Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Olav Iban
Kendati kita buta politik, namun pertama-tama jangan remehkan hak pilihmu. Pemilu adalah satu-satunya kesempatan istimewa ketika suara kita (para driver ojek online, penjual pulsa, penjaga counter teh tarik, pemain organ gereja, barista muda, pegawai honorer) dipandang sama setara dengan suara rektor UGM, guru besar ITB, selebritis kawakan, direktur garuda, duta besar Ceko, bahkan suara sang capres sendiri.
Serumit apapun riset seorang ilmuwan fisipol tentang siapa calon paling tepat yang akan dipilihnya, suaranya tetap dihitung satu—sama satunya dengan suara orang yang memilih random tanpa berpikir panjang.
Suara kita penting. Inilah sebabnya mengapa tiba-tiba banyak orang kelas atas peduli pada kemiskinan kita. Peduli tentang harga pupuk yang tidak ada urusan dengan kehidupannya; sensitif dengan harga cabai padahal perihal dapur diurus pembantunya; khawatir dengan akses kesehatan padahal antri BPJS saja mereka malu saking kayanya.
Pada hakikatnya, karena jumlah penduduk melimpah-ruah sementara jumlah kursi di gedung DPRD/DPR/DPD/Kepresidenan terbatas, maka kita harus memilih orang sebagai perwakilan-eksistensial kita di kursi itu.
Wakil itu mestinya cerminan kita, representasi ideologi kita, perpanjangan tangan kepentingan kita, sebagai ganti karena tidak bisa kita semua ke sana. Makanya banyak calon yang memakai slogan: Bapak X adalah kita; atau Z untuk semua ~ semua untuk Z, dan segala hal yang begitu-begitu.
Tapi jangan sembrono, bukan berarti mereka yang liyan (yang bukan kita) tidak pantas dipilih sebagai perwakilan diri kita. Banyak kok yang baik, sama banyaknya dengan orang “kita” yang tidak baik.
Tak masalah seandainya ada etnis Melayu memilih orang Dayak sebagai wakil, atau seorang Hindu Kaharingan memilih caleg Muslim kader NU, atau si miskin diwakilkan oleh si konglomerat. Selama si perwakilan itu mau dan mampu menjadi representasi yang baik bagi mereka, mengapa tidak?
Tapi, sekali lagi, jangan sembrono. Suara kita yang cuma satu tiap lima tahun ini tidak boleh disia-siakan. Lantas bagaimana agar kita tepat memilih? Berikut ini pedoman kibul.in untuk kita yang sama-sama tidak mengerti politik.
Satu semester ke belakang, kita semua pasti pernah ketemu caleg yang—tidak ada angin tidak ada hujan—muncul bersarung ikut magriban di mesjid, atau tiba-tiba selalu hadir di kebaktian duka tempat orang meninggal, atau mendatangi jamuan pernikahan, menyapa, tersenyum, bersalam, menanya kabar anak, dan lain sebagainya.
Kita, masyarakat level rendah, pasti juga pernah mengalami perasaan kikuk ketika menegur sapa seorang anggota dewan yang dulu pernah baik berbincang ramah tapi kini seperti pura-pura lupa siapa kita (padahal memang lupa, bukan berpura-pura).
Karena dua pengalaman itu, maka alangkah baiknya bila kita memilih caleg berdasarkan kebiasaan sosialnya. Maksudnya, dengan memperhatikan aktivitas sosiologis yang telah ia lakukan berulang-ulang sampai menjadi kebiasaan atau bahkan menjadi identitas dirinya.
Pilih jenis orang yang sudah bertahun-tahun sholat subuh berjamaah di mesjid kampung, yang dari lama sudah terlibat kerja bakti tiap sabtu pagi, yang istrinya biasa hadir di arisan dasawisma, yang ikut beli sayur dari pedagang keliling, yang hafal mars PKK saking seringnya mengurus sosial kampungnya bersama ibu-ibu tetangga, yang sedari dulu rajin ke gereja bersama keluarga, yang selalu mau ikut patungan pembangunan rumah ibadah walau bukan yang dipeluknya dengan inisial HA atau NN.
Orang-orang seperti ini tidak perlu kampanye. Lima tahun terakhir hidupnya sudah menjadi kampanye spesial. Sayangnya, manusia low-profile jenis ini jarang ada yang mau mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Tapi kalaulah ada, kamu wajib mempertimbangkannya sebagai pilihanmu.
Tentu akan sulit jika seorang caleg menjanjikan jalan aspal mulus padahal ia lulusan sastra atau seorang penyair. Bukannya tidak mungkin, akan tetapi besar kemungkinan bilamana ia terpilih menjadi anggota dewan kotamu ia tidak ditempatkan di komisi yang berhubungan dengan pembangunan jalan karena latar pendidikan atau profesinya bukan teknik sipil.
Caleg yang kompeten tidak akan asal bicara. Orang berhati baik pasti gundah dan gelisah jika ia bicara (apalagi berjanji) namun tak kunjung ditepati.
Janji yang realistis biasanya mudah diukur. Ada instrumennya, ada target capaiannya, dan ada outcome atau dampak bagi masyarakat setelah janji itu terealisasi. Orang awam seperti kita bisa dengan gampang mengukur prestasinya nanti.
Misalkan ia berjanji meningkatkan angka minat baca. Instrumennya jelas berupa jumlah perpustakaan (beserta kemudahan aksesnya), toko buku sastra, persewaan komik, lomba karya tulis, lomba mewarnai buku gambar, kemudahan modal penerbitan (juga izinnya), dst.
Lalu ditargetkan: dengan meningkatnya akses kepada buku, maka akan meningkat pula minat baca. Outcome-nya pun terlihat: minat baca yang besar mampu menghasilkan generasi muda yang berkualitas, sehingga bisa meningkatkan daya saing yang berimbas pada pengurangan kemiskinan, peningkatan status ekonomi, pemahaman politik, dsb.
Jelas kan, ya? Itu gunanya janji yang realistis.
Jangan percaya pada janji yang tidak realistis, seperti menutup semua pasar swalayan asing untuk meningkatkan pendapatan pasar tradisional. Orang yang menjanjikan hal tak-realis biasanya tidak tahu bagaimana cara mewujudkan janjinya. Ia hanya berpikir sampai pada tahap menyusun wacana yang sekiranya keren di mata pendukungnya guna melegitimasi persepsi terhadap identitas dirinya sendiri (semisal: tegas, tak pandang bulu, pembela masyarakat kecil, anti investasi asing dan pasar modern).
Semodern apapun zaman ini, Indonesia tetaplah bangsa Timur yang menjunjung tinggi martabat keluarga. Keluarga adalah representasi dirinya. Kendati tidak selalu persis begitu, namun pengamatan pada anggota keluarga ini menarik.
Misalnya dengan membandingkan anak pertama dan anak bungsu. Biasanya anak pertama lahir dan bertumbuh di masa susah-susahnya sebuah keluarga, dan sebaliknya si anak bungsu.
Dari si bungsu kita bisa melihat cerminan seperti apa orang itu ketika sudah terpilih dan memiliki akses lebih dekat pada kekayaan. Dari si sulung tercermin seberapa tangguh ia bila kelak menghadapi permasalahan saat menjabat. Tentu tak selalu tepat begitu, dan juga tidak ada penelitian ilmiah tentang itu, namun—sekali lagi—arketipe kita adalah adab “ketimuran”.
Selain itu, pastikan pula penghasilan finansial keluarga intinya jauh-jauh dari APBD atau APBN. Bukannya tidak boleh, tapi menjaga jarak agar tidak ada gesekan kepentingan itu perlu.
Di mana-mana kebutuhan semua orang itu sama, yaitu penyelesaian masalah hidupnya. Perhatikan isu-isu yang diangkat oleh caleg ataupun capres, apakah itu sejalan dengan concern-mu dewasa ini? Jika tidak, pertanyakan lagi dalam hatimu, untuk apa kamu pilih seorang wakil yang tidak paham kebutuhan hidupmu?
Untuk level DPRD, pastikan isu yang diangkat adalah isu yang membumi. Isu yang terjadi sehari-hari di kampung kita, dan penyelesaiannya bisa dilakukan secara nyata oleh caleg tersebut.
Untuk level DPR dan DPD RI, utamakan caleg tersebut mengetahui dengan sungguh-sungguh ide dan identitas provinsimu, serta punya pandangan ekonomi pembangunan yang terarah pada visi yang sejalan dengan zeitgeist abad ini (lingkungan hidup, perdamaian, kesetaraan gender, dan tentu saja SDGs—Sustainable Development Goals). Karena kelak ketika penyusunan Prolegnas maupun RUU, diharapkan kebutuhan strategis provinsimu akan dapat diakomodir dengan jelas di dalam kebijakannya.
Untuk level Presiden dan Wakil Presiden, setidak-tidaknya mereka memahami kegunaan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri, serta punya ide cemerlang bagaimana mengoptimalisasi fungsi dua kementerian ini sesempurna mungkin.
Perhatikan pula kelompok-kelompok di belakang mereka, karena hampir pasti jika mereka terpilih kelompok inilah yang menjadi bagian dari Ring 1, 2, 3-nya. Dan tentu saja sedikit banyak memiliki pengaruh pada arah kebijakannya.
Jangan memilih karena benci. Kebencian pada si B membuatmu memilih si A. Jangan pula memilih karena kecintaan buta yang fanatis. Kecintaanmu yang berlebih pada si A akan melahirkan kebencian dalam dirimu kepada si B.
Apa faedahnya kamu mengotori otak, mulut, dan hatimu dengan kebencian pada si B atau si A, padahal mereka mengenalmu saja tidak?
Cari kelebihannya, bukan kekurangannya. Mencari kekurangan hanya akan membuatmu terjebak di rimba hoax, asumsi, tendensi, fitnah, dan kepalsuan. Bukan berarti ketika mencari kelebihannya kamu tidak akan terjebak pada hal yang sama, tapi alangkah sehatnya otak kita bila tak punya pikiran kotor tentang orang lain.
Dalam politik yang rumit dan sama-sama tidak kita mengerti, ada baiknya kita mengurangi asupan informasi politik dari media sosial maupun TV. Banyak konstruksi asumsi (positif atau negatif) dibangun lewat media ini.
Jika tak ingin tersesat, kenali permainan persepsi ini:
Dalam menyikapi serangan fajar, masyarakat level bawah seperti kita terbagi menjadi dua faksi: (a) yang menerimanya karena toh tidak ada yang tahu siapa yang akan kita pilih di bilik suara; dan (b) yang menolaknya.
Saya cenderung memilih untuk menolaknya dengan konsekuensi dicap sok suci dan dicibir menolak rejeki.
Menerima uang adalah kesepakatan transaksional. Janji pertukaran antara Rp. 100.000,- dengan suaramu yang cuma satu tiap lima tahun itu. Namanya janji sudah semestinya ditepati. Menerima uang serangan fajar sama saja kita menyetujui caleg tersebut kelak melakukan korupsi.
Di sisi lain, apologi menerima uang karena desakan ekonomi dan tetap setia pada janji memilihnya (toh terpilihnya dia tidak mempengaruhi masa depanku) bisa saja “dibenarkan”, akan tetapi ini adalah kesalahan etis yang sangat serius.
Mayoritas warga Indonesia sudah lupa bahwa republik ini bisa berdiri salah satunya karena efek politik etis di awal abad 20. Tanpa kesadaran etis tak etis mungkin kita masih jadi bangsa yang tidak punya hak suara menentukan volksraad.
Caleg yang membagi-bagikan uang adalah caleg yang tidak yakin dengan kualitas dirinya dan tidak tahu seberapa kuat massa pendukungnya. Memilih caleg yang begini akibatnya fatal. Dia akan menganggap uanglah yang menentukan keterpilihannya, bukan amanat dari hati rakyat.
Kebijakan-kebijakan yang kelak diambil oleh caleg jenis ini biasanya tak berpihak pada kepentingan pemilihnya, melainkan berdasarkan perhitungan untung rugi.
Jika kalian mendapati caleg yang begini, beritahu pepatah India, “Hanya ketika pohon terakhir mati dan sungai terakhir diracun dan ikan terakhir ditangkap, kita akan menyadari bahwa kita tidak dapat makan uang.”
Pernah dengar Warren Harding Error? Ya, Warren Harding adalah senator negara bagian Ohio yang memenangkan pilpres Amerika Serikat tahun 1920. Ia digambarkan begini:
“Ketampanannya, pundaknya, dan dadanya memiliki ukuran yang menarik perhatian—seperti dewa Romawi.
“Sewaktu melangkah turun panggung, kakinya memamerkan betapa ideal proporsi tubuhnya. Langkah-langkahnya ringan, sikap berdirinya tegap, gerak-geriknya santai, semuanya memperkuat kesan jantan yang sempurna.
“Kesantunannya ketika menawarkan tempat duduk kepada orang lain, serta suaranya yang bergaung, hangat, dan maskulin, juga sikapnya menunjukan kedermawanan yang alami. Keinginan untuk membahagiakan orang lain, baik secara jasmani maupun rohani.”
Googling saja foto Warren Harding, saya yakin kamu akan terpesona. Lalu tanyakan kepada dirimu sendiri, “Bukankah orang seperti ini sudah selayaknya menjadi presiden yang hebat?”
Warren Harding menduduki kursi presiden selama dua tahun sebelum meninggal secara tiba-tiba karena stroke. Para sejarawan setuju bahwa ia salah satu presiden sangat buruk dalam sejarah Amerika.
Warren Harding bukanlah orang yang hebat dan cerdas sebagaimana yang tersirat dari keanggunan jasmaninya. Ia penjudi, minum-minum sampai mabuk, dan hampir selalu memanfaatkan kelebihannya untuk merayu perempuan. Ia peragu, dan plin-plan menyangkut kebijakan. Pidato-pidatonya kelak digambarkan sebagai “serangkaian ungkapan kosong yang baru sampai ke tahap mencari gagasan.”
Kesalahan bangsa Amerika memilih Warren Harding adalah sisi gelap dari memilih berdasarkan ketampanan atau kecantikan belaka.
Saya sendiri berpendapat, semakin tampan-cantik-glamor-mentereng seorang caleg akan semakin berjarak dengan kita yang buruk-rupa miskin-papa ini.
Itu tadi tujuh pedoman ringkas tepat-memilih agar kita siap di 17 April nanti. Jangan lupa pastikan hak pilihmu di situs lindungihakpilihmu.kpu.go.id, dan bila tidak terdaftar segera konsultasikan pada petugas KPU terdekat. Siapkan KTP elektronikmu. Jika KTPmu hilang, mintalah surat kehilangan di polres, lalu bawa fotokopi KK ke Dinas Dukcapil di kotamu supaya kamu memperoleh surat keterangan sementara.
Kalau kalian ingat, dulu guru PPKn kita sering bertanya, “Kapan negara membutuhkanmu?” Sekaranglah saatnya negara sungguh-sungguh membutuhkanmu. Demi Indonesia yang ada di hati, bukan di TV.