Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Yang Patut Dikagumi Dari Dwi Hartanto

author = Olav Iban
Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

Saya lupa, apakah itu di Layar Emas RCTI atau Bioskop TransTV atau dari rental VCD bajakan. Yang kuat di ingatan saya sepuluh tahun lampau hanyalah: (1) pemeran utamanya main juga di Titanic, (2) ada banyak tips jitu menggaet gadis-gadis cantik, dan (3) adalah fakta bahwa kepercayaan diri merupakan senjata terhebat yang diciptakan Tuhan untuk manusia.

Berselang tahun, berselang pula pengetahuan saya. Jelas sudah akhirnya bahwa yang saya tonton itu bukanlah perjalanan hidup Hugh Hefner pendiri Playboy, bukan pula Howard Hughes miliarder pencipta pesawat Hercules, melainkan Frank Abagnale Jr., seorang pilot, pengacara, dokter, sipir, dan empat identitas lainnya yang ternyata palsu. Kisahnya diabadikan oleh Steven Spielberg dalam film Catch Me If You Can. Diperankan dengan ganteng oleh Leonardo Dicaprio, dan ditemani oleh Tom Hanks yang tetap fenomenal meski tanpa Wilson.

Walau bukan Hugh Hefner atau Howard Hughes, Frank Abagnale—di film itu—juga sama-sama dikerubungi gadis-gadis cantik dan saldo rekening unlimited. Hanya saja keduanya itu dimilikinya dengan cara paling menantang di dunia: menipu!

Tak perlu berpanjang cerita, saya yakin pembaca sudah pernah menonton film tersebut. Jadi langsung saja ke ending: Oleh karena kepiawaiannya dalam pemalsuan cek bank, Frank Abignale dipekerjakan oleh FBI sebagai konsultan keamanan hingga akhirnya namanya melambung dan direkognisi lewat otobiografinya yang membuat Steven Spielberg terkagum-kagum sehingga lahirlah film Catch Me If You Can.

Satu dekade berlalu, dan kenangan akan film itu terngiang lagi akhir-akhir ini. Penyebabnya adalah Dwi Hartanto, seorang mahasiswa TU Delft yang disebut-sebut sebagai The Next Habibie.

Kendati tidak sefenomenal Frank Abignale, aksi Dwi Hartanto membuat saya terkagum-kagum. Betapa tidak, ia mengaku diri sebagai pemenang kompetisi riset teknologi antar-space agency dunia, memiliki tiga hak paten di bidang wahana antariksa, menjadi Direktur Teknik ESA/ESTEC (European Space Research and Technology Center), terlibat di ring-1 proyek roket satelit super-sensitif ultra-rahasia milik Airbus Defense, ISS, NASA, ESA, JAXA, NLR, DLR, UMR, KPR, Vega ZR, Ninja R, dan seterus-seterus-seterusnya. Kesemuanya itu diklaim dengan gagah berani tepat di bawah hidung cantik Najwa Shihab, peserta Visiting World Class Professor, wartawan-wartawan media massa nasional, sampai Presiden Ketiga Indonesia Pak BJ. Habibie. Untungnya ia tidak sempat mengaku sebagai manager Kelompok Penerbang Roket. Bisa mati muda dia.

Saya agak gelisah dengan banyaknya komentar di media sosial dan publikasi media nasional yang menyebut bahwa aksi manipulasi tipu-menipu Dwi Hartanto adalah wujud rendah diri yang kemudian disimpulkan sebagai bentuk kebutuhan akan pengakuan. Bahkan media anti mainstream mainstream club sekelas mojok.co turut melihatnya dari sudut pandang yang sedemikian lugu.

Terlepas dari aksi manipulasi yang mungkin ditirunya dari Papa Setnov Kalashnikov, seorang Dwi Hartanto patut untuk saya kagumi. Saya pribadi pasti gemetaran disorot oleh mata Mbak Najwa, telapak tangan basah, mengetuk-ngetuk kaki, bahkan bila yang saya ucapkan adalah kebenaran firman Tuhan.

Seperti jutaan pemuda lain yang kurang berpendidikan dari ujung Pulau Weh sampai Pulau Rote, saya mengidap gagap bawaan bernama inferiority complex. Suatu lack terhadap self-worth.

Saya bukan orang yang paham disiplin ilmu psikoanalisis. Tapi mungkin iya bahwa kompleks rendah diri memicu keinginan berlebihan seseorang untuk menggaet seabrek prestasi spektakuler guna mencapai pengakuan sosio-eksistensialistis, persis seperti yang tampak pada kasus Dwi Hartanto. Namun sistematika itu tampaknya terlalu sederhana. Bagi mereka yang mengidap penyakit laten kompleks rendah diri—apalagi yang generatif turun-temurun—berbohong dengan melebih-lebihkan kondisi adalah kesulitan yang anumerta.

Keputusasaan yang parah sudah cukup membuat seorang rendah diri menderita. Ia cenderung melarikan diri dari kesulitan ketimbang menantang masalah rendah dirinya dengan gagah berani. Dalam kasus Dwi Hartanto, dengan taraf IQ-nya sebagai seorang kandidat doktor, saya rasa sudah cukup untuk menyadari bahwa setiap kebohongannya akan membuat dirinya diancam oleh masa depannya sendiri. Jadi, bila benar Dwi Hartanto mengalami permasalahan minder, rasanya mustahil sanggup bertatap muka mempecundangi mantan presiden yang terkenal jenius dan sangat berpengaruh. Dalam kasus kompleks rendah diri, mungkin cuma manusia sekelas Napoleon yang berhasil melewati kompleksitas itu dengan gilang-gemilang seperti yang dicontohkan Alfred Adler. Dan saya yakin Dwi Hartanto belum sekelas Napoleon.

Dalam banyak fakta yang ada di zaman now ini, manusia-manusia rendah diri mendapat kemujuran untuk tampil—bahkan gila tampil—lewat media sosial. Bagi sebagian yang masih ragu, mereka tampil memakai avatar dan/atau akun abal-abal. Bagi yang agak yakin, mereka tampil dengan profilnya sendiri, membagi-bagi foto selfie, berbagi status ceria dan glamor. Di lini chating sepertinya si doi anak yang asyik, rame ulala berjuntai-juntai, namun ketika dijumpai secara nyata, orangnya ternyata pendiam dan lumalu cingkucing. Di whatsapp bicaranya selangkangan, tapi waktu kopi darat, malah ngudek-ngudek es teh. Tak perlu disangsikan, ini fakta. Bahkan mungkin kita sendiri bagian darinya. Ya, sudahlah.

Dengan pekerjaan saya yang kerap bersinggungan dengan pemuda dan mahasiswa (terutama di luar Jawa), kurangnya keberanian akibat rendahnya kepercayaan diri adalah isu paling pertama yang saya jumpai dan menggelisahkan hati. Kalau diperhatikan, para pemuda atau mahasiswa yang menjuarai atau menjadi delegasi wakil daerah orangnya selalu itu-itu saja. Kalau bukan orang itu, pasti temannya si itu.

Dari kegelisahan itulah saya berdiri di sudut ini memandang kagum pada keberanian dan kepercayaan diri seorang Dwi Hartanto. Sesuatu yang bila digunakan secara positif akan sangat mempengaruhi kesuksesan seseorang. Banyak saya temui—terutama pada mahasiswa saya—orang-orang yang punya potensi intelektual tapi tidak berani mengutarakan isi hatinya. Jangankan menghadapi ribuan peserta Visiting World Class Professor, mengangkat tangan untuk menyanggah pernyataan dosen yang keliru saja mereka bergeming. Matanya ke sana kemari mencari kawan. Jangankan menatap balik sorotan mata Mbak Najwa, menatap mata dosennya ketika FGD saja sudah mbrebes mili. Jangankan bertemu dengan BJ Habibie, mendatangi bapaknya pacar untuk apel malam minggu saja perlu rokok dua bungkus baru berangkat. Tak perlu disangsikan, ini fakta.

Seandainya mereka—juga saya—memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang sama seperti yang dimiliki Dwi Hartanto, pastilah hidup ini lebih indah. Masuk kelas tanpa rasa khawatir ditunjuk dosen menjawab soal. Membela diri di depan penonton tanpa tremor. Datang apel untuk bertanding catur dengan calon mertua. Dan banyak keindahan hidup lain-lainnya. Sampai akhirnya memahami pepatah bijak yang amat sulit dimengerti para pengidap kompleks rendah diri: “Ketidakpastian masa depan adalah takdir, tapi kekhawatiran adalah pilihan.”

Seandainya saja orang-orang pintar, jujur, dan berintegritas di Indonesia ini memiliki keberanian dan kepercayaan diri seperti Dwi Hartanto, saya amat yakin The Next Habibie tidak hanya sekadar tajuk di channel-channel youtube.

Ngomong-ngomong soal Habibie, saya teringat tayangan di TV Don Bosco Selamun sedang mewawancarai BJ Habibie dan anaknya, Ilham Habibie. Mereka bicara tentang kontinyuitas cita-cita teknologi dirgantara Indonesia, bahwa Ilham Habibie—yang sama hebatnya dengan bapaknya—sedang meneruskan proyek pesawat keren yang diidam-idamkan BJ Habibie sejak lama.

Kata Pak Don, “Kalau lihat Mas Ilham, pak Habibie, mission accomplished?”

Jawab Pak Habibie tegas, “NO!

Pak Don tak berkedip. Tatapannya seakan ingin berkata wth!? namun yang keluar lebih santun, “Not yet?”  Sambil menjilat bibir.

Pak Habibie ngotot menjawab, “No…!” lanjutnya, “Ilham is my son. But I have many of intellectual son!

Lalu munculnya foto Dwi Hartanto yang diikuti tayangan profil singkatnya.

Pak Don bertanya lagi, “Inikah yang termasuk yang anda bilang sebagai my intellectual son?”

Mata Pak Habibie menyipit. Katanya, “Eemm.. itu grand son.”

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi