Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Tanah Selepas Hujan

author = Ade Vika Nanda Yuniwan

Ia masih berada di beranda rumah. Secangkir kopi yang dihidangkan istrinya beberapa menit yang lalu mulai terjamah dingin. Tak ada yang bisa lakukan selain mengamati jalanan pagi dengan kendaraan sedang berlalu lalang dengan mata nanar. Sutomo kehilangan kesempatan dan kali ini ada yang berbeda.

Kepalanya sibuk menguliti bayangan istrinya dengan perut yang kian hari kian membuncit. Tinggal menunggu waktu, tapi Tomo semakin tak berdaya. Angannya terbang bersama kepulan asap cerutu. Pelan bersama iringan napas Tomo, bara api melahap tiap inci tubuh si cerutu. Dan Tomo tetap bergeming.

“Mas, kata orang, ngelamun pagi-pagi itu ndak baik”, Sulastri mengingatkan. Tiba-tiba saja perut buncitnya menyembul di hadapan Tomo. Semua serba tiba-tiba pikirnya.

Kali ini ganti Lastri yang bergeming. Dilihatnya kopi hitam di meja tampak tak terjamah dan mulai tak menarik. Sudah dingin. Rupanya Tomo membiarkan kopi buatannya dingin begitu saja. Dilihatnya lepek di bawah cangkir masih bersih tanpa ada bekas hitam ampas kopi seperti yang biasa terlihat setiap Tomo menikmati kopi buatannya.

Lastri menghela napas berat. Si jabang bayi seperti tahu kecemasan ibunya. Perutnya beberapa kali kontraksi ringan yang membuatnya menghela napas. Sedangkan Tomo tetap memilih diam.

“Mas, kamu kenapa? Apa yang sedang berkeliling dalam pikiranmu?”

Tomo duduk bersila. Dalam persilaannya ia sampai pada isapan cerutunya yang terakhir. Dibuangnya puntung itu ke halaman rumah.

“Menurutmu apa yang sedang aku pikirkan?” tanyanya pada Lastri. Pikirannya makin semrawut karena membayangkan janin dalam perut istrinya terus bertumbuh tiap hari.

“Aku membayangkan bagaimana jika anak kita kelak lahir. Kubayangkan dia berlarian di teras rumah sambil kau suapi, dan setiap hari kalian bermain-main dalam pikiranku”, Tomo menimpali.

“Tidak ada malam selepas hujan tanpa bau petrikor segar di pagi hari Mas. Tunggulah hari bahagia itu!”.

Tomo tak menyangka Lastri akan berkata demikian. Lastri tetap polos, seperti pertama kali mereka bertemu, di pondok Gus Aiman. Waktu lah yang kemudian mengantarkan semuanya pada kisah tak terduga seperti saat ini. Hanya ada Tomo, Lastri, dan si jabang bayi yang tak pernah bosan berkelebat pada pikirannya. Tomo cemas! Hidupnya tidak hanya dihantui virus mematikan, tapi juga desas-desus tetangga yang tak kalah mencekik hidupnya.

Sebenarnya ada yang harus tetap ia simpan dalam pikirannya selain menjaga Lastri. Tomo pikir dengan tetap menyimpan dalam pikirannya tak akan menyakiti Lastri setelah kejadian malam itu. Ia menjadi saksi bagaimana seorang wanita diperlakukan layaknya anjing jalanan oleh kerumunan orang. Namun semua terjadi begitu saja. Meski Tomo yakin kejadian kala itu akan selalu membekas di hati Lastri, Tomo tak ingin menambah beban dengan mengungkapkan kegundahannya.

“Aku sudah menyiapkan sarapan untuk kamu Mas. Segeralah ke dapur”, Lastri tidak ingin berlama-lama menebak kesibukan kepala Tomo.

***

Lastri seorang pendatang dari Wonosobo. Ia bekerja sebagai pengurus dapur pondok sejak melafazkan syahadat di depan Gus Aiman dan para saksi lainnya. Bagi Tomo, selalu ada kebaikan yang lahir dari pondok Gus Aiman. Sepeninggalan Kyai Dawam, pondok pesantren di bawah asuhan Gus Aiman menemui kejayaannya. Apalagi kebaikan-kebaikan dari pondok itu juga yang menyasar pada kehidupan seorang Tomo.

Sutomo Tamanhudi, tak ada yang bisa diperhitungkan darinya sebelum Gus Aiman mengadopsi jasanya sebagai petugas kebersihan. Tomo mengenang Gus Aiman seperti ketika ia berjalan di bawah hujan dan payung demi menyeberangi jalanan kumuh menuju Tomo.

Keberuntungannya tak cukup sampai di situ. Kehidupannya lekas membaik tiga bulan kemudian, tepat saat ia bertemu dengan sosok Lastri. Di balik tungku dapur yang gosong, ia melihat sosok Lastri dengan tangannya bergeliat mencumbui masakan. Hidung Tomo menjadikan asap arang tungku dapur Lastri bak aroma marjoram. Seperti hari keberuntungan Tomo, Lastri menyambut matanya.

“Ada yang bisa saya bantu Mas?”

Sungguh percakapan singkat yang menyingkap takdir baru bagi keduanya di malam itu. Mata Lastri selalu jatuh pada pikiran Tomo. Beberapa hari terakhir wanita itu seperti tak ingin melepaskan pikiran Tomo. Pertemuan di pondok Gus Aiman meninggalkan rupa sosok Lastri yang berkulit kuning langsat, bermata belo dan hitam sehitam jelaga. Percakapan yang ringan antara mereka membawa Tomo pada sebuah fantasi yang tak ada habisnya tentang sosok Lastri.

Fantasinya tentang Lastri belum selesai hingga malam membawanya pada suatu tempat dimana hanya ia dan Lastri yang tahu. Ia tak pandai berkata, tapi Lastri menjadikannya sempurna sebagai lelaki di malam itu. Ia menjadikannya malam panjang tak berkesudahan. Ketika dua matanya saling bertautan pada mata Lastri. Dinding gudang kosong pondok Gus Aiman merekam semua yang terjadi di antara keduanya. Gus Aiman tak lantas tutup mata.

***

Cukup pelan ia menarik perlahan ingatan itu. Meski sesal kini menyelinap pada setengah lubuk hatinya, untuk apa lagi Tomo terus berkubang dalam ingatan itu? Baginya kini membahagiakan Lastri cukup dengan menyambut baik atas pengabdiannya sebagai seorang istri dan calon ibu si jabang bayi.

Di antara hiruk pikuk dalam kepalanya, matanya menangkap sebuah sedan putih berhenti tepat di depan rumah. Kemudian seseorang yang tidak asing baginya turun dari mobil itu. Ia melihat Tomo yang lain melambai ke arahnya.

“Mo, Tomo! Wah gawat, nasimu sudah dipatok ayam!”

Seketika lamunannya buyar saat melihat sosok Sarju berdiri di hadapannya. Ia baru saja menyadari jika itu adalah sosok Sarju, anak seorang pemulung. Ia membawa sedan mewahnya di hadapan Tomo dan gubuk reotnya. Ah, Tomo makin menciut.

“Sarju!” ia menjabat tangan Sarju yang terulur ke arahnya.

“Kamu ini gimana, masih pagi kok sudah domblong gitu. Lagi pusing?”

“Ah duduk dulu Sar, biar kusuruh istriku membuatkanmu kopi. Ngomong-ngomong kamu sudah sarapan?”

“Belum, tapi aku tidak ingin kamu terlalu repot memikirkan itu”.

“Jangan sombong begitulah Juragan.. Jangan khawatir, aku masih bisa menghidangkan makanan untuk sarapanmu meskipun hanya berupa singkong dan pisang rebus. Tapi kamu mau tho?” setengah meratapi nasib ia menawarkan pada Sarju.

“Tentu aku mau tapi jangan panggil aku Juragan!”

“Tri.. Lastri! Ada Sarju di sini. Tolong buatkan dia kopi dan rebuskan singkong dan pisang untuknya!” teriak Tomo pada Lastri yang masih berkutat di dapur.

“Iya Mas!” sahut Lastri dari arah dapur.

Mereka tertawa. Sejenak Tomo melupakan siapa dan apa maksud kedatangan Sarju. Sayangnya Sarju tak pandai berbasa-basi.

“ Mo, sekarang kamu kerja dimana?”

Hening sejenak.

“Menurutmu bagaimana Sar?”

“Masih ndalem di keluarganya Gus Aiman?” tebak Sarju.

“Sudah lama aku berhenti. Panjang juga ceritanya”.

“Kudengar dari orang-orang, kau dan Lastri!”

“Iya. Rupanya mereka sudah menceritakannya padamu” tandas Tomo.

“Ah sudah lupakan. Aku kemari justru membawa kabar baik untukmu!”

Kabar baik yang baik yang dimaksud Sarju adalah sebuah lowongan pekerjaan. Sarju bilang, kantor bosnya di ibu kota sedang membutuhkan pekerjaan. Tentu saja Tomo sangat menyambut baik kabar ini. Ia tidak menyangka jika Tuhan menjawab doanya dalam waktu dekat.

“Tapi karena kondisinya sedang tidak memungkinkan untuk hijrah ke sana, bosku bisa kasih kamu keringanan Mo. Kamu bisa tetap kerja dari sini. Tugasmu hanya mengirimkan paket yang dikirim dari kantor pusat” jelas Sarju.

“Kamu yakin aku bisa memenuhi kriteria calon pekerja yang diinginkan bosmu? Ijazah terakhirku cuma SMP”.

“Aku sudah rekomendasikan kamu ke bosku. Kita sudah berteman sejak SMP bukan? Aku tahu betul kamu orangnya rajin dan giat”.

“Sudah pandai kamu rupanya Sur..”

“Tapi Mo, barang yang dikirimkan dari kantor pusat adalah benda berharga. Jadi kuminta kau berhati-hati. Jangan sampai ada orang lain yang tau jika barang yang kau bawa adalah barang berharga. Aku janji, setelah kau berhasil mengantarkan semua barang ke alamat tujuan, kau akan mendapatkan gaji pertamamu. Kau setuju?”

“Jangan khawatirkan itu. Kau lupa saat SMP dulu aku sering mengakali Pak Suratmo guru matematika kita? Sudah pasti aku akan berhati-hati!”

“Ah aku lupa kau dulu penjahat kecil yang ulung, hahaha..”

Lastri datang membawa kopi, pisang dan singkong rebus untuk mereka. Ketiganya lalu berbincang-bincang santai sembari menikmati kudapan bersama. Tak ada pagi yang lebih indah dibandingkan pagi ini bagi Tomo. Barangkali Sarju adalah jelmaan Tuhan.

***

Sarju benar. Kabar yang dibawanya memancing senyum pada Lastri. Tomo tak lagi murung. Kopi buatannya selalu habis tak tersisa sebelum Tomo pergi bekerja. Dan seperti pagi-pagi yang sempat hilang, Lastri mengantar Tomo sampai ke pintu depan sebelum pria itu berangkat bekerja. Tomo akan mengantarkan barang ke pemiliknya karena semalam barang-barang dari kantor pusat datang. Teman Sarju mengirimnya langsung dari ibu kota. Untuk itu suaminya tampak semringah, karena itu artinya sebentar lagi ia akan menerima gaji pertama.

Dilihatnya Lastri yang lebih cerah dari pagi ini. Demikian juga Tomo yang lebih cerah dari pagi-pagi muram biasanya. Ada enam kotak paket barang yang harus diantarnya pagi hingga siang ini. Semua alamat yang tertera tidak terlalu dikenalnya. Tapi tak apa. Tomo bisa mencarinya dengan giat. Hitung-hitung itu adalah sebagai bentuk rasa terima kasihnya pada Sarju. Mana mungkin juga ia menyia-nyiakan rezeki dari Tuhan. Kemudian Tomo dan motornya terlihat menjauh dari rumah sembari ia melambai tangan ke arah Lastri.

Tomo harus berlega hati. Sebelum pukul empat sore ia berhasil mengantarkan hampir semua barang ke alamatnya masing-masing. Tinggal satu barang yang harus ia antar. Kali ini tempatnya lumayan jauh. Tak apa, Tomo akan menyelesaikan tugasnya dengan baik. Tentu saja ini berkat kabar baik dari Sarju.

Kini motornya melaju, melindas bebatuan kecil jalanan desa yang tak seberapa baik kondisinya. Beberapa kali ia agak kehilangan kendali saat motornya melindas jalan yang berlubang. Sementara itu alamat tujuannya semakin dekat. Ia melihat seorang pria bertopi hitam berdiri menantinya di bawah pohon mahoni. Pasti pria itu adalah pemilik barang terakhir yang ia bawa, karena keterangan alamat mencantumkan pohon mahoni sebagai titik antar. Lalu Tomo meningkatkan kecepatan laju motornya.

“Selamat sore Pak. Ini barang pesanan Anda”. Pria bertopi itu menerima barangnya.

“Apakah kamu Tomo?” tanya pria itu.

“Iya benar”.

Kemudian sebuah percakapan kecil terjadi di antara mereka. Sebuah percakapan yang akhirnya tidak pernah Tomo sangka. Ia tak percaya pada pria bertopi hitam dan juga Sarju. Tiba-tiba Lastri hadir dalam pikirannya.

Sementara itu di rumah Lastri sedang menanti Tomo. Barangkali alamat tujuan barang yang diantarnya kali ini sangat jauh dari rumah dan sulit dicari. Pria itu harus menghabiskan setengah harinya di jalanan. Sudah pukul tujuh malam tapi ia tak kunjung pulang. Tiba-tiba Lastri cemas. Kecemasannya mengatar Lastri pada rasa kantuk yang tak tertahankan. Ia terlelap di atas lincak sembari menunggu Tomo pulang.

Hari sudah pagi. Lastri siap membuatkan kopi untuk Tomo sebelum pria itu berangkat mengantar barang. Anehnya pintu rumah tetap terkunci. Keadaan rumah hening tanpa suara deru motor Tomo seperti kemarin saat ia memanaskan mesin motornya. Latsri tersadar, Tomo belum kembali sejak semalam. Matanya tiba-tiba menjadi segar kembali. Kemudian ia membuka pintu rumah.

Selembar surat tergeletak di atas lantai. Ia tak sedang bertukar kabar dengan siapapun, termasuk keluarganya di desa. Tapi sungguh, surat ini membuat hatinya semakin tak karuan.

Lastri sayang.

Semoga malam harimu selalu indah ditemani rembulan dan pagimu takkan kelabu. Seperti katamu, tidak ada malam selepas hujan tanpa bau petrikor segar di pagi hari. Aku mencintaimu sungguh. Segenap jiwa aku meminta takdir agar kau selalu bahagia. Demi apapun, kulakukan semuanya untukmu, termasuk menerima pekerjaan gelap ini. Tapi malam itu takdir menjawab sebaliknya. Lastri, aku tak memintamu untuk tetap tinggal, tapi kumohon berbahagialah di sana. Di rumah kita.

Hari-hari berikutnya, Tomo tak pernah pulang. Sungguh, ia mencintai Lastri dan calon bayinya.