Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Andreas Nova
“For sale: baby shoes, never worn”
—Ernest Hemingway
Halo, apa kabarmu? Kau tentu belum mengenalku. Tapi aku sedikit mengenalmu dari ayahmu yang sedikit-sedikit menyelipkan namamu di tiap percakapan kami. Aku membayangkan ayahmu bisa bercerita lebih banyak hal kepadamu. Bayangkan saja, jika kami bertemu dan bercakap, waktu sebanyak apapun terasa kurang. Ayahmu pencerita yang baik, pasti ia menceritakan banyak hal dari buku-bukunya yang seolah tak pernah habis. Aku sendiri suka mendengarkan ayahmu bercerita, barangkali bakat itu menurun dari ayahnya.
Entah kapan, suatu saat ayahmu pasti akan menceramahimu dengan mengutip kata-kata Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran: “Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua.”. Jika suatu saat kau dengar ayahmu mulai berucap demikian, maka katakanlah “omong kosong.” Pertama harus kuluruskan dahulu, filsuf Yunani yang ia maksud dalam kutipan tersebut bahkan bukan seorang Yunani. Gie mengutip dari seorang filsuf stoikisme Romawi bernama Seneca. Kedua, salah satu pandangan stoikisme adalah apatheia, hidup pasrah, tawakal menerima keadaannya di dunia. Dan ini nggak Soe Hok Gie banget. Seringkali kata-kata dalam buku dikutip orang dalam konteks yang salah supaya terlihat keren dan pintar.
Jika ayahmu mendengarkan kita bercakap, pastilah percakapan kita ini akan memicu perdebatan yang bisa membuat penjaga warung burjo tempat kami biasa beradu argumen mengusir kami berdua. Tapi bagiku nasib baik bukan perkara panjang pendeknya umur. Nasib baik adalah apa yang bisa kita berikan pada orang lain semasa kita hidup. Apakah tidak dilahirkan adalah nasib terbaik? Bisa ya, bisa tidak. Karena variabel apa yang bisa kita berikan pada orang lain tidak dihitung di sini.
Barangkali jika ayahmu pernah membaca “The Egg” cerita pendek karya Andy Weir, bisa saja ia berubah pikiran—atau malah tambah bebal seperti biasanya. Dalam cerpen itu hanya ada tuhan dan manusia. Ya, manusia dalam bentuk tunggal, yang berulangkali terlahir kembali sebagai manusia-manusia lain. Ketika pertama membaca cerita itu, aku teringat sebuah ayat di injil Matius yang berbunyi, “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Ayat tersebut tidak hanya mengajak manusia untuk berbuat baik kepada manusia lain dan Tuhannya, namun juga mengajaknya berbuat baik untuk dirinya sendiri. Lalu perbuatan baik apa yang bisa dilakukan oleh yang tidak pernah dilahirkan?
Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh ia yang tak pernah dilahirkan adalah berbuat baik untuk orangtuanya, dan membuat orangtuanya akan melakukan hal baik untuk orang lain. Seperti nasib buruk yang datang bertubi-tubi, nasib baik juga bisa datang beriringan. Nasib buruk bisa berasal dari perbuatan baik, juga hal-hal baik bisa berawal dari kejadian buruk. Apakah itu mungkin? Tentu saja. Ayahmu akan dengan senang hati mendongengkanmu tentang efek kupu-kupu untuk menjawab pertanyaan itu.
Sewaktu aku kecil, ibuku pernah menceritakan hal ini:
“Pertengahan tahun 1985, seorang perempuan berusia 19 tahun yang sedang mengandung baru enam bulan merasa kesakitan di perutnya. Ia pikir ia hanya sakit perut dan harus buang air besar seperti biasa. Tanpa ia tahu, air ketubannya pecah sebelum waktunya dan ia melahirkan seorang bayi perempuan yang terlahir dalam keadaan tak bernyawa. Dalam keadaan darurat, ia dibawa ke Puskesmas untuk mendapatkan pertolongan. Seorang tetangga buru-buru meminjam telepon yang saat itu belum umum dimiliki untuk menelepon suaminya yang sedang bekerja. Tentu saja si tetangga itu tak memberi tahu secara komplit kondisi istrinya. Ia hanya bilang, istrinya ada di Puskesmas kecamatan, ia diminta segera pulang dan menyusul ke sana.
“Dengan tergesa suaminya tiba di Puskesmas tanpa tahu si bayi perempuan terlahir tak bernyawa. Setelah dokter memberi penjelasan pada sepasang suami istri itu, suaminya hanya bisa pasrah dan berdoa yang terbaik untuk keluarga mudanya. Bayi itu diberi nama Petra, lalu dimakamkan di sebuah makam Katolik milik Gereja.
“Pertengahan tahun berikutnya perempuan yang sama dalam kondisi hamil berusia tujuh bulan. Tak mau lagi melakukan kesalahan yang sama, setiap kali perutnya bergejolak, ia meminta tolong tetangganya mengantarkannya ke rumah sakit bersalin. Ternyata saat itu firasatnya betul, bayinya harus dilahirkan sebelum waktunya tiba.
“Suaminya ditelepon untuk menyusul istrinya ke rumah sakit. Ia mendampingi istrinya melahirkan. Bayi laki-laki lahir, mungil sekali karena ia lahir lebih cepat dari seharusnya. Namun Tuhan berkehendak lain, tidak sampai satu jam setelah ia dilahirkan, Tuhan memanggilnya. Bayi itu diberi nama Fausta, dan dimakamkan tepat di sebelah selatan makam kakaknya.”
“Barangkali keluarga muda tersebut dianugrahi ketabahan seperti Ayub. Hingga akhirnya pada bulan November tahun berikutnya, kali ini lebih sebulan dari waktu yang seharusnya. Tepat selepas pembacaan Pancasila dalam upacara peringatan Hari Pahlawan yang dilakukan di halaman GOR yang berada tepat di depan rumah sakit bersalin, bayi laki-lakinya lahir. Anak ketiga, anak laki-laki kedua yang dilahirkan dan dinantikan oleh keluarga muda itu.”
Mengapa ibuku menceritakan kisah itu? Karena kedua anak yang tak sempat diasuhnya dalam cerita tadi adalah kakak-kakakku, perempuan itu adalah ibuku. Dari kisah yang sering diceritakannya itulah, aku tahu mengapa ibuku selain berziarah ke makam eyang buyut dan eyang putri, juga mengunjungi kedua makam kecil yang ada di ujung pemakaman. Aku jadi tahu mengapa ibuku setangguh itu dalam hidup yang serba entah ini. Mereka yang tiada tak selalu membuat lemah, justru menguatkan.
Aku pernah membaca sebuah dongeng di sebuah majalah anak-anak. Dongeng itu menceritakan seorang peternak yang baik hati. Pada tahun yang baik, peternak itu mempersembahkan seekor ayam terbaiknya untuk sang Raja. Ketika Raja menerima ayam tersebut, sang Raja menanyainya, “Bagaimana cara terbaik membagi seekor ayam pada keluargaku yang berjumlah enam orang?” Si peternak berpikir sejenak, kemudian ia mengutarakan pada sang Raja, “Kedua kaki untuk kedua pangeran, karena mereka akan mengikuti jejak Yang Mulia. Kedua sayap untuk kedua putri, karena kelak mereka akan terbang bersama suami-suami mereka. Dada untuk Yang Mulia Ratu karena beliau yang menjadi penopang keluarga. Terakhir, kepala untuk Yang Mulia Raja sebagai kepala keluarga.” Raja yang puas dengan pembagian tersebut menghadiahi si peternak dengan sejumlah emas dan harta benda yang berlimpah.
Cerita itu sebenarnya masih berlanjut, tapi lanjutannya klise dan mudah ditebak. Kau pasti akan menguap bosan. Tapi dari dongeng tersebut terlihat konsep keluarga selalu seperti itu saja. Ayah adalah kepala keluarga, nahkoda bahtera rumah tangga. Ibu sebagai second in command, dan anak-anak, mungkin sebagai penumpang. Tentu konsep seperti ini tidak sepenuhnya benar, juga tidak bisa disalahkan.
Dari buku-buku tentang sejarah kehidupan manusia yang pernah kau baca, kau pasti tahulah mengapa konsep keluarga seperti itu muncul dalam masyarakat. Tapi bukankah kita hidup dalam dunia yang dinamis, di tengah tumpukan konsep-konsep lawas yang harus menerus dibongkar dan didefinisikan ulang.
Bagiku sebuah keluarga di masa sekarang tidak sesaklek pembagian ayam yang dipersembahkan ke sang raja. Jika ibu adalah punggung keluarga, bagian-bagian lain, apapun itu harus menopangnya agar beban punggung tak terlalu berat. Jika ayah adalah kepala keluarga yang sedang pening, maka bagian tubuh lain harus menjadi tangan yang sigap memijatnya agar aliran darah ke kepala menjadi lancar.
Keluarga mungkin sudah bukan lagi bahtera yang dinahkodai sang ayah, namun telah berubah menjadi sebuah pesawat. Ayah adalah sayap kiri, ibu adalah sayap kanan—atau sebaliknya, terserah kau. Rentangkan kedua tangan, jangan hilang keseimbangan.
Jika aku yang menulis dongeng tadi, mungkin bisa kutambahkan beberapa alternatif cara membagi ayam untuk sang Raja. Jika Raja adalah seorang diktator, ia sendiri yang menentukan bagian mana dimakan oleh siapa. Bisa juga sang Raja memasak ayam itu menjadi ingkung dan kemudian memakannya beramai-ramai bersama keluarganya tanpa peduli bagian mana dimakan oleh siapa.
Nah, jika kau adalah sang Raja, bagaimana caramu membagi ayam?