Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Kiki Sulistyo
Waktu pertama kali datang ke tempat latihan balet, Lin Munru melihat seekor burung betet; berkepala besar dengan paruh bengkok, bulu-bulunya hijau kecuali di bagian dada yang berwarna merah, dan kakinya pendek dengan dua jari menghadap ke belakang. Namun kata Madona, adik sepupunya, itu bukan burung betet, melainkan burung Kiki. Lin Munru belum pernah mendengar nama burung Kiki dan dia ingin mendebat adik sepupunya itu kalau saja dia tidak teringat pada jam pelajaran balet.
Tempat latihan balet berada di lantai atas sebuah ruko. Di lantai bawah ada gerai busana. Para murid balet harus melewati gerai itu untuk menuju lantai atas. Selain Madona ada beberapa anak yang juga tampaknya hendak latihan balet. Semua anak itu diantar oleh orang dewasa, laki-laki maupun perempuan.
Berbeda dengan orang-orang yang tanpa menoleh langsung menuju lantai atas lewat tangga di sudut gerai busana, Lin Munru dan Madona tertahan di gerai busana dengan mata berbinar-binar melihat aneka busana yang dipajang. Langkah mereka mengayun pelan-pelan sebab mata mereka memperhatikan satu-persatu setiap busana yang mereka lewati. Bahkan mereka kemudian berhenti di depan manekin bergaun putih panjang yang mengembang di bagian bawah. Apa yang membuat mereka terpana bukanlah gaun itu melainkan sepatu yang dikenakan manekin. Sepatu itu terbuat dari kaca dan hanya sebelah saja.
“Cinderella..” bisik Madona pada Lin Munru. “Ternyata Cinderella anak durhaka,” lanjutnya.
“Maksudmu?”
“Iya, pasti dia sudah dikutuk ibunya sampai jadi patung begini.”
Lin Munru merenung. Sebetulnya dia tidak sedang memikirkan kata-kata sepupunya, dia sedang teringat pada lelaki yang sudah meninggalkannya. Lelaki itu adalah dosen pembimbingnya ketika dia menempuh pendidikan tinggi. Bagi Lin Munru, lelaki itu memang tidak tampan tapi dia benar-benar pintar dan sanggup mendengar dan melayani pikiran-pikiran Lin Munru. Lagipula sebagai dosen dia tidak pernah bersikap seolah dirinya punya kasta lebih tinggi ketimbang mahasiswanya. Lin Munru jatuh cinta padanya namun hubungan mereka segera kandas ketika terkuak fakta bahwa lelaki itu pernah tidak mengakui kalau seorang perempuan setengah gila yang tinggal di sebuah kampung pesisir adalah ibunya. Bagi Lin Munru, seberapa pun pintar dan baiknya seseorang, jika dia tidak mengakui ibunya sendiri, maka orang itu tidak pantas dipercaya. Jika ibu kandung sendiri tidak diakui bagaimana dengan dirinya nanti?
“Itu bukan cerita Cinderella, itu cerita Malin Kundang,” bantah Lin Munru.
“Mungkin saja Cinderella dan Malin Kundang bersaudara.”
“Tidak mungkin. Mereka tinggal di tempat yang jauh berbeda, di waktu yang juga jauh berbeda. ”
“Aku punya teman sekolah yang pernah bercerita bahwa dia punya saudara yang sekarang tinggal di surga. Bukannya surga juga jauh?”
“Itu artinya saudara temanmu sudah mati.”
Lin Munru menarik tangan Madona agar bergegas menuju tangga. Tidak ada gunanya berdebat dengan sepupunya itu. Madona sedikit menahan tarikan Lin Munru sehingga kakinya seperti terseret-seret, sementara pandangannya terus tertuju ke manekin Cinderella.
Latihan pertama balet baru saja akan dimulai. Beberapa anak berdiri menghadap seorang perempuan yang mengenakan kaus polos dan celana ketat. Di belakang perempuan itu terbentang cermin sehingga dapat terlihat rambutnya yang diikat ke belakang. Bagian ujung rambut dicat hijau, sementara bagian tengahnya dicat merah. Di dalam cermin juga terlihat para pengantar anak-anak yang berdiri atau duduk bersandar di dinding seberang cermin.
Ketika melihat Lin Munru dan Madona, pelatih balet berkata, “Oh, masih ada satu teman kita. Ayo silakan berbaris.”
Lin Munru melepas pegangannya pada lengan Madona dan menyuruh sepupunya itu berbaris. Madona menurut, Lin Munru memperhatikan sepupunya sebentar lantas memperhatikan anak-anak yang lain sebelum memperhatikan si pelatih balet. Madona paling kecil dibanding anak-anak lain dan pelatih balet itu kelihatan kurang bersemangat.
Gagasan untuk memasukkan Madona ke kursus balet murni berasal dari Lin Munru. Madona anak yang aktif; suka memanjat tembok, melompati pagar, atau berguling-guling. Dia juga lebih sering bermain bersama anak laki-laki. Menurut Lin, Madona perlu menyalurkan energinya ke hal yang lebih jelas, karena dia sangat aktif risiko kecelakaan mungkin terjadi dan kalau ibunya melarang bisa-bisa dia jadi membenci ibunya. Kursus balet adalah pilihan yang tepat untuk anak yang aktif. Lin Munro sudah tidak ingat dari mana dia mendapat informasi bahwa di sekitar pertokoan itu ada yang membuka kursus balet.
Sebetulnya Lin Munru sendiri pernah punya keinginan jadi balerina. Sewaktu kecil dia menonton sebuah film tentang balerina dan seolah mendapat bisikan sekonyong-konyong timbul cita-citanya untuk jadi balerina. Sayang waktu itu belum ada kursus balet di kota tempat tinggalnya. Kalaupun ada, ibunya pasti tidak mengizinkan. Ibunya ingin dia lebih banyak memperhatikan pelajaran di sekolah dan karenanya kursus-kursus yang boleh diikutinya adalah kursus-kursus yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah. Cita-cita Lin Munru menjadi balerina segera terkubur, dan kenyataan itu membuat Lin Munru jadi membenci ibunya.
Latihan balet dimulai. Karena itu baru pertemuan pertama pelatih hanya memberi latihan-latihan kecil untuk melenturkan badan. Dari seruan-seruannya, Lin Munru tahu kalau pelatih itu bernama Kiki. Lin jadi teringat pada burung yang tadi dilihatnya. Dia berjalan ke dekat jendela untuk menengok ke luar. Burung betet tadi sudah tidak ada. Lin menyapukan pandangan ke seluruh kabel listrik yang bisa terjangkau mata, tapi burung itu tidak juga terlihat.
“Burung itu sudah terbang,” ujar seorang laki-laki yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Laki-laki itu turut melihat ke luar.
“Kok tahu saya sedang mencari burung?”
“Soalnya tadi saya lihat burung itu terbang, burung itu mirip pelatih balet, dan tadi saya lihat kamu memperhatikan pelatih itu sebelum berjalan ke jendela.”
Lin Munru menoleh. Laki-laki di sampingnya cukup tampan, kalau dia pemain sandiwara dia bisa berperan sebagai pangeran dalam cerita Cinderella.
“Itu putrimu?” tanya laki-laki itu.
“Kau bisa menebak soal burung. Jadi kupikir kau juga bisa menjawab pertanyaanmu sendiri.”
“Oh, Baiklah. Itu bukan anakmu, itu sepupumu, dan dia nyaris membenci ibunya.”
Lin Munru terheran-heran. “Sebentar,” ucapnya, “apakah kita pernah bertemu?”
“Tentu saja.”
“Di mana?”
“Aku pemilik gerai busana di bawah.”
“Oh, tapi aku tidak melihatmu tadi.”
“Betul. Tapi aku melihatmu, itu artinya kita pernah bertemu.”
“Baiklah. Kalau begitu bolehkah aku menanyakan sesuatu?”
“Saya tahu kamu akan menanyakan soal sepatu manekin yang cuma sebelah.”
“Aih, rupanya kau tahu segala hal.”
“Tidak juga. Aku tidak tahu kalau pelatih balet itu adalah ibuku.”
Lin Munru terkejut dan secara otomatis kepalanya menoleh ke arah si pelatih yang juga kebetulan sedang melihatnya. Pelatih itu tersenyum padanya. Lin Munru membalik badan dan melihat semua pengantar yang tadi bersandar di dinding sudah tidak ada di tempatnya. Rupa-rupanya mereka bosan dan memilih menunggu di luar.
“Aku tahu kamu terkejut. Aku juga terkejut.”
“Maksudmu terkejut mengetahui kalau pelatih balet itu adalah ibumu?”
“Bukan. Aku terkejut karena kamu terkejut.”
“Tentu saja aku terkejut. Kukira setiap orang akan terkejut mengetahui informasi itu.”
“Apakah kamu juga akan terkejut kalau kukatakan aku tidak mau mengakuinya sebagai ibu?”
Lin Munru berpikir sebentar. “Kukira tidak,” jawabnya kemudian.
“Jawabanmu mengejutkanku,” ucap laki-laki itu.
“Aku tidak terkejut dengan jawabanku.”
“Aku tahu. Karena itu kamu membawa sepupumu ke kursus balet ini.”
“Aku tidak mengerti maksudmu. Itu dua hal yang sama sekali tidak berhubungan.”
“Seperti aku dan pelatih balet sama sekali tidak berhubungan?”
“Itu hal yang lain lagi dan tidak berhubungan sama sekali denganku.”
“Jika ada beberapa hal yang tidak berhubungan maka di dalamnya pasti ada hal-hal yang berhubungan,” ucap laki-laki itu lalu dengan satu gerakan ringkas membalik badan dan menjauh dari Lin Munru.
“Tunggu,” kata Lin Munru, “apakah kau tahu ke mana burung betet itu terbang?”
Laki-laki itu menoleh. “Tentu saja. Tapi itu bukan burung betet. Itu burung Kiki,” katanya sambil bergegas menuju tangga. Lin Munrumerenung. Sebetulnya dia tidak merenungkan jawaban laki-laki tadi, dia hanya tiba-tiba teringat pada dosen pembimbingnya dan berpikir-pikir apakah ada hubungan antara dosen pembimbingnya itu dengan seekor burung betet yang berubah nama dan terbang entah ke mana?
“Lihat, lihat!” seru Madona tiba-tiba. Lin Munru menghentikan pikirannya dan melihat sepupunya serta anak-anak yang lain mengepak-ngepakkan tangan. Tubuh mereka terangkat dari lantai seperti sekelompok burung sedang belajar terbang. Melihat semua itu Lin Munro tertawa-tawa. Dia sama sekali tidak terkejut.