Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Lamunan Sepanjang Jalan

author = Rinandi Dinanta

Mona memulai hari itu seperti biasa. Bangkit dari tempat tidurnya
seperti biasa, beranjak ke kamar mandi, membersihkan gigi dan wajah seperti
biasa, lalu membasuh air wudu dan salat subuh seperti biasa. Langit masih gelap
saat ia membuka jendela. Udara masuk perlahan, membuat sebagian kulitnya sedikit
meremang. Ia segera merapikan meja serta kasur sebelum mulai menyiapkan
kebutuhannya untuk hari itu.

Dengan tubuh yang telah bersih, berbalut kemeja polos hijau gelap dan
celana denim yang juga ia pakai di hari sebelumnya, Mona mengunci kamar dan
melangkah menuju pintu keluar pondokan.

Jarak yang perlu ia tempuh untuk sampai ke kampus memang tidak terlalu
jauh. Orangtuanya telah memilihkan rumah pondok, tak jauh di balik perlintasan
kereta sebelah timur kompleks universitas itu untuk Mona tinggali. Ia tak
keberatan berjalan kaki beberapa ratus meter setiap pagi, juga sore menjelang
magrib saat semua aktivitas hariannya telah selesai. Ia tak keberatan tinggal
di pondokan itu. Semua, seperti hal-hal lain dalam hidupnya, telah dipilih dan
disiapkan untuk Mona.

Perempuan itu masih ingat betul bagaimana Bapak terus mendorongnya untuk
ikut tes penerimaan universitas tempat ia berkuliah kini. Menyiapkan
berkas-berkas yang diperlukan, juga mengantarkannya di pagi saat ia harus
mengikuti ujian. Bahkan kemudian menjadi orang pertama yang tahu kalau ia
diterima, lebih awal dari gadis itu sendiri, sebelum menyampaikan ucapan
selamat berulang kali. Ibu ikut saja apa kata Bapak. Mona pun sejak awal tak
tahu bagaimana cara membantahnya, atau sekadar menyampaikan keinginannya untuk
masuk sekolah desain yang sebenarnya berlokasi sangat dekat dari universitas pilihan
Bapak.

Masuk jurusan desain seperti itu
kamu mau jadi apa
, Mona
membayangkan kata-kata Bapak andai ia benar menyampaikan. Kamu udah susah-susah belajar, masuk IPA, langganan peringkat satu,
jangan cuma jadi tukang gambarlah.
Jangankan berani menyampaikan. Melihat
wajah Bapak yang sering gusar saat di rumah saja sudah membuat perasaannya goyah.

Masalahnya, tak ada laki-laki lain di rumah itu. Padahal, Mona
membayangkan, tentu situasinya akan berbeda jika ia punya kakak laki-laki.
Gadis mungil itu pasti bisa dengan lebih leluasa bercerita, dan mencari
pembelaan dari sosok kakak; yang dibayangkannya akan dengan senang hati
mendengarkan tiap keluh kesah dan cerita sehari-hari adik perempuan semata
wayang yang ia punya. Tentu seperti itu kan? Coba lihat Mia, teman SMA Mona,
yang sejak dulu begitu dekat dengan kakak laki-lakinya. Yang satu-dua kali
sempat Mona lihat diantar-jemput sang kakak, terutama saat hujan deras setelah
beberapa ojek online menolak pesanan.
Sedang Mona? Paling banter hanya menumpang. Dan memperhatikan dari kursi
belakang, bagaimana bersemangatnya Mia bercerita tentang satu hari yang baru
saja dilaluinya kepada Aji, kakak laki-lakinya yang menyetir. Termasuk
bercerita tentang keinginan Mia melanjutkan pendidikan di kampus sastra, suatu
hari, yang didukung penuh oleh sang kakak.

Jika punya kakak lelaki, pikir Mona, ia akan memintanya untuk membela perempuan
itu habis-habisan di depan Bapak.

Sembari melangkah pada jalan setapak, melewati beberapa warung nasi dan
kelontong, pikirannya terus berada di tempat lain. Apa yang harus Mona lakukan seharian
ini? Jam delapan nanti ada kelas Morfologi dan selepas jam satu ia mesti
menghadiri kelas Pengkajian Drama—sesuatu yang benar-benar tak dipahaminya.
Lalu pulang selepas asar seperti biasa, atau menyempatkan duduk di area perpustakaan
sampai menjelang magrib sembari menunggu waktu. Oh, ada tugas untuk kelas besok
pagi. Ia akan mencari kebutuhan referensinya di perpustakaan nanti.

Lamunan Mona memudar, ketika disadarinya gerbong-gerbong kereta listrik
berlalu cepat di hadapannya. Menciptakan gemuruh yang panjang. Embusan udara
mengenai tubuhnya, sementara wajah-wajah lelaki dan perempuan membuat tiap
gerbong terlihat sesak melalui kilasan deret jendela. Mona telah sampai di
perlintasan itu. Setelah memperhatikan lembar-lembar rupiah di kardus dekat pos
perlintasan, dengan seorang lelaki yang sibuk dengan telepon genggam di
dalamnya, ia segera berlalu. Dan tiba di halte kecil untuk menyeberang,
melanjutkan langkah menuju gedung kampusnya. Pikirannya masih sulit berfokus.
Wajah lelaki yang sengaja ditemuinya minggu lalu di kampus politeknik itu
membayang.

Jauh sebelum Mona berkuliah, saat masih di awal bangku SMP, ia bertemu
untuk pertama kali dengan Heru; tutor ekstrakulikuler yang dipekerjakan oleh sekolahnya.
Heru berusia 24 tahun saat itu, belum lama menamatkan pendidikan di politeknik negeri
jurusan desain. Dan saat mulai menjadi tutor di sekolah Mona, telah bekerja beberapa
waktu di salah satu kantor penerbitan di kota itu. Mona diam saja memperhatikan
kemeja biru tua Heru, juga rambut pendeknya, saat ia hadir untuk pertama kali
dan memperkenalkan diri di depan lab komputer sekolah. Membenarkan letak
kacamata dan membiarkan kata-kata Heru berlalu begitu saja dari pendengarannya.
Ada sesuatu pada sosoknya, memang, yang membuat Mona begitu sukar mengabaikan. Mungkin
senyumnya, tatapannya, atau seluruh gestur tubuhnya. Sesuatu yang membuat Mona
berdegup, sekaligus menghadirkan rasa nyaman yang samar dalam pikiran.

Mona diam-diam membayangkan, andai ia benar punya kakak lelaki, sosoknya
pasti seperti Heru. Gaya bicaranya tentu serupa. Kesukaannya pada kemeja lengan
panjang yang dilipat hingga siku. Potongan rambut pendeknya. Juga, ini yang
berkali diperhatikan Mona, tahi lalat tipis di sudut kiri bibir lelaki itu.
Mona seperti pernah melihat sosoknya di suatu tempat, entah kapan. Ia tak ambil
pusing. Mungkin, hanya kemungkinan, Heru sedikit mengingatkan pada sosok Bapak
yang dilihatnya suatu waktu dari tumpukan album foto lawas di nakas ruang
tengah.

Langkahnya kini telah sampai di area fakultas tempat ia berkuliah. Mona
berlalu memasuki gedung untuk menuju kelas di lantai dua.

Sesampainya di ruang kelas, ia memperhatikan satu-dua temannya yang
telah lebih dulu datang. Padahal masih ada belasan menit lagi sebelum kuliah dimulai.
Mona tak terlalu akrab dengan mereka. Segera ia berlalu menuju kursi belakang,
duduk, meletakkan tas kain yang dibawanya di sebelah pundak, lalu mengeluarkan
beberapa isinya.

Ibu sempat meneleponnya kemarin malam. Menanyakan kesehatannya, seperti
apa perkuliahannya semester ini, juga bagaimana teman-teman kuliah Mona.
Perempuan itu berkata semua baik saja, tentu. Kesehatannya baik, perkuliahannya
tak ada masalah. Tak mungkin ia berterus terang tentang kondisinya. Tentang
betapa kalut pikirannya beberapa hari kemarin. Juga, tak mungkin Mona bercerita
kalau ia, di luar kunjungan pada minggu sebelumnya, sempat  suatu kali mampir ke kompleks politeknik itu. Berdiam
di sudut dekat gedung perkuliahan, demi bertemu Heru dan membayangkan seperti
apa kesehariannya jika ia jadi bersekolah di sana. Lelaki itu kini mengajar di
almamaternya.

Terlepas dari harapannya yang tak terpenuhi, kesukaannya menggambar sepertinya
memang tak mungkin diredam. Ia bisa menggambar apa saja, di mana saja, duduk
diam sambil tangannya bekerja untuk waktu yang lama. Terputus dari realita di
sekitarnya dan hanyut dalam perasaan dan angan-angan yang mengalir dalam
pikiran. Seperti saat ini. Sembari menunggu dosen untuk kelas itu datang, Mona
mencorat-coret buku catatan yang tadi dikeluarkannya. Perlahan membentuk sosok
laki-laki. Dengan potongan rambut yang sedikit lebih panjang, garis rahang,
leher, juga pundak yang berbalut kaus. Tapi, sebelum ia mulai menggores wajah,
suasana kelas seketika memecah pikirannya. Pengampu untuk kuliah pagi itu baru
saja masuk. Seorang mahasiswa menutup pintu, dan beberapa yang lain mendekat ke
arah Mona untuk menempati kursi-kursi di sekelilingnya. Kelas segera dimulai.

Dulu, ada kalanya Heru jadi sering datang ke rumah. Jauh setelah
kedatangan Heru yang pertama, saat ia langsung bertemu dan berbincang lama
dengan Bapak dan Ibu di ruang tamu. Seperti pada sore itu, saat Mona sudah
kelas dua SMA. Dengan izin Ibu, yang mengiringi kepergian mereka dari balik
pagar garasi, Heru dan Mona pergi berboncengan. Niatnya hanya berputar di
jalan-jalan protokol, yang sebenarnya, Mona tahu persis, lebih sering dalam
kondisi macet pada jam-jam menjelang magrib. Juga saat itu masih awal tahun.
Jadi, selain macet, mereka sempat terkena hujan menjelang akhir perjalanan
sebelum memutuskan berteduh di minimarket.

Mona memakai jaket sejak awal. Heru juga. Tapi, keduanya ternyata belum
cukup terlindung dari hawa di hadapan guyuran air yang deras. Sebagian
permukaan celana mereka pun sedikit basah. Langit mulai gelap. Sampai kemudian Mona
berinisiatif meraih lengan Heru. Lalu mendekapnya dengan satu sisi tubuh, sebelum
menaruh kepala di pundak lelaki itu. Secara perlahan.

Seorang perempuan paruh baya masih berbicara di depan kelas. Mona sibuk
mencatat. Pikirannya sesekali beralih pada ilustrasi laki-laki yang tak
diselesaikannya di pojok kanan buku catatan.

Malam itu, jauh sebelum sore saat keduanya berteduh di minimarket, Mona
berdiam di kamarnya selepas magrib. Duduk di kursi belajar sembari menggambar
ilustrasi berdasarkan wajah salah satu personil kelompok musik Korea
favoritnya. Tapi benaknya tak berhenti memikirkan Heru. Dibuatnya rambut sosok
lelaki pada kertas menjadi sedikit lebih pendek, mengikuti potongan rambut
tutor ekskulnya itu, dan berniat mengakhiri coretannya dengan satu titik kecil
di sudut bibir yang digambarnya.

Namun, sebelum Mona selesai dengan aktivitasnya, pintu diketuk. Ibu
memanggil. Itu tentu ajakan untuk makan malam bersama, batinnya. Saat keluar
kamar dan sepintas melihat ke arah ruang tamu, ia sadar ada yang berbeda. Ibu bukan
mengajaknya makan, justru menggiring Mona ke arah depan, memperkenalkan gadis
itu pada sosok yang duduk di sana. Pada tamu itu. Pada lelaki yang
diperkenalkan oleh Bapak sebagai adik sepupunya, atau paman Mona. Sebagai saudara
jauh dari ibu kota yang beberapa bulan ini mulai bekerja di kota tempat
tinggalnya.

Mona tak perlu semua informasi itu untuk mengenali sosok lelaki di
hadapannya. Ia baru saja hendak menyelesaikan gambar wajahnya di kamar, andai
Ibu tidak mengetuk pintu, dengan potongan rambut dan tahi lalat yang persis
sama. Itu Heru. Lelaki yang berulang kali dibayangkannya saat melamun, juga sesekali
terselip dalam angannya saat terpejam.

*

Sembari melangkah di antara mahasiswa-mahasiswa lain selepas kelas, Mona
berusaha mengenyahkan ingatan tentang kejadian beberapa tahun lalu itu dari
kesadarannya. Heru cinta pertamanya. Mau tak mau terus menempel dalam benak,
sesekali hadir ke permukaan pikiran meski kadang tak jelas apa pemicunya. Tapi
perempuan itu harus berdamai dengan perasaannya kini. Dan berhenti melamunkan
Heru, atau menggambar wajahnya di sela-sela waktu, baik di rumah ataupun kamar
pondokan. Ia benar-benar harus segera berdamai.

Mengangkat sebelah tangan, Mona mencoba menghalau terik yang sedikit mengaburkan
jalan. Lalu berlalu mendekat area kantin kampus yang tak jauh dari gedung
perkuliahan sebelumnya.

Mona masih ingat betul bagaimana di minggu sebelumnya ia sempat berkunjung
ke kampus politeknik itu. Heru memintanya datang dan menunggu di kantin,
sementara lelaki itu menyelesaikan urusan di kantor jurusan. Mereka harus
bicara, katanya. Di area yang cenderung tertutup itu, Mona menunggu di sudut
dekat pintu setelah menaruh es teh manis pesanannya di meja. Perempuan itu
memperhatikan mahasiswa-mahasiswa di sana. Cara mereka berpakaian. Jenis-jenis
sepatu yang mereka gunakan. Tak ada payung-payung dan tempat duduk yang teduh
di antara pohon seperti di kantin kampusnya.

Saat Heru datang, Mona sudah tahu apa yang akan lelaki itu bicarakan. Ia
telah mendengar kabar ini dari Ibu sejak jauh hari. Sambil memperhatikan rahang
yang kini ditumbuhi rambut-rambut tipis itu, Mona teringat bagaimana dulu Heru
sebagai tutor mendengarkan dengan sabar kendalanya saat mempraktikkan
penggunaan aplikasi desain di salah satu komputer milik lab sekolah. Berada
persis di sampingnya, dengan sisi kemeja yang saling bersentuhan, mengambil
kendali atas mouse dan keyboard setelah gadis itu selesai
bicara. Dengan aroma sitrus yang samar tercium, perhatian Mona semakin
teralihkan pada bagian tangan Heru yang terbuka.

Heru masih kerap berkemeja biru dan melipat dua sisi bagian lengan
hingga siku. Di kantin politeknik itu, lengan yang sama kini terjulur ke arah
Mona. Menyerahkan lembar krem dalam plastik tipis transparan, yang kemudian diterimanya
begitu saja.

Mona teringat, saat ia telah berada di bangku SMA, berminggu sebelum
petang di minimarket itu, Heru sekali waktu mampir ke rumah. Bercerita, juga
pada Ibu yang baru saja meletakkan minuman di meja, kalau ia hendak melanjutkan
studinya pada jenjang magister, di kampus yang tak terlalu jauh dari sana. Berniat
lebih banyak mengambil kerja-kerja sampingan untuk menambah uang jajan. Mona
senang saja mendengarkan Heru. Dan tak menolak saat beberapa waktu kemudian
lelaki itu sempat mengajak keluar untuk duduk di salah satu warung kopi, demi
menemaninya mengerjakan satu pesanan desain kartu undangan pernikahan. Dari
seorang teman, katanya. Mona diam memperhatikan lelaki itu bekerja, berpikir
tentang betapa menariknya memiliki profesi yang kurang lebih serupa. Juga, sembari
menghafal kesukaan Heru pada kopi susu tanpa gula, membayangkan betapa
bahagianya jika ia dapat lebih sering menghabiskan waktu berdua saja seperti itu.

Tapi peristiwa-peristiwa dalam ingatannya telah jauh berlalu. Mona memperhatikan
lembar ukuran A5 di tangannya dan mengenali betul kesukaan Heru atas garis ornamen
dan pilihan font pada desain undangan
itu. Ada nama Heru dan seorang perempuan di bagian muka. Dan keterangan kalau
itu ditujukan, dengan hormat, untuk Bapak sekeluarga. Termasuk Mona.

*

Di kursi melingkar bawah payung besar yang teduh itu, Mona memaksakan
suapannya yang kesekian. Setelah nasi dan sedikit lauk selesai dalam kunyahan
dan hendak ditelan, ia merasa kesulitan. Sendok dan garpu di antara jemarinya
lantas ditelungkupkan. Mona tak sanggup menyelesaikan makan siangnya.

Seperti siang pada hari-hari lain, area kantin itu kini dipenuhi
mahasiswa. Sebagian besar seperti Mona, baru selesai mengikuti perkuliahan. Sebagian
yang lain sepertinya sudah duduk di tempatnya sejak pagi dan tak memiliki
agenda apa-apa sampai sore. Bercakap-cakap, dengan suara yang saling tumpuk dan
berselip, melayang-layang di udara dan sebatas tertangkap telinga sebagai riuh.

Mona memperhatikan sekitar. Perempuan berambut panjang di tepian jauh terlihat
tertawa, bersama tiga orang lain di kursi melingkar yang sama. Teman di
sebelahnya meraih gelas, meminum isinya, lalu melanjutkan obrolan yang membuat
perempuan tadi kembali terpingkal. Remaja penjual siomai dari sebelah kios
minuman berjalan ke arah satu payung di sebelahnya dengan piring pesanan dan
segelas minuman. Sedang seekor kucing kuning menanti dengan sabar, kalau-kalau
ada potongan lauk yang terjatuh. Atau tersisa di piring saat pemesan telah
selesai dan meninggalkan.

Di antara keramaian itu, seorang laki-laki dengan dua teman di
belakangnya mendekat perlahan ke arah Mona. Membawa pesanan masing-masing dari area
dalam kantin. Payung-payung lain memang telah penuh ditempati. Dan mereka
berniat meminta Mona berbagi kursi.

Setelah tersenyum mempersilakan, perempuan itu segera berkemas. Melanjutkan
langkahnya menuju masjid kecil tak jauh dari sana, sembari samar-samar teringat
akan pesan Bapak. Dulu, saat Mona selesai mendapat menstruasi pertamanya, untuk
mulai tidak melewatkan salat. Tentu tiap tidak berhalangan. Sosok Bapak
seketika terbayang.

Beberapa tahun sebelumnya, saat masih kelas dua sekolah dasar, Mona pernah
melihat Bapak duduk di ruang tamu malam-malam. Seorang diri, dengan wajah dan
gestur yang sulit diterka. Bapak memegang beberapa berkas. Dan saat Mona
mendekat untuk memulai percakapan, Bapak menerangkan panjang lebar tentang hal
yang waktu itu belum benar-benar dipahami olehnya. Tentang ibu kota dan
kesempatan yang terbuka bagi karier Bapak di perusahaan tempatnya bekerja.
Tentang Mona yang harus menjaga Ibu di rumah dan berperilaku baik selama Bapak
tak ada. Salah satu berkas, baru dipahami Mona kemudian, berisi keterangan
kalau Bapak akan dipindah tugaskan.

Bapak hanya terlihat di rumah pada akhir pekan setelah malam itu.
Percakapan dengannya tak lagi sesering dulu, hanya tersambung via telepon
sekali waktu.  Atau saat Mona sempat
berkunjung ke kantor dan mes kediaman Bapak, terbatas pada hari-hari libur
sekolah. Tak ada sosok Bapak saat malam di hari-hari biasa, yang sebelumnya
begitu mudah ditemui di depan televisi. Tak ada pangkuan di kursi depan, tempat
biasa Bapak mendekap dan mengelus pelan rambut Mona seperti waktu-waktu
sebelumnya, saat ia belum bersekolah.

Sembari melipat mukena yang baru saja ia gunakan, Mona berpikir tentang
kemungkinan untuk melewatkan mata kuliah selanjutnya dan beristirahat di tempat
itu. Masjid, sekecil apa pun, selalu menyediakan hawa sejuk yang ia suka. Dan
dari tadi Mona lihat, tempat itu cenderung sepi. Terutama di area khusus
perempuan.

Mona memperhatikan karpet masjid yang sepertinya baru saja diganti. Seketika,
ingatan tentang Bapak membuatnya kembali bertanya. Kapan terakhir kali mereka
bertemu dan saling berbicara?

Jauh di dalam hatinya, Mona selalu berharap dapat melakukan hal baik untuk
Bapak. Atau, minimal membuat pertemuan-pertemuan mereka menjadi kerap. Setelah
Mona diterima di kampus itu dan mulai menempati kamar pondokannya, ia
membayangkan tentu akan lebih mudah kini baginya untuk berkunjung ke kediaman
Bapak. Mona bisa naik kereta listrik, misalnya, lalu menempuh jarak yang
sebenarnya tidak terlalu jauh dan sampai di ibu kota. Atau, Mona selalu
berharap Bapak mau berinisiatif untuk sering menengoknya di akhir pekan, atau
di malam hari-hari biasa, demi sekadar menyempatkan bertemu dan makan malam
bersama. Nyatanya, hal-hal seperti itu jarang sekali terjadi. Pun Bapak kini
lebih sering melewatkan kesempatan pulang di akhir pekan; membuat perempuan itu
mencari travel dan berangkat seorang
diri demi bertemu Ibu.

Sekali waktu Mona sempat berkabar ingin berkunjung di hari biasa, Bapak
membalasnya dengan informasi kalau ia sedang tak ada di mes. Entah sedang
keluar dengan kolega kantor, menghadiri acara makan malam bersama. Atau,
seperti beberapa hari lalu, saat ia berencana menyerahkan undangan Heru
langsung pada Bapak, masih di lokasi klien demi mempercepat jalannya proyek.

Azan sayup-sayup terdengar. Mona perlahan membuka mata, mendapati
satu-dua orang telah mulai bersiap. Kepalanya terasa berat seketika. Suara panggilan
salat itu semakin jelas tertangkap telinga.

Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, ia meraih tas dan memutuskan
untuk segera menuju perpustakaan.

*

Di saat-saat seperti ini, Mona ingin sekali pulang. Berdiam di kamar,
atau sekadar memperhatikan Ibu yang selalu bersemangat membuatkan makanan saat ia
di rumah. Sembari tetap menyiapkan bahan untuk dimasak, Ibu biasanya memulai
percakapan. Mona memperhatikan saja; rambut terurai Ibu, punggung berbalut kain
daster, serta tangan yang lincah dengan peralatan dapur. Saat ia hendak ikut
membantu, Ibu menyarankannya untuk duduk tenang. Atau, di waktu tertentu,
menyerahkan cobek dan bumbu-bumbu dasar yang perlu segera dilumatkan. Mona
diam-diam menghafal apa-apa saja yang harus disiapkan untuk masakan jenis-jenis
tertentu, serta beberapa pola bumbu dasarnya.

Namun, dengan situasi di antara keduanya setelah sambungan telepon
semalam, Mona begitu enggan bertemu Ibu di rumah. Apa yang harus dikatakannya
andai Ibu kembali bertanya tentang tawaran itu?

“Mbak,” seorang perempuan memanggil. “Mbak!”

Mona terkesiap. Lamunannya memudar. Ia ada dalam satu antrean pada loket
peminjaman buku di perpustakaan dan sedari tadi tak sadar kalau telah tiba
gilirannya untuk maju dan mendaftarkan judul-judul yang hendak dibawa pulang.
Dengan tiga buku dalam pelukannya ia melangkah maju. Berencana menyelesaikan
tugas untuk besok pagi di kamar pondokannya nanti malam. Atau dini hari setelah
ia menyempatkan beristirahat.

*

Di belakang gedung perpustakaan terdapat pohon besar yang memayungi area
undakan melingkar, tempat orang-orang biasa duduk atau melakukan hal-hal lain
dengan satu-dua teman. Atau, tentu saja, pasangan. Mona terhenti di area itu,
memperhatikan danau buatan yang tak jauh, lalu memilih salah satu sisi undakan
dan duduk di sana. Ia menaruh buku-buku yang dibawanya, melepas tas kain hitam
dari pundak untuk diletakkan di pangkuan.

Langit sudah tak seterang tadi siang. Diperhatikannya beberapa orang saling
bercengkerama di seberang, juga pasangan yang berbicara dan tersenyum di sisi
lain undakan.

Tiap Mona ada di bawah pohon besar itu, tak jarang ia membayangkan suatu
hari bisa menikmati waktu luang bersama Heru di sana. Duduk berdua seperti
pasangan yang dilihatnya di sisi jauh undakan, berbicara tentang hari-hari yang
dilalui, sembari sesekali memperhatikan wajah serta pakaian lelaki itu dan
memastikan tak ada yang keliru dengan pesanan kopi yang dibawanya dari kedai di
area perpustakaan. Atau, Mona bisa membawa Heru duduk di tepi jendela bagian
dalam kedai kopi, menemaninya bekerja seperti dulu saat ia masih SMA. Tapi hingga
kini ia selalu seorang diri di bawah pohon besar itu. Tak ada Heru. Teman-teman
kuliahnya pun tak pernah ia temui duduk berlama-lama di undakan, juga di area
dalam kedai kopi persis di sampingnya.

Beberapa mahasiswa dengan alat musik di sisi undakan dekat danau mulai
memainkan komposisi yang asing di telinga Mona—seorang bermain biola, seorang
lain gitar. Wajah Heru sekilas berkelebat di benaknya. Mona berusaha memikirkan
hal lain hingga bayangan itu berlalu.

Agak lama Mona duduk di undakan, sampai ia memperhatikan jam di
tangannya dan menyadari bahwa kini telah lewat jauh dari pukul lima. Perempuan
itu perlahan meraih buku-buku di sampingnya dan beranjak dari sana. Berjalan
menyusuri setapak melalui parkiran motor, hingga trotoar panjang di seberang
masjid besar; menuju area pondokannya di belakang perlintasan kereta.
Orang-orang sekali waktu berpapasan dengannya di jalur itu, berjalan menuju
arah yang sebaliknya.

Sembari terus melangkah, suara Ibu saat meneleponnya kemarin malam terbayang
dalam pikiran. Telepon yang awalnya Mona kira sebagai sesuatu yang biasa, seperti
saat Ibu menelepon di waktu-waktu lain.

Malam itu, Ibu khusus menghubunginya untuk menawarkan sesuatu. Terlebih
dulu bercerita tentang usianya yang tak lagi remaja, dan bagaimana dulu Ibu
menerima pinangan Bapak pada umur yang masih sangat muda. Lebih belia dari usia
Mona saat ini. Tentang bagaimana pernikahan itu baik, dan tentu tak ada yang
sempurna. Salah satu, kalau tidak keduanya, perlu mengalah atau berkompromi pada
apa pun demi hubungan yang terjaga hingga hari tua. Dan perkenalan selalu bisa
terjalin sembari menjalani, termasuk dalam pernikahan.

Perasaan Mona semakin tak keruan. Ia mengerti ke arah mana cerita Ibu
bermuara.

Tak lama setelah bercerita tentang pernikahan, termasuk yang dimilikinya
bersama Bapak, Ibu terdiam lama pada sambungan telepon. Mona tak ingin memecah
keheningan itu. Sekilas, ia berharap, Ibu bisa menerka keberatan Mona, pada apa
pun yang akan hadir dari tawaran Ibu. Dan kekhawatiran Mona persis terbukti.
Ibu menawari Mona untuk berkenalan dengan anak salah seorang teman karib Bapak.
Teman sekolah dulu saat masih tinggal di daerah bersama Nenek. Teman yang Bapak
yakin betul bisa mendidik anak lelakinya sebagai calon suami yang bertanggung
jawab dan berperilaku baik pada Mona.

“Kenalan dulu kan nggak apa-apa? Nggak harus habis itu cocok langsung
nikah. Kalau ternyata nggak cocok bisa jadi teman, Mon,” ucap Ibu.

Lamunan itu perlahan memudar. Mona kini telah sampai di tepi, di mana ia
harus melangkah mengikuti jalur penyeberangan untuk sampai di setapak perlintasan
kereta. Kendaraan sesekali berlalu di hadapannya. Ia mulai menapak di jalan
beraspal dan perlahan menjauh dari tempatnya semula.

Namun, setelah langkahnya kembali tiba di trotoar, Mona terhenti di
halte itu. Sejenak terdiam, lalu duduk dan memandang jauh ke arah seberang; ke
arah gedung-gedung kuliah di sebelah parkiran masjid besar. Terpikir dalam
benaknya tentang apa-apa yang mungkin keliru dari hidupnya. Sembari tetap
menjaga buku dalam pelukan, Mona melamunkan perasaannya pada Heru. Keinginannya
untuk bertemu Bapak. Keengganannya menghadapi Ibu di rumah setelah ia tak
menjawab tawaran itu. Perkuliahan yang tak pernah disukainya. Orang-orang yang
sebagian besar tak dikenal Mona di kampus, pun di kota itu. Wajah Heru. Senyumnya.
Wangi sitrus yang menguar dari balik kemejanya. Momen-momen saat mereka
berboncengan mengitari jalan protokol di kota Mona. Juga undangan pernikahan
yang tak sanggup dilihatnya lagi di laci meja belajar kamar pondokan.

Ia merasa begitu sendiri kini. Mendambahkan sesuatu yang telah jauh terlepas,
sesuatu yang entah apa. Entah kapan atau di mana. Sesuatu yang terasa
terenggut, entah oleh siapa.

Tak lama, tanda peringatan terdengar mendekat dari kejauhan. Rangkaian
kereta segera melintas di balik pagar dan tubuh Mona, menghasilkan deru yang bergulung-gulung.
Wajah-wajah lelah tertangkap matanya saat Mona menoleh ke arah belakang.
Laki-laki dan perempuan. Berkilas dan begitu cepat berlalu.

Air matanya menetes. Ia buru-buru menyekanya dan bangkit. Lalu
melanjutkan rute pulang.