Sejak Medusa mengangkat sauh dari Rochefort pada 17 Juni 1816, Samantha sudah merengek kepadaku, mengapa kami tidak menumpangi Loire, Argus, atau Echo. Kujelaskan kepadanya bahwa hanya Medusa yang difungsikan sebagai kapal penumpang dalam konvoi ini. Dia perempuan penakut, memang. Alih-alih kagum oleh kemegahan Medusa yang pernah berlayar ke Hindia Timur saat pemerintahan Napoleon, dia justru terbayang kepala penuh ular milik anak dewa Forkis yang mati oleh Perseus.
Nama adalah doa. Oleh sebab itu kita dibaptis dengan nama-nama yang baik milik orang-orang kudus. Dan kebaikan apa yang ingin diambil dari nama Medusa? Dia tidak lebih hanya akan membawa kutukan dan kesialan.
Begitu gerutu Samantha kepadaku dalam bisik yang tidak ingin didengar banyak orang. Maka, sebab perasaan was-was yang menyelimuti hatinya, sejak kapal bergerak meninggalkan daratan Prancis, Samantha lebih banyak membuat tanda salib dan berdoa untuk keselamatan semua orang di atas kapal.
Medusa yang kami tumpangi beserta tiga kapal yang lain sedang dalam perjalanan menuju Afrika. Kami dikirim oleh Raja Louis XVIII untuk mengisi kembali koloni Senegal, sebuah daratan di Afrika Barat. Kudengar dari seorang kelasi, Medusa membawa kurang lebih 400 penumpang terdiri dari warga biasa seperti aku dan Samantha, kelasi, ilmuwan, serdadu infanteri, dan para pejabat pemerintahan termasuk Kolonel Julien-Desire Schmaltz yang akan menjadi gubernur Senegal. Tuan Hugueus Duroy de Chaumareys dipilih oleh Raja Louis untuk menahkodai Medusa. Sebuah keputusan yang tidak memuaskan, menurutku. Sebab kudengar Tuan Chaumareys sudah hampir 20 tahun tidak lagi menghirup udara laut. Samantha sendiri, meski hanya istri seorang tukang kayu, meragukan kemampuan Tuan Chaumareys untuk perintah itu. Pisau yang tidak pernah dipakai dan diasah bisa menjadi tumpul, katanya.
Selama sepuluh hari Medusa berlayar seperti ikan marlin raksasa yang membelah lautan. Badan kapal yang tidak terlalu banyak membawa barang berat dan meriam artileri membuat Medusa bergerak lebih cepat dari Loire, Argus, dan Echo. Kulihat orang-orang bergembira di dalam cawan dan guci anggur sembari membuat nyanyi-nyanyian untuk Prancis, Raja Louis, dan diri mereka sendiri. Sementara Samantha selalu menggamit lenganku dan tangan kanannya menggenggam rosario dari kayu ara yang kubuat untuk hadiah ulang tahunnya.
Semua akan baik-baik saja, kataku menenangkannya. Tidak usah terlalu risau.
Di laut, tidak ada yang tahu keselamatan kita, Vienny. Terlebih kita berada di atas Medusa. Laut seperti maut yang dikutuk menjadi genangan air.
Kalimat yang indah, ma cherie. Apa kau membuatnya sendiri?
Tentu saja. Apa kau lupa sudah menikahi perempuan pembaca roman?
Aku tertawa disusul Samantha yang akhirnya menarik kedua bibir kecilnya. Kami berjalan-jalan mendekati buritan, menyaksikan lanskap laut lepas yang menyatu dengan biru langit. Seorang kelasi kapal melintas di depan kami dan kutahan langkahnya untuk menanyakan sudah sampai manakah Medusa berlayar.
Madeira, jawabnya dengan suara berat. Duduklah dengan manis, Kamerad. Kapten Chaumareys mengambil jalur tercepat untuk membawa kita ke Senegal. Ya, meski sebenarnya itu sedikit berbahaya.
Apa maksudmu dengan berbahaya? Samantha memotong dengan raut muka tertekuk.
Rute yang akan kita lewati berupa perairan dangkal yang dipenuhi gundukan pasir dan batu karang.
Ya, Tuhan! pekik Samantha meremas lenganku. Ada keputusasaan yang mengaliri urat-urat mata birunya.
Tidakkah kalian memberi tahu kapten? aku bertanya.
Hanya suara kelasi, siapa yang mau mendengarkan? dia mengedikkan bahu lalu pergi kembali kepada teman-temannya sesama kelasi. Dalam sepuluh langkah dia berbalik dan berteriak kepada kami, Berdoalah untuk keselamatan kalian, Kamerad. Dia lalu lenyap setelah melewati segerombolan serdadu infanteri yang sedang menikmati waktu luang dengan cerutu dan anggur.
Samantha memutar rosario. Kupeluk tubuhnya yang mungil untuk memberi ketenangan. Selama beberapa saat kami terdiam dalam doa-doa yang ditingkahi angin dan pecahan ombak. Suara orang-orang di atas kapal seperti lenyap dari telinga kami. Tapi di tengah-tengah keheningan itu, Samantha melepaskan pelukan tangannya dan berseru kepadaku.
Hei, Vienny, apakah itu Argus ataukah Loire? Samantha menunjuk sebuah kapal yang terlihat kecil di kejauhan.
Kukira itu Echo, kuperhatikan kapal yang ditunjuk Samantha dengan saksama. Kapal yang kuduga Echo itu terlihat merubah arah haluan dan menjauh dari Medusa.
Mereka tidak mengikuti kita, Vienny.
***
Tanggal 2 Juli. Terjadi kegaduhan kecil di sekelompok kelasi yang sedang beristirahat dari pekerjaan mereka. Aku yang tak sengaja mendengar keributan itu segera meninggalkan Samantha bersama seorang istri tukang batu bernama Maelis untuk menghampiri para kelasi.
Kapten bodoh, seorang kelasi mengumpat setelah berhasil menyobek sepotong roti. Apa yang bisa dilakukan orang banyak omong itu?
Ada masalah, Kamerad? tanyaku memotong percakapan.
Seorang kelasi yang kutemui di buritan kemarin rupanya ada di sana. Dia menyapaku lalu memberikan sepotong roti dan secawan anggur. Dia sempat menanyakan istriku yang kemudian kutunjukkan di mana Samantha sedang berdiri dan bercengkerama dengan seorang perempuan.
Kapten Chaumareys menunjuk seorang bependidikan untuk mengawasi navigasi, katanya acuh tak acuh. Siapa namanya, Edmond?
Richefort, jawab seorang kelasi bernama Edmond.
Tapi, bukankah itu bagus?
Bagus, katamu? dia mengernyitkan dahi kepadaku. Memang, kudengar Richefort tahu banyak hal tentang Afrika dan jalur pelayaran ke sana. Tapi, meski dia berpendidikan dan berpengetahuan tinggi, dia tidak tahu apa-apa soal navigasi. Dia bukanlah pelaut yang bisa membaca cuaca dan arah angin.
Tapi, Kamerad, barangkali dengan pengetahuannya itu dia bisa cukup berguna untuk membantu kapten yang mungkin sudah lupa cara menjadi pelaut, aku berusaha menyusun pikiran baik.
Ah, laut tidak sesederhana pengetahuanmu, Kamerad. Orang-orang seperti Richefort selalu berusaha menciptakan teori-teori tentang alam dan menulisnya ke dalam buku agar bisa dibaca dan dihafal dengan mudah. Mereka cenderung menganggap alam seperti mesin yang bisa ditebak cara kerjanya. Padahal alam juga hidup seperti kita. Laut, misalnya. Jika kau melihat langit berwarna biru bersih dan hanya dihiasi beberapa awan putih seperti domba pemakaman, kau akan mengira itu hari yang baik untuk menangkap ikan. Padahal, dari tempat yang jauh awan badai sedang berjalan dan bersiap-siap melumat perahumu. Tapi, jika kau pelaut sejati, kau akan merasakan kecepatan angin, bau udara, dan warna langit yang berubah sebelum badai itu datang kepadamu. Dan kau bisa selamat, kembali kepada istrimu. Oh, bukan, rupanya dia yang kembali kepadamu, Kamerad.
Lelaki kelasi menunjuk ke belakang punggungku. Aku berbalik dan kulihat Samantha berlari-lari kecil menghampiriku dengan raut muka penuh ketakutan. Samantha menarik lenganku dan membawaku ke bagian tubir kapal. Di bawah, kulihat warna air berubah menjadi keruh dan kecoklatan, seperti lumpur kolam yang berusaha naik ke permukaan saat sebuah batu dijatuhkan. Lalu terdengar suara benturan. Badan Medusa terbanting miring yang segera mengakibatkan kepanikan orang-orang di atasnya. Segera kuraih lengan Samantha dan membawanya menjauh dari tepian kapal. Medusa segera dipenuhi kegaduhan. Dan ketika seorang kelasi mengumumkan bahwa bagian kemudi kapal sudah tidak bisa digunakan, orang-orang segera berdoa untuk keselamatan dirinya masing-masing.
Sudah kukatakan, Vienny, Medusa membawa kutukan Athena, suara Samantha terdengar putus asa. Ia berkali-kali membuat tanda salib.
Kulihat Kapten Chaumareys bersama Tuan Schmaltz dan beberapa kelasi sedang melakukan perundingan. Para pejabat dan orang-orang kelas tinggi menuntut kapten untuk segera mengambil keputusan, sementara orang-orang biasa berdoa dan menggenggam tangan orang yang dikasihi masing-masing.
Sudah diputuskan, suara kapten Chaumareys melengking. Sebab jumlah sekoci yang terbatas, maka, atas pemikiran Tuan Schmaltz yang cemerlang, kita akan membuat rakit dari dek kapal dan meninggalkan Medusa.
Selama beberapa hari kami membongkar kayu-kayu dek Medusa dan menyatukannya menjadi sebuah rakit raksasa. Pada hari keempat rakit akhirnya diturunkan atas perintah Kapten Chaumareys karena ombak dan angin yang kuat terus menekan Medusa hingga membuatnya berderak dan retak. Para serdadu, kelasi, dan orang-orang dengan kelas rendah segera menaiki rakit yang ketika kami menginjakkan kaki di atasnya sudah sedikit tenggelam di permukaan air. Sementara itu, orang-orang dengan status sosial yang lebih tinggi menumpangi enam sekoci yang menarik rakit dengan tali-tali tambang dan mereka membawa perbekalan makanan dan minuman yang lebih banyak. Aku dan Samantha akhirnya berpisah dengan kelasi kenalan kami yang memutuskan untuk tetap bertahan di badan Medusa bersama enam belas orang yang lain.
***
Hari kedua di atas rakit. Perbekalan kami sudah hampir habis bahkan pada malam pertama. Tidak ada gentong berisi air tawar yang kami bawa selain guci-guci berisi anggur. Semua orang mulai diserang haus dan rasa lapar. Suara-suara mulai melengking meminta belas kasih dan makanan dari sekoci yang menarik rakit, tapi orang-orang tinggi di sana tidak menghiraukan sama sekali. Beruntung, pada hari perpisahan kami, kelasi yang akhirnya kuketahui bernama Marc itu memberikan sekantong air. Aku hanya meminum sedikit dari kantong itu dan lebih banyak menelan ludah sendiri sebab Samantha lebih membutuhkannya.
Tiba-tiba rakit berhenti bergerak. Tali-tali tambang rupanya telah dilepas dari sekoci dan kini mengambang seperti cacing raksasa di atas gelombang air laut.
Apa yang terjadi, Vienny? Samantha merengkuh lenganku.
Oh, apa yang mereka pikirkan? aku mengeluh. Mengapa mereka melepas tali-talinya?
Rakit yang tanpa dayung dan kemudi akhirnya terombang-ambing di tengah lautan. Keenam sekoci yang awalnya menarik rakit kini berlalu meninggalkan kami. Semua orang panik seketika. Umpatan-umpatan melayang di udara ditingkahi gelombang yang pecah saat membentur kayu rakit. Tak ada yang bisa kami lakukan selain hanya berdoa dan membuat pengakuan dosa. Ketika kami tenggelam dalam lautan keputusasaan yang dalam dan sekoci-sekoci itu sudah lama lenyap dari pandangan, sebuah nasib buruk tiba-tiba terjadi. Langit mendadak dipenuhi awan gelap yang kurasakan begitu dekat dengan ubun-ubunku. Angin bergerak kencang dan gelombang mulai mengganas. Aku kemudian teringat kata-kata Marc tentang badai yang biasa melumat kapal-kapal. Kupeluk Samantha dan berbisik di dekat telinganya, Kau benar, Samantha. Kita terjatuh dalam kutukan. Teruslah berdoa.
Orang-orang kini mulai berebut bagian tengah rakit yang akan jauh lebih aman saat badai menyerang. Pertengkaran-pertengkaran pun timbul yang mengakibatkan beberapa orang terjatuh dari badan rakit. Tidak lama kemudian, badai akhirnya datang dengan gelombang yang tinggi.
Berpeganglah, Samantha!
Ya, Tuhan, kutukan macam apa ini? Samantha menjerit. Mengapa tidak kapten dan tuan yang bodoh itu saja yang Kau lumat dengan badaiMu?!
Samantha benar-benar putus asa. Ketabahan yang biasa ia tunjukkan dalam menjalani apa pun seolah-olah sirna seketika itu juga.
Berdoalah, Samantha, berdoalah! ucapku berkali-kali.
Ya, ya, berdoa dan membuat pengakuan dosa.
Rakit terus berayun-ayun seperti permainan anak-anak. Kami seperti bergerak menaiki langit kemudian terjatuh kembali ke permukaan air. Di pelukanku, Samantha terus memutar rosario yang akhirnya bergeming dalam kepasrahan seorang padri. Hingga, semuanya berlangsung begitu cepat, pada tarikan ombak tinggi yang entah keberapa kali, semua pelukan dan genggaman tangan akhirnya terlepas. Aku, sepertinya pingsan dalam waktu cukup lama, menemukan diriku berada tidak jauh dari tepi rakit, sementara Samantha, aku hanya menemukan rosarionya beralih ke tanganku. Aku berdiri dengan kepala berat. Kuteriakkan nama Samantha membelah kerumunan orang yang kusadari semakin menyusut jumlahnya. Kususuri bagian-bagian rakit, tapi tidak kutemukan istriku yang bermata biru itu. Mataku pecah seketika.Â
Kau kehilangan seseorang, Kamerad? seorang serdadu menepuk bahuku dan menghentikan tangisanku sejenak.
Ya, seorang istri. Istri yang sangat baik.
Bersabarlah. Aku juga kehilangan teman akrabku. Ia lalu pergi dan berkumpul dengan serdadu infanteri yang lain.
Gumpalan awan hitam perlahan-lahan lenyap bersamaan akhir misa requiem simbolik yang kulakukan untuk Samantha. Matahari menyala kembali dan segera membakar kami dengan cahayanya yang terik. Perasaan kehilangan yang sebelumnya menyelubungi kebanyakan orang kini dihempaskan oleh kebutuhan manusiawi, lapar. Aku berkumpul dengan orang-orang biasa berkelas sosial rendah. Di tengah deraan haus dan lapar, timbul persoalan baru. Orang-orang mulai bermusuhan dan menaruh curiga kepada siapa yang diduga menyembunyikan bekal makanan. Hampir setiap hari terjadi perkelahian antara serdadu dengan kelasi, orang berkelas tinggi dengan yang berkelas rendah, dan sebagian besar selalu menjatuhkan korban tak bernyawa. Dalam keputusasaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, banyak orang-orang akhirnya memutuskan bunuh diri dengan tembakan karaben atau melompat ke haribaan laut, sementara yang lain bertahan dengan memakan kain baju atau kulit dari topi dan sepatu masing-masing. Dan yang mengerikan, aku mual saat melihat ini, beberapa orang akhirnya memakan daging dari mayat-mayat yang bergelimpangan sebab perkelahian di atas rakit.
***
Kutukan Medusa seperti yang dikatakan Samantha, masih bekerja meski sudah lama kami meninggalkan kapal setan itu. Entah sudah berapa hari kami terombang-ambing di atas rakit dengan tubuh yang menyedihkan. Aku berusaha menghitung orang-orang yang tersisa yang kukira tidak lebih dari dua puluh dan seluruhnya telanjang sebab baju-baju yang telah mengganjal perut. Tidak ada percakapan. Tidak ada lagi perkelahian. Tapi, sepasang mata kami yang kini cekung berusaha tetap waspada sebab mayat-mayat yang menjadi persediaan makanan mulai membusuk. Dan jalan satu-satunya untuk mendapatkan daging segar adalah membunuh salah seorang di antara kami.
Pada awalnya aku bergidik saat melihat orang-orang menjadi kanibal dengan memakan mayat-mayat di atas rakit yang tentu saja itu perbuatan dosa. Namun, akhirnya aku menyerah pada sifat-sifat kemanusiaanku sendiri. Rasa lapar perlu dituntaskan. Dan saat kulihat mereka yang menyantap daging orang mati akhirnya memiliki kekuatan lebih daripada yang hanya memakan kain, kulit topi atau sepatu, aku pun memutuskan mengikuti apa yang mereka lakukan. Kugigit begitu saja daging-daging yang pucat itu. Sesekali kubersihkan daging dengan air laut jika baunya sudah mulai berubah anyir. Rasanya, ah, siapa yang memikirkan rasa dalam keadaan sekarat begini rupa? Akhirnya aku dan beberapa orang yang lain masih bisa bertahan hingga sekarang. Meski, jujur saja, jika para pelaut menemukan dan melihat tubuh kami yang serupa mayat hidup, barangkali mereka akan menyangka kami sebagai iblis lautan.
Kini rasa lapar mencengkeram kembali perutku. Aku berdiri dan berjalan-jalan mengelilingi rakit berusaha mencari mayat yang masih sedikit segar, tapi yang kutemukan hanyalah daging-daging yang sudah berlendir. Pada satu mayat aku akhirnya memaksakan diri untuk membuat gigitan. Dengan menahan napas, kutelan daging yang telah membusuk ke dalam perutku. Lambungku menerimanya selama beberapa saat, tapi kemudian mengeluarkannya kembali dalam muntahan berwarna hijau kecoklatan dan berbau menyengat.
Tidak seharusnya kau memakan daging busuk.
Seseorang tiba-tiba berada di belakangku. Aku berbalik dan segera memasang sikap waspada darinya.
Tidak usah takut. Aku tidak ingin memakanmu. Justru aku ingin mengajakmu bekerja sama. Ia duduk bersejajar denganku. Apa itu? Sebuah rosario? telunjuknya menunjuk rosario di pergelangan tanganku.
Ya. Ini milik istriku. Dia hilang saat badai mengamuk kemarin.
Oh, semoga dia beristirahat dengan kekal. Aku turut berduka.
Kami diam beberapa saat. Laut masih bekerja seperti biasanya. Bergelombang dan menakutkan. Di atas kami, matahari mulai menjatuhkan panasnya untuk membakar kulit kami kembali.
Tidakkah kau lapar, Kamerad? tanyanya kembali membuka percakapan.
Semua orang sedang kelaparan, jawabku. Apa yang kau inginkan dariku?
Kau bisa melihat sendiri. Kita sudah tidak memiliki persediaan makanan lagi. Mayat-mayat sudah membusuk. Akan lebih baik jika kita bekerja sama untuk melakukan pemberontakan.
Maksudmu?
Semua orang sudah bersikap soliter. Menyendiri dan memikirkan diri sendiri. Kita bisa membunuh seseorang untuk mendapatkan daging segar.
Bukankah seharusnya kau bisa melakukannya sendiri?
Seharusnya begitu. Tapi aku takut hasilnya akan berkebalikan dan justru aku sendiri yang menjadi santapan. Bagaimana? ia melirikku. Apakah kau mau bekerja sama? Kita bisa mulai dari si lemah itu, ia menunjuk seseorang yang sedang terlentang di salah satu sudut rakit.
Kuamati seseorang yang ia tunjuk. Orang itu kurus. Ya, tentu saja. Meski begitu, setidaknya sisa daging yang ia miliki bisa membuat kami tetap bertahan hidup. Oh, perutku semakin melilit.
Kita bisa berbagi, lanjut lelaki di sampingku lagi. Kau bisa mengambil bagian atas tubuhnya dan aku bagian bawah, atau sebaliknya. Atau kita bisa membaginya dengan bagian kiri dan kanan. Tapi itu bisa kita bicarakan nanti setelah orang itu mati. Bagaimana?
Sebab rasa lapar yang tidak bisa kutahan lagi, aku akhirnya menerima tawaran itu dengan tangan terbuka.
Kiri dan kanan. Sepakat! seruku.
Baiklah. Kalau begitu mari kita mulai bekerja.
Lelaki di sampingku yang kini menjadi rekanku berdiri lalu menghampiri terget kami. Aku mengikutinya dari belakang. Ketika kami sudah dekat dengan orang yang kami tuju, ia yang mulanya menelentangkan tubuh segera bangkit dan memandangi kami dengan sikap waspada. Rekanku terus maju dan bersiap menyergapnya, tapi target kami justru menyongsong lebih dulu. Mungkin ia mengerti kalau bertahan tidak akan ada gunanya, sementara menyerang bisa membuatnya memiliki persediaan makanan. Rekanku akhirnya roboh dalam sekali pukul. Aku berusaha membantu, tapi sebuah tendangan yang sebenarnya tidak terlalu bertenaga berhasil membuatku terjatuh. Rupanya kami salah memilih target. Ia tidak selemah yang kami bayangkan. Atau, barangkali dia adalah serdadu yang sudah terlatih kemampuannya untuk mempertahankan diri.
Kami bertarung dalam waktu cukup lama. Orang-orang di bagian rakit yang lain hanya melihat kami dengan tatapan murung. Seolah-olah mereka menunggu salah seorang dari kami mati lalu mereka meminta bagian daging. Rasa lapar rupanya membuat tubuhku tidak mampu bertahan lebih lama. Sebuah pukulan tepat di pelipis membuatku terkapar di antara mayat-mayat yang membusuk. Kini aku hanya bisa melihat rekanku dan orang itu saling banting. Lalu, ketika target kami itu berhasil terjatuh, ia tiba-tiba kembali berdiri dengan sepucuk pistol yang entah dari mana didapatkannya. Sebuah keberuntungan pistol itu masih bekerja. Karena, aku mendengar suara letusan dan rekanku akhirnya roboh.
Lima orang segera berdiri mengelilingiku. Aku melihat mulut mereka terbuka dan mata-mata cekung itu menyala. Aku tahu hidupku akan segera berakhir. Tubuhku akan tercabik-cabik dan masuk ke dalam lambung mereka masing-masing. Maka kulepas rosario dari pergelangan tanganku lalu memutarnya dengan lemah sembari mengingat Samanthaku yang manis.
Oh, kutukan kapal setan! Akhirnya aku menemuimu, Samantha.
Orang-orang itu lantas berjongkok. Seperti anjing-anjing kelaparan, mereka menautkan mulut-mulut yang kering pada bagian-bagian tubuhku. Ketika seseorang berhasil mengoyak daging lenganku, aku hanya bisa mengeluarkan pekik yang kecil seperti suara anak anjing. Dengan menahan nyeri yang tak terperi, aku diam-diam membuat pengakuan dosa disaksikan langit dan matahari yang terik. Suara ombak yang pecah kini semakin terdengar nyaring olehku yang lemah dan sekarat. Dan beberapa saat kemudian, ketika kusaksikan sepasang burung camar terbang rendah untuk membawa pergi jiwaku, kurasakan beberapa orang mulai berhenti menggerogoti tubuhku. Aku lalu mendengar suara keributan seperti sebuah resimen yang pulang membawa kemenangan dari perang. Suara-suara parau yang meningkahi ombak laut itu terdengar riang dan penuh oleh gairah hidup.
Câest Argusss!!! Arguuuuussss!!! Ya, Tuhan, itu Argus!!!