Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Danya Banase
Gadis itu datang satu jam lebih awal dari biasanya. Mungkin karena hari ini akan ada ujian atau sesi diskusi bersama dosen yang kerap melemparkan beberapa pertanyaan tentang materi kuliah minggu lalu. Segala kemungkinan bisa terjadi.
Udara pagi yang sejuk dan murni masih dirasakannya saat ia membuka jendela kelas yang masih tertutup. Ia menghirup dalam-dalam aroma kemenangan pagi dan obrolan rahasia burung-burung gereja. Tubuh rampingnya pun meruapkan wangi bunga-bunga musim semi, tetapi sorot matanya segetir padang rumput kering yang berbulan-bulan merindukan siraman hujan. Bersandar pada kusen jendela, matanya terkatup seolah-olah jiwanya sedang melakukan meditasi sederhana. Kelopak matanya bergerak-gerak, laksana mencari alur cerita yang masih samar-samar membekas dalam ingatannya.
***
“Kau tak akan pernah mengerti apa yang aku rasakan. Kita berbeda. Bagai matahari dan burung hantu, aku mencoba menjauh darimu,” kalimat pertama yang diucapkan Grace setelah jeda panjang saat ia menceritakan pengalaman pahit itu, pengalaman meyakitkan yang terasa bagai napas tertahan di tengah-tengah tenggorokan.
Ia adalah gadis malang yang berusaha bangkit dari keterpurukan dan masa kelam. Masa remajanya tidak senormal gadis-gadis seusianya, yang dengan bebas dapat mengekspresikan diri mereka: hang-out, nonton bioskop, bergosip membicarakan cowok keren di kampus, clubbing atau melakukan macam-macam hal yang identik dengan anak zaman now. Ia sudah telanjur terbelit dalam kondisi yang membuatnya harus melepaskan kulit luarnya yang kering dan bernoda. Memaksanya mengenakan jubah baru. Hidup kembali.
“Masa muda adalah masa yang tidak akan pernah dilupakan. Aku seperti kalimat dari buku yang pernah kita baca, Matilda. Kau seharusnya bangga dengan gelar kebangsaanmu. Angkat kepalamu, Scout!” ucap Grace tampak berusaha kuat. “Aku berusaha menjadi seperti gadis tomboi itu. Kondisi kami memang berbeda, tetapi pembawaan dirinya membuatku merasa Harper Lee tidak sedang menciptakan tokoh imajinatif, tapi nyayian kehidupan yang nyata. Scout. Ia begitu bebas, bukan? Mengungkapkan pikiran dan berbicara pada dunia.”
“Ya, kalian mirip, bahkan kau pun punya poni. Tapi aku kurang setuju pada beberapa hal. Ia hanyalah tokoh fiktif. Lihatlah kehidupanmu yang sekarang. Masa lalumu tidak serupa pohon tua perkasa yang terabaikan sendirian, dengan ranting-ranting kurus tak berdaun yang kepanasan di siang hari dan menggigil di malam hari. Kau hanya akan terseret mimpi yang tak akan pernah selesai. Terlalu halus dirimu untuk menjadi jahat. Bukan salahmu seutuhnya,” jawab Matilda memegang tangan Grace yang kasar dan biru lebam akibat pukulan. Ujung jari kirinya bengkok tak beraturan dan bekas darah masih sedikit basah di sana.
***
Lamunan gadis itu sontak dibuyarkan oleh suara segerombolan mahasiswa yang berlomba lebih dahulu masuk kelas. Senyum bahagia terbit di bibir dan wajah mereka yang bersinar, mereka tampak serius membicarakan pelbagai hal remeh yang mereka pedulikan. Mungkin tentang nilai mata kuliah, atau mungkin tentang biduan yang sedang naik daun meskipun hampir semua lirik lagunya payah bukan main itu. Ia tak berusaha menyimak. Ia hanya menatap komat-kamit mulut mereka dan duduk kembali, mengambil tempat di baris kedua dari depan. Dekat jendela. Selalu dekat jendela. Setengah melamun, pandangannya terarah pada sosok gadis berambut hitam lebat yang mengenakan kemeja biru laut dengan garis-garis putih samar. Si rambut jerami hangus menghampirinya dengan langkah tergesa-gesa sambil sesekali membetulkan letak kacamata minus tebal yang membuat wajahnya lebih mirip seorang profesor paruh baya daripada seorang mahasiswi semester lima.
“Apa kau masih memikirkan Grace? Aku pun mengingatnya. Hari ini persis dua bulan sejak ia memutuskan untuk berhenti kuliah karena kasus pelecehan itu, bukan? Tadi saja, aku mencoba untuk jeli memilih angkutan umum yang benar-benar aman untuk dinaiki, apakah kosong atau tidak, seperti apa raut muka sopir dan konjaknya, memastikan bagaimana kondisi angkutan bemo itu. Untung saja, di dalamnya ada beberapa orang tua yang sibuk dengan bahan belanjaan mereka dan beberapa mahasiswa yang diam memandang satu sama lain. “Kau tidak lupa hari ini, bukan?” tanya Martha sambil menyentuh bahu gadis di sampingnya. Kalimat- kalimatnya memancur deras seperti seteko teh panas yang dituang ke dalam gelas kosong.
“Tentu saja,” jawab Matilda singkat. “Ia sedang berusaha. Bukan untuk menyobek lembaran kehidupannya, tapi sedang menatanya agar lembaran itu menjadi seruan bagi orang lain.” Martha hanya menatap lekat-lekat wajah Matilda. Mereka memang tidak dapat melupakan insiden yang dialami Grace sehari sebelum ia memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya dua bulan lalu. Mereka seolah-olah sedang mengenang peristiwa pemakaman yang khusyuk tetapi jiwa si mayat masihlah hidup dan diam dalam dimensi antara bangkit atau tidur kembali. Percakapan keduanya tidak terusik oleh embusan angin yang dingin ataupun hiruk-pikuk obrolan teman-teman lainnya.
“Masih sangat pagi aku tiba tadi. Masih sangat dini usia kita kini. Masih sangat mulia kehidupannya sekarang untuk diratapi. Apa kau ingat apa yang dikatakan Atticus pada Scout di buku bacaan kesayangan Grace?”
“Kau tak akan pernah mengenal seseorang sampai kau berada dalam posisinya dan mencoba menjalani hidupnya,” jawab Martha menganggukkan kepala.
***
Gadis di sampingnya menjadi kelam untuk beberapa saat yang cukup lama. Matilda berpikir bahwa sahabatnya itu mungkin butuh waktu untuk menenangkan diri, tetapi kedipan matanya mengisyaratkan bahwa ia sungguh-sungguh ingin berlari dari ikatan yang mengguncang dirinya.
“Berapa lama?” tanya Grace sontak.
“Apanya?”
“Pasti cukup lama,” tawanya ringan.
“Mungkin,” gadis itu terdiam cukup lama, “Kau perlu ke dokter untuk memeriksanya, itu bukan sakit biasa, bukankah semua ibu yang sakit seharusnya ke dokter?”
“Entahlah. Aku merasa sangat lelah belakangan ini. Semakin tua, aku semakin lupa bahwa perut ini juga butuh mengenal dokter.”
“Kau baru berumur 20 tahun.”
“Bukankah ini lucu,” tawanya semakin keras, “Sering-seringlah menghubungiku selagi kau punya waktu luang. Waktu akan terus berjalan. Semua akan berubah. Luka ini pun akan terus mengingatkanku pada masa remaja yang aku idam-idamkan. Pada mulanya, rasa sakit ini perih sekali. Sangat perih. Perlahan tapi pasti akan semakin coklat dan mengering, akan menyatu dengan kulit. Hanya saja, semakin kering artinya semakin mudah terkelupas. Apa kau mengerti maksudku?”
“Kurasa begitu. Akan kucoba untuk mengerti.”
“Kau sudah mengerti, tapi mencoba terlihat tak mengerti. Pulanglah. Pulang pada hari esok. Masa remajamu telah menunggu di sana. Cobalah untuk menggunakan waktumu sebaik mungkin. Bangunlah temanku, kita masih harus terus berjalan.”
“Aku tahu. Selangkah demi selangkah!”