Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #106] Literasi pada Era Digital

author = Asef Saeful Anwar

Seratus
tahun mendatang, apakah ada pembelajaran menulis manual seperti terjadi pada
anak sekolah dasar di masa kini? Atau mereka tidak lagi menulis, tapi mengetik
pada papan ketik sebuah gawai? Atau malah mereka hanya memikirkan kata-kata
tertentu dan hurufnya akan bermunculan sendiri pada perangkat digital?

Zaman kini
bergerak lebih cepat ketika perkembangan teknologi informasi demikian pesat.
Peristiwa di suatu kota yang jauh dapat secara langsung disaksikan melalui
berita daring di gawai. Buku
yang telah dirilis di luar negeri dapat pula segera—jika memang disediakan
penerbitnya—kita baca format e-book-nya
tanpa menunggu versi cetaknya di dalam negeri. Fenomena itu kemudian
memunculkan kekhawatiran bahwa surat kabar dan buku mulai menuju kepunahan
karena bahan bacaan tidak lagi hadir dalam wujud cetakan.

Apakah
benar buku diancam oleh e-book? Jika
kita memandang buku sebagai media penyebaran serta pengekalan ilmu dan
pengetahuan, bukankah yang kedua lebih baik daripada yang pertama dalam
menjalankan fungsinya? Siapakah sebenarnya yang merasa terancam, penulis,
pembaca, atau penerbit? Atau apakah
yang terancam?

Saya kira, kita
perlu tahu dulu bagaimana apresiasi masyarakat terhadap buku. Sebagaimana diketahui kondisi minat baca di Indonesia cukup memprihatinkan.
Berdasarkan studi “Most Litered Nation in the World” yang dilakukan Central
Connecticut pada tahun 2016, negeri ini dinyatakan menduduki peringkat minat
baca ke-60 dari 61 negara yang menjadi sampel. Sejak hasil studi itu
dipublikasikan, negara ini menggalakan sejumlah program yang mengarahkan
warganya untuk gemar membaca. Tentu, hasilnya tidak dapat disaksikan dalam
waktu pendek 3 sampai dengan 5 tahun, tapi lebih lama dari itu. Sekarang banyak
orang sudah gemar membaca, tetapi apakah bacaan-bacaan yang mereka konsumsi
adalah bacaan yang baik, artinya dapat membuka pikiran dan mematangkan
pemikiran? Atau sekadar bacaan remeh temeh yang sejatinya hanya menghabiskan
waktu luang?

Diketahui
pula dari sejumlah studi yang dilakukan lembaga-lembaga di luar negeri bahwa
orang Indonesia adalah yang paling aktif menggunakan media sosial. Beberapa
menjadi pembaca setia berita-berita daring, bahkan tak sedikit pula yang turut
membagikan hoaks. Masyarakat Indonesia masih banyak membaca hanya apa yang
mereka sukai, tidak hanya dari jenis bacaan, tetapi juga dari substansi yang
terdapat dalam bacaan. Tentu, tujuan literasi sebenaranya tidak hanya
menjadikan sebuah masyarakat gemar membaca, tetapi menjadikan masyarakat
berpikiran terbuka, berdaya, dan berdikari. Ciri dari baiknya masyarakat yang
sudah melek huruf bukanlah banyaknya orang yang membaca, tetapi banyaknya
diskusi karena proses pembacaan yang dilakukan secara terus-menerus.

Untuk
mencapai tujuan tersebut, penyediaan buku elektronik dan/atau digitalisasi sejumlah
bacaan bermutu butuh digalakan. Mengapa harus dalam bentuk buku? Dalam bentuk
buku, pembacaan dilakukan secara utuh sehingga pemikiran juga dapat menyeluruh.
Apa yang menggejala di masa kini justru gemarnya masyarakat Indonesia pada
nukilan-nukilan dari sebuah buku yang tanpa mereka baca secara utuh. Akibatnya,
ada banyak kesalahpahaman terhadap sebuah bacaan karena kita tidak membacanya
secara utuh. 

Dalam dunia
perbukuan (bukan penerbitan), digitalisasi harus dipahami
sebagai sebuah solusi daripada ancaman akan punahnya barang
cetak.
Digitalisasi datang membawa kesantunan berikut
jalan keluar bagi permasalahan akut yang sudah ribuan tahun berlangsung:
pelapukan kertas dan pelaburan huruf tulis/cetak.  

Apa yang perlu
dijernihkan lebih dulu adalah pandangan kita terhadap keduanya. Ada wacana yang
menyatakan bahwa lembaran kertas, terutama yang digunakan sebagai bahan baku
buku, telah banyak menghabiskan pohon di hutan sehingga terjadi pemanasan global lalu muncul seruan: alangkah lebih baiknya bila orang-orang
tak lagi membeli buku, tetapi beralih ke e-book
yang lebih ramah lingkungan. Benarkah demikian? Penyebab pemanasan global bukan hanya
penggundulan hutan yang tidak pula terjadi hanya karena percetakan buku. Wacana
miring lain muncul bahwa gawai tempat kita
membaca e-book membuat mata cepat
lelah dan memiliki daya korosif. Benarkah demikian? Apa yang membuat mata rusak
bukanlah peralatan elektronik, tetapi bagaimana cara kita menggunakannya. Pada
akhirnya yang membuat rusak adalah cara, bukan bentuk benda yang kita gunakan.

Kembali pada
permasalahan digitalisasi, sejatinya yang paling pertama mengalami proses
digitalisasi adalah penulis. Hampir seluruh penulis di dunia telah menulis
dalam format digital. Kalaupun mereka menulis manual, itu dilakukan hanya untuk
hal-hal kecil, ringkasan-ringkasan inspirasi, dan sejenisnya. Sementara hasil
akhir selalu dalam bentuk digital. Pihak penerbit yang nanti akan memutuskan
apakah karya itu dicetak dalam bentuk buku atau tetap dalam
bentuk digital ketika dipublikasikan.

Bila para penulis
hampir seluruhnya telah terdigitalisasi, para pembaca sebagian besar—termasuk
sebagian penulis di dalamnya—masih dalam tradisi manual dalam menikmati bacaan.
Apa yang membuat para pembaca belum beralih ke e-book adalah faktor kenyamanan dan kebiasaan. Ada yang merasakan
nuansa khas ketika membeli buku, meminta tanda tangan penulisnya, mencium bau
kertas dan hurufnya, melipat dan mencoret-coret halaman, membawanya dalam
pelukan, dan lain sebagainya. Mereka merasa nyaman dengan kebiasaan itu. Jadi,
sekali lagi ini berkaitan dengan cara, bukan bendanya. Sebab, telah pula ada
generasi yang justru mulai terbiasa membaca dalam gawai. Dan mereka merasakan
kenyamanan ketika jari-jari mereka menyentuh layar sembari mendengarkan musik
dari alat yang sama. Namun, generasi baru ini hanya segilintir yang membaca e-book karena lebih banyak yang membaca
berita online atau artikel-artikel
ringan. Lagipula, sebagian besar e-book
merupakan versi kedua dari versi cetaknya. Artinya, masih belum banyak e-book yang murni, yang bukan merupakan
versi kedua, atau tidak dicetak sama sekali.

Jadi, apakah benar
buku terancam kehadiran e-book? Untuk
sementara tidak, minimal satu generasi lagi, 15 sampai 25
tahun,
kehadiran buku baru mulai terancam. Untuk masa sekarang yang mulai terancam
justru kehadiran surat kabar harian sebab masyarakat mulai lebih suka membaca
berita online karena kemudahannya.

Bila pada satu
generasi mendatang kehadiran buku mulai terancam, strategi apa yang bisa
membuat buku tetap eksis? Saya kira pertanyaan ini tidak akan dilontarkan oleh
generasi mendatang. Apa yang mungkin dapat kita siapkan untuk generasi
mendatang adalah bagaimana mendigitalisasi naskah-naskah lama agar mereka masih
bisa belajar tentang sejarahnya, sejarah yang kita pun masih belum
mendalaminya. Sementara untuk peristiwa di masa kini mereka akan mudah belajar
sebab segalanya telah ada dalam berita format digital.

Pada masa
mendatang, terutama ketika semua tulisan hanya ada dalam format digital, buku
akan menjadi barang mewah. Hanya karya-karya tertentu, yang dianggap akan laku
meskipun dijual lebih mahal daripada format digitalnya,  yang akan dicetak dan dijual-belikan dengan
edisi terbatas. Sebab, orang-orang pada masa mendatang mulai lebih nyaman
membaca dalam gawai dan lebih murah mengaksesnya. Masa sekarang belum sampai
pada tahap itu karena harga e-book dan
buku tak banyak selisihnya. Sementara membeli buku seolah mendapatkan rasa
kepemilikan atas buku, sementara e-book
tidak.

Masa depan e-book memang lebih menjanjikan
keterbukaan. Bayangkan bila Anda membaca sebuah e-book yang mengutip pernyataan seseorang dalam sebuah e-book lain. Kemudian Anda dapat
mengklik pernyataan itu hingga Anda dapat membaca langsung ke dalam halaman
tempat  pernyataan itu dikutip. Bayangkan
pula bila judul-judul dalam daftar pustaka di sebuah e-book dapat diklik hingga Anda dapat langsung mengakses ke karya
yang dituju. Tentu, apabila hal itu terjadi—entah berapa puluh tahun
lagi—perkembangan ilmu pengetahuan akan semakin pesat dan menyebar, tidak lagi
memusat pada institusi pendidikan. Plagiasi akan mudah dideteksi sehingga
gairah menemukan hal-hal baru semakin tergugah.

Akan tetapi, di
balik segala keistimewaannya, e-book
pun memiliki kelemahan. Sebab segalanya bergantung listrik—yang terus-menerus
mengeruk energi bumi-dengan satu sistem komputerisasi yang nanti terpusat,
maka rentan pula terhadap sabotase.

Hubungan antara e-book dan buku bukanlah permusuhan.
Tidak ada yang salah di antara keduanya seperti tidak ada yang paling benar di
antara keduanya. Keduanya pun tidak sempurna. Bagi saya, keduanya tidak saling
menggantikan, tetapi saling melengkapi. Mereka dapat
sama-sama meningkatkan minat baca masyarakat. Jika buku adalah
jendela dunia, e-book adalah pintu dunia.
Keduanya-duanya dibutuhkan untuk memasuki dunia.