkannya di pagi saat ia harus
    mengikuti ujian. Bahkan kemudian menjadi orang pertama yang tahu kalau ia
    diterima, lebih awal dari gadis itu sendiri, sebelum menyampaikan ucapan
    selamat berulang kali. Ibu ikut saja apa kata Bapak. Mona pun sejak awal tak
    tahu bagaimana cara membantahnya, atau sekadar menyampaikan keinginannya untuk
    masuk sekolah desain yang sebenarnya berlokasi sangat dekat dari universitas pilihan
    Bapak.

    Masuk jurusan desain seperti itu
    kamu mau jadi apa
    , Mona
    membayangkan kata-kata Bapak andai ia benar menyampaikan. Kamu udah susah-susah belajar, masuk IPA, langganan peringkat satu,
    jangan cuma jadi tukang gambarlah.
    Jangankan berani menyampaikan. Melihat
    wajah Bapak yang sering gusar saat di rumah saja sudah membuat perasaannya goyah.

    Masalahnya, tak ada laki-laki lain di rumah itu. Padahal, Mona
    membayangkan, tentu situasinya akan berbeda jika ia punya kakak laki-laki.
    Gadis mungil itu pasti bisa dengan lebih leluasa bercerita, dan mencari
    pembelaan dari sosok kakak; yang dibayangkannya akan dengan senang hati
    mendengarkan tiap keluh kesah dan cerita sehari-hari adik perempuan semata
    wayang yang ia punya. Tentu seperti itu kan? Coba lihat Mia, teman SMA Mona,
    yang sejak dulu begitu dekat dengan kakak laki-lakinya. Yang satu-dua kali
    sempat Mona lihat diantar-jemput sang kakak, terutama saat hujan deras setelah
    beberapa ojek online menolak pesanan.
    Sedang Mona? Paling banter hanya menumpang. Dan memperhatikan dari kursi
    belakang, bagaimana bersemangatnya Mia bercerita tentang satu hari yang baru
    saja dilaluinya kepada Aji, kakak laki-lakinya yang menyetir. Termasuk
    bercerita tentang keinginan Mia melanjutkan pendidikan di kampus sastra, suatu
    hari, yang didukung penuh oleh sang kakak.

    Jika punya kakak lelaki, pikir Mona, ia akan memintanya untuk membela perempuan
    itu habis-habisan di depan Bapak.

    Sembari melangkah pada jalan setapak, melewati beberapa warung nasi dan
    kelontong, pikirannya terus berada di tempat lain. Apa yang harus Mona lakukan seharian
    ini? Jam delapan nanti ada kelas Morfologi dan selepas jam satu ia mesti
    menghadiri kelas Pengkajian Drama—sesuatu yang benar-benar tak dipahaminya.
    Lalu pulang selepas asar seperti biasa, atau menyempatkan duduk di area perpustakaan
    sampai menjelang magrib sembari menunggu waktu. Oh, ada tugas untuk kelas besok
    pagi. Ia akan mencari kebutuhan referensinya di perpustakaan nanti.

    Lamunan Mona memudar, ketika disadarinya gerbong-gerbong kereta listrik
    berlalu cepat di hadapannya. Menciptakan gemuruh yang panjang. Embusan udara
    mengenai tubuhnya, sementara wajah-wajah lelaki dan perempuan membuat tiap
    gerbong terlihat sesak melalui kilasan deret jendela. Mona telah sampai di
    perlintasan itu. Setelah memperhatikan lembar-lembar rupiah di kardus dekat pos
    perlintasan, dengan seorang lelaki yang sibuk dengan telepon genggam di
    dalamnya, ia segera berlalu. Dan tiba di halte kecil untuk menyeberang,
    melanjutkan langkah menuju gedung kampusnya. Pikirannya masih sulit berfokus.
    Wajah lelaki yang sengaja ditemuinya minggu lalu di kampus politeknik itu
    membayang.

    Jauh sebelum Mona berkuliah, saat masih di awal bangku SMP, ia bertemu
    untuk pertama kali dengan Heru; tutor ekstrakulikuler yang dipekerjakan oleh sekolahnya.
    Heru berusia 24 tahun saat itu, belum lama menamatkan pendidikan di politeknik negeri
    jurusan desain. Dan saat mulai menjadi tutor di sekolah Mona, telah bekerja beberapa
    waktu di salah satu kantor penerbitan di kota itu. Mona diam saja memperhatikan
    kemeja biru tua Heru, juga rambut pendeknya, saat ia hadir untuk pertama kali
    dan memperkenalkan diri di depan lab komputer sekolah. Membenarkan letak
    kacamata dan membiarkan kata-kata Heru berlalu begitu saja dari pendengarannya.
    Ada sesuatu pada sosoknya, memang, yang membuat Mona begitu sukar mengabaikan. Mungkin
    senyumnya, tatapannya, atau seluruh gestur tubuhnya. Sesuatu yang membuat Mona
    berdegup, sekaligus menghadirkan rasa nyaman yang samar dalam pikiran.

    Mona diam-diam membayangkan, andai ia benar punya kakak lelaki, sosoknya
    pasti seperti Heru. Gaya bicaranya tentu serupa. Kesukaannya pada kemeja lengan
    panjang yang dilipat hingga siku. Potongan rambut pendeknya. Juga, ini yang
    berkali diperhatikan Mona, tahi lalat tipis di sudut kiri bibir lelaki itu.
    Mona seperti pernah melihat sosoknya di suatu tempat, entah kapan. Ia tak ambil
    pusing. Mungkin, hanya kemungkinan, Heru sedikit mengingatkan pada sosok Bapak
    yang dilihatnya suatu waktu dari tumpukan album foto lawas di nakas ruang
    tengah.

    Langkahnya kini telah sampai di area fakultas tempat ia berkuliah. Mona
    berlalu memasuki gedung untuk menuju kelas di lantai dua.

    Sesampainya di ruang kelas, ia memperhatikan satu-dua temannya yang
    telah lebih dulu datang. Padahal masih ada belasan menit lagi sebelum kuliah dimulai.
    Mona tak terlalu akrab dengan mereka. Segera ia berlalu menuju kursi belakang,
    duduk, meletakkan tas kain yang dibawanya di sebelah pundak, lalu mengeluarkan
    beberapa isinya.

    Ibu sempat meneleponnya kemarin malam. Menanyakan kesehatannya, seperti
    apa perkuliahannya semester ini, juga bagaimana teman-teman kuliah Mona.
    Perempuan itu berkata semua baik saja, tentu. Kesehatannya baik, perkuliahannya
    tak ada masalah. Tak mungkin ia berterus terang tentang kondisinya. Tentang
    betapa kalut pikirannya beberapa hari kemarin. Juga, tak mungkin Mona bercerita
    kalau ia, di luar kunjungan pada minggu sebelumnya, sempat  suatu kali mampir ke kompleks politeknik itu. Berdiam
    di sudut dekat gedung perkuliahan, demi bertemu Heru dan membayangkan seperti
    apa kesehariannya jika ia jadi bersekolah di sana. Lelaki itu kini mengajar di
    almamaternya.

    Terlepas dari harapannya yang tak terpenuhi, kesukaannya menggambar sepertinya
    memang tak mungkin diredam. Ia bisa menggambar apa saja, di mana saja, duduk
    diam sambil tangannya bekerja untuk waktu yang lama. Terputus dari realita di
    sekitarnya dan hanyut dalam perasaan dan angan-angan yang mengalir dalam
    pikiran. Seperti saat ini. Sembari menunggu dosen untuk kelas itu datang, Mona
    mencorat-coret buku catatan yang tadi dikeluarkannya. Perlahan membentuk sosok
    laki-laki. Dengan potongan rambut yang sedikit lebih panjang, garis rahang,
    leher, juga pundak yang berbalut kaus. Tapi, sebelum ia mulai menggores wajah,
    suasana kelas seketika memecah pikirannya. Pengampu untuk kuliah pagi itu baru
    saja masuk. Seorang mahasiswa menutup pintu, dan beberapa yang lain mendekat ke
    arah Mona untuk menempati kursi-kursi di sekelilingnya. Kelas segera dimulai.

    Dulu, ada kalanya Heru jadi sering datang ke rumah. Jauh setelah
    kedatangan Heru yang pertama, saat ia langsung bertemu dan berbincang lama
    dengan Bapak dan Ibu di ruang tamu. Seperti pada sore itu, saat Mona sudah
    kelas dua SMA. Dengan izin Ibu, yang mengiringi kepergian mereka dari balik
    pagar garasi, Heru dan Mona pergi berboncengan. Niatnya hanya berputar di
    jalan-jalan protokol, yang sebenarnya, Mona tahu persis, lebih sering dalam
    kondisi macet pada jam-jam menjelang magrib. Juga saat itu masih awal tahun.
    Jadi, selain macet, mereka sempat terkena hujan menjelang akhir perjalanan
    sebelum memutuskan berteduh di minimarket.

    Mona memakai jaket sejak awal. Heru juga. Tapi, keduanya ternyata belum
    cukup terlindung dari hawa di hadapan guyuran air yang deras. Sebagian
    permukaan celana mereka pun sedikit basah. Langit mulai gelap. Sampai kemudian Mona
    berinisiatif meraih lengan Heru. Lalu mendekapnya dengan satu sisi tubuh, sebelum
    menaruh kepala di pundak lelaki itu. Secara perlahan.

    Seorang perempuan paruh baya masih berbicara di depan kelas. Mona sibuk
    mencatat. Pikirannya sesekali beralih pada ilustrasi laki-laki yang tak
    diselesaikannya di pojok kanan buku catatan.

    Malam itu, jauh sebelum sore saat keduanya berteduh di minimarket, Mona
    berdiam di kamarnya selepas magrib. Duduk di kursi belajar sembari menggambar
    ilustrasi berdasarkan wajah salah satu personil kelompok musik Korea
    favoritnya. Tapi benaknya tak berhenti memikirkan Heru. Dibuatnya rambut sosok
    lelaki pada kertas menjadi sedikit lebih pendek, mengikuti potongan rambut
    tutor ekskulnya itu, dan berniat mengakhiri coretannya dengan satu titik kecil
    di sudut bibir yang digambarnya.

    Namun, sebelum Mona selesai dengan aktivitasnya, pintu diketuk. Ibu
    memanggil. Itu tentu ajakan untuk makan malam bersama, batinnya. Saat keluar
    kamar dan sepintas melihat ke arah ruang tamu, ia sadar ada yang berbeda. Ibu bukan
    mengajaknya makan, justru menggiring Mona ke arah depan, memperkenalkan gadis
    itu pada sosok yang duduk di sana. Pada tamu itu. Pada lelaki yang
    diperkenalkan oleh Bapak sebagai adik sepupunya, atau paman Mona. Sebagai saudara
    jauh dari ibu kota yang beberapa bulan ini mulai bekerja di kota tempat
    tinggalnya.

    Mona tak perlu semua informasi itu untuk mengenali sosok lelaki di
    hadapannya. Ia baru saja hendak menyelesaikan gambar wajahnya di kamar, andai
    Ibu tidak mengetuk pintu, dengan potongan rambut dan tahi lalat yang persis
    sama. Itu Heru. Lelaki yang berulang kali dibayangkannya saat melamun, juga sesekali
    terselip dalam angannya saat terpejam.

    *

    Sembari melangkah di antara mahasiswa-mahasiswa lain selepas kelas, Mona
    berusaha mengenyahkan ingatan tentang kejadian beberapa tahun lalu itu dari
    kesadarannya. Heru cinta pertamanya. Mau tak mau terus menempel dalam benak,
    sesekali hadir ke permukaan pikiran meski kadang tak jelas apa pemicunya. Tapi
    perempuan itu harus berdamai dengan perasaannya kini. Dan berhenti melamunkan
    Heru, atau menggambar wajahnya di sela-sela waktu, baik di rumah ataupun kamar
    pondokan. Ia benar-benar harus segera berdamai.

    Mengangkat sebelah tangan, Mona mencoba menghalau terik yang sedikit mengaburkan
    jalan. Lalu berlalu mendekat area kantin kampus yang tak jauh dari gedung
    perkuliahan sebelumnya.

    Mona masih ingat betul bagaimana di minggu sebelumnya ia sempat berkunjung
    ke kampus politeknik itu. Heru memintanya datang dan menunggu di kantin,
    sementara lelaki itu menyelesaikan urusan di kantor jurusan. Mereka harus
    bicara, katanya. Di area yang cenderung tertutup itu, Mona menunggu di sudut
    dekat pintu setelah menaruh es teh manis pesanannya di meja. Perempuan itu
    memperhatikan mahasiswa-mahasiswa di sana. Cara mereka berpakaian. Jenis-jenis
    sepatu yang mereka gunakan. Tak ada payung-payung dan tempat duduk yang teduh
    di antara pohon seperti di kantin kampusnya.

    Saat Heru datang, Mona sudah tahu apa yang akan lelaki itu bicarakan. Ia
    telah mendengar kabar ini dari Ibu sejak jauh hari. Sambil memperhatikan rahang
    yang kini ditumbuhi rambut-rambut tipis itu, Mona teringat bagaimana dulu Heru
    sebagai tutor mendengarkan dengan sabar kendalanya saat mempraktikkan
    penggunaan aplikasi desain di salah satu komputer milik lab sekolah. Berada
    persis di sampingnya, dengan sisi kemeja yang saling bersentuhan, mengambil
    kendali atas mouse dan keyboard setelah gadis itu selesai
    bicara. Dengan aroma sitrus yang samar tercium, perhatian Mona semakin
    teralihkan pada bagian tangan Heru yang terbuka.

    Heru masih kerap berkemeja biru dan melipat dua sisi bagian lengan
    hingga siku. Di kantin politeknik itu, lengan yang sama kini terjulur ke arah
    Mona. Menyerahkan lembar krem dalam plastik tipis transparan, yang kemudian diterimanya
    begitu saja.

    Mona teringat, saat ia telah berada di bangku SMA, berminggu sebelum
    petang di minimarket itu, Heru sekali waktu mampir ke rumah. Bercerita, juga
    pada Ibu yang baru saja meletakkan minuman di meja, kalau ia hendak melanjutkan
    studinya pada jenjang magister, di kampus yang tak terlalu jauh dari sana. Berniat
    lebih banyak mengambil kerja-kerja sampingan untuk menambah uang jajan. Mona
    senang saja mendengarkan Heru. Dan tak menolak saat beberapa waktu kemudian
    lelaki itu sempat mengajak keluar untuk duduk di salah satu warung kopi, demi
    menemaninya mengerjakan satu pesanan desain kartu undangan pernikahan. Dari
    seorang teman, katanya. Mona diam memperhatikan lelaki itu bekerja, berpikir
    tentang betapa menariknya memiliki profesi yang kurang lebih serupa. Juga, sembari
    menghafal kesukaan Heru pada kopi susu tanpa gula, membayangkan betapa
    bahagianya jika ia dapat lebih sering menghabiskan waktu berdua saja seperti itu.

    Tapi peristiwa-peristiwa dalam ingatannya telah jauh berlalu. Mona memperhatikan
    lembar ukuran A5 di tangannya dan mengenali betul kesukaan Heru atas garis ornamen
    dan pilihan font pada desain undangan
    itu. Ada nama Heru dan seorang perempuan di bagian muka. Dan keterangan kalau
    itu ditujukan, dengan hormat, untuk Bapak sekeluarga. Termasuk Mona.

    *

    Di kursi melingkar bawah payung besar yang teduh itu, Mona memaksakan
    suapannya yang kesekian. Setelah nasi dan sedikit lauk selesai dalam kunyahan
    dan hendak ditelan, ia merasa kesulitan. Sendok dan garpu di antara jemarinya
    lantas ditelungkupkan. Mona tak sanggup menyelesaikan makan siangnya.

    Seperti siang pada hari-hari lain, area kantin itu kini dipenuhi
    mahasiswa. Sebagian besar seperti Mona, baru selesai mengikuti perkuliahan. Sebagian
    yang lain sepertinya sudah duduk di tempatnya sejak pagi dan tak memiliki
    agenda apa-apa sampai sore. Bercakap-cakap, dengan suara yang saling tumpuk dan
    berselip, melayang-layang di udara dan sebatas tertangkap telinga sebagai riuh.

    Mona memperhatikan sekitar. Perempuan berambut panjang di tepian jauh terlihat
    tertawa, bersama tiga orang lain di kursi melingkar yang sama. Teman di
    sebelahnya meraih gelas, meminum isinya, lalu melanjutkan obrolan yang membuat
    perempuan tadi kembali terpingkal. Remaja penjual siomai dari sebelah kios
    minuman berjalan ke arah satu payung di sebelahnya dengan piring pesanan dan
    segelas minuman. Sedang seekor kucing kuning menanti dengan sabar, kalau-kalau
    ada potongan lauk yang terjatuh. Atau tersisa di piring saat pemesan telah
    selesai dan meninggalkan.

    Di antara keramaian itu, seorang laki-laki dengan dua teman di
    belakangnya mendekat perlahan ke arah Mona. Membawa pesanan masing-masing dari area
    dalam kantin. Payung-payung lain memang telah penuh ditempati. Dan mereka
    berniat meminta Mona berbagi kursi.

    Setelah tersenyum mempersilakan, perempuan itu segera berkemas. Melanjutkan
    langkahnya menuju masjid kecil tak jauh dari sana, sembari samar-samar teringat
    akan pesan Bapak. Dulu, saat Mona selesai mendapat menstruasi pertamanya, untuk
    mulai tidak melewatkan salat. Tentu tiap tidak berhalangan. Sosok Bapak
    seketika terbayang.

    Beberapa tahun sebelumnya, saat masih kelas dua sekolah dasar, Mona pernah
    melihat Bapak duduk di ruang tamu malam-malam. Seorang diri, dengan wajah dan
    gestur yang sulit diterka. Bapak memegang beberapa berkas. Dan saat Mona
    mendekat untuk memulai percakapan, Bapak menerangkan panjang lebar tentang hal
    yang waktu itu belum benar-benar dipahami olehnya. Tentang ibu kota dan
    kesempatan yang terbuka bagi karier Bapak di perusahaan tempatnya bekerja.
    Tentang Mona yang harus menjaga Ibu di rumah dan berperilaku baik selama Bapak
    tak ada. Salah satu berkas, baru dipahami Mona kemudian, berisi keterangan
    kalau Bapak akan dipindah tugaskan.

    Bapak hanya terlihat di rumah pada akhir pekan setelah malam itu.
    Percakapan dengannya tak lagi sesering dulu, hanya tersambung via telepon
    sekali waktu.  Atau saat Mona sempat
    berkunjung ke kantor dan mes kediaman Bapak, terbatas pada hari-hari libur
    sekolah. Tak ada sosok Bapak saat malam di hari-hari biasa, yang sebelumnya
    begitu mudah ditemui di depan televisi. Tak ada pangkuan di kursi depan, tempat
    biasa Bapak mendekap dan mengelus pelan rambut Mona seperti waktu-waktu
    sebelumnya, saat ia belum bersekolah.

    Sembari melipat mukena yang baru saja ia gunakan, Mona berpikir tentang
    kemungkinan untuk melewatkan mata kuliah selanjutnya dan beristirahat di tempat
    itu. Masjid, sekecil apa pun, selalu menyediakan hawa sejuk yang ia suka. Dan
    dari tadi Mona lihat, tempat itu cenderung sepi. Terutama di area khusus
    perempuan.

    Mona memperhatikan karpet masjid yang sepertinya baru saja diganti. Seketika,
    ingatan tentang Bapak membuatnya kembali bertanya. Kapan terakhir kali mereka
    bertemu dan saling berbicara?

    Jauh di dalam hatinya, Mona selalu berharap dapat melakukan hal baik untuk
    Bapak. Atau, minimal membuat pertemuan-pertemuan mereka menjadi kerap. Setelah
    Mona diterima di kampus itu dan mulai menempati kamar pondokannya, ia
    membayangkan tentu akan lebih mudah kini baginya untuk berkunjung ke kediaman
    Bapak. Mona bisa naik kereta listrik, misalnya, lalu menempuh jarak yang
    sebenarnya tidak terlalu jauh dan sampai di ibu kota. Atau, Mona selalu
    berharap Bapak mau berinisiatif untuk sering menengoknya di akhir pekan, atau
    di malam hari-hari biasa, demi sekadar menyempatkan bertemu dan makan malam
    bersama. Nyatanya, hal-hal seperti itu jarang sekali terjadi. Pun Bapak kini
    lebih sering melewatkan kesempatan pulang di akhir pekan; membuat perempuan itu
    mencari travel dan berangkat seorang
    diri demi bertemu Ibu.

    Sekali waktu Mona sempat berkabar ingin berkunjung di hari biasa, Bapak
    membalasnya dengan informasi kalau ia sedang tak ada di mes. Entah sedang
    keluar dengan kolega kantor, menghadiri acara makan malam bersama. Atau,
    seperti beberapa hari lalu, saat ia berencana menyerahkan undangan Heru
    langsung pada Bapak, masih di lokasi klien demi mempercepat jalannya proyek.

    Azan sayup-sayup terdengar. Mona perlahan membuka mata, mendapati
    satu-dua orang telah mulai bersiap. Kepalanya terasa berat seketika. Suara panggilan
    salat itu semakin jelas tertangkap telinga.

    Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, ia meraih tas dan memutuskan
    untuk segera menuju perpustakaan.

    *

    Di saat-saat seperti ini, Mona ingin sekali pulang. Berdiam di kamar,
    atau sekadar memperhatikan Ibu yang selalu bersemangat membuatkan makanan saat ia
    di rumah. Sembari tetap menyiapkan bahan untuk dimasak, Ibu biasanya memulai
    percakapan. Mona memperhatikan saja; rambut terurai Ibu, punggung berbalut kain
    daster, serta tangan yang lincah dengan peralatan dapur. Saat ia hendak ikut
    membantu, Ibu menyarankannya untuk duduk tenang. Atau, di waktu tertentu,
    menyerahkan cobek dan bumbu-bumbu dasar yang perlu segera dilumatkan. Mona
    diam-diam menghafal apa-apa saja yang harus disiapkan untuk masakan jenis-jenis
    tertentu, serta beberapa pola bumbu dasarnya.

    Namun, dengan situasi di antara keduanya setelah sambungan telepon
    semalam, Mona begitu enggan bertemu Ibu di rumah. Apa yang harus dikatakannya
    andai Ibu kembali bertanya tentang tawaran itu?

    “Mbak,” seorang perempuan memanggil. “Mbak!”

    Mona terkesiap. Lamunannya memudar. Ia ada dalam satu antrean pada loket
    peminjaman buku di perpustakaan dan sedari tadi tak sadar kalau telah tiba
    gilirannya untuk maju dan mendaftarkan judul-judul yang hendak dibawa pulang.
    Dengan tiga buku dalam pelukannya ia melangkah maju. Berencana menyelesaikan
    tugas untuk besok pagi di kamar pondokannya nanti malam. Atau dini hari setelah
    ia menyempatkan beristirahat.

    *

    Di belakang gedung perpustakaan terdapat pohon besar yang memayungi area
    undakan melingkar, tempat orang-orang biasa duduk atau melakukan hal-hal lain
    dengan satu-dua teman. Atau, tentu saja, pasangan. Mona terhenti di area itu,
    memperhatikan danau buatan yang tak jauh, lalu memilih salah satu sisi undakan
    dan duduk di sana. Ia menaruh buku-buku yang dibawanya, melepas tas kain hitam
    dari pundak untuk diletakkan di pangkuan.

    Langit sudah tak seterang tadi siang. Diperhatikannya beberapa orang saling
    bercengkerama di seberang, juga pasangan yang berbicara dan tersenyum di sisi
    lain undakan.

    Tiap Mona ada di bawah pohon besar itu, tak jarang ia membayangkan suatu
    hari bisa menikmati waktu luang bersama Heru di sana. Duduk berdua seperti
    pasangan yang dilihatnya di sisi jauh undakan, berbicara tentang hari-hari yang
    dilalui, sembari sesekali memperhatikan wajah serta pakaian lelaki itu dan
    memastikan tak ada yang keliru dengan pesanan kopi yang dibawanya dari kedai di
    area perpustakaan. Atau, Mona bisa membawa Heru duduk di tepi jendela bagian
    dalam kedai kopi, menemaninya bekerja seperti dulu saat ia masih SMA. Tapi hingga
    kini ia selalu seorang diri di bawah pohon besar itu. Tak ada Heru. Teman-teman
    kuliahnya pun tak pernah ia temui duduk berlama-lama di undakan, juga di area
    dalam kedai kopi persis di sampingnya.

    Beberapa mahasiswa dengan alat musik di sisi undakan dekat danau mulai
    memainkan komposisi yang asing di telinga Mona—seorang bermain biola, seorang
    lain gitar. Wajah Heru sekilas berkelebat di benaknya. Mona berusaha memikirkan
    hal lain hingga bayangan itu berlalu.

    Agak lama Mona duduk di undakan, sampai ia memperhatikan jam di
    tangannya dan menyadari bahwa kini telah lewat jauh dari pukul lima. Perempuan
    itu perlahan meraih buku-buku di sampingnya dan beranjak dari sana. Berjalan
    menyusuri setapak melalui parkiran motor, hingga trotoar panjang di seberang
    masjid besar; menuju area pondokannya di belakang perlintasan kereta.
    Orang-orang sekali waktu berpapasan dengannya di jalur itu, berjalan menuju
    arah yang sebaliknya.

    Sembari terus melangkah, suara Ibu saat meneleponnya kemarin malam terbayang
    dalam pikiran. Telepon yang awalnya Mona kira sebagai sesuatu yang biasa, seperti
    saat Ibu menelepon di waktu-waktu lain.

    Malam itu, Ibu khusus menghubunginya untuk menawarkan sesuatu. Terlebih
    dulu bercerita tentang usianya yang tak lagi remaja, dan bagaimana dulu Ibu
    menerima pinangan Bapak pada umur yang masih sangat muda. Lebih belia dari usia
    Mona saat ini. Tentang bagaimana pernikahan itu baik, dan tentu tak ada yang
    sempurna. Salah satu, kalau tidak keduanya, perlu mengalah atau berkompromi pada
    apa pun demi hubungan yang terjaga hingga hari tua. Dan perkenalan selalu bisa
    terjalin sembari menjalani, termasuk dalam pernikahan.

    Perasaan Mona semakin tak keruan. Ia mengerti ke arah mana cerita Ibu
    bermuara.

    Tak lama setelah bercerita tentang pernikahan, termasuk yang dimilikinya
    bersama Bapak, Ibu terdiam lama pada sambungan telepon. Mona tak ingin memecah
    keheningan itu. Sekilas, ia berharap, Ibu bisa menerka keberatan Mona, pada apa
    pun yang akan hadir dari tawaran Ibu. Dan kekhawatiran Mona persis terbukti.
    Ibu menawari Mona untuk berkenalan dengan anak salah seorang teman karib Bapak.
    Teman sekolah dulu saat masih tinggal di daerah bersama Nenek. Teman yang Bapak
    yakin betul bisa mendidik anak lelakinya sebagai calon suami yang bertanggung
    jawab dan berperilaku baik pada Mona.

    “Kenalan dulu kan nggak apa-apa? Nggak harus habis itu cocok langsung
    nikah. Kalau ternyata nggak cocok bisa jadi teman, Mon,” ucap Ibu.

    Lamunan itu perlahan memudar. Mona kini telah sampai di tepi, di mana ia
    harus melangkah mengikuti jalur penyeberangan untuk sampai di setapak perlintasan
    kereta. Kendaraan sesekali berlalu di hadapannya. Ia mulai menapak di jalan
    beraspal dan perlahan menjauh dari tempatnya semula.

    Namun, setelah langkahnya kembali tiba di trotoar, Mona terhenti di
    halte itu. Sejenak terdiam, lalu duduk dan memandang jauh ke arah seberang; ke
    arah gedung-gedung kuliah di sebelah parkiran masjid besar. Terpikir dalam
    benaknya tentang apa-apa yang mungkin keliru dari hidupnya. Sembari tetap
    menjaga buku dalam pelukan, Mona melamunkan perasaannya pada Heru. Keinginannya
    untuk bertemu Bapak. Keengganannya menghadapi Ibu di rumah setelah ia tak
    menjawab tawaran itu. Perkuliahan yang tak pernah disukainya. Orang-orang yang
    sebagian besar tak dikenal Mona di kampus, pun di kota itu. Wajah Heru. Senyumnya.
    Wangi sitrus yang menguar dari balik kemejanya. Momen-momen saat mereka
    berboncengan mengitari jalan protokol di kota Mona. Juga undangan pernikahan
    yang tak sanggup dilihatnya lagi di laci meja belajar kamar pondokan.

    Ia merasa begitu sendiri kini. Mendambahkan sesuatu yang telah jauh terlepas,
    sesuatu yang entah apa. Entah kapan atau di mana. Sesuatu yang terasa
    terenggut, entah oleh siapa.

    Tak lama, tanda peringatan terdengar mendekat dari kejauhan. Rangkaian
    kereta segera melintas di balik pagar dan tubuh Mona, menghasilkan deru yang bergulung-gulung.
    Wajah-wajah lelah tertangkap matanya saat Mona menoleh ke arah belakang.
    Laki-laki dan perempuan. Berkilas dan begitu cepat berlalu.

    Air matanya menetes. Ia buru-buru menyekanya dan bangkit. Lalu
    melanjutkan rute pulang.

  • Kutukan Medusa

    author = Rosyid H. Dimas

    Sejak Medusa mengangkat sauh dari Rochefort pada 17 Juni 1816, Samantha sudah merengek kepadaku, mengapa kami tidak menumpangi Loire, Argus, atau Echo. Kujelaskan kepadanya bahwa hanya Medusa yang difungsikan sebagai kapal penumpang dalam konvoi ini. Dia perempuan penakut, memang. Alih-alih kagum oleh kemegahan Medusa yang pernah berlayar ke Hindia Timur saat pemerintahan Napoleon, dia justru terbayang kepala penuh ular milik anak dewa Forkis yang mati oleh Perseus.

    “Nama adalah doa. Oleh sebab itu kita dibaptis dengan nama-nama yang baik milik orang-orang kudus. Dan kebaikan apa yang ingin diambil dari nama Medusa? Dia tidak lebih hanya akan membawa kutukan dan kesialan.”

    Begitu gerutu Samantha kepadaku dalam bisik yang tidak ingin didengar banyak orang. Maka, sebab perasaan was-was yang menyelimuti hatinya, sejak kapal bergerak meninggalkan daratan Prancis, Samantha lebih banyak membuat tanda salib dan berdoa untuk keselamatan semua orang di atas kapal.

    Medusa yang kami tumpangi beserta tiga kapal yang lain sedang dalam perjalanan menuju Afrika. Kami dikirim oleh Raja Louis XVIII untuk mengisi kembali koloni Senegal, sebuah daratan di Afrika Barat. Kudengar dari seorang kelasi, Medusa membawa kurang lebih 400 penumpang terdiri dari warga biasa seperti aku dan Samantha, kelasi, ilmuwan, serdadu infanteri, dan para pejabat pemerintahan termasuk Kolonel Julien-Desire Schmaltz yang akan menjadi gubernur Senegal. Tuan Hugueus Duroy de Chaumareys dipilih oleh Raja Louis untuk menahkodai Medusa. Sebuah keputusan yang tidak memuaskan, menurutku. Sebab kudengar Tuan Chaumareys sudah hampir 20 tahun tidak lagi menghirup udara laut. Samantha sendiri, meski hanya istri seorang tukang kayu, meragukan kemampuan Tuan Chaumareys untuk perintah itu. Pisau yang tidak pernah dipakai dan diasah bisa menjadi tumpul, katanya.

    Selama sepuluh hari Medusa berlayar seperti ikan marlin raksasa yang membelah lautan. Badan kapal yang tidak terlalu banyak membawa barang berat dan meriam artileri membuat Medusa bergerak lebih cepat dari Loire, Argus, dan Echo. Kulihat orang-orang bergembira di dalam cawan dan guci anggur sembari membuat nyanyi-nyanyian untuk Prancis, Raja Louis, dan diri mereka sendiri. Sementara Samantha selalu menggamit lenganku dan tangan kanannya menggenggam rosario dari kayu ara yang kubuat untuk hadiah ulang tahunnya.

    “Semua akan baik-baik saja,” kataku menenangkannya. “Tidak usah terlalu risau.”

    “Di laut, tidak ada yang tahu keselamatan kita, Vienny. Terlebih kita berada di atas Medusa. Laut seperti maut yang dikutuk menjadi genangan air.”

    “Kalimat yang indah, ma cherie. Apa kau membuatnya sendiri?”

    “Tentu saja. Apa kau lupa sudah menikahi perempuan pembaca roman?”

    Aku tertawa disusul Samantha yang akhirnya menarik kedua bibir kecilnya. Kami berjalan-jalan mendekati buritan, menyaksikan lanskap laut lepas yang menyatu dengan biru langit. Seorang kelasi kapal melintas di depan kami dan kutahan langkahnya untuk menanyakan sudah sampai manakah Medusa berlayar.

    “Madeira,” jawabnya dengan suara berat. “Duduklah dengan manis, Kamerad. Kapten Chaumareys mengambil jalur tercepat untuk membawa kita ke Senegal. Ya, meski sebenarnya itu sedikit berbahaya.”

    “Apa maksudmu dengan berbahaya?” Samantha memotong dengan raut muka tertekuk.

    “Rute yang akan kita lewati berupa perairan dangkal yang dipenuhi gundukan pasir dan batu karang.”

    “Ya, Tuhan!” pekik Samantha meremas lenganku. Ada keputusasaan yang mengaliri urat-urat mata birunya.

    “Tidakkah kalian memberi tahu kapten?” aku bertanya.

    “Hanya suara kelasi, siapa yang mau mendengarkan?” dia mengedikkan bahu lalu pergi kembali kepada teman-temannya sesama kelasi. Dalam sepuluh langkah dia berbalik dan berteriak kepada kami, “Berdoalah untuk keselamatan kalian, Kamerad.” Dia lalu lenyap setelah melewati segerombolan serdadu infanteri yang sedang menikmati waktu luang dengan cerutu dan anggur.

    Samantha memutar rosario. Kupeluk tubuhnya yang mungil untuk memberi ketenangan. Selama beberapa saat kami terdiam dalam doa-doa yang ditingkahi angin dan pecahan ombak. Suara orang-orang di atas kapal seperti lenyap dari telinga kami. Tapi di tengah-tengah keheningan itu, Samantha melepaskan pelukan tangannya dan berseru kepadaku.

    “Hei, Vienny, apakah itu Argus ataukah Loire?” Samantha menunjuk sebuah kapal yang terlihat kecil di kejauhan.

    “Kukira itu Echo,” kuperhatikan kapal yang ditunjuk Samantha dengan saksama. Kapal yang kuduga Echo itu terlihat merubah arah haluan dan menjauh dari Medusa.

    “Mereka tidak mengikuti kita, Vienny.”

    ***

    Tanggal 2 Juli. Terjadi kegaduhan kecil di sekelompok kelasi yang sedang beristirahat dari pekerjaan mereka. Aku yang tak sengaja mendengar keributan itu segera meninggalkan Samantha bersama seorang istri tukang batu bernama Maelis untuk menghampiri para kelasi.

    “Kapten bodoh,” seorang kelasi mengumpat setelah berhasil menyobek sepotong roti. “Apa yang bisa dilakukan orang banyak omong itu?”

    “Ada masalah, Kamerad?” tanyaku memotong percakapan.

    Seorang kelasi yang kutemui di buritan kemarin rupanya ada di sana. Dia menyapaku lalu memberikan sepotong roti dan secawan anggur. Dia sempat menanyakan istriku yang kemudian kutunjukkan di mana Samantha sedang berdiri dan bercengkerama dengan seorang perempuan.

    “Kapten Chaumareys menunjuk seorang bependidikan untuk mengawasi navigasi,” katanya acuh tak acuh. “Siapa namanya, Edmond?”

    “Richefort,” jawab seorang kelasi bernama Edmond.

    “Tapi, bukankah itu bagus?”

    “Bagus, katamu?” dia mengernyitkan dahi kepadaku. “Memang, kudengar Richefort tahu banyak hal tentang Afrika dan jalur pelayaran ke sana. Tapi, meski dia berpendidikan dan berpengetahuan tinggi, dia tidak tahu apa-apa soal navigasi. Dia bukanlah pelaut yang bisa membaca cuaca dan arah angin.”

    “Tapi, Kamerad, barangkali dengan pengetahuannya itu dia bisa cukup berguna untuk membantu kapten yang mungkin sudah lupa cara menjadi pelaut,” aku berusaha menyusun pikiran baik.

    “Ah, laut tidak sesederhana pengetahuanmu, Kamerad. Orang-orang seperti Richefort selalu berusaha menciptakan teori-teori tentang alam dan menulisnya ke dalam buku agar bisa dibaca dan dihafal dengan mudah. Mereka cenderung menganggap alam seperti mesin yang bisa ditebak cara kerjanya. Padahal alam juga hidup seperti kita. Laut, misalnya. Jika kau melihat langit berwarna biru bersih dan hanya dihiasi beberapa awan putih seperti domba pemakaman, kau akan mengira itu hari yang baik untuk menangkap ikan. Padahal, dari tempat yang jauh awan badai sedang berjalan dan bersiap-siap melumat perahumu. Tapi, jika kau pelaut sejati, kau akan merasakan kecepatan angin, bau udara, dan warna langit yang berubah sebelum badai itu datang kepadamu. Dan kau bisa selamat, kembali kepada istrimu. Oh, bukan, rupanya dia yang kembali kepadamu, Kamerad.”

    Lelaki kelasi menunjuk ke belakang punggungku. Aku berbalik dan kulihat Samantha berlari-lari kecil menghampiriku dengan raut muka penuh ketakutan. Samantha menarik lenganku dan membawaku ke bagian tubir kapal. Di bawah, kulihat warna air berubah menjadi keruh dan kecoklatan, seperti lumpur kolam yang berusaha naik ke permukaan saat sebuah batu dijatuhkan. Lalu terdengar suara benturan. Badan Medusa terbanting miring yang segera mengakibatkan kepanikan orang-orang di atasnya. Segera kuraih lengan Samantha dan membawanya menjauh dari tepian kapal. Medusa segera dipenuhi kegaduhan. Dan ketika seorang kelasi mengumumkan bahwa bagian kemudi kapal sudah tidak bisa digunakan, orang-orang segera berdoa untuk keselamatan dirinya masing-masing.

    “Sudah kukatakan, Vienny, Medusa membawa kutukan Athena,” suara Samantha terdengar putus asa. Ia berkali-kali membuat tanda salib.

    Kulihat Kapten Chaumareys bersama Tuan Schmaltz dan beberapa kelasi sedang  melakukan perundingan. Para pejabat dan orang-orang kelas tinggi menuntut kapten untuk segera mengambil keputusan, sementara orang-orang biasa berdoa dan menggenggam tangan orang yang dikasihi masing-masing.

    “Sudah diputuskan,” suara kapten Chaumareys melengking. “Sebab jumlah sekoci yang terbatas, maka, atas pemikiran Tuan Schmaltz yang cemerlang, kita akan membuat rakit dari dek kapal dan meninggalkan Medusa.”

    Selama beberapa hari kami membongkar kayu-kayu dek Medusa dan menyatukannya menjadi sebuah rakit raksasa. Pada hari keempat rakit akhirnya diturunkan atas perintah Kapten Chaumareys karena ombak dan angin yang kuat terus menekan Medusa hingga membuatnya berderak dan retak. Para serdadu, kelasi, dan orang-orang dengan kelas rendah segera menaiki rakit yang ketika kami menginjakkan kaki di atasnya sudah sedikit tenggelam di permukaan air. Sementara itu, orang-orang dengan status sosial yang lebih tinggi menumpangi enam sekoci yang menarik rakit dengan tali-tali tambang dan mereka membawa perbekalan makanan dan minuman yang lebih banyak. Aku dan Samantha akhirnya berpisah dengan kelasi kenalan kami yang memutuskan untuk tetap bertahan di badan Medusa bersama enam belas orang yang lain.

    ***

    Hari kedua di atas rakit. Perbekalan kami sudah hampir habis bahkan pada malam pertama. Tidak ada gentong berisi air tawar yang kami bawa selain guci-guci berisi anggur. Semua orang mulai diserang haus dan rasa lapar. Suara-suara mulai melengking meminta belas kasih dan makanan dari sekoci yang menarik rakit, tapi orang-orang tinggi di sana tidak menghiraukan sama sekali. Beruntung, pada hari perpisahan kami, kelasi yang akhirnya kuketahui bernama Marc itu memberikan sekantong air. Aku hanya meminum sedikit dari kantong itu dan lebih banyak menelan ludah sendiri sebab Samantha lebih membutuhkannya.

    Tiba-tiba rakit berhenti bergerak. Tali-tali tambang rupanya telah dilepas dari sekoci dan kini mengambang seperti cacing raksasa di atas gelombang air laut.

    “Apa yang terjadi, Vienny?” Samantha merengkuh lenganku.

    “Oh, apa yang mereka pikirkan?” aku mengeluh. “Mengapa mereka melepas tali-talinya?”

    Rakit yang tanpa dayung dan kemudi akhirnya terombang-ambing di tengah lautan. Keenam sekoci yang awalnya menarik rakit kini berlalu meninggalkan kami. Semua orang panik seketika. Umpatan-umpatan melayang di udara ditingkahi gelombang yang pecah saat membentur kayu rakit. Tak ada yang bisa kami lakukan selain hanya berdoa dan membuat pengakuan dosa. Ketika kami tenggelam dalam lautan keputusasaan yang dalam dan sekoci-sekoci itu sudah lama lenyap dari pandangan, sebuah nasib buruk tiba-tiba terjadi. Langit mendadak dipenuhi awan gelap yang kurasakan begitu dekat dengan ubun-ubunku. Angin bergerak kencang dan gelombang mulai mengganas. Aku kemudian teringat kata-kata Marc tentang badai yang biasa melumat kapal-kapal. Kupeluk Samantha dan berbisik di dekat telinganya, “Kau benar, Samantha. Kita terjatuh dalam kutukan. Teruslah berdoa.”

    Orang-orang kini mulai berebut bagian tengah rakit yang akan jauh lebih aman saat badai menyerang. Pertengkaran-pertengkaran pun timbul yang mengakibatkan beberapa orang terjatuh dari badan rakit. Tidak lama kemudian, badai akhirnya datang dengan gelombang yang tinggi.

    “Berpeganglah, Samantha!”

    “Ya, Tuhan, kutukan macam apa ini?” Samantha menjerit. “Mengapa tidak kapten dan tuan yang bodoh itu saja yang Kau lumat dengan badaiMu?!”

    Samantha benar-benar putus asa. Ketabahan yang biasa ia tunjukkan dalam menjalani apa pun seolah-olah sirna seketika itu juga.

    “Berdoalah, Samantha, berdoalah!” ucapku berkali-kali.

    “Ya, ya, berdoa dan membuat pengakuan dosa.”

    Rakit terus berayun-ayun seperti permainan anak-anak. Kami seperti bergerak menaiki langit kemudian terjatuh kembali ke permukaan air. Di pelukanku, Samantha terus memutar rosario yang akhirnya bergeming dalam kepasrahan seorang padri. Hingga, semuanya berlangsung begitu cepat, pada tarikan ombak tinggi yang entah keberapa kali, semua pelukan dan genggaman tangan akhirnya terlepas. Aku, sepertinya pingsan dalam waktu cukup lama, menemukan diriku berada tidak jauh dari tepi rakit, sementara Samantha, aku hanya menemukan rosarionya beralih ke tanganku. Aku berdiri dengan kepala berat. Kuteriakkan nama Samantha membelah kerumunan orang yang kusadari semakin menyusut jumlahnya. Kususuri bagian-bagian rakit, tapi tidak kutemukan istriku yang bermata biru itu. Mataku pecah seketika.Â

    “Kau kehilangan seseorang, Kamerad?” seorang serdadu menepuk bahuku dan menghentikan tangisanku sejenak.

    “Ya, seorang istri. Istri yang sangat baik.”

    “Bersabarlah. Aku juga kehilangan teman akrabku.” Ia lalu pergi dan berkumpul dengan serdadu infanteri yang lain.

    Gumpalan awan hitam perlahan-lahan lenyap bersamaan akhir misa requiem simbolik yang kulakukan untuk Samantha. Matahari menyala kembali dan segera membakar kami dengan cahayanya yang terik. Perasaan kehilangan yang sebelumnya menyelubungi kebanyakan orang kini dihempaskan oleh kebutuhan manusiawi, lapar. Aku berkumpul dengan orang-orang biasa berkelas sosial rendah. Di tengah deraan haus dan lapar, timbul persoalan baru. Orang-orang mulai bermusuhan dan menaruh curiga kepada siapa yang diduga menyembunyikan bekal makanan. Hampir setiap hari terjadi perkelahian antara serdadu dengan kelasi, orang berkelas tinggi dengan yang berkelas rendah, dan sebagian besar selalu menjatuhkan korban tak bernyawa. Dalam keputusasaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, banyak orang-orang akhirnya memutuskan bunuh diri dengan tembakan karaben atau melompat ke haribaan laut, sementara yang lain bertahan dengan memakan kain baju atau kulit dari topi dan sepatu masing-masing. Dan yang mengerikan, aku mual saat melihat ini, beberapa orang akhirnya memakan daging dari mayat-mayat yang bergelimpangan sebab perkelahian di atas rakit.

    ***

    Kutukan Medusa seperti yang dikatakan Samantha, masih bekerja meski sudah lama kami meninggalkan kapal setan itu. Entah sudah berapa hari kami terombang-ambing di atas rakit dengan tubuh yang menyedihkan. Aku berusaha menghitung orang-orang yang tersisa yang kukira tidak lebih dari dua puluh dan seluruhnya telanjang sebab baju-baju yang telah mengganjal perut. Tidak ada percakapan. Tidak ada lagi perkelahian. Tapi, sepasang mata kami yang kini cekung berusaha tetap waspada sebab mayat-mayat yang menjadi persediaan makanan mulai membusuk. Dan jalan satu-satunya untuk mendapatkan daging segar adalah membunuh salah seorang di antara kami.

    Pada awalnya aku bergidik saat melihat orang-orang menjadi kanibal dengan memakan mayat-mayat di atas rakit yang tentu saja itu perbuatan dosa. Namun, akhirnya aku menyerah pada sifat-sifat kemanusiaanku sendiri. Rasa lapar perlu dituntaskan. Dan saat kulihat mereka yang menyantap daging orang mati akhirnya memiliki kekuatan lebih daripada yang hanya memakan kain, kulit topi atau sepatu, aku pun memutuskan mengikuti apa yang mereka lakukan. Kugigit begitu saja daging-daging yang pucat itu. Sesekali kubersihkan daging dengan air laut jika baunya sudah mulai berubah anyir. Rasanya, ah, siapa yang memikirkan rasa dalam keadaan sekarat begini rupa? Akhirnya aku dan beberapa orang yang lain masih bisa bertahan hingga sekarang. Meski, jujur saja, jika para pelaut menemukan dan melihat tubuh kami yang serupa mayat hidup, barangkali mereka akan menyangka kami sebagai iblis lautan.

    Kini rasa lapar mencengkeram kembali perutku. Aku berdiri dan berjalan-jalan mengelilingi rakit berusaha mencari mayat yang masih sedikit segar, tapi yang kutemukan hanyalah daging-daging yang sudah berlendir. Pada satu mayat aku akhirnya memaksakan diri untuk membuat gigitan. Dengan menahan napas, kutelan daging yang telah membusuk ke dalam perutku. Lambungku menerimanya selama beberapa saat, tapi kemudian mengeluarkannya kembali dalam muntahan berwarna hijau kecoklatan dan berbau menyengat.

    “Tidak seharusnya kau memakan daging busuk.”

    Seseorang tiba-tiba berada di belakangku. Aku berbalik dan segera memasang sikap waspada darinya.

    “Tidak usah takut. Aku tidak ingin memakanmu. Justru aku ingin mengajakmu bekerja sama.” Ia duduk bersejajar denganku. “Apa itu? Sebuah rosario?” telunjuknya menunjuk rosario di pergelangan tanganku.

    “Ya. Ini milik istriku. Dia hilang saat badai mengamuk kemarin.”

    “Oh, semoga dia beristirahat dengan kekal. Aku turut berduka.”

    Kami diam beberapa saat. Laut masih bekerja seperti biasanya. Bergelombang dan menakutkan. Di atas kami, matahari mulai menjatuhkan panasnya untuk membakar kulit kami kembali.

    “Tidakkah kau lapar, Kamerad?” tanyanya kembali membuka percakapan.

    “Semua orang sedang kelaparan,” jawabku. “Apa yang kau inginkan dariku?”

    “Kau bisa melihat sendiri. Kita sudah tidak memiliki persediaan makanan lagi. Mayat-mayat sudah membusuk. Akan lebih baik jika kita bekerja sama untuk melakukan pemberontakan.”

    “Maksudmu?”

    “Semua orang sudah bersikap soliter. Menyendiri dan memikirkan diri sendiri. Kita bisa membunuh seseorang untuk mendapatkan daging segar.”

    “Bukankah seharusnya kau bisa melakukannya sendiri?”

    “Seharusnya begitu. Tapi aku takut hasilnya akan berkebalikan dan justru aku sendiri yang menjadi santapan. Bagaimana?” ia melirikku. “Apakah kau mau bekerja sama? Kita bisa mulai dari si lemah itu,” ia menunjuk seseorang yang sedang terlentang di salah satu sudut rakit.

    Kuamati seseorang yang ia tunjuk. Orang itu kurus. Ya, tentu saja. Meski begitu, setidaknya sisa daging yang ia miliki bisa membuat kami tetap bertahan hidup. Oh, perutku semakin melilit.

    “Kita bisa berbagi,” lanjut lelaki di sampingku lagi. “Kau bisa mengambil bagian atas tubuhnya dan aku bagian bawah, atau sebaliknya. Atau kita bisa membaginya dengan bagian kiri dan kanan. Tapi itu bisa kita bicarakan nanti setelah orang itu mati. Bagaimana?”

    Sebab rasa lapar yang tidak bisa kutahan lagi, aku akhirnya menerima tawaran itu dengan tangan terbuka.

    “Kiri dan kanan. Sepakat!” seruku.

    “Baiklah. Kalau begitu mari kita mulai bekerja.”

    Lelaki di sampingku yang kini menjadi rekanku berdiri lalu menghampiri terget kami. Aku mengikutinya dari belakang. Ketika kami sudah dekat dengan orang yang kami tuju, ia yang mulanya menelentangkan tubuh segera bangkit dan memandangi kami dengan sikap waspada. Rekanku terus maju dan bersiap menyergapnya, tapi target kami justru menyongsong lebih dulu. Mungkin ia mengerti kalau bertahan tidak akan ada gunanya, sementara menyerang bisa membuatnya memiliki persediaan makanan. Rekanku akhirnya roboh dalam sekali pukul. Aku berusaha membantu, tapi sebuah tendangan yang sebenarnya tidak terlalu bertenaga berhasil membuatku terjatuh. Rupanya kami salah memilih target. Ia tidak selemah yang kami bayangkan. Atau, barangkali dia adalah serdadu yang sudah terlatih kemampuannya untuk mempertahankan diri.

    Kami bertarung dalam waktu cukup lama. Orang-orang di bagian rakit yang lain hanya melihat kami dengan tatapan murung. Seolah-olah mereka menunggu salah seorang dari kami mati lalu mereka meminta bagian daging. Rasa lapar rupanya membuat tubuhku tidak mampu bertahan lebih lama. Sebuah pukulan tepat di pelipis membuatku terkapar di antara mayat-mayat yang membusuk. Kini aku hanya bisa melihat rekanku dan orang itu saling banting. Lalu, ketika target kami itu berhasil terjatuh, ia tiba-tiba kembali berdiri dengan sepucuk pistol yang entah dari mana didapatkannya. Sebuah keberuntungan pistol itu masih bekerja. Karena, aku mendengar suara letusan dan rekanku akhirnya roboh.

    Lima orang segera berdiri mengelilingiku. Aku melihat mulut mereka terbuka dan mata-mata cekung itu menyala. Aku tahu hidupku akan segera berakhir. Tubuhku akan tercabik-cabik dan masuk ke dalam lambung mereka masing-masing. Maka kulepas rosario dari pergelangan tanganku lalu memutarnya dengan lemah sembari mengingat Samanthaku yang manis.

    “Oh, kutukan kapal setan! Akhirnya aku menemuimu, Samantha.”

    Orang-orang itu lantas berjongkok. Seperti anjing-anjing kelaparan, mereka menautkan mulut-mulut yang kering pada bagian-bagian tubuhku. Ketika seseorang berhasil mengoyak daging lenganku, aku hanya bisa mengeluarkan pekik yang kecil seperti suara anak anjing. Dengan menahan nyeri yang tak terperi, aku diam-diam membuat pengakuan dosa disaksikan langit dan matahari yang terik. Suara ombak yang pecah kini semakin terdengar nyaring olehku yang lemah dan sekarat. Dan beberapa saat kemudian, ketika kusaksikan sepasang burung camar terbang rendah untuk membawa pergi jiwaku, kurasakan beberapa orang mulai berhenti menggerogoti tubuhku. Aku lalu mendengar suara keributan seperti sebuah resimen yang pulang membawa kemenangan dari perang. Suara-suara parau yang meningkahi ombak laut itu terdengar riang dan penuh oleh gairah hidup.

    “C’est Argusss!!! Arguuuuussss!!! Ya, Tuhan, itu Argus!!!”

     

    baca juga :

    Resep Mudah dan Cepat: Semur Ayam Tahu Sutra, Menu Lezat untuk Santap Siang

    Praktis dibuat, nikmat dilahap, sajian semur ayam tahu sutra ini jadi ide segar untuk keluargamu. Yuk, kita coba resep mudahnya berikut ini! Saat aku merasa buntu mau masak apa, solusinya selalu tak jauh-jauh dari olahan ayam. Mudah didapat dan praktis dibuat, ayam juga jadi favorit seluruh anggota keluarga. Salah satu menu andalanku di rumah adalah …

    Resep Lezat Tumis Ayam Genjer untuk Pemenuhan Nutrisi yang Tinggi

    Tumis ayam genjer, menu istimewa yang bisa disajikan untuk keluarga tercinta di akhir pekan. Langsung kita coba dengan resep berikut ini yuk! Ada banyak cara mudah untuk mengkombinasikan menu sehat, seperti Tumis Ayam Genjer ini! Meski bahan dasarnya sederhana, namun menu tumisan ini bernutrisi tinggi. Genjer kaya akan vitamin B, zat besi, dan kalsium. Sedangkan …

    Resep Lengkap Sup Oyong Bakso Ikan: Tambahkan Kelezatan Makan di Rumah

    Sup oyong bakso ikan, menu makan di rumah yang sehat, lezat, dan mudah. Yuk, coba praktikkan di rumah sebagai menu baru dengan resep ini! Ingin menyajikan menu sehat dan lezat untuk keluarga? Sup oyong bakso ikan bisa menjadi pilihanmu. Sayur oyong alias gambas rupanya punya banyak manfaat untuk kesehatan. Jadi meskipun kamu belum familiar, inilah …

    Resep Nasi Goreng Seafood Jawa Timur: Dinikmati dengan Lezat Malam Ini

    Nikmati Nasi Goreng Seafood Bumbu Jawa Timur dengan segala keistimewaannya! Ingin tahu cara memasaknya? Yuk, kita simak resepnya di sini! Nasi Goreng Seafood Bumbu Jawa Timur, satu lagi kreasi sajian kesukaan orang Indonesia yang bisa kamu coba di rumah. Setelah Nasi Goreng Hong Kong ataupun Nasi Goreng Kari dan juga Nasi Goreng Kunyit, tentunya yang …

    Resep Tempe Asam Pedas yang Menggugah Selera dengan Caranya yang Mudah dan Seru

    Dengan menggunakan resep tempe asam pedas ini, Anda tidak perlu lagi kesulitan mencari hidangan teman. Sangat cepat dan mudah untuk disiapkan, jadi mari kita lihat bagaimana cara membuatnya! Mencari hidangan pendamping tidak perlu jauh-jauh kalau kamu sudah tahu yang namanya resep Tempe Asam Pedas. Lain dengan tumisan tempe pada umumnya, yang satu ini punya tambahan …

    Resep Lezat Semur Lidah Kentang, Nikmat Tak Terlupakan Untuk Arisan Keluarga

    Semur selalu menjadi pilihan terbaik sebagai menu, termasuk semur lidah kentang. Kombinasi rasa yang manis, gurih, dan lezat menyatu dalam daging sapi dan kentang. Ayo, mari mencobanya! Sudah tidak diragukan lagi, aroma semur lidah kentang saat dimasak bisa membuat perutmu keroncongan. Soal rasa, menu ini dipastikan menjadi menu favorit keluarga. Perpaduan manis, gurih dan legit …

    Resep Nasi Goreng Seafood Spesial

    Nasi goreng begitu banyak variasinya, namun yang menggunakan boga bahari-lah yang biasanya terasa lebih spesial. Inilah resep nasi goreng seafood istimewa yang harus kamu coba di rumah! Nasi goreng memiliki berbagai macam jenis, tetapi yang menggunakan bahan laut biasanya terasa lebih istimewa. Inilah resep nasi goreng seafood spesial yang harus kamu coba di rumah! Bicara …

    Resep Lezat Popcorn Ikan Dori: Camilan Menggoda dengan Nutrisi Tinggi

    Popcorn Ikan Dori, satu camilan yang harus ada di rumah. Terbuat dari bahan-bahan yang sehat, memiliki tekstur yang renyah, dan dapat mengenyangkan. Berikut ini adalah resep lengkapnya yang bisa dicoba! Beragam resep camilan sudah dicoba, namun belum lengkap rasanya kalau belum mencoba Popcorn Ikan Dori. Idenya tentu berasal dari popcorn jagung, hanya saja agar lebih …

    Menggugah Lidah dengan Resep Ikan Bakar Kecap Gochujang, Menjelajahi Kelezatan yang Baru

    Ada banyak variasi resep ikan bakar kecap yang bisa kamu coba. Satu resep yang sangat menarik untuk dijadikan santapan malam adalah ini. Akan aku tunjukan bagaimana cara membuatnya. Bosan dengan resep ikan bakar yang itu-itu lagi? Nah, kali ini ResepMama.netpunya satu resep unik dengan campuran gaya Korea yang bakal bikin keluarga di rumah penasaran dibuatnya! …

    Resep Semur Telur Pedas Petai: Penyemangat Kuliner di Segala Suasana

    Semur Telur Pedas Petai, jawaban bagi Anda yang sedang mencari resep pendamping yang cocok untuk acara hari ini. Ayo, ikuti resepnya! Resep Semur Telur Pedas Petai adalah ide tepat untuk sajian-sajian istimewa yang tengah kausiapkan hari ini. Berbekal telur puyuh yang lezat dan dipadukan dengan petai yang khas, jadikan resep semur yang satu ini untuk …

  • Kursus Balet

    author = Kiki Sulistyo

    Waktu pertama kali datang ke tempat latihan balet, Lin Munru melihat seekor burung betet; berkepala besar dengan paruh bengkok, bulu-bulunya hijau kecuali di bagian dada yang berwarna merah, dan kakinya pendek dengan dua jari menghadap ke belakang. Namun kata Madona, adik sepupunya, itu bukan burung betet, melainkan burung Kiki. Lin Munru belum pernah mendengar nama burung Kiki dan dia ingin mendebat adik sepupunya itu kalau saja dia tidak teringat pada jam pelajaran balet. 

    Tempat latihan balet berada di lantai atas sebuah ruko. Di lantai bawah ada gerai busana. Para murid balet harus melewati gerai itu untuk menuju lantai atas. Selain Madona ada beberapa anak yang juga tampaknya hendak latihan balet. Semua anak itu diantar oleh orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. 

         Berbeda dengan orang-orang yang tanpa menoleh langsung menuju lantai atas lewat tangga di sudut gerai busana, Lin Munru dan Madona tertahan di gerai busana dengan mata berbinar-binar melihat aneka busana yang dipajang. Langkah mereka mengayun pelan-pelan sebab mata mereka memperhatikan satu-persatu setiap busana yang mereka lewati. Bahkan mereka kemudian berhenti di depan manekin bergaun putih panjang yang mengembang di bagian bawah. Apa yang membuat mereka terpana bukanlah gaun itu melainkan sepatu yang dikenakan manekin. Sepatu itu terbuat dari kaca dan hanya sebelah saja. 

         “Cinderella..” bisik Madona pada Lin Munru. “Ternyata Cinderella anak durhaka,” lanjutnya.

        “Maksudmu?”

        “Iya, pasti dia sudah dikutuk ibunya sampai jadi patung begini.”

         Lin Munru merenung. Sebetulnya dia tidak sedang memikirkan kata-kata sepupunya, dia sedang teringat pada lelaki yang sudah meninggalkannya. Lelaki itu adalah dosen pembimbingnya ketika dia menempuh pendidikan tinggi. Bagi Lin Munru, lelaki itu memang tidak tampan tapi dia benar-benar pintar dan sanggup mendengar dan melayani pikiran-pikiran Lin Munru. Lagipula sebagai dosen dia tidak pernah bersikap seolah dirinya punya kasta lebih tinggi ketimbang mahasiswanya. Lin Munru jatuh cinta padanya namun hubungan mereka segera kandas ketika terkuak fakta bahwa lelaki itu pernah tidak mengakui kalau seorang perempuan setengah gila yang tinggal di sebuah kampung pesisir adalah ibunya. Bagi Lin Munru, seberapa pun pintar dan baiknya seseorang, jika dia tidak mengakui ibunya sendiri, maka orang itu tidak pantas dipercaya. Jika ibu kandung sendiri tidak diakui bagaimana dengan dirinya nanti?

         “Itu bukan cerita Cinderella, itu cerita Malin Kundang,” bantah Lin Munru.

         “Mungkin saja Cinderella dan Malin Kundang bersaudara.”

         “Tidak mungkin. Mereka tinggal di tempat yang jauh berbeda, di waktu yang juga jauh berbeda. ”

         “Aku punya teman sekolah yang pernah bercerita bahwa dia punya saudara yang sekarang tinggal di surga. Bukannya surga juga jauh?”

         “Itu artinya saudara temanmu sudah mati.”

         Lin Munru menarik tangan Madona agar bergegas menuju tangga. Tidak ada gunanya berdebat dengan sepupunya itu. Madona sedikit menahan tarikan Lin Munru sehingga kakinya seperti terseret-seret, sementara pandangannya terus tertuju ke manekin Cinderella. 

         Latihan pertama balet baru saja akan dimulai. Beberapa anak berdiri menghadap seorang perempuan yang mengenakan kaus polos dan celana ketat. Di belakang perempuan itu terbentang cermin sehingga dapat terlihat rambutnya yang diikat ke belakang. Bagian ujung rambut dicat hijau, sementara bagian tengahnya dicat merah. Di dalam cermin juga terlihat para pengantar anak-anak yang berdiri atau duduk bersandar di dinding seberang cermin.

         Ketika melihat Lin Munru dan Madona, pelatih balet berkata, “Oh, masih ada satu teman kita. Ayo silakan berbaris.”

         Lin Munru melepas pegangannya pada lengan Madona dan menyuruh sepupunya itu berbaris. Madona menurut, Lin Munru memperhatikan sepupunya sebentar lantas memperhatikan anak-anak yang lain sebelum memperhatikan si pelatih balet. Madona paling kecil dibanding anak-anak lain dan pelatih balet itu kelihatan kurang bersemangat. 

         Gagasan untuk memasukkan Madona ke kursus balet murni berasal dari Lin Munru. Madona anak yang aktif; suka memanjat tembok, melompati pagar, atau berguling-guling. Dia juga lebih sering bermain bersama anak laki-laki. Menurut Lin, Madona perlu menyalurkan energinya ke hal yang lebih jelas, karena dia sangat aktif risiko kecelakaan mungkin terjadi dan kalau ibunya melarang bisa-bisa dia jadi membenci ibunya. Kursus balet adalah pilihan yang tepat untuk anak yang aktif. Lin Munro sudah tidak ingat dari mana dia mendapat informasi  bahwa di sekitar pertokoan itu ada yang membuka kursus balet.

         Sebetulnya Lin Munru sendiri pernah punya keinginan jadi balerina. Sewaktu kecil dia menonton sebuah film tentang balerina dan seolah mendapat bisikan sekonyong-konyong timbul cita-citanya untuk jadi balerina. Sayang waktu itu belum ada kursus balet di kota tempat tinggalnya. Kalaupun ada, ibunya pasti tidak mengizinkan. Ibunya ingin dia lebih banyak memperhatikan pelajaran di sekolah dan karenanya kursus-kursus yang boleh diikutinya adalah kursus-kursus yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah. Cita-cita Lin Munru menjadi balerina segera terkubur, dan kenyataan itu membuat Lin Munru jadi membenci ibunya.

         Latihan balet dimulai. Karena itu baru pertemuan pertama pelatih hanya memberi latihan-latihan kecil untuk melenturkan badan. Dari seruan-seruannya, Lin Munru tahu kalau pelatih itu bernama Kiki. Lin jadi teringat pada burung yang tadi dilihatnya. Dia berjalan ke dekat jendela untuk menengok ke luar. Burung betet tadi sudah tidak ada. Lin menyapukan pandangan ke seluruh kabel listrik yang bisa terjangkau mata, tapi burung itu tidak juga terlihat.

         “Burung itu sudah terbang,” ujar seorang laki-laki yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Laki-laki itu turut melihat ke luar. 

         “Kok tahu saya sedang mencari burung?”

         “Soalnya tadi saya lihat burung itu terbang, burung itu mirip pelatih balet, dan tadi saya lihat kamu memperhatikan pelatih itu sebelum berjalan ke jendela.”

         Lin Munru menoleh. Laki-laki di sampingnya cukup tampan, kalau dia pemain sandiwara dia bisa berperan sebagai pangeran dalam cerita Cinderella.

         “Itu putrimu?” tanya laki-laki itu.

         “Kau bisa menebak soal burung. Jadi kupikir kau juga bisa menjawab pertanyaanmu sendiri.”

         “Oh, Baiklah. Itu bukan anakmu, itu sepupumu, dan dia nyaris membenci ibunya.”

         Lin Munru terheran-heran. “Sebentar,” ucapnya, “apakah kita pernah bertemu?”

         “Tentu saja.”

         “Di mana?”

         “Aku pemilik gerai busana di bawah.”

         “Oh, tapi aku tidak melihatmu tadi.”

         “Betul. Tapi aku melihatmu, itu artinya kita pernah bertemu.”

         “Baiklah. Kalau begitu bolehkah aku menanyakan sesuatu?”

         “Saya tahu kamu akan menanyakan soal sepatu manekin yang cuma sebelah.”

         “Aih, rupanya kau tahu segala hal.”

         “Tidak juga. Aku tidak tahu kalau pelatih balet itu adalah ibuku.”

         Lin Munru terkejut dan secara otomatis kepalanya menoleh ke arah si pelatih yang juga kebetulan sedang melihatnya. Pelatih itu tersenyum padanya. Lin Munru membalik badan dan melihat semua pengantar yang tadi bersandar di dinding sudah tidak ada di tempatnya. Rupa-rupanya mereka bosan dan memilih menunggu di luar.

         “Aku tahu kamu terkejut. Aku juga terkejut.”

         “Maksudmu terkejut mengetahui kalau pelatih balet itu adalah ibumu?”

         “Bukan. Aku terkejut karena kamu terkejut.”

         “Tentu saja aku terkejut. Kukira setiap orang akan terkejut mengetahui informasi itu.”

         “Apakah kamu juga akan terkejut kalau kukatakan aku tidak mau mengakuinya sebagai ibu?”

    Lin Munru berpikir sebentar. “Kukira tidak,” jawabnya kemudian.

         “Jawabanmu mengejutkanku,” ucap laki-laki itu.

         “Aku tidak terkejut dengan jawabanku.”

         “Aku tahu. Karena itu kamu membawa sepupumu ke kursus balet ini.”

         “Aku tidak mengerti maksudmu. Itu dua hal yang sama sekali tidak berhubungan.”

         “Seperti aku dan pelatih balet sama sekali tidak berhubungan?”

         “Itu hal yang lain lagi dan tidak berhubungan sama sekali denganku.”

         “Jika ada beberapa hal yang tidak berhubungan maka di dalamnya pasti ada hal-hal yang berhubungan,” ucap laki-laki itu lalu dengan satu gerakan ringkas membalik badan dan menjauh dari Lin Munru.

         “Tunggu,” kata Lin Munru, “apakah kau tahu ke mana burung betet itu terbang?”

         Laki-laki itu menoleh. “Tentu saja. Tapi itu bukan burung betet. Itu burung Kiki,” katanya sambil bergegas menuju tangga. Lin Munrumerenung. Sebetulnya dia tidak merenungkan jawaban laki-laki tadi, dia hanya tiba-tiba teringat pada dosen pembimbingnya dan berpikir-pikir apakah ada hubungan antara dosen pembimbingnya itu dengan seekor burung betet yang berubah nama dan terbang entah ke mana?

         “Lihat, lihat!” seru Madona tiba-tiba. Lin Munru menghentikan pikirannya dan melihat sepupunya serta anak-anak yang lain mengepak-ngepakkan tangan. Tubuh mereka terangkat dari lantai seperti sekelompok burung sedang belajar terbang. Melihat semua itu Lin Munro tertawa-tawa. Dia sama sekali tidak terkejut.

  • Kunang – Kunang di Tondano

    author = Pinkan Kurnia Dewi Siswantoro
    Lahir di Magetan, 30 Januari 1990, berdomisili di Bekasi Timur. Menjuarai sejumlah kompetisi menulis esai dan karya ilmiah tingkat nasional. Punya motto: Menulislah sampai namamu berada dalam salah satu sejarah yang selalu di ingat…. Dan menulislah hingga kamu tidak pernah merasa bosan.

    Angin datang seakan menderu – deru mengibaskan langit yang kala itu memancarkan cahaya sinar yang hampir kelam. Seolah harum cahaya yang bening keemasan dapat ku hirup dan tercecap di setiap rasanya yang manis, bagai diluluri madu sekalipun kabut tipis masih tertinggal.  Di pelataran basah seperti kupu-kupu,  mereka mengitari sebagian tanaman perdu yang liar dengan gulungan benang yang menjuntai di setiap garis awan yang mulai menipis. Masih sama ku ingat ketika aku merentangkan setiap gulungan benang di antara daun – daun basah bersama bapak di saat musim layangan. Kala itu aroma tanah selepas hujan dan langit yang mulai terhalang kabut menggiurkan dahaga yang berkecamuk, bapak lebih semangat menemaniku bermain dan mengulur – ulur gulungan benang yang menjuntai. Ketika aku bertanya padanya tidakkah lebih indah jika layangan dinikmati ketika langit cerah. Namun sekali lagi bapak selalu berkata bahwa lebih indah jika layang – layang yang menari di langit jauh lebih berkilau jika diikuti serombongan kunang-kunang di saat langit mulai petang.

    Kali ini aku dibawa pada bangku murung yang lelah. Sambil menatap ke arah bapak yang tiada habisnya, memandangi sebuah foto lawas yang selama ini disimpannya dengan rapi. Rasanya aku ingin menagih janjinya, untuk dapat menemaniku lagi saat musim layangan. Sekalipun tangan rentanya tidak dapat lagi membantuku menjuntai benang.  Namun, kedua mata bapak seperti diserang rasa kering yang tidak lagi memancarkan binar di matanya, yang ada justru makin menyesakkan yang membuatnya terpasung dan diam. Entah untuk yang kesekian kalinya, selesai menatap foto itu bapak menjanjikanku untuk pergi bersama sambil membawa serta layang-layang yang akan dimainkan di tempat itu, tempat yang sama seperti di foto yang ia selalu perlihatkan padaku dan ibu. Entah apakah masih sama persis ketika ia berjanji untuk pertama kalinya, hingga sampai ibu telah tiada. “Nanti bapak ajak ngana ke tempat ini ya.” Begitulah kiranya bapak selalu mengajakku. Ke tempat yang belum pernah ku sambangi, namun seperti melekat erat di mataku ketika menatap foto itu. Sungguh nampak jelas terlihat di foto itu, pesona kilauan cahaya fajar dari balik pegunungan, yang menembus permukaan danau, menambah keindahan danau dengan perpaduan warna perak dan orange berkilau indah. Refleksi permukaan danau yang terlihat di foto, seakan teduh karena menggambarkan kembali refleksi bukit dan langit berawan yang tipis di atasnya. Aku mulai membayangkan, mungkin saja terkadang hamparan itu berpendar, dan terbelah oleh perahu-perahu nelayan yang sedang menangkap ikan. Terlintas di otakku, bisa saja aku pergi kesana jika saat itu bapak pergi dengan pamit.

    “ Aney, besok pagi ngana ikut mapalus neh? Agar ngana baku beking pande.” Pinta bapak sembari menyeruput kawangkoang.

    Di tengah taman liar dengan aroma semak yang menyengat, semua orang nampak melangkah dengan cepat, hanya aku yang malas sambil menatap bapak dari jauh. Raut wajahnya yang sumringah tidak bisa membohongiku, bahwa sejatinya hatinya telah diambil dan terbawa oleh kekasih dari pulau yang jauh. Garis keturunan bisa saja berbeda dengan cara hidup yang dilakoninya. Bapak tidak pernah menolak takdir bahwa garis keturunan jawanya telah diselewengkan dengan mudah disaat bapak diasuh oleh pakdhe di ujung pulau harapan. Harapan dimana seorang bayi yang baru saja lahir lalu dipisahkan oleh ibunya karena harus dilakukan, agar terjamin masa depannya. Harapan seorang bayi dimana dapat tumbuh dewasa, hingga beranak pinak di kampung yang menjadi tempat jalan pulangnya. Pakdhe tumbuh dewasa mengajak serta bapak di pinggiran Danau Tondano, bersama kakak nenek yang lebih dahulu beranak pinak disana. 25 tahun bukan waktu yang singkat untuk menanamkan identitas bahwa ia saat itu menjadi laki-laki Tondano. Bersaudara mereka dengan baik tanpa adanya konflik etnik yang meradang.

    Di tepi danau Tondano dimana terdapat hamparan sawah menghijau, rumah kayu dengan arsitektur Eropa dengan cerobong asapnya yang menyembul. Dengan sekeliling jalan yang berkelok terlihat dihiasi oleh pemandangan hutan tropis yang lebat dan menyejukkan. Bapak seringkali bercerita padaku begitu sejuknya ketika ia bersujud seraya mengumandangkan kalimat takbir. Meskipun terdengar pula beberapa lonceng dari gereja saling menyahut. Beberapa kawan dari suku minahasanya dan beberapa dari etnik jawa tondano pun dengan sabar menunggu sambil melambungkan layang-layang yang berwarna abu.

    “ Manjo Edi… torang  terbangkan layangan ini.” Teriak salah satu khawan gerejanya usai bapak menunaikan ibadah.

    Kota ini mungkin menjadi tujuan exodus dari daerah bertikai di wilayah Indonesia Timur. Ketika menjadi rumah baru bagi orang dari daerah bertikai, kampung halaman tempat Bapak tumbuh hingga kini mampu menjaga citra tersebut.

    Suatu malam ketika bapak dan pakde singgah sebentar di tepi tondano, lebih indah dari angkasa segerombolan kunang-kunang yang bernyala berjajar jauh menjulang sampai tinggi, berkejaran dengan susah payah membuat danau biru jernih ini nampak indah meski tidak berombak. Sambil memandang ke langit Pakde berkata akan menikahi Marta anak pendeta dari gereja tua di desa sebelah. “Ka, ngana  serius? Ingat status kalian berbeda.” Kata bapak yang saat itu mengingatkan. “Kita sayang itu perempuan dengan tulus Ed. Apapun kita perjuangkan untuk dapatkan.” Dan jawaban itulah yang hanya dapat di dengar bapak seakan bertubrukan dengan suara desis angin malam itu. Nyatanya gadis dari anak pendeta itu telah dapat menjatuhkan hati kakak bapakku. Bapak bercerita bahwa malam itu adalah malam yang paling gelisah hingga matanya tidak bisa terpejam. Dan rasanya ia lebih memilih digigit kepinding yang banyak bersarang di tikar alas kasurnya atau rela digigiti nyamuk seakan ia rela membagi darahnya.“Kita memang bersaudara kak, tetapi tidak seharusnya ngana kaweng dengan gadis itu, tapi semua keputusan ada di tanganmu kak.”

    Andai saja toleransi sebagai wujud nyata sekalipun nantinya pakde pada akirnya menjadi pendeta di gereja pesisir Tondano. Aku pun mulai melipat sajadah yang biasanya berada sedikit di depanku, ketika mengumandangkan takbir di pinggiran danau Tondano bersama. Pergolakan hebat pun terasa, ketika ku dengar langsung  sang romo membaptis pakde yang berbaur haru biru. Bapak bertanya-tanya pada tubuh yang membawanya tumbuh. Akankah bernasib sama ketika arus sudah berkata. Tidakkah seharusnya kita berfikir untuk lebih memilih calon pendamping dari etnis jawa tondano, yang secara keyakinan sama lantaran keturunan dari Kyai Mojo. Sekejap wangi aroma aren dari saguer lebih kental terngiang di tengah pesta pernikahan pakde kala itu. Bapak pun ikut menghirup aroma saguer sambil menyeruputnya pelan-pelan demi menghangatkan tubuhnya yang mulai dingin akan angin malam. Hingga akhirnya ia larut dalam pesta adat dan terdampar di pinggiran tondano menghadap ke danau. Malam itu kunang-kunang tidak lagi terlihat menggerombol, seperti saat mereka menemukan serimbun bunga liar di tengah-tengah bunga yang terawat. Hingga bapak sering kali tersenyum, seakan merasa kalau kunang-kunang itu tengah menemaninya. Namun kala itu, bapak harus mulai membiasakan untuk menatap Tondano sendirian, sekalipun beberapa perahu nelayan silih berganti dan mereka menyapa sesekali.

    Seringkali ketika aku mulai disebut dewasa, aku pernah memberanikan diri untuk bertanya pada bapak, bagaimana cantiknya gadis – gadis Tondano disana. Sambil  menahan tawa bapak bercerita tentang keeolakan gadis Tondano, dimana wajahnya seakan ada sedikit percampuran dari ras Belanda. Disebutnya salah satu nama bernama Nensi si gadis suku Minahasa, ketika pertemuan pertamanya di sebuah adat perkawinan dan bapak membantu prosesi nya dengan membawa hantaran mas kawin dari pengantin pria, yang saat itu ialah khawannya sejak kecil.  Pertemuan pertama disaat upacara toki pintu di kediaman calon pengantin wanita rasanya pernah menjadi debaran tersendiri bagi bapak, apalagi pertemuan yang berlanjut ketika bapak mengikuti prosesi pesta nelayan di Tondano. Di tengah munculnya banyak sekali perahu bolotu yang bercorak warna – warni di tengah danau, nampaknya si gadis minahasa ini mampu merebakkan wewangian yang menyebabkan ketidak warasan. Namun hati tidak hanya ingin berlabuh lalu pergi bukan? Seakan menghidupkan lensa mata, lalu membuangnya dalam kalut yang meronta. Dan tetap saja alih-alih bapak akan pergi meminang, justru yang ku tahu hingga saat ini bapak pulang ke tanah kelahirannya.

    “Aney, ngana mengapa tidak turut serta mapalus bersama warga, ini mumpung tidak sedang hujan?” Tanya bapak ketika melihatku hanya termenung dan tidak mengikuti kerja bakti bersama.

    Tapi aku hanya tersenyum, seakan bapak tau aku lebih suka bermalas-malasan. Aku kagum dengan bapak. Ia laki-laki jawa yang justru dalam hidupnya, tidak pernah melupakan tradisi dan kebiasaan yang telah dibangunnya sejak kecil. Sekalipun ia pulang ke tanah kelahirannya. Tradisi yang ia bawa dari pulau harapan itu mengajarkannya akan hidup bertoleransi. Dan ia pun tidak pernah mengingkari jati dirinya, sebagai manusia muslim yang taat dan membaur dengan adat istiadat nya sebagai manusia keturunan jawa. Aku bertanya pada bapak yang saat itu masih menatap foto lawas yang ia bawa di sakunya. Mengajaknya untuk terbang sembari menagih janjinya untuk bermain layangan. Setidaknya uang dari pensiunan bapak masih cukup jika hanya sekedar membawa ku dan bapak untuk terbang.

    “Ayo pak kita pergi ke tempat yang selalu bapak lihat itu.”

    “Nanti saja ya Aney.”

    “Mengapa harus tunggu nanti? Bukankah lebih cepat itu lebih baik?”

    “Bapak hanya merasa bersalah karena bapak pergi tanpa pamit.”

    Jawaban terakir bapak itu sungguh menyiksaku, aku tidak pernah tau mengapa bapak memutuskan pergi dan memilih untuk tidak meneruskan hidup nya di sana. Bukankah ia selalu rindu untuk pulang. Hampir 27 tahun lamanya aku tidak pernah mengenal satupun keluarga bapak yang berada di Tondano.

    Kurang lebih seminggu sudah  jalanan basah karena hujan. Entah sudah berapa kali ku hitung tetesan embun yang masih saja hinggap di daun – daun itu. Ku lihat langit yang merendah masih saja dipenuhi dengan kabut.  Secarik kertas ku tulis dengan pena kesedihan, ingin rasanya ku beranikan diri untuk pergi tanpa pamit ke bapak. Rasa ingin tahuku yang besar ternyata tidak dapat menahanku untuk terus melihat sembilu di wajah kuyu bapak sampai saat ini. Masih saja bapak setia dengan foto lawasnya. Duduk di sofa yang hangat sambil mengikuti kebiasaan bapak menyeruput kawangkoan, kopi khas yang selalu ia minum ketika sedang bercengkrama dengan padhe sebatas sebagai penahan kantuk. Sembari menonton televisi, mengutak – atik remot tv sampai bapak merasa kesal karena acara tv yang selalu ku ganti.

    “ Tunggu Aney, stop di channel ini.” Kata Bapak sedikit mengeraskan suaranya.

    “ Yang ini pak?”

    “ Ya Allah… entah cobaan apa yang Kau beri, mengapa harus Tondano?” Teriak bapak kali ini sambil menangis histeris. Sesekali ia menyeka air matanya, namun kedua mata nya masih tajam untuk terus menatap lurus di televisi.

    Aku pun ikut larut dalam kesedihan, ketika hatiku tidak dapat acuh kala mendengar bapak berteriak menangis histeris. Ku lihat di berita tingginya curah hujan sejak akhir – akhir ini, menyebabkan  permukaan air Danau Tondano di Kabupaten Minahasa naik hampir satu meter.

    Luapan air danau yang menimbulkan banjir besar telah meluluh lantahkan beberapa pemukiman warga setempat. Alat pengukur ketinggian air pun tidak akurat lagi. Bapak berkata ia masiih ingat betul jika warga disana hanya berpatokan pada sebuah plat besi, yang telah dipasang dekat meteran. Namun, lihat saja di televisi hampir semua plat besi telah tenggelam. Kedua mata bapak semakin membengkak dan sayu. Kerutan di wajahnya dan gigi nya yang masih bergetar tidak dapat membohongi hatinya, bahwa saat ini bapak sangat gelisah. Di pegangnya erat-erat foto lawas  dan di lihatnya lamat-lamat masih sangat cantik alam danau Tondano jika dibandingkan dengan situasi saat ini. Tanpa berfikir panjang kecemasan bapak tidak dapat lagi tertahankan. Meski ia mencoba menahan diri di setiap denyut nadinya, nyatanya kedua tangannya mulai mengemas beberapa baju yang ia tata rapi di tas ranselnya.

    “ Bapak mau pergi?”

    “ Kemarin ngana ajak bapak terbang kan? Ayo sekarang Aney, uang pensiunan bapak masih mampu jika hanya sekedar terbang dan beberapa hari disana. ”

    “ Eh, bapak yakin?”

    “ Aiiihh… satu nilai yang ngana harus tau Aney… Torang Samua Basudara.”

    Kami pun segera bergegas mencari penerbangan paling awal hingga akhirnya kali ini kami berada di ketinggian  40.000 kaki dari permukaan air laut. Beberapa penerbangan menuju Manado memang di tutup dengan alasan cuaca yang tidak menentu. Sesekali ku longok di luar jendela pesawat, gumpalan  awan yang sedikit abu-abu hampir gelap karena di selimuti kabut. Beberapa kali kami berdoa agar dapat tiba dan mendarat dengan selamat. Sekalipun sesekali goncangan badan pesawat sangat terasa di tubuh kami yang sedikit bergetar.

    Tiba di pulai harapan yang biasa disebut bapak sedari aku masih disapih ibu. Ku pijakkan kaki ku untuk pertama kalinya. Baru ini ku lihat kedua mata bapak berbinar. Namun kemudian ia menjadi gugup di tengah lalu lalang orang – orang yang bergegas. Bising lalu lintas membuatnya cemas, mungkin hampir puluhan mobil yang berdengung mirip sengatan serangga yang hampir mematuknya. Adanya banjir membuat jalur lalu lintas banyak yang terputus. Setelah kami berani menerobos jalan melalui jalur alternatife, tibalah kami di sebuah tempat masa lalu yang selalu membuatku bertanya-tanya. Danaunya tidak lagi sejernih yang di foto, justru yang tersisa hanyalah ranting-ranting kayu dan beberapa perahu yang ikut terdampar di tepian danau. Beberapa rumah yang terendam air mulai surut dengan meninggalkan jejak lumut dan sampah yang menyarang. Terlihat kubah gereja tua  dan menara masjid besar yang masih utuh, karena letaknya sedikit berdampingan dan agak sedikit naik dari batas danau. Namun cat dan beberapa tiang penyangganya sudah pudar dimakan usia dengan gumpalan tanah akibat banjir.  Wajah bapak nampak temaram karena ratusan air mata yang membasahi pipi nya yang nampak sudah berkerut.  Segera mungkin ia bergegas berlari bersama warga setempat menarik perahu – perahu untuk di tempatkan lagi ke asalnya. Membuat simpul dari tali untuk dikaitkan ke perahu dan ranting-ranting pohon besar yang menutup jalan agar dapat segera di pindahkan.  Akupun terpacu untuk ikut membersihkan sampah yang bersarang di sekitaran rumah warga.

    “Aney ngana tetap bantu di sana. Jangan terpisah jauh dari bapak.” Teriak bapak dari jauh ketika ku lihat dia sedang membantu warga sekitar.

    Penglihatanku menerawang lebih jauh menyusuri situasi perkampungan yang saat ini tengah luluh lantah akibat terjangan banjir. Danau yang dulu riaknya tenang, nyatanya meluap bagai amukan gelombang yang siap menghantam siapa saja di hadapannya. Riak – riaknya tak lagi tenang, mungkin masih tersisa sedikit ketika hujan mulai turun kembali. Ku lihat beberapa warga yang biasa bapak sebut dengan etnik jawa tondano yang hampir semua warganya mayoritas muslim sedang melakukan  muraja’a bersama dengan warga desa minahasa sekitar yang menyenandungkan puji-pujian. Rumah – rumah panggung dari kayu yang roboh mulai dibangun kembali oleh warga, dengan meletakkan beberapa bambu sebagai penyangga yang dihujamkan ke dalam tanah dimana ujung atasnya turut menyanggah kuda kuda atap. Atap – atap seng yang sudah agak longgar pakunya akan terdengar berderit – derit mempertahankan kedudukannya di atas kuda – kuda. Beberapa ritual yang diyakini sebagai penguat kekokohan rumah ikut turut serta dalam mapalus berbagai macam benda, disertai doa-doa mengiringi tegaknya bambu penguat rumah,  asap kemenyan pun menyebar dengan aroma yang sangat khas.

    “Ngana bukan orang sini eh?” tanya salah satu Bapak tua yang sedang ku bantu memilah milih bambu.

    “Ooo… saya Aney dari Jawa.”

    “Jawa Tondano?” Tanya lagi si bapak tua.

    “Bukan bapak, saya dari jawa tengah, kemari dengan bapak saya, dulu besar disini.”

    “Oooh… Bapak ngana siapa punya nama?”

    “Edy, Edy Ering”

    “Aiiihhh, Edy si Jaton? Jawa Tondano itu? adik dari Bapa Obi? Dimana dia sekarang nak? Bertahun – tahun Edy pergi kita pikir dia sudah mati”

    “Bapak ini siapa?”

    “Kita khawan lama Edy ketika masih muda, sangat lama.”

    Aku pun langsung bergegas berlarian mencari dari sela-sela kerumunan orang yang sedang membereskan kampung akibat banjir. Ku temukan bapak sedang sesenggukan sembari sesekali menyeka air matanya dan memeluk lelaki yang lebih tua darinya. Ku picingkan kedua mataku dan ku buka lebar-lebar daun telingaku. Mengamati apa yang terjadi dan mendengar permintaan maaf bapak pada laki-laki tua itu. Yah…aku yakin dia adalah pakdhe Obi. Keduanya seperti pertemuan si anak ayam yang kehilangan induk. Ku dengar pakdhe obi kecewa, dengan sikap bapak yang pergi tanpa pamit.

    “Ngana tega dengan kita Ed. Seharusnya ngana tunjukkan sebagai laki-laki, apa kita pernah memaksa ngana untuk ikuti arus seperti kita?”

    “Maafkan saya kak, kita rindu ingin pulang. Tapi kita takut jika harus berpindah keyakinan.”

    “Ed, ketika sakramen ketiga ngana tidak kunjung datang. Nensi menunggu ngana ber jam-jam berhari – hari duduk diam di dalam gereja. Paman Nensi hampir saja bunuh kakak dan hampir saja ada pertikaian. Jika saat itu ngana jujur dan berani bicara ngana tidak perlu menyakiti hati siapapun.”

    “Maafkan kita kak, Kak…kita rindu… rindu sekali dengan kakak, bertakbir di Tondano. Kak.. masih adakah kunang-kunang itu?”

    Suara adzan terdengar syahdu dari pengeras suara di puncak menara mesjid Al Falah, mesjid terbesar di Tondano. Tangis haru begitu riuh ketika bapak saling berpelukan dengan saudara lama, keriuhan yang menggema bersama adzan yang masih dapat dilantunkan sekalipun warga tengah disibukkan memperbaiki desa. Di pinggiran danau tondano, yah… bapak bertakbir menyerukan Allahu Akbar…Allahu Akbar… Allahu Akbar… diikuti segerombolan kunang-kunang yang masih sama kilaunya ketika terakhir bapak pergi tanpa pamit. Kunang-kunang yang mungkin sudah beranak pinak dan telurnya menetas bersama tetesan embun ketika hujan. Meskipun kali ini layang – layang masih tak dapat diterbangkan.

    “Kak…kita dan ngana sama – sama sudah tua ya.” Sambil terbahak – bahak ditemani segelas kawangkoan.

    “Ngana yang tua, kita masih muda toh akibat minum saguer.”

    “Tidak kawangkoan lagi?”

    “Masih, kalau kita merasa sudah tua.”Mereka pun tertawa bersama.

    “Kak? Dimana Nensi sekarang?”

    “Ooohh… Jika ngana berenang ke danau Tondano, mungkin saja ngana bisa dipertemukan.”

    Tiba – tiba saja bapak terdiam dengan pandangan menatap Tondano bersama kunang-kunang.

     

    Catatan Belakang :

    Ngana : kamu // 
    Mapalus : sebutan adat gotong royong Minahasa //
    Baku beking pande : Bagi orang Minahasa bermakna agar menjadi cerdas //
    Kawangkoang : Kopi khas Sulawesi //
    Manjo : Ayo //
    Torang : kita //
    Kaweng : Kawin //
    Saguer : Minuman khas manado berasal dari pohon aren //
    Toki pintu : mengetuk pintu prosesi lamaran //
    Torang Samua Basudara : kita semua bersaudara (semboyan) //
    Muraja’a : berdoa bersama //
    Jaton : Jawa tondano ( sekumpulan desa jawa tondano keturunan kyai modjo beragama muslim) //

    * Cerpen ini adalah Cerpen Pemenang Ketiga Lomba Sastra dan Seni UGM 2017
    ** Gambar adalah lukisan Chasing Firefly karya Leah Fitts

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi