Author: Tobma

  • [Ngibul #107] Menemukan dan Menunggu Diskontinuitas yang Lain dalam Perpuisian di Yogyakarta

    author = Asef Saeful Anwar

    Rendra masih di Yogyakarta saat menulis Balada Orang-Orang Tercinta (1957) dan Empat Kumpulan Sajak (1961). Potret Pembangunan dalam Puisi (1993) ditulisnya ketika sudah di Jakarta dan ia menyebut karyanya ini sebagai sajak pamflet. Antologi puisi itu adalah gabungan kritiknya pada bentuk puisi yang tengah mapan dan protesnya kepada pemerintah. Sebagai hasil permenungan dan eksplorasi gaya, sajak pamflet mendapatkan tempat di mata kritikus dan sastrawan seangkatan, tapi untuk pengaruhnya di masa kini, dua kumpulan sajak yang disebut di awal cenderung lebih kuat. Penyair semasanya yang juga kuat pengaruhnya hingga kini adalah Subagio Sastrowardoyo melalui sejumlah sajak liriknya soal kesepian dan keterasingan manusia.

    Jelang dekade 1970-an, Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib, dan
    Linus Suryadi pernah menulis sajak lirik yang termuat di beberapa media massa.
    Namun, di kemudian hari Emha memilih gaya orasi dalam sejumlah puisinya dengan
    nilai-nilai religiusitas plus kritik sosial, sementara Iman dan Linus
    mengkhusyuki kebudayaan Jawa sebagai materi penulisannya. Iman bergerak ke
    dalam dengan mencermati nilai-nilai adiluhung dan luhur kebudayaan Jawa, Linus
    bergerak ke luar dengan mengamati gejala kekinian masyarakat Jawa. Tentu, di
    luar apa yang saya cermati itu, mereka juga menulis puisi dengan gaya dan tema
    lain, tapi nilainya tidak sebaik jenis puisi yang disinggung. Oh ya hampir
    ketinggalan, ada Ragil Suwarna Pragolapati, yang mungkin sekarang hadir di
    antara kita. Ia juga awalnya menulis sajak-sajak lirik dan beberapa puisinya
    mirip puisi Chairil. Namun, ia kemudian menggagas Sastra Yoga, menggabungkan
    puisi dan laku yoga. Tidak hanya menerbitkan puisi yoga, tapi juga
    mengorganisasi sebuah perkumpulan yang menggeluti kedua bidang tersebut.
    Bagaimana pengaruh mereka sekarang? Dari sisi karya, jejak pengaruhnya tidak
    terbaca, tapi dari sisi pribadi mereka memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
    proses penulisan puisi generasi penyair Yogyakarta selanjutnya. Tentu, ini tak
    lepas dari sosok yang memengaruhi mereka, Umbu Landu Paranggi, yang pribadinya
    memiliki pengaruh sangat besar pada banyak penyair.  

    Pertengahan dekade 1980-an hingga 1990-an di Yogyakarta tumbuh
    penyair-penyair dengan puisi sufi, sebut saja Hamdy Salad, Mathori A. Elwa,
    Kuswaidi Syafiie, Abidah El Khalieqy, Ulfatin Ch., dan kawan-kawan. Dapat
    dikatakan puisi mereka merupakan representasi dari karya-karya Rumi, Hafiez,
    dan Ibnu Arabi serta penyair sufi lainnya. Hingga sekarang mereka masih
    berkarya dalam aras yang sama. Harry Avelling di buku Secrets Need Words mengindikasikan lahirnya puisi sufi pada masa
    itu sebagai salah satu gejala pelarian kepada Tuhan karena tekanan politik yang
    sangat masif dan determinan. Lepas dari anggapan itu, puisi sufi di Yogyakarta
    layak dicatat sebagai bagian sejarah perlawanan terhadap pemerintah, meskipun
    lirih, sekaligus sebagai sebuah gerakan kebangkitan umat muslim dalam wacana
    kebudayaan. Ia juga layak ditautkan dengan sejarah kesufian yang muncul dalam
    karya-karya sastra Aceh dan Jawa. Sayangnya, tinggalan puisi sufi yang mereka
    gagas dan rintis kini mengalami pembedaan-untuk tidak mengatakan
    penurunan-oleh generasi kiwari yang mengambil khazanah sufisme untuk
    ber-aku-kamu dengan sesama manusia, bukan lagi dengan Tuhan.   

    Di luar wacana kesufian, pada 1987 Afrizal Malna menulis kumpulan
    puisi Abad yang Berlari. Namun, tatkala membaca kembali puisi-puisinya
    sesudah terbit, ia berujar: “Oh ini bukan puisi saya, tapi puisi sastra
    Indonesia”. Kesadaran itu membawanya pada jelajah laku penulisan ke dunia
    teater. Ia kemudian menulis puisi-puisi yang disebutnya lahir dari pengalaman
    tubuhnya. Ia pun menulis puisi dengan tidak bergantung pada bahasa karena
    baginya bahasa terlalu mujarad untuk apa yang hendak dituliskannya. Beberapa
    penyair terpengaruh dengan gaya puisinya yang kelak disebut sebagai puisi
    afrizalian yang menurut catatan Korrie Layun Rampan adalah gejala puisi
    angkatan 2000.

    Kini Joko Pinurbo tengah naik daun meskipun daun itu pasti tak sanggup
    menyanggah tubuhnya yang kecil. Maaf, baris itu terpengaruh oleh gaya menulis
    puisinya. Tapi itulah yang sekarang akan saya jelaskan bahwa Joko Pinurbo kini
    berdiri di halaman depan puisi Yogyakarta. Ia diundang ke mana-mana dan
    puisinya ada di mana-mana, termasuk di dinding Malioboro.  

    Tepat 20 tahun yang lalu, pada 1999 Jokpin menerbitkan kumpulan puisi Celana.
    Sebagian besar puisi dalam buku itu bergaya naratif mirip puisi-puisi mbeling,
    tetapi Jokpin tidak mengolok-olok karya yang sudah mapan. Ia menciptakan
    dunia puisinya sendiri dengan mengangkat persinggungan manusia dan benda-benda
    yang karib di kehidupannya. Puisi-puisinya menyajikan humor yang segar dan
    cenderung ironis. Nama lain yang patut disebut untuk jenis puisi humor adalah
    Mustofa W. Hasyim dan, yang muda, Andy Eswe. Keduanya menulis puisi humor
    dengan gaya guyon khas Jogja, plesetan misalnya. Persoalannya puisi
    keduanya menggunakan bahasa Indonesia sehingga ada beberapa humor
    yang-sebenarnya berlangsung dan dibangun dalam nuansa Jawa-tidak ngena dan
    banyak pembaca yang tidak mengerti kultur Jogja sehingga tidak memahami di mana
    letak kelucuannya. Ini berbeda dengan Jokpin yang dengan sadar menyesuaikan
    kaidah bahasa Jawa dalam mengeksplorasi bahasa Indonesia. Contoh paling terang
    dapat dilihat dalam puisi “Kamus Kecil” yang mencoba mengungkap keterkaitan dan
    muasal sejumlah kata dari sisi morfologinya. Dalam sejumlah puisinya,
    Jokpin menggunakan sekaligus mengkritisi bahasa Indonesia yang disuguhkannya
    dengan prinsip diskontinuitas. Salah satu prinsip diskontinuitas yang banyak
    digunakannya adalah diskontinuitas semantik dengan membolak-balik atau membaurkan
    antara yang kiasan dan yang definitif. Misalnya, bagaimana “teguh” yang kata
    sifat dalam puisi Chairil Anwar tiba-tiba menjadi “Teguh tukang becak”,
    “paskah” yang merupakan hari sakral tiba-tiba dibuat menjadi sebuah pertanyaan,
    “susu” yang disandingkan dengan kopi tiba-tiba menjadi buah dada, dan lain
    sebagainya.   

    Apakah gaya berpuisi semacam itu yang membuatnya sekarang ada di
    halaman depan puisi Yogyakarta?

    Raudal Tanjung Banua banyak menulis sajak tentang tempat-tempat yang
    dikunjunginya-hal yang juga dilakukannya dalam kumpulan cerpen terbarunya.
    Mutia Sukma juga menghimpun sajak-sajak serupa dalam satu bab tersendiri di
    buku puisi pertamanya. Indrian Koto setali tiga uang menulis juga tentang sajak
    perjalanan, tetapi Koto memberi lebih bayak nilai pada permenungan soal
    identitas dibandingkan kenangan dan kesan akan suatu tempat. Tak ketinggalan
    Latief S. Nugraha juga menulis sajak-sajak semacam itu, dan beberapa penyair
    lainnya menulis puisi serupa. Meskipun para penyair tersebut menulis sajak selain
    jenis yang tadi saya singgung, dapat dikatakan bahwa sajak perjalanan dan sajak
    tentang suatu tempat menjadi gejala umum dalam beberapa tahun terakhir
    perpuisian di Yogyakarta, yang daya pikatnya bergantung pada gaya tutur
    penulisnya, yang ternyata rata-rata liris. 

    Gunawan Maryanto cukup sering mangangkat khazanah pewayangan dalam
    puisinya-hal yang juga dilakukan oleh Iman Budhi Santosa dan Suminto A.
    Sayuti. Tia Setiadi menulis puisi yang sarat alusi dengan latar sejarah hidup
    beberapa tokoh.  Sunlie Thomas Alexander
    pernah menjajal menulis sajak tentang sepakbola (semoga diteruskan dan menjadi
    satu antologi). Kedung Darma Romansha menulis sajak-sajak cinta dan seputar
    dangdut pantura. Hasta Indriyana menulis sajak kuliner. Nermi Silaban tengah menulis
    sajak-sajak tentang buah. Irwan Segara menulis sejumlah sajak ekstensif.
    Abinaya Ghina Jamela menulis puisi anak yang beranjak menanggalkan ciri sastra
    anak. Dan saya yakin para penyair atau calon penyair yang ada di komunitas
    maupun yang berproses secara mandiri melakukan sejumlah eksperimen, baik dari
    sisi bentuk maupun isi, untuk puisi yang akan atau sedang ditulisnya,
    sebagaimana dilakukan para penyair yang saya sebutkan sejak awal tulisan ini.
    Segala eksperimen yang dilakukan oleh penyair di Yogyakarta dari masa ke masa
    dimungkinkan terjadi karena banyaknya ruang interaksi antar-penulis dan karya
    mereka yang disediakan oleh kota ini.

    Balik pada pertanyaan di atas, tapi kenapa Jokpin yang kini menempati
    halaman depan puisi Yogyakarta? Bukannya dia penulis yang sudah beruban? 

    Kini kita hidup di era posthuman ketika manusia menggantungkan
    kehidupannya pada teknologi. Segala yang serius-sebagaimana dikandung
    puisi-puisi terdahulu-mulai ditinggalkan sebab segala sesuatu menjadi cepat
    dan masif berubah, tidak pasti, serba rumit, dan ambigu. Sesuatu yang serius
    hanya bisa ditujukan untuk hal yang ajeg, pasti, minim kerumitan, dan jelas
    sehingga butuh kontinuitas, sedangkan di era posthuman ini diskontinuitas
    justru dirayakan. Diskontinuitas menjadi sumber kegembiraan banyak orang dengan
    aspek kejutan yang dimilikinya. Oleh karena itu, puisi yang diterima oleh
    masyarakat zaman sekarang adalah yang termasuk seni posthuman, yakni seni yang
    memanfaatkan teknologi untuk menghasilkan diskontinuitas yang merangsang
    pengalaman estetika pembacanya dalam suatu kegembiraan. 

    Pada 2013 Jokpin menerbitkan Haduh Aku Di-follow yang diambil dari puisi-puisi twitter. Dibandingkan dengan
    puisi-puisi di bukunya terdahulu, buku ini memperlihatkan bagaimana ia
    terpengaruh oleh teknologi yang digunakannya dalam menulis puisi. Ia tidak lagi
    membuat puisi yang panjang, tetapi hanya terdiri dari 140 karakter sesuai
    dengan ketentuan aplikasinya. Dengan kata lain, ia justru memanfaatkan
    perangkat teknologi sebagai salah satu cara untuk memunculkan gaya baru dalam
    menulis puisi. Batasan karakter justru tidak membuatnya menulis puisi yang
    abstrak atau gelap, tetapi tetap mempertahankan gaya naratifnya yang sejatinya membutuhkan
    jumlah kata yang lebih banyak. Narasi yang dibangun dalam puisi-puisinya
    didominasi oleh narasi posthuman, salah satunya tentang keterasingan manusia
    akibat teknologi, sebagai strategi untuk menyesuaikan karyanya dengan pembaca
    sastra masa kini yang sebagian besar adalah ekstropian. Apa itu ekstropian?
    Mereka adalah orang-orang yang banyak mengandalkan dan bergantung teknologi
    dalam menjalani hidupnya dan merasa bisa mencapai keunggulan yang lebih dari
    semata sebagai manusia dengan perangkat teknologi yang dimilikinya. Mereka
    adalah orang-orang yang lebih banyak hidup di dalam dunia maya daripada dunia
    nyata, lebih banyak melihat layar daripada langit. Maka tidak heran pula apa
    yang muncul dalam puisi Jokpin adalah wacana yang pernah viral di media sosial,
    yang telah banyak dikonsumsi pengguna teknologi informasi. Terbaru, ia menulis
    soal Khong Guan dalam puisi-puisinya. Sebagaimana kita tahu, sejumlah meme
    dan kicauan yang mengandung nada komedi menyoal Khong Guan sudah lama beredar.

    Kalau demikian, berarti penyair harus tunduk pada selera massa?

    Tidak demikian, saya menyarankan para penyair mengikuti apa yang
    tengah menjadi perbincangan di khalayak-yang representasi terdekatnya adalah
    media sosial-agar tahu bagaimana kehidupan mereka untuk kemudian memberikan
    sesuatu yang bernilai terhadap gaya hidup itu, bukan larut dalam selera mereka.
    Dulu tidak mengemuka istilah “puisi populer”, yang merebak justru “novel
    populer”. Kini ada banyak buku puisi populer dengan gaya tutur seperti kita
    menulis status di media sosial. Buku-buku itu berisi dua tiga baris dalam satu
    halaman dan mengangkat tema percintaan. Di luar negeri muncul instapoet yang
    menggabungkan perangkat teknologi berupa instagram dengan puisi epigram yang
    digagas Rupi Kaur. Sayangnya, di Indonesia yang merespons fenomena ini dengan
    cepat adalah akun-akun puisi populer yang berisi baris-baris kata sentimentil,
    dangkal, dan motivasional. Ah barangkali saya terlalu gegabah mengatakan apa
    yang dimuat akun-akun tersebut dan buku-buku itu sebagai puisi, tetapi
    bagaimana jika khalayak menganggap itu sebagai puisi diikuti sejumlah
    legitimasi dari media di saat belum ada akademisi yang mengkajinya? Menjadi
    pertaruhan apakah para penyair akan memanfaatkan media baru yang disediakan
    teknologi untuk mendekati publik atau membiarkan ruang itu hampa dengan tetap
    konsisten bertahan pada media yang lama.  

    Namun, kalau boleh menyarankan para penyair sebaiknya mengimbangi
    akun-akun tersebut dengan tawaran puisi-puisi yang lebih substantif dan
    esensial dengan pendekatan yang segar dan menggembirakan. Kesegaran digagas melalui
    bentuk yang baru (yang dapat memanfaatkan perangkat teknologi informasi),
    sementara kegembiraan melalui isinya yang menghibur (yang dapat memanfaatkan
    dataraya dalam internet dengan merangkum ingatan atas dasar pengalaman yang
    sama dan telah diklasifikasikan algoritma). Kesegaran dan kegembiraan ada dalam
    prinsip diskontinuitas. Dan Jokpin telah melakukannya. Maka jangan heran ketika
    membaca puisinya pikiran menjadi segar dan perasaan menjadi gembira. Tentu,
    saya tak mengharap para penyair menjadi epigon Jokpin dengan cara yang serupa,
    tetapi harus terus berupaya menemukan prinsip diskontinuitasnya sendiri untuk
    dapat menempati halaman depan puisi Yogyakarta yang sementara ini masih “terbuat
    dari rindu, pulang, dan angkringan”.

    Yogyakarta, 19
    Desember 2019

    Dibacakan pada acara Pesta Puisi Akhir Tahun, Bincang-Bincang Sastra Edisi 171, Sabtu 28 Desember 2019 di Taman Budaya Yogyakarta

  • [Ngibul #106] Literasi pada Era Digital

    author = Asef Saeful Anwar

    Seratus
    tahun mendatang, apakah ada pembelajaran menulis manual seperti terjadi pada
    anak sekolah dasar di masa kini? Atau mereka tidak lagi menulis, tapi mengetik
    pada papan ketik sebuah gawai? Atau malah mereka hanya memikirkan kata-kata
    tertentu dan hurufnya akan bermunculan sendiri pada perangkat digital?

    Zaman kini
    bergerak lebih cepat ketika perkembangan teknologi informasi demikian pesat.
    Peristiwa di suatu kota yang jauh dapat secara langsung disaksikan melalui
    berita daring di gawai. Buku
    yang telah dirilis di luar negeri dapat pula segera—jika memang disediakan
    penerbitnya—kita baca format e-book-nya
    tanpa menunggu versi cetaknya di dalam negeri. Fenomena itu kemudian
    memunculkan kekhawatiran bahwa surat kabar dan buku mulai menuju kepunahan
    karena bahan bacaan tidak lagi hadir dalam wujud cetakan.

    Apakah
    benar buku diancam oleh e-book? Jika
    kita memandang buku sebagai media penyebaran serta pengekalan ilmu dan
    pengetahuan, bukankah yang kedua lebih baik daripada yang pertama dalam
    menjalankan fungsinya? Siapakah sebenarnya yang merasa terancam, penulis,
    pembaca, atau penerbit? Atau apakah
    yang terancam?

    Saya kira, kita
    perlu tahu dulu bagaimana apresiasi masyarakat terhadap buku. Sebagaimana diketahui kondisi minat baca di Indonesia cukup memprihatinkan.
    Berdasarkan studi “Most Litered Nation in the World” yang dilakukan Central
    Connecticut pada tahun 2016, negeri ini dinyatakan menduduki peringkat minat
    baca ke-60 dari 61 negara yang menjadi sampel. Sejak hasil studi itu
    dipublikasikan, negara ini menggalakan sejumlah program yang mengarahkan
    warganya untuk gemar membaca. Tentu, hasilnya tidak dapat disaksikan dalam
    waktu pendek 3 sampai dengan 5 tahun, tapi lebih lama dari itu. Sekarang banyak
    orang sudah gemar membaca, tetapi apakah bacaan-bacaan yang mereka konsumsi
    adalah bacaan yang baik, artinya dapat membuka pikiran dan mematangkan
    pemikiran? Atau sekadar bacaan remeh temeh yang sejatinya hanya menghabiskan
    waktu luang?

    Diketahui
    pula dari sejumlah studi yang dilakukan lembaga-lembaga di luar negeri bahwa
    orang Indonesia adalah yang paling aktif menggunakan media sosial. Beberapa
    menjadi pembaca setia berita-berita daring, bahkan tak sedikit pula yang turut
    membagikan hoaks. Masyarakat Indonesia masih banyak membaca hanya apa yang
    mereka sukai, tidak hanya dari jenis bacaan, tetapi juga dari substansi yang
    terdapat dalam bacaan. Tentu, tujuan literasi sebenaranya tidak hanya
    menjadikan sebuah masyarakat gemar membaca, tetapi menjadikan masyarakat
    berpikiran terbuka, berdaya, dan berdikari. Ciri dari baiknya masyarakat yang
    sudah melek huruf bukanlah banyaknya orang yang membaca, tetapi banyaknya
    diskusi karena proses pembacaan yang dilakukan secara terus-menerus.

    Untuk
    mencapai tujuan tersebut, penyediaan buku elektronik dan/atau digitalisasi sejumlah
    bacaan bermutu butuh digalakan. Mengapa harus dalam bentuk buku? Dalam bentuk
    buku, pembacaan dilakukan secara utuh sehingga pemikiran juga dapat menyeluruh.
    Apa yang menggejala di masa kini justru gemarnya masyarakat Indonesia pada
    nukilan-nukilan dari sebuah buku yang tanpa mereka baca secara utuh. Akibatnya,
    ada banyak kesalahpahaman terhadap sebuah bacaan karena kita tidak membacanya
    secara utuh. 

    Dalam dunia
    perbukuan (bukan penerbitan), digitalisasi harus dipahami
    sebagai sebuah solusi daripada ancaman akan punahnya barang
    cetak.
    Digitalisasi datang membawa kesantunan berikut
    jalan keluar bagi permasalahan akut yang sudah ribuan tahun berlangsung:
    pelapukan kertas dan pelaburan huruf tulis/cetak.  

    Apa yang perlu
    dijernihkan lebih dulu adalah pandangan kita terhadap keduanya. Ada wacana yang
    menyatakan bahwa lembaran kertas, terutama yang digunakan sebagai bahan baku
    buku, telah banyak menghabiskan pohon di hutan sehingga terjadi pemanasan global lalu muncul seruan: alangkah lebih baiknya bila orang-orang
    tak lagi membeli buku, tetapi beralih ke e-book
    yang lebih ramah lingkungan. Benarkah demikian? Penyebab pemanasan global bukan hanya
    penggundulan hutan yang tidak pula terjadi hanya karena percetakan buku. Wacana
    miring lain muncul bahwa gawai tempat kita
    membaca e-book membuat mata cepat
    lelah dan memiliki daya korosif. Benarkah demikian? Apa yang membuat mata rusak
    bukanlah peralatan elektronik, tetapi bagaimana cara kita menggunakannya. Pada
    akhirnya yang membuat rusak adalah cara, bukan bentuk benda yang kita gunakan.

    Kembali pada
    permasalahan digitalisasi, sejatinya yang paling pertama mengalami proses
    digitalisasi adalah penulis. Hampir seluruh penulis di dunia telah menulis
    dalam format digital. Kalaupun mereka menulis manual, itu dilakukan hanya untuk
    hal-hal kecil, ringkasan-ringkasan inspirasi, dan sejenisnya. Sementara hasil
    akhir selalu dalam bentuk digital. Pihak penerbit yang nanti akan memutuskan
    apakah karya itu dicetak dalam bentuk buku atau tetap dalam
    bentuk digital ketika dipublikasikan.

    Bila para penulis
    hampir seluruhnya telah terdigitalisasi, para pembaca sebagian besar—termasuk
    sebagian penulis di dalamnya—masih dalam tradisi manual dalam menikmati bacaan.
    Apa yang membuat para pembaca belum beralih ke e-book adalah faktor kenyamanan dan kebiasaan. Ada yang merasakan
    nuansa khas ketika membeli buku, meminta tanda tangan penulisnya, mencium bau
    kertas dan hurufnya, melipat dan mencoret-coret halaman, membawanya dalam
    pelukan, dan lain sebagainya. Mereka merasa nyaman dengan kebiasaan itu. Jadi,
    sekali lagi ini berkaitan dengan cara, bukan bendanya. Sebab, telah pula ada
    generasi yang justru mulai terbiasa membaca dalam gawai. Dan mereka merasakan
    kenyamanan ketika jari-jari mereka menyentuh layar sembari mendengarkan musik
    dari alat yang sama. Namun, generasi baru ini hanya segilintir yang membaca e-book karena lebih banyak yang membaca
    berita online atau artikel-artikel
    ringan. Lagipula, sebagian besar e-book
    merupakan versi kedua dari versi cetaknya. Artinya, masih belum banyak e-book yang murni, yang bukan merupakan
    versi kedua, atau tidak dicetak sama sekali.

    Jadi, apakah benar
    buku terancam kehadiran e-book? Untuk
    sementara tidak, minimal satu generasi lagi, 15 sampai 25
    tahun,
    kehadiran buku baru mulai terancam. Untuk masa sekarang yang mulai terancam
    justru kehadiran surat kabar harian sebab masyarakat mulai lebih suka membaca
    berita online karena kemudahannya.

    Bila pada satu
    generasi mendatang kehadiran buku mulai terancam, strategi apa yang bisa
    membuat buku tetap eksis? Saya kira pertanyaan ini tidak akan dilontarkan oleh
    generasi mendatang. Apa yang mungkin dapat kita siapkan untuk generasi
    mendatang adalah bagaimana mendigitalisasi naskah-naskah lama agar mereka masih
    bisa belajar tentang sejarahnya, sejarah yang kita pun masih belum
    mendalaminya. Sementara untuk peristiwa di masa kini mereka akan mudah belajar
    sebab segalanya telah ada dalam berita format digital.

    Pada masa
    mendatang, terutama ketika semua tulisan hanya ada dalam format digital, buku
    akan menjadi barang mewah. Hanya karya-karya tertentu, yang dianggap akan laku
    meskipun dijual lebih mahal daripada format digitalnya,  yang akan dicetak dan dijual-belikan dengan
    edisi terbatas. Sebab, orang-orang pada masa mendatang mulai lebih nyaman
    membaca dalam gawai dan lebih murah mengaksesnya. Masa sekarang belum sampai
    pada tahap itu karena harga e-book dan
    buku tak banyak selisihnya. Sementara membeli buku seolah mendapatkan rasa
    kepemilikan atas buku, sementara e-book
    tidak.

    Masa depan e-book memang lebih menjanjikan
    keterbukaan. Bayangkan bila Anda membaca sebuah e-book yang mengutip pernyataan seseorang dalam sebuah e-book lain. Kemudian Anda dapat
    mengklik pernyataan itu hingga Anda dapat membaca langsung ke dalam halaman
    tempat  pernyataan itu dikutip. Bayangkan
    pula bila judul-judul dalam daftar pustaka di sebuah e-book dapat diklik hingga Anda dapat langsung mengakses ke karya
    yang dituju. Tentu, apabila hal itu terjadi—entah berapa puluh tahun
    lagi—perkembangan ilmu pengetahuan akan semakin pesat dan menyebar, tidak lagi
    memusat pada institusi pendidikan. Plagiasi akan mudah dideteksi sehingga
    gairah menemukan hal-hal baru semakin tergugah.

    Akan tetapi, di
    balik segala keistimewaannya, e-book
    pun memiliki kelemahan. Sebab segalanya bergantung listrik—yang terus-menerus
    mengeruk energi bumi-dengan satu sistem komputerisasi yang nanti terpusat,
    maka rentan pula terhadap sabotase.

    Hubungan antara e-book dan buku bukanlah permusuhan.
    Tidak ada yang salah di antara keduanya seperti tidak ada yang paling benar di
    antara keduanya. Keduanya pun tidak sempurna. Bagi saya, keduanya tidak saling
    menggantikan, tetapi saling melengkapi. Mereka dapat
    sama-sama meningkatkan minat baca masyarakat. Jika buku adalah
    jendela dunia, e-book adalah pintu dunia.
    Keduanya-duanya dibutuhkan untuk memasuki dunia.

  • [Ngibul #105] Bienvenue à Aix-En-Provence

    author = Bagus Panuntun

    Sesampainya di Aix-En-Provence, sopir bus itu menghampiri saya sambil menenteng segelas kopi. “Anda asli mana?” tanyanya. “Indonesia” jawab saya sambil tersenyum.

    “Olala, Indonesia! Saya sudah pergi ke sana 7 kali”, ujarnya heboh, matanya melebar sambil mengabsen nama-nama tempat yang pernah ia kunjungi

    “Jogja, Jakarta, Bromo, Bali, Flores, Sulawesi, Borneo. J’adore Indonésie!”

    Mendengar pernyataannya, saya terheran-heran melihat sopir bus yang bisa plesir ke pulau-pulau yang bahkan belum pernah saya kunjungi.

    Saya tahu kenapa ia bertanya saya asli mana. 1 jam sebelumnya, saya baru tiba di Stasiun Saint Charles, Marseille, setelah menempuh perjalanan 3 jam dari Paris. Perjalanan itu sungguh bikin jiwa udik saya bergejolak. Bayangkan, saya baru melintas jarak sejauh 660 km atau setara perjalanan bolak-balik Jogja-Surabaya hanya dalam waktu 180 menit. Perjalanan tersebut ditempuh dengan TGV (Train Grand Vitesse), kereta cepat Prancis yang juga salah satu kereta paling ngebut di dunia.

    Sesampainya di Saint Charles, saya masih harus mengambil bus sekali lagi untuk menuju Aix-En-Provence, kota yang selama dua tahun ke depan akan saya tinggali. Beruntung, terminal bus Saint Charles terletak tepat di samping stasiun. Jadi, saya tak perlu risau menyeret-nyeret koper ke luar stasiun.

    Saat sudah berada di terminal, saya segera mencari bus nomor 50, bus yang pemberhentian terakhirnya di Gare Routière, terminalnya Aix-En-Provece. Di sanalah saya melakukan satu hal kecil yang saya kira biasa saja, tapi langsung menunjukkan kalau saya betul-betul baru datang di Prancis: saya mengangkat koper raksasa saya ke dalam bus.

    Monsieur”, panggil sang sopir saat saya sudah terlanjur masuk, “barangnya taruh di bagasi ya”.

    Aduh, batin saya. Saya pikir semua terminal sama saja sebagaimana di Ngawi atau Kertonyono: bebas menaruh barang asal jangan di kepala orang.

    Sopir bus tambun yang mirip Bob Newby di Stranger Things itu kemudian turun dari bus dan membantu saya memasukkan koper ke dalam bagasi. “Merci, Anda baik sekali”, ucap saya, “De rien”, dan ia tersenyum.

    Saya akan menuju Aix-En-Provence, kota kecil yang hanya berjarak 30 km dari Marseille. Jarak segini, bisa ditempuh dengan waktu sekitar 30 menit saja. Perjalanan Marseille-Aix itu saya nikmati dengan melihat kanan-kiri jalan yang akhirnya membuat saya cukup paham kenapa Mas Mada—kakak angkatan saya di FIB yang sudah setahun lebih lama tinggal di Aix—pernah bilang kalau Marseille itu seperti Bronx. Kehidupan keras dan banyak gangster keluyuran. Itu saya lihat dari tiap sudut kota, di apartemen, di rumah susun, di jembatan, di lampu merah, di bahu jalan, bahkan di atas trotoar, vandalisme ada dimana-mana. “Marseille ki kuthone gondes-gondes e, haha”, ujarnya suatu hari.

    Sesampainya di Gare Routière, saya seharusnya sudah dijemput ibu kos saya. Kami sudah bertukar pesan lewat sms. Tapi entah kenapa, saat saya sampai di sana, nomor telfonnya tak bisa dihubungi. Beruntung Sopir Bus tadi mengajak saya ngobrol sehingga saya tak seperti bocah kesasar.

    “Bagaimana Anda bisa sampai di Aix?”, tanyanya.

    “Saya kuliah di AMU (Aix-Marseille Université)”

    “Wow, keren. Ambil jurusan apa?”

    Master Lettres (Master Sastra). Rencananya saya mau mendalami sastra Prancis, terutama sastra francophone. Itu karya sastra berbahasa Prancis yang ditulis orang Afrika, Maghreb, bahkan ada orang Asia juga. Anda tahu?”

    “Ah, enggak. Saya kurang suka sastra. Saya lebih suka jalan-jalan dan kerja”.

    “KERJA, KERJA, KERJA !”, saya ingin membalas demikian tapi langsung saya urungkan karena saya tak sedang berada di Jogja dan ia bukan penyetir Sumber Kencono. “Oh ya, kata Anda, dulu Anda pernah ke Jogja ya? Dulu saya empat setengah tahun kuliah di sana”.

    Ah, bon??!”, matanya melebar lagi, “Saya suka sekali Jogja! Orangnya ramah-ramah dan saya pernah memborong batik di Malioboro sampai setengah koper!”

    “Mau Anda jual?”

    “Tidak, buat hadiah natal ke sanak saudara”.

    Kami asik ngobrol saat gawai di saku saya tiba-tiba bergetar. Sesuai perkiraan, ini telfon dari Marie Fanciullo, pemilik studio yang selama setahun mendatang akan jadi ibu kos saya.

    Halo, halo, Monsieur. Vous êtes où? Anda dimana?”, tanyanya dengan nada tergesa.

    “Halo Madame, saya di depan bus nomer 50”.

    Ah, oui, oui, je te vois, aku melihatmu”.

    Bonjour Monsieur !!!, Ca va??” sapanya dengan senyum lebar dan suara lantang. Benar-benar kelewat lantang untuk orang yang saya kira berumur 65-an. Madame Fanciullo berbadan gempal dan pendek untuk rerata orang Prancis. Rambutnya dipotong cepak seperti Indy Barends dan setengahnya sudah beruban. Siang itu ia mengenakan sweater putih, celana katun coklat, dan kacamata hitam—kontras dengan warna rambutnya. Ia menjemput saya dengan mobil warna violet yang ia setir sendiri. Sebelum pergi dari terminal, saya sempat berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada Sopir Bus yang ramah tadi.

    Jarak dari terminal ke rumah Madame Marie sebenarnya dua kilometer saja. Normalnya, kami bisa segera sampai di sana kurang dari 10 menit. Namun Madame Marie mengajak saya keliling kota terlebih dahulu. “Il faut que tu visualises bien cette ville. Kamu harus mulai menghafal jalan kota ini”.

    Selama keliling kota itulah, ia menceritakan kota Aix dengan semangat seperti kanak-kanak. Aix, menurutnya, adalah kota kecil yang indah. Sangat-sangat indah. C’est beau, c’est magnifique, c’est merveilleux! Kalau tak percaya, mari kita ke centre ville, pusat kota Aix, ajaknya.

    Kami pun pergi ke pusat kota dan ia mulai menunjuk kesana-kemari.

    Air mancur ini adalah pusat kota Aix. Ia menunjuk air mancur setinggi kurang lebih 10 meter yang di puncaknya berdiri tiga patung perempuan dan di sekelilingnya dijaga patung singa, lumba-lumba, dan angsa. Aix ini dijuluki “La Ville de Mille Fontaine”, Kota Seribu Air Mancur. Coba kamu masuk ke tiap gang di Aix, pasti kamu akan melihat air mancur. Makanya kalau kamu di Aix, jangan sekali-kali bikin janji di samping air mancur, orang pasti akan bingung. Tahu tidak, Jean Cocteau, salah satu penyair terbesar Prancis, pernah mendeskripsikan kota ini dengan sangat puitis. Katanya, “Jika orang buta berdiri di Aix, ia akan mengira matahari dan hujan hadir bersamaan”. Ya begitulah, kota di Prancis selatan. Selalu ensoleillée, bermandi matahari. Nah, khusus di Aix ada bonusnya: gemericik air mancur.

    Aix-En-Provence adalah kota yang dihuni air mancur, pohon sycamore, dan bangunan-bangunan abad pertengahan. Bangunan-bangunan tua ini punya kekhasannya sendiri, khususnya jendela kayunya yang tinggi dan warna catnya yang didominasi coklat muda. Rata-rata bangunan ini masih dimanfaatkan dengan baik sampai sekarang. Lantai satu biasanya dijadikan toko atau restoran, sementara lantai di atasnya adalah tempat tinggal. Di sela antar bangunan tua tersebut, membujur lorong-lorong yang ternyata tak pernah sepi turis. Ia menyerupai labirin yang di dalamnya kita bisa menemukan restoran, gereja bergaya barok, museum-museum, hingga Hotel de Ville, rumah walikota yang megah.

    “Tak semua orang bisa tinggal di sini. Sejak dulu, Aix dijuluki le quartier bourgeois, daerahnya orang-orang borjuis. Meskipun kotanya kecil, tapi harga tanah, rumah, dan sewa bangunan di sini adalah yang termahal setelah Paris. Makanya, di sini tak banyak keturunan imigran. Kebanyakan adalah keturunan keluarga yang sudah puluhan atau ratusan tahun menetap”.

    Oalah, batin saya. Pantas harga sewa studio di sini jauh lebih mahal dibanding Marseille. Padahal saya kira Marseille adalah Surabaya dan Aix adalah Temanggung. Tapi ternyata tak sesederhana itu.

    Dilihat dari leboncoin, salah satu situs lokapasar di Prancis, kebanyakan harga sewa kamar di Aix berada di atas 500 euro per bulan. Itu bukan angka yang sedikit. Di Marseille, kami masih mungkin menyewa kamar kos seharga 300-an, tapi di sini hampir tidak mungkin. Kalaupun ada, kita malah mesti curiga jangan-jangan di dalamnya banyak bercak tahi kampret, atau jangan-jangan air kerannya bau terasi.

    Saya sendiri menyewa kamar seharga 450 euro per bulan. Tentu bukan angka yang sedikit. Beruntungnya, mahasiswa asing di Prancis bisa mengajukan subsidi sewa rumah. Melalui prosedur yang disebut CAF (Caisse d’Allocations Familiale), kami bisa mendapat subsidi dari pemerintah Prancis hingga 40 persen.

    Aix adalah kota yang memeram sejarah. Selain air mancur dan bangunan-bangunan tua, kota ini juga pernah menjadi saksi persahabatan dua seniman jenius, Paul Cézanne dan Emile Zola. Keduanya adalah tokoh agung di bidangnya masing-masing. Cézanne adalah pelukis yang dianggap sebagai peletak dasar karya seni modern. Sedang Emile Zola adalah sastrawan yang dianggap memacak aliran naturalisme Prancis.

    Antara Aix, Cézanne, dan Zola terikat oleh simpul kenangan masa kecil saat keduanya duduk di sekolah yang sama. Tak hanya berteman akrab dan saling mengagumi, keduanya juga menjadikan Aix sebagai inspirasi dalam karya-karyanya. Cézanne kerap melukis Saint Victoire, nama gunung tertinggi di Aix. Sementara Zola menghadirkan Aix sebagai Plassane, kota kecil yang menjadi pembuka sekaligus penutup 20 seri saga Rougond Macquart.

    Yang menarik, hari ini kedua tokoh tersebut diperlakukan sangat berbeda oleh kota ini. Sementara Cézanne adalah simbol, Zola justru nyaris tak pernah hadir di Aix-En-Provence. Memang benar, Zola menjadi nama salah satu gedung di perpustakaan kota dan satu nama sekolah. Tapi itu tak sebanding dengan Cézanne yang namanya terpampang dimana-mana. Patungnya berdiri di pusat kota. Namanya dijadikan nama bioskop terbesar. Karya-karyanya dipajang di Musée Granét, museum yang menjadi salah satu destinasi utama di Aix.

    Di Aix, Cézanne ibarat kitab suci, sedang Zola adalah buku yang ditaruh di pojok rak berdebu. Konon, perlakuan yang berkebalikan ini berkaitan dengan kisah persahabatan mereka yang suatu hari kandas dan hancur lebur sejak Zola menerbitkan novel L’œuvre (1886). Dalam novel tersebut, Zola menghadirkan tokoh Claude Lantier, seorang pelukis obsesif dan banyak lagak namun dengan nasib mengenaskan, yang dipercaya merujuk pada Cézanne. Sejak novel inilah, Zola dan Cézanne tidak pernah lagi bertemu bahkan sekadar berkirim surat. Tapi, terkait cerita ini, saya harus menuliskannya lain waktu di catatan tersendiri. Sebab, saya telah tiba di rumah Madame Marie setelah kurang lebih 30 menit mengelilingi kota

    Sesampainya kami di rumah, Madame Marie ternyata sudah menyiapkan makan siang. Ia memasak ravioli dan semacam lalapan tomat yang dilumuri minyak olive lalu ditabur dengan jagung manis dan irisan daun basilisk. Tomat ini, katanya ia tanam di kebun sendiri di samping rumah. Karena sejak pagi belum sarapan, saya pun melahap hidangan tersebut seperti orang sedang kemaruk.

    Kebaikan barangkali serupa bunga yang bisa tumbuh di mana saja. Mewujud mawar di tanah tropis, chuparosa di padang Arizona, atau rumput kapuk di daratan Arktik. Ia mungkin hadir dengan bentuk berbeda, namun senantiasa menyirat kebahagiaan.

    Entah mengapa, sejak kuliah di Jogja, KKN di Obi, kerja di Subang, hingga kini tinggal di Aix, saya selalu tinggal bersama seorang yang telah menunjukkan kebaikan hatinya sejak pertemuan pertama.

    Di Jogja, saya pernah tinggal di kos (Alm) Bu Rini, seorang Ibu di Sagan yang kepadanya saya boleh nunggak bayar kos sampai 4 bulan.

    Di Obi, saya mendapat mama-papa piara sepasang haji yang kerap membagikan rokoknya pada saya. “Mana yang ngoni pilih, Sampoerna merah pu Papa atau Sampoerna menthol pu Mama?”

    Di Subang, saya bertemu keluarga Pak Oyang yang menyelamatkan saya dari kontrakan angker yang hampir bikin saya depresi. Tiap pagi, selama 5 bulan, keluarga Pak Oyang selalu menghidangkan teh hangat dan pisang goreng atau onde-onde.

    Sedang di Aix, saya bertemu Madame Marie, yang sejujurnya hari ini membuat saya cukup terharu. Sebab, saya tak pernah mengira kalau di negeri sejauh Prancis, saya akan menemukan ibu kos yang rela menjemput saya di stasiun, memandu saya keliling kota dengan berupa-rupa cerita, dan masih pula menyuguh makan siang yang menyehatkan.

    Hari pertama yang menyenangkan, Bienvenue à Aix-En-Provence!

  • [Ngibul #104] Untuk Sahabat-sahabatku yang Dirundung Duka, Percayalah Hujan Pasti Reda

    author = Andreas Nova

    “For sale: baby shoes, never worn”

    —Ernest Hemingway

    Untuk N,

    Halo, apa kabarmu? Kau tentu belum mengenalku. Tapi aku sedikit mengenalmu dari ayahmu yang sedikit-sedikit menyelipkan namamu di tiap percakapan kami. Aku membayangkan ayahmu bisa bercerita lebih banyak hal kepadamu. Bayangkan saja, jika kami bertemu dan bercakap, waktu sebanyak apapun terasa kurang. Ayahmu pencerita yang baik, pasti ia menceritakan banyak hal dari buku-bukunya yang seolah tak pernah habis. Aku sendiri suka mendengarkan ayahmu bercerita, barangkali bakat itu menurun dari ayahnya.

    Entah kapan, suatu saat ayahmu pasti akan menceramahimu dengan mengutip kata-kata Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran: “Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua.”. Jika suatu saat kau dengar ayahmu mulai berucap demikian, maka katakanlah “omong kosong.” Pertama harus kuluruskan dahulu, filsuf Yunani yang ia maksud dalam kutipan tersebut bahkan bukan seorang Yunani. Gie mengutip dari seorang filsuf stoikisme Romawi bernama Seneca. Kedua, salah satu pandangan stoikisme adalah apatheia, hidup pasrah, tawakal menerima keadaannya di dunia. Dan ini nggak Soe Hok Gie banget. Seringkali kata-kata dalam buku dikutip orang dalam konteks yang salah supaya terlihat keren dan pintar.  

    Jika ayahmu mendengarkan kita bercakap, pastilah percakapan kita ini akan memicu perdebatan yang bisa membuat penjaga warung burjo tempat kami biasa beradu argumen mengusir kami berdua. Tapi bagiku nasib baik bukan perkara panjang pendeknya umur. Nasib baik adalah apa yang bisa kita berikan pada orang lain semasa kita hidup. Apakah tidak dilahirkan adalah nasib terbaik? Bisa ya, bisa tidak. Karena variabel apa yang bisa kita berikan pada orang lain tidak dihitung di sini.

    Barangkali jika ayahmu pernah membaca “The Egg” cerita pendek karya Andy Weir, bisa saja ia berubah pikiran—atau malah tambah bebal seperti biasanya. Dalam cerpen itu hanya ada tuhan dan manusia. Ya, manusia dalam bentuk tunggal, yang berulangkali terlahir kembali sebagai manusia-manusia lain. Ketika pertama membaca cerita itu, aku teringat sebuah ayat di injil Matius yang berbunyi, “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Ayat tersebut tidak hanya mengajak manusia untuk berbuat baik kepada manusia lain dan Tuhannya, namun juga mengajaknya berbuat baik untuk dirinya sendiri. Lalu perbuatan baik apa yang bisa dilakukan oleh yang tidak pernah dilahirkan?

    Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh ia yang tak pernah dilahirkan adalah berbuat baik untuk orangtuanya, dan membuat orangtuanya akan melakukan hal baik untuk orang lain. Seperti nasib buruk yang datang bertubi-tubi, nasib baik juga bisa datang beriringan. Nasib buruk bisa berasal dari perbuatan baik, juga hal-hal baik bisa berawal dari kejadian buruk. Apakah itu mungkin? Tentu saja. Ayahmu akan dengan senang hati mendongengkanmu tentang efek kupu-kupu untuk menjawab pertanyaan itu.  

    Untuk E,

    Sewaktu aku kecil, ibuku pernah menceritakan hal ini:

    “Pertengahan tahun 1985, seorang perempuan berusia 19 tahun yang sedang mengandung baru enam bulan merasa kesakitan di perutnya. Ia pikir ia hanya sakit perut dan harus buang air besar seperti biasa. Tanpa ia tahu, air ketubannya pecah sebelum waktunya dan ia melahirkan seorang bayi perempuan yang terlahir dalam keadaan tak bernyawa. Dalam keadaan darurat, ia dibawa ke Puskesmas untuk mendapatkan pertolongan. Seorang tetangga buru-buru meminjam telepon yang saat itu belum umum dimiliki untuk menelepon suaminya yang sedang bekerja. Tentu saja si tetangga itu tak memberi tahu secara komplit kondisi istrinya. Ia hanya bilang, istrinya ada di Puskesmas kecamatan, ia diminta segera pulang dan menyusul ke sana.

    “Dengan tergesa suaminya tiba di Puskesmas tanpa tahu si bayi perempuan terlahir tak bernyawa. Setelah dokter memberi penjelasan pada sepasang suami istri itu, suaminya hanya bisa pasrah dan berdoa yang terbaik untuk keluarga mudanya. Bayi itu diberi nama Petra, lalu dimakamkan di sebuah makam Katolik milik Gereja.

    “Pertengahan tahun berikutnya perempuan yang sama dalam kondisi hamil berusia tujuh bulan. Tak mau lagi melakukan kesalahan yang sama, setiap kali perutnya bergejolak, ia meminta tolong tetangganya mengantarkannya ke rumah sakit bersalin. Ternyata saat itu firasatnya betul, bayinya harus dilahirkan sebelum waktunya tiba.

    “Suaminya ditelepon untuk menyusul istrinya ke rumah sakit. Ia mendampingi istrinya melahirkan. Bayi laki-laki lahir, mungil sekali karena ia lahir lebih cepat dari seharusnya. Namun Tuhan berkehendak lain, tidak sampai satu jam setelah ia dilahirkan, Tuhan memanggilnya. Bayi itu diberi nama Fausta, dan dimakamkan tepat di sebelah selatan makam kakaknya.”

    “Barangkali keluarga muda tersebut dianugrahi ketabahan seperti Ayub. Hingga akhirnya pada bulan November tahun berikutnya, kali ini lebih sebulan dari waktu yang seharusnya. Tepat selepas pembacaan Pancasila dalam upacara peringatan Hari Pahlawan yang dilakukan di halaman GOR yang berada tepat di depan rumah sakit bersalin, bayi laki-lakinya lahir. Anak ketiga, anak laki-laki kedua yang dilahirkan dan dinantikan oleh keluarga muda itu.”

    Mengapa ibuku menceritakan kisah itu? Karena kedua anak yang tak sempat diasuhnya dalam cerita tadi adalah kakak-kakakku, perempuan itu adalah ibuku. Dari kisah yang sering diceritakannya itulah, aku tahu mengapa ibuku selain berziarah ke makam eyang buyut dan eyang putri, juga mengunjungi kedua makam kecil yang ada di ujung pemakaman. Aku jadi tahu mengapa ibuku setangguh itu dalam hidup yang serba entah ini. Mereka yang tiada tak selalu membuat lemah, justru menguatkan.

    Untuk O,

    Aku pernah membaca sebuah dongeng di sebuah majalah anak-anak. Dongeng itu menceritakan seorang peternak yang baik hati. Pada tahun yang baik, peternak itu mempersembahkan seekor ayam terbaiknya untuk sang Raja. Ketika Raja menerima ayam tersebut, sang Raja menanyainya, “Bagaimana cara terbaik membagi seekor ayam pada keluargaku yang berjumlah enam orang?” Si peternak berpikir sejenak, kemudian ia mengutarakan pada sang Raja, “Kedua kaki untuk kedua pangeran, karena mereka akan mengikuti jejak Yang Mulia. Kedua sayap untuk kedua putri, karena kelak mereka akan terbang bersama suami-suami mereka. Dada untuk Yang Mulia Ratu karena beliau yang menjadi penopang keluarga. Terakhir, kepala untuk Yang Mulia Raja sebagai kepala keluarga.” Raja yang puas dengan pembagian tersebut menghadiahi si peternak dengan sejumlah emas dan harta benda yang berlimpah.

    Cerita itu sebenarnya masih berlanjut, tapi lanjutannya klise dan mudah ditebak. Kau pasti akan menguap bosan. Tapi dari dongeng tersebut terlihat konsep keluarga selalu seperti itu saja. Ayah adalah kepala keluarga, nahkoda bahtera rumah tangga. Ibu sebagai second in command, dan anak-anak, mungkin sebagai penumpang. Tentu konsep seperti ini tidak sepenuhnya benar, juga tidak bisa disalahkan. 

    Dari buku-buku tentang sejarah kehidupan manusia yang pernah kau baca, kau pasti tahulah mengapa konsep keluarga seperti itu muncul dalam masyarakat. Tapi bukankah kita hidup dalam dunia yang dinamis, di tengah tumpukan konsep-konsep lawas yang harus menerus dibongkar dan didefinisikan ulang.

    Bagiku sebuah keluarga di masa sekarang tidak sesaklek pembagian ayam yang dipersembahkan ke sang raja. Jika ibu adalah punggung keluarga, bagian-bagian lain, apapun itu harus menopangnya agar beban punggung tak terlalu berat. Jika ayah adalah kepala keluarga yang sedang pening, maka bagian tubuh lain harus menjadi tangan yang sigap memijatnya agar aliran darah ke kepala menjadi lancar. 

    Keluarga mungkin sudah bukan lagi bahtera yang dinahkodai sang ayah, namun telah berubah menjadi sebuah pesawat. Ayah adalah sayap kiri, ibu adalah sayap kanan—atau sebaliknya, terserah kau. Rentangkan kedua tangan, jangan hilang keseimbangan.

    Jika aku yang menulis dongeng tadi, mungkin bisa kutambahkan beberapa alternatif cara membagi ayam untuk sang Raja. Jika Raja adalah seorang diktator, ia sendiri yang menentukan bagian mana dimakan oleh siapa. Bisa juga sang Raja memasak ayam itu menjadi ingkung dan kemudian memakannya beramai-ramai bersama keluarganya tanpa peduli bagian mana dimakan oleh siapa. 

    Nah, jika kau adalah sang Raja, bagaimana caramu membagi ayam?

  • [Ngibul #102] Seperti Kebab di Paris

    author = Bagus Panuntun

    Ini yang dulu selalu saya bayangkan ketika masih menjadi mahasiswa baru di jurusan Sastra Prancis UGM: kalau suatu hari saya bisa menjejakkan kaki di Paris, Paris yang akan saya temui adalah Paris di sore musim gugur. Cuaca dingin, angin berhembus menerbangkan daun-daun kering, lalu tulang saya mulai ngilu dan daun telinga serasa kebas. Tapi segera saya mencari kafe tepi jalan, memesan kopi dan croissant, lalu menghangatkan tubuh sambil mendengar lagu-lagu jazz bistro. Di sudut utara, Eiffel tampak begitu megah dengan balutan lampu kuning yang menyala.

    Tapi Paris semacam itu hanya ada di imajinasi anak bawang yang masih percaya pada leaflet biro pariwisata atau terpesona pada foto-foto di buku Écho—modul kuliah mahasiswa Sastra Prancis semester awal.

    28 Agustus 2019, akhirnya saya benar-benar sampai di Paris. Tapi Paris yang saya jejaki ternyata jauh dari kota nan megah yang membawa perasaan sendu. Saya tiba di kota ini saat musim panas dengan suhu udara hingga 32 derajat celcius. Terik. Gerah. Tubuh saya lengket setelah 19 jam perjalanan tanpa mandi.

    Dari Bandara Charles de Gaulle, saya dijemput Hasbi—teman yang tengah menempuh Master Arkeologi di Université Panthéon Sorbonne. Setelah sejenak bersapa dan saling menanyakan kabar, Hasbi langsung mengingatkan saya untuk selalu waspada selama berada di Paris. Ia lalu mengajak saya naik kereta jaringan RER (Réseau Express Régional) menuju tempat tinggalnya di Courcouronnes, daerah pinggiran Paris.

    “Gus, hati-hati. Banyak orang brengsek di Gare du Nord. Dompet, HP, amankan. Banyak jambret terorganisir lo”, ujarnya. Lalu ia menambahkan, “Kalau kowe minta tolong polisi, paling mereka juga bodo amat”.

    Stasiun-stasiun kereta di Paris memang jauh dari kesan indah. Gare du Nord, misalnya, stasiun yang terletak di terowongan bawah tanah ini tak cuma sumpek dan remang-remang, tapi juga bau pesing. Sampah dan puntung rokok bertebaran. Dinding-dinding stasiun penuh coretan pilox asal-asalan. Terkadang ada pengemis yang tidur begitu saja di tepi jalan.

    Sepanjang perjalanan menuju Courcouronnes, saya melihat Paris sebagai kota yang sesak sekaligus sangat plural. Dalam gerbong kereta yang kami tumpangi saja, sebagian besar orang yang duduk di dalamnya bukanlah orang kulit putih Eropa. Di kursi samping kami, pemuda keturunan Maghreb bersebelahan dengan pekerja keturunan Afrika Hitam. Seorang perempuan kulit hitam di belakang kami mengenakan Buba, Iro, dan Gele—blouse, sarung, dan penutup kepala khas Afrika Barat dengan warna-warna menyala. Perempuan berhijab keturunan Tunisia berwajah muram sambil menelfon seseorang. Tepat di depan kami bahkan duduk seorang Ibu berwajah India. Nampak pula dua orang Asia bermata sipit dan berkulit kuning langsat—salah satunya adalah saya.

    Prancis memang terkenal sebagai negara yang dihuni banyak warga keturunan imigran. Berdasarkan data yang dihimpun INSEE (Institut National de la statistique et des études économiques) tercatat bahwa pada tahun 2015 terdapat 7,3 juta warga negara Prancis yang mempunyai setidaknya satu orang tua imigran. Artinya, 11 % dari warga negara Prancis adalah warga keturunan imigran.

    Membludaknya jumlah keturunan imigran ini bukannya tidak membawa masalah. Dewasa ini, meskipun sebagian besar dari orang non-kulit putih tersebut sudah berkewarganegaraan Prancis, mereka seringkali tak bisa sepenuhnya diterima sebagai orang Prancis. Banyak di antara mereka yang mengalami diskriminasi rasial dan terutama kesulitan dalam memperoleh akses kerja maupun layanan publik. Alhasil, fenomena ini memunculkan banyak masalah seperti pengangguran maupun kriminalitas.

    Sejarah mencatat bahwa imigran memang bagian tak terpisahkan dari negeri Prancis. Bahkan, berbicara tentang sejarah imigran berarti berbicara tentang sejarah negeri ini. Para imigran sudah didatangkan ke Prancis sejak paruh kedua abad 19. Pada periode ini, para imigran didatangkan dari negeri-negeri tetangga di Eropa maupun negara-negara jajahan Prancis di dengan tujuan memperkuat militer Prancis untuk Perang Dunia. Namun puncak dari kedatangan para imigran terjadi pasca Perang Dunia II, tepatnya sepanjang periode Les Trentes Glorieuses (30 tahun kejayaan) alias periode kemajuan gila-gilaan ekonomi Prancis sepanjang 1945-1975. 

    Pada periode tersebut, Prancis tengah mengalami kemajuan industrialisasi yang luar biasa. Sayangnya, kemajuan ekonomi tersebut tak dibarengi dengan naiknya jumlah penduduk. Hal ini adalah dampak dari Perang Dunia II yang telah memakan korban jiwa sangat besar dan membuat angka pertumbuhan penduduk sangat lambat. Bahkan di masa baby booming, pertumbuhan penduduk Prancis hanya ada di angka 1 %. 

    Demi mencukupi jumlah pekerja sekaligus memperbaiki populasi negara, Prancis pun perlu menerapkan suatu kebijakan pro-imigran. Maka tercetuslah kebijakan regroupement familial, yaitu suatu prosedur yang mengizinkan seorang pekerja imigran untuk mengajak anggota keluarganya menetap di Prancis dan memperoleh kewarganegaraan Prancis dengan lebih mudah. Kebijakan ini membuat ratusan ribu orang khususnya dari Benua Afrika berduyun-duyun datang, berkeluarga, dan beranak-pinak hingga saat ini telah sampai pada keturunannya yang ketiga, keempat, atau bahkan lebih.

    Saat ini, kebanyakan keturunan imigran selalu dihinggapi berbagai stereotip negatif. Keturunan imigran Afrika Hitam biasanya dianggap biang kerok segala bentuk kriminalitas, mulai dari penjambretan, pencurian, hingga gembong narkoba. Keturunan Maghreb kerap dicurigai teroris atau seksis—genit dan senang goda sana-sini. Sementara keturunan Asia khususnya yang punya mata seperti Jet Li, justru kerap dianggap keturunan orang berduit. Alhasil, mereka kerap jadi korban pencopetan—saya kira ini yang paling naas.

    Apa yang disebut Hasbi sebagai kumpulan orang-orang brengsek di Gare du Nord, bisa jadi merujuk pada sekumpulan orang keturunan Afrika Hitam yang terlihat dominan di area ini. Saya sebenarnya menolak untuk percaya pada segala bentuk stereotip. Bagi saya, stereotip adalah omong kosong yang bermain dengan cara pukul rata. Namun entah mengapa, kali ini saya merasa begitu cemas ketika melihat tiap sudut stasiun. Ada semacam rasa kalut yang oleh orang Jawa disebut spaneng.

    Sepanjang perjalanan di dalam kereta yang pengap, saya merasakan betul perasaan terasing seperti yang dituliskan Emmanuel Dongala di cerpen Kereta Hantu. Orang-orang seakan menjadi berbahaya. Tiap gerak-gerik kecil terasa mencurigakan. Tiap tatapan mata yang bertemu seperti sinyal untuk menerkam.

    Pikiran-pikiran negatif berjejal dan salah satu yang terbersit adalah perasaan nelangsa karena tak bisa menonton Gundala. Sebagai penggemar fiksi superhero yang bahkan mencantumkan lambang Konoha di tanda tangannya, melewatkan mahakarya film jagoan dari negeri sendiri adalah bentuk kesialan dan ironi. Seandainya saya punya kekuatan super, barangkali saya tak akan sekhawatir ini. Sejak dulu, saya ingin menjadi superhero dengan kekuatan yang saya peroleh secara sederhana namun penuh kearifan lokal, mungkin karena minum jamu kunir asem atau mungkin karena disosor soang.

    Lamunan itu secara tak terasa telah membawa saya tiba di Courcouronnes dan membuat saya sadar kalau perut sudah keroncongan. Rasa was-was ternyata melelahkan dan cukup menguras energi. Beruntung Hasbi peka dan segera mengajak saya untuk makan malam. Yang sialnya, membuat ekspektasi lama tentang romantisme Prancis semakin remuk redam.

    Hari ini saya tak minum kopi seperti Para filsuf eksistensialis di café littéraire. Saya hanya makan kebab dan minum soda 7-Up di sebuah restoran Arab yang memutar lagu-lagu Prancis dan Timur Tengah secara bergantian. Ukuran kebab di sini seperti porsi gajah. Saya tak akan lapar sampai pagi kalau bisa menghabiskannya. Isi daging cincangnya tak tanggung-tanggung. Padat, dan berminyak. Saya harus membuka mulut seperti kuda nil untuk bisa melahapnya. Itupun dengan cincangan daging yang jatuh kemana-kemana.

    Namun harus diakui, meski tak romantis, kebab seharga 6,5 euro ini luar biasa sedap dan bikin super kenyang. Apalagi ketika dicocol dengan saus Algeria yang meski bentuknya seperti tahi encer manusia, tapi gurih dan cocok dengan lidah Indonesia.

    Saya pun melahap ganas kebab ini sampai akhirnya benar-benar tandas. 

    Sejenak kemudian, dalam suasana perut kenyang entah mengapa dunia jadi terasa padang. Saya mulai melihat sekeliling dan mengamati bahwa pelanggan restauran Timur Tengah ini bukan cuma orang keturunan Arab saja. Tapi ada orang kulit hitam, orang Asia Timur, bahkan orang kulit putih Eropa.

    Orang beragam suku yang ada di sekitar saya juga nampak segar dan sumringah. Mereka saling bercerita dengan santai dan bahkan tersenyum manis sekali.

    Amin Maalouf—sastrawan francophone asal Libanon—dalam bukunya Les Identités Meurtrieres pernah menyiratkan sikap optimisnya terhadap globalisasi dan pluralitas dengan mencontohkan budaya tata boga yang kini telah melampaui batas teritorial. Kata Maalouf, zaman modern ini telah memberi kesempatan bagi orang Inggris untuk dengan mudah menikmati saus mint di dalam kare, orang Prancis mulai menyukai daging kukus, atau penduduk Minsk bisa melahap hamburger.

    Kebab raksasa yang hari ini dilahap manusia beragam suku di pinggiran Paris ini barangkali adalah bukti bahwa apa yang dikatakan Maalouf bukanlah pepesan kosong saja.

    Keberagaman memang kerap dipandang sebagai pembawa mala. Ia selalu menyeret rasisme sekaligus xenophobia. Namun setiap orang sebaiknya juga mengakui, bahwa tanpa keberagaman, tak mungkin ada kebab seenak ini di pinggiran Paris. Tak bakal ada gol Paul Pogba dan Kyllian Mbappe di final Piala Dunia 2018. Tak mungkin pula ada penyanyi seperti Erza Muqoli yang saya yakin akan menggantikan Celine Dion di masa depan.

    Pada akhirnya, kebab yang saya libas di penghujung hari membuat saya kembali pada rutinitas harian: kenyang lalu mengantuk.

    Saat suhu tubuh mulai menurun, hembusan nafas semakin teratur, sementara mata makin berat untuk dibuka, tiba-tiba saya melihat sebuah negeri seperti yang dikatakan Amin Maalouf sebagai kampung global. Yaitu tempat di mana setiap orang bebas untuk melestarikan karakter tradisionalnya tanpa harus menjatuhkan karakter lain. Ada ratusan atau mungkin ribuan orang di depan saya yang berbeda baik secara fisik maupun penampilan. Dunia semarak, lanskap warna-warni, tak ada satupun raut yang kusut. Setiap orang berdamai dengan diri dan sekitarnya. Saya tak tahu apakah yang sedang saya lihat adalah Prancis, atau Indonesia, atau Vanuatu, atau Puerto Rico. Yang jelas, saya berada di sebuah ruang, di mana setiap orang tidak percaya pada segala bentuk stereotip, dan lebih percaya bahwa universalitas selalu punya harapan.

  • [Ngibul #101] Saya bergosip, maka Saya Bercerita

    author = Andreas Nova

    Seumur-umur, saya baru dua kali mengikuti workshop kepenulisan. Yang pertama Workshop Kepenulisan Cerpen bersama Dea Anugrah di acara Tahun Baru di JBS sebagai peserta, yang kedua Workshop Kepenulisan Novel bersama Mahfud Ikhwan di Toko Buku Gerak Budaya Yogyakarta, dalam rangkaian kegiatan Joglitfest (Festival Sastra Yogyakarta) sebagai moderator. Keduanya memberi saya banyak pelajaran dalam hal tulis menulis.

    Workshop Kepenulisan Cerpen bersama Dea Anugrah meng-encourage saya untuk “nulis aja, sebisamu, seasikmu” sementara Workshop bersama Mahfud Ikhwan mengajarkan saya bagaimana mendekatkan diri dengan pembaca. Lebih detil tentang workshop bersama Dea Anugrah akan saya bahas di tulisan lain. Kali ini saya akan berbagi pengalaman Workshop Kepenulisan Novel bersama Mahfud Ikhwan.

    Workshop yang diadakan di Toko Buku Gerak Budaya Yogyakarta, Jl. Gondang Raya no. 8, Kentungan, Condong Catur, Sleman ini diadakan sebagai pra-acara Joglitfest (Festival Sastra Yogyakarta) oleh Klub Buku Yogyakarta, bekerja sama dengan Kibul.in dan Gerak Budaya Yogyakarta. Animonya cukup tinggi karena ketika pendaftaran dibuka ada 65 pendaftar yang berminat, namun agar acara berjalan kondusif, peserta dibatasi menjadi 40 orang saja.

    Dalam workshop tersebut, di sesi pertama Cak Mahfud sedari awal menyampaikan ingin mencoba menawarkan cara menulis cerita dengan metode gosip. Menurutnya gosip dekat dengan masyarakat. Keseharian masyarakat—jawa pada umumnya—sudah dekat dengan istilah rerasan, ngrasani, atau rasan-rasan. Gosip bisa ditemukan dari obrolan di pos ronda, hingga di emperan masjid. Karena kedekatannya itulah, menulis sastra dengan pendekatan bergosip, barangkali bisa menjadi salah satu cara mendekatkan masyarakat dengan sastra.

    Seperti halnya kisah fiksi, gosip berdiri di atas fakta yang kabur. Penutur gosip memolesnya dengan imajinasi. Gosip yang dipulas sedemikian rupa bisa jadi dipercaya sebagai fakta. Kalau istilah sekarang disebut hoax. Gosip adalah bentuk sederhana dari hoax. Barangkali juga, tuturan dari leluhur adalah gosip pada awalnya. Legenda yang diturunkan dari mulut ke mulut dipoles dengan hal magis dan mistis menjadi sesuatu yang menarik untuk terus dibicarakan. Toh sesuatu yang tidak menarik tidak akan banyak diceritakan orang. Barangkali karena itulah novel, cerpen, sesuatu hal yang fiksi itu tetap menarik bagi banyak orang meskipun pembaca tahu dan sadar kalau cerita itu tidak benar terjadi.

    Mengapa menulis dengan metode bergosip? Mahfud Ikhwan melalui metode ini mengajak peserta workshop mengalami pengalaman menulis Dawuk, salah satu karya terbaiknya. Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu itu disusun dari fakta yang (di)kabur(kan). Seperti umumnya gosip, pusat cerita adalah tokoh yang dituturkan. Penutur cerita bukan si Dawuk, namun si entah siapa yang seingat saya cuma nongol di beberapa paragraf terakhir.

    Di sesi kedua, setelah jeda ishoma, Mahfud Ikhwan mengajak para peserta menulis dengan berfokus pada detil latar tempat. Pada kesempatan itu peserta diajak menulis detil latar tempat berupa toko buku dikaitkan dengan suatu kejadian yang terjadi di sana. Detil latar tempat adalah salah satu hal yang membedakan novel dengan cerpen. Seringkali karena keterbatasan ruang, cerpen tak banyak memberi detil latar terjadinya peristiwa.

    Setelah beberapa peserta membacakan hasil tulisannya, Mahfud Ikhwan memberi komentar dalam menulis detil latar, penulis seringkali terjebak memberikan fakta yang melimpah sehingga melupakan kaitan terhadap peristiwa. Karena fakta yang terlalu melimpah dan sia-sia itulah, terkadang peristiwa yang diceritakan itu bisa begitu saja dicerabut dan diletakkan dalam latar yang lain.

    Berbeda dengan cerpen dimana penulis mempertaruhkan peristiwa yang diceritakan. Detil menjadi penting karena dalam novel, penulis harus bisa mengajak pembaca menginternalisasikan tokoh dalam ruang. Karena sebuah novel ada dua kemungkinan interaksi penulis dan pembaca, yang pertama adalah penulis bertemu pembaca jika tokoh utama memiliki pengalaman serupa, yang satunya adalah ketika tokoh utama mampu berbagi pengalaman dengan pembaca. 

    Dua cabang kemungkinan itu dihubungkan kembali dengan menulis dengan metode bergosip seperti yang dilakukan di sesi pertama. Gosip itu seolah bercabang karena dia seolah berbicara dengan satu orang, sementara di cabang lain ia ingin didengarkan dengan cara berbeda. Semakin detil polesan gosip, semakin ia dipercaya, semakin ia nikmat untuk didengarkan banyak orang. Bukankah itu tujuan bercerita?

    Menulis dengan cara bergosip menurut saya bukan hanya cocok diterapkan untuk menulis fiksi saja. Metode yang sama bisa digunakan untuk menulis apa saja. Kuncinya ada pendekatan yang tepat pada pembaca, sehingga pembaca bisa seolah mengalami hal yang sama dengan apa yang ditulis, sehingga pesan pada pembaca—tentunya ini intinya—bisa tersampaikan dengan baik.

    Mengutip kata Mahfud Ikhwan, menulis bukan perkara apa yang ingin diceritakan atau cerita apa yang pembaca inginkan namun bagaimana menceritakan hal yang ingin diceritakan, menjadi cerita yang ingin dibaca.

  • [Ngibul #100] Pedoman Ringkas Tepat-Memilih untuk Kita yang Tidak Mengerti Politik

    author = Olav Iban

    Kendati kita buta politik, namun pertama-tama jangan remehkan hak pilihmu. Pemilu adalah satu-satunya kesempatan istimewa ketika suara kita (para driver ojek online, penjual pulsa, penjaga counter teh tarik, pemain organ gereja, barista muda, pegawai honorer) dipandang sama setara dengan suara rektor UGM, guru besar ITB, selebritis kawakan, direktur garuda, duta besar Ceko, bahkan suara sang capres sendiri.

    Serumit apapun riset seorang ilmuwan fisipol tentang siapa calon paling tepat yang akan dipilihnya, suaranya tetap dihitung satu—sama satunya dengan suara orang yang memilih random tanpa berpikir panjang.

    Suara kita penting. Inilah sebabnya mengapa tiba-tiba banyak orang kelas atas peduli pada kemiskinan kita. Peduli tentang harga pupuk yang tidak ada urusan dengan kehidupannya; sensitif dengan harga cabai padahal perihal dapur diurus pembantunya; khawatir dengan akses kesehatan padahal antri BPJS saja mereka malu saking kayanya.

    Pada hakikatnya, karena jumlah penduduk melimpah-ruah sementara jumlah kursi di gedung DPRD/DPR/DPD/Kepresidenan terbatas, maka kita harus memilih orang sebagai perwakilan-eksistensial kita di kursi itu.

    Wakil itu mestinya cerminan kita, representasi ideologi kita, perpanjangan tangan kepentingan kita, sebagai ganti karena tidak bisa kita semua ke sana. Makanya banyak calon yang memakai slogan: Bapak X adalah kita; atau Z untuk semua ~ semua untuk Z, dan segala hal yang begitu-begitu.

    Tapi jangan sembrono, bukan berarti mereka yang liyan (yang bukan kita) tidak pantas dipilih sebagai perwakilan diri kita. Banyak kok yang baik, sama banyaknya dengan orang “kita” yang tidak baik.

    Tak masalah seandainya ada etnis Melayu memilih orang Dayak sebagai wakil, atau seorang Hindu Kaharingan memilih caleg Muslim kader NU, atau si miskin diwakilkan oleh si konglomerat. Selama si perwakilan itu mau dan mampu menjadi representasi yang baik bagi mereka, mengapa tidak?

    Tapi, sekali lagi, jangan sembrono. Suara kita yang cuma satu tiap lima tahun ini tidak boleh disia-siakan. Lantas bagaimana agar kita tepat memilih? Berikut ini pedoman kibul.in untuk kita yang sama-sama tidak mengerti politik.

    1. Perhatikan kebiasaan sosialnya.

    Satu semester ke belakang, kita semua pasti pernah ketemu caleg yang—tidak ada angin tidak ada hujan—muncul bersarung ikut magriban di mesjid, atau tiba-tiba selalu hadir di kebaktian duka tempat orang meninggal, atau mendatangi jamuan pernikahan, menyapa, tersenyum, bersalam, menanya kabar anak, dan lain sebagainya.

    Kita, masyarakat level rendah, pasti juga pernah mengalami perasaan kikuk ketika menegur sapa seorang anggota dewan yang dulu pernah baik berbincang ramah tapi kini seperti pura-pura lupa siapa kita (padahal memang lupa, bukan berpura-pura).

    Karena dua pengalaman itu, maka alangkah baiknya bila kita memilih caleg berdasarkan kebiasaan sosialnya. Maksudnya, dengan memperhatikan aktivitas sosiologis yang telah ia lakukan berulang-ulang sampai menjadi kebiasaan atau bahkan menjadi identitas dirinya.

    Pilih jenis orang yang sudah bertahun-tahun sholat subuh berjamaah di mesjid kampung, yang dari lama sudah terlibat kerja bakti tiap sabtu pagi, yang istrinya biasa hadir di arisan dasawisma, yang ikut beli sayur dari pedagang keliling, yang hafal mars PKK saking seringnya mengurus sosial kampungnya bersama ibu-ibu tetangga, yang sedari dulu rajin ke gereja bersama keluarga, yang selalu mau ikut patungan pembangunan rumah ibadah walau bukan yang dipeluknya dengan inisial HA atau NN.

    Orang-orang seperti ini tidak perlu kampanye. Lima tahun terakhir hidupnya sudah menjadi kampanye spesial. Sayangnya, manusia low-profile jenis ini jarang ada yang mau mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Tapi kalaulah ada, kamu wajib mempertimbangkannya sebagai pilihanmu.

    2. Pilih mereka yang menjanjikan hal-hal realistis.

    Tentu akan sulit jika seorang caleg menjanjikan jalan aspal mulus padahal ia lulusan sastra atau seorang penyair. Bukannya tidak mungkin, akan tetapi besar kemungkinan bilamana ia terpilih menjadi anggota dewan kotamu ia tidak ditempatkan di komisi yang berhubungan dengan pembangunan jalan karena latar pendidikan atau profesinya bukan teknik sipil.

    Caleg yang kompeten tidak akan asal bicara. Orang berhati baik pasti gundah dan gelisah jika ia bicara (apalagi berjanji) namun tak kunjung ditepati.

    Janji yang realistis biasanya mudah diukur. Ada instrumennya, ada target capaiannya, dan ada outcome atau dampak bagi masyarakat setelah janji itu terealisasi. Orang awam seperti kita bisa dengan gampang mengukur prestasinya nanti.

    Misalkan ia berjanji meningkatkan angka minat baca. Instrumennya jelas berupa jumlah perpustakaan (beserta kemudahan aksesnya), toko buku sastra, persewaan komik, lomba karya tulis, lomba mewarnai buku gambar, kemudahan modal penerbitan (juga izinnya), dst.

    Lalu ditargetkan: dengan meningkatnya akses kepada buku, maka akan meningkat pula minat baca. Outcome-nya pun terlihat: minat baca yang besar mampu menghasilkan generasi muda yang berkualitas, sehingga bisa meningkatkan daya saing yang berimbas pada pengurangan kemiskinan, peningkatan status ekonomi, pemahaman politik, dsb.

    Jelas kan, ya? Itu gunanya janji yang realistis.

    Jangan percaya pada janji yang tidak realistis, seperti menutup semua pasar swalayan asing untuk meningkatkan pendapatan pasar tradisional. Orang yang menjanjikan hal tak-realis biasanya tidak tahu bagaimana cara mewujudkan janjinya. Ia hanya berpikir sampai pada tahap menyusun wacana yang sekiranya keren di mata pendukungnya guna melegitimasi persepsi terhadap identitas dirinya sendiri (semisal: tegas, tak pandang bulu, pembela masyarakat kecil, anti investasi asing dan pasar modern).

    3. Lihat keluarganya.

    Semodern apapun zaman ini, Indonesia tetaplah bangsa Timur yang menjunjung tinggi martabat keluarga. Keluarga adalah representasi dirinya. Kendati tidak selalu persis begitu, namun pengamatan pada anggota keluarga ini menarik.

    Misalnya dengan membandingkan anak pertama dan anak bungsu. Biasanya anak pertama lahir dan bertumbuh di masa susah-susahnya sebuah keluarga, dan sebaliknya si anak bungsu.

    Dari si bungsu kita bisa melihat cerminan seperti apa orang itu ketika sudah terpilih dan memiliki akses lebih dekat pada kekayaan. Dari si sulung tercermin seberapa tangguh ia bila kelak menghadapi permasalahan saat menjabat. Tentu tak selalu tepat begitu, dan  juga tidak ada penelitian ilmiah tentang itu, namun—sekali lagi—arketipe kita adalah adab “ketimuran”.

    Selain itu, pastikan pula penghasilan finansial keluarga intinya jauh-jauh dari APBD atau APBN. Bukannya tidak boleh, tapi menjaga jarak agar tidak ada gesekan kepentingan itu perlu.

    4. Pilih sesuai kebutuhanmu.

    Di mana-mana kebutuhan semua orang itu sama, yaitu penyelesaian masalah hidupnya. Perhatikan isu-isu yang diangkat oleh caleg ataupun capres, apakah itu sejalan dengan concern-mu dewasa ini? Jika tidak, pertanyakan lagi dalam hatimu, untuk apa kamu pilih seorang wakil yang tidak paham kebutuhan hidupmu?

    Untuk level DPRD, pastikan isu yang diangkat adalah isu yang membumi. Isu yang terjadi sehari-hari di kampung kita, dan penyelesaiannya bisa dilakukan secara nyata oleh caleg tersebut.

    Untuk level DPR dan DPD RI, utamakan caleg tersebut mengetahui dengan sungguh-sungguh ide dan identitas provinsimu, serta punya pandangan ekonomi pembangunan yang terarah pada visi yang sejalan dengan zeitgeist abad ini (lingkungan hidup, perdamaian, kesetaraan gender, dan tentu saja SDGs—Sustainable Development Goals). Karena kelak ketika penyusunan Prolegnas maupun RUU, diharapkan kebutuhan strategis provinsimu akan dapat diakomodir dengan jelas di dalam kebijakannya.

    Untuk level Presiden dan Wakil Presiden, setidak-tidaknya mereka memahami kegunaan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri, serta punya ide cemerlang bagaimana mengoptimalisasi fungsi dua kementerian ini sesempurna mungkin.

    Perhatikan pula kelompok-kelompok di belakang mereka, karena hampir pasti jika mereka terpilih kelompok inilah yang menjadi bagian dari Ring 1, 2, 3-nya. Dan tentu saja sedikit banyak memiliki pengaruh pada arah kebijakannya.

    5. Jangan memilih atas dasar kebencian.

    Jangan memilih karena benci. Kebencian pada si B membuatmu memilih si A. Jangan pula memilih karena kecintaan buta yang fanatis. Kecintaanmu yang berlebih pada si A akan melahirkan kebencian dalam dirimu kepada si B.

    Apa faedahnya kamu mengotori otak, mulut, dan hatimu dengan kebencian pada si B atau si A, padahal mereka mengenalmu saja tidak?

    Cari kelebihannya, bukan kekurangannya. Mencari kekurangan hanya akan membuatmu terjebak di rimba hoax, asumsi, tendensi, fitnah, dan kepalsuan. Bukan berarti ketika mencari kelebihannya kamu tidak akan terjebak pada hal yang sama, tapi alangkah sehatnya otak kita bila tak punya pikiran kotor tentang orang lain.

    Dalam politik yang rumit dan sama-sama tidak kita mengerti, ada baiknya kita mengurangi asupan informasi politik dari media sosial maupun TV. Banyak konstruksi asumsi (positif atau negatif) dibangun lewat media ini.

    Jika tak ingin tersesat, kenali permainan persepsi ini:

    1. Biasanya mereka membuat musuh bayangan yang gunanya untuk menyatukan kelompok yang memiliki musuh sama (common enemy) sehingga terbentuk pseudospeciation (cari sendiri di google).
    2. Musuh bayangan dibentuk dari bumbu kebencian yang sudah ada sejak masa lalu sehingga mudah diungkit kembali.
    3. Tokoh yang paling pas untuk dijadikan orang jahat adalah yang membawa tanda-tanda bahwa dia berasal dari kelompok “luar”. Itulah mengapa banyak penjahat di film Hollywood memiliki logat asing, bertampang meksiko, berkulit gelap, dsb—yang penting mereka berbeda dari mayoritas.
    4. Mengapa kebencian ini mereka anggap perlu? Karena perbenturan dengan musuh/tokoh jahat (antagonis) pada akhirnya memperkuat rasa altruisme dan kesetiaan kepada kelompoknya sendiri.
    5. Menebarkan ketakutan secara repetitif dan sistematis di seluruh persepektif. Misal ketakutan akan adanya invasi alien di bidang ekonomi, pertahanan, sampai kebudayaan yang setiap hari diulang-ulang sehingga secara tidak langsung ingin mengatakan, “Kalau mau selamat, pilih saya!”
    6. Menebarkan optimisme semu, bahwa seolah-olah semuanya mudah—semua baik-baik saja. Optimisme itu baik, namun bila berlebihan ditebar akan membutakan kita dari langkah-langkah preventif yang seharusnya dikelola sejak jauh hari. Kondisi “semua baik-baik saja” pernah ditabur Orde Baru yang mengagung-agungkan ketertiban sebagai landasan pembangunan, tapi ternyata palsu dan koruptif.

    6. Terima uangnya atau tidak?

    Dalam menyikapi serangan fajar, masyarakat level bawah seperti kita terbagi menjadi dua faksi: (a) yang menerimanya karena toh tidak ada yang tahu siapa yang akan kita pilih di bilik suara; dan (b) yang menolaknya.

    Saya cenderung memilih untuk menolaknya dengan konsekuensi dicap sok suci dan dicibir menolak rejeki.

    Menerima uang adalah kesepakatan transaksional. Janji pertukaran antara Rp. 100.000,- dengan suaramu yang cuma satu tiap lima tahun itu. Namanya janji sudah semestinya ditepati. Menerima uang serangan fajar sama saja kita menyetujui caleg tersebut kelak melakukan korupsi.

    Di sisi lain, apologi menerima uang karena desakan ekonomi dan tetap setia pada janji memilihnya (toh terpilihnya dia tidak mempengaruhi masa depanku) bisa saja “dibenarkan”, akan tetapi ini adalah kesalahan etis yang sangat serius.

    Mayoritas warga Indonesia sudah lupa bahwa republik ini bisa berdiri salah satunya karena efek politik etis di awal abad 20. Tanpa kesadaran etis tak etis mungkin kita masih jadi bangsa yang tidak punya hak suara menentukan volksraad.

    Caleg yang membagi-bagikan uang adalah caleg yang tidak yakin dengan kualitas dirinya dan tidak tahu seberapa kuat massa pendukungnya. Memilih caleg yang begini akibatnya fatal. Dia akan menganggap uanglah yang menentukan keterpilihannya, bukan amanat dari hati rakyat.

    Kebijakan-kebijakan yang kelak diambil oleh caleg jenis ini biasanya tak berpihak pada kepentingan pemilihnya, melainkan berdasarkan perhitungan untung rugi.

    Jika kalian mendapati caleg yang begini, beritahu pepatah India, “Hanya ketika pohon terakhir mati dan sungai terakhir diracun dan ikan terakhir ditangkap, kita akan menyadari bahwa kita tidak dapat makan uang.”

    7. Jangan memilih karena kegagahan atau kecantikannya.

    Pernah dengar Warren Harding Error? Ya, Warren Harding adalah senator negara bagian Ohio yang memenangkan pilpres Amerika Serikat tahun 1920. Ia digambarkan begini:

    “Ketampanannya, pundaknya, dan dadanya memiliki ukuran yang menarik perhatian—seperti dewa Romawi.

    “Sewaktu melangkah turun panggung, kakinya memamerkan betapa ideal proporsi tubuhnya. Langkah-langkahnya ringan, sikap berdirinya tegap, gerak-geriknya santai, semuanya memperkuat kesan jantan yang sempurna.

    “Kesantunannya ketika menawarkan tempat duduk kepada orang lain, serta suaranya yang bergaung, hangat, dan maskulin, juga sikapnya menunjukan kedermawanan yang alami. Keinginan untuk membahagiakan orang lain, baik secara jasmani maupun rohani.”

    Googling saja foto Warren Harding, saya yakin kamu akan terpesona. Lalu tanyakan kepada dirimu sendiri, “Bukankah orang seperti ini sudah selayaknya menjadi presiden yang hebat?”

    Warren Harding menduduki kursi presiden selama dua tahun sebelum meninggal secara tiba-tiba karena stroke. Para sejarawan setuju bahwa ia salah satu presiden sangat buruk dalam sejarah Amerika.

    Warren Harding bukanlah orang yang hebat dan cerdas sebagaimana yang tersirat dari keanggunan jasmaninya. Ia penjudi, minum-minum sampai mabuk, dan hampir selalu memanfaatkan kelebihannya untuk merayu perempuan. Ia peragu, dan plin-plan menyangkut kebijakan. Pidato-pidatonya kelak digambarkan sebagai “serangkaian ungkapan kosong yang baru sampai ke tahap mencari gagasan.”

    Kesalahan bangsa Amerika memilih Warren Harding adalah sisi gelap dari memilih berdasarkan ketampanan atau kecantikan belaka.

    Saya sendiri berpendapat, semakin tampan-cantik-glamor-mentereng seorang caleg akan semakin berjarak dengan kita yang buruk-rupa miskin-papa ini.

    Itu tadi tujuh pedoman ringkas tepat-memilih agar kita siap di 17 April nanti. Jangan lupa pastikan hak pilihmu di situs lindungihakpilihmu.kpu.go.id, dan bila tidak terdaftar segera konsultasikan pada petugas KPU terdekat. Siapkan KTP elektronikmu. Jika KTPmu hilang, mintalah surat kehilangan di polres, lalu bawa fotokopi KK ke Dinas Dukcapil di kotamu supaya kamu memperoleh surat keterangan sementara.

    Kalau kalian ingat, dulu guru PPKn kita sering bertanya, “Kapan negara membutuhkanmu?” Sekaranglah saatnya negara sungguh-sungguh membutuhkanmu. Demi Indonesia yang ada di hati, bukan di TV.

  • [Ngibul #10] Waktu dalam Akhiran

    author = Asef Saeful Anwar

    Dari Sebuah Janji

    Suatu waktu, teman saya berjanji untuk bertemu dengan mengatakan: “jam 11-an (sebelasan) ya”. Saya datang pukul 11.05 lalu menunggunya sampai pukul 11.30. Ia tidak kunjung datang, saya pun meninggalkan tempat pertemuan. Sekitar 5 menit setelah meninggalkan tempat pertemuan, ia mengirim pesan pendek bahwa ia baru sampai. Saya tak membalasnya. Sampai beberapa lama kemudian ia mengirim pesan pendek lagi dengan nada marah kalau ia telah lama menunggu, tetapi saya tak kunjung datang. Tentu, saya tidak membalas pesan itu karena kemarahan saya lebih besar darinya, yang tidak akan cukup ditampung sebuah pesan pendek.

    Sampai kemudian kemarahan itu reda setelah sadar bahwa apa yang terjadi di antara kami hanyalah kesalahpahaman. Kesalahanpahaman terhadap akhiran “-an” dalam penentuan jam pertemuan. Bagi saya, akhiran “-an” dalam jam 11-an (sebelasan) adalah waktu antara pukul 11.00 sampai dengan 11.30. Selebihnya, penyebutan waktu harus menggunakan “jam 11.30 (setengah dua belas)” atau “jam 12 (dua belas) kurang”. Mungkin, di benak teman saya, “jam 11.30” masih dalam koridor “jam 11-an” sehingga dia merasa tak bersalah datang pada waktu sekitar itu. Lalu, siapakah yang benar di antara kami? Tidak ada. Tidak ada yang salah pula karena tidak ada konvensi waktu yang baku di negeri ini yang mengaturnya dalam akhiran “–an”.

    Mari kita simak beberapa contoh akhiran “–an” yang menunjukkan waktu. Dalam kisaran jam ada “jam 11-an” atau “15 menitan”, di kitaran bulan ada “tanggal 10-an” atau “tanggal 20-an”, dan pada pusaran tahun ada “tahun 1990-an” atau “tahun 2000-an”. Untuk ukuran jam dan tanggal, kita kerap mendengar akhiran “–an” dalam percakapan, sedangkan untuk ukuran tahun akhiran “-an” sering didapati pada sejumlah tulisan (utamanya pada buku-buku yang tidak menggunakan jasa editor bahasa). Ketiganya digunakan untuk mengungkapkan waktu masa lalu dan masa mendatang dalam sebuah perjanjian.

    Penentuan waktu dengan menyebut jam dengan akhiran “–an” sejatinya masih perlu dirumuskan. Misalnya, “jam 11-an”, apakah waktu itu adalah dari pukul 11.00 sampai 11.59? Bukankah, kita kerap menyebut “jam 11.55” dengan “jam 12 kurang”? Bahkan, kita sudah menyebut “jam setengah 12” ketika jarum jam menunjuk pukul 11.30. Lalu, sampai mana batasan waktu “jam 11-an”? Dalam hal menit, kerap kali kita menyebut “15 menitan lagi ya kita pergi” atau “kita tunggu 10 menitan lagi ya”. Apakah yang dimaksud dengan penyebutan keduanya? Kenapa tidak “15 menit” atau “10 menit” saja? Apakah “15 menitan” berarti mencakup menit ke-16 sampai ke-19 karena kita kesulitan menyebut “19 menit lagi ya” dengan standar batasan “15 menitan” itu adalah menit ke-20. Apakah benar menit ke-20 itu batas dari “15 menitan”? Apa batasannya?

     

    Masih Manual

    Barangkali batasan itu ada pada koridor waktu yang ditunjukkan angka dalam jam manual yang menggunakan jarum sebagai penunjuk waktu. Angka di dalam jam tersebut terdiri dari 1 hingga 12 dengan masing-masing jarak antara satu angka dengan angka lainnya dalam kisaran jarum menit berselisih 5 (lima), maka kerap kali kita mengucapkan angka dalam kelipatan lima tersebut seperti 10, 15, 20, dan seterusnya. Angka-angka di antara kelipatan itu tidak pernah ditampakkan atau disebutkan, dan seperti diganti dengan akhiran “–an”. Namun, apakah kita pernah sepakat akan hal itu?

    Apalagi jika kita menyadari keadaan masa kini ketika jam manual yang masih menggunakan jarum—yang menjadi standar penentuan waktu itu—jumlahnya sudah lebih sedikit daripada penunjuk waktu yang ada di ponsel, gawai, arloji digital, dan perangkat-perangkat lainnya. Jika demikian, apakah tidak sebaiknya kita kini mulai menyesuaikan diri dengan menggunakan standar digital yang menitnya lebih detail? Namun, apakah kita akan berani meninggalkan kolega, kawan, istri, pacar, atau simpanan, ketika tidak tepat waktu dalam suatu pertemuan hanya dalam hitungan menit? Ah, bukan, sepertinya bukan itu pertanyaannya, tapi ini: apakah menit dalam setiap jam di negeri ini sudah disamakan? Apa patokannya? Dan siapkah kita selalu datang tepat waktu di tiap janji?

    Rasanya, hal itu masih sulit untuk diwujudkan, dan saya pun masih bertanya-tanya apakah hal itu perlu diwujudkan? Mengingat di antara kita masih menggunakan standar waktu yang tidak pula bergantung jam. Bukankah masih banyak di antara kita menunggu sesuatu dengan patokan-patokan tertentu? Seperti standar kebiasaan: “satu batang rokok lagi ya kita pergi” atau standar instingtual: “tunggu nasinya turun ya”.

     

    Memori yang Rapuh

    Suatu kali, saya bertanya tentang jadwal sebuah acara kepada panitia terkait yang dijawab dengan: “acaranya sekitar tanggal 27-an”.  Tentu, saya kebingungan mendapati jawaban itu mengingat tanggal 27 hanya ada satu di kalender mana pun. Namun, kesalahan penyebutan seperti ini juga tampak dalam buku-buku yang menyebutkan angka tahun. Misalnya, “peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1991-an”. Padahal, tahun 1991 hanya ada satu (kecuali lain pedoman penanggalannya).  Kalau memang terjadi pada sebuah bulan di tahun tersebut, tak perlu menggunakan akhiran, cukup “peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1991.”

    Baik kasus pertama maupun yang kedua, kesalahan terjadi karena memori yang rapuh. Untuk kasus pertama penyebutan waktu acara tanpa melihat jadwal acara, sedangkan kasus kedua terjadi karena ketidaktekunan mendalami data. Mungkin apa yang dimaksud “tahun 1991-an” adalah suatu waktu yang terdapat dalam tahun 1991 di bulan, minggu, hari, dan jam tertentu. Tentu, kesalahan seperti ini sebaiknya dihindari dengan memastikan kapan waktu terjadinya peristiwa yang dimaksud karena keakuratan data selalu berbanding lurus terhadap kualitas suatu karya ilmiah.

    Dibanding kedua contoh di atas, apa yang sering ditemui dalam buku-buku adalah penyebutan tahun dengan akhiran “-an” dalam kelipatan sepuluh. Misalnya, “tahun 1980-an”, “tahun 1990-an”, dan “2000-an”. Untuk angka tahun yang pertama dan yang kedua, mungkin dapat dipahami sebagai seluruh tahun berbatas angka puluhan yang ada di belakang ratusan. “Tahun 1980-an” berarti berlaku sampai tahun 1990, dan sejenisnya. Anehnya, kita sudah memiliki istilah untuk angka puluhan tahun, yakni “dekade”. Maka, patut dipertanyakan apakah jika ada suatu buku mengaku meneliti suatu peristiwa di “tahun 1980-an” apakah benar-benar satu dekade atau hanya tahun-tahun tertentu pada dekade tersebut. Barangkali, imbuhan “-an” ini menjadi kompromi penulisan agar peneliti tidak terbebani satu dekade penuh padahal ia hanya meneliti tahun-tahun tertentu saja.

    Akan tetapi, kasus seperti ini akan menjadi berbeda pada angka tahun seperti “angkatan 2000-an” (dalam kasus lain, banyak pula yang menyebut “tahun 1800-an” atau tahun 1900-an”). Angka ini menunjukkan bilangan ribu yang rentangnya memiliki angka ratusan di belakangnya. Jika batas tahun 1980 adalah tahun 1990, apakah batas tahun 2000 adalah tahun 2010? Mungkinkah kita selama ini menyandarkan imbuhan “-an” untuk mewakili bilangan dalam kisaran puluhan karena di tiap kelipatannya mengandung angka dari 1 hingga 9? Sekali lagi, batasan dalam penyebutan waktu ini belum jelas.

     

    Ketidakjelasan dan Ketidaktegasan

    Ketidakjelasan tentang batasan waktu yang diwakili akhiran “-an” dalam suatu perjanjian atau penulisan tentang suatu masa tersebut setidaknya menunjukkan sejumlah hal. Pertama, dalam hal pengucapan janji, ada ketidaktegasan dalam menentukan waktu, yang dapat saja disebabkan oleh (1) tidak berminat untuk bertemu, karena (2) menganggap pertemuan itu tidak penting, sehingga (3) tidak penting apakah kedatangannya nanti tepat waktu atau tidak.

    Kedua, dalam penyebutan angka tahun, ada keragu-raguan tentang waktu yang telah lampau karena menggampangkan masalah sehingga suatu peristiwa yang terjadi di jam, hari, minggu, dan bulan tertentu hanya disebut dengan angka tahun yang memuatnya saja dengan tambahan akhiran “-an”.

    Barangkali kita memang masih gagap menentukan masa lalu sehingga gamang memutuskan masa depan. Demikiankah?

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Asef Saeful Anwar
    Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.
  • [Ngibul #1] Être et Avoir

    author = Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.

    Tahun 2006, setelah membaca pengumuman hasil Ujian Masuk Universitas Gadjah Mada di surat kabar, saya malah bingung. Nama saya tertulis sebagai calon mahasiswa yang diterima sebagai mahasiswa baru Prodi Sastra Prancis. Saya bingung karena saya tidak tahu sama sekali tentang Sastra Prancis, bahkan Bahasa Prancis pun saya hanya tahu kata “pierre” yang saya nggak tahu artinya karena kata tersebut sering muncul dalam film RRRrrrr!!! (2004). Euforia masuk salah satu universitas negeri ternama di Indonesia membuat saya tidak berpikir panjang. Saya bisa kuliah, saya lebih beruntung dari sejumlah besar siswa SMA yang tidak mampu melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

    Hari pertama kuliah, saya mendapati ternyata sebagian besar teman-teman seangkatan juga sama dengan saya. Sama-sama nol besar tentang Bahasa Prancis. Hari itu adalah hari pertama saya mulai mempelajari ilmu yang benar-benar baru di kampus, hingga akhirnya lima belas semester kemudian dinyatakan lulus. Banyak yang saya pelajari dalam lima belas semester.

    Salah satu dari sekian banyak yang saya pelajari adalah kata être (to be) dan avoir (to have) yang banyak digunakan dalam Bahasa Prancis. Pemahaman terhadap penggunaan kedua kata ini menjadi sangat penting dalam menguasai bahasa yang menjadi lingua franca di Eropa pada abad pertengahan. Être digunakan untuk mengkonjugasikan kata kerja yang menyatakan gerak, arah dan kata kerja refleksif. Sementara kata avoir yang lebih banyak digunakan untuk mengkonjugasikan sebagian besar kata kerja Bahasa Prancis. Penggunaan kedua kopula ini bisa membedakan makna dari sebuah kata kerja. Contohnya, “manger” (makan), “être mangé” (dimakan) dan “avoir mangé” (telah makan). Selain itu, être dan avoir juga memiliki pemaknaan lebih.

    Di dunia ini kita pun dapat “memiliki” banyak hal, namun apakah dengan itu kita sudah “menjadi” diri kita? Memiliki sesuatu yang tidak menjadikan siapa anda. Itu semua hanya hal-hal yang kebetulan anda miliki atau pencapaian tertentu.

    Erich Fromm mengupas tentang konsep being dan having lebih luas dalam To Have or To Be (1976). Fromm menyebutkan bagaimana masyarakat modern telah menjadi materialistis dan lebih suka “memiliki” daripada “menjadi”. Kemudian saya berpikir, saya telah “memiliki” gelar Sarjana Sastra, tapi apakah saya telah “menjadi” Sarjana Sastra? Apa kontribusi saya sebagai seorang Sarjana Sastra? Apa kontribusi saya terhadap dunia sastra? Apakah bukti menjadi Sarjana cukup dengan tugas akhir berupa Skripsi? Apakah hanya perlu cogito agar menjadi ergo sum? Apakah pemikiran-pemikiran idealis ala mahasiswa hanya berakhir sebagai obrolan di bangku kantin? Lalu terkubur realita rutinitas pekerjaan kantoran yang monoton.

    Akhir Desember tahun lalu, saya bertemu kembali dengan teman saya, Olav Iban. Ia adalah teman sejurusan pertama yang saya kenal. Seorang teman yang sangat sering menjadi rekan diskusi (baik soal studi maupun tidak) semasa kuliah. Saat itu kami berencana “reuni” setelah sekitar dua tahun tidak bersua. Agar tak seperti dua orang laki-laki yang memadu kasih di sebuah kafe, kami menambahkan sepasang laki-laki lagi, Fitriawan Nur Indrianto dan Asef Saeful Anwar. Dua nama terakhir ini adalah teman dari jurusan Sastra Indonesia. Dalam pertemuan itu, saya mengajukan sebuah gagasan untuk membuat sebuah ruang tulisan di dunia maya.

    Ide yang saya ajukan sebenarnya ide lama yang belum sempat tereksekusi. Sebuah ruang untuk mempublikasikan karya-karya yang selama ini masih malu-malu untuk muncul, yang masih belum berani untuk diapresiasi oleh publik. Memang, ini bukan ide yang original. Banyak situs web serupa dengan warna dan ceruk pasarnya masing-masing. Tidak apa-apa toh, nihil sub sole novum. Tidak ada yang baru di bawah matahari. Ruang ini difokuskan untuk tema Sastra, Seni dan Budaya. Bentuk tulisannya pun beragam, bisa berbentuk cerpen, puisi, esai, artikel bahkan terjemahan. Saya juga menjelaskan visi dan rencana ke depan yang akan direalisasikan, namun saya rasa belum perlu dituliskan di sini.

    Mereka menyambut baik ide tersebut. Kami kemudian mengerucutkan apa saja yang harus diprioritaskan dan apa yang bisa ditunda untuk mengeksekusinya. Kami membagi tugas sesuai dengan kompetensi masing-masing. Olav yang otaknya sudah kritis dari lahir memilih untuk menjadi Redaktur Esai dan Resensi. Asef yang hidupnya sudah fiktif, menempatkan diri sebagai Redaktur Cerpen. Sementara Fitriawan yang merupakan stereotip anak sastra—fasih merangkai kata indah nan puitis—berposisi sebagai Redaktur Puisi.

    Kemudian saya mengusulkan untuk menambahkan adik angkatan saya, Ari Bagus Panuntun sebagai Redaktur Artikel. Meskipun selisih umur kami sekitar enam tahun, Bagus memiliki ide-ide brilian, koneksi yang cukup luas dan tulisan agitatif satir nan berisi ala mahasiswa. Maklum, status mahasiswanya sudah matang dan tinggal tunggu wisuda. Ibarat gorengan yang masih hangat dan minyaknya masih belum tuntas ditiriskan. Saya berharap ia bisa memberi warna segar pada redaktur lainnya yang mungkin lebih realis daripada idealis.

    Saya yang tidak punya kompetensi khusus masalah penulisan, akhirnya mlipir menjadi Redaktur Umum sekaligus menjembatani masalah teknis. Untuk urusan ini pun saya dibantu dengan seorang teman, Kurnia Sari. Seorang perempuan ceria yang rela bolak-balik dari Kabupaten Kulon Progo ke Kodya Yogyakarta demi mencari koneksi internet untuk mengotak-atik tampilan web.

    Dalam proses pengerucutan ide tersebut tidak jarang kami beradu argumen panjang lebar via whatsapp. Mulai dari apa saja isinya, bagaimana desain situs webnya, media sosial apa saja yang dipakai (kami punya beberapa akun media sosial juga lho. Silakan ikuti Facebook, Twitter, dan Instagram kami.). Bahkan pemilihan nama saja bisa berlangsung beberapa hari. Sebelum akhirnya muncul nama Kibul yang mengalahkan nama-nama keren lainnya—juga memilih domain dot in, karena kibulin terdengar lebih merdu daripada kibulko, kibulkom maupun kibulid.

    Bagi saya pribadi, Kibul.in adalah cara saya untuk berproses “menjadi”. Ini adalah “être” bagi saya. Dibandingkan dengan Sarjana Sastra lain, saya sadar bahwa saya belum ada apa-apanya Ada yang sudah jadi orang besar, dosen, maupun mereka yang sudah “menjadi” dengan menelurkan karya. Namun saya bergerak ke arah yang lain. Salah satu visi Kibul.in adalah memberi kontribusi pada perkembangan dunia sastra di Indonesia. Saya bersama teman-teman saya menyatukan ide dan pendapat untuk membuat ruang alternatif untuk berkarya. Bukan hanya bagi saya sendiri atau teman-teman saya. Tapi untuk siapa saja. Semua boleh berkontribusi.

    Ngomong-omong ada satu kata lagi dalam Bahasa Prancis  yang tidak kalah penting dari être dan avoir. Kata itu adalah faire yang berarti to do atau to make, melakukan atau membuat. Être tidak akan lengkap tanpa obyeknya, dan tidak akan terwujud tanpa faire.

     

    *Gambar komik strip dibuat oleh Nurfadli Mursyid (tahilalats), diambil dari sini

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    Pendapat Anda:

  • [Ngibul #1] Être et Avoir

    author = About Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.

    View all posts by Andreas Nova →

    Tahun 2006, setelah membaca pengumuman hasil Ujian Masuk Universitas Gadjah Mada di surat kabar, saya malah bingung. Nama saya tertulis sebagai calon mahasiswa yang diterima sebagai mahasiswa baru Prodi Sastra Prancis. Saya bingung karena saya tidak tahu sama sekali tentang Sastra Prancis, bahkan Bahasa Prancis pun saya hanya tahu kata “pierre” yang saya nggak tahu artinya karena kata tersebut sering muncul dalam film RRRrrrr!!! (2004). Euforia masuk salah satu universitas negeri ternama di Indonesia membuat saya tidak berpikir panjang. Saya bisa kuliah, saya lebih beruntung dari sejumlah besar siswa SMA yang tidak mampu melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

    Hari pertama kuliah, saya mendapati ternyata sebagian besar teman-teman seangkatan juga sama dengan saya. Sama-sama nol besar tentang Bahasa Prancis. Hari itu adalah hari pertama saya mulai mempelajari ilmu yang benar-benar baru di kampus, hingga akhirnya lima belas semester kemudian dinyatakan lulus. Banyak yang saya pelajari dalam lima belas semester.

    Salah satu dari sekian banyak yang saya pelajari adalah kata être (to be) dan avoir (to have) yang banyak digunakan dalam Bahasa Prancis. Pemahaman terhadap penggunaan kedua kata ini menjadi sangat penting dalam menguasai bahasa yang menjadi lingua franca di Eropa pada abad pertengahan. Être digunakan untuk mengkonjugasikan kata kerja yang menyatakan gerak, arah dan kata kerja refleksif. Sementara kata avoir yang lebih banyak digunakan untuk mengkonjugasikan sebagian besar kata kerja Bahasa Prancis. Penggunaan kedua kopula ini bisa membedakan makna dari sebuah kata kerja. Contohnya, “manger” (makan), “être mangé” (dimakan) dan “avoir mangé” (telah makan). Selain itu, être dan avoir juga memiliki pemaknaan lebih.

    Di dunia ini kita pun dapat “memiliki” banyak hal, namun apakah dengan itu kita sudah “menjadi” diri kita? Memiliki sesuatu yang tidak menjadikan siapa anda. Itu semua hanya hal-hal yang kebetulan anda miliki atau pencapaian tertentu.

    Erich Fromm mengupas tentang konsep being dan having lebih luas dalam To Have or To Be (1976). Fromm menyebutkan bagaimana masyarakat modern telah menjadi materialistis dan lebih suka “memiliki” daripada “menjadi”. Kemudian saya berpikir, saya telah “memiliki” gelar Sarjana Sastra, tapi apakah saya telah “menjadi” Sarjana Sastra? Apa kontribusi saya sebagai seorang Sarjana Sastra? Apa kontribusi saya terhadap dunia sastra? Apakah bukti menjadi Sarjana cukup dengan tugas akhir berupa Skripsi? Apakah hanya perlu cogito agar menjadi ergo sum? Apakah pemikiran-pemikiran idealis ala mahasiswa hanya berakhir sebagai obrolan di bangku kantin? Lalu terkubur realita rutinitas pekerjaan kantoran yang monoton.

    Akhir Desember tahun lalu, saya bertemu kembali dengan teman saya, Olav Iban. Ia adalah teman sejurusan pertama yang saya kenal. Seorang teman yang sangat sering menjadi rekan diskusi (baik soal studi maupun tidak) semasa kuliah. Saat itu kami berencana “reuni” setelah sekitar dua tahun tidak bersua. Agar tak seperti dua orang laki-laki yang memadu kasih di sebuah kafe, kami menambahkan sepasang laki-laki lagi, Fitriawan Nur Indrianto dan Asef Saeful Anwar. Dua nama terakhir ini adalah teman dari jurusan Sastra Indonesia. Dalam pertemuan itu, saya mengajukan sebuah gagasan untuk membuat sebuah ruang tulisan di dunia maya.

    Ide yang saya ajukan sebenarnya ide lama yang belum sempat tereksekusi. Sebuah ruang untuk mempublikasikan karya-karya yang selama ini masih malu-malu untuk muncul, yang masih belum berani untuk diapresiasi oleh publik. Memang, ini bukan ide yang original. Banyak situs web serupa dengan warna dan ceruk pasarnya masing-masing. Tidak apa-apa toh, nihil sub sole novum. Tidak ada yang baru di bawah matahari. Ruang ini difokuskan untuk tema Sastra, Seni dan Budaya. Bentuk tulisannya pun beragam, bisa berbentuk cerpen, puisi, esai, artikel bahkan terjemahan. Saya juga menjelaskan visi dan rencana ke depan yang akan direalisasikan, namun saya rasa belum perlu dituliskan di sini.

    Mereka menyambut baik ide tersebut. Kami kemudian mengerucutkan apa saja yang harus diprioritaskan dan apa yang bisa ditunda untuk mengeksekusinya. Kami membagi tugas sesuai dengan kompetensi masing-masing. Olav yang otaknya sudah kritis dari lahir memilih untuk menjadi Redaktur Esai dan Resensi. Asef yang hidupnya sudah fiktif, menempatkan diri sebagai Redaktur Cerpen. Sementara Fitriawan yang merupakan stereotip anak sastra—fasih merangkai kata indah nan puitis—berposisi sebagai Redaktur Puisi.

    Kemudian saya mengusulkan untuk menambahkan adik angkatan saya, Ari Bagus Panuntun sebagai Redaktur Artikel. Meskipun selisih umur kami sekitar enam tahun, Bagus memiliki ide-ide brilian, koneksi yang cukup luas dan tulisan agitatif satir nan berisi ala mahasiswa. Maklum, status mahasiswanya sudah matang dan tinggal tunggu wisuda. Ibarat gorengan yang masih hangat dan minyaknya masih belum tuntas ditiriskan. Saya berharap ia bisa memberi warna segar pada redaktur lainnya yang mungkin lebih realis daripada idealis.

    Saya yang tidak punya kompetensi khusus masalah penulisan, akhirnya mlipir menjadi Redaktur Umum sekaligus menjembatani masalah teknis. Untuk urusan ini pun saya dibantu dengan seorang teman, Kurnia Sari. Seorang perempuan ceria yang rela bolak-balik dari Kabupaten Kulon Progo ke Kodya Yogyakarta demi mencari koneksi internet untuk mengotak-atik tampilan web.

    Dalam proses pengerucutan ide tersebut tidak jarang kami beradu argumen panjang lebar via whatsapp. Mulai dari apa saja isinya, bagaimana desain situs webnya, media sosial apa saja yang dipakai (kami punya beberapa akun media sosial juga lho. Silakan ikuti Facebook, Twitter, dan Instagram kami.). Bahkan pemilihan nama saja bisa berlangsung beberapa hari. Sebelum akhirnya muncul nama Kibul yang mengalahkan nama-nama keren lainnya—juga memilih domain dot in, karena kibulin terdengar lebih merdu daripada kibulko, kibulkom maupun kibulid.

    Bagi saya pribadi, Kibul.in adalah cara saya untuk berproses “menjadi”. Ini adalah “être” bagi saya. Dibandingkan dengan Sarjana Sastra lain, saya sadar bahwa saya belum ada apa-apanya Ada yang sudah jadi orang besar, dosen, maupun mereka yang sudah “menjadi” dengan menelurkan karya. Namun saya bergerak ke arah yang lain. Salah satu visi Kibul.in adalah memberi kontribusi pada perkembangan dunia sastra di Indonesia. Saya bersama teman-teman saya menyatukan ide dan pendapat untuk membuat ruang alternatif untuk berkarya. Bukan hanya bagi saya sendiri atau teman-teman saya. Tapi untuk siapa saja. Semua boleh berkontribusi.

    Ngomong-omong ada satu kata lagi dalam Bahasa Prancis  yang tidak kalah penting dari être dan avoir. Kata itu adalah faire yang berarti to do atau to make, melakukan atau membuat. Être tidak akan lengkap tanpa obyeknya, dan tidak akan terwujud tanpa faire.

     

    *Gambar komik strip dibuat oleh Nurfadli Mursyid (tahilalats), diambil dari sini

     

     
     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     
     

    https://kibul.in/ngibul/etre-et-avoir/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/01/Ngibul1.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/01/Ngibul1-150×150.jpgAndreas NovaNgibulAndreas Nova,Avoir,Bahasa,Being,Budaya,Etre,Having,menulis,Prancis,Sastra,Seni,SkripsiTahun 2006, setelah membaca pengumuman hasil Ujian Masuk Universitas Gadjah Mada di surat kabar, saya malah bingung. Nama saya tertulis sebagai calon mahasiswa yang diterima sebagai mahasiswa baru Prodi Sastra Prancis. Saya bingung karena saya tidak tahu sama sekali tentang Sastra Prancis, bahkan Bahasa Prancis pun saya hanya tahu…Bicara Sastra dan Sekitarnya