Author: kibulin

  • Gentayangan: Petualangan Perempuan Bangsa Dunia Ketiga

    author =










    Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu







    Intan Paramaditha







    Gramedia Pustaka Utama





    Oktober 2017






    460 hlm






    Rp125.000



    Iblis, dalam kepalamu sebelum membaca Gentayangan, adalah sesosok makhluk bangsat yang perjanjian dengannya hanya akan menimbulkan petaka. Kematian ganjil orang-orang yang kau cinta, misalnya. Namun, Gentayangan menjungkirbalikkan tatanan yang telah ditekankan padamu sejak kau baru saja bisa membaca dan sedang semangat-semangatnya menamatkan buku “Kisah 25 Nabi dan Rasul”. Iblis dalam novel ini, tetap licik, tetapi sangat, sangat manis. Ia tidak mengambil orang yang ‘Kau’-tokoh utama dalam novel ini-cinta-barangkali karena ‘Kau’ memang tak punya cukup cinta untuk orang lain-malahan menjadi budak ‘Kau’ dan memberinya sepasang sepatu merah yang bisa membuat ‘Kau’ berkelana.

    ‘Kau’ tidak ingin hidupnya mengikuti tradisi kebanyakan perempuan bangsa dunia ketiga dari kalangan menengah: kuliah, kerja secukupnya, kalau bisa jadi PNS saja-kalau pangkat sudah cukup tinggi, jam kerja tidak perlu selalu penuh, dengan demikian bisa mengurus anak. ‘Kau’ menginginkan petualangan. ‘Kau’ barangkali tidak akan pernah bisa mewujudkan petualangannya jika saja Iblis Kekasih yang manis tidak memberinya sepasang sepatu merah—dan uang sebagai bekal perjalanan. Apakah ‘Kau’, dan perempuan-perempuan bangsa dunia ketiga dari kalangan menengah seperti ‘Kau’, senantiasa membutuhkan makhluk semacam Iblis Kekasih untuk, katakanlah, keluar dari tradisi? Apakah makhluk yang dimaksud bisa berupa beasiswa untuk para perempuan bangsa dunia ketiga belajar di New York, dan pulang dengan ide-ide tentang kebebasan? Ya, dari sekian banyak kota indah nan menyihir di dunia, ‘Kau’ sayangnya belum bisa melepaskan diri dari kekaguman kepada ‘Barat’; ‘Kau’ kepingin ke Amerika dan Eropa.

    Ada lima belas jalan cerita yang kau tempuh dalam Gentayangan. Selama itu, pensil tidak lepas dari jari-jemarimu. Kau mencatat setiap kelokan, menandainya sehingga bisa kembali jika sewaktu-waktu tersesat. Dalam perjalan-perjalanan itu, ‘Kau’ bisa bertemu berbagai macam akhir; menikah, menetap, menjadi pembunuh, dibunuh, mati, dikutuk untuk mengulang dari halaman awal, dan ‘Kau’—atau para pembaca—juga bisa menuliskan perjalanan mereka sendiri.

    Di salah satu jalan, ‘Kau’ bertemu seseorang yang bercerita padanya tentang “Si Merah Salju”. Kau ingat pernah menemukan cerita yang sama hanya saja dalam bahasa yang berbeda, “Snow Red”. Kau berpikir bahwa “Snow Red” adalah penyimpangan dari “Snow White”, dongeng legendaris tentang perempuan cantik dengan kulit seputih salju. Ternyata tidak hanya itu. Si Merah Salju adalah Hekate, dewi ilmu sihir dan persimpangan jalan. Sosoknya, barangkali karena ia adalah dewi persimpangan jalan, ambivalen; ia dingin dan menjadi pertanda ke-‘gila’-an Ismail sebelum bunuh diri di satu bagian, tetapi menjadi ramah ketika muncul di bagian yang lain.

    Pada jalan yang lain, ‘Kau’ menikahi seorang laki-laki bernama Bob yang kemudian hilang. Hilangnya Bob mengantarkanmu pada “Klub Solidaritas Suami Hilang”. Dalam klub itu, para perempuan (dan laki-laki) yang kehilangan suami dari berbagai macam negara berkumpul. Cerita yang sama sebetulnya telah dipublikasikan pada tahun 2012. Dengan demikian, Gentayangan bagimu lebih seperti bongkar-pasang cerita daripada novel. Sebab barangkali hanya dengan cara itu penulisnya mampu menyampaikan sebanyak mungkin informasi; tentang dongeng-dongeng klasik, politik, musik, sejarah, film. Gentayangan, kau berpikir kemudian, sebagaimana karya-karya Intan Paramaditha lainnya, diciptakan untuk para pembaca sastra yang tidak hanya membaca untuk mendapatkan motivasi sehingga dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau beli baju baru saban lebaran. Gentayangan ditujukan-ini pikiran kau saja, dan orang lain boleh tidak sepakat-untuk orang-orang yang mau melakukan perjalanan, meninggalkan zona nyaman, bertemu dan membuka diri untuk ‘liyan’; untuk segala sesuatu di luar diri sendiri, juga untuk gagasan yang 180 derajat berbeda dari gagasan yang selama ini diyakini.

    Pendapat Anda:

  • Vagabond yang Membuat Noemi Lebih Dewasa

    author = Redaksi Kibul

    We could rise, or we could lost, but I’m still eager to find it out.

     

    Noemi, salah satu band indie rock asal Jogja akhirnya merilis single barunya berjudul Vagabond. Band yang saat ini terdiri dari Nudia Muntaza (Gitar), Ady Ekayana (Vokal), Garit Bhian (Drum), Adha M  Lauhil (Bass), Vandhita Pandu (Violin) dan juga Alangga DK (Gitar) merilis Vagabond setelah cukup lama vakum dalam proses berkarya sejak single pertamanya dirilis pada 2016.  Para personil Noemi menggunakan jeda waktunya selepas merilis single pertamanya yang berjudul “I Love You Too” untuk mendewasakan musiknya, Lagu “Vagabond” ini berbeda dengan single pertama kami yang bercerita tentang romansa, Vagabond lebih bercerita tentang sebuah usaha seseorang untuk mencari jati dirinya” jelas Nudia Muntaza, sang gitaris.

    Lirik Lagu “Vagabond” ini ditulis oleh Ady Ekayana, sang Vokalis yang kini lebih sering berada di Bali untuk meneruskan studi-nya. Adapun untuk recording lagu sendiri cukup memakan waktu yang cukup lama karena benar-benar dikerjakan di tengah kesibukan para personil. Recording dikerjakan di Interest Studio, dibantu oleh Billy Dinata untuk mixing dan mastering. Secara musikalitas, lagu Vagabond ini lebih banyak memunculkan ambience yang agak dominan, namun menghidupkan karakter vokal Ady Ekayana. Masuknya Alangga pada posisi Gitar pada awal 2017 memberi tambahan variasi sound di lagu lagu Noemi.

    Single ini akan menjadi awal permulaan penggarapan album pertama Noemi yang sempat tertunda. “Kesibukan vokalis kami, untuk melanjutkan studi di Bali, memaksa kami untuk membuat jeda dalam proses kreatif, namun setelah rilis single ini kami harap bisa melanjutkan proses penggarapan album pertama kami, karena itu juga salah satu target kami yang harus kami capai” ujar Adha M. Rencananya single ini akan diupload ke kanal digital seperti Spotify, Joox, Soundcloud, Itunes, dan juga Video Lirik akan tersedia di Youtube.

     

    Tentang Noemi :

    Noemi adalah band yang terbentuk tahun 2013 di Fakultas Ilmu Budaya UGM. sempat merilis lagu berjudul I Love You Too pada 2016. Mengambil genre Indie Rock dengan pengaruh dari  Radiohead, Coldplay, Hyukoh, Mew dan juga Efek Rumah Kaca. Hingga saat ini Noemi sering mengisi panggung di beberapa kampus di Jogja dan juga Kolektif Gigs.

     

    More info :

    Phone : 085652007080
    Twitter : @playnoemi
    Instagram : @playnoemi
    Soundcloud : soundcloud.com/playnoemi
    Youtube : Playnoemi

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

     

  • Little Sunny Girl: Tembang yang Mengusung Isu Perempuan

    author = Diani Kramer

    Bagai menyulam kelam, siang itu perkebunan karet menjadi saksi bisu seorang perempuan remaja berusia 14 tahun yang harus menelan pahit paling getir dalam hidupnya. Mimpi buruk apa yang lebih mengenaskan daripada mati dalam keganasan? Terlebih ia mati dalam ketakutan yang selalu menggerogoti pikiran semua kaum hawa: dilecehkan, direnggut kehormatan. Ia diperkosa oleh 14 remaja tanggung yang entah masih memiliki nurani atau tidak. Selanjutnya kita tahu bahwa gadis ini dibunuh dengan cara paling keji yang saya bahkan tak kuasa menuliskannya. Kita mengenal gadis itu sebagai Yuyun.

    Jujur, awalnya saya mengetahui berita ini dari postingan di sosial media yang memuat poster bergambar seorang perempuan tengah menggenggam sebuah kembang api kecil dan sebuah tipografi bertuliskan “Nyala untuk Yuyun”. Hal itu memantik saya untuk mencari berita pada media online.

    Ketika kabar ini diangkat media massa, masyarakat pun tak pelak merasa begitu geram. Telinga saya terasa ngilu luar biasa, tangan saya gemetar hebat sesaat setelah membaca berita tentang kepiluan yang dialami Yuyun. Kasus ini banyak menuai reaksi masyarakat, mereka mengecam, bahkan mengajukan tuntutan yang beragam, mulai dari menuntut hukuman yang seberat-beratnya kepada para pelaku hingga menuntut perubahan regulasi pada Undang-Undang Kekerasan dan Pelecehan Seksual. Jelas kasus ini sangat membuat resah dan gelisah banyak pihak, termasuk mengetuk hati seorang penyanyi folk asal Jakarta: Oscar Lolang. Ya, kegelisahan memang bisa dikonversikan dalam bentuk apapun, termasuk dalam sebuah lagu seperti yang dilakukan oleh Oscar Lolang.

    Pertengahan Januari lalu, Oscar Lolang penyanyi folk asal Jakarta merilis single bertajuk “Little Sunny Girl” setelah sebelumnya merilis single berjudul “Eastern Man”. Oscar memaparkan bahwa lagu ini adalah respon Oscar terhadap kasus pelecehan seksual yang menimpa Yuyun. Walaupun pada lirik Oscar menuangkan kegelisahan dengan membuat tema menjadi lebih umum, yaitu “domestic abuse” meski ia terinsprasi dari kasus Yuyun namun ia tak secara spesifik menuangkannya pada lirik lagu.

    Dengan alunan gitar serta vokal yang khas terbalut nuansa folk yang kental. Oscar sebagai penyanyi sekaligus penulis lagu, melantunkan elegi yang banyak dirasakan oleh para perempuan yang memilih bertahan dalam kebersamaan yang membelenggu. Bahkan, seperti tidak ada pilihan lain. Melepas penderitaan seolah seperti menarik pelatuk pistol yang ada pada lingkungan sekitar. Ini membuat saya tak hanya menikmati musik secara audio-visual, namun, penghayatan Oscar dalam melantunkan lagu, serta merta menularkan keresahan yang ada pada latar belakang pembuatan lagu.

    Jika menilik lirik pada lagu, pada bait pertama:

    Little Sunny Girl 
    I’ve known you since you were a toddler 
    And we grew up together 
    Now we’re 23 
    You’ve found your man for you to marry 
    Yes, I hope you’ll be happy

    Pada bait pertama, Oscar menceritakan seorang perempuan, dan ia menceritakan dengan menggunakan  sudut pandang orang pertama. Jelas pada bait pertama dijelaskan bahwa, mereka bersahabat dari kecil, dan di titik ini, di usia ke-23 perempuan tersebut menemukan calon suami, dan sebagai sahabat ia turut bersuka cita.

    He was a fine lookin’ man 
    He came from outta town 
    He was sweeter than any wine 
    You’ve known him for too long 
    I know it’s hard for you to say ‘no’ 
    When he came to propose 

    Pada bait ini, penggambaran sang pria pilihan di gambarkan dengan kesan yang sangat baik, dan bisa dikatakan bahwa pria ini nyaris sempurna, penegasan itu bisa kita dapatkan dari kata “He was sweeter than any wine”, dan seperti nya tidak ada alasan untuk menolak pria ini, dapat dilihat dari kalimat “I know it’s hard for you to say ‘no’ / When he came to propose.”

    He cracked that egg with his feet 
    You both walked to your fancy seats 
    And you said, Thanks my dear friend 
    You slept in his bed 
    And after that he bumped your head 
    To the walls of his parent’s place 

    Pada bait sebelumnya, semua seolah berjalan sempurna, tidak ada keganjilan yang terendus. Dan pada bait ini saya sempat membayangkan sebuah pernikahan yang sangat indah dan pastinya bisa membuat saya iri seolah berjalan dengan begitu khidmatnya. Dan rasa iri itu harus terhenti, pada bait:

    You slept in his bed 
    And after that he bumped your head 
    To the walls of his parent’s place 

    Batin saya tersentak! Setelah merasakan manisnya pesta pernikahan, pahit harus dirasakan di atas ranjang. Ia mendapatkan sesuatu yang tidak layak, yaitu kekerasan secara fisik. Dalam presepsi saya, “walls of his parents place, adalah sikap acuh mertua yang mendiami ketidak warasan yang terjadi pada pernikahan anak nya sendiri meski mengetahuinya.

    He forced you to undress 
    Every night he hit your face 
    But his parents were shut 
    Monsters are made in the world where angels live 

    Pada bait ini, pilu semakin berkecambah dan merambat. Saya menafsirkan ini seperti klimaks dalam sebuah kisah, dan saya sempat berasumsi bahwa perempuan ini mengalami marital rape. Dan mertuanya tetap bungkam.

    Little Sunny Girl 
    Come if you’re not able to overcome 
    He was my remorse 
    Forget the Vatican 
    Forget society 
    You are save here with me

    Dan di bait terakhir, sudut pandang orang ketiga seolah ingin merangkul, dan menolong. Dan kata-kata forget society seolah menegaskan, bahwa banyak perempuan yang bertahan dalam pilihan yang salah karena lebih takut dengan beban moral dibandingkan menderita dalam kebersamaan.

    Video klip sendiri sudah bisa dinikmati di laman youtube berikut, dan lagu ini ada pada rangkaian album Epilogue. Dian Tamara selaku director video clip, menyajikan tayangan yang sangat apik, saya pribadi sangat menikmati sinematografi video klip ini yang terkesan simple, manis, oldie. Video klip berdurasi 3:21 ini pun menggambarkan kisah ini secara bias.

    Ia mendedikasikan lagu ini untuk semua perempuan yang mengalami kepiluan, bahkan kekerasan yang terselubung dalam sebuah hubungan. Disadari ataupun tidak, masih banyak perempuan yang bertahan dalam kesenduan,  memilih menutup mata atas nama perasaan. Sementara  logika terus tergerus, terkikis mungkin oleh cinta. Semoga lagu ini dapat mewakili perasaan setiap perasaan perempuan yang harga dirinya terinjak-terinjak. Dan kita berharap semoga tidak ada Yuyun yang lainnya.

    Lagu memang dapat menyalurkan kegelisahan, dan pria kelahiran 1993 ini patut diacungi jempol karena kepeduliannya dengan mengangkat isu feminisme.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Tanah Selepas Hujan

    author = Ade Vika Nanda Yuniwan

    Ia masih berada di beranda rumah. Secangkir kopi yang dihidangkan istrinya beberapa menit yang lalu mulai terjamah dingin. Tak ada yang bisa lakukan selain mengamati jalanan pagi dengan kendaraan sedang berlalu lalang dengan mata nanar. Sutomo kehilangan kesempatan dan kali ini ada yang berbeda.

    Kepalanya sibuk menguliti bayangan istrinya dengan perut yang kian hari kian membuncit. Tinggal menunggu waktu, tapi Tomo semakin tak berdaya. Angannya terbang bersama kepulan asap cerutu. Pelan bersama iringan napas Tomo, bara api melahap tiap inci tubuh si cerutu. Dan Tomo tetap bergeming.

    “Mas, kata orang, ngelamun pagi-pagi itu ndak baik”, Sulastri mengingatkan. Tiba-tiba saja perut buncitnya menyembul di hadapan Tomo. Semua serba tiba-tiba pikirnya.

    Kali ini ganti Lastri yang bergeming. Dilihatnya kopi hitam di meja tampak tak terjamah dan mulai tak menarik. Sudah dingin. Rupanya Tomo membiarkan kopi buatannya dingin begitu saja. Dilihatnya lepek di bawah cangkir masih bersih tanpa ada bekas hitam ampas kopi seperti yang biasa terlihat setiap Tomo menikmati kopi buatannya.

    Lastri menghela napas berat. Si jabang bayi seperti tahu kecemasan ibunya. Perutnya beberapa kali kontraksi ringan yang membuatnya menghela napas. Sedangkan Tomo tetap memilih diam.

    “Mas, kamu kenapa? Apa yang sedang berkeliling dalam pikiranmu?”

    Tomo duduk bersila. Dalam persilaannya ia sampai pada isapan cerutunya yang terakhir. Dibuangnya puntung itu ke halaman rumah.

    “Menurutmu apa yang sedang aku pikirkan?” tanyanya pada Lastri. Pikirannya makin semrawut karena membayangkan janin dalam perut istrinya terus bertumbuh tiap hari.

    “Aku membayangkan bagaimana jika anak kita kelak lahir. Kubayangkan dia berlarian di teras rumah sambil kau suapi, dan setiap hari kalian bermain-main dalam pikiranku”, Tomo menimpali.

    “Tidak ada malam selepas hujan tanpa bau petrikor segar di pagi hari Mas. Tunggulah hari bahagia itu!”.

    Tomo tak menyangka Lastri akan berkata demikian. Lastri tetap polos, seperti pertama kali mereka bertemu, di pondok Gus Aiman. Waktu lah yang kemudian mengantarkan semuanya pada kisah tak terduga seperti saat ini. Hanya ada Tomo, Lastri, dan si jabang bayi yang tak pernah bosan berkelebat pada pikirannya. Tomo cemas! Hidupnya tidak hanya dihantui virus mematikan, tapi juga desas-desus tetangga yang tak kalah mencekik hidupnya.

    Sebenarnya ada yang harus tetap ia simpan dalam pikirannya selain menjaga Lastri. Tomo pikir dengan tetap menyimpan dalam pikirannya tak akan menyakiti Lastri setelah kejadian malam itu. Ia menjadi saksi bagaimana seorang wanita diperlakukan layaknya anjing jalanan oleh kerumunan orang. Namun semua terjadi begitu saja. Meski Tomo yakin kejadian kala itu akan selalu membekas di hati Lastri, Tomo tak ingin menambah beban dengan mengungkapkan kegundahannya.

    “Aku sudah menyiapkan sarapan untuk kamu Mas. Segeralah ke dapur”, Lastri tidak ingin berlama-lama menebak kesibukan kepala Tomo.

    ***

    Lastri seorang pendatang dari Wonosobo. Ia bekerja sebagai pengurus dapur pondok sejak melafazkan syahadat di depan Gus Aiman dan para saksi lainnya. Bagi Tomo, selalu ada kebaikan yang lahir dari pondok Gus Aiman. Sepeninggalan Kyai Dawam, pondok pesantren di bawah asuhan Gus Aiman menemui kejayaannya. Apalagi kebaikan-kebaikan dari pondok itu juga yang menyasar pada kehidupan seorang Tomo.

    Sutomo Tamanhudi, tak ada yang bisa diperhitungkan darinya sebelum Gus Aiman mengadopsi jasanya sebagai petugas kebersihan. Tomo mengenang Gus Aiman seperti ketika ia berjalan di bawah hujan dan payung demi menyeberangi jalanan kumuh menuju Tomo.

    Keberuntungannya tak cukup sampai di situ. Kehidupannya lekas membaik tiga bulan kemudian, tepat saat ia bertemu dengan sosok Lastri. Di balik tungku dapur yang gosong, ia melihat sosok Lastri dengan tangannya bergeliat mencumbui masakan. Hidung Tomo menjadikan asap arang tungku dapur Lastri bak aroma marjoram. Seperti hari keberuntungan Tomo, Lastri menyambut matanya.

    “Ada yang bisa saya bantu Mas?”

    Sungguh percakapan singkat yang menyingkap takdir baru bagi keduanya di malam itu. Mata Lastri selalu jatuh pada pikiran Tomo. Beberapa hari terakhir wanita itu seperti tak ingin melepaskan pikiran Tomo. Pertemuan di pondok Gus Aiman meninggalkan rupa sosok Lastri yang berkulit kuning langsat, bermata belo dan hitam sehitam jelaga. Percakapan yang ringan antara mereka membawa Tomo pada sebuah fantasi yang tak ada habisnya tentang sosok Lastri.

    Fantasinya tentang Lastri belum selesai hingga malam membawanya pada suatu tempat dimana hanya ia dan Lastri yang tahu. Ia tak pandai berkata, tapi Lastri menjadikannya sempurna sebagai lelaki di malam itu. Ia menjadikannya malam panjang tak berkesudahan. Ketika dua matanya saling bertautan pada mata Lastri. Dinding gudang kosong pondok Gus Aiman merekam semua yang terjadi di antara keduanya. Gus Aiman tak lantas tutup mata.

    ***

    Cukup pelan ia menarik perlahan ingatan itu. Meski sesal kini menyelinap pada setengah lubuk hatinya, untuk apa lagi Tomo terus berkubang dalam ingatan itu? Baginya kini membahagiakan Lastri cukup dengan menyambut baik atas pengabdiannya sebagai seorang istri dan calon ibu si jabang bayi.

    Di antara hiruk pikuk dalam kepalanya, matanya menangkap sebuah sedan putih berhenti tepat di depan rumah. Kemudian seseorang yang tidak asing baginya turun dari mobil itu. Ia melihat Tomo yang lain melambai ke arahnya.

    “Mo, Tomo! Wah gawat, nasimu sudah dipatok ayam!”

    Seketika lamunannya buyar saat melihat sosok Sarju berdiri di hadapannya. Ia baru saja menyadari jika itu adalah sosok Sarju, anak seorang pemulung. Ia membawa sedan mewahnya di hadapan Tomo dan gubuk reotnya. Ah, Tomo makin menciut.

    “Sarju!” ia menjabat tangan Sarju yang terulur ke arahnya.

    “Kamu ini gimana, masih pagi kok sudah domblong gitu. Lagi pusing?”

    “Ah duduk dulu Sar, biar kusuruh istriku membuatkanmu kopi. Ngomong-ngomong kamu sudah sarapan?”

    “Belum, tapi aku tidak ingin kamu terlalu repot memikirkan itu”.

    “Jangan sombong begitulah Juragan.. Jangan khawatir, aku masih bisa menghidangkan makanan untuk sarapanmu meskipun hanya berupa singkong dan pisang rebus. Tapi kamu mau tho?” setengah meratapi nasib ia menawarkan pada Sarju.

    “Tentu aku mau tapi jangan panggil aku Juragan!”

    “Tri.. Lastri! Ada Sarju di sini. Tolong buatkan dia kopi dan rebuskan singkong dan pisang untuknya!” teriak Tomo pada Lastri yang masih berkutat di dapur.

    “Iya Mas!” sahut Lastri dari arah dapur.

    Mereka tertawa. Sejenak Tomo melupakan siapa dan apa maksud kedatangan Sarju. Sayangnya Sarju tak pandai berbasa-basi.

    “ Mo, sekarang kamu kerja dimana?”

    Hening sejenak.

    “Menurutmu bagaimana Sar?”

    “Masih ndalem di keluarganya Gus Aiman?” tebak Sarju.

    “Sudah lama aku berhenti. Panjang juga ceritanya”.

    “Kudengar dari orang-orang, kau dan Lastri!”

    “Iya. Rupanya mereka sudah menceritakannya padamu” tandas Tomo.

    “Ah sudah lupakan. Aku kemari justru membawa kabar baik untukmu!”

    Kabar baik yang baik yang dimaksud Sarju adalah sebuah lowongan pekerjaan. Sarju bilang, kantor bosnya di ibu kota sedang membutuhkan pekerjaan. Tentu saja Tomo sangat menyambut baik kabar ini. Ia tidak menyangka jika Tuhan menjawab doanya dalam waktu dekat.

    “Tapi karena kondisinya sedang tidak memungkinkan untuk hijrah ke sana, bosku bisa kasih kamu keringanan Mo. Kamu bisa tetap kerja dari sini. Tugasmu hanya mengirimkan paket yang dikirim dari kantor pusat” jelas Sarju.

    “Kamu yakin aku bisa memenuhi kriteria calon pekerja yang diinginkan bosmu? Ijazah terakhirku cuma SMP”.

    “Aku sudah rekomendasikan kamu ke bosku. Kita sudah berteman sejak SMP bukan? Aku tahu betul kamu orangnya rajin dan giat”.

    “Sudah pandai kamu rupanya Sur..”

    “Tapi Mo, barang yang dikirimkan dari kantor pusat adalah benda berharga. Jadi kuminta kau berhati-hati. Jangan sampai ada orang lain yang tau jika barang yang kau bawa adalah barang berharga. Aku janji, setelah kau berhasil mengantarkan semua barang ke alamat tujuan, kau akan mendapatkan gaji pertamamu. Kau setuju?”

    “Jangan khawatirkan itu. Kau lupa saat SMP dulu aku sering mengakali Pak Suratmo guru matematika kita? Sudah pasti aku akan berhati-hati!”

    “Ah aku lupa kau dulu penjahat kecil yang ulung, hahaha..”

    Lastri datang membawa kopi, pisang dan singkong rebus untuk mereka. Ketiganya lalu berbincang-bincang santai sembari menikmati kudapan bersama. Tak ada pagi yang lebih indah dibandingkan pagi ini bagi Tomo. Barangkali Sarju adalah jelmaan Tuhan.

    ***

    Sarju benar. Kabar yang dibawanya memancing senyum pada Lastri. Tomo tak lagi murung. Kopi buatannya selalu habis tak tersisa sebelum Tomo pergi bekerja. Dan seperti pagi-pagi yang sempat hilang, Lastri mengantar Tomo sampai ke pintu depan sebelum pria itu berangkat bekerja. Tomo akan mengantarkan barang ke pemiliknya karena semalam barang-barang dari kantor pusat datang. Teman Sarju mengirimnya langsung dari ibu kota. Untuk itu suaminya tampak semringah, karena itu artinya sebentar lagi ia akan menerima gaji pertama.

    Dilihatnya Lastri yang lebih cerah dari pagi ini. Demikian juga Tomo yang lebih cerah dari pagi-pagi muram biasanya. Ada enam kotak paket barang yang harus diantarnya pagi hingga siang ini. Semua alamat yang tertera tidak terlalu dikenalnya. Tapi tak apa. Tomo bisa mencarinya dengan giat. Hitung-hitung itu adalah sebagai bentuk rasa terima kasihnya pada Sarju. Mana mungkin juga ia menyia-nyiakan rezeki dari Tuhan. Kemudian Tomo dan motornya terlihat menjauh dari rumah sembari ia melambai tangan ke arah Lastri.

    Tomo harus berlega hati. Sebelum pukul empat sore ia berhasil mengantarkan hampir semua barang ke alamatnya masing-masing. Tinggal satu barang yang harus ia antar. Kali ini tempatnya lumayan jauh. Tak apa, Tomo akan menyelesaikan tugasnya dengan baik. Tentu saja ini berkat kabar baik dari Sarju.

    Kini motornya melaju, melindas bebatuan kecil jalanan desa yang tak seberapa baik kondisinya. Beberapa kali ia agak kehilangan kendali saat motornya melindas jalan yang berlubang. Sementara itu alamat tujuannya semakin dekat. Ia melihat seorang pria bertopi hitam berdiri menantinya di bawah pohon mahoni. Pasti pria itu adalah pemilik barang terakhir yang ia bawa, karena keterangan alamat mencantumkan pohon mahoni sebagai titik antar. Lalu Tomo meningkatkan kecepatan laju motornya.

    “Selamat sore Pak. Ini barang pesanan Anda”. Pria bertopi itu menerima barangnya.

    “Apakah kamu Tomo?” tanya pria itu.

    “Iya benar”.

    Kemudian sebuah percakapan kecil terjadi di antara mereka. Sebuah percakapan yang akhirnya tidak pernah Tomo sangka. Ia tak percaya pada pria bertopi hitam dan juga Sarju. Tiba-tiba Lastri hadir dalam pikirannya.

    Sementara itu di rumah Lastri sedang menanti Tomo. Barangkali alamat tujuan barang yang diantarnya kali ini sangat jauh dari rumah dan sulit dicari. Pria itu harus menghabiskan setengah harinya di jalanan. Sudah pukul tujuh malam tapi ia tak kunjung pulang. Tiba-tiba Lastri cemas. Kecemasannya mengatar Lastri pada rasa kantuk yang tak tertahankan. Ia terlelap di atas lincak sembari menunggu Tomo pulang.

    Hari sudah pagi. Lastri siap membuatkan kopi untuk Tomo sebelum pria itu berangkat mengantar barang. Anehnya pintu rumah tetap terkunci. Keadaan rumah hening tanpa suara deru motor Tomo seperti kemarin saat ia memanaskan mesin motornya. Latsri tersadar, Tomo belum kembali sejak semalam. Matanya tiba-tiba menjadi segar kembali. Kemudian ia membuka pintu rumah.

    Selembar surat tergeletak di atas lantai. Ia tak sedang bertukar kabar dengan siapapun, termasuk keluarganya di desa. Tapi sungguh, surat ini membuat hatinya semakin tak karuan.

    Lastri sayang.

    Semoga malam harimu selalu indah ditemani rembulan dan pagimu takkan kelabu. Seperti katamu, tidak ada malam selepas hujan tanpa bau petrikor segar di pagi hari. Aku mencintaimu sungguh. Segenap jiwa aku meminta takdir agar kau selalu bahagia. Demi apapun, kulakukan semuanya untukmu, termasuk menerima pekerjaan gelap ini. Tapi malam itu takdir menjawab sebaliknya. Lastri, aku tak memintamu untuk tetap tinggal, tapi kumohon berbahagialah di sana. Di rumah kita.

    Hari-hari berikutnya, Tomo tak pernah pulang. Sungguh, ia mencintai Lastri dan calon bayinya.

  • “Taman Perangkap Bulan” Merayakan Kelahiran Anak Kedua Nuryana Asmaudi SA

    author = Cucum Cantini

    Sabtu sore di Kedai JBS menjadi momen penting bagi penulis yang dikenal oleh kawan-kawannya sebagai “Penyair yang Berjalan di Jalan Sunyi”, Nuryana Asmaudi SA. Buku kumpulan puisi yang berjudul “Taman Perangkap Bulan” dilaunching di kedai buku milik Indrian Koto dan Mutia Sukma pada Sabtu, 11 Agustus 2018, sehari setelah peringatan kelahiran Umbu Landu Paranggi. Ternyata bukan jadi kali pertama Mas Nur—sapaan akrabnya, menggelar acara peluncuran bukunya di Yogyakarta. Dua tahun sebelumnya, buku puisi “Doa Bulan untuk Punguk” digelar di Taman Budaya Yogyakarta oleh Studio Pertunjukan Sastra.

    Setelah sebelumnya Mustofa Hasyim memberikan testimoni terhadap bukunya yang pertama, bahwa Nuryana mengolah peribahasa-peribahasa dengan sudut pandang baru dan mengemaskan ke dalam puisi, sesuai dengan judul bukunya yang pertama. Di kali kedua kelahiran bukunya, Latief S. Nugraha—memberikan testimoni berbeda mengenai bukunya yang kedua, “Taman Perangkap Bulan”.

    Latief terpancing pada kecenderungan Nuryana menggunakan diksi ‘bulan’ pada setiap puisi-puisinya—di buku pertama dan yang kedua. Menurut pengakuan Nuryana pada Latief, “Taman Perangkap Bulan” adalah momen dirinya melihat keindahan bulan di sebuah taman di belakang Studio Seni Snerayuza, Bali. Di taman itulah, Nuryana bisa menggenggam keindahan bulan hingga mampu dinarasikan melalui puisi. Dari sekitar 96 puisi yang dibagi menjadi tiga babak itulah, Latief merasakan pergeseran kehidupan Nuryana dari mulai di Jepara hingga ke Bali. Kegelisahan-kegelisahan yang nampak dari seorang Nuryana dibeberkan dengan memikat. Pada pertengahan bab, Nuryana menunjukkan kombinasi apik antara resepsi kisah pewayangan dan sisi religius yang dimilikinya dari pengalaman dan gagasannya ketika masih kuliah di IAIN Walisongo (sekarang UIN Walisongo).

    Dalam kurun waktu 1989 – 2017, terdapat tiga tahun ganjil yang puisinya tidak hadir di “Taman Perangkap Bulan”, yakni tahun 1995, 2003, dan 2015. Mengenai hal ini, Raudal Tanjung Banua angkat bicara. Bagi Raudal, dirinya punya andil untuk mengarsipkan serta menyeleksi puisi-puisi yang keseluruhannya berjumlah tiga ratus bahkan lebih. Penting untuk menilai kelayakan sebuah karya untuk di-publish ke pembaca agar porsi dan estetika tidak nampak dipaksakan. Hal ini terkait dengan kekhasan Nuryana yang berkali-kali mengaku bukanlah seorang penyair yang gila produksi karya. Dirinya menulis dengan rasa, menyimpannya dan melupakannya. Itulah sebabnya, Nuryana tidak tertekan untuk produktif, dan tidak terbebani oleh gelar kepenyairannya. Dirinya tidak memiliki hasrat untuk dikenal, terlebih menjadi seorang penyair.

    Senada dengan Latief, Nuryana mengakui bahwa peran orang-orang terdekatnya sangat penting di setiap momen puisinya. Tak hanya itu, paska-kelahiran puisi, posisi Raudal sebagai pengarsip menjadi fondasi dalam kehidupan kepenulisan Nuryana. Maka tak heran, ketika dirinya memberikan istilah puisi-puisinya sebagai anak rohani, maka Raudal Tanjung Banua menjadi orangtua baptis yang memelihara dan membesarkan mereka.

    Dalam naskah awal “Taman Perangkap Bulan”, terdapat banyak puisi yang diseleksi oleh Raudal. Salah satu puisi yang tidak terpilih untuk dirangkum adalah “Status Saut”. Meski bagi penyeleksi, puisi tersebut belum layak hadir di buku kedua, namun Latief yang sempat membaca di naskah awal merasakan ada hubungan unik antara Nuryana dan Saut Situmorang. Persahabatan yang sulit diubah ke dalam bentuk kata-kata menjadikan puisi tersebut dinilai kurang pas jika disematkan dalam “Taman Perangkap Bulan”. Maka di momen acara yang juga didukung oleh Kalanari Teather Movement tersebut, puisi “Status Saut” dibacakan oleh Andika Ananda di depan Saut sendiri. Peserta yang hadir termasuk dari SPS, Kedung Dharma Romansha, Eka Nusa Pertiwi, Komang Ira, Raudal Tanjung Banua, S. Arimba, Asef Saeful Anwar serta banyak sastrawan Yogyakarta menjadi saksi ketika puisi berbentuk naratif tersebut didengar, bahkan Redaksi Kibul sempat menangkap momen tersebut melalui video. Parodi kehidupan serta relasi persahabatan yang erat antara Nuryana dan Saut membuat peserta merasakan rasa yang menyentuh unik melalui puisi tersebut.

    Pada bab akhir buku “Taman Perangkap Bulan”, Latief menangkap momen perpisahan, kekecewaan, serta kegelisahan Nuryana ketika menetap di Bali. Kota-kota yang bergerak modern kehilangan sisi kemanusiaan dan religiusitasnya, kepergian kawan-kawan yang menjadi tulang penyangga hidupnya, serta kesendirian yang dirasa sangat meregang di kerongkongan dan hanya mampu diteriakan dalam kata-kata puitisnya. Seperti dalam “Lelaki dan Sepeda” di halaman 172, nampak jelas bahwa Nuryana memposisikan dirinya sebagai “Ia”. Dalam puisi tersebut, Nuryana tidak terbebani dengan rutinitas dan tuntutan sosial yang kedangkala mengubah manusia menjadi mesin dan kehilangan rasa.

    Nuryana menutup buku puisinya dengan “Mengantar Sahabat” (hal. 174). Ada rasa yang hendak diulur oleh kata-kata namun pada akhir cerita, Mas Nur berbagi perasaan ikhlas atas kepergian-kepergian orang-orang dekatnya. Dirinya belajar untuk memaknai hidup, bahwa selalu ada yang datang dan pergi. Memiliki dan kehilangan. Serta, makna kepergian adalah ada untuk merasakan apa artinya sebuah kerinduan.

    Karena menulis juga merupakan tanggung jawab duniawi, yang akan menjadi bebannya di akhirat, maka Nuryana Asmaudi SA. merasa harus jujur dengan diri dan tulisan-tulisannya. Dalam buku puisi ini, Nuryana menampilkan dirinya tidak pernah merasa sendiri. Dirinya memiliki anak-anak luar biasa yang dilahirkan dari pengalaman pertemuan dengan para kekasihnya yaitu kehidupan. Dirinya tidak merasa membutuhkan sebuah pengakuan dan tidak pula ingin memotret ‘anak-anaknya’ itu dikomersilkan hanya untuk kepentingannya semata. Baginya, membagi rasa melalui puisi adalah dengan menulis di jalan sunyi, tapi bukan berarti dirinya melangkah sendiri.(*)

    • Catatan acara Diskusi dan Peluncuran Buku “Taman Perangkap Bulan” karya Nuryana Asmaudi SA., Sabtu 11 Agustus 2018 di Kedai JBS Jalan Wijilan Gg. Semangat no. 150, Yogyakarta.
  • Suara Hati, Tabuh Genderang Melalui Kesadaran

    author = Martina Ariel

    Sebagai orang yang telah mengecap pendidikan formal, apakah benar
    adanya bahwa kita sungguh lebih terpelajar dari masyarakat adat?

    Sebagian dari kita pernah membatinkan hal demikian. Jika tidak,
    setidaknya, (pernah) menganggap bahwa buku beserta tetek bengeknya adalah
    representasi pendidikan terbaik. Susan George dalam The Lugano Report:  On Preserving
    Capitalism in Twenty-first Century
    (1999), mengatakan, “life world” kita
    terkoyak antara yang cekatan dan bertahan, dengan yang kurang lincah, yang
    lumpuh dan tertinggal. Kita berada dalam situasi, di mana manusia saling
    memangsa dan solidaritas antarorang senasib tidak lagi mengikat, karena yang
    pertama dan utama adalah menyelamatkan diri masing-masing.

    Kita tergagap.

    Tidak dengan Fawaz Al Batawy. Bergabung dalam Sokola, membuatnya
    menjadi salah satu pelaku perubahan. Baginya, teori para perancang pembangunan
    tak cukup mewakili keadaan masyarakat adat saat ia bertugas dalam program
    Sokola Asmat. Makna infrastuktur tidak berhubungan dengan kilometer jarak dari
    Jew ke puskesmas, melainkan ketersediaan sumber daya manusia yang mampu
    memberikan pendampingan dalam arus perubahan yang terus masuk ke tempatnya
    bertugas.

    Seperti ideologi, pendidikan juga merupakan wilayah konsistensi yang
    serius karena terbentuk benturan antara realitas sosial, kemajuan zaman, pakem
    adat, tradisi lokal, serta kebutuhan untuk diakui.

    Semua Butuh Diperjuangkan

    Fawaz, seorang sukarelawan guru di lembaga Sokola, lembaga yang
    bergerak di bidang pendidikan untuk masyarakat adat di Indonesia, memulai
    kegiatannya di Sokola sejak 2008. Hingga akhirnya, pada 13 Maret 2011, ia resmi
    menjadi sukarelawan guru. Mengawali tugasnya sebagai sukarelawan di Sokola
    Rimba, Jambi. Selanjutnya, ia ditugaskan di Sokola Asmat, Papua, Sokola Kajang,
    Sulawesi Selatan, dan saat ini dipercaya sebagai koordinator di Sokola Kaki
    Gunung, jember.

    Ditemui di angkingan selatan Jembatan Lempuyangan, Rabu (27/2/2018),
    Fawaz mencoba merangkum keterlibatannya di beberapa program Sokola. Sambil
    sesekali membenahi posisi rambut panjangnya, dia menceritakan apa sebenarnya
    substansi utama program Sokola.

    Sokola adalah sebuah lembaga pendidikan alternatif bagi masyarakat di pedalaman hutan Indonesia yang dinisiasi oleh Saur Marlina Manurung (Butet Manurung), sarjana Sastra Indonesia dan Antropologi Universitas Padjajaran, bersama lima kawannya.

    Program Sokola pertama kali diterapkan bagi masyarakat Rimba (Suku
    Kubu) yang mendiami Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Konsep awalnya
    adalah memberikan manfaat pendidikan secara langsung kepada lingkungan
    masyarakat adat itu berada, khususnya untuk menyelesaikan masalah-masalah di
    daerah tersebut.

    Program Sokola terbagi menjadi dua. Literasi dasar dan literasi
    terapan. Literasi dasar  fokusnya berbagi
    ilmu mengenai kemampuan membaca, menulis, berhitung, mendengarkan, berbicara,
    dan mengkomunikasikannya. Sedangkan literasi terapan adalah bagaimana literasi
    dasar tadi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat adat diharapkan
    bisa mencari solusi atas masalah yang terjadi dalam internal komunitas mereka,
    hingga masalah-masalah yang bersinggungan dengan dunia luar.

    Deklarasi Praha Tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup
    bagaimana seseorang berkomunikasi di tengah masyarakat. Literasi juga bermakna
    praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya
    (UNESCO,2003). Di dalamnya disebutkan bahwa literasi terkait pula dengan kemampuan
    untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara
    efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengkomunikasikan informasi untuk
    mengatasi berbagai persoalan.

    “Tentu saja kami di Sokola menerapkan itu semua dengan menjadikan
    tradisi lokal sebagai basis utama dan titik tolak belajar. Literasi yang kami
    pahami dan kami jalankan dalam program adalah bagaimana peserta program bisa
    membaca, menulis, dan berhitung dengan baik setelah menyelesaikan program
    literasi dasar,” tegas Fawaz Al Batawy, dalam bukunya Yang Menyublim di Sela
    Hujan, Cerita Tentang Pengalaman Belajar Mengajar di Sokola Asmat (hlm 134).

    Literasi Terapan

    Masyarakat adat memiliki kelengkapan dan tatanan budaya, hingga
    mereka bisa berdiri sendiri. Memiliki kesatuan hukum, kesatuan penguasa,
    kesatuan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya hak-hak yang disepakati bersama
    atas wilayah yang mereka tempati.

    Tidak jarang hukum adat ini berbenturan dengan hukum Negara. Contoh sederhananya ialah tentang sistem penguasaan tanah. Filosofi mendasar yang harus dipahami ketika kita bicara mengenai tanah sebagai hak ulayat masyarakat adat adalah hubungan mereka dengan tanahnya. Tanah dianggap sebagai kesatuan integral dengan kepribadian—religio magis.

    UUPA diberlakukan di Papua pada 26 September 1971. Namun, pembebasan
    tanah hak adat dan tanah hak ulayat oleh pemerintah provinsi tidak berpedoman
    pada peraturan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
    Pengadaan tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (dilansir Antara News,
    24 Oktober 2014).

    Pembangunan untuk kepentingan umum ini  kerap dilegitimasi untuk melakukan upaya
    penindasan dan penaklukan dalam rangka dilaksanakannya suatu proyek. Tindakan
    ini diklaim sebagai bagian dari penegakan stabilitas nasional. Sedangkan usaha
    masyarakat adat untuk mempertahankan wilayahnya, diklaim sebagai upaya yang
    menghambat pembangunan negara.

    Sebuah tatanan budaya dalam masyarakat adat sudah selayaknya
    dipertahankan. Namun, transformasi budaya juga tak bisa dihindarkan.
    Transformasi perubahan ini terjadi sebagai proses penerapan kebiasaan atau
    tradisi baru yang tidak sesuai dengan apa yang dahulunya diyakini.

    Bersama Sokola, Fawaz masuk ke dalam ranah tranformasi budaya ini.
    menjembatani arus informasi yang deras, dengan memberikan tools kepada masyarakat adat, agar mereka memiliki pegangan,
    bagaimana harus memecahkan masalah yang timbul dari proses transformasi
    tersebut, secara mandiri.

    “Ilmu Pergi”

    Ketentuan UU SPN Nomor 20 Tahun 2003, pada Bab VI pasal 13 ayat 1 disebutkan
    bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal
    yang dapat saling melengkapi. Pasal 14 menyebutkan bahwa jenjang pendidikan
    formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
    tinggi.

    Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, bertingkat atau
    berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang
    setaraf dengannya; termasuk ke dalamnya ialah kegiatan studi yang berorientasi
    akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan professional, yang
    dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus (Coombs, 1973).

    Masyarakat Adat VS
    Modernitas

    Literasi terapan yang dberikan oleh Sokola berbicara tentang
    bagaimana literasi dasar yang sudah dikuasai bisa digunakan dan dimanfaatkan
    untuk kehidupan sehari-hari, serta mampu dimanfaatkan sebagai alat bantu untuk
    memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi komunitas.

    Masalah yang sering muncul di tengah masyarakat adat adalah masifnya
    pengaruh luar yang masuk ke lingkungan mereka. Kasus gizi buruk di Asmat
    misalnya. Jokowi pernah menawarkan relokasi warga Asmat yang terdampak gizi
    buruk dan campak. Tawaran tersebut disampaikan agar penduduk yang tinggal di
    daerah terpencil bisa dipantau kesehatannya. Namun, apakah rencana relokasi
    tersebut sudah disesuaikan dengan tatanan budaya yang berlaku di Asmat?

    Tatanan budaya membawa masyarakat adat memiliki kemampuan untuk
    hidup dan menetap pada wilayah tertentu sebagai ciri khas kepribadiannya.
    Karena dari sanalah mereka berasal. Dari sanalah muncul pengetahuan, yang
    akhirnya membuat masyarakat adat lebih “jenius” dibandingkan makhluk lainnya.
    Dan dari sana juga muncul hak ulayat (wilayah) yang menentukan muasal mereka
    sebagai masyarakat asli.

    Jika sebuah program atau bantuan didasarkan pada persepsi sepihak,
    maka yang terjadi adalah penaklukan, karena kita memaksakan kepada mereka untuk
    memakai ukuran-ukuran kita. Cara pandang demikian, sama saja kita berkata pada
    mereka bahwa diri kita “lebih bahagia”, “beradab”, “pintar”, “kaya”, dan lain
    sebagainya.

    “Sebelum kita melakukan program Sokola, ada proses assessment yang berlangsung sekitar satu
    hingga tiga bulan. Dari proses tersebut, kita bisa tahu, apa sebenarnya
    kebutuhan masyarakat adat tersebut. Kalau masyarakat tidak merasa ada “masalah”
    terkait literasi yang harus diselesaikan, kita tidak akan masuk ke sana. Itu
    sama saja menganggu kehidupan  “asli”
    mereka,” ujar Fawaz.

    Tuhan, Beri Aku Ketenangan
    untuk Mengubah Sesuatu yang Aku Bisa

    Dalam konteks persoalan masyarakat adat yang begitu beragam,
    pendidikan formal itu layaknya “ilmu pergi”. Berusaha menciptakan
    manusia-manusia yang beranggapan bahwa kesuksesan bisa didapat di
    tempat-tempat, yang memang menjadi ladang upah. Manusia “dipaksa” untuk pergi
    dari tempatnya berasal, menuju ladang upah itu tadi.

     Inner success tidak melulu
    berkaitan dengan bagaimana mendapat jabatan setinggi-tingginya, upah
    sebanyak-banyaknya, atau pergi sejauh-jauhnya, tapi lebih kepada bagaimana
    komitmen kuat bisa terbentuk untuk melakukan perubahan sikap mental, moral, dan
    perilaku pada setiap pelakunya. Yang diberi pendidikan adalah gerak pikrian
    manusia.

    Bagi Fawaz, menjadi sukarelawan dalam Sokola, membuatnya memiliki
    hubungan resiprokal dengan lembaga ini. Bekerja menjadi bagian perkembangan
    Sokola, sekaligus sekrup produksinya, tetapi lembaga ini juga bekerja di dalam
    dirinya.

    Sepertinya, jalan telah dipersiapkan dengan baik.

  • Srawung Sasanti Sangkala dan Sanggar Pamong UST: The Art Declaration Of Human Right 2017

    author = Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    FBS-Karangmalang. SANGKALA FBS UNY bekerja sama dengan Sanggar Pamong UST Yogyakarta akan melangsungkan sebuah acara “Srawung Sasanti” yang bertajuk “The Art Declaration of Human Right 2017. The Theatre for Freedom and Unity” di laboratorium Karawitan FBS UNY, Jalan Karangmalang No. 15, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Srawung Sasanti ini akan berlangsung selama dua hari yaitu pada tanggal 7 dan 8 desember 2017.  Di hari pertama akan berlangsung sebuah pementasan teater dari Sangkala yang akan membawakan naskah “Sayang Ada Orang Lain” karya Utuy Tatang Sontani disusul oleh pementasan Teater Kolosal dari Sanggar Pamong UST di hari kedua dengan naskah “Selasa Kliwon”.

    Devitri, Pimpinan Produksi Srawung Sasanti, mengatakan, tujuan dari Srawung Sasanti ini yaitu untuk ikut memperingati Hari Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 desember. “Srawung Sasanti ini sebenarnya sebuah acara yang memperingati hari hak asasi manusia. Namun, kita mencoba memperingati hari itu dengan cara lain dari biasanya. Yaitu dengan mementasakan pementasan teater. Selain itu Srawung Sasanti merupakan sebuah acara silaturahmi dan proses belajar Bersama.”

    “Nanti di Srawung Sasanti ini akan ada dua pertunjukan Teater dalam dua hari. Pertama dari Sangkala, mereka akan  mementaskan naskah Sayang Ada Orang Lain dan di hari kedua akan ada pementasan Teater Kolosal Selasa Kliwon dari Sanggar Pamong UST” jelas Vitri.

    Fajar Kurniawan, Sutradara, mengatakan pada intinya masalah yang ditawarkan dalam naskah Sayang Ada Orang lain ini yaitu di mana kebebasan hidup seseorang dibatasi oleh kondisi sosial seseorang. Sementara, M. Shodiq, mengatakan masalah yang dibahas dalam naskah Selasa Kliwon adalah masalah pendidikan.

    “Naskah ini mencoba menjawab problem yang muncul akhir-akhir ini. Di mana sekarang Ruang Pendidikan atau Kampus semakin marak berdiri kokoh tapi banyak pula pengangguran yang terjadi di Indonesia. Pendidikan seharusnya mengajarkan manusia untuk mandiri dan mampu mempunyai kebebasan berfikir.” terang Shodiq.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Situs Peristiwa & Citra: Pameran Arsip Publikasi dan Dokumentasi PSBK dari Masa ke Masa

    author = Redaksi Kibul

    Pada bulan September-Oktober 2019 PSBK akan menggelar platform pameran Ruang Seni Rupa edisi ke tiga di tahun 2019 dengan menampilkan arsip dokumentasi dan publikasi kegiatan-kegiatan PSBK dari masa ke masa. Dalam mewujudkan pameran ini PSBK mengundang Prasetya Yudha D.S. & Kurnia Yaumil Fajar sebagai Kurator. Pameran yang diberi tajuk “Situs Peristiwa & Citra” akan dibuka pada Sabtu, 14 September 2019 dan berlangsung sampai 26 Oktober 2019.

    Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) bersama Bakti Budaya Djarum Foundation meneruskan investasi panjang dalam dukungan fasilitasi ruang presentasi karya seniman muda melalui program Ruang Seni Rupa. Pada Ruang Seni Rupa edisi ke tiga ini, PSBK akan menghadirkan arsip-arsip dokumentasi dan publikasi PSBK dari masa ke masa. Proses kuratorial dan produksi pameran berlangsung di kompleks art center PSBK  selama satu bulan sejak Agustus 2019. 

    PSBK mengundang Prasetya Yudha D.S dan Kurnia Yaumil Fajar untuk melakukan residensi sebagai kurator dalam mewujudkan pameran “Situs Peristiwa & Citra”. Mereka diberi kesempatan untuk membaca arsip-arsip dokumentasi & publikasi PSBK untuk kemudian mereka dapat memberi konteks, menyusun, dan menampilkannya. Kehadiran mereka berdua sebagai kurator dalam pameran kali ini juga sebagai upaya PSBK membuka ruang belajar bagi kurator muda untuk mengasah daya kuratorial. Sehingga, harapannya ruang ini tidak hanya terbatas sebagai ruang belajar bagi seniman-seniman muda untuk untuk berkarya dan berpameran, namun juga dapat membuka potensi ruang belajar yang lebih luas, dalam hal ini ruang belajar untuk kurator muda.

     Situs Peristiwa & Citra berupaya untuk menengok dan meraba sari dari pergerakan-pergerakan kecil PSBK dalam menjalani sirkuitnya sebagai sebuah ruang pendidikan kreatif berbasis seni yang terbuka dan cair bagi publik. Melalui ragam situs peristiwa dan citra, pameran ini berharap bisa menjadi teropong kecil dalam menatap dan mendiskusikan pembelajaran seni ke depan.

    Sejak berdirinya, PSBK berhasrat menjadi ruang pendidikan kreatif berbasis seni yang berkehendak menelurkan insan seni yang dinamis, peka, dan kritis terhadap lingkungannya. Hasrat ini menjadi awal pegangan dalam menyelami arsip PSBK selama empat puluh tahun lebih.

    Pameran arsip publikasi dan dokumentasi PSBK dari masa ke masa menempati posisi sebagai situs dari peristiwa yang sudah pernah terjadi di dalam ruang PSBK. Pada saat yang sama, arsip tersebut juga sebagai situs atas citra yang selama ini mengejawantahkan diri melalui publikasi yang tersiar. Keduanya memiliki daya untuk memberikan kerangka, informasi, dan panduan untuk merumuskan hal yang akan dihadapi di masa depan. 

    Dokumentasi, khususnya foto dan video memunculkan gagasan mengenai PSBK sebagai sebuah ruang yang cair. Ruang di mana segala peristiwa di dalamnya hidup dengan gerak, gerakan, dan pergerakan. Baik dalam menjalankan pendidikan kreatif di dalam maupun  upaya berkontribusi pada hal yang terjadi di luar. Situs citra berupa poster, katalog, potongan artikel, dan buku program menjadi jejak representasi PSBK dari masa ke masa. Bagaimana gerak ruang dan peristiwa terartikulasikan melalui bahasa visual seperti corak, tata letak,  pemilihan warna, tipografi yang secara tidak langsung mewakili zamannya sendiri. 

    Selain pameran, rangkaian agenda Ruang Seni Rupa “Situs Peristiwa & Citra” juga meliputi Creative Talk dan peluncuran aplikasi digital Augmented Reality (AR) yang akan digelar pada Kamis, 3 Oktober 2019 bertepatan dengan HUT PSBK ke-41. Creative Talks akan menggali tentang peran Desain Komunikasi Visual di bidang seni & kebudayaan dengan mengundang narasumber yaitu Butet Kartaredjasa, Ong Harry Wahyu, Farid Stevy Asta, dan Rizal Pamungkas. Creative Talk ini terbuka untuk masyarakat seni maupun umum yang tertarik dengan topik pembicaraan yang akan disampaikan. Sedangkan peluncuran aplikasi digital Augmented Reality (AR) akan menandai keberlanjutan inovasi PSBK dalam menyediakan akses seni pada masyarakat luas melalui media komunikasi baru.

    Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK)
    Melanjutkan spirit maestro seni Indonesia Bagong Kussudiardja, PSBK mewujudkan diri sebagai art center dengan misi mendukung pengembangan kreatif seniman dan masyarakat umum untuk terus terhubung pada nilai-nilai seni dan budaya, keberlanjutannya, dan penciptaan nilai-nilai budaya melalui seni. PSBK hadir sebagai laboratorium kreatif, tempat berkumpul, ruang presentasi karya seniman dari berbagai disiplin. PSBK menghadirkan karya seniman-seniman muda, memfasilitasi riset-riset artistik dan pengembangan profesional, dan merancang program-program untuk meningkatkan community engagement dan pengembangan jaringan melalui kesenian.

  • Signifikansi Van Halen – Jump: Lagu yang membentuk ulang skena metal

    author = Aryo Jakti Artakusuma

    Pada era akhir 1960an dan awal 1970an, Heavy Metal, Hard Rock atau Rock dari banyak segi adalah musik yang sangat dominan didengarkan dan dimainkan oleh anak muda seantero dunia. Led Zeppelin, Black Sabbath, dan tentunya Deep Purple, tanpa mengesampingkan yang lainnya, adalah trinitas yang menjadi simbol dan penyebar utama wabah itu. Mereka memainkan Rok dengan lebih keras yang pada akhirnya menjadi cikal bakal musik Heavy Metal di masa setelahnya. Akan tetapi, pada akhir era 70an hingga awal 80an, musik Heavy Metal mengalami penurunan, salah satu hal yang membuat pamor mereka turun tentunya adalah gempuran musik disko.

    *

    MTV atau Music Television  sebagai wadah sentral yang menampilkan musik-musik arus utama saat itu banyak memutar musik disko sebagai sajian utamanya, mereka mempromosikan, memutar musik yang banyak memainkan instrumen-instrumen seperti syntesizer ataupun keyboard itu. Circa 70an akhir hingga 80an tangga lagu musik Amerika Serikat dan Inggris, bahkan tangga lagu dunia, disesaki oleh musik-musik disko. Salah satu pemicu yang paling terkenal ialah ketika film Grease dan Saturday Night Fever yang dibintangi oleh John Travolta dirilis, film tersebut banyak mengambil adegan di lantai dansa dengan iringan lagu disko, dan lagu latar yang digunakan untuk film tersebut dua diantaranya adalah Stayin’ Alive dan Night Fever, lagu dari kelompok musik tersohor asal Autralia The Bee Gees.

    Akan tetapi, ditengah kemunduran itu, Heavy Metal perlahan tapi pasti mulai menapaki jalan menuju era kesuksesannya lagi. Penanda tersebut dimulai ketika Quiet Riot dengan album Metal Health (1983) berhasi bertengger di posisi pertama Billboard 200. Def Leppard berhasil membukukan penjualan fantastis untuk album Pyromania yang dirilis tahun 1983, hingga sekarang sebanyak 10 juta keping untuk album tersebut, dan diantara semuanya ada satu momen penting dalam dunia Heavy Metal yang berhasil mengangkat kembali Heavy Metal, membentuk ulang Heavy Metal, dan tentunya mengubah peta musik arus utama adalah dirilisnya album keenam Van Halen yang berjudul 1984 (MCMLXXXIV), yang mana terdapat lagu kolosal mereka yang berjudul  Jump.

    *

    Jump sangat terkenal karena berhasil menduduki posisi puncak tanggal lagu Pop Amerika Serikat (Billboard Hot 100) selama empat minggu. Selain itu lagu ini juga dikenal karena intro pianonya yang sangat memorable. Lagu ini juga menjadi salah satu sport anthem yang kerap berkumandang dalam berbagai macam perhelatan olahraga, bahkan tim sepakbola Italia AC Milan adalah salah satu yang paling sering menggunakan lagu ini sebagai anthem mereka ketika bertanding di stadion San Siro.

    *

    Lantas apa yang membuat lagu ini begitu penting, begitu istimewa, sehingga bisa mengubah apa yang sudah menjadi arus utama saat itu?

    Mari kita mulai dengan bagaimana komposisi atau lagu “Jump” ini dibentuk. Dalam beberapa hal, “Jump” keluar dari standar bagaimana Heavy Metal lazim dimainkan. Lagu ini menggunakan syntesizer sebagai instrumen melodi utama yang menjadi fondasi serta membangun lagu bukannya gitar yang sudah menjadi pakem dari Heavy Metal seperti saat dulu pertama kali muncul. Hal ini nampak ganjil bagi orang yang menyimak Heavy Metal, karena seperti diketahui bahwa pencipta lagu ini, Eddie Van Halen atau EVH, gitaris Van Halen yang dikenal sebagai salah satu guitar hero setelah era Jimi Hendrix ataupun Eric Clapton, sebagai virtuoso, EVH berhasil membuat banyak orang memainkan gitar dengan gaya shredding-nya yang pertama kali ditunjukkannya di lagu “Eruption“yang terdapat pada album pertama Van Halen tahun 1978, dan secara mengejutkan ia mengubah pakem lagu Van Halen yang sudah mapan dengan shredding, guitar-centered  atau guitar-oriented-nya. Hal tersebut banyak menimbulkan tanya bahkan pernyataan negatif dari berbagai pihak yang berada dalam lingkup Heavy Metal.

    EVH membuat “Jump” pertama kali dengan keyboard alih-alih dengan gitar. Sebenarnya hal itu sering ia lakukan, EVH sering menulis lagu menggunakan piano terlebih dahulu lalu melakukan transkrip ke gitar. Intrumen keyboard yang digunakan EVH dalam membuat lagu ini adalah Oberheim OB-Xa dan ini adalah lagu yang diproduksi pertama kali di studio pribadinya EVH, 5150.

    Mendengarkan “Jump“, maka kita akan selalu terngiang akan bunyi keyboardnya, memang, lagu ini boleh dibilang bertumpu pada melodi yang diproduksi oleh instrumen tersebut. EVH menciptakan efek syntesizer yang menghasilkan bunyi yang persis dengan gayanya ketika bermain gitar, EVH membuat sesuatu yang kerap disebut dengan power chords melalui syntesizernya, yang meghasilkan suara yang masif, berditorsi layaknya lagu-lagu Heavy Metal biasanya. Suara drum dari Alex Van Halen yang otentik sepanjang lagu juga memberikan bagunan yang kokoh untuk lagu ini, Alex banyak menyelipkan irregular rhytem maupun fill  yang sangat sesuai dan tidak berlebihan untuk lagu. Michael Anthony mempersolid lagu ini dengan cabikan bass yang hampir sama dengan apa yang dilakukan Alex pada Drum, namun sebagai penyeimbang Mick sangat stabil dan kokoh dalam menjaga struktur dasar lagu ini. EVH sebagai gitaris, juga tak lupa menyelipkan solo gitarnya, dan menggunakan teknik tapping yang memang sudah sangat melekat atau mencari ciri khasnya. Secara lirik, menurut penuturan sang vokalis, David Lee Roth, lagu ini merupakan lagu yang memiliki makna filosofis tentang kesuksesan. Namun beberapa sumber juga mengatakan bahwa lirik lagu ini terinspirasi dari adegan ketika Roth melihat orang yang akan melakukan terjun bebabas dari gedung tinggi untuk melakukan bunuh diri, namun berhasi dicegah oleh pihak kepolisian.

    Meskipun para penggemar Heavy Metal garis keras mengkritik Van Halen karena keluar dari pakem guitar-centered atau guitar-oriented-nya, namun Van Halen berhasil memperkenalkan syntesizer pada aliran musik Heavy Metal, kembali menyebarkan wabah Heavy Metal ketingkatan yang lebih luas, audiens yang lebih umum, dan membuatnya lebih populer lagi.

    Pada tahun 1983, 8% rekaman yang berhasil dijual di Amerika Serikat berasal dari Heavy Metal, namun hal itu berkembang pesat di tahun 1984 menjadi 20%, saat itu Heavy Metal mulai menapaki tangganya sebagai salah satu aliran musik yang paling digemari, dan tentunya menjadi salah satu aliran musik paling terkenal. Akhir 1986 MTV meluncurkan acara yang berjudul Headbangers Ball, acara yang di desain khusus untuk para penggemar Heavy Metal, yang kemudian menjadi acara MTV paling banyak di tonton pada masa itu. Akhir 1980an, album atau lagu Heavy Metal selalu muncul dalam tangga lagu Billboard setiap minggunya, dan semua itu dimulai oleh lagu yang tadinya ditolak untuk dimasukkan di album Diver Down-nya Van Halen yang rilis tahun 1982 karena alasan yang sederhana, EVH memainkan keyboard bukannya gitar.

    Tabik.

    Christie, Ian. 2007. Everybody Wants Some – The Van Halen Saga. New Jersey. John Wiley & Sons.

    Starr, Larry, Waterman, Christoper. 2006. American Popular Music – The Rock Years. New York. Oxford University Press.

  • Seni & Multi-medialitas

    author = Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    Program studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gajah Mada Yogyakarta secara berkala mengadakan seminar atau diskusi. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memproduksi keilmuan seni. Berbagai tema telah diusung dalam tiga tahun terakhir, seperti Seni Politik-Politik Seni, Art and Beyond, dan The Power of Art. Tahun ini tema Seni dan Multi-medialitas akan diwacanakan melalui kegiatan seminar dan artist talk. Dua kegiatan ini akan dihelat pada Sabtu, 11 November 2017 pukul 08.00 hingga pukul 16.00 di Auditorium lantai 5 gedung Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, jalan Teknika Utara Pogung Sleman Yogyakarta.

        Tema Seni dan Multi-medialitas diusung atas pembacaan perjalanan seni dalam beberapa dekade ini yang kerap melibatkan lebih dari satu medium ungkap, atau bahkan melakukan pemindahan dari media satu ke media lain pada kerja kreatifnya. Dalam praktik multi-medialitas, pemaknaan seni menjadi berkembang sesuai dengan jiwa zamannya. Hal ini disebabkan karena peluang tafsir baru yang muncul dan meluasnya ruang pemaknaan karya. Telaah serta interpretasi atas seni dan multi-medialitas akan dibicarakan secara kontekstual dalam seminar dan artist talk. Seminar akan dihadiri oleh tiga pembicara yakni Sardono W. Kusumo, Setiawan Sabana, dan Sapardi Djoko Damono. GR Lono Lastoro Simatupang akan memoderatori ulasan mengenai tarik ulur praktik kreatif dalam lanskap multi-medialitas. Seminar dilanjutkan dengan artist talk yang akan dihadiri oleh Jompet Kuswidananto, Titarubi, dan Gea OF Parikesit. Sesi yang akan dimoderatori oleh Kusen Alipahadi ini, melihat sejauh mana kerja kreatif yang telah dan akan dilakukan oleh para seniman atas praktik multi-medialitas sesuai konteksnya. Kreativitas yang dituangkan dalam praktik multi-medialitas akan tertangkap dalam sudut pandang seni.  

    Kehadiran karya seni di tengah publik memunculkan berbagai tanggapan dari siapa saja yang menemuinya: kekaguman, memunculkan banyak pertanyaan, cibiran, membangkitan ingatan masa lalu, hingga renungan atas kehidupan.  Tanggapan tersebut nampak berhubungan dengan ungkapan bahwa seni memiliki cara yang halus, namun halus seperti apa yang dimaksudkan? Lantas mengapa demikian? Melalui seni, orang dapat mengungkapkan apa yang seolah tidak mungkin menjadi mungkin, yang tersembunyi menjadi tampak, yang buruk menjadi baik, yang tidak boleh menjadi boleh, bahkan yang dianggap tabu menjadi terungkap. Kreativitas menjadi hal utama untuk menuangkan gagasan ke dalam media ungkap sehingga dapat teralami secara indrawi.

        Beberapa dekade belakangan, berbagai karya seni tidak melulu menggunakan satu medium tetapi menghadirkan medium-medium lain yang cenderung bersifat multi-medialitas. Media berfungsi untuk memediasi, menjadi perantara, menjadi jembatan dari dua pihak. Fungsi ini selanjutnya diolah secara kreatif dalam huruf, warna, garis, gerak, suara, dan sebagainya. Tak hanya dalam beberapa media, pemindahan dari media satu ke media lain dan seterusnya juga menjadi peluang kreatif yang dapat dimanfaatkan untuk menjalankan peran mediasi.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi