Author: Tobma

  • Jangan Mewajarkan Maut a la Nancy Scheper-Hughes

    author = Gusti Nur Asla Shabia

    1.

    Seberapa dekatkah kita
    dengan kematian?

    Saat
    saya tinggal di rumah indekos yang terletak di samping mushalla, kematian
    terdengar begitu dekat. Sebab, kabar
    akan dirinya disiarkan melalui toa.
    Kencang sekali suaranya. Selain melalui toa, saya juga kerap ‘menjumpai’ kematian lewat simbol bendera (kuning di Jakarta dan putih kalau di Jogja) yang dipasang
    di mulut gang, tepi jalan, atau depan rumah kerabat
    yang berduka. Namun, sepanjang hidup saya, belum pernah saya mendengar kabar
    kematian lewat toa yang disiarkan berkali-kali dalam sehari, atau bendera putih
    yang terpasang di setiap gang yang saya lalui. Tentunya, kalau saya menjumpai
    ini, saya akan dilanda kengerian; karena bukankah kita sadar
    sedang terjadi banyak kematian dalam suatu ruang?

    Kematian dalam jumlah banyak, dan begitu dekat, tak pernah menjadi sesuatu yang nyaman untuk kita yang masih hidup. Lalu mengapa, sekarang, kita bisa duduk-duduk di hunian kita yang nyaman, mendengarkan kabar terbaru tentang kematian akibat COVID-19 yang sudah mencapai 280 jiwa (per 9 April 2020), dan merasa tidak seterganggu itu? Bukankah tiap sore, setelah Achmad Yurianto—sang juru warta atas hidup dan mati di Indonesia—mengumumkan data ter-update tentang COVID-19, kita akan kembali lanjutkan rutinitas kita yang sempat tertunda tanpa merasa ngeri? Apakah kita kini mulai mewajarkan kematian?

    2. 

    Semasa
    saya kuliah, ada satu artikel yang masih membekas di benak saya karena kisahnya
    yang begitu banal. Artikel tersebut adalah etnografi karya Nancy
    Scheper-Hughes, berjudul Death Without Weeping (1993). Sebagaimana
    judulnya, “Kematian Tanpa Isakan”, Nancy membawa kita ke sebuah kota kumuh di
    Brazil bernama Alto do Cruzeiro, sebuah kota yang memiliki tingkat kemiskinan dan
    angka kematian bayi yang begitu tinggi. Sepanjang tahun 1965, sebanyak 350 bayi
    dari total populasi 5000 jiwa telah meninggal. Di kota ini pula, kematian bayi
    jadi dianggap sebagai sesuatu yang biasa.

    Sebagai outsider, Nancy merasa ngeri ketika mendengar dentang lonceng gereja berbunyi setiap harinya. Tiap dentang lonceng menandakan sebuah kematian, paling sering kematian bayi. Namun, tidak
    seperti Nancy, ibu-ibu di Alto menanggapi dentang
    lonceng—sekaligus kematian di baliknya—dengan reaksi yang acuh
    dan kasual. Jangankan menanggapi dentang bel dengan emosi yang dingin. Ditulis
    Nancy dalam karyanya, “Perempuan Alto melihat kematian bayi sebagai sesuatu
    yang “sudah ditakdirkan” dan “tidak terhindarkan”. Sejak melahirkan dan
    bayinya, mereka sudah menentukan bayi yang menunjukkan tanda-tanda kematian
    secara kronis: yang pucat, tidak lahap menyusui, dan jarang menangis”, dan
    biasanya tak ada usaha aktif dari orangtua untuk mengobati atau merawat sang
    bayi. Sementara, yang tanda-tanda kematiannya sudah akut, seperti
    kejang-kejang, mulut berbusa, tercekik, hanya “… digeletakkan di lantai ruang
    belakang, hingga ajal menjemputnya dalam kesendirian”.

    Begitu
    wajar, lumrah, dan seram.

    Situasi
    ini lah yang jadi mengingatkan saya terhadap apa yang kita alami sekarang, saat
    kita mulai terbiasa menghadapi angka kematian yang semakin tinggi setiap
    harinya. Betapa angka-angka kematian COVID-19 yang kita dengar setiap harinya
    begitu berjarak. Sebagai audiens, kita mungkin tak pernah benar-benar
    menyadari, tiap angka mewakilkan satu jiwa yang punya identitas dan kisah
    sendiri, yang benang kehidupannya terputus pada hari itu. Kita dilindungi dari
    pengetahuan tentang siapakah yang menderita di balik angka tersebut; apakah
    yang mati punya kesempatan untuk melihat wajah keluarganya pada saat terakhir? Apakah
    semua tanggungjawabnya di dunia telah usai, apakah ia tidak sedang berada di
    tengah-tengah usaha merintis karier dan mimpi? Bagaimana dengan yang
    ditinggalkan, apakah mereka pernah menduga takkan diberi kesempatan untuk
    mengecup jenazah orang yang dikasihinya? Apakah yang hidup harus berhenti
    melanjutkan usaha yang tadinya dikerjakan bersama dengan yang pergi?  

    Tidak seperti kita, mereka yang menjadi bagian dari penambahan angka tersebut mungkin sangat berat  melanjutkan kehidupan, lantaran menghadapi kehilangan yang tak terperi. Belum lagi, bayang-bayang ketidaklegaan berpotensi melingkupi keluarga dan sanak ketika menjumpai proses penguburan yang harus sesuai dengan Protap Corona. Seperti yang kita tahu, ritus kematian dalam setiap kepercayaan, punya proses dan tata cara untuk memperlakukan jenazah. Hampir semuanya melibatkan proses yang memiliki tindakan-tindakan yang berinteraksi dengan jenazah, sebuah cara yang disebut  Bloch (1971, dalam Engelke, 2019) sebagai “mengingat untuk melupakan”, yakni sebuah tindakan mendekat ke jenazah untuk memberikan penghormatan terakhir, yang akan turut menandai jarak dan keterpisahan dari jenazah. Karena dimakamkan sesuai prosedur yang menjaga dari kerentanan penularan virus, tak ada aksi simbolis bagi keluarga dan sanak untuk melepas mereka yang dikasihi. Kematian bukan hanya mulai dianggap wajar, tapi mulai muncul gelombang orang-orang yang anti-kematian. Masyarakat di Gowa, Banyumas, Cianjur, beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan daerah-daerah lain menolak jenazah positif COVID-19 dimakamkan di area mereka. Mereka pikir, jenazah yang dikuburkan akan menyebarkan pandemi itu kepada masyarakat sekitarnya. Bagi saya, ini bukan hanya kesalahpahaman, tapi merupakan kombinasi dari stigma, serta kurangnya empati dan rasa aman yang bisa membuat masyarakat berpikir jernih. Seperti mereka yang mewajarkan kematian, mereka yang menolak kematian juga tidak berusaha mendudukkan diri dalam posisi “yang mati” dan “yang ditinggalkan”, yang pasti memimpikan tempat pembaringan terakhir penuh kedamaian. 

    3.

    Namun,
    yang mewajarkan kematian, dan yang menunjukkan emosi-emosi penolakan pada
    kematian, bukan oknum yang bisa disalahkan sepenuhnya—begitulah yang diajarkan
    Nancy dalam tulisannya.

    Saya
    teringat tulisan Nancy  bukan tanpa alasan. Setelah membawa kita pada
    perasaan bahwa ibu-ibu Alto adalah kumpulan orang-orang barbar yang tak punya
    hati, Nancy—dengan tugasnya sebagai seorang antropolog—mulai menjabarkan
    keadaan di balik kebekuan hati para ibu akan kematian anaknya: mereka jugalah korban,
    dari sistem yang lebih besar. Apa yang dimaksud Nancy adalah kondisi ekonomi di
    Alto yang memaksa para ibu untuk bekerja dalam sebuah lingkungan yang tidak
    memberikan ruang untuk merawat anak dengan penuh. Selain itu, terdapat kegagalan
    institusi-institusi untuk melindungi kesejahteraan ibu dan anak; mulai dari
    pemerintah, petugas kesehatan, hingga gereja setempat. Jika seorang bayi mati
    dan akan diregistrasikan ke pemerintah, proses dokumentasi atas kematian
    tersebut akan berlangsung tak sampai lima menit, tanpa saksi, dan kolom
    penyebab kematian kerap dikosongkan—seakan pemerintah tak mau menjadikan kasus
    kematian sebagai perbaikan kebijakan ke depannya. Di klinik-klinik gratis, bayi
    yang sakit biasanya hanya diberikan vitamin atau tonik oleh dokter, padahal
    mereka menderita malnutrisi yang membutuhkan perawatan khusus. Kadang, bayi
    yang rewel diberikan pil tidur untuk “menenangkan” tangisannya. Institusi agama
    seperti Gereja, yang harusnya memberikan ketenangan bagi keluarga yang
    ditinggalkan, menolak memberikan pelayanan dan penghormatan terakhir pada bayi,
    yang dulunya berupa dentang bel di Gereja dan prosesi kematian yang dipimpin
    pastur.

    Oleh
    karena itu, menurut Nancy, pengabaian (indifference) adalah praktik yang
    diproduksi secara sosial dan merupakan refleksi dari pengabaian institusi yang
    lebih besar, yakni institusi resmi seperti gereja dan negara terhadap para
    perempuan dan anak-anak yang terlilit kemiskinan.  

    Maka
    bisakah kita, dengan logika yang sama, menganggap pewajaran, apati, dan
    antipati masyarakat terhadap kematian sebagai refleksi dari pewajaran, apati,
    dan antipati pemerintah serta institusi tertentu terhadap mereka yang rentan
    terjangkit COVID-19? Saya rasa bisa, karena kita masih dihantui kabar tentang
    tingginya kematian pasien COVID-19 di Indonesia, di mana banyak yang meninggal
    merupakan tenaga medis serta orang-orang yang masih berada
    dalam status PDP (Pasien Dalam Pengawasan). APD yang tidak memadai, rasa
    kelelahan akibat kelimpungan mengatasi pasien yang membludak, penolakan rumah
    sakit rujukan pada mereka yang ingin diopname, kurangnya ventilator, dan hasil
    tes swab yang keluar begitu lama, telah membuat banyak orang berpacu dengan
    masa kritis yang tak bisa diajak kompromi dan akhirnya mengantarkan mereka pada
    kematian. Sistem kesehatan kita—mirip halnya dengan yang terjadi di Alto—masih
    bermain-main dengan kematian karena belum optimal dalam penanganan virus Corona.
    Bila ditakar, hanya 36 dari setiap satu juta orang di Indonesia yang dites untuk mendeteksi virus Corona. Korea Selatan, sebagai pembanding, memberikan tes untuk 8.996 dari setiap
    satu juta orang
    .

    Pada
    masa kritis ini, pemerintah juga masih bermain-main dengan kematian. Bisa-bisanya
    Jokowi dan Luhut dengan mencla-mencle berkata mudik tidak dilarang,
    tetapi diimbau untuk “tidak dilakukan”. Terawan, sebelum dua hari yang lalu, masih
    mengenakan birokrasi berbelit-belit pada PSBB yang diajukan Anies, sehingga
    banyak warga terlanjur bermigrasi dan berpotensi menyebarkan virus. Baru-baru
    ini, warganet juga digemparkan dengan pernyataan Anies Baswedan yang berkata mungkin
    saja ada data kematian akibat Corona yang tidak terdeteksi, menilik ada 4.400 kematian yang dilaporkan Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta. Beberapa hari berselang, seorang warganet menunjukkan kejanggalan data pasien COVID-19 yang
    berbeda datanya dari tanggal 3 April ke 4 April. Tirto, tanggal 6 April lalu,
    mengabarkan bahwa data dari Kemenkes tidak transparan dan dipertanyakan validitasnya. Dari sini, kita mampu melihat pemerintah jelas tidak tegas dan belum
    mengambil langkah ekstrem untuk menekan laju kematian.

    Sebagai
    akibatnya, “wajar” bagi kita untuk mulai mewajarkan kematian, karena bukan
    hanya kita mengalami keberjarakan epistemis (jarak yang menghalangi kita untuk
    memahami keseluruhan kejadian karena kompleksitas relasi dan keterbatasan pengetahuan [Carolan, 2020]) dari
    kisah-kisah kematian orang-orang, kita pun juga menghadapi informasi kematian
    COVID-19 yang dirutinisasi: ada setiap hari, dalam jumlah besar dan meningkat, pula.
    Jangankan kisah personal, informasi resmi soal kematian yang valid, benar, dan
    transparan tidak dapat sepenuhnya kita peroleh karena carut-marutnya data dari
    pusat.

    Kita
    memang belum separah Ekuador, yang kini mulai menggeletakkan
    jenazahnya begitu saja di tepi jalan. Pemerintah kita juga belum seburuk Donald
    Trump yang dengan enteng berkata,  “we all together have
    done a very good job
    karena kematian di
    Amerika Serikat, menurutnya, hanya berjumlah 100 ribu, bukan dua milyar.
    Tapi ini tidak menjadi legitimasi bagi diri kita untuk mulai terbiasa dengan
    kematian. Bila Nancy, dalam penutup tulisannya, mengatakan pewajaran akan
    kematian adalah strategi bertahan masyarakat Alto untuk move on dalam
    ketidakberdayaan terhadap institusi-institusi sosial dan kepemerintahan mereka,
    saya perlu berkata bahwa pewajaran akan kematian di Indonesia tidak diperlukan:
    karena kita malah sedang tidak perlu banyak move on ke mana-mana, dan
    kita harus terus mengawal pemerintah kita yang pahpoh.

    Pergilah ke medsos, cari kisah personal orang lain yang memberitakan kepergian yang dikasihi karena COVID-19. Tetaplah menganggap kematian sebagai sesuatu yang tidak wajar dan memroduksi rasa miris, karena rasa itu lah yang membuat kita tergerak untuk menolong, berempati, dan yang terpenting: bebas dari sebuah sistem yang membuat kita kehilangan kemanusiaan serta solidaritas untuk menyelamatkan sebanyak-banyaknya orang hidup.

    Referensi

    Carolan, Michael S. 2007. Introducing the
    concept of tactile space: Creating lasting social and environmental
    commitments. Geoforum 38: 1264-1275

    Engelke, Matthew. 2019.
    The Anthropology of Death Revisited. Annual Review of Anthropology 48:
    29-44. DOI:  https://doi.org/10.1146/annurev-anthro-102218-011420

    Scheper-Hughes,
    Nancy. 1989. Death Without Weeping: Has poverty ravaged mother love in the
    shantytowns of Brazil?. Natural History: 8-16. Diakses dari http://public.gettysburg.edu/~dperry/Class%20Readings%20Scanned%20Documents/Intro/Scheperhuges.pdf

  • Jangan Dibuat Terlalu Masuk Akal, Kita Suka Cerita Mistis

    author = Apri Damai Sagita Krissandi

    Sebuah diskusi sederhana dengan kawan di sore hari menuntun cerita-cerita masa kecil nan jenaka. Kami menghabiskan malam dengan tertawa dengan kisah-kisah mistis. Kami punya kesimpulan bahwa cerita mistis perlu diteliti kebenarannya. Tetapi sampai saat ini kami malas meneliti. Jawabannya adalah karena kami suka cerita mistis. Kendatipun faktanya tidak mistis, hati kami tidak rela bahwa faktanya tidak mistis, pokoknya harus mistis, hehe. 

    Misalnya saja kisah “KKN di Desa Penari”, saya kebetulan pengurus KKN di sebuah universitas. Setiap saat saya mendengar cerita mistis dari mahasiswa. Kami sering mencari tahu kebenaran cerita tersebut. Kami telusuri kisah dari sumber satu ke sumber yang lain. Sumber demi sumber dirunut ternyata ujung-ujungnya adalah “katanya si A dan katanya si B” dengan kata lain ceritanya tak berujung. Seandainya pada akhirnya kita mengetahui bahwa fakta kisah “KKN di Desa Penari” ternyata tidak benar, saya yakin masih banyak orang tetap bersikukuh pada “kebenaran” mistis. Mitos dan Mistis memang mempersatukan bangsa ini. 

    Dalam diskusi di sore itu, seorang kawan menceritakan kisah mistisnya. Kawan saya bernama Adi, ia seorang dosen fisika yang sangat logis melihat fenomena alam ini. Misalnya ia pernah membuktikan bunyi “taaaaaaang” yang selalu muncul di tengah malam ternyata adalah kelelawar kecelakaan karena menabrak kabel tiang listrik. Gelombang ultrasonik yang dipancarkan kelelawar ke kabel tersebut menyebar ke berbagai arah dan tidak kembali padanya. Kabel dengan permukaan kecil dan bulat menyebabkan gelombang yang menyebar tidak terkendali. Sebagian warga desanya pada saat ini bersikukuh bahwa bunyi itu adalah setan iseng yang ngrutukki batu di tiang listrik. Selain kisah di atas ada cerita lain yang  dapat mengilustrasikan bagaimana kisah mistis melegenda di suatu daerah. Saya tertarik menjadikan kisah itu sebagai ilustrasi kecintaan kita pada kisah mistis mengalahkan nalar dan fakta yang terjadi. Begini kisahnya …

    Adi duduk sendiri memandang pohon-pohon besar yang akan dilaluinya. Dari kejauhan pohon itu serasa ingin mencengkeram dengan dahan-dahan yang kekar. Adi bingung sekaligus takut. Ia ingin pulang tetapi sudah terlalu malam. Adi saat itu tidak memperhitungkan waktu bermainnya. Ia terlanjur ikut sepak bola di kampung sebelah. Saat musim kemarau, suasana sore yang terang berlajan lama dan tiba-tiba gelap. Saking asiknya bermain, Adi tidak sadar jika hari menjelang gelap.

    Pohon besar adalah sesuatu yang menyeramkan untuk anak-anak. Orang tua kadang menambahkan cerita mistis tentang pohon besar. Pohon besar dikatakan sebagai tempat tinggal setan. Biasanya setan akan menculik anak-anak dan meletakkannya di atas pohon. Adi adalah anak yang penakut, di siang hari pun ia akan berlari dengan kencang ketika melewati pohon besar.

    Masalah yang dihadapi Adi sekarang amatlah berat. Ia harus pulang ke rumah sementara hari mulai gelap dan pohon-pohon besar berjajar di sepanjang perjalanan pulang. Ia takut bukan kepalang. Jarak desanya juga lumayan jauh. Adi tinggal di daerah Sragen, kota kecil dan sepi. Desa Adi masih puluhan kilo dari pusat kota. Maka sangat wajar jarak antar desa jauh dan sepi ketika malam hari.

    Kebetulan sekali ada ibu-ibu menaiki sepeda menuju ke arah rumah Adi. Adi bergegas berlari mengejar ibu tersebut. Ia tidak ingin merepotkan ibu-ibu itu, maka Adi menjaga jarak. Ketika Ibu itu mengayuh kencang, Adi berlari sejadi-jadinya. Ketika ibu itu pelan, Adi ikut pelan. Ketika Ibu itu berhenti, Adi pun berhenti di kejauhan. Dalam nafas yang terengah-engah, justru Adi merasa tidak takut lagi dengan pohon-pohon besar. Adi kembali takut ketika ibu itu jaraknya terlalu jauh. Ketakutan Adi tidak lagi berfokus pada pohon besar tetapi pada jarak yang terlalu jauh dengan ibu itu. 

    Betul saja, ibu itu ternyata menuju desa Adi. Perasaan lega dan bahagia Adi terpancar ketika sayup-sayup ia melihat desanya. Sampai di rumah pertama desa itu, ibu itu menghilang. Adi kehilangan jejak. Adi tidak mempermasalahkannya karena ia tinggal berlari kencang untuk sampai ke rumahnya yang sudah tidak terlalu jauh lagi. Ia mengeluarkan sisa-sisa tenaganya untuk berlari menuju rumah. Rupanya ibu Adi sudah menunggu khawatir. Ibu seharusnya sudah pergi berbelanja di warung sebelah. Warung sebelah rumah biasanya digunakan untuk singgah para pedagang pasar mingguan. Sebelum dijual di pasar, Ibu Adi akan membeli beberapa kebutuhan langsung dari pedagang yang singgah tersebut. 

    Tanpa berkata-kata Adi langsung menegak kendi yang berisi air minum. Ia merasa sangat kehausan. Ia juga bergegas mandi karena keringat sudah sangat lekat di bajunya. Saat selesai mandi, ia tidak bertemu dengan ibunya. Ibu Adi sedang berbelanja di warung sebelah. Ibu sudah tenang Adi pulang dengan selamat. Adi sebetulnya sangat ingin bercerita tentang pengalamannya.

    Setibanya ibu di rumah, Adi segera menceritakan kisahnya dengan menggebu-gebu. Adi bercerita bahwa ia tadi bermain bola ke desa sebelah. Ia takut karena ditinggal kawan-kawannya. “Bu, aku tadi takut sekali!” kata Adi. Ibu sangat memahami anaknya. Ia tahu bahwa Adi sebetulnya anak yang sangat penakut. “Kamu hebat sekali berani pulang sampai rumah?” kata Ibu. Adi bercerita bahwa ia mengikuti ibu-ibu yang bersepeda menuju ke desanya. Adi bercerita bahwa ia mengikuti dari kejauhan agar tidak merepotkan. Seketika itu Ibu terhenyak kaget, Ibu cepat-cepat berlari ke luar rumah menuju warung.

    Warung tempat singgah pedagang pasar itu hanya berselang satu rumah dari rumah Adi. Dari pintu depan rumah, Ibu memanggil salah satu pedagang. “Yu… Yu… ternyata tadi bukan tuyul, sik ngetutuke koe ki anakku!” teriak Ibu. Seketika itu seluruh pedagang yang singgah di warung itu berhamburan di jalan sambil tertawa terbahak-bahak. Salah satu ibu berseloroh, “Waaah kecewa!” Komentar tersebut disambut ibu-ibu yang lain dengan menyatakan kekecewaannya. 

     Seandainya saja tidak ada pertemuan Ibu Adi dengan Ibu pedagang tersebut dapat dibayangkan kisah “diikuti tuyul” akan menjadi legenda yang dipercaya. Ajaibnya, beberapa minggu kemudian di desa sebelah, Adi mendengar kisah “diikuti tuyul” penuh dengan tambahan unsur mistis, ceritanya semakin komplek, penuh kegairahan dalam narasi ceritanya.

  • India yang Tak Ber-Ojek

    author = Batari Oja

    (Judul Asli “GO-JEK: Scooter Taxi Aggregator – India versus Indonesia”, oleh Prof. V. Santhakumar.)

    Sulit untuk tidak memperhatikan maraknya taksi motor atau ojek yang beroperasi bahkan di kota-kota kecil di Indonesia sekalipun. Dimana ojek-ojek tersebut difasilitasi oleh para agregator seperti GO-JEK dan GRAB. Ojek memang telah lama beroperasi di Indonesia, bahkan sebelum adanya aplikasi-aplikasi agregator tersebut. Namun, bagaimanapun, meluasnya penggunaan aplikasi-aplikasi agregator transportasi itu sangat membantu perkembangan Ojek Online atau Ojol dewasa ini. Kebanyakan pengemudinya adalah laki-laki, tapi ada sebagian kecil dari pengemudi yang perempuan, terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta. Sementara, penumpangnya hampir sama jumlahnya antara laki-laki dan perempuan.

    Keuntungan solusi transportasi seperti ini sudah tidak diragukan lagi. Ojol lebih murah dibandingkan taksi mobil atau becak motor (bentor). Dibandingkan bis umum atau angkot (yang adalah bentuk transpotasi paling umum dijumpai di Indonesia), Ojol agak sedikit lebih mahal, tapi jauh lebih fleksibel dan dapat membantu menghemat waktu bagi penumpangnya. Apalagi, munculnya dunia agregator ini memperluas kegunaan kapasitas armada ojek, dan itu akan mengurangi biaya penumpang dan dapat meningkatkan pendapatan operatornya (melalui peningkatan jumlah penarikan penumpang per kendaraan per hari).

    Pengurangan biaya ini akan memicu lebih banyak orang untuk menggunakan taksi model ini (ojol) dan dengan kata lain lebih banyak orang bisa menjadi operator (yang artinya ini akan meningkatkan lapangan pekerjaan). Ojol yang mudah dijangkau ini, sebagaimana dan ketika disediakan melalui agregator, dapat menurunkan angka sepeda motor pribadi. Hal ini dapat membuat orang-orang berpikir dua kali untuk membeli atau memiliki sepeda motor pribadi untuk berkendaraan sehari-hari mereka. Bahkan mereka yang tidak mampu membeli atau memiliki sepeda motor dapat pergi kemana-mana menggunakan motor untuk sarana transportasi. Hal ini bisa menjadi sebuah keuntungan bagi transportasi publik sepenuhnya karena mengurangi kepemilikan kendaraan pribadi.

    Meskipun agregator taksi telah menjadi hal yang biasa di India, taksi motor (dengan atau tanpa agregator; baik ojek maupun ojol) bukanlah hal yang biasa di negara ini. Idealnya, India harus memiliki lebih banyak taksi seperti ini. Kepemilikikan sepeda motor pribadi meningkat di India, dan penyebab kemacetan lalu lintas utama di India adalah karena kendaraan roda dua ini. 

    Kenyataan bahwa tidak adanya taksi motor di India telah melukai perasaan sebagian orang India. Siapa mereka? Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa orang yang tidak bisa membeli atau memiliki sepeda motor tapi mereka bisa pergi kemana-mana naik motor dengan ojol. Sama halnya ada beberapa orang yang tidak bisa membayar taksi mobil, tapi sanggup membayar taksi motor. 

    Para teknisi perangkat lunak laki-laki atau perempuan mampu membayar taksi di India, tapi para perempuan pekerja pabrik garmen atau para SPG supermarket kemungkinan tidak mampu membayar taksi mobil. Mereka memilih naik bis umum yang mungkin mengharuskan mereka menunggu dalam waktu yang cukup lama dan mungkin dipenuhi banyak orang di jam-jam kerja, atau mereka akan meminta suami atau saudara laki-laki mereka untuk mengantar mereka. Kecil kemungkinan bagi perempuan-perempuan ini untuk memiliki sepeda motor pribadi. 

    Secara teoritis, orang-orang seperti ini dapat diuntungkan dari ketersediaannya taksi motor dan para agregatornya. Ketersediaan transpotasi yang mudah dan murah seperti ini akan memudahkan banyak perempuan untuk mendapatkan pekerjaan. Pada kenyataannya pengguna utama taksi motor di Indonesia berasal dari para pekerja seperti ini. Sementara bagi pekerja laki-laki, sarana tansportasi seperti ini dapat menjadi alternatif transportasi yang lebih murah dan lebih cepat. Sayangnya, transpotasi sejenis ini, yang mempermudah mobilitas sebagian masyarakat, (termasuk para perempuan dari kalangan keluarga dan kelas menengah ke bawah yang relative miskin) tidak ada di negara kami.

    Apakah orang India tidak bisa menyediakan pelayanan jasa transpotasi seperti ojol? Kenyataannya, India dapat dikatakan memiliki tradisi perkendaraan yang lebih hebat daripada Indonesia. Dalam hal produksi sepeda motor, India memiliki ahli dan kapasitas untuk itu. India adalah eksportir kendaraan bermotor ke berbagai negara, mungkin salah satunya adalah Indonesia. India memiliki kapasitas yang jauh lebih baik daripada Indonesia dalam hal perangkat lunak dan back-office operations yang dibutuhkan untuk agregator transportasi. Tidak perlu disebutkan lagi bahwa para teknisi perangkat lunak India pastinya bekerja dalam skala global di perusahaan agregator seperti Uber, Grab atau bahkan Go-Jek. Meskipun memiliki kelebihan dalam kemampuan, India mungkin tidak akan memiliki agregator taksi motor dalam waktu dekat ini.

    Tentu saja, selain ketersediaan, pasti juga harus ada permintaan. Ketika saya menceritakan cerita tentang GO-JEK di Indonesia kepada anak perempuan saya, yang tiap hari ke kantor mengendarai sepeda motor, responnya seketika adalah: “di sana pasti aman”. Yah, ini adalah isu yang paling krusial. Banyak perempuan di India merasa tidak nyaman berboncengan motor dengan orang yang tidak dikenal. Mungkin ada kekhawatiran mendalam tentang keamanan di India karena pelecehan seksual sangat sering terjadi di sini, bahkan di dalam taksi mobil sekalipun.

    Berboncengan motor dengan orang yang tidak dikenal bukanlah hal yang bisa diterima secara sosial bagi perempuan, khususnya perempuan yang berasal dari daerah pedesaan di India. Kedua orang yang naik motor (yang membonceng dan yang dibonceng) harus memiliki hubungan yang secara sosial diterima supaya hal itu (dibonceng motor) menjadi hal normal di India. Norma-norma sosial ini juga, sebagai tambahan untuk kekhawatiran soal keamanan, yang mencegah perempuan menggunakan taksi motor (ojek dan ojol). Hal ini dapat menurunkan jumlah perempuan yang ingin naik ojek. Dalam logika statistik, jumlah itu mengindikasikan kekhawatiran akan mendapatkan pelecehan seksual. Norma sosial dan isu-isu keamanan saling menguatkan satu sama lain. 

    Tentu saja, tingkat partisipasi kerja perempuan di India hanya 25 persen, dan mobilitasnya dipengaruhi oleh norma-norma sosial. Kekhawatiran akan keamanan bisa jadi memiliki peranan penting. Tingkat partisipasi kerja yang rendah itu juga mengurangi permintaan akan taksi motor. Hal yang menarik adalah dua faktor ini bukan menjadi penghalang bagi perempuan di Indonesia untuk tidak ber-ojol ria. Bahkan sebelum kemunculan agregator ojek, seperti Go-Jek, perempuan Indonesia sudah menggunakan ojek tidak online. Norma sosial yang mendorong seorang perempuan pergi sendiri dengan orang yang tidak dikenal tidak begitu kuat di negara ini. Ini lah bagian yang membuat kondisi-kondisi yang diijinkan bagi perempuan di Indonesia, tapi tidak bagi perempuan di India, beberapa di antaranya dipaparkan dalam artikel saya tentang kehidupan perempuan di Indonesia dan India, di sini.

    Pertanyaan lain yang muncul adalah bagaimana dengan laki-laki di India? Kenapa mereka tidak naik ojek? Apakah ini berhubungan dengan kelas dan kasta yang mencegah laki-laki kelas menengah naik taksi motor yang dikendarai oleh laki-laki dari kelas menengah bawah yang lebih rendah atau keluarga yang lebih miskin? Meskipun banyak terjadi, laki-laki kelas bawah menjadi supir mobil pribadi laki-laki kelas atas. 

    Penyebab lainnya bisa jadi adalah tidak adanya kelas menengah di India yang kuat dalam sektor ekonomi dan sosial. Ada banyak orang di India yang bisa membayar 20-50 Rupee untuk naik bis umum, dan ada orang yang termasuk kelas menengah bisa membayar 200-300 Rupee untuk naik taksi (mobil). Tapi tidak banyak orang di antara kedua kelas itu, yang mampu membayar 50-80 Rupee untuk naik taksi motor. Hal ini bisa jadi merupakan hal yang menyebabkan kegagalan ekonomi India secara keseluruhan, seperti yang telah didiskusikan dalam artikel saya sebelumnya, di sini.

    Apakah mungkin sentuhan fisik antara pengemudi dan penumpang yang sulit diterima secara sosial di India adalah karena najis bersentuhan dengan kasta yang lebih rendah atau karena “jarak” sosial yang besar antara kelas menegah dengan kelas bawah?

    Intinya, keberadaan dan pertumbuhan GO-JEK di Indonesia, dan tidak adanya di India, merepresentasikan dua keseimbangan antara ketersediaan-permintaan. Faktor ketersediaan di dua negara ini tidak banyak berbeda. Namun, faktor permintaan lah yang memainkan peranan penting akan keberadaan ojol itu sendiri. Keseimbangan di India memiliki implikasi yang negatif. Sebuah solusi transpotasi yang murah dan lebih efektif menjadi tidak tersedia untuk banyak orang, padahal solusi ini berhasil mempermudah mobilitas bagi orang-orang kebanyakan. Juga, bisa menyediakan sarana yang memerdekakan bagi banyak perempuan sehingga mempermudah partisipasi mereka di tempat kerja, sayangnya tujuan itu tidak tercapai di india. 

    Kasus GO-JEK memberikan beberapa pelajaran. Pertama, tingkat aktivitas ekonomi – kekhawatiran para ekonom dan adanya keinginan dalam pertumbuhan ekonomi – tidak perlu dibentuk hanya oleh faktor ekonomi semata, seperti investasi, atau kemudahan berbisnis, atau ekonomi yang terbuka, atau ketersediaan teknonologi, dsb. Ada faktor-faktor non-ekonomi yang tidak kalah penting. Tidak perlu disebutkan lagi bahwa tingkat aktivitas ekonomi memiliki implikasi pada aspek non-ekonomi, juga kesejahteraan masyarakat.

    Hal ini bisa berarti bahwa aktivitas ekonomi tidak bisa dipercepat hanya dengan menggunakan satu atau beberapa kebijakan ekonomi saja. Diperlukkan usaha untuk merubah norma sosial dan perilaku pribadi. Kebijakan ekonomi dapat menjadi tidak efektif jika tidak ada perubahan dalam perilaku dan norma. Memang benar juga bahwa perubahan ekonomi dapat memberikan perubahan yang pasti dalam norma dan perilaku, tapi tidak perlulah kita memperdebatkan perdebatan telur dan ayam di sini. Kita perlu melihat ini bersama sebagai bagian dari sebuah ekuilibrium, atau harus ada perubahan dalam berbagai hal untuk bergerak maju menuju tingkat keseimbangan sosial dan ekonomi yang lebih tinggi.

    Ada lagi satu hal penting, dalam cerita ini, untuk para peneliti dan akademisi. Para ekonom biasanya tidak begitu fokus pada faktor non-ekonomi sebagai penentu atau implikasi tingkat aktivitas ekonomi. Sementara, para non-ekonom (atau para ilmuwan sosial) seringnya mempelajari faktor-faktor tersebut tapi mereka tidak begitu menghubungkannya dengan tingkat aktivitas ekonomi. Cerita ini mengindikasikan perlunya pemahaman dari berbagai dimensi realitas sosial, bahkan untuk memahami fenomena ekonomi atau sosial yang spesifik. Khususnya dalam hal ini, sehingga penelitian yang dilakukan memiliki tujuan berkontribusi untuk perubahan sosial.

  • Incipit Vita Nova: Epilog Akhir Penuh Harapan

    author = Bambang Widyonarko

    “Manusia
    modern adalah wujud dari binatang yang berevolusi sempurna”
    , kata-kata itu dikemukakan oleh
    Darwin jauh sebelum Harari berteori. Darwin menjelaskan bahwa manusia adalah
    bentuk paling mutakhir dari berbagai macam homo
    yang hidup di bumi ini. Secara morfologis dan biologis, manusia telah
    membuktikan adaptasi alamiah membuat mereka tetap eksis hingga beranak-pinak
    memenuhi seisi dunia. Manusia juga yang telah menjelma sebagai predator puncak
    alam semesta, ia tak terkalahkan oleh apapun. Para aristotelian menganggap
    manusia dengan ego-nya yang menggerakan alam semesta, ia merupakan pusat kosmik
    jagat raya. Namun, terkadang peradaban manusia harus goyah kala diguncang musuh
    yang tak kasat mata bernama penyakit. Sejalan dengan sejarah hidup manusia,
    penyakit itu melekat padanya.

    Black Death atau kematian hitam adalah pelajaran
    pertama manusia menyikapi suatu penyakit. Wabah ini awalnya dianggap sebagai
    penyakit biasa yang diacuhkan oleh otoritas gereja. Pada masa itu, supremasi
    utama kehidupan masyarakat Eropa berada di tangan Gereja Katolik. Gereja ini
    memerintah atas nama Tuhan alih-alih bersembunyi melanggengkan aristokrasi para
    bangsawan. Gereja pula yang berpendapat penyakit ini sebagai kutukan hingga
    berbondong-bondong manusia datang untuk mohon pertobatan. Penghakiman masal
    atas siapapun yang dituduh sebagai ahli sihir jamak dilakukan. Hingga sejarah
    mencatat lebih dari 50 juta penduduk dunia musnah akibat wabah tersebut.

    Kolonialisme yang bercokol di Hindia Timur juga tak luput
    digoncang pandemi. Ketakutan orang Belanda terbesar adalah para inlander itu akan menularkan penyakit
    kepada mereka. Hindia Timur adalah harapan sekaligus neraka bagi orang kulit
    putih. Orang Belanda menganggap pribumi sebagai pangkal dari penyakit frambusia, malaria, hingga kolera.
    Tatapan rasial dan sinis  mereka atas
    pribumi itu dibantah keras oleh Wallace, orang yang merupakan bagian dari
    bangsa kulit putih sendiri. Alih-alih menyalahkan pribumi, justru seharusnya
    manusia Eropa berkaca terhadap dirinya sendiri mengapa mereka datang ke negara
    tropis dengan membawa kulit sub-tropik mereka?

    Pandemi Flu Spanyol tahun 1918 yang menjadi catatan hitam
    pemerintah kolonial dalam menghadapi wabah, juga patut dibaca ulang. Ravando
    Lie, seorang sejarawan mengemukakan bahwa pada awalnya pemerintah kolonial
    menganggap remeh penyakit ini dengan sebutan ‘influenza biasa’. Hal ini
    kemudian harus ditebus dengan kematian 900.000 orang di Hindia Belanda selama
    Agustus-November 1918. Sejarah mencatat semuanya sebagai bentuk pengabaian dan
    kelalaian yang cenderung arogan dalam menyikapi pandemi.

    Tak ubahnya saat ini, saat seorang Luhut Binsar Panjaitan dengan mudahnya mengkalkulasikan jumlah kematian yang menurutnya masih kurang untuk ukuran Indonesia. Sungguh prediksi mulia melebihi judi bola untuk menghitung orang yang mati. Kematian hanya menjadi angka yang dilukis menjadi kurva statistika. Kematian pula yang membuka mata bahwa ada negara yang buta, melihat manusia hanya sebagai data.

    ***

    Dante mengajakku berwisata menengok inferno hingga
    purgatorio. Sudah dua puluh hari aku bersamanya. Tak pernah kubayangkan sebelumnya,
    bila sepanjang bulan Maret-April 2020 adalah hari-hari paling berharga dalam
    hidup. Sepuluh hari pertama aku habiskan bercengkrama dengan Dante yang
    meminjamkan sebuah benda bernama kacamata kematian. Kacamata ini memperjelas
    penglihatanku siapa yang pergi, siapa yang datang. Aku masih sangat lunglai
    saat itu. Sesak nafas bak orang dicekik, demam tinggi diiringi rasa sakit di
    bagian punggung laksana tulang ini dipreteli
    satu-persatu, dan tenggorokan yang sakit seperti pemain jathilan yang makan beling tapi tak kesurupan merupakan kombinasi
    mantap untuk memeluk kematian. Hal itu membuat aku berniat mengembalikan
    kacamata itu ke Dante. “Jangan, pakai saja dulu”, sergahnya padaku. Aku melihat
    tubuh-tubuh pucat itu dibalut plastik lalu dimasukan ke dalam tabung
    transparan. Tak berapa lama takbir kecil penanda shalat jenazah bergaung di
    depan ruang isolasi. Mereka sudah selesai kata Dante.

    Jum’at Agung itu aku berdiam diri menyaksikan misa Paus
    Fransiskus di Vatikan. Misa agung ini terlampau sunyi bertabur haru. Paus tak
    menyelenggarakan prosesi Jalan Salib sebagaimana biasanya. Ia juga tak
    mengambil homili terakhir tahun ini. Tak ada riuh rendah orang menunggu Sri
    Paus keluar untuk menyapa kerumunan di St. Petersburg, hanya pendar-pendar
    cahaya Kudus yang tersemat dalam sanubari.

    Aku membayangkan rumah sakit akan dipenuhi oleh orang-orang
    sepertiku. Di saat ketidakjelasan negara dalam menentukan kebijakan, diasapi
    pula oleh pernyataan dari pejabat negara yang pandir, ditambah beberapa manusia
    bebal yang tak kunjung mengerti bahaya yang dihadapi, penuh sudah pikiranku
    saat itu. Jakarta nyatanya masih ramai kutengok lewat gawai. Sebagian terhimpit
    oleh perut, selebihnya bodoh akut, lalu mereka pikir bisa memperdaya maut.

    Selepas Paskah, tubuhku beranjak sehat laksana Yesus menebusnya di Golgota. Ia membawa terbang penyakit itu seraya kebangkitan-Nya. Seorang mentor di Leiden berujar padaku, “Tinggalkan Dante, sekarang kisahmu adalah Ashabul Kahfi”. Ya, aku merasa sudah terpenjara dalam gua. Gua keheningan yang hanya aku sendiri di sana. Tanpa pelita, sedikit berkas sinar, hanya berusaha tertidur hingga semuanya usai. Aku sadar, aku adalah tokoh kedelapan dalam kisah itu, Kitmir!

    ***

    Banyak kawan di luar sana mengucapkan selamat bahwa aku
    sudah menang melawan penyakit ini. Namun aku selalu bilang tidak!

    Tak pantas rasanya mendaku menang saat kulihat sendiri
    banyak yang tak bisa bertahan. Menyerah pada kematian bukanlah pilihan, tapi
    bertahan hidup di kala sekarat juga tak bisa dipastikan. Ini hanya bagian dari
    lotre kehidupan. Mereka yang keluar gelanggang, mungkin bersama Dante
    bersenang-senang di surga sana. Lagipula, masih banyak kawan-kawanku senasib
    sepenanggungan yang belum keluar undiannya. Aku berharap mereka mendapat jackpot layaknya diriku sehingga bisa
    merenda dosa kembali di dunia.

    Naif juga rasanya mengucap syukur dan terima kasih pada
    Tuhan bahwa aku telah diselamatkan oleh-Nya. Bukankah itu merupakan bagian dari
    permainan-Nya?

    Lantas Tuhan juga pasti akan
    berkata, “Untuk hal ini saja kau bersyukur, sedangkan nikmat-Ku yang lain kau
    kufur!”. Maaf Tuhan, aku janji kali ini akan giat beribadah kembali supaya
    wajah-Mu tak cemberut seperti ini. Terima kasih untuk instruksi-Mu pada Izrail
    demi menunda kepulanganku sehingga aku masih bisa memesan sepiring nasi kapau
    kesukaanku.

    Untuk para dokter dan perawat, mereka bukan hanya sekedar
    pahlawan bak superhero rekaan Marvel.
    Bagiku mereka adalah batara langit yang diutus menebar wangi khayangan pada
    umat manusia. Diikuti oleh dayang-dayang yang senantiasa menambah semerbak
    wangi nirwana, berturut-turut mereka adalah: petugas gizi dengan makanan
    sehatnya, petugas radiologi, pegawai administrasi rumah sakit, supir ambulan, cleaning service, dan satpam rumah
    sakit. Untuk rombongan khayangan ini, kidung terindah kulantunkan bagi mereka.

    Seburuk apapun dirimu, keluarga akan tetap memelukmu dengan
    hangat. Aku merasa aku memiliki dua rumah dan dua keluarga. Keluarga pertamaku
    tinggal di sebuah komplek yang selalu kebanjiran, satunya lagi di komplek
    polisi perairan. Keduanya sama-sama banjir. Banjir kasih sayang. Pun begitu,
    aku tak menafikan bantuan dan dukungan dari segenap sanak saudara serta handai
    taulan yang sangat perhatian. Memelukku dari jauh seraya berdo’a penuh.

    Aku bersyukur sempat dipertemukan Tuhan oleh Yogyakarta. Kota
    sejuta makna dengan manusia-manusia utama. Para guru-guruku di Kampus Gadjah
    Mada yang selalu memantau kondisiku, kawan-kawan kuliah yang tak terhitung
    jumlah dan ketulusan hati mereka, hingga senior-senior yang selalu menahan diri
    ini berkata “sampun cekap”. Kawat
    dari Bekasi, Bandung, Semarang, Leiden, Bristol, Melbourne, Köln, Leipzig
    hingga Tokyo menyesaki gawai. Berlomba memompa semangat diiringi pelukan hangat
    dari seorang sejarawan di pinggir Kali Bengawan. Sang sejarawan selalu
    mengawali pagi dengan, “Belum nyerah kan? Para dewa batara di Suralaya tentu
    geleng kepala!”. Aku menyebut mereka dengan nama ‘Malaikat Mataram’. Tak lupa,
    ucapan terima kasih aku persembahkan pada kawan-kawan masa kecil dan teman
    nakal semasa sekolah di Jakarta. Kehidupan Priok yang keras, membuat aku
    belajar untuk sulit tunduk pada kekuasaan, apalagi kuasa penyakit.

    Tentu ucapan terima kasih ini hanya sebagian kecil dari
    banyak kata yang tak sanggup terucap. Bukan pula untuk mengecilkan atau
    menafikan dukungan dari siapapun yang tak tertulis di sini. Sekali lagi,
    tulisan ini adalah bagian dari verba
    volant, scripta manent
    . Monumen hidup atas apa yang terjadi dalam kurun
    waktu tertentu.

    Terakhir, untuk Redaksi Kibul.in yang mau memuat trilogi
    kecil pengalamanku sehingga bisa dibaca khalayak, danke sehr. Terutama mas Asef Saeful Anwar, sastrawan besar yang
    bahkan bersua pun aku takut, mas Olav sang redaktur, dan mas Bagus Panuntun
    yang sedang menetap di Aix-en-Provence (sial aku tak bisa mengejanya!),
    meminjam kata-kata di Alkitab, “Upahmu besar di surga”.

    Pada akhirnya epilog ini bukanlah suatu deklarasi
    kemenangan. Apa yang perlu dirayakan atas kematian orang lain?

    Tulisan ini hanya menjadi pengingat bagi diri ini bahwa bila hati ini sudah mulai meninggi, masih banyak tempatku untuk berhutang budi. Seperti kata salah seorang seniorku, incipit vita nova; dari sini segala hidup baru dimulai. Mulai dengan harapan setelah lolos dari kematian.

    Rumah, enam hari menjelang Ramadhan
    2020.

  • Hiperrealitas Kisah Cinta Mas Pur

    author = Dimas Indiana Senja

     

    Tugas pertama seorang perempuan ialah menyerah

    pada berbagai tuntutan kedermawanannya…”

     

    Ungkapan Simone De Beauvoir dalam buku “Second Sex” (2016: 296) tersebut saya rasa cukup mewakili apa yang saat ini dialami Novita (Putri Anne). Dalam sinetron Tukang Ojek Pengkolan (TOP) part 6/6 (11 Juli 2018), Novita memberanikan diri untuk menyudahi hubungannya dengan Mas Pur (Furry Setya Raharja) lantaran orang tua Novita tidak merestui hubungan mereka. “Mau gimana juga kan mami ga setuju Mas Pur, mami kan lebih senengnya sama Mas Radit. Ya daripada kita terlalu panjang, terlalu keburu, terlalu nyaman, sepertinya lebih baik udahin aja,” ucap Novita sambil sesenggukan.

    Novita adalah proyeksi dari perempuan yang mendapat stigma sebagai “second sex”. Ia dibebani dengan tuntutan bahwa perempuan harus mengalah, mengikuti perintah atau kehendak “yang berkuasa” atas dirinya dalam hal paling personal sekalipun. “Kekuatan besar” di luar dirinya itu membatasi langkah dan keinginannya untuk memperjuangkan sesuatu yang menjadi pilihannya.

    Fenomena tidak direstuinya sebuah hubungan oleh orang tua adalah problematika universal yang banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang menyebabkan hastag #maspuradalahkita dan #kamibersamamaspur menjadi viral baru-baru ini. Ada semacam keterwakilan yang dialami oleh banyak lelaki di luar sana, yang memiliki kesamaan nasib dengan Mas Pur. Apalagi, potret Mas Pur adalah simbol masyarakat “kelas dua”, masyarakat proletariat yang dicirikan dengan, misal, tampang biasa saja, penghasilan biasa saja, gaya hidup yang biasa-biasa saja.

    Mas Pur dihadapkan dengan kenyataan bahwa mayoritas orang tua yang mempertimbangkan banyak hal terkait dengan dengan siapa anak perempuannya hidup bersama kelak. Anggapan bahwa Mas Pur, dengan berbagai keterbatasannya, tidak akan mampu memberi kesejahteraan terhadap kehidupan (materiil) Novita adalah sesuatu yang menarik. Mas Pur adalah proyeksi kekalahan kaum proletar atas dominasi sekaligus hegemoni kapitalis. Bahwa kebahagiaan seolah hanya dimiliki orang-orang yang memiliki modal. Padahal itu hanya kebahagiaan semu. Tapi begitulah realitas hidup, kapitalisme sudah merambah sektor percintaan.

    “Aku harus melihat kamu bahagia, meskipun kamu bahagianya sama orang lain bukan sama aku,” kata Mas Pur dengan nada yang getir. Sebuah kepasrahan yang tidak diinginkan siapapun. Tapi Mas Pur telah menunjukkan bahwa ada hal yang lebih berat dari cinta itu sendiri, yaitu melihat orang yang dicintai bahagia-meski bukan dengan dirinya. Fenomena ini membenarkan bahwa fragmen cinta paling luka adalah saat dua orang mengaku saling mencintai dan bersepakat untuk tidak saling memiliki.

    Kisah cinta Mas Pur dan Novita begitu mengharu biru. Membuat banyak orang turut dalam kesedihan berkepanjangan. Namun dalam kacamata Erich Fromm,  mereka sudah menunjukkan bahwa cinta adalah “memberi”. Tindakan memberi bukan terletak dalam persoalan materi, tetapi terletak dalam kenyataan diri manusia (human realism) itu sendiri.

    “Yang terpenting dalam hal ini bukan soal bahwa dia telah mengorbankan hidupnya demi orang lain melainkan bahwa dia telah memberikan apa yang hidup dalam dirinya; dia memberikan kegembiraannya, kepentingannya, pemahamannya, pengetahuannya, kejenakaannya, kesedihannya-semua ekspresi serta manifestasi yang ada dalam dirinya. Dengan tindakan tersebut seseorang telah memperkaya orang lain, meningkatkan perasaan hidup orang lain lewat peningkatan perasaan hidupnya sendiri… (Erich Fromm, The Art Of Loving, hal.41)

    Banyak hal yang bisa dipelajari dari apa yang dialami Mas Pur dan Novita. Sebuah refleksi kehidupan percintaan yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Mas Pur dan Novita merelakan perpisahan untuk saling memberikan “yang terbaik”. Mas Pur menunjukkan hakikat dari cinta yang sebenarnya dan semestinya. Kata-kata: “Tapi yang harus kamu ingat, di sini ada hati yang selalu dengan tulus menyayangi kamu” adalah kunci dari kepasrahan seorang pecinta sejati. Bahwa dia tidak berhenti untuk mencintai, meski tak bisa memiliki. Apa yang dialami Mas Pur bukanlah sesuatu yang sederhana. Bukan. Ini bukan semata persoalan perasaan. Jauh melampaui itu semua.

  • Hikayat Winning Eleven

    author = Olav Iban

    Tiga dekade lalu, di setiap kota kecil di Jawa selalu ada seorang bocah yang dilahirkan sebagai jawara Winning Eleven.  Tak peduli di kecamatan mana atau kelurahan apa, selama ada rental Playstation, selalu saja ada bocah paling terampil di antara segala pakar. Ia adalah jenis bocah yang pada umur 10-12 tahun menonton Serie A Liga Calcio di RCTI. Menyaksikan Rui Costa berseragam Fiorentina, Buffon berseragam Parma, dan Roberto Mancini berseragam Lazio. Bocah ini cenderung tak sepakat dengan angkatan di atasnya yang menggilai satu klub saja karena kecanggihan anggota timnya. Seperti AC Milan karena Trio Belanda-nya, ataupun Inter Milan karena Trio Jerman-nya. Ia memperhatikan Filippo Inzaghi mencuat karena Atalanta, Toldo sudah hebat sejak Fiorentina, atau Clarence Seedorf terlalu hebat sampai berpindah-pindah dari Sampdoria ke Madrid, Madrid ke Inter, Inter ke Milan.

    Imbas dari segalanya itu, bocah ini adalah jenis bocah yang mengerti Hernan Crespo tak bisa apa-apa tanpa Sergio Conceicao, Vieri tanpa Recoba, atau Van der Sar tanpa Igor Tudor. Itulah isi otaknya, si bocah jawara. Dan umumnya, otak bocah jenis ini dilapisi rambut bergaya belah tengah layaknya pemain bola. Bila mana berkeringat, dikaitkannya bandana ibunya biar tambah gaya.

    Di kelurahan tempat saya bertumbuh, bocah ini bernama Adip Praja. Di kelurahan sebelah, namanya Bayu Dirgantara. Di kelurahan yang lain, namanya Prama Anggara. Bila datang musim turnamen Playstation se-kecamatan, berkumpullah bocah jenis mereka disertai taburan doa dari bocah-bocah medioker kepada Bathara Kalarahu agar diizinkan mengobrak-abrik undian grup, atau kepada Bathara Kalagumarang agar diizinkan berbuat apa saja termasuk memakai ilmu hitam L1 + X.

    Bocah-bocah seperti Adip Praja, Bayu Dirgantara, dan Prama Anggara tidak lahir dari keluarga kaya Orde Baru yang mampu menggelimangi anak-anaknya dengan Spica dan Sega. Mereka justru datang dari keluarga bersahaya; pedagang kelontong, sais, atau setinggi-tingginya kerani golongan III/a.

    Kepemilikan alat produksi (konsol Playstation) di rumah sendiri, dalam kasus ini, tidak membuat seorang bocah menjadi ahli dan menguasai pasar arena pergaulan. Anak-anak rental lebih matang dan jenius memainkan Winning Eleven karena ada pengorbanan uang yang harus dibayarkan untuk menyewa. Hal ini memantik semangat mereka untuk mendapat impas dengan cara berlatih sekeras mungkin, melawan musuh sebanyak mungkin, hingga mengatur formasi setakterduga mungkin. Dan, sebisa mungkin, menantang mas-mas penjaga rental. Tentu akan berbeda bilamana—seperti para pemilik alat produksi—hanya bertanding melawan komputer (atau adik-kakaknya) dan bermain Master League bersama Miranda, Castolo, dan Jaric.

    Walau tidak selalu, tetapi biasanya pemain jenis pertama akan kalah jika diajak ke rental Playstation dan diadu melawan pemain jenis kedua. Seiring dengan kekalahan itu, Winning Eleven telah berevolusi tidak lagi sekadar permainan bola virtual, melainkan wahana social climbing efesien di arena pergaulan anak-anak 90-an.

    Ketertarikan anak laki-laki Sekolah Dasar di tahun 1990-an kepada Winning Eleven awam dijumpai. Ini semacam pengayaan hiburan-pengetahuan alternatif ketika Paman Kikuk, Husin, dan Asta tak lagi menyenangkan. Winning Eleven adalah pilihan murah yang bisa dimainkan jauh lebih lama dibandingkan Street Fighter dan Mortal Combat di papan dingdong. Selain itu, Winning Eleven mampu menciptakan masyarakatnya sendiri di tempat rental Playstation.

    Pengunjung rental Playstation secara sangat sederhana bisa dibedakan menjadi dua; yang ingin bermain Winning Eleven dan yang tidak. Jika ada seorang anak datang sendirian bersepeda Polygon membawa memory card, lalu duduk memainkan Harvest Moon atau Metal Gear Solid, bisa dipastikan ia bukan anggota genk Winning Eleven. Sedangkan bila dijumpai seorang anak datang sendirian bersepeda BMX, lalu duduk memainkan Metal Slug atau CTR atau Tekken, bisa dipastikan ia sedang menunggu lawan tanding Winning Eleven-nya datang. Ini wajar mengingat di masa nirhandphone janji pertemuan ditentukan di sekolah dan dilandasi rasa saling percaya.

    Sebenarnya ada satu jenis pengunjung lagi, yakni pemain bola virtual dari kubu FIFA, namun mereka langka dan ditengarai punah (waktu itu). Di tingkat yang lebih tinggi ada pula kubu WWF Smackdown, hanya saja kubu ini tidak punya pemain setia.

    Kembali ke pemain Metal Slug atau CTR atau Tekken tadi. Bilamana kawannya sudah datang ia akan segera beralih ke Winning Eleven. Karena kejadiannya di Indonesia, di kota-kota kecil di Jawa pula, biasanya pihak rental menyediakan opsi Winning Eleven bajakan yang sudah dimodifikasi mengikuti bursa transfer teraktual.

    CD masuk, tombol dinyalakan, tapi pertandingan tidak semerta-merta dimulai. Pertanyaan-pertanyaan dasar berikut ini haruslah disepakati dahulu: (1) Boleh pakai ilmu one-two atau tidak? (2) Pemainnya merah semua atau tidak? (3) Pakai radar atau tidak? (4) Pakai negara atau klub? (5) Tim mana yang tidak boleh dipakai? dan (6) Roberto Carlos boleh dijadikan striker atau tidak?

    Namun, bagi pemain sekelas Adip Praja, Bayu Dirgantara, dan Prama Anggara, dua pertanyaan terakhir tidaklah penting. Apapun timnya, bagaimanapun rupa formasinya, pokoknya siap tanding!

    Memang sebagian besar pemain Winning Eleven masuk ke kategori pemain pragmatis. Keindahan gameplay, pengaturan formasi menyerang dan bertahan, bukan hal utama. Pundi-pundi gol adalah yang kemutlakan. Mereka biasanya menempatkan pemain dengan speed 19, shot power 19, dan dribbling 19 di barisan depan. Jarang mereka memperlihatkan umpan lambung, kebanyakan adalah umpan dekat dan terobosan. Begitu menguasai, bola diarahkan ke sisi sayap. Lari sekencang-kencangnya hingga ujung bendera corner kick, lalu membalikkan badan dan berlari diagonal ke tengah lapangan mengincar celah yang sudah lowong ditinggal bek yang tadi ikut mengejar ke sudut lapangan, kemudian tendang ke arah gawang tanpa tedeng aling-aling. Komentator pertandingan akan berteriak, “Shuuutoo…!” yang kemudian diikuti suara “Gol gol gol gol gol gol gooool!” Lalu muncullah sosok zoom in yang kalau bukan Shevchenko, Batistuta, Adriano, ya Ryan Giggs.

    Trik culas seperti di atas tidaklah mempan menandingi skill dewa bocah-bocah jawara. Mereka tidak terjebak bermain menggunakan ilmu kejar R1 + X. Alih-alih mengejar, mereka pandai menyusun pertahanan. Lilian Thuram tidak dipakai sporadis sebagaimana para pragmatis memanfaatkan speed dan shot power Roberto Carlos. Thuram diatur sejajar bersama Canavaro menciptakan jebakan offside. Atau memberlakukan man marking di kotak 16 dengan Jaap Stam dan Nesta. Tidak, trik culas tidak akan mempan.

    Keruntuhan Adip Praja, Bayu Dirgantara, Prama Anggara, dan kompatriotnya bukan karena kekalahan di medan laga atau dipermalukan di turnamen-antar kecamatan, tetapi akibat diri mereka sendiri sudah terlalu tinggi tak teraih. Di puncak menara gading, alih-alih bertumbuh dinamis, mereka stagnan dalam gilang-gemilang kejayaannya—menolak perubahan.

    Mulanya hanya ihwal sederhana seperti keengganan memenggunakan stik gentar. Menurutnya terlalu berat, tuas bundarnya terlalu mengganggu, terlalu licin dan liar. Sampai kemudian datanglah konsol PS2 dengan Pro Evolution Soccer (yang sebenarnya cuma variasi nama Winning Eleven). Di balik tampilan realistisnya, Winning Eleven di PS2 menyajikan alur yang lebih lambat, kelokannya lebih halus, karakter AI-nya lebih beragam, formasinya lebih rumit, dan alhasil kemudahan mencetak gol tak sefoya-foya di Playstation pendahulunya. Pola ini berulang di PS3 dan PS4 demi membuat Winning Eleven semanusiawi mungkin.

    Tentu tidak semua bocah jenis Adip Praja, Cs. tergusur posisi kedewaannya. Masih ada beberapa bocah jawara yang mampu menyelamatkan muka. Biasanya para dewa penyintas ini adalah mereka yang pandai dalam teknik umpan lambung. Skill dewanya tumbuh bersama-sama dengan Oliver Bierhoff, Sami Hyppia, Nwanko Kanu, atau Van Nistelrooy, lalu bersemi kembali bersama David Trezeguet, Peter Crouch, dan Klose.  

    Perlu diketahui, gol sundulan tidak sesederhana menekan tombol L1+O dua kali. Ada pembentukan momentum dari pemain selevel Paul Scholes, Dietmar Hamann, atau Patrick Viera sebelum digocek Fredrik Ljungberg—sembari Asley Cole maju menipu—berpindah sisi lapangan menuju Dennis Bergkamp, diumpan terobosan ke Marc Overmars, diteruskan ke Emmanuel Petit yang langsung memakai celah offside ke Asley Cole. Umpan lambung dari ¾ akhir lapangan dan disambar sengit oleh tandukan Nwanko Kanu.

    Kelihaian ini lebih ditentukan oleh pengaturan formasi ketimbang skill individu pemain di lapangan. Baik itu PS2, PS3, maupun PS4 kekuatan team work adalah keniscayaan tak terkalahkan.

    Seiring zaman berlalu, hiburan makin beragam, kebutuhan dan tuntutan hidup juga berubah. Rental-rental Playstation satu nasib dengan Wartel. Winning Eleven (melalui Pro Evolution Soccer) memang masih merajai permainan sepakbola virtual, tapi gempitanya takkan pernah semeriah yang lalu. Dua-tiga puluh tahun lagi orang-orang akan mengenang Clash of Clans dan Mobile Legend. Mereka akan merindu Angry Bird atau Plant vs Zombie dengan cara yang sama seperti bocah BMX menunggu datang lawannya menyeruput es teh plastikan sambil terlena bertualang bersama topeng Akuaku Bulubadak di Crash Bandicoot. Winning Eleven pun menjadi hikayat. Adakah yang lebih indah dari itu?

    Namanya juga hikayat, ia dibaca untuk pelipur rindu, pembangkit nuansa sendu, sembari melamun masa lalu, tersenyum mengenang yang telah silam.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Harga Sebuah Mitos

    author = Batari Oja

    Tahukah Anda berapa harga yang harus Anda bayar untuk sebuah mitos? Jika Anda belum tahu, maka datanglah berkunjung ke Beringin Kembar di Alun-alun Kidul Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Saya datang ke Alun-alun Kidul berbekal pertanyaan tentang apakah orang-orang masih melihat Beringin Kembar sebagai pohon yang angker atau sakral? Setelah mewawancarai beberapa orang; baik pengunjung dan penjual setempat, saya menyadari bahwa mereka melihat saya sebagai turis, jadi alih-alih menjawab pertanyaan saya, mereka lebih sibuk mendeskripsikan kesakralan beringin ini dan Kraton. Mereka mencoba mengekspresikan betapa sakralnya dan betapa istimewanya Beringin Kembar ini, sembari terus meyakinkan saya bahwa saya tidak menyia-nyiakan waktu berkunjung kemari dan ber-“main” masangin.

    Usaha mereka dalam menjamu saya sebagai turis dengan mitos kesakralan Beringin Kembar itu membuat saya menemukan fenomena menarik di Alun-alun Kidul; yakni bukan perspektif orang-orang dalam melihat Beringin Kembar itu sendiri sebagai objek sakral. Fenomena yang lebih menarik adalah bagaimana usaha orang-orang lokal merekonstruksi mitos kesakralan Beringin Kembar itu. Rekonstruksi mitos tersebut menopang aktivitas turisme di Alun-alun Kidul. Secara ekonomis, ini adalah pertanda baik bagi pekerja lokal, orang-orang yang mencari nafkah di tempat tersebut, seperti supir becak, tukang parkir, orang yang menyewa kain penutup mata untuk masangin, penjual makanan, dan pengemis (atau pemandu) yang duduk di bawah beringin yang menceritakan kesakralan Beringin Kembar.

    Ringin Kurung (Beringin Kurung) ditanam sejak Keraton berdiri pada tahun 1745. Ada 64 pohon beringin yang ada di Kraton, kedua Beringin Kembar yang merupakan pusat dari Alun-alun adalah pohon beringin yang paling disakralkan. Dahulu kala, tidak ada orang yang berani berjalan di antara kedua Beringin Kembar di Alun-alun Kidul, tapi kini, “ritual” berjalan di antara dua beringin tersebut menjadi “permainan” yang terpopuler di Alun-alun Kidul, yang disebut masangin.

    Seorang perempuan tua yang tengah duduk di bawah pohon beringin menawarkan untuk mencoba masangin, yang dia sebut sebagai ritual dan juga sebagai permainan. “Kalau bisa lewat, nanti cita-cita mbak akan terwujud,” katanya. Demi melewati Beringin Kembar itu, saya harus menutup mata dengan sehelai kain gelap. Kain penutup mata untuk masangin disediakan oleh seorang pria yang duduk di tepi Alun-alun. Saya hanya perlu mengeluarkan Rp. 5.000 untuk menyewa sehelainya. Kemudian, saya mencoba berjalan melewati Beringin Kembar hingga tiga kali tanpa pernah berhasil melewatinya sekali pun. Karena saya tidak pernah berhasil, perempuan itu lantas menyuruh saya berjalan dengan rute yang lebih pendek, yakni dari beringin satu ke beringin yang lainnya saja-yang akhirnya berhasil.

    Saya bertanya pada perempuan itu, apakah cita-cita saya benar akan menjadi kenyataan, padahal saya tidak bisa melewati Beringin Kembar. Perempuan itu tetap meyakinkan saya bahwa cita-cita saya pasti akan terwujud karena saya sudah berjalan dari beringin yang satu ke beringin yang satu lagi. Terlihat sekali dia ingin menyenangkan hati saya, dan tidak membiarkan saya pulang dengan kecewa. Dia mengubah peraturannya supaya saya bisa berhasil atau “menang”. Jadi saya beri dia Rp. 5000 untuk usahanya.

    Dengan menceritakan kembali tentang kesakralan Beringin Kembar, sekaligus menjamu para wisatawan dengan mitosnya, para pekerja lokal di Alun-alun Kidul terus-menerus memberikan nafas kepada mitos Beringin Kembar, agar tetap hidup dan diterima oleh para wisatawan. Oleh karena itu, para turis harus berhasil melewati Beringin Kembar itu dan pulang dengan pertanda baik. Pada akhirnya, ini bukan masalah rasa percaya atau tidak percaya, melainkan persoalan bagaimana mempraktikkan dan menghidupkan mitos tersebut. Kata “main” yang sering digunakan para pekerja di Alun-alun Kidul untuk menyebut “ritual” masangin, juga merupakan istilah yang istimewa. Ritual yang tadinya sakral bertransformasi menjadi sebuah “main”, suatu permainan, aktivitas yang tidak serius yang dilakukan oleh para wisatawan. Bagaimanapun dalam kasus ini, kesakralan bukan lagi hal yang krusial dalam turisme. Mitos tidak perlu lagi menjadi sakral, selama mitos tersebut laku dijual.

    Pertanyaan yang saya bawa ke Alun-alun Kidul: apakah orang benar-benar masih melihat Beringin Kembar sebagai pohon yang sakral atau sudah tidak? Belum terjawab. Sebaliknya malah menambah pertanyaan, memangnya kenapa jika Beringin Kembar tidak lagi sakral? Kesakralan mereka toh tidak bisa dirasakan oleh para wisatawan. Di saat Alun-alun Kidul berubah menjadi tempat wisata, tidak ada lagi ritual sakral, yang ada hanya permainan-yang disebut masangin.

    Akhirnya, berapa sih harga sebuah mitos? Harganya sekadar Rp. 5.000, untuk penutup mata dan asik-asikan. Jadi, bagaimana mungkin saya tidak berhasil dalam masangin ketika saya sudah membeli mitosnya.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Guru Penjaga Peradaban: Refleksi Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0

    author = Apri Damai Sagita Krissandi

    Guru dalam bahasa Sanskerta terdiri dari kata Gu yang artinya gelap dan Ru yang artinya terang. Sisi gelap dan terang menjadi satu. Guru bisa mempunyai arti penyeimbang sisi gelap dan terang. Guru adalah gabungan dunia gelap dan terang yang memberikan arah menuju kebenaran. Guru dapat diartikan juga mengangkat sisi gelap menuju sisi terang. Mungkin dari situ muncul tokoh Batara Guru. Batara Guru adalah penguasa tiga dunia, dunia para dewa, dunia manusia, dan dunia bawah (setan). Batara guru dapat membukakan telinga manusia untuk melihat hal yang baik dan hal yang buruk.

    Pak Bakri tidak pernah lelah mengajar. Ia bingung akhir-akhir ini kepalanya sering pusing. Usut punya usut beliau yang saat ini berusia 58 tahun berusaha belajar mengakses internet untuk mendapatkan bahan ajar yang update. Ide itu ia dapatkan setelah mendatapkan pelatihan guru go-blog. Dia teringat pada masa muda dulu. Saat itu, ia mengajar dengan gaya orasi berapi-api ala Bung Tomo. Anak-anak terbelalak kagum. Sesekali ia bercerita tentang tokoh idolanya, Iwan Fals. Ia bercerita bahwa Iwan Fals adalah seseorang yang berani menyarakan hati wong cilik. Anak-anak menangkap api-api semangat sang guru muda. Ketika musim kapas, Pak Bakri mengumpulan klentheng dari buah kapas untuk media hitung-menghitung, kadang untuk bermain bas-basan, kadang untuk melempar siswanya yang ngantuk. Pak Bakri sering menyarankan anak-anaknya untuk bermain bersama-sama dan tidak boleh curang, ada gobak sodhor, benthik, sepak tekong, sunda manda, dan lain-lain. Bagi Pak Bakri, permainan tradisional membuat murid-muridnya senang dan guyub. Kali waktu yang lain anak-anak diminta untuk membantu Pak Warto, penjaga sekolah, untuk sekedar mencabuti rumput. Ia mengatakan bahwa Pak Warto sudah renta, sudah menjadi kewajiban kita untuk membantunya. Tidak hanya Pak Warto, anak-anaknya pernah diajak membantu mengangkat belanjaan Bu Wid-penjual bubur, memapah Mbah Bewok-penjual gulali yang kepleset di jalan becek, dan orang-orang lainnya yang membutuhkan bantuan. Pak Bakri tidak pernah mengajarkan berbuat baik ia hanya melakukan yang perlu dia lakukan, pun anak-anaknya terpatri hal itu. Kini tahun 2019, konon Revolusi industri 4.0 sedang berlangsung. Pak Bakri gamang, jiwanya menantang perubahan, hatinya tetap teguh belajar, fisiknya tidak.

    Kisah yang berbeda datang dari Jakarta Selatan. Sudah sepekan Pak Andre mengikuti pelatihan merancang media pembelajaran berbasis IT. Pada akhir pelatihan, ia diminta merancang sebuah game untuk pembelajaran matematika. Ia berjam-jam mengahadap laptop untuk mencari tutorial di youtube cara membuat game menggunakan macromedia flash. Hanya butuh sehari, Pak Andre menjadi ahli. Di Sekolah, game itu diuji. Game buatannya mengakomodasi minat murid-muridnya yang tumbuh dengan asuhan smartphone. Game matematika dilahap dengan singkat oleh murid-muridnya, penilaian secara otomatis langsung terekam, Pak Andre tak perlu koreksi. Ia mengabdikan diri untuk belajar teknologi pembelajaran. Segala temuan teknologi pendidikan terbaru dengan singkat ia kuasai. Pembelajaran di kelas diwarnai aplikasi kuis seperti kahoot, moodle, dan quizlet. Aplikasi belajar mandiri seperti seesaw, padlet, dan quipper video pun ia tuangkan dengan inovatif di kelas. Hasil ujian siswa melejit. Siswa sangat antusias menanti tantangan yang diberikan Pak Andre. Gairah kopetitif dan persaingan kreativitas memang mewarnai kelasnya. Pak Andre sadar betul hal itu. Kecepatan dalam menerima dan mengolah informasi secara kreatif menjadi target pembelajaran Pak Andre. Ia kerap meminta siswanya berkompetisi membuat produk kreatif hasil dari berselancar di internet. Ia memimpikan suatu saat muridnya dapat membuat smart product dan smart services yang dapat berguna bagi masyarakat.

    Pak Bakri adalah tetangga Boni. Pak Andre adalah paman Boni. Kebetulan atau tidak sekarang Boni menjadi mahasiswa keguruan. Ia bercita-cita menjadi guru. Kata banyak orang cita-cita Boni sederhana.

    Saat ini Boni semester 4 dan sedang menjalani magang yang mengharuskan dia mengobservasi kegiatan pembelajaran di kelas. Boni diminta belajar dari seorang guru pamong, Pak Budi. Pak Budi menjelaskan bahwa di era revolusi industri 4.0 ini pembelajaran harus mengarah pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Pak Budi menjelaskan pada Boni bahwa pada abad 21 ini keterampilan yang harus dimiliki siswa adalah 4C (communication, collaboration, critical thinking, dan creativity).  Suatu ketika pada pembelajaran PKn tentang keanekaragaman suku di Indonesia, salah seorang siswa memberikan pendapatnya tentang indahnya tato orang Mentawai. Siswa tersebut mengatakan jika tato itu harus jadi kebanggan Indonesia karena tatto Mentawai adalah salah satu tatto tertua di dunia. Sontak Pak Budi mengardik pendapat siswa tersebut. Pak Budi mengatakan bahwa tatto itu simbol kriminalitas. Murid itu langsung terdiam. Ia malu dan merasa salah. Boni, sang guru muda hatinya bergejolak karena apa yang dikatakan anak itu benar. Gambar tato Mentawai sempat viral dan dianggap sebagai tato tertua di dunia. Sebagai seorang guru magang hatinya bergejolak, dalam hatinya mempertanyakan makna critical thingking yang tadi pagi disampaikan Pak Budi kepadanya.

    Di Kampus Boni, Seminar-seminar pendidikan bernuansa revolusi industri 4.0 banyak diselenggarakan. Pembicaranya ahli-ahli. Boni sering ikut demi sertifikat syarat lulus. Katanya Indonesia sudah tertinggal dalam menyongsong revolusi industri 4.0. Kita masih dianggap melaksanakan revolusi industri 3.0 bahkan 2.0.  Ciri khas revolusi industri 4.0 adalah adanya sensor-sensor yang membaca data. Pembicara bercerita bahwa melalui sensor-sensor yang tersebar, data-data diolah dengan alogaritma tertentu dan menghasilkan artificial intelligece yang dapat melakukan perintah otomatis. Maka jangan heran kalau tiba-tiba ada orang yang menawarkan obat diabetes. Bisa jadi secara tidak sadar kita buang air di urinoir yang bersensor dan mengirim data yang terhubung dalam big data dan tiba-tiba perusahaan obat tahu bahwa air seni kita menunjukkan potensi diabetes secara otomatis mengirimkan iklan obatnya. Boni menelaah kata-kata itu big data dan artificial intelligece. Dia baru ingat suatu ketika ia parkir di suatu mall tiba tiba dapat sms iklan promo donat di mall itu, yang ia heran adalah mengapa pihak mall bisa tahu nomornya. Boni menjadi sadar bahwa Hpnya memancarkan sensor yang tertangkap teknologi di mall itu dan langsung dikirimi pesan promo, yeaaah. Selamat datang di era revolusi industri 4.0.

    Kecanggihan ini menuntut konsekuensi. Setiap tanggal 1 Mei buruh teriak mayday-mayday “tolong-tolong”. Buruh-buruh semakin terdesak dengan kecanggihan mesin-mesin. Biasanya mereka berbaris memasang label kemasan minuman, sekarang pekerjaan mereka telah digantikan secara efektif oleh mesin. Buruh yang tersisa adalah buruh checking, meneliti kesalahan produksi, dan memantau mesin yang panas. Tidak hanya buruh, satpam digantikan CCTV yang mendeteksi kerawanan secara otomatis. CCTV dilengkapi pemindai wajah, maka dia akan memberi tahu jika ada wajah asing berkeliaran di area pabrik. Baru-baru ini sebuah perusahaan konstruksi di Jerman dapat membangun gedung di Korea melalui alat berat yang terkoneksi internet. Mereka mengoprasikan alat-alat berat dari jarak jauh.

    Boni masih asik mengikuti diskusi seminar yang mulai merujuk pada dunia pendidikan. Pembicara menggambarkan dunia pendidikan ke depan. Pendidikan dengan nuansa digital semakin kental. Pembelajaran melalui media video mulai banyak digemari. Seperti pekerjaan konstruksi yang bisa dikerjakan jarak jauh. Guru nantinya juga bisa mengajar jarak jauh. Siswa belajar dengan cara yang berbeda. Tujuan belajar siswa pun berubah. Ia membayangkan bahwa belajar tidak harus bertatap muka. Belajar bisa dari rumah, bisa dari WC, bisa dari atas pohon. Dampaknya adalah profesi guru akan semakin berkurang. Biasanya dalam satu kelas diajar seorang guru, bayangkan jika kelasnya virtual, maka satu guru dapat mengajar ratusan bahkan ribuan siswa sekaligus. Hanya guru berkualitaslah yang dapat bertahan. Boni yang notabene calon guru jadi kepikiran. Ia teringat kisah Pak Bakri dan Pak Andre, dia juga terbayang Pak Budi. Pak Bakri dan Pak Andre adalah kisah ideal, Pak Budi adalah realitas. Mereka adalah guru yang baik, tetapi tidak semua guru baik dapat bertahan di zaman ini. Boni memiliki tiga pilihan, menjadi Pak Bakri yang menyasar hati, menjadi Pak Andre yang merengkuh teknologi, atau menjadi Pak Budi yang realistis.

    Boni merenung-renung. Ia teringat Pak Budi yang berapi-api ketika menjelaskan tantangan abad 21 kepadanya tetapi menjadi orang yang sangat kolot dalam memaknai tato. Anomali ini banyak terjadi. Guncangan budaya memang melanda guru-guru. Boni berkesimpulan, guru perlu merengkuh perubahan dengan optimis dan berpikiran terbuka. Peka dalam mendengar perubahan, tidak menghindari kerumitan berpikir. Jika perlu diskusi panjang, diskusilah. Jika tidak tahu jawabannya, berbesar hatilah. Kenalilah dunia siswa. Kenali film yang populer saat ini. Kenali artis Korea idaman mereka. Kenali restoran yang sedang trending di Instagram. Generasi milenial memiliki pencapaian yang berbeda. Rengkuhlah hatinya dengan berpikiran terbuka, setelahnya ajaklah mereka untuk menemukan prinsip-prinsip hidup yang hakiki. Setidaknya inilah kritik Boni terhadap Pak Budi. Pak Budi adalah gambaran umum guru-guru saat ini. Guru yang memahami konsepnya teapi sulit melakukannya.

    Boni merasa tidak secakap Pak Andre dalam teknologi, teknologi berkembang cepat sekali, arusnya terlalu deras. Boni merenung kembali. Kesadaran porsi akan kebutuhan adalah kunci. Guru perlu mengadaptasi teknologi dengan bijak. Jika arusnya terlalu deras, gurulah yang menjadi tanggul, jika lajunya sangat kencang gurulah yang harus menjadi remnya, jika terlalu dingin gurulah yang harus menyulut bara, jika terlalu panas gurulah yang menyejukkan. Seminar di kampus mengingatkan Boni bahwa revolusi industri 4.0 memang menuntut kolaborasi antara manusia dan teknologi. Teknologi bukan lagi “budak” tetapi partner atau rekan. Pilihlah rekan kerja yang baik dan sesuai, tidak harus berpartner dengan semua teknologi. Kesibukan merengkuh teknologi dapat menghilangkan esensi. Maka esensinya dipahami, teknologinya baru dicari. Boni sedikit ingat satu berita bahwa beberapa pendiri google tidak membiarkan anak-anaknya menggunakan HP sebelum 14 tahun. Mereka percaya bahwa imajinasi dan kreativitas dapat telatih maksimal ketika keadaan sangat terbatas. Boni ingat juga ketika ia membaca novel Harry Potter, imajinasinya lebih liar dan hebat dibanding penggambaran visual di filmnya yang terbatas.

    Akhirnya Boni terbayang Pak Bakri yang memakai hati. Begitu lama Boni merenung. Ia membayangkan Pak Bakri. Sebagai tetangga, Boni pernah mendapat les gratis dari Pak Bakri. Boni sering berkaca-kaca jika mendengar cerita Pak Bakri dari muridnya atau dari kawan yang mengenal Pak Bakri. Pak Bakri tidak lekang oleh zaman. Pak Bakri hidup di sanubari setiap siswanya. Jika saja Pak Bakri masih mampu, Boni yakin beliau akan berjuang belajar teknologi. Pak Bakri adalah pribadi yang terlibat. Ia melibatkan diri pada lingkungan dan zamannya. Hati dan naluri yang menggerakkannya. Ia membukakan mata siswanya pada realitas yang tidak selalu indah sekaligus ia mengajak bertindak menuju kebaikan. Pak Bakri mengajak siswanya melihat gelap sekaligus terang seperti arti kata guru. Teknologi juga perlu hati, maka kembalilah pada yang hakiki.

    Boni berkesimpulan bahwa guru yang akan bertahan di era distrupsi adalah guru yang memiliki kualitas diri baik sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Peradaban akan berubah. Ketika semua orang berpacu dalam perubahan, di sinilah peran guru, menjaga perubahan tetap pada nilai-nilai kemanusiaan, menjaga karakter siswa, menjaga kewarasan, menjaga hati, menjaga manusia muda, menjaga peradaban seperti peran Batara Guru.

  • Goethe dan Miranda di Balik Triwarna Tiga Negara

    author = Averio Nadhirianto

    Mungkin sebagian besar dari kita menyadari bahwa bendera tiga negara Amerika Selatan, Ekuador, Kolombia, dan Venezuela memiliki desain yang sangat mirip satu sama lain. Apakah persamaan ini hanya satu kebetulan semata, atau memang ada cerita tersendiri di baliknya? Ternyata kesamaan desain bendera nasional mereka memang memiliki latar belakang historis dimana pada awal abad ke-19, tepatnya pada 1821, tiga negara ini pernah bersatu membentuk sebuah negara federasi bernama Gran Colombia.

    Federasi ini didirikan oleh  Simón Bolívar (24 Juli 1783 – 17 Desember 1830), salah satu dari Libertadores de América (pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan negara-negara Amerika Latin dari para conquistador Spanyol dan Portugis) sebagai perwujudan dari visi politiknya. Namun sayang, Gran Colombia ini hanya mampu bertahan selama 10 tahun sebelum mengalami perpecahan di tahun 1831. Perpecahan ini disebabkan oleh beberapa sebab, diantaranya perselisihan Bolívar dengan Francisco de Paula Santander, presiden Gran Colombia saat itu[1]T.H. Donghi, The Contemporary History of Latin America, Duke University Press, Durham, 1993. Hlm 92-93., menyangkut konstitusi negara, dan konflik berkepanjangan antara kaum federalis dan regionalis yang masing masing menginginkan sistem sentralisasi dan desentralisasi dalam sistem pemerintahan negara.

    Peristiwa bubarnya negeri ini ironisnya terjadi hanya berselang beberapa bulan pasca-kematian Bolívar pada Desember 1830 yang pada pidato terakhirnya sempat meminta rakyat Gran Colombia menjaga persatuan sepeninggalnya kelak. Perpecahan ini pada perkembangannya kemudian menghasilkan tiga negara yang kita kenal sekarang tadi (pada masa awal perpecahan, Kolombia bernama New Granada) dan Panama yang melepaskan diri dari Kolombia pada 1903.  

    Bendera pertama Gran Colombia pada masa awal berdirinya merupakan hasil desain dari salah satu pembebas (libertador) termasyhur lain yaitu Fransisco de Miranda (28 Maret 1750 – 14 Juli 1816). Desain Miranda berupa bendera triwarna (tricolour) horizontal kuning-biru-merah pertama kali dipakai untuk bendera Republik Venezuela yang pertama (1811-1812) sebelum dijadikan sebagai simbol negara Gran Colombia ketika mereka bersatu bersama Ekuador, Kolombia, dan Panama. Desain triwarna Miranda sendiri ternyata terinspirasi dari obrolan yang pernah dilakukannya dengan sastrawan sekaligus filsuf legendaris asal Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (28 Agustus 1749 – 22 Maret 1832), mengenai teori warna-warna primer pada tahun 1785.  

    Ya, ialah Goethe sang pengarang Faust dan roman Die Leiden des jungen Werthers (Penderitaan Pemuda Werther) yang legendaris itu. Ia menulis buku berjudul Zur Farbenlehre (Teori Warna-Warna) yang diterbitkan pada 1810, dua tahun setelah rilis Faust bagian pertama. Tidak seperti dua karyanya yang paling terkenal itu, Zur Farbenlehre adalah sebuah buku yang 100% ilmiah. Ia adalah hasil investigasi saintifik Goethe mengenai fenomena-fenomena yang melibatkan warna di dunia seperti aberasi kromatik, refraksi atau pembiasan cahaya, warna-warna komplementer, efek psikologis yang ditimbulkan dari warna dan bagaimana warna-warna tersebut dipersepsi oleh indra manusia dalam pelbagai keadaan berbeda.

    Goethe mengatakan kepada Miranda—dalam sebuah diskusi sambil makan malam yang digelar di Weimar pada 1785, saat itu Zur Farbenlehre masih dalam tahap awal pengerjaan—ketika mendengar kisah perjuangannya membebaskan rakyat Amerika Latin dari penjajahan bahwa “takdirmu adalah menciptakan tempat di wilayahmu dimana tidak ada warna-warna primer yang terdistorsi satu sama lain.[2]T. Marshall, A Flag Worth Dying For: The Power and Politics of National Symbols, Simon and Schuster, New York, 2017. hlm. 218. Seperti yang kita ketahui, biru, kuning, dan merah adalah termasuk jenis warna primer. Goethe berhasil meyakinkan Miranda, yang menyatakan ia (Goethe) mampu membuktikan bahwa “kuning adalah warna paling hangat, mulia, dan yang paling mendekati cahaya, biru adalah campuran kegembiraan dan ketenteraman, merah adalah bentuk peninggian (exaltation) dari kuning dan biru, sintesis, lenyapnya cahaya ke dalam bayangan.[3]T. Marshall, Ibid.

    Lebih lanjut, Miranda berujar  “Sebuah negara berawal dari satu nama dan satu bendera, kemudian “ia” (nama dan bendera itu) bergabung menjadi “mereka”, ibarat seorang manusia yang memenuhi takdirnya.[4]T. Marshall, Ibid. Akhirnya desain Miranda tersebut hingga kini menjadi dasar dari wujud triwarna tiga bendera Ekuador, Kolombia, dan Venezuela yang kita kenal. Bendera-bendera tersebut menjadi salah satu dari sekian banyak warisan abadi Goethe untuk dunia.

     

    Daftar Pustaka:

    Fun Flag Facts, ‘Equador, Venezuela, and Colombia: A love of primary colors’ (Daring) 7 Agustus 2015
    J.R. Adams, Liberators, Patriots and Leaders of Latin America: 32 Biographies, 2nd edition, McFarland & Company, Inc., Publishers, London, 2010.
    R.S. Hardjapamekas, Pengantar Sejarah Kesusasteraan Jerman, Pustaka Jaya, Bandung, 2003.
    T. Marshall, A Flag Worth Dying For: The Power and Politics of National Symbols, Simon and Schuster, New York, 2017.
    T.A. Meade, A History of Modern Latin America – 1800 to the Present, Wiley&Blackwell, West Sussex, 2010.
    T.H. Donghi, The Contemporary History of Latin America, Duke University Press, Durham, 1993.

    References

    References
    1 T.H. Donghi, The Contemporary History of Latin America, Duke University Press, Durham, 1993. Hlm 92-93.
    2 T. Marshall, A Flag Worth Dying For: The Power and Politics of National Symbols, Simon and Schuster, New York, 2017. hlm. 218.
    3, 4 T. Marshall, Ibid.

  • Yang Patut Dikagumi Dari Dwi Hartanto

    author = Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    Saya lupa, apakah itu di Layar Emas RCTI atau Bioskop TransTV atau dari rental VCD bajakan. Yang kuat di ingatan saya sepuluh tahun lampau hanyalah: (1) pemeran utamanya main juga di Titanic, (2) ada banyak tips jitu menggaet gadis-gadis cantik, dan (3) adalah fakta bahwa kepercayaan diri merupakan senjata terhebat yang diciptakan Tuhan untuk manusia.

    Berselang tahun, berselang pula pengetahuan saya. Jelas sudah akhirnya bahwa yang saya tonton itu bukanlah perjalanan hidup Hugh Hefner pendiri Playboy, bukan pula Howard Hughes miliarder pencipta pesawat Hercules, melainkan Frank Abagnale Jr., seorang pilot, pengacara, dokter, sipir, dan empat identitas lainnya yang ternyata palsu. Kisahnya diabadikan oleh Steven Spielberg dalam film Catch Me If You Can. Diperankan dengan ganteng oleh Leonardo Dicaprio, dan ditemani oleh Tom Hanks yang tetap fenomenal meski tanpa Wilson.

    Walau bukan Hugh Hefner atau Howard Hughes, Frank Abagnale—di film itu—juga sama-sama dikerubungi gadis-gadis cantik dan saldo rekening unlimited. Hanya saja keduanya itu dimilikinya dengan cara paling menantang di dunia: menipu!

    Tak perlu berpanjang cerita, saya yakin pembaca sudah pernah menonton film tersebut. Jadi langsung saja ke ending: Oleh karena kepiawaiannya dalam pemalsuan cek bank, Frank Abignale dipekerjakan oleh FBI sebagai konsultan keamanan hingga akhirnya namanya melambung dan direkognisi lewat otobiografinya yang membuat Steven Spielberg terkagum-kagum sehingga lahirlah film Catch Me If You Can.

    Satu dekade berlalu, dan kenangan akan film itu terngiang lagi akhir-akhir ini. Penyebabnya adalah Dwi Hartanto, seorang mahasiswa TU Delft yang disebut-sebut sebagai The Next Habibie.

    Kendati tidak sefenomenal Frank Abignale, aksi Dwi Hartanto membuat saya terkagum-kagum. Betapa tidak, ia mengaku diri sebagai pemenang kompetisi riset teknologi antar-space agency dunia, memiliki tiga hak paten di bidang wahana antariksa, menjadi Direktur Teknik ESA/ESTEC (European Space Research and Technology Center), terlibat di ring-1 proyek roket satelit super-sensitif ultra-rahasia milik Airbus Defense, ISS, NASA, ESA, JAXA, NLR, DLR, UMR, KPR, Vega ZR, Ninja R, dan seterus-seterus-seterusnya. Kesemuanya itu diklaim dengan gagah berani tepat di bawah hidung cantik Najwa Shihab, peserta Visiting World Class Professor, wartawan-wartawan media massa nasional, sampai Presiden Ketiga Indonesia Pak BJ. Habibie. Untungnya ia tidak sempat mengaku sebagai manager Kelompok Penerbang Roket. Bisa mati muda dia.

    Saya agak gelisah dengan banyaknya komentar di media sosial dan publikasi media nasional yang menyebut bahwa aksi manipulasi tipu-menipu Dwi Hartanto adalah wujud rendah diri yang kemudian disimpulkan sebagai bentuk kebutuhan akan pengakuan. Bahkan media anti mainstream mainstream club sekelas mojok.co turut melihatnya dari sudut pandang yang sedemikian lugu.

    Terlepas dari aksi manipulasi yang mungkin ditirunya dari Papa Setnov Kalashnikov, seorang Dwi Hartanto patut untuk saya kagumi. Saya pribadi pasti gemetaran disorot oleh mata Mbak Najwa, telapak tangan basah, mengetuk-ngetuk kaki, bahkan bila yang saya ucapkan adalah kebenaran firman Tuhan.

    Seperti jutaan pemuda lain yang kurang berpendidikan dari ujung Pulau Weh sampai Pulau Rote, saya mengidap gagap bawaan bernama inferiority complex. Suatu lack terhadap self-worth.

    Saya bukan orang yang paham disiplin ilmu psikoanalisis. Tapi mungkin iya bahwa kompleks rendah diri memicu keinginan berlebihan seseorang untuk menggaet seabrek prestasi spektakuler guna mencapai pengakuan sosio-eksistensialistis, persis seperti yang tampak pada kasus Dwi Hartanto. Namun sistematika itu tampaknya terlalu sederhana. Bagi mereka yang mengidap penyakit laten kompleks rendah diri—apalagi yang generatif turun-temurun—berbohong dengan melebih-lebihkan kondisi adalah kesulitan yang anumerta.

    Keputusasaan yang parah sudah cukup membuat seorang rendah diri menderita. Ia cenderung melarikan diri dari kesulitan ketimbang menantang masalah rendah dirinya dengan gagah berani. Dalam kasus Dwi Hartanto, dengan taraf IQ-nya sebagai seorang kandidat doktor, saya rasa sudah cukup untuk menyadari bahwa setiap kebohongannya akan membuat dirinya diancam oleh masa depannya sendiri. Jadi, bila benar Dwi Hartanto mengalami permasalahan minder, rasanya mustahil sanggup bertatap muka mempecundangi mantan presiden yang terkenal jenius dan sangat berpengaruh. Dalam kasus kompleks rendah diri, mungkin cuma manusia sekelas Napoleon yang berhasil melewati kompleksitas itu dengan gilang-gemilang seperti yang dicontohkan Alfred Adler. Dan saya yakin Dwi Hartanto belum sekelas Napoleon.

    Dalam banyak fakta yang ada di zaman now ini, manusia-manusia rendah diri mendapat kemujuran untuk tampil—bahkan gila tampil—lewat media sosial. Bagi sebagian yang masih ragu, mereka tampil memakai avatar dan/atau akun abal-abal. Bagi yang agak yakin, mereka tampil dengan profilnya sendiri, membagi-bagi foto selfie, berbagi status ceria dan glamor. Di lini chating sepertinya si doi anak yang asyik, rame ulala berjuntai-juntai, namun ketika dijumpai secara nyata, orangnya ternyata pendiam dan lumalu cingkucing. Di whatsapp bicaranya selangkangan, tapi waktu kopi darat, malah ngudek-ngudek es teh. Tak perlu disangsikan, ini fakta. Bahkan mungkin kita sendiri bagian darinya. Ya, sudahlah.

    Dengan pekerjaan saya yang kerap bersinggungan dengan pemuda dan mahasiswa (terutama di luar Jawa), kurangnya keberanian akibat rendahnya kepercayaan diri adalah isu paling pertama yang saya jumpai dan menggelisahkan hati. Kalau diperhatikan, para pemuda atau mahasiswa yang menjuarai atau menjadi delegasi wakil daerah orangnya selalu itu-itu saja. Kalau bukan orang itu, pasti temannya si itu.

    Dari kegelisahan itulah saya berdiri di sudut ini memandang kagum pada keberanian dan kepercayaan diri seorang Dwi Hartanto. Sesuatu yang bila digunakan secara positif akan sangat mempengaruhi kesuksesan seseorang. Banyak saya temui—terutama pada mahasiswa saya—orang-orang yang punya potensi intelektual tapi tidak berani mengutarakan isi hatinya. Jangankan menghadapi ribuan peserta Visiting World Class Professor, mengangkat tangan untuk menyanggah pernyataan dosen yang keliru saja mereka bergeming. Matanya ke sana kemari mencari kawan. Jangankan menatap balik sorotan mata Mbak Najwa, menatap mata dosennya ketika FGD saja sudah mbrebes mili. Jangankan bertemu dengan BJ Habibie, mendatangi bapaknya pacar untuk apel malam minggu saja perlu rokok dua bungkus baru berangkat. Tak perlu disangsikan, ini fakta.

    Seandainya mereka—juga saya—memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang sama seperti yang dimiliki Dwi Hartanto, pastilah hidup ini lebih indah. Masuk kelas tanpa rasa khawatir ditunjuk dosen menjawab soal. Membela diri di depan penonton tanpa tremor. Datang apel untuk bertanding catur dengan calon mertua. Dan banyak keindahan hidup lain-lainnya. Sampai akhirnya memahami pepatah bijak yang amat sulit dimengerti para pengidap kompleks rendah diri: “Ketidakpastian masa depan adalah takdir, tapi kekhawatiran adalah pilihan.”

    Seandainya saja orang-orang pintar, jujur, dan berintegritas di Indonesia ini memiliki keberanian dan kepercayaan diri seperti Dwi Hartanto, saya amat yakin The Next Habibie tidak hanya sekadar tajuk di channel-channel youtube.

    Ngomong-ngomong soal Habibie, saya teringat tayangan di TV Don Bosco Selamun sedang mewawancarai BJ Habibie dan anaknya, Ilham Habibie. Mereka bicara tentang kontinyuitas cita-cita teknologi dirgantara Indonesia, bahwa Ilham Habibie—yang sama hebatnya dengan bapaknya—sedang meneruskan proyek pesawat keren yang diidam-idamkan BJ Habibie sejak lama.

    Kata Pak Don, “Kalau lihat Mas Ilham, pak Habibie, mission accomplished?”

    Jawab Pak Habibie tegas, “NO!

    Pak Don tak berkedip. Tatapannya seakan ingin berkata wth!? namun yang keluar lebih santun, “Not yet?”  Sambil menjilat bibir.

    Pak Habibie ngotot menjawab, “No…!” lanjutnya, “Ilham is my son. But I have many of intellectual son!

    Lalu munculnya foto Dwi Hartanto yang diikuti tayangan profil singkatnya.

    Pak Don bertanya lagi, “Inikah yang termasuk yang anda bilang sebagai my intellectual son?”

    Mata Pak Habibie menyipit. Katanya, “Eemm.. itu grand son.”

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi