Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Incipit Vita Nova: Epilog Akhir Penuh Harapan

author = Bambang Widyonarko

“Manusia
modern adalah wujud dari binatang yang berevolusi sempurna”
, kata-kata itu dikemukakan oleh
Darwin jauh sebelum Harari berteori. Darwin menjelaskan bahwa manusia adalah
bentuk paling mutakhir dari berbagai macam homo
yang hidup di bumi ini. Secara morfologis dan biologis, manusia telah
membuktikan adaptasi alamiah membuat mereka tetap eksis hingga beranak-pinak
memenuhi seisi dunia. Manusia juga yang telah menjelma sebagai predator puncak
alam semesta, ia tak terkalahkan oleh apapun. Para aristotelian menganggap
manusia dengan ego-nya yang menggerakan alam semesta, ia merupakan pusat kosmik
jagat raya. Namun, terkadang peradaban manusia harus goyah kala diguncang musuh
yang tak kasat mata bernama penyakit. Sejalan dengan sejarah hidup manusia,
penyakit itu melekat padanya.

Black Death atau kematian hitam adalah pelajaran
pertama manusia menyikapi suatu penyakit. Wabah ini awalnya dianggap sebagai
penyakit biasa yang diacuhkan oleh otoritas gereja. Pada masa itu, supremasi
utama kehidupan masyarakat Eropa berada di tangan Gereja Katolik. Gereja ini
memerintah atas nama Tuhan alih-alih bersembunyi melanggengkan aristokrasi para
bangsawan. Gereja pula yang berpendapat penyakit ini sebagai kutukan hingga
berbondong-bondong manusia datang untuk mohon pertobatan. Penghakiman masal
atas siapapun yang dituduh sebagai ahli sihir jamak dilakukan. Hingga sejarah
mencatat lebih dari 50 juta penduduk dunia musnah akibat wabah tersebut.

Kolonialisme yang bercokol di Hindia Timur juga tak luput
digoncang pandemi. Ketakutan orang Belanda terbesar adalah para inlander itu akan menularkan penyakit
kepada mereka. Hindia Timur adalah harapan sekaligus neraka bagi orang kulit
putih. Orang Belanda menganggap pribumi sebagai pangkal dari penyakit frambusia, malaria, hingga kolera.
Tatapan rasial dan sinis  mereka atas
pribumi itu dibantah keras oleh Wallace, orang yang merupakan bagian dari
bangsa kulit putih sendiri. Alih-alih menyalahkan pribumi, justru seharusnya
manusia Eropa berkaca terhadap dirinya sendiri mengapa mereka datang ke negara
tropis dengan membawa kulit sub-tropik mereka?

Pandemi Flu Spanyol tahun 1918 yang menjadi catatan hitam
pemerintah kolonial dalam menghadapi wabah, juga patut dibaca ulang. Ravando
Lie, seorang sejarawan mengemukakan bahwa pada awalnya pemerintah kolonial
menganggap remeh penyakit ini dengan sebutan ‘influenza biasa’. Hal ini
kemudian harus ditebus dengan kematian 900.000 orang di Hindia Belanda selama
Agustus-November 1918. Sejarah mencatat semuanya sebagai bentuk pengabaian dan
kelalaian yang cenderung arogan dalam menyikapi pandemi.

Tak ubahnya saat ini, saat seorang Luhut Binsar Panjaitan dengan mudahnya mengkalkulasikan jumlah kematian yang menurutnya masih kurang untuk ukuran Indonesia. Sungguh prediksi mulia melebihi judi bola untuk menghitung orang yang mati. Kematian hanya menjadi angka yang dilukis menjadi kurva statistika. Kematian pula yang membuka mata bahwa ada negara yang buta, melihat manusia hanya sebagai data.

***

Dante mengajakku berwisata menengok inferno hingga
purgatorio. Sudah dua puluh hari aku bersamanya. Tak pernah kubayangkan sebelumnya,
bila sepanjang bulan Maret-April 2020 adalah hari-hari paling berharga dalam
hidup. Sepuluh hari pertama aku habiskan bercengkrama dengan Dante yang
meminjamkan sebuah benda bernama kacamata kematian. Kacamata ini memperjelas
penglihatanku siapa yang pergi, siapa yang datang. Aku masih sangat lunglai
saat itu. Sesak nafas bak orang dicekik, demam tinggi diiringi rasa sakit di
bagian punggung laksana tulang ini dipreteli
satu-persatu, dan tenggorokan yang sakit seperti pemain jathilan yang makan beling tapi tak kesurupan merupakan kombinasi
mantap untuk memeluk kematian. Hal itu membuat aku berniat mengembalikan
kacamata itu ke Dante. “Jangan, pakai saja dulu”, sergahnya padaku. Aku melihat
tubuh-tubuh pucat itu dibalut plastik lalu dimasukan ke dalam tabung
transparan. Tak berapa lama takbir kecil penanda shalat jenazah bergaung di
depan ruang isolasi. Mereka sudah selesai kata Dante.

Jum’at Agung itu aku berdiam diri menyaksikan misa Paus
Fransiskus di Vatikan. Misa agung ini terlampau sunyi bertabur haru. Paus tak
menyelenggarakan prosesi Jalan Salib sebagaimana biasanya. Ia juga tak
mengambil homili terakhir tahun ini. Tak ada riuh rendah orang menunggu Sri
Paus keluar untuk menyapa kerumunan di St. Petersburg, hanya pendar-pendar
cahaya Kudus yang tersemat dalam sanubari.

Aku membayangkan rumah sakit akan dipenuhi oleh orang-orang
sepertiku. Di saat ketidakjelasan negara dalam menentukan kebijakan, diasapi
pula oleh pernyataan dari pejabat negara yang pandir, ditambah beberapa manusia
bebal yang tak kunjung mengerti bahaya yang dihadapi, penuh sudah pikiranku
saat itu. Jakarta nyatanya masih ramai kutengok lewat gawai. Sebagian terhimpit
oleh perut, selebihnya bodoh akut, lalu mereka pikir bisa memperdaya maut.

Selepas Paskah, tubuhku beranjak sehat laksana Yesus menebusnya di Golgota. Ia membawa terbang penyakit itu seraya kebangkitan-Nya. Seorang mentor di Leiden berujar padaku, “Tinggalkan Dante, sekarang kisahmu adalah Ashabul Kahfi”. Ya, aku merasa sudah terpenjara dalam gua. Gua keheningan yang hanya aku sendiri di sana. Tanpa pelita, sedikit berkas sinar, hanya berusaha tertidur hingga semuanya usai. Aku sadar, aku adalah tokoh kedelapan dalam kisah itu, Kitmir!

***

Banyak kawan di luar sana mengucapkan selamat bahwa aku
sudah menang melawan penyakit ini. Namun aku selalu bilang tidak!

Tak pantas rasanya mendaku menang saat kulihat sendiri
banyak yang tak bisa bertahan. Menyerah pada kematian bukanlah pilihan, tapi
bertahan hidup di kala sekarat juga tak bisa dipastikan. Ini hanya bagian dari
lotre kehidupan. Mereka yang keluar gelanggang, mungkin bersama Dante
bersenang-senang di surga sana. Lagipula, masih banyak kawan-kawanku senasib
sepenanggungan yang belum keluar undiannya. Aku berharap mereka mendapat jackpot layaknya diriku sehingga bisa
merenda dosa kembali di dunia.

Naif juga rasanya mengucap syukur dan terima kasih pada
Tuhan bahwa aku telah diselamatkan oleh-Nya. Bukankah itu merupakan bagian dari
permainan-Nya?

Lantas Tuhan juga pasti akan
berkata, “Untuk hal ini saja kau bersyukur, sedangkan nikmat-Ku yang lain kau
kufur!”. Maaf Tuhan, aku janji kali ini akan giat beribadah kembali supaya
wajah-Mu tak cemberut seperti ini. Terima kasih untuk instruksi-Mu pada Izrail
demi menunda kepulanganku sehingga aku masih bisa memesan sepiring nasi kapau
kesukaanku.

Untuk para dokter dan perawat, mereka bukan hanya sekedar
pahlawan bak superhero rekaan Marvel.
Bagiku mereka adalah batara langit yang diutus menebar wangi khayangan pada
umat manusia. Diikuti oleh dayang-dayang yang senantiasa menambah semerbak
wangi nirwana, berturut-turut mereka adalah: petugas gizi dengan makanan
sehatnya, petugas radiologi, pegawai administrasi rumah sakit, supir ambulan, cleaning service, dan satpam rumah
sakit. Untuk rombongan khayangan ini, kidung terindah kulantunkan bagi mereka.

Seburuk apapun dirimu, keluarga akan tetap memelukmu dengan
hangat. Aku merasa aku memiliki dua rumah dan dua keluarga. Keluarga pertamaku
tinggal di sebuah komplek yang selalu kebanjiran, satunya lagi di komplek
polisi perairan. Keduanya sama-sama banjir. Banjir kasih sayang. Pun begitu,
aku tak menafikan bantuan dan dukungan dari segenap sanak saudara serta handai
taulan yang sangat perhatian. Memelukku dari jauh seraya berdo’a penuh.

Aku bersyukur sempat dipertemukan Tuhan oleh Yogyakarta. Kota
sejuta makna dengan manusia-manusia utama. Para guru-guruku di Kampus Gadjah
Mada yang selalu memantau kondisiku, kawan-kawan kuliah yang tak terhitung
jumlah dan ketulusan hati mereka, hingga senior-senior yang selalu menahan diri
ini berkata “sampun cekap”. Kawat
dari Bekasi, Bandung, Semarang, Leiden, Bristol, Melbourne, Köln, Leipzig
hingga Tokyo menyesaki gawai. Berlomba memompa semangat diiringi pelukan hangat
dari seorang sejarawan di pinggir Kali Bengawan. Sang sejarawan selalu
mengawali pagi dengan, “Belum nyerah kan? Para dewa batara di Suralaya tentu
geleng kepala!”. Aku menyebut mereka dengan nama ‘Malaikat Mataram’. Tak lupa,
ucapan terima kasih aku persembahkan pada kawan-kawan masa kecil dan teman
nakal semasa sekolah di Jakarta. Kehidupan Priok yang keras, membuat aku
belajar untuk sulit tunduk pada kekuasaan, apalagi kuasa penyakit.

Tentu ucapan terima kasih ini hanya sebagian kecil dari
banyak kata yang tak sanggup terucap. Bukan pula untuk mengecilkan atau
menafikan dukungan dari siapapun yang tak tertulis di sini. Sekali lagi,
tulisan ini adalah bagian dari verba
volant, scripta manent
. Monumen hidup atas apa yang terjadi dalam kurun
waktu tertentu.

Terakhir, untuk Redaksi Kibul.in yang mau memuat trilogi
kecil pengalamanku sehingga bisa dibaca khalayak, danke sehr. Terutama mas Asef Saeful Anwar, sastrawan besar yang
bahkan bersua pun aku takut, mas Olav sang redaktur, dan mas Bagus Panuntun
yang sedang menetap di Aix-en-Provence (sial aku tak bisa mengejanya!),
meminjam kata-kata di Alkitab, “Upahmu besar di surga”.

Pada akhirnya epilog ini bukanlah suatu deklarasi
kemenangan. Apa yang perlu dirayakan atas kematian orang lain?

Tulisan ini hanya menjadi pengingat bagi diri ini bahwa bila hati ini sudah mulai meninggi, masih banyak tempatku untuk berhutang budi. Seperti kata salah seorang seniorku, incipit vita nova; dari sini segala hidup baru dimulai. Mulai dengan harapan setelah lolos dari kematian.

Rumah, enam hari menjelang Ramadhan
2020.