Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Pencuri… Pencuri… Pencuri

author = Elvan De Porres

(1)

Kami sedang minum tuak di rumah kepala desa ketika bunyi gaduh timbul di pertengahan kampung. Suara teriakan dan orang lari-lari begitu menggelegar mirip petir menyambar kawanan babi hutan dan kami sungguh terkejut.

“Pencuri…pencuri…pencuri….”

Suara ini makin jelas, membikin kesadaran kami yang telah terpengaruh alkohol pulih seketika. Memang selain karena gempa bumi, sengatan serangga dan cocoran puntung rokok, bebunyian tak masuk akal seperti itu dapat pula menghentak siapa saja yang sedang mabuk. “Pencuri…pencuri…pencuri….”

Pak kepala desa- dia minum paling banyak- bangun secara susah payah sambil membereskan beberapa surat proyek lantas mencari parang dari dalam rumah. Sementara aku dan dua kawanku, Lukas dan Agus, sigap berdiri memantau kejelasan sumber suara.

Dalam sekejap, kami segera mengejar. Kami membaur bersama beberapa warga kampung yang telah keluar rumah duluan. Dan dari tuturan mereka, bandit berjumlah dua orang baru saja lari ke arah selatan usai menggasak tujuh lembar kain tenun di rumah Nyonya Maria, janda anak satu yang suaminya pergi ke Malaysia dua hari lalu.

Bangsat. Harus sampai dapat, kepala desa memberi perintah. Dengan suara yang agak berat.

Namun, lima menit berselang dan apalah daya. Kami kehilangan jejak mereka, sebab arah selatan perkampungan adalah kebun jagung dan sisanya hutan mahoni. Semua orang kecewa, tapi seandainya ditemukan, kupikir jahanam-jahanam itu pasti sudah dikuliti ataupun dijadikan pakan ternak oleh orang-orang kampung.

Bagaimana tidak, hampir semua pengejar membawa celurit, tombak pusaka dan pisau iris yang tajamnya tak kenal jeri. Mungkin juga para pencuri segera masuk kubur dalam keadaan setengah hidup setelah kantong darahnya lubang akibat tusukan.

(2)

Kalian tahu, pada malam itu, kami sebetulnya lagi membicarakan proyek pembangunan pusat kesehatan masyarakat di desa kami. Desa kami baru saja memperoleh dana tahunan dan kepala desa memintaku membuatkan gambar desain bangunan.

Sambil minum tuak kelas satu, kami bertukar pikiran cukup lama. Mencari kesepakatan harga untuk pekerjaan itu.

“Dua puluh juta,” kusampaikan kepadanya.

“Itu terlalu besar. Anda tak cinta pada kampung ini?” dia membantahku.

Aku tak merespons dia meski aku cinta pada kampung ini. Kalau menggambar kandang macan, aku bisa melakukan hanya dalam sekali duduk atau saat sedang mimpi. Tapi, ini adalah pusat kesehatan masyarakat yang butuh perencanaan matang.

Saya butuh waktu untuk melihat lokasi itu dan membuat perhitungan.”

“Sepuluh juta bagaimana?” tiba-tiba dia menurunkan penawaran.

Lantas ketika pembicaraan kami sampai di situ, barulah teriakan “pencuri….pencuri….pencuri” terdengar dan kesepakatan tak jadi terlaksana.

(3)

Tiga hari berselang, desas-desus soal pencurian itu hilang begitu saja. Pak kepala desa lalu mengundangku kembali untuk membicarakan proyek tersebut. Tentu aku datang dengan pendirian tetap. Bila dia tak mau bersepakat untuk harga dua puluh juta, aku pastikan tak akan mengambil proyek tersebut.

Dia menyambutku dengan raut wajah serius. Kali ini, tak ada lagi minum mabuk, sebab pembicaraan langsung tertuju pada proyek dan dia ingin keputusan segera tercapai.

“Saya tetap akan memberi Anda sepuluh juta. Perhitungannya sudah demikian,” dia menyampaikan, lantang memang.

Lagi-lagi aku tak peduli. Kubilang, serahkan saja proyek itu pada orang lain, pasti ada yang mau menerimanya.

“Baiklah, kalau begitu saya akan beri kamu dua puluh juta, tapi dengan syarat dalam lembaran kontrak, angka yang harus tertulis adalah dua puluh lima juta. Kamu dapat dua puluh dan lima juta untuk keringat saya,” bicaranya ketus.

Ketika dia bilang begitu, keanehan terbersit dalam kepalaku. Kupikir, keringat dia tak usah dihargai karena dia kepala desa yang punya tugas demikian. Kalaupun ada harganya, keringat itu patut setara dengan satu botol tuak dan sebungkus rokok.

“Jumlah itu sangat besar untuk Anda, Pak Kades.”

“Urusan proyek memang harus ada recehan,” jawabnya sinis, “yang terpenting kamu dapatkan apa yang kamu mau dan yang lain adalah urusan saya. Kamu tinggal menandatangani perjanjian ini.”

Dugaanku bahwa orang ini menderita gangguan jiwa semakin menjadi-jadi. Dia bermain-main dengan anggaran dan bisa kena pidana apabila ketahuan melakukan penipuan.

“Maaf, Pak. Sepertinya saya tak bisa menerima kompromi ini.”

Ah, tenang saja. Tak ada yang tahu. Kita tinggal sepakat dan uangmu segera kuberikan.”

“Saya butuh waktu untuk berpikir.”

Tapi, sebelum aku benar-benar berpikir, pertemuan kami tersebut dikagetkan lagi dengan teriakan yang sama dari tengah kampung.

“Pencuri….pencuri…pencuri….”

Kami berdua segera beringsut, dan kami lihat beberapa warga kampung berlari-lari melakukan pengejaran. Kami akhirnya turut serta.

Bangsat. Harus sampai dapat, kepala desa memberi perintah ke orang-orang. Kata-katanya masih sama seperti pengejaran beberapa waktu lalu.

Dan lagi-lagi kami tak mendapatkan hasil apa pun selain embusan angin dan bisikan jangkrik. Jangankan menangkap, menemukan jejak para pencuri saja bikin kami kewalahan. Sial benar. Televisi butut milik Pak Mus, seorang pekerja kebun serabutan, raib malam itu juga.

(4)

Aku pikir Pak kepala desa tak lagi membutuhkan jasaku. Ternyata malam ketiga setelah pertemuan kedua kami, dia malah datang sendiri ke rumahku. Tatkala masuk ke dalam rumah, dia langsung membuka tas dan mengeluarkan surat proyeknya. “Saya butuh tanda tangan Anda sekarang,” tutur dia tanpa basa-basi.

Giliran dahiku yang berkerut.  

“Duduk dulu, Pak.”

Aku mempersilakan dia duduk dan ketika pantatnya mendarat pada kursi kayu, aku tanpa rasa sungkan memintanya meninggalkan rumah secara baik-baik.  

“Maaf, saya tak enak pada warga desa ini. Kita selalu bertemu pada malam hari, jangan sampai mereka pikir kita sedang membikin konspirasi,” ujarku sambil memaki dalam hati karena kami sebetulnya memang hendak membuat konspirasi.

“Hanya kamu yang bisa saya andalkan,” katanya trenyuh, memelas belas kasihan. “Jika proyek ini tak segera ditandatangani, desa ini akan kena cap buruk dan kemungkinan kita tak dapat bantuan lagi,” sambung dia.

Tentu ini lelucon. Tanggung jawab ada pada tangan dia dan entah diriku dilibatkan ataupun tidak, semua ini tak punya pengaruh sama sekali.

“Di kampung ini, kamu adalah seorang penggambar yang baik. Saya tak mau dana ini lari ke tempat lain. Saya ingin memberdayakan warga kampung ini,” dia bicara lebih pelan, “saya ikuti permintaan kamu untuk harga tersebut. Dan kamu hanya tinggal menandatanganinya sesuai yang pernah kita bicarakan.”

Dia juga bilang bahwa apapun yang terjadi kelak, semuanya  akan jadi urusannya. Aku tak perlu khawatir.

Entah terserang nubuat apa, kepalaku tiba-tiba mulai membayangkan bagaimana uang dua puluh juta itu aku gunakan kelak. Bermain kupon putih, ikut sabung ayam, membeli segentong tuak, menghadiahi istriku perhiasan, dan sisanya kusimpan untuk biaya kelahiran anak kami nanti.

Ketika aku larut dalam imajinasi itu dan sebelum mengiyakan, dia menyodorkan pulpen dan kertas kontrak. Memintaku segera membubuhkan tanda tangan.

Awalnya, aku ragu-ragu. Aku sedikit menengok ke kiri dan kanan dan menarik napas sejenak. “Dua puluh juta dan tugas Anda hanyalah menggambar,” bisik dia.

Lembaran itu lalu kuambil dan aku pun menandatanganinya. Kuperhatikan Pak kepala desa tersenyum semringah. Seperti baru saja mendapatkan resep awet muda atau ketiban mandraguna dari ramuan obat kuat.

Namun….

Sesaat setelah itu, teriakan dari tengah kampung kembali menggelegar. “Pencuri…pencuri….pencuri….”.

Kami berdua segera keluar rumah, hendak menggabungkan diri lagi untuk menangkap para pencuri yang tampaknya telah jadi wabah di desa ini. Hanya saja, yang terjadi rupanya sebuah tontonan aneh. Orang-orang malah datang berbondong-bondong menuju rumahku. Ke arah kami berdua, sambil berteriak, “Pencuri…pencuri…pencuri….”