Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Martina Ariel
Sebagai orang yang telah mengecap pendidikan formal, apakah benar
adanya bahwa kita sungguh lebih terpelajar dari masyarakat adat?
Sebagian dari kita pernah membatinkan hal demikian. Jika tidak,
setidaknya, (pernah) menganggap bahwa buku beserta tetek bengeknya adalah
representasi pendidikan terbaik. Susan George dalam The Lugano Report: On Preserving
Capitalism in Twenty-first Century (1999), mengatakan, “life world” kita
terkoyak antara yang cekatan dan bertahan, dengan yang kurang lincah, yang
lumpuh dan tertinggal. Kita berada dalam situasi, di mana manusia saling
memangsa dan solidaritas antarorang senasib tidak lagi mengikat, karena yang
pertama dan utama adalah menyelamatkan diri masing-masing.
Kita tergagap.
Tidak dengan Fawaz Al Batawy. Bergabung dalam Sokola, membuatnya
menjadi salah satu pelaku perubahan. Baginya, teori para perancang pembangunan
tak cukup mewakili keadaan masyarakat adat saat ia bertugas dalam program
Sokola Asmat. Makna infrastuktur tidak berhubungan dengan kilometer jarak dari
Jew ke puskesmas, melainkan ketersediaan sumber daya manusia yang mampu
memberikan pendampingan dalam arus perubahan yang terus masuk ke tempatnya
bertugas.
Seperti ideologi, pendidikan juga merupakan wilayah konsistensi yang
serius karena terbentuk benturan antara realitas sosial, kemajuan zaman, pakem
adat, tradisi lokal, serta kebutuhan untuk diakui.
Fawaz, seorang sukarelawan guru di lembaga Sokola, lembaga yang
bergerak di bidang pendidikan untuk masyarakat adat di Indonesia, memulai
kegiatannya di Sokola sejak 2008. Hingga akhirnya, pada 13 Maret 2011, ia resmi
menjadi sukarelawan guru. Mengawali tugasnya sebagai sukarelawan di Sokola
Rimba, Jambi. Selanjutnya, ia ditugaskan di Sokola Asmat, Papua, Sokola Kajang,
Sulawesi Selatan, dan saat ini dipercaya sebagai koordinator di Sokola Kaki
Gunung, jember.
Ditemui di angkingan selatan Jembatan Lempuyangan, Rabu (27/2/2018),
Fawaz mencoba merangkum keterlibatannya di beberapa program Sokola. Sambil
sesekali membenahi posisi rambut panjangnya, dia menceritakan apa sebenarnya
substansi utama program Sokola.
Sokola adalah sebuah lembaga pendidikan alternatif bagi masyarakat di pedalaman hutan Indonesia yang dinisiasi oleh Saur Marlina Manurung (Butet Manurung), sarjana Sastra Indonesia dan Antropologi Universitas Padjajaran, bersama lima kawannya.
Program Sokola pertama kali diterapkan bagi masyarakat Rimba (Suku
Kubu) yang mendiami Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Konsep awalnya
adalah memberikan manfaat pendidikan secara langsung kepada lingkungan
masyarakat adat itu berada, khususnya untuk menyelesaikan masalah-masalah di
daerah tersebut.
Program Sokola terbagi menjadi dua. Literasi dasar dan literasi
terapan. Literasi dasar fokusnya berbagi
ilmu mengenai kemampuan membaca, menulis, berhitung, mendengarkan, berbicara,
dan mengkomunikasikannya. Sedangkan literasi terapan adalah bagaimana literasi
dasar tadi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat adat diharapkan
bisa mencari solusi atas masalah yang terjadi dalam internal komunitas mereka,
hingga masalah-masalah yang bersinggungan dengan dunia luar.
Deklarasi Praha Tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup
bagaimana seseorang berkomunikasi di tengah masyarakat. Literasi juga bermakna
praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya
(UNESCO,2003). Di dalamnya disebutkan bahwa literasi terkait pula dengan kemampuan
untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara
efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengkomunikasikan informasi untuk
mengatasi berbagai persoalan.
“Tentu saja kami di Sokola menerapkan itu semua dengan menjadikan
tradisi lokal sebagai basis utama dan titik tolak belajar. Literasi yang kami
pahami dan kami jalankan dalam program adalah bagaimana peserta program bisa
membaca, menulis, dan berhitung dengan baik setelah menyelesaikan program
literasi dasar,” tegas Fawaz Al Batawy, dalam bukunya Yang Menyublim di Sela
Hujan, Cerita Tentang Pengalaman Belajar Mengajar di Sokola Asmat (hlm 134).
Masyarakat adat memiliki kelengkapan dan tatanan budaya, hingga
mereka bisa berdiri sendiri. Memiliki kesatuan hukum, kesatuan penguasa,
kesatuan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya hak-hak yang disepakati bersama
atas wilayah yang mereka tempati.
Tidak jarang hukum adat ini berbenturan dengan hukum Negara. Contoh sederhananya ialah tentang sistem penguasaan tanah. Filosofi mendasar yang harus dipahami ketika kita bicara mengenai tanah sebagai hak ulayat masyarakat adat adalah hubungan mereka dengan tanahnya. Tanah dianggap sebagai kesatuan integral dengan kepribadian—religio magis.
UUPA diberlakukan di Papua pada 26 September 1971. Namun, pembebasan
tanah hak adat dan tanah hak ulayat oleh pemerintah provinsi tidak berpedoman
pada peraturan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (dilansir Antara News,
24 Oktober 2014).
Pembangunan untuk kepentingan umum ini kerap dilegitimasi untuk melakukan upaya
penindasan dan penaklukan dalam rangka dilaksanakannya suatu proyek. Tindakan
ini diklaim sebagai bagian dari penegakan stabilitas nasional. Sedangkan usaha
masyarakat adat untuk mempertahankan wilayahnya, diklaim sebagai upaya yang
menghambat pembangunan negara.
Sebuah tatanan budaya dalam masyarakat adat sudah selayaknya
dipertahankan. Namun, transformasi budaya juga tak bisa dihindarkan.
Transformasi perubahan ini terjadi sebagai proses penerapan kebiasaan atau
tradisi baru yang tidak sesuai dengan apa yang dahulunya diyakini.
Bersama Sokola, Fawaz masuk ke dalam ranah tranformasi budaya ini.
menjembatani arus informasi yang deras, dengan memberikan tools kepada masyarakat adat, agar mereka memiliki pegangan,
bagaimana harus memecahkan masalah yang timbul dari proses transformasi
tersebut, secara mandiri.
Ketentuan UU SPN Nomor 20 Tahun 2003, pada Bab VI pasal 13 ayat 1 disebutkan
bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal
yang dapat saling melengkapi. Pasal 14 menyebutkan bahwa jenjang pendidikan
formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi.
Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, bertingkat atau
berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang
setaraf dengannya; termasuk ke dalamnya ialah kegiatan studi yang berorientasi
akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan professional, yang
dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus (Coombs, 1973).
Literasi terapan yang dberikan oleh Sokola berbicara tentang
bagaimana literasi dasar yang sudah dikuasai bisa digunakan dan dimanfaatkan
untuk kehidupan sehari-hari, serta mampu dimanfaatkan sebagai alat bantu untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi komunitas.
Masalah yang sering muncul di tengah masyarakat adat adalah masifnya
pengaruh luar yang masuk ke lingkungan mereka. Kasus gizi buruk di Asmat
misalnya. Jokowi pernah menawarkan relokasi warga Asmat yang terdampak gizi
buruk dan campak. Tawaran tersebut disampaikan agar penduduk yang tinggal di
daerah terpencil bisa dipantau kesehatannya. Namun, apakah rencana relokasi
tersebut sudah disesuaikan dengan tatanan budaya yang berlaku di Asmat?
Tatanan budaya membawa masyarakat adat memiliki kemampuan untuk
hidup dan menetap pada wilayah tertentu sebagai ciri khas kepribadiannya.
Karena dari sanalah mereka berasal. Dari sanalah muncul pengetahuan, yang
akhirnya membuat masyarakat adat lebih “jenius” dibandingkan makhluk lainnya.
Dan dari sana juga muncul hak ulayat (wilayah) yang menentukan muasal mereka
sebagai masyarakat asli.
Jika sebuah program atau bantuan didasarkan pada persepsi sepihak,
maka yang terjadi adalah penaklukan, karena kita memaksakan kepada mereka untuk
memakai ukuran-ukuran kita. Cara pandang demikian, sama saja kita berkata pada
mereka bahwa diri kita “lebih bahagia”, “beradab”, “pintar”, “kaya”, dan lain
sebagainya.
“Sebelum kita melakukan program Sokola, ada proses assessment yang berlangsung sekitar satu
hingga tiga bulan. Dari proses tersebut, kita bisa tahu, apa sebenarnya
kebutuhan masyarakat adat tersebut. Kalau masyarakat tidak merasa ada “masalah”
terkait literasi yang harus diselesaikan, kita tidak akan masuk ke sana. Itu
sama saja menganggu kehidupan “asli”
mereka,” ujar Fawaz.
Dalam konteks persoalan masyarakat adat yang begitu beragam,
pendidikan formal itu layaknya “ilmu pergi”. Berusaha menciptakan
manusia-manusia yang beranggapan bahwa kesuksesan bisa didapat di
tempat-tempat, yang memang menjadi ladang upah. Manusia “dipaksa” untuk pergi
dari tempatnya berasal, menuju ladang upah itu tadi.
Inner success tidak melulu
berkaitan dengan bagaimana mendapat jabatan setinggi-tingginya, upah
sebanyak-banyaknya, atau pergi sejauh-jauhnya, tapi lebih kepada bagaimana
komitmen kuat bisa terbentuk untuk melakukan perubahan sikap mental, moral, dan
perilaku pada setiap pelakunya. Yang diberi pendidikan adalah gerak pikrian
manusia.
Bagi Fawaz, menjadi sukarelawan dalam Sokola, membuatnya memiliki
hubungan resiprokal dengan lembaga ini. Bekerja menjadi bagian perkembangan
Sokola, sekaligus sekrup produksinya, tetapi lembaga ini juga bekerja di dalam
dirinya.
Sepertinya, jalan telah dipersiapkan dengan baik.