Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Asef Saeful Anwar
Rendra masih di Yogyakarta saat menulis Balada Orang-Orang Tercinta (1957) dan Empat Kumpulan Sajak (1961). Potret Pembangunan dalam Puisi (1993) ditulisnya ketika sudah di Jakarta dan ia menyebut karyanya ini sebagai sajak pamflet. Antologi puisi itu adalah gabungan kritiknya pada bentuk puisi yang tengah mapan dan protesnya kepada pemerintah. Sebagai hasil permenungan dan eksplorasi gaya, sajak pamflet mendapatkan tempat di mata kritikus dan sastrawan seangkatan, tapi untuk pengaruhnya di masa kini, dua kumpulan sajak yang disebut di awal cenderung lebih kuat. Penyair semasanya yang juga kuat pengaruhnya hingga kini adalah Subagio Sastrowardoyo melalui sejumlah sajak liriknya soal kesepian dan keterasingan manusia.
Jelang dekade 1970-an, Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib, dan
Linus Suryadi pernah menulis sajak lirik yang termuat di beberapa media massa.
Namun, di kemudian hari Emha memilih gaya orasi dalam sejumlah puisinya dengan
nilai-nilai religiusitas plus kritik sosial, sementara Iman dan Linus
mengkhusyuki kebudayaan Jawa sebagai materi penulisannya. Iman bergerak ke
dalam dengan mencermati nilai-nilai adiluhung dan luhur kebudayaan Jawa, Linus
bergerak ke luar dengan mengamati gejala kekinian masyarakat Jawa. Tentu, di
luar apa yang saya cermati itu, mereka juga menulis puisi dengan gaya dan tema
lain, tapi nilainya tidak sebaik jenis puisi yang disinggung. Oh ya hampir
ketinggalan, ada Ragil Suwarna Pragolapati, yang mungkin sekarang hadir di
antara kita. Ia juga awalnya menulis sajak-sajak lirik dan beberapa puisinya
mirip puisi Chairil. Namun, ia kemudian menggagas Sastra Yoga, menggabungkan
puisi dan laku yoga. Tidak hanya menerbitkan puisi yoga, tapi juga
mengorganisasi sebuah perkumpulan yang menggeluti kedua bidang tersebut.
Bagaimana pengaruh mereka sekarang? Dari sisi karya, jejak pengaruhnya tidak
terbaca, tapi dari sisi pribadi mereka memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
proses penulisan puisi generasi penyair Yogyakarta selanjutnya. Tentu, ini tak
lepas dari sosok yang memengaruhi mereka, Umbu Landu Paranggi, yang pribadinya
memiliki pengaruh sangat besar pada banyak penyair.
Pertengahan dekade 1980-an hingga 1990-an di Yogyakarta tumbuh
penyair-penyair dengan puisi sufi, sebut saja Hamdy Salad, Mathori A. Elwa,
Kuswaidi Syafiie, Abidah El Khalieqy, Ulfatin Ch., dan kawan-kawan. Dapat
dikatakan puisi mereka merupakan representasi dari karya-karya Rumi, Hafiez,
dan Ibnu Arabi serta penyair sufi lainnya. Hingga sekarang mereka masih
berkarya dalam aras yang sama. Harry Avelling di buku Secrets Need Words mengindikasikan lahirnya puisi sufi pada masa
itu sebagai salah satu gejala pelarian kepada Tuhan karena tekanan politik yang
sangat masif dan determinan. Lepas dari anggapan itu, puisi sufi di Yogyakarta
layak dicatat sebagai bagian sejarah perlawanan terhadap pemerintah, meskipun
lirih, sekaligus sebagai sebuah gerakan kebangkitan umat muslim dalam wacana
kebudayaan. Ia juga layak ditautkan dengan sejarah kesufian yang muncul dalam
karya-karya sastra Aceh dan Jawa. Sayangnya, tinggalan puisi sufi yang mereka
gagas dan rintis kini mengalami pembedaan-untuk tidak mengatakan
penurunan-oleh generasi kiwari yang mengambil khazanah sufisme untuk
ber-aku-kamu dengan sesama manusia, bukan lagi dengan Tuhan.
Di luar wacana kesufian, pada 1987 Afrizal Malna menulis kumpulan
puisi Abad yang Berlari. Namun, tatkala membaca kembali puisi-puisinya
sesudah terbit, ia berujar: “Oh ini bukan puisi saya, tapi puisi sastra
Indonesia”. Kesadaran itu membawanya pada jelajah laku penulisan ke dunia
teater. Ia kemudian menulis puisi-puisi yang disebutnya lahir dari pengalaman
tubuhnya. Ia pun menulis puisi dengan tidak bergantung pada bahasa karena
baginya bahasa terlalu mujarad untuk apa yang hendak dituliskannya. Beberapa
penyair terpengaruh dengan gaya puisinya yang kelak disebut sebagai puisi
afrizalian yang menurut catatan Korrie Layun Rampan adalah gejala puisi
angkatan 2000.
Kini Joko Pinurbo tengah naik daun meskipun daun itu pasti tak sanggup
menyanggah tubuhnya yang kecil. Maaf, baris itu terpengaruh oleh gaya menulis
puisinya. Tapi itulah yang sekarang akan saya jelaskan bahwa Joko Pinurbo kini
berdiri di halaman depan puisi Yogyakarta. Ia diundang ke mana-mana dan
puisinya ada di mana-mana, termasuk di dinding Malioboro.
Tepat 20 tahun yang lalu, pada 1999 Jokpin menerbitkan kumpulan puisi Celana.
Sebagian besar puisi dalam buku itu bergaya naratif mirip puisi-puisi mbeling,
tetapi Jokpin tidak mengolok-olok karya yang sudah mapan. Ia menciptakan
dunia puisinya sendiri dengan mengangkat persinggungan manusia dan benda-benda
yang karib di kehidupannya. Puisi-puisinya menyajikan humor yang segar dan
cenderung ironis. Nama lain yang patut disebut untuk jenis puisi humor adalah
Mustofa W. Hasyim dan, yang muda, Andy Eswe. Keduanya menulis puisi humor
dengan gaya guyon khas Jogja, plesetan misalnya. Persoalannya puisi
keduanya menggunakan bahasa Indonesia sehingga ada beberapa humor
yang-sebenarnya berlangsung dan dibangun dalam nuansa Jawa-tidak ngena dan
banyak pembaca yang tidak mengerti kultur Jogja sehingga tidak memahami di mana
letak kelucuannya. Ini berbeda dengan Jokpin yang dengan sadar menyesuaikan
kaidah bahasa Jawa dalam mengeksplorasi bahasa Indonesia. Contoh paling terang
dapat dilihat dalam puisi “Kamus Kecil” yang mencoba mengungkap keterkaitan dan
muasal sejumlah kata dari sisi morfologinya. Dalam sejumlah puisinya,
Jokpin menggunakan sekaligus mengkritisi bahasa Indonesia yang disuguhkannya
dengan prinsip diskontinuitas. Salah satu prinsip diskontinuitas yang banyak
digunakannya adalah diskontinuitas semantik dengan membolak-balik atau membaurkan
antara yang kiasan dan yang definitif. Misalnya, bagaimana “teguh” yang kata
sifat dalam puisi Chairil Anwar tiba-tiba menjadi “Teguh tukang becak”,
“paskah” yang merupakan hari sakral tiba-tiba dibuat menjadi sebuah pertanyaan,
“susu” yang disandingkan dengan kopi tiba-tiba menjadi buah dada, dan lain
sebagainya.
Apakah gaya berpuisi semacam itu yang membuatnya sekarang ada di
halaman depan puisi Yogyakarta?
Raudal Tanjung Banua banyak menulis sajak tentang tempat-tempat yang
dikunjunginya-hal yang juga dilakukannya dalam kumpulan cerpen terbarunya.
Mutia Sukma juga menghimpun sajak-sajak serupa dalam satu bab tersendiri di
buku puisi pertamanya. Indrian Koto setali tiga uang menulis juga tentang sajak
perjalanan, tetapi Koto memberi lebih bayak nilai pada permenungan soal
identitas dibandingkan kenangan dan kesan akan suatu tempat. Tak ketinggalan
Latief S. Nugraha juga menulis sajak-sajak semacam itu, dan beberapa penyair
lainnya menulis puisi serupa. Meskipun para penyair tersebut menulis sajak selain
jenis yang tadi saya singgung, dapat dikatakan bahwa sajak perjalanan dan sajak
tentang suatu tempat menjadi gejala umum dalam beberapa tahun terakhir
perpuisian di Yogyakarta, yang daya pikatnya bergantung pada gaya tutur
penulisnya, yang ternyata rata-rata liris.
Gunawan Maryanto cukup sering mangangkat khazanah pewayangan dalam
puisinya-hal yang juga dilakukan oleh Iman Budhi Santosa dan Suminto A.
Sayuti. Tia Setiadi menulis puisi yang sarat alusi dengan latar sejarah hidup
beberapa tokoh. Sunlie Thomas Alexander
pernah menjajal menulis sajak tentang sepakbola (semoga diteruskan dan menjadi
satu antologi). Kedung Darma Romansha menulis sajak-sajak cinta dan seputar
dangdut pantura. Hasta Indriyana menulis sajak kuliner. Nermi Silaban tengah menulis
sajak-sajak tentang buah. Irwan Segara menulis sejumlah sajak ekstensif.
Abinaya Ghina Jamela menulis puisi anak yang beranjak menanggalkan ciri sastra
anak. Dan saya yakin para penyair atau calon penyair yang ada di komunitas
maupun yang berproses secara mandiri melakukan sejumlah eksperimen, baik dari
sisi bentuk maupun isi, untuk puisi yang akan atau sedang ditulisnya,
sebagaimana dilakukan para penyair yang saya sebutkan sejak awal tulisan ini.
Segala eksperimen yang dilakukan oleh penyair di Yogyakarta dari masa ke masa
dimungkinkan terjadi karena banyaknya ruang interaksi antar-penulis dan karya
mereka yang disediakan oleh kota ini.
Balik pada pertanyaan di atas, tapi kenapa Jokpin yang kini menempati
halaman depan puisi Yogyakarta? Bukannya dia penulis yang sudah beruban?
Kini kita hidup di era posthuman ketika manusia menggantungkan
kehidupannya pada teknologi. Segala yang serius-sebagaimana dikandung
puisi-puisi terdahulu-mulai ditinggalkan sebab segala sesuatu menjadi cepat
dan masif berubah, tidak pasti, serba rumit, dan ambigu. Sesuatu yang serius
hanya bisa ditujukan untuk hal yang ajeg, pasti, minim kerumitan, dan jelas
sehingga butuh kontinuitas, sedangkan di era posthuman ini diskontinuitas
justru dirayakan. Diskontinuitas menjadi sumber kegembiraan banyak orang dengan
aspek kejutan yang dimilikinya. Oleh karena itu, puisi yang diterima oleh
masyarakat zaman sekarang adalah yang termasuk seni posthuman, yakni seni yang
memanfaatkan teknologi untuk menghasilkan diskontinuitas yang merangsang
pengalaman estetika pembacanya dalam suatu kegembiraan.
Pada 2013 Jokpin menerbitkan Haduh Aku Di-follow yang diambil dari puisi-puisi twitter. Dibandingkan dengan
puisi-puisi di bukunya terdahulu, buku ini memperlihatkan bagaimana ia
terpengaruh oleh teknologi yang digunakannya dalam menulis puisi. Ia tidak lagi
membuat puisi yang panjang, tetapi hanya terdiri dari 140 karakter sesuai
dengan ketentuan aplikasinya. Dengan kata lain, ia justru memanfaatkan
perangkat teknologi sebagai salah satu cara untuk memunculkan gaya baru dalam
menulis puisi. Batasan karakter justru tidak membuatnya menulis puisi yang
abstrak atau gelap, tetapi tetap mempertahankan gaya naratifnya yang sejatinya membutuhkan
jumlah kata yang lebih banyak. Narasi yang dibangun dalam puisi-puisinya
didominasi oleh narasi posthuman, salah satunya tentang keterasingan manusia
akibat teknologi, sebagai strategi untuk menyesuaikan karyanya dengan pembaca
sastra masa kini yang sebagian besar adalah ekstropian. Apa itu ekstropian?
Mereka adalah orang-orang yang banyak mengandalkan dan bergantung teknologi
dalam menjalani hidupnya dan merasa bisa mencapai keunggulan yang lebih dari
semata sebagai manusia dengan perangkat teknologi yang dimilikinya. Mereka
adalah orang-orang yang lebih banyak hidup di dalam dunia maya daripada dunia
nyata, lebih banyak melihat layar daripada langit. Maka tidak heran pula apa
yang muncul dalam puisi Jokpin adalah wacana yang pernah viral di media sosial,
yang telah banyak dikonsumsi pengguna teknologi informasi. Terbaru, ia menulis
soal Khong Guan dalam puisi-puisinya. Sebagaimana kita tahu, sejumlah meme
dan kicauan yang mengandung nada komedi menyoal Khong Guan sudah lama beredar.
Kalau demikian, berarti penyair harus tunduk pada selera massa?
Tidak demikian, saya menyarankan para penyair mengikuti apa yang
tengah menjadi perbincangan di khalayak-yang representasi terdekatnya adalah
media sosial-agar tahu bagaimana kehidupan mereka untuk kemudian memberikan
sesuatu yang bernilai terhadap gaya hidup itu, bukan larut dalam selera mereka.
Dulu tidak mengemuka istilah “puisi populer”, yang merebak justru “novel
populer”. Kini ada banyak buku puisi populer dengan gaya tutur seperti kita
menulis status di media sosial. Buku-buku itu berisi dua tiga baris dalam satu
halaman dan mengangkat tema percintaan. Di luar negeri muncul instapoet yang
menggabungkan perangkat teknologi berupa instagram dengan puisi epigram yang
digagas Rupi Kaur. Sayangnya, di Indonesia yang merespons fenomena ini dengan
cepat adalah akun-akun puisi populer yang berisi baris-baris kata sentimentil,
dangkal, dan motivasional. Ah barangkali saya terlalu gegabah mengatakan apa
yang dimuat akun-akun tersebut dan buku-buku itu sebagai puisi, tetapi
bagaimana jika khalayak menganggap itu sebagai puisi diikuti sejumlah
legitimasi dari media di saat belum ada akademisi yang mengkajinya? Menjadi
pertaruhan apakah para penyair akan memanfaatkan media baru yang disediakan
teknologi untuk mendekati publik atau membiarkan ruang itu hampa dengan tetap
konsisten bertahan pada media yang lama.
Namun, kalau boleh menyarankan para penyair sebaiknya mengimbangi
akun-akun tersebut dengan tawaran puisi-puisi yang lebih substantif dan
esensial dengan pendekatan yang segar dan menggembirakan. Kesegaran digagas melalui
bentuk yang baru (yang dapat memanfaatkan perangkat teknologi informasi),
sementara kegembiraan melalui isinya yang menghibur (yang dapat memanfaatkan
dataraya dalam internet dengan merangkum ingatan atas dasar pengalaman yang
sama dan telah diklasifikasikan algoritma). Kesegaran dan kegembiraan ada dalam
prinsip diskontinuitas. Dan Jokpin telah melakukannya. Maka jangan heran ketika
membaca puisinya pikiran menjadi segar dan perasaan menjadi gembira. Tentu,
saya tak mengharap para penyair menjadi epigon Jokpin dengan cara yang serupa,
tetapi harus terus berupaya menemukan prinsip diskontinuitasnya sendiri untuk
dapat menempati halaman depan puisi Yogyakarta yang sementara ini masih “terbuat
dari rindu, pulang, dan angkringan”.
Yogyakarta, 19
Desember 2019
Dibacakan pada acara Pesta Puisi Akhir Tahun, Bincang-Bincang Sastra Edisi 171, Sabtu 28 Desember 2019 di Taman Budaya Yogyakarta