Author: kibulin

  • Bara Dupa

    author = Achmad Rofii

    Di tengah badai hujan yang tak kunjung reda, sambil menangis Ibu mengipasi bara dupa. Sesekali ia taburkan garam kasar. Gemeretak bunyinya seolah sedang berusaha menenangkan hujan yang terus-menerus menghujam desa. Kepulan asapnya dengan cepat tertiup angin, bersamanya ikut serta harapan Ibu satu-satunya: keselamatan bagi Bapak yang tengah berlayar menuju Kumai.

    Penghujung tahun seperti sekarang ini, hujan memang kerap datang bersama angin kencang. Akibatnya tak sedikit langgar di depan rumah warga runtuh berhamburan. Sebelum hujan benar-benar berhenti, kami lebih memilih berdiam diri di dalam rumah dan tak henti-hentinya mengucap istighfar dan shalawat. Sebagaimana perintah Ibu, kami harus membaca segala puji dan doa demi keselamatan Bapak.

    Dari balik jendela rumah, diam-diam kuperhatikan Ibu yang meski menggigil kedinginan, tetap mengipasi bara dupa. Dengan polos, kusarankan beliau untuk mengipasi dupa dari dalam rumah.

    “Nak, mungkin Ibu hanya akan sakit karena kedinginan. Tapi Bapakmu, selain kedinginan, ia juga harus menjaga keseimbangan kapal yang terombang-ambing oleh badai, sebagaimana ia harus menjaga nyawanya agar tak hilang ditelan lautan.”

    Dupa semakin membara. Kepulan asap hilang seketika. Panjatan doa Ibu menembus batas cakrawala. Aku tak kuasa membayangkan kemungkinan Bapak tiada.

    Di desa kami, membakar batu dupa adalah cara setiap isteri dan ibu mendoakan suami dan anak lelakinya yang melaut di musim hujan. Jika di daratan hujan lebat datang bersamaan dengan badai angin topan, maka di tengah laut kondisinya jauh lebih mengerikan. Arus ombak bisa mencapai ketinggian lima sampai sepuluh meter, siap menggulung dan menelan segalanya di permukaan. Tak terkecuali kapal kayu yang ditumpangi para pelaut dari desa kami, mereka yang nekat tetap berlayar meski sadar bahwa alam lautan bisa merenggut nyawa seketika.

    Dalam histori celakanya kapal di tengah badai musim hujan, terkadang sebagian besar ABK selamat dan sisanya menghilang. Tak jarang pula yang terjadi justru sebaliknya. Kakek Amin pernah mengalaminya. Ia berhasil bertahan hidup selama tiga hari di tengah lautan, kemudian berhasil dipulangkan bersama dua dari lima belas ABK lainnya yang tenggelam dan tak dapat ditemukan. Bapak juga pernah mengalaminya, dua kali bahkan. Tetapi kami tak pernah sekalipun membanggakan ketangguhan Bapak bertahan hidup di tengah lautan. Apalagi membayangkan hal yang sama terulang ketiga kalinya.

    Hujan akhirnya reda setelah tiga jam lebih menerjang desa. Banyak tetangga kehilangan. Beberapa di antaranya harus merelakan antena televisi dan radio tumbang. Sampah dan rerongsokan berserakan di mana-mana. Ibu agak sedikit lega, meski kecemasan masih amat jelas tergambar di raut wajahnya yang ayu.

    Jam telah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Derik jangkrik kini tergantikan oleh sahut-sahut kodok yang tinggal di bangunan kosong sebelah rumah kami. Sebelum terlelap, beberapa kali kudengar Ibu menghela nafas panjang, “Ya Allah.”

    Keesokan harinya kami semua ke belakang, menyiapkan diri untuk berkumpul. Ibu dengan pisau di tangannya meneriaki kami yang tak menyegerakan diri untuk bergabung. Adik kami yang sebenarnya tak sudi melewatkan serial cartoon favorit, dan kami berdua yang masih enggan bangkit dari tempat tidur.

    Setelah semua berkumpul, Ibu mulai memainkan pisaunya, memotong kecil-kecil tomat sebelum kemudian ia ulek bersama cabai dan bumbu fundamen lainnya. Berbeda dengan menu sarapan pada hari aktif sekolah seperti nasi goreng plus telor dadar, menu sarapan kali ini cukup spesial dan merupakan lauk favorit kami sekeluarga, yakni cumi-cumi yang dipepes bersama bumbu rempah-rempah pilihan. Ibu membuka bungkusan daun yang terlihat gosong di permukaan dan seketika aroma lezatnya mengemuka. Selamat makan.

    Ketika suapan kedua kami sedang berlangsung, Ibu memperingatkan agar tidak lupa berdoa sebelum makan. Tapi tidak satu pun dari kami yang menghiraukannya. Peringatan itu justru disambut dengan pernyataan adik kami tentang mitos cumi-cumi yang didengarnya dari seorang tetangga.

    “Kata Mbok Anik, bukan ikan hiu bukan pula ikan paus, tapi cumi-cumi hewan pemakan jasad para pelaut yang tewas karena tenggelam melawan badai di musim hujan.”

    Sambil mengunyah, Ibu menjawab, “kata orang-orang dulu sih begitu. Tapi itu cuma mitos.”

    “Kalau itu mitos, kenapa semua orang di desa ini, selain menziarahi pantai, juga berhenti mengolah dan mengonsumsi cumi-cumi selama 40 hari ketika salah seorang lelaki di keluarganya hilang atau mati tenggelam?”

    Ibu tak lagi menghiraukan pertanyaan kami. Ibu sedang berusaha menangkap sayup-sayup suara yang memanggil namanya dari kejauhan. Suara itu semakin mendekat dan mudah bagi kami untuk mengenalinya.

    Rupanya memang Kakek Amin, kepalanya kini tiba di pintu samping rumah. Sambil mengatur nafas, ia sampaikan kabar tentang Bapak yang tenggelam tadi malam. Entah mengapa tiba-tiba kami berhenti mengunyah cumi-cumi dan langsung menelannya cuma-cuma. Kami semua panik setelah Ibu tak sadarkan diri.

    ***

    Setelah seminggu tanpa kepastian apakah Bapak selamat, hilang, atau mati tenggelam, Ibu mengumpulkan kami. Sebelumnya kami tak pernah mengira, bahwa Ibu akan setegar ini. Kata beliau, hidup harus terus berlanjut dan mulai besok kami harus sekolah kembali!

    Kakak sempat meminta izin untuk berhenti sekolah. Ia ingin bekerja supaya bisa membantu membiayai kebutuhan keluarga, tetapi Ibu melarangnya. Suatu kali Kakek Amin pun sempat meminta Ibu agar mengizinkannya merawat dan menanggung biaya sekolahku, tapi juga Ibu tolak. Ibu selalu ragu jika kami diasuh oleh orang lain, meski sadar bahwa mengasuh tiga orang anak yang kehilangan seorang ayah bukanlah pekerjaan mudah.

    Kini pekerjaan rumah menjadi tugas kami, mulai dari menyapu, mencuci, sampai pergi ke pasar. Sedangkan Ibu sejak pagi masih gelap menyiapkan jajanan yang akan beliau titipkan ke hampir semua warung yang ada di desa. Setelah itu, bersamaan dengan kami berangkat sekolah, Ibu pergi ke rumah Haji Suraji: menjadi pembantu. Ibu juga membuka jasa penatu yang baru akan beliau kerjakan sore hari sepulang dari rumah Haji Suraji.

    Malamnya Ibu tidak langsung tidur. Di atas kasur sambil membelakangi kami, Ibu selalu memeluk baju kotor terakhir yang Bapak tinggalkan. Baunya melekat di setiap tarikan nafas. Ibu akan pura-pura terlelap jika tahu salah satu dari kami sedang memerhatikan air matanya.

    ***

    Tahun demi tahun berlalu. Kabar tentang Bapak pun tak jua tiba. Pelan-pelan kami mulai bisa merelakan kepergiannya. Kenyataan hidup benar-benar telah mendewasakan kami sekeluarga.

    Kakak perempuan kami telah berhasil dengan pekerjaannya yang mapan, karenanya pun Ibu tak perlu lagi bekerja. Sebentar lagi Adik juga akan melanjutkan studi di Kairo setelah lulus seleksi beasiswa pesantren.

    Sementara aku… Aku justru sedang ditahan dan harus mengikuti tahapan persidangan yang sungguh menyebalkan.

    Semuanya bermula ketika aku dengan beberapa kawan berupaya menghasut warga desa agar golput pada pemilihan Kepala Desa beberapa bulan lalu. Isu korupsi dan politik uang menjadi alasan mengapa aku melakukannya. Gerakan itupun setidaknya berhasil memengaruhi lebih dari seperempat jumlah pemilih tetap.

    Menyadari bahwa apa yang telah kulakukan nyaris membuat calon petahana kalah, mereka kemudian membayar aparat kepolisian untuk merekayasa perkara dengan menyeretku pada kasus pengedaran narkotika berjenis shabu. Atas kasus tersebut, aku diancam hukuman seumur hidup.

    Ibu yang sejak awal tak setuju dengan apa yang kulakukan selama pemilihan, akhirnya tiba di persidangan pertama dengan air mata kebencian. Sebelum dimulai, bersama Kakek Amin, Ibu menghampiriku dan menceritakan kenyataan yang sungguh tak kusangka betapa teganya beliau menyembunyikan misteri kematian Bapak.

    Sambil menyeka air mata, Ibu melanjutkan, “dan yang kamu hadapi sekarang adalah ia yang telah menyingkirkan Bapakmu. Ibu tak mau, Nak…” suaranya semakin lirih, “Ibu tak mau kehilangan kedua kalinya.”

  • Banu Sadikin Penyair Hebat

    author = Kusharditya Albi

    Banu Sadikin sekarang berdiri di atas panggung yang megah. Panggung yang diimpikan para seniman kroco dimanapun mereka berada. Panggung tempat berbagi keangkuhan kaum seniman dan intelektual. Di hadapannya kini, berjajar kritikus-kritikus sastra, para seniman maupun sastrawan ternama, tak lupa seniman-seniman muda kroco yang ngiler dan menatap khayal dirinya berada di panggung itu. Panggung apresiasi sastra kota pelajar.

    Banu pun mengaum lantang dengan puisinya :

    Tak ada yang lebih jujur dari coretan di tembok kota
    ‘Pemerintah anjing !’ itu bukan kataku
    Tembok kota bersuara
    Tak ada yang lebih kasih daripada tembok kota
    Nafas senggal rakyat miskin hilang setelah bersandar

    Kira-kira begitu bunyi penggalan puisi  Banu Sadikin, yang akhir-akhir ini karya-karyanya menjadi perbincangan para seniman di kota Jogja. Usai puisi dibacakan, penonton yang hadir serempak tepuk tangan dengan meriah. Sangat meriah seolah-olah ini adalah sebuah kontes tepuk tangan. Di depan sudut kiri Banu, terlihat Emon Supriyadi, kritikus sastra terkenal itu melongo melihatnya. Banu jadi bangga hati. Senyumnya melambung memenuhi mata penonton.

    “Sungguh hebat ! Benar-benar karya monumental bung ! Lebih kena kalau saya mendengar bung Banu membacanya !” Karno Bujel menyalaminya seusai Banu turun dari panggung.

    “Ah bukan apa-apa, sudah tugas penyair menyampaikan keresahan di negeri ini bukan ?” Jawab Banu dengan nada rendah.

    “Tidak Bung tidak ! Menurut saya. Ehem. Ini bukan sekedar puisi bung ! Ini  adalah semangat yang menggugah, persis seperti Chairil dengan puisi Karawang-Bekasinya yang membangkitkan semangat kemerdekaan, tapi kali ini Chairil tak ada apa-apanya bung ! Betul ! Dia cuma jiplak puisi orang, bung Banu kan tidak” kata Emon Supriyadi mendekat.

    “Ehem, Sastra Indonesia hari ini begitu lembek bung, hanya mengejar estetika saja, tidak ada yang mau menyuarakan keadaan rakyat kita” tambah Emon dengan tenang sambil sesekali batuk. Ia bukan pengidap penyakit TBC, cuma begitulah cara bicara yang intelek dari seorang kritikus ternama ini.

    “Saya sepakat bung! Ya, ya, seniman-seniman hari ini hanya mencari nama saja, munafik semua! Betul bung, siapa yang tidak saya kenal?” Karno menanggapi sambil menyulut sebatang Lucky Strike yang terselip di mulutnya.

    “Anda termasuk bukan ?” Balas Emon ketus.

    “Ya bisa jadi, saya ini cuma bohemian bung!” Kata Karno sambil tertawa lebar.

    Dan ketiga orang itu pun tertawa sejadinya.

    “Sudah Bung sudah, karya saya hanyalah kegelisahan saya saja, tidak usah dilebih-lebihkan!” Banu menutup tawa mereka serupa volume radio yang diputar perlahan.

    Malam itu, Banu Sadikin  dibanjiri pujian dari para seniman.

    *

    Ini malam kesepuluh aku berjalan mengelilingi kota Jakarta. Kemana pun itu aku harus tetap melangkah. Punggungku lemah namun aku tetap tak mau bersetubuh dengan lantai. Jakarta malam hari adalah jam akrobat para kriminal kota rendahan. Wajah kemewahan ibu kota sedang dipaksa tidur. Aku yang memaksakan diri untuk berjalan akhirnya kalah juga oleh haus yang menghantam kerongkonganku dan memaksa kaki untuk berhenti. Maka aku pun bersandar pada tembok rumah yang penghuninya lelap.

    Seorang bapak yang terjaga, terlihat cemas menggendong anak balita yang menangis. Aku yang duduk setengah sadar merasa sakit juga mendengar tangisan itu. Setan macam apa yang mengganggu bocah pada tengah malam begini.

    Setelah aku minum setengah botol air yang kuambil dari kran masjid tadi. Mataku sedikit demi sedikit mulai jelas terbuka. Aku mendekati bapak-bapak itu.

    “Kenapa anak bapak ?”

    “Eh, Mas, nganu lapar kayaknya Mas… Sssstt cup cup Nang” jawab bapak itu sambil terus menenangkan anaknya.

    “Kenapa tidak disuruh makan ?”

    “Lha wong saya juga gak ada uang Mas, mudah-mudahan besok saya bisa dapat uang”

    Bapak-bapak itu menjawab sambil memelas. Setelah bertanya apa pekerjaannya, kenapa ia tak punya uang, dimana ibu anak ini. Bapak ini malah ikutan menangis. Sialan! Setan macam apa yang mengganggu bapak ini sampai menangis di tengah malam begini. Meskipun menangis ia cukup murah hati untuk membagi ceritanya.Ternyata, bapak ini seorang tukang sapu jalanan. Namun hari ini sedang tidak ada kerjaan. Karena upahnya harian, kalau ia tidak bekerja ya tidak ada upah. Apesnya, upah kerja kemarin ia habiskan begitu saja. Ibu anak ini katanya minggat balik ke kampung. Nasib memang menyerupai setan batinku. Karena merasa iba aku menyerahkan uang sepuluh ribu yang aku punya. Satu-satunya. Dan arlojiku yang mungkin bisa dijual untuk bekal makan dua hari.

    “Lho Mas, terima kasih Mas, beruntung masih ada orang baik seperti mas.” Bapak itu tak henti-hentinya berterima kasih, seumpama ucapan terimakasih itu adalah kebahagiaan, maka langit Jakarta akan dipenuhi kebahagiaan dari bapak ini. Aku hanya tersenyum melihat bapak ini, namun anaknya masih menangis. Satu setan sudah kutumpas. Aku seperti dukun saja jadinya.

    “Mas, kelihatannya mas baru di Jakarta, mari ke tempat saya sebentar,kita makan sama-sama” ajak bapak itu.

    “Maaf Pak tapi saya harus pergi,” kataku.

    “Pergi kemana? Ini sudah malam, tolong bantu menggendong anak saya, supaya saya bisa masak, nanti kita makan sama-sama,”

    Karena bapak itu meminta tolong, aku tak bisa menolak dengan argumen apapun lagi. Maka aku pun memasuki tempatnya yang hanya rumah kardus dan kayu, mirip seperti sinetron di televisi yang menjajakan kemiskinan. Aku tak tahu apa nama tempat dimana aku berada sekarang, sejak kedatanganku kemari aku hanya berjalan di Jakarta, dimana sengsara menjejali sudut kota. Aku pun menggendong anak bapak itu, ia sudah tak begitu rewel, anak ini tahu ayahnya akan membuatkan makanan. Maka diriku yang tak pernah punya jabang bayi ini tak kerepotan menghadapi bocah rewel, tak ada setan lagi mengganggunya. Ia diam saja duduk dekat denganku.

    Ayahnya kembali setelah membeli beberapa bungkus mie instan, ia memasaknya sambil bercerita tentang keadaannya, dan keadaan kota Jakarta. Setelah mie untuk kami bertiga matang bapak dan anak itu memakannya. Aku tidak memakannya, aku bilang aku.sudah makan, nanti akan aku makan kalau sudah lapar lagi.

    “Nama mas siapa? Saya Suwandi” tanya bapak itu.

    “Saya Banu pak, Banu Sadikin”.

    *

    Kafe Aksara, adalah kafe tempat para seniman biasanya berkumpul. Biasanya kafe itu sering digunakan untuk seniman Jogja untuk mengadakan pertunjukan atau membuat pameran tunggal kecil-kecilan. Kalau untuk pameran dan pertunjukan besar biasanya pengunjung kafe sepi dan migrasi ke tempat dimana perhelatan seni digelar.

    Banu Sadikin, dan Robby Kusuma  sedang berbincang di kafe sambil mabuk dan membicarakan apapun yang bakal keluar dari kepala mereka. Mereka adalah seniman-seniman yang baru punya nama di kota Jogja. Sudah resmi mendapat label penyair dari seniman lain.

    “Bulan ini kan bukumu meledak tuh, susul karya yang lain dong supaya gak keenakan,” ujar Robby kepada Banu.

    “Ah, santai lah! Karya harus ada esensinya dong, berkarya itu kan proses pikiran dan perasaan,” jawab Banu sambil mengempaskan asap rokok.

    “Kawanku bilang sastra juga bisnis, Ban, ya macam kerja kantoran itu lah kalau sudah ada koneksi gampang masuknya! Kawanku itu, yang karyanya sering terbit di Koran Matahari kamu pikir karyanya bagus? Biasa! Klise! Tapi dia kan punya orang dalam di Koran jadi ya bisa, paham maksudku? Karyaku aja baru dilirik setelah dapat ulasan dari pak Sasono, brengsek kan?” Kata Robby dengan wajah serius.

    “Hahaha, ya, ya aku tahu ini kesempatan,” jawab Banu sekenanya, ia sedang mabuk.

    Di sebelah kiri Banu dan Robby duduk segerombolan orang yang mabuk, mereka membaca puisi bergantian. Kafe ini memang membolehkan pengunjungnya mabuk, karena kafe ini juga menjualnya. Sudah jadi hal biasa, tiap malam ada pembacaan puisi dari orang-orang mabuk.

    Biasanya seniman-seniman muda atau mahasiswa yang gandrung dengan buku-buku sastra berkumpul di kafe sambil melihat seniman yang punya nama dalam satu ruangan. Mereka berharap tertular kepopulerannya serupa santri yang berharap mendapat berkah ketika sering bertemu kyainya.

    Salah satu gerombolan itu melihat Banu, Banu tertawa melihatnya karena salah satu pemabuk itu benar-benar tolol tingkahnya. Kemudian pemuda yang tolol itu mendekati Banu. Banu dan Robby menanggapinya dan sedikit mengerjainya. Kawan-kawan pemuda itu tertawa melihat tingkah pemuda yang mabuk parah.

    “Ba… nu… Ndak salah saya, Banu Sadiiiikin hahaha hebat-hebat.. lihat ini, ini buku puisi-puisimu, tak baca ya Mas Banu, boleh? Pasti boleh!” Kata pemuda itu sambil memegang buku Banu Sadikin, Ayat Perlawanan sebuah kumpulan puisi dengan gambar api di seluruh sampulnya.

    Banu terkekeh saja melihatnya, karena ia juga sedang mabuk.

    “Baca puisi Banu kesukaanmu, dia bakal bayar minumanmu ! Cepat ayo hahaha !” Robby menanggapinya.

    “Sabar mas sabar hmmm…. nah  iki aku suka iki!”

    Pemuda itu akhirnya membaca puisi.

    : “Di sepoi angin malam bulan menangis tiada juntrungnya

    “Di sepoi angin malam bulan menangis tiada juntrungnya
    Perempuanku sendu dipeluk tangan-tangan para jahanam
    Kemiskinan adalah tubuh telanjang perempuan itu
    Perempuan yang berbaju kebinalan!”

    “Haha… Bagus-bagus terima kasih!” Kata Banu.

    “Nggg… Hehe mas, saya pikir ini tentang pelacur ya mas Banu, mas nyeritain diri sendiri to ?” Kata pemuda mabuk itu.

    “Apa maksudmu?” Tubuh Banu mendadak panas, bukan karena efek alkohol tapi kata-kata pemuda itu.

    “Ban, sudah dia mabuk!” Robby menyela.

    “Ya benar mas, karya-karyamu ini saya pikir cuma jualan idealisme saja to, miskin-miskin sekarang menjual lho mas Banu! Ehehe….” kata-kata pemuda itu kali ini membuat meledak Banu. Banu mengambil gelas besar yang dipakainya minum, dihantam juga kepala pemuda itu.

    Pyaaaarrr!  Gelas yang pecah di kepala pemuda itu berhamburan ke lantai serupa musik. Darah keluar dari kepala pemuda itu mengalir dan menetes ke lantai seperti merindukan serpihan kaca yang membuatnya keluar.

    “Aduuuuh! Bajingan!” Pemuda itu menjerit kesakitan dan sempoyongan lalu jatuh. Belum puas Banu meluapkan amarahnya diinjak pula muka pemuda itu dengan sepatu Doc.Mart kesayangannya.

    “Anjing! Woy sudah!” Robby mencoba menghentikan Banu yang kerasukan setan.

    Kawan-kawan pemuda itu membantunya yang kesakitan dihajar Banu. Seluruh pengunjung kafe berusaha menghentikannya. Kata-kata pemuda mabuk itu benar-benar menancap di hati Banu. Ia pun resah.

    *

    Aku meninggalkan bapak dan anak itu setelah mereka tertidur, mie instan yang disediakan untukku tak kumakan. Biar saja mereka yang makan, lagipula aku benar-benar tidak ingin makan. Nafsu makanku hilang bersama gairahku yang juga hilang di hingar bingar dunia kesenian. Aku sedang kacau. Sudah dua hari aku tidak makan paling-paling jika rasanya ingin mati aku hanya membeli roti di warung kecil.

    Aku berjalan melewati tepi sungai menuju ke arah keramaian pemuda-pemuda malam kota Jakarta. Sepuluh hari ini aku tidak pernah mandi, aku sengaja meninggalkan kota Jogja, meninggalkan rumah yang berupa bangunan maupun manusia. Tak ada niatku pulang ke Surabaya. Kenapa aku ke Jakarta. Entah. Aku ingin merasakan keadaan yang paling sengsara. Kalaupun aku mati di sini, semoga saja aku mati serupa filsuf yang dimakan anjingnya. Diriku sudah terhina.

    Dua pemuda dari gerombolan yang kulewati mendekatiku, mereka sedang mabuk. Sudah kukatakan malam di Jakarta adalah waktu akrobat bagi para kriminal kelas bawah. Aku pasrah jika mereka memukulku atau membunuhku saat ini juga. Dan benar mereka memukulku, mencoba mengambil barang berharga milikku, ambillah, bahkan harga diriku pun sudah tak ada.

    Aku Banu Sadikin sedang menghukum diri dalam kesengsaraan.

    Yogyakarta, 2018

  • Apakah Seperti Ini Menjadi Seorang Lelaki, Mar?

    author = Imey Triani Wasono Putri

    Juara 3 Lomba Cipta Cerpen Festival Sastra UGM 2020

    Sekarang aku tak mengenal takut lagi. Hari-hari menyeramkan yang setiap saat menghantui, seolah telah meledak jauh ke langit menjelma kembang api. Anyir darah yang seringkali membuatku pusing kepayang bahkan pingsan, kini seakan selalu membasuh tubuhku. Kepala-kepala itu menjelma mainan tentara, bahkan menjadi pemandangan biasa yang terlukis di sepasang mataku. Bahkan tanganku yang biasanya bergetar hebat saat memegang kapak, kini dapat memenggal kepala sambil mendendangkan lagu Nurlela dan akan berteriak semangat saat lirik “cha cha cha!” lantas diikuti gelak tawa tiada terkira.

    ***

    Pagi itu, mau tidak mau aku harus bangun lebih awal. Sesuatu telah membuat celana pendekku basah dan itu sangat tidak nyaman. Rembesan sisa hujan berjatuhan dari langit-langit kamar. Aku menegakkan badan sambil mengusap kasar wajahku, memastikan hari memang masih sangat pagi. Ranjang tuaku ikut bersuara seolah mempertanyakan nasibnya yang memang sudah sangat tua itu. Ah, kemiskinan memang sudah mengutukku sejak dalam kandungan.

    Aku melihat sisi kasur di sebelahku telah kosong. Seperti biasanya, ia akan bangun jauh lebih pagi dari aku bahkan matahari sekalipun. Aku melihatnya sibuk menjaga api,  menjejalkan beberapa kayu bakar pada mulut tungku sederhana dari tanah liat itu. Pundaknya kusentuh pelan. Sepertinya ia sedikit terkejut, namun tetap terjaga ketenangan dan anggun. Ia menoleh lalu menampakkan garis senyum. Aku mencium keningnya. Ia mengucap selamat pagi dan  sedikit menggerutu perihal daster yang diompoli kucing tetangga. Aku menyalakan radio, mendengarkan lagu apapun yang sedang diputar pagi itu.

    Umur pernikahan kami kira-kira sudah empat tahun berjalan. Namun, tetap saja kami hanya tinggal berdua di rumah lusuh warisan orang tuaku tanpa seorang anak. Aku merasa sedikit kecewa dan beruntung. Kecewa karena seringkali iri melihat saudara, tetangga, teman, atau bahkan artis yang bergelak tawa dengan anak-anak mungil dan manis. Walaupun, cepat-cepat aku menyingkirkan pikiran itu sambil meyakinkan diri, bahwa: dunia hanya ajang untuk saling pamer, pun tidak terkecuali perihal kebahagiaan. Dan beberapa kali merasa beruntung karena tidak direpotkan oleh anak-anak yang menurutku sedikit ribet.

    Rasa-rasanya, hubungan yang terjalin semakin hambar. Tidak bahagia tidak pula bersedih. Kita sama-sama tersenyum, memberi ucapan selamat pagi, kecupan sebelum tidur, bahkan melewati malam-malam liar. Namun, semua terlewati tanpa ada lagi sesuatu yang mendebarkan—berbeda dengan dulu. Rutinitas yang dirasa orang romantis itu, berlalu seperti angin lewat. Aku merasakan itu semua, entah dengan dia.

    Menjadi pustakawan—sebenarnya aku lebih suka menyebutnya babu perpustakaan—bukan pekerjaan yang menyenangkan namun tak terlalu buruk juga. Walau kadangkala membosankan, setidaknya aku bisa menghindari suasana rumah dan gemerlap suara sepatu lars di jalanan. Aku hanya perlu duduk manis sambil mendengar iklan jamu pegal linu sambil menunggu pemutaran album Titiek Puspa setiap hari sabtu di radio. Menata buku sambil mendendangkan lagu Nurlela dan sesekali memperagakan lirikan-lirikan manja.

    Beberapa kali para tentara datang kesini. Menanyakan tentang pengunjung dan buku-buku; Apakah ada orang mencurigakan yang pernah kesini? Apakah ada buku paham kiri? Apakah ada buku yang menghasut rakyat? Seringkali pula bercerita dan sedikit mengancam bagaimana nerakanya penjara di negara ini. Aku takut. Begitu saja, aku sudah takut. Memang kala itu siapa yang tak takut dengan orang-orang itu?

    Tak jarang pula mereka merayuku. Mencubit pipi. Menarik kerah baju. Menepuk bokong. Menyentuh kelelakianku. Kurang ajar! Sialan! Biadab! Tak punya tata krama! Apakah di luar sana kekurangan perempuan, hingga seorang lelaki harus mereka gerayangi? Tetap aku tidak bisa melawan. Aku takut. Begitu saja, aku sudah sangat takut.

    Tidak ingat pasti, bagaimana mereka membawaku dari perpustakaan itu. Yang kuingat hanya sepatu lars yang menendang bahu. Sepasang jempol yang diborgol. Anyir darah yang mengalir di sudut bibir karena seringkali dihantam tamparan. Juga tulang rusuk yang tersiksa oleh sikutan dan beberapa tinju yang membungkam mulutku.

    Entah apa yang kurasakan semalam sebelum aku ditodong senjata hari itu. Malam di rumah yang biasanya terasa biasa saja, kala itu menghangat. Selimut yang menutupi setengah tubuhku dan istriku membuat pengap dan banjir keringat. Tiba-tiba aku ingin sekali mendengar lagu Fly Me to the Moon dengan segelas teh atau kopi yang dicampur jahe.

    “Jangan lupa jahenya dibakar juga!” ucapku sambil mempercepat langkah menyesuaikan posisinya.

    Ia menyalakan api, menjejalkan beberapa kayu bakar di mulut tungku, sambil sesekali mengusap mata dan menyeka peluh di dahi. Tangannya sibuk menyiapkan panci untuk merebus air dan jahe yang dibakar di atas api. Ia berjongkok, menjaga kobaran api. Raut wajahnya yang sederhana memantulkan kasih sayang dan kehangatan.

    Aku menyalakan radio, memilih lagu Fly Me to the Moon  yang akan bergema malam itu. Tanpa penuh sadar, aku menarik lengannya. Ia sedikit bingung, namun tidak juga melawan tarikanku. Ku ajak ia menari, sekenanya. Hentakan kaki kita selaras dengan itu. Kita berdua menari sambil sesekali menguap dan memejamkan mata. Rasanya, saat itu aku tak ingin Frank Sinatra mengakhiri Fly Me to the Moon-nya, biarlah kita benar-benar terbang ke bulan dan terus menari berdua. Berdua saja.

    Aku bersandar di dadanya dan ia membelai rambutku yang mulai panjang—belum sempat pergi ke tukang cukur langganan, lalu ia lebih dulu pensiun. Tubuhku tak mau lepas dari pelukannya. Aku mencumbu bibirnya yang malam itu menawarkan rasa berbeda. Debaran yang sempat hilang, perlahan menghiasi sesuatu di dalam aku.

    “Bagaimana bisa kau dulu memilih menikah dengan orang sepertiku ini, Mar.” Aku menghela napas setelah perkataan yang asing itu keluar dari mulutku.

    “Emang kamu orangnya gimana mas?”

    Ndak pernah menyangka. Lelaki lugu dan kemayu sepertiku bisa punya kamu. Jiwaku kurang lelaki ya, Mar?”

    “Emang seorang lelaki itu harus seperti apa, Mas?”

    Obrolan ngawur itu terhenti oleh pertanyaannya yang terus menggangguku. Tak pernah terduga, malam itu benar-benar malam terakhir. Malam itu berakhir dengan secangkir kopi yang dicampur jahe, lagu “Fly Me to The Moon”, pelukan, dan pertanyaan singkat darinya yang masih saja kucari jawabannya.

    Aku benar-benar tidak dapat memastikan keadaanku saat ini. Rasa sakit datang bersamaan dan seolah mengoyakku hidup-hidup. Mulutku terasa ngilu dan asin darah. Lengan kananku tak berdarah namun menampakkan lebam. Pangkal jempol yang terluka dan nyeri. Dan rasa sakit lainnya, yang tak bisa kujelaskan seperti apa. Mungkin, mungkin saja, ini adalah perjalanan menuju jawaban atas pertanyaanmu, Mar.

    Tidak ada yang tahu alasan mengapa aku—dan beberapa orang—digiring kesini. Diberi makan ala kadarnya. Tidak ada yang bertanya. Tidak satupun dari kami mengeluarkan suara. Menatap mata para tentara sekejap saja, langsung kualihkan pandangan dengan amat ketakutan dan tergesa-gesa.

    Kami diinterogasi tentang gerombolan, kaum kiri, ideologi, pemberontak, buku penghasut rakyat, dan segala hal yang sebenarnya tak begitu kupahami.

    Jarum jam terus berputar ke kanan sebagaimana harusnya. Kami—aku dan mereka yang ditahan—masih belum tahu dan mengerti tentang alasan seperti apa hingga harus ditahan di sini. Untuk apa mereka bertanya-tanya perihal rela berkorban. Kami bukan siapa-siapa dan tidak melakukan apa-apa. Tetap, masih saja pertanyaan-pertanyaan itu hanya bersarang di kepala. Kami takut. Begitu saja, kami sudah sangat takut.

    Walaupun aku tidak disiksa—secara fisik—oleh orang-orang disini, namun aku tetap sangat tersiksa. Rutinitas ucapan selamat pagi, kecupan di dahi, memutar lagu Fly Me To the Moon, dan sesekali kau marahi karena terlambat berangkat kerja, memang harus segera kubereskan dari bayangan yang menghantui. Tapi, bagaimana aku bisa membunuh bayangan itu, jikalau ia telah menjadi tubuh lain yang melekat di tubuhku. Tolong aku, Mar.

    Atau, bagaimana aku mengakhiri benturan-benturan pada kepalaku sendiri berharap manja dan kemayu ini lekas mati. Aku sudah tidak di sisimu. Aku tidak lagi bisa meminta ini-itu padamu. Aku tidak lagi bebas berjalan sesuka hati dengan pinggul yang berirama kesana-kemari. Aku harus beranjak dari ini. Sekali lagi, tolong aku, Mar.

    Aku masih ingin mencari jawaban atas pertanyaanmu, bahkan saat aku harus mengerjakan hal, yang kata mereka adalah sebuah tugas dan perintah. Kukira aku hanya akan disuruh merebus singkong dan membuat kopi, atau pekerjaan lainnya yang ditempatkan di pawon.

    Namun, sore itu—sore yang tidak ingin kuulangi lagi—seseorang menyuruhku membuang karung yang entah apa isinya. Lagi-lagi aku masih berjalan kemayu, mengayun-ayunkan karung yang kutenteng dengan satu tangan, sambil menggerutu keberatan. Kukira, hari itu aku bekerja sedikit banyak sampai-sampai tubuhku menguar bau yang tak bersahabat dengan hidungku. Ku lempar sembarang karung itu dari seberang kali, penuh semak belukar  yang tumbuh malang melintang dan seringkali menusuk betisku yang semakin mengecil. Rasanya arus kali saat itu sedang deras-derasnya hingga sesuatu yang ada di karung mencuat keluar. Sesuatu yang mengapung terombang-ambing terbawa air. Tiba-tiba air kali yang terlihat coklat muda itu bercampur warna merah yang samar. Masih terus kupandangi sesuatu itu hingga terbawa sedikit jauh. Dan setelahnya, baru benar-benar kusadari.

    Tubuhku berkeringat, namun suasana kala itu membuatku merasakan dingin di tiap peluhku. Embus nafasku kasar dan tak teratur. Bibirku terasa kering gersang. Mataku masih menatap sesuatu itu. Memastikan, bahwa yang kulihat saat itu benar-benar kepala manusia dengan mata yang belum tertutup sempurna. Darah segar bercampur dengan coklat air kali. Beberapa ekor burung terlihat mendekati dan akhirnya ditinggal terbang melayang. Barangkali, burung itu merasa iba melihat begitu malang sebuah kepala yang terlunta-lunta oleh nasib dan derasnya arus sungai. Dapat kubayangkan kala itu, mungkin aku terlihat seperti mayat hidup yang sedang berdiri di pinggiran kali.

    Beberapa malam setelahnya, kantuk seolah tak sudi mengunjungiku. Seringkali tubuhku bergetar hebat dan aku hanya bisa menelungkupkan wajah dengan bantal agar ingatan itu tidak membunuhku pelan-pelan. Beberapa hari itu pula aku tidak bekerja, lebih banyak mengasingkan diri di kamar mandi dan duduk termenung di pojokan kamar.

    Setelah ketakutan itu. Setelah nuraniku terguncang cukup lama. Setelah hal-hal yang kuanggap dan (mungkin) kau anggap pula tidak berkemanusiaan itu membuatku seringkali merasa pusing atau bahkan pingsan. Aku seolah telah melanggar janji kita, sekaligus sedang menemukan jalan menuju jawaban itu, Mar.

    “Tidak ada yang lebih penting selain kemanusiaan. Itu kalimat terakhir yang diucapkan Bapak sebelum malam harinya ia menghilang entah kemana, seminggu kemudian telah ditemukan mati dengan tubuh kaku serta luka gorok di leher dan di perut yang melintang hingga di atas kemaluan. Dan aku ingin, sebagai calon pendamping hidup dan ayah dari anak-anakku nanti, dirimu memegang teguh ajaran Bapak, Mas. Berjanjilah.” Itu yang kau katakan padaku dengan suara lirih dan bergetar, sebelum cincin pernikahan—yang harganya tak seberapa—melingkar di jari manismu.

    Tapi, sekali lagi, aku telah melanggar janji kita dan sekaligus menemukan sedikit titik terang atas pencarian panjang menemukan jawaban dari pertanyaanmu. Sudah sangat jarang aku berkunjung ke pawon serta menyentuh peralatannya. Aku sudah tidak menjaga kobaran api—seperti yang biasa kau lakukan dulu— untuk merebus air dan menyeduh kopi. Aku benar-benar sudah tidak melakukan pekerjaan yang dianggap orang remeh-temeh itu. Aku lebih sering disuruh untuk menjaga orang-orang yang mereka bawa entah dari mana. Orang-orang dengan wajah yang muram, ketakutan, lesu, tidak sedikit pula dari mereka yang berlinang air mata dan memancarkan kesedihan.

    Aku kasihan. Aku sangat merasa iba. Seperti yang diajarkan oleh bapakmu, Mar. Tidak ada yang lebih penting dari kemanusiaan. Ajaran itu masih kujaga. Namun, mereka bilang padaku bahwa pekerjaan seperti itulah yang akan membuktikan kelelakian seorang lelaki. Kuat dan berani adalah lambang lelaki. Aku ragu tetapi tidak dapat mengelak dari rasa berpihak dengan omongan mereka. Aku tidak tahu pasti, apakah ini keputusan yang mengantarku pada sebuah jawaban atau akan membuatku terjebak pada jurang yang kelam.

    Melewati pekerjaan semacam itu seolah menjadi neraka baru bagiku. Setiap saat aku harus melawan nuraniku yang kerap kali bergejolak. Betapa aku memang masih masih benar-benar belum menjadi lelaki. Bagaimana aku yang sering merasa mual, pusing atau bahkan pingsan lebih dulu saat melihat darah yang berceceran. Seringkali aku melihat guru yang mengajariku berhitung dulu, pedagang sayur yang sering memberiku lebih, tukang cukur yang telah pensiun, dan beberapa orang yang berjasa dalam hidupku dibawa mereka entah dari mana. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak kuasa membantu apa-apa. Kata mereka, hal itu tidak melawan kemanusiaan, itu adalah balasan setimpal untuk para pemberontak dan orang-orang yang susah diatur. Pun sampai saat ini, aku benar-benar belum sepenuhnya paham dan mengerti.

    Badanku yang kian kurus kering memanggul mayat-mayat yang barangkali diselimuti kesedihan dan dendam. Membuka bumi ala kadarnya untuk kuburan masal. Membersihkan jeroan-jeroan yang berserakan di sana-sini. Aku tidak pernah melihat sendiri dan tidak mau membayangkannya, namun telingaku pernah mendengar, beberapa dari mereka dibakar bahkan dikuliti layaknya hewan.

    Entahlah, apakah ini memang sungguh melanggar janjiku, Mar. Sekarang, aku melakukan tugas-tugas itu dengan ringan tangan dan hati riang. Semua seolah telah menjadi rutinitas setiap hari, tidak jauh berbeda rasanya seperti sedang makan, gosok gigi, tidur, atau minum kopi setiap pagi.

    Bahkan, saat ini, saat aku berkuasa pada hidup dan mati manusia, aku masih bisa mendendangkan lagu nurlela. Kata mereka, saat aku melakukan ini, aku terlihat sebagai lelaki sejati. Kuat dan jiwa pemberani sudah merasuk ke dalam aku, sekali lagi, kata mereka seperti itu.

    Apakah seperti ini menjadi seorang lelaki, Mar?

  • Apa yang Pertama Kali Kau Googling pada Tahun 2045 Setelah Kau Terbangun dari Tidur yang Amat Panjang?

    author = Ananda Sevma

    Sudah jelas, penjelasanku akan menyita waktu makan siangmu, atau rencana mendirikan indekos dengan bayaran per bulan hingga per tahun, atau nubuat menikahi penari Jawa yang tidak akan melirikmu saat ia pentas di panggung. Namun, sesuatu yang disita belum tentu sia-sia, bukan?

    Kita bisa memulainya dengan mengosongkan pikiran kita dari perkara-perkara ruwet dan kurang mengasyikkan. Tutup matamu dan buka setelah hitungan keenam. Jangan, jangan mati dulu. Percayalah, masih ada penulis-penulis pesimis yang bertebaran di ibukota, Jogja, Surakarta, Bandung, Makassar, Padang, Oklahoma, Dabababad, dan Seodaemun. Barangkali aku termasuk di dalamnya: penulis pesimis dari Jogja yang tengah berproses kreatif di ibukota.

    Kembali ke pertanyaan yang tertulis pada judul tulisanku ini. Apa? Apa yang pertama kali kau googling pada tahun 2045? Kasusnya, kau telah menunaikan ibadah tidur yang teramat lama. Ingat! Bukan ibadah puisi!

    Aku membayangkan jawaban itu ketika sedang suntuk dan kopi sedang tumben-tumbennya tidak dipesan oleh kolegaku, Albert, sehingga kautahu sendiri, siang itu aku mengantuk dan sempat terpikir untuk tidur di jamban tanpa perlu melorotkan celana kain hitamku dan menggantungkan kacamataku di gantungan handuk. Dan usahaku untuk berbuat demikian hilang seketika. Aku usil pada benakku sendiri. Bertanya hal-hal aneh pada diri sendiri adalah kegemaranku sejak kecil. Kau juga begitu? Aku tidak yakin: barangkali, setelah kau mengenal agama keselamatan, siasat kekuasaan, dan klausul menahan diri menjadi extravert, kau suka mengurung segala pertanyaan dan membenamkan gagasan adiluhungmu sampai kau lupa bahwa kau pernah kecil dan ingusan. Ditambah lagi, sekarang, kau agak curiga pada jawabanku tentang apa yang telah kutulis pada judul.

    Baik, mari kita mulai dengan saksama.

    Nanti, pada tahun 2045, kau akan membuka matamu. Kau berpikir lamban: apakah ini surga, surga buatan, atau lapisan bumi yang berdekatan dengan inti bumi. Lalu, kau meyakini bahwa kau berada di suatu kamar, penuh rak-rak buku psikologi positif, lampu mati, rumah laba-laba menjuntai di empat sudut kamar (juntai terbesar ada di atas kepalamu), kolase fotomu saat lulus SMA, foto selebriti Jepang yang pernah tersandung skandal asusila dengan kakek-kakek bintang porno, dan fotomu saat pergi ke Singapura (pose mulutmu menganga dari kejauhan patung Merlion seolah-olah memberi efek samping kepada orangtuamu bahwa si Merlion sedang menyusuimu di muka umum).

    Lalu, terbersit keinginanmu untuk mengecek apakah kau masih punya senjata vital atau tidak. Ternyata masih ada, meringkuk malas dan kau belum mau membikinnya tegang dan meruahkan cairan pencipta bayi manusia. Apa ada orang lain di rumah? Kau bertanya-tanya, berjalan ke luar kamar, dan sempoyongan dalam beberapa jenak dan langkah ke depan. Ada air putih di atas meja, di dapur. Maka, kau minum saja air itu dan saat kau menyadari bahwa kau belum mengucapkan nama-Nya, kau menghentikan aktivitas minum dan memulai kembali dengan bacaan “Dengan menyebut nama-Nya yang Maha Asyik, Maha Oke, Maha Maha, semoga air ini bermanfaat dan berfaedah bagi tubuh, jiwa, hati, dan pikiranku. Iimaan”. Habis sudah air putih itu. Bugar rasanya? Tidak juga. Masalah yang berikutnya menimpamu adalah bunyi dan rasa lapar. Masalah yang berikut ialah tidak ada makanan di dapur, di kulkas, di atas meja ruang tamu, di kamarmu. Nihil makanan. Jangan menyerah dulu. Kau mengingat bahwa makanan bisa dipesan melalui jaringan internet. Masalah yang berikutnya adalah kau tidak tahu di mana gawai pintarmu berada. Tenang… Ia pasti tergeletak sembarangan di atas kasur, atau di bawah kasur. Ah, tidak ada juga ternyata, ya? Kau ingin teriak tapi gagal karena ada perangkat komputer di kamar orangtuamu. Beruntung saluran listrik masih tersambung. Kipas angin adalah peranti yang kau nyalakan terlebih dahulu sebelum komputer. Sayangnya, kipas angin itu berdebu. Debu-debunya menghunjam wajahmu, membuat kau mundur sekian meter sampai nyaris menabrak cermin dandan ibumu. Sebagian debu yang lain mengotori lantai ubin, dan kau menapakinya sehingga tampak bekas telapak kakimu di antara debu-debu itu. Sekarang, kau menguntai kabel komputer, lalu menancapkannya pelan-pelan pada colokan yang agak coplok. ON! Komputer pun nyala.

    Pemandangan bukit hijau, awan terkulai di antara langit biru, tidak ada bintang sebab siang itu sempurna, dan sekian tanaman penuh pesona turut menghiasi layar komputer. Klasik, batinmu.

    Astaga naga dragon! Tanggal berapa ini? 17/8/2045? Kau menggebuk monitor pelan-pelan. Tidak puas pada gebukan pertama, kau menggebuk monitor lagi. Tanggal yang tertera tidak berganti. Sial betul. Demi apa semua ini terjadi? Kalau tanggal yang tertera adalah 17/8/2020 atau 25/12/2019, aku yakin, kau tidak akan sekaget itu.

    Sepintas kau melihat teras rumah: sepi. Kau lihat kebun: banyak daun kering dan berserakan tak keruan. Kau lihat tiga rumah di depan: rumah sebelah kiri: tumpukan bantal-bantal dijemur di atas mobil sedan hitam, lampu kamar lantai dua menyala, dan coretan GNJ di tembok pagarnya tertimpa coretan GNP; rumah tengah: ayam-ayam setinggi pusar menotol kerikil di jalan setapak menuju garasi, dedaunan pohon mangga menutupi seluruh atap rumah, dan sendok-sendok dan garpu-garpu ditempel di kaca-kaca jendela teras rumah dengan semrawut; rumah sebelah kanan: banyak sapu lidi beterbangan, bunga mawar dan lidah buaya dalam pot yang beterbangan, dan baliho besar di atas cerobong asap bertuliskan “Pesan barang-barang mutakhir ini di Google! Stok terbatas dan Senin harga tetap!” dan bergambarkan sapu-sapu lidi beterbangan, bunga-bunga berbagai jenis dalam pot beterbangan, kolam renang beterbangan, kolam ikan beterbangan, dan macam-macam yang juga beterbangan.

    Kau bergumam, Wahai Zat yang Luhur dan Waskita, sempurnalah segala yang kau cipta kau rasa kau cinta kau punya…

    Gumamanmu berakhir dan logo pada baliho di rumah sebelah kanan itu cukup mengganggumu. Kau tidak perlu berpayah susah untuk memanfaatkan komputer milik ayahmu. Pilihan yang tepat wal afiat!

    Dan, demi menghilangkan perasaan kaget yang sedikit memudar, kau membuka salah satu aplikasi yang kerap kau gunakan untuk mencari istilah-istilah sukar (misal: berkelindan, jatmika, digdaya, pedagogik), istilah-istilah dewasa (misal: vcs, bo, cim, petik mangga), istilah-istilah ibukota (misal: sue, bejibun, bangkotan, madi rodok). Pada baris teratas aplikasi itu, telah tertulis http://www.google.co.id. Maka, kau menggeser kursor, dan meletakkan di tengah layar, lantas yang kau googling pada tahun 2045 setelah kau terbangun dari tidur yang amat panjang adalah hari ini tanggal berapa.

  • Antara Kemarau dan Awan

    author = Madno Wanakuncoro

    Masih terlalu dini bagimu untuk memaknai hidup dengan segala kerisauanmu saat ini, Awan. Bukan terutama lantaran usiamu. Sedikit betul itu pengaruhnya bila dibanding dengan Rahasia Langit.

    Ah, memang kini sedang tren orang yang mulai melacikan hikayat dan kisah-kisah ‘ajaib’ dari masa lalu hingga berdebu. Tak jarang menyangkanya mitos atau mustahil ada—padahal ia nyata, dan aku termasuk salah satu saksinya.

    Tentang seorang balita yang telah tuntas menghafal Kitab Suci, sampai tentang seorang bocah yang dirampok namun tetap jujur dengan apa, di mana dan berapa harta yang dibawanya. Memicu trenyuh hati sang pimpinan rampok itu, lantas berharap agar dijadikan murid oleh si bocah yang menggenggam erat wejangan dari ibundanya. Belum lagi tentang kelahiran kekasih-Nya, yang seluruh semesta menyalami mesra, ialah yang arti namanya yang terpuji—Muhammad—dan tercinta.

    Kurasa kau telah mendengarnya dari guru mengajimu setiap sore dalam surau beratap asbes lumutan itu dahulu. Kelak, akan perlu untuk kau telusuri lebih banyak lagi, Awan. Mungkin bermula lewat sabda tanah Welirang, tempat kau dahulu merangkak pertama kali di jempol hijaunya.

    Tetapi, bukan perkara umurmu yang masih remaja itu. Melainkan segalanya akan serasi dengan waktunya, Awan. Serasi, tak melulu harus berarti tepat. Dan sekarang, di balik selimut embusan napasku yang terik juga kering ini, cermin batinmu tengah diburamkan kesedihan dan dendam terhadap taring waktu yang merenggut leher nyawa ibumu saat hujan menandaskan seluruh rintiknya.

    Membikin nyaris retak kaca batinmu. Pemaknaan pun kian sulit jadinya. Setidaknya, untuk kali ini, menyelamlah ke dalam dirimu secara utuh, Awan. Ke dalam. Ke diri. Nanti, usai kau sadar benar, waktu pula lah yang turut mendampingimu dalam menjinakkan luka ternganga itu.

    ***

    “Kenapa kau bunuh ibuku?!” teriak Syamsu Riawan sambil menenteng bendo—benda mirip parang besar.

    Maka tepekurlah lelaki berumur hampir setengah abad itu. Gurat muka kendurnya menusuk tanah tempat istrinya disemayamkan. Sorot matanya redup, tak kuasa melihat putra semata wayangnya dipanggang bara kebencian pada bapaknya sendiri. Bara yang sulit padam meski oleh derasnya hujan yang kali ini petrichor-nya mulai melenyap digusur sang pasangan, aku.

    “Hah! Sekarang kau hanya diam? Setelah lama tak menyentuhkan jari ke lengan istrimu sendiri?” Makin erat pegangan parang yang usai dipakainya memotongi bambu untuk makam ibunya. Seluruh warga telah bertolak pulang, kecuali mereka berdua.

    Keringat Awan menekan murka beriringan dengan tetes hujan terakhir menggelinding di hidung tak mancungnya. Menapaki setiap pori wajah lesu bermata api yang berangsur tersirami cahaya terang awal musim kemarau.

    “Maafkan bapakmu ini, Nak…” Ahmad Samawi—ayahanda Awan yang wajahnya seteduh langit, kini semendung bulan Desember—mengeruk tanah pemendam istrinya. “Silakan. Mau kau apakan aku ini, terserah. Tapi janganlah kau nodai tangan sucimu dengan darah orang nista ini, Anakku.” Ia sekuat batin menahan tangis sesenggukannya.

    Seorang ibu rumah tangga yang baru seputaran lagu dikebumikan di sisi rumah gubuk keluarga kecil itu, menikam batin keduanya—putra dan suaminya. Menyesakkan. Terlebih lagi, bapak Awan baru dua hari lalu sampai di rumah. Sepulang dari merantau ke luar pulau antah-berantah tanpa kejelasan. Kerinduan sang istri pada suaminya, selama lima periode hari raya kurban, nampaknya lenyap menguap dengan cepat. Ia berpulang total dengan senyuman penuh cinta tanpa diketahui apa penyebabnya. Orang sekitar meyakini ajal adalah bidikan takdir yang tak pernah meleset.

    Awan sontak saja menyalahkan Bapaknya sendiri yang telah membunuh ibunya. Sebab, semenjak berusia 13 tahun, Awan-lah yang menopang kehidupan keluarganya lantaran kepergian sang kepala rumah tangga tanpa memikirkan mereka. “Lelono-broto bapakmu iku,” ungkap Gus Sunaryo kala itu, tetangga sekaligus guru mengaji yang memberi pesangon Awan jika ngarit untuk sapi ternaknya.

    Hingga hari ini, ketika sang ibu pergi selamanya, Awan merasa sebenarnya bapaknya-lah yang patut untuk mati lebih dulu. Ia telah lama ingin menghapusnya dari papan silsilah di benaknya. Apalagi desas-desus kabar burung menyelinap masuk ke telinga Awan tentang bapaknya yang konon merantau untuk belajar ilmu hitam.

    “Alasan konyol! Ke mana saja kau? Apa katamu pada Gus Sunar dulu hah?!” Geramlah Awan mengingat semua itu. Seakan keluar tanduk di kepalanya.

    “Semudah inikah kau termakan gosip warga, Anakku? Bahkan kepada bapakmu sendiri,” gemetar suaranya semakin parau.

    Terik matahari perawan agaknya ikut membakar suasana di pusara. Namun angin Muson Timur mulai mengajak dansa janggut dan rambut berombak Cak Samawi yang tergugu. Sungguh suasana yang ambigu.

    Semilirnya melengkungkan dedahan nan ringkih. Semerbak wangi kenanga dan bunga sekar lain seolah membuncah. Siut angin selepas Dzuhur itu mengimbangi panas hati Awan yang tertusuk amarah. Anehnya, tatkala kedua mata itu bersitatap, bersentuhan pandang, seketika telinga keduanya hening. Dirasuki kesunyian.

    ***

    Tepat 7 April saat aku hendak membisikimu, Awan. Akhirnya aku urungkan niat itu, lantaran cuaca hatimu tengah labil. Ya, hari pulangnya ibumu itu adalah kehadiran pertamaku untuk berkian-kian kali setelah bergilir dengan hujan. Pasanganku, si hujan, memang disuruh agar melahap habis bulan Maret dan merintiki enam daun bulan April. Hingga sore itu, kala kelelawar yang bersarang di pupus daun pisang mulai bertualang, sudah waktunya kita bergantian. Pas saat kau mencekik bapakmu sendiri.

    Alangkah tragis kau sambut kedatanganku dengan adegan sebiadab itu. Untung saja satu malaikat yang tak kebetulan menunggu pusara Sri ‘Asali Jannah binti Nahrul Hakim, Ibumu, tangkas mengalunkan sayapnya perlahan. Menyadarkanmu. Dan sudah barang tentu kau tak melihatnya, Awan.

    Namun, sadarilah bahwa kau adalah orang yang terpilih untuk aku bisikkan sesuatu atas titah-Nya. Maka pada malam ini, yang masih sekitar sebulan lagi menuju Isra Mi’raj Nabi terakhir kita, momen itu akan terjadi. Ketika usiamu mau menduduki 19 tahun dan permadani bintang-gemintang yang masih ragu pun ingin menguping perbincangan kita.

    “Siapa sebenarnya kau ini?” kebingungan kau toleh kanan-kiri.

    Tak mampu aku mewujud menjadi sosok kalau tanpa izin Paduka Gusti, Awan. Jadi, biarkan aku halus berbincang lewat batinmu saja, bahkan lebih halus dan lembut dari suara udara yang menumbuk bayangan rembulan. Tapi ini bukan khayalan. Kau masih sadar dan bukan pengidap skizofrenia. Mungkin kau tertawa bingung kenapa aku sampai tahu istilah itu. Abaikan saja.

    “Aku adalah kemarau. Kalian boleh saja memanggil kami di negeri ini dwimusim, aku dengan hujan. Meskipun, pada hakikatnya, kami ini satu. Tercakup pula si salju, dingin, panas, semi dan gugur. Hanya beda perangai dan sebatas berganti peran saja.”

    “Heuh, aku tak paham apa yang kau omongkan.” raut wajah berkulit langsatmu seakan-akan wegah.

    “Bagaimana kalau kita mulai dari kau dan keluargamu?” pancingku, “Syamsu Riawan, satu-satunya putra Ahmad Samawi dengan Sri ‘Asali Jannah. Arti gampangnya, arti yang telah kupukul rata, ialah Awan yang lahir dari pernikahan antara Langit dengan Madu Surga. Dan Kakek dari jalur ibumu sendiri adalah Nahrul Hakim, Sungai Kebijaksanaan.”

    “Bagaimana kau tahu itu semua?” Nampaknya pancinganku mujarab. Aku pun tersenyum geli.

    “Banyak hal yang hanya perlu untuk kau terima tanpa mampu tahu alasannya, Awan. Pertama, yang sangat penting kusampaikan adalah tentang bapakmu. Memang benar ia lelono-broto. Namun bukan untuk berguru ilmu hitam. Adakah kau ingat pelajaran dari guru mengajimu yang menjelaskan tahapan ilmu pada waktu itu?”

    “Ah, Gus Sunaryo mengajar kami sembari gurau. Kami lebih sering tertawa.” Terlihat kau sudah nyaman dengan percakapan mesra ini. Samar-samar kau coba geledah memori di rak akalmu. Sementara tanah yang kau pijak, juga rembulan yang pernah terbelah di atas sana, mengamatinya penuh takzim.

    Lalu kau temukan ingatan itu. Ungkapan sahabat Nabi, Umar bin Khattab, bahwa ada tiga tahapan ilmu: jika seseorang memasuki tahap pertama, ia akan sombong. Kemudian seusai masuk tahap kedua, akan rendah hati. Dan selanjutnya tahap yang terakhir, jika kau mendalaminya, kau akan merasa tidak ada apa-apanya. Sebatas debu semesta.

    “Bapakmu telah mencapai tahap terakhir itu, Awan. Begitupun istrinya. Mereka berdua menjalani hidup sederhana dan tak banyak minta kepada kehidupan. Terutama bapakmu, yang merantau itu. Istrinya sudah rela, bahkan semenjak ikrar suci mereka.”

    Kau tercenung membisu. Sudahlah, tak usah kau tahan air mata kerinduan pada malaikat yang kepadanya dirimu dititipkan.

    “Lantas, apa yang dilakukan bapakku itu selama merantau 5 tahun, hah?”

    “Sebagaimana kau tahu, manusia bukan diciptakan untuk langsung sempurna. Kalian dipercaya akan mampu dan selalu berusaha menuju kesempurnaan sejati. Dan bapakmu berkeliling tak saja keluyuran, ia hanya bertindak bagaimana membuat taman. Menanam terus tanpa memikirkan panen atau tidaknya. Itulah salah satu kesejatian hidup.”

    “Apa maksudmu dengan taman?”

    “Ia merantau ke pulau seberang sana. Dalam setiap tempat singgah, ia mengajarkan sesuatu kepada orang lain di sekitarnya yang minat dan ingin. Seperti anak muda yang ngasong dan buta-huruf diajarkannya baca-tulis. Hingga kini anak muda itu, bila kau tau, telah mampu menulis banyak puisi.” Aku buka salah satu ‘aib’ Samawi biar anaknya mau menjumpainya lagi.

    Mata Awan terbelalak. Kualihkan sedikit saja sebentar supaya lekat kesan saat ini, di dada dan kepalanya.

    “Awan, sedikit sekali manusia yang menyadari bahwa semesta ini hidup. Sekalipun sekarang kemajuan pesat, masih saja ada yang menyebut sesuatu dengan istilah ‘benda mati’. Padahal batu, lidi, logam, air, kata, lumpur, minyak, kaca dan angin serta semacamnya itu hidup dan saling memengaruhi dengan kalian, para manusia. Bahkan angin yang kali ini bergelayut di antara kita, sempat disuruh bercinta dengan badai dan banjir di masa Nabi Nuh, dan pernah menyampaikan salam rindu si pecinta Qays kepada kekasihnya, Laila.”

    “Aku kurang paham dengan keterusterangan darimu. Tapi, siapakah kau ini secara nyata? Dan kenapa aku mendengar bisikan ini?”

    “Aku hanyalah ciptaan, Awan. Yang dilahirkan tanpa tanduk. Andaikata aku bertanduk, tanduk di kepala tak dapat digelengkan[1]Peribahasa, yang menyiratkan maksud: “tidak kuasa mengelakkan diri dari kewajiban yang harus dikerjakan”.. Dan sepasti Kitab Suci pertama Allah—alam semesta—maka, tanpa harus aku sarankan, peristiwa ini berdaya lekat kuat pada dinding ingatanmu.” Maaf, Awan. Tak harus kujawab alasan kenapa kau yang dipilih. Karena kenikmatan tertinggi adalah justru dengan adanya ketidakmengertian dan rahasia.

    Atau kau dipilih itu mungkin juga suatu kebetulan—yang tak lain adalah bibir kebenaran yang belum mampu untuk kau kenali wajahnya.

    Wahai! Gesekan dua tangkal bambu dekat tempatmu bersandar, merupakan isyarat lirih buatku agar menyudahi semua ini, Awan. Biarpun kau tak sadari itu, tetaplah getaran batinmu yang tergugu sebenarnya mengamini perpisahan kita.

    Nyaris persis seperti beberapa saat lalu, alangkah bencinya kau, pada waktu yang merenggut kenyamanan dalam batinmu. Barangkali biarkanlah lepas, apa-apa yang sudah waktunya dilepas. Sampai suatu ketika, saat kau insyaf kelak, waktu—yang juga ciptaan—akan disuruhNya bertanggung jawab membekukan luka dan menyegarkan kembali setiap liang renik kehidupanmu, Awan.

    Sekadar penghabisan, Awan. Mulai sekarang, aku bukan hilang. Aku hanya bungkam.

     

    Bandung, 26 Maret 2016

     

    *lukisan St. Paul the Hermit (Matthias Grünewald)

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    References

    References
    1 Peribahasa, yang menyiratkan maksud: “tidak kuasa mengelakkan diri dari kewajiban yang harus dikerjakan”.

  • Alleen Voor Inlander

    author = Adhi Pandoyo

    Frasa itu tertera di sebuah tulisan ketikan, bagian dari semacam surat kabar. Kertasnya telah menguning kecoklatan disepuh waktu. Rijke (dibaca Riyke) iseng memesan sebuah judul dan menemu arsip tersebut. Tak ambil pusing, Rijke bergegas memproses kopiannya. Memang rutinitas terbaru Rijke beberapa bulan ini adalah berburu di Pusat Arsip setiap akhir pekan. Dengan bus sekitar sejam dari kampusnya. Universiteit kenamaan yang katanya tertua di negeri bendungan itu. Rijke entah kenapa jadi kian ketagihan menggali arsip-arsip negaranya tentang negeri koloninya. Padahal tugas akhir Bachelor Art-nya sudah kelewat, dan kini tinggal menunggu wisuda.

    Sesore ini Rijke nunggang bus pulang hingga tertambat halte pemberhentian. Seperti biasa, berjalan kaki menuju rumah, meniti jalan sama persis dengan berangkat. Rijke ngerti, sepersis apapun takkan menapaki tapak yang sama. Apalagi langkah pulang selelah ini, kalah dengan derap semangat tadi pagi. Namun alasan pulang sering lebih kuat ketimbang keberangkatan. Di saat merenungkan ini, ia teringat ibunya. Langkah kakinya ia perhatikan sambil sesekali pantengin sekitar. Rijke teringat bagaimana Ibunya menutunnya pulang sekolah. Dia sendiri sering heran, mengapa ingatan waktu kecil justru muncul?

    Lima menit pun telah berlalu, rasa lelah mengantarkannya segera memasuki rumah bertembok mencolok batu-bata yang khas itu. Rumah mendiang ibunya yang kini jadi miliknya seorang. Sebuah rumah mungil bertingkat,di sudut distrik terpadat di Amsterdam.Mungkin memang sudut kota yang termasuk klasik di tempatnya itu nyaris tak ada perubahan. Kecuali ya manusia-manusianya. Datang buat menggantikan yang berpulang. Berpulang layaknya Ibunya dua bulan lalu. Kini ketiadaan bau ibunya mengurangi hasrat pulang. Tetapi lewat kemangkatan ibunya itulah, kotak pandora mulai terbuka, dan merayunya memburu masa silam.

    Hampir setahun lalu. Awal September. Menjelang pamitnya musim panas, herfst alias musim gugur membawa angin dingin menerpa syalnya yang melambai-lambai seperti memanggil daun-daun merah-kecoklatan pohon elm yang mulai gugur satu-satu. Rambut Rijke yang hitam kecoklatannya memburai dan menutup wajahnya. Belum sempat ia pakai, syal lepas dari tangannya. Angin kian liar mengendus lehernya dan menyibakkan rambutnya ke depan, dan seketika tangan kanannya hendak tanggap menangkap syal rajut warisan mendiang ibunya itu,tetapi tangan kirinya sibuk mengurai rambut panjang semi ikalnya, yang konon seperti rambut ayahnya. Rambut ikal mayangnya memang panjang, dan kalau ke belakang, nyarislah memeluk seluruh punggungnya, dan kalaulah ke depan, cukup buat menutup payudara sampai udelnya. Dan seketika itu, ikal mayang itu seperti terbebas menari dalam jamahan angin yang menelisipi rambut, seketika itu pula di depan matanya lelaki berkulit kayu tua mendekat. Ia mengulurkan syalnya sembari melepas senyum dan berucap: “Het is van jou?”. Dan jalan di sisi kanal itu pun menjadi saksi sebuah persuaan.

    ɣ

    Kali ini harus kuceritakan padamu, kisah yang benar-benar terjadi ini: Kala itu Rijke rada kaget menangkap tatapanku tetapi segera keluar dari bibirnya: “dank u”. Waktu itu aku memberanikan diri: “Mag ik met je meelopen?”. Rijke cuma mesem. Esemnya waktu itu sama persis seperti hari ini. Persis ketika batang hidungnya nongol dari balik pintu rumahnya kali ini. Cuma bedanya, kini ia yang mendekat sendiri padaku.Aku merasa sangat beruntung disambangi bidadari di akhir bulan juni ini. Dua bulan menuju genap setahun.

    Di pub dekat perempatan, persis sisi kanan penghujung Oost Straat, aku memesan bir. Rijke sedari tadi entah mengapa enggan memesan apapun. Ia tak terlalu bersemangat. “Tak kau urus wisudamu?” tanyaku. “Hmmh sudahlah, het is niet belangrijk”. “aku tidak sabar… ontmoet mijn vader”ucapnya lirih. “Ik heb belangstelling van het geschiedenis en cultuur van Indonesië” lanjutnya. Aku diam. Aku teguk lagi segelas bir belgia itu. “Perlu kutemani?” tanyaku lagi. “bukankah kamu akan segera ujian Phd?” tanya Marijke. “ya tapi aku bisa saja…”. Marijke mengangkat ibu jarinya, dan dengan cepat nempel di bibirku. Bibirku yang dingin oleh bir, perlahan hangat. Sikap ini persis seperti pertama dia mengenali kakunya Bahasa Belandaku. Begitulah caranya mengakhiri setiap yang membosankannya muncul dariku. Ibu jarinya, isyarat khusus buatku. Dan ini mengantarkan kami berpindah tempat dan berganti Isyarat bahasa tubuh. Sensasi malam pertama-tama dulu, seperti berulang sekarang. Di semarak musim panas, kutemukan madunya malam ini. Namun sungguh aku rada was-was kalau-kalau ini jadi yang terakhir. Aku pun ngerti, Rijke benar-benar sudah mengurus tiket hingga perbekalan. Aku tak bisa membayangkan wajahnya, ketika harus berucap: Tot straks. Duhai Anne Marijke, “Ik zweer dat ik erg van hem houd!”.

    ɣɣ

    “Excuse me, please passport!” ucap petugas, matanya menjamah seluruh wajah Rijke. “Ah yak, ini silahkan” ucapnya semangat. Seperti biasa, mencocokkan sesaat, “Bisa Bahasa Indonesia ya… oke selamat datang di Indonesia”. Senyum Rijke diumbar pelan. Matanya tidak sebiru orang eropa, tetapi mancungnya lebih dari cukup. Dia makin yakin. Dalam hati ia benarkan kata kawan Indonesianya di Londo sana, katanya orang Indonesia jauh lebih ramah di negerinya, apalagi kalau sama bule.”Rijke tahu makna bule dari kawannya itu. Tetapi dia membatin, bulekah dirinya?

    Menyusuri Bandar udara yang demikian luas, Rijke tak ingin ambil  pusing. Dia menuruti petunjuk tercepat buat exit, sampai lambaian tangan para penjaja taksi menyambutnya. “Where are you going?”. “saya mau ke…”. “Woh iso boso Indonesia toh, sini ikut saya…”. Belum selesai rayuan taksi, teriakan memotong, “Anne, anne, di sini!”. Wajahnya nyaris bundar tapi agak ciut, tetapi badannya berisi, cenderung gempal. “ohh mijn god, Lila”. Sebagian orang menengok teriakan sahut-sahutan mereka berdua. Dalam bahasa kangen dan perjumpaan keduanya menggenang dalam pembicaraan meriah dan terasa memecah pintu keluar bandara. Segera tuan penjaja taxi menemu pelanggan tersesat lainnya. Tirai senja pun lambat-lambat ditarik, persis ketika Marijke dan Lila telah terduduk di dalam mobil. Di jalur padat berpolusi pekat ibu kota.

    Lila mendekati Rijke yang asik masyuk membuka-buka buku, “Kamu baca apa, asik banget sejak tiga hari di sini?”. “Ini Babad Tanah Jawa, aku pernah baca terjemahan Belandanya, tapi baru kutahu versi Bahasa Indonesianya di sini, rasanya beda” terang Rijke. “Ah sudahlah, ayo kita keluar, liat-liat Jakarta, masa kuajak bepergian keliling Jakarta kau malas, malahan baca buku pamanku”. Akhirnya, senja itu mereka berdua keluar dan Rijke sengaja menuruti ajakan Lila, termasuk ke bekas-bekas Hindia-Belanda, macam kota Tua “Kamu kan londo, jadi harus liat tuh bekas-bekas taring negerimu di sini” terang Lila. “Tapi aku kan separuh sini” bela Rijke. “Hahaha, ow iya, kamu jadi minggu depan ke kota itu?” “iya”. “Kapan?”. “Senin”. “Berarti tinggal besok lusa, kenapa buru-buru?” Lila mendesak. “Maaf Lila, saya sudah terlanjur pesan tiket kereta, dan saya sudah tidak sabar menemui Ayahku”. Lila ingin membantah, tetapi sorot mata Rijke sangat tulus dan serius. “baiklah kalau itu maumu, tapi kenapa nggak naik pesawat saja?”. “Saya ingin naik kereta, belum pernah mencoba kereta di sini”. Jawaban Rijke mengherankan Lila. “Dasar aneh, ya udah pokoknya malam ini harus dugem ya?” ajak Lila. “Apa itu dugem?” tanya Rijke polos. “Ahh, kau nanti juga tahu sendiri, budaya impor dari orang-orang londo”. Rijke mengernyitkan dahi. Dan mobil itu ditelan malam, berhenti di sudut gemerlap ibukota.

    “Ingat baik-baik ya, jangan ragu hubungi aku jika ternyata Ayahmu itu bukan ayahmu”. Lila mengingatkan sambil memperhatikan gadget. “Bisa jadi kan, Ayahmu itu sebenarnya sudah tiada, dan yang akan kau temui adalah orang yang mengaku sebagai ayahmu” jelas Lila. Rijke diam. “ah maafkan aku, terserahlah, aku tidak mau mengecewakan semangatmu, tapi aku cuma khawatir saja…” Belum selesai lila berbicara, pengumuman dari speaker stasiun berkumandang. “itu kereta akan segera tiba, berhati-hatilah Rijke, hubungi aku kapanpun, maaf aku tak bisa turut serta menemani, kerjaanku menumpuk” keluh Lila. “ahh tidak papa” jawab Rijke sambil menyungging. “jeess” suara rem kereta dan riuh rendah terjalin.

    Suasana penumpang di gerbong lima, mulai penuh tetapi tak berdesakan, maklum kereta kini sudah berubah. Tetapi tahu apa Rijke tentang kereta yang berubah? Yang pasti Rijke berusaha mencermati alur kursi, dan mencari kursinya. Berhenti di angka yang dituju, dan di sekitar itu masih kosong dan Rijke pun memilih yang menempel dengan jendela. Kereta pun melaju, dan Rijke tenggelam dalam pandangan yang lepas di jendela kereta. Masinis memeriksa dan berlalu, sementara Rijke memutuskan tenggelam dalam kisah-kisah dalam babad. Jam demi jam berlalu, stasiun demi stasiun disinggahi. Namun di sekitarnya masih sepi. Hanya di seberang lajur kanan yang telah terisi oleh oleh lelaki, perempuan dan dua anaknya, yang nampaknya sekeluarga.

    Pada suatu pemberhentian stasiun, Rijke meletakkan bukunya di desk kecil yang menempel jendela. Rijke mengambil layar gawai dan asyik memeriksa pesan. Sampai tiba-tiba seorang bertanya, “where are you come from?”. Rijke ragu menggubris hingga pertanyaan pun berulang dengan meyakinkan. “I’m from Nederland, saya dari Belanda” kata Rijke, seperti ingin pamer bahwa ia bisa berbahasa. Lelaki yang bertanya itu berambut panjang terurai, rada keriting mengombak, dan sepanjang memenuhi punggung. Rambut keduanya sebenarnya hampir sama, hanya milik Rijke yang terkadang tampak kecoklatan. “hmm, pasti peneliti ya?” tanya lelaki itu percaya diri, sorot matanya cerah dan senyumnya muncul perlahan di bawah kumisnya yang tipis. “Ah, bukan, saya cuma..”. “mana mungkin, bisa bahasa indonesia, apalagi membaca Babad Tanah Jawa, pasti bukan sembarang turis” potong lelaki itu cepat. Rijke diam beberapa detik. “dulu saya mahasiswa, tetapi sekarang tidak, saya baru lulus” terang Rijke. “ohh, begitu.” Lelaki itu manggut-manggut. Lelaki itu berdiri menata tasnya, dan menaruhnya di bagasi atas.Lelaki itu duduk kembali, dan suasana hening sesaat seiring laju kereta.

    Lelaki itu mencoba memperhatikan Rijke yang mencoba menikmati bacaan barunya itu. “Leng welut marganing bhumi, sirna ilang rasaning janma” ucap lelaki itu. Rijke mendengar, tetapi mencoba tak ambil peduli. “Nona, kau tahu artinya?“ tanya lelaki itu segera, sambil mulai menggelung rambutnya yang panjang itu. Rijke malah memperhatikan gelagat lelaki itu yang sanggup menggelung rambutnya tanpa pengikat, dan tampak terkucir rapi. Rijke pun lambat menjawab “Apa maksud anda?” tanyanya. Lelaki itu memecah senyum dan sesekali melirik ke bukunya. Ia mengulang kalimat itu tadi, dan bertanya lagi. “Saya tidak paham” ucap Rijke singkat. “Kau mestinya tahu di buku bacaanmu itu” terang lelaki itu singkat. Lelaki itu tersenyum lagi. Dan kini, entah mengapa Rijke penasaran sendiri.

    Lelaki itu mengulurkan tangan, isyarat meminjam. Rijke tak ambil pusing dan menyodorkan buku itu. Lelaki itu menatap sampulnya, lalu segera membuka-buka sebentar, lalu menutup buku itu kembali. Buku itu diberikan pada Rijke lagi. “Buku itu terjemahannya kurang bagus”. Ucap lelaki itu singkat. “maksudnya?” tanya Rijke. “Seharusnya kau baca naskah aslinya saja, dalam aksara jawa”, kata lelaki itu lagi dengan sorot mata yang mulai menajam menatap Rijke, langsung ke mata.“Buku ini pernah disunting dan diterjemahkan oleh seorang peneliti dari negerimu untuk kepentingan negerimu, dan sayangnya beberapa tokoh dalam babad disamakan, sehingga ada yang meleset ditafsirkan. Beberapa waktu lalu bahkan ada peneliti Eropa yang menerjemahkan Serat Centhini, padahal juga tak pandai membaca dalam kitab berbahasa dan beraksara aslinya. Inilah mengapa, ada beberapa karangan yang sebenarnya diciptakan khusus untuk pribumi.” Penjelasan lelaki itu perlahan diresapi Rijke. “Serat Centhini?”. “ya, kau pernah mendengarnya?” tanya lelaki itu. Rijke hanya mengangguk. Lelaki itu melanjutkan: “Begitulah, karya-karya khusus diciptakan leluhur kami agar dipahami kami.Jadi hanya untuk kami. Kami yang kalian sebut inlanders ini”. Rijke entah mengapa hanya senyum dan tak bertanya lagi. Mungkin ekspresi lelaki itu yang bagi Rijke tampak demikian emosional. Lelaki itu pun terdiam, dan mulai memandangi langit senja dari jendela kereta. Rijke terdiam dengan batin yang bertanya-tanya. Rijke seperti teringat sesuatu. Tetapi perjalanan mulai menuntunnya pada rasa kantuk.

    Kereta telah menuju stasiun yang dituju. Rijke terbangun oleh suara pemberitahuan petugas tentang pemberhentian stasiun. Tak sampai beberapa saat, suara klakson kereta berdentam. Laju memelan. Tibalah di Stasiun kota tujuan.Kota terdalam di selatan. Kota yang konon menyimpan segala sejarah ini mendebarkan hatinya. Sesaat berbenah, Rijke tersadar Lelaki yang duduk di depannya telah hilang. Tanpa perkenalan, Rijke sedikit merasa kehilangan. Namun, sebuah tiket ditemukannya. Rijke memungutnya dan memasukkannya ke sela buku babad. Rijke tak terburu ingin tahu siapa namanya. Rijke meyakini, barang yang tertinggal akan menemui pemiliknya lagi. Begitupun tiket itu, bagi Rijke, menyimpannya akan menghantarkan pada perjumpaan kedua. Rijke bukan jatuh hati. Hanya dia merasa ada yang perlu diketahuinya lebih jauh tentang masa lalu negeri Ayahnya dari Lelaki itu.Rijke teringat kalimat lelaki itu lagi. Rijke sungguh teringat sesuatu. Seperti dejavu.

    ɣɣɣ

    Sore mulai dijemput senja. Taxi online mengantar Rijke pada tujuan. Menanti terbukanya portal, buat memotong lintasan kereta. Melaju mobil menembus jalan beraspal yang membelah persawahan. Rijke tiba di sebuah kawasan perumahan di pinggiran kota itu. Alamat menuntunnya memasuki sebuah gapura yang di mulutnya tumbuh bendera putih kecil. Bendera putih kecil itu pula yang kemudian menuntut Rijke menelepon Lila. Lila tak kunjung mengangkat, lalu menelponku. Begitu ia cerita dengan suara memelan yang memperdengarkan kecemasannya. Aku dalam hati bertanya, adakah Rijke meneleponku karena membutuhkanku, atau sekedar membutuhkan pribumi yang ia kenal, buat membantu menjelaskan keadaan terasingnya? Bukankah Rijke mencari akar darah pribuminya?” aku bicara sendiri. Ah sudahlah. Mencintai harus membuang segala tanya. Aku pun memesan tiket pesawat untuk kembali. Tetapi pertanyaan terus datang kembali: Kembali sebagai pribumi atau sebagai lelaki yang mencintainya?

  • Alisa Bagalawa

    author = Elvan De Porres

    Lalat-lalat berterbangan di atas meja, tapi kau tak peduli sama sekali. Kau malah asyik menyeruput kopi, mengudud rokok dan mencoba membuat pikiranmu tenang.

    Sore ini, kau akan bertemu seseorang dan intuisimu mengatakan dia punya pengaruh penting bagi perjalanan masa depanmu. Kau sadar, dialah yang telah membuat tidur malammu terganggu atau harus menahan kencing untuk membalas pesan-pesannya.

    Namanya Alisa Bagalawa, seorang dokter muda berparas rupawan. Berkulit sawo matang seperti perempuan Timor, bibirnya tipis kecoklatan dan  sayu matanya akan membuat siapa saja tergila-gila.

    Namun, gerundelan deskripsi itu bukanlah seleramu. Kau beranggapan, bila ingin mendapatkan perempuan jelita, berpelesir ke rumah bordil bisa jadi keputusan adiluhung. Bayarlah sesuai kesepakatan kawin kontrak, selera Anda dapat dibawa pulang tanpa seabrek kerumitan administrasi.

    “Para leluhur mengajarkanku untuk memilih perempuan cerdas,” ujarmu suatu waktu saat mabuk bersama para karib.

    Hanya saja, Alisa Bagalawa adalah perkecualian. Dia memiliki semuanya, entah yang masuk kriteriamu ataupun tidak. Dan seandainya diberi kesempatan meluruskan wangsit leluhur tersebut, kau pasti siap tak tidur tujuh hari tujuh malam. Meskipun itu tak penting sama sekali. Kecerdasan adalah keutamaan, sementara paras jatmika hanyalah bonus bagi laki-laki yang beruntung.

    Kau sebetulnya bakalan jadi pejantan yang beruntung itu, tapi….

    “Kenapa kau ingin mencalonkan diri jadi presiden?”

    “Maafkan. Ini benar-benar panggilan jiwa.”

    “Jawaban yang menyedihkan. Kau tahu aku tak suka politik dan niat basa-basi.”

    “Maafkan. Ini benar-benar panggilan jiwa”

    Kejadian remeh-temeh tersebut terjadi lima bulan lalu. Waktu itu ambisimu mengalir deras bak angin muson yang sulit dibendung sistem periodiknya. Entah ilham apa yang telah memengaruhimu, itikad menjadi presiden merupakan perkara mutlak.

    Kau dan Alisa Bagalawa tak lagi saling mengontak. Hingga akhirnya bursa pencalonan presiden ditutup dan namamu tak masuk sama sekali dalam daftar manusia harapan bangsa itu. Kau kecewa bukan kepalang, padahal menurut si peramal, seorang pria tua yang gemar memelihara kucing Arab, sosok seperti dirimu bahkan telah lama dirindukan. Kau membayar mahal peramal itu dan tak memperoleh hasil apa-apa.

    Ponselmu berdering dan seseorang menelepon.

    “Sudah di situ?”

    “Iya.”

    “Oke, sedikit lagi merapat.” Percakapan selesai.

    Kau melanjutkan penantian ditemani album Coldplay A Head Full of Dreams yang diputar pemilik kafe. Coldplay tidak masuk dalam daftar musik favoritmu. Namun, itu jauh lebih baik ketimbang lagu India atau psychedelic rock yang bunyinya terlalu nyaring. Ketika lagu Birds berdetak, orang yang kau tunggu akhirnya datang juga.

    Dia tersenyum kepadamu, tapi senyuman itu lebih mirip orang nyinyir. Kau malu dan mukamu memerah dan berniat mematahkan otot-otot lalat di hadapanmu tapi tak jadi tersebab lalat tak setara dengan anjing hutan.  

    “Jadi, kamu butuh obat untuk sakit apa?” Alisa Bagalawa langsung bertanya tanpa basa-basi.

    “Punya obat penenang pikiran?” kau membalasnya sambil mengendus-endus batangan rokok. Dia memerhatikanmu dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

    Sebuah jarum suntik.

    “Saya tidak suka jarum suntik. Pil atau sirup?”

    “Tidak. Ini lebih baik untuk orang yang tak waras.”

    Kau mendengus dan menggaruk pantatmu dengan gelisah. Sialan. Memang berhadapan dengannya, menjaga gengsi tentu tak berlaku bagimu. Toh semenjak gagal mencalonkan diri jadi presiden, kau begitu memikirkan dia dan kembali memacakkan amanah leluhur lainnya; segeralah menikah bila telah menemukan orang yang tepat.

    Lima menit kau berpikir keras, mengharapkan ide segera turun dari langit, lantas mengajarimu kaidah mandraguna untuk merajut kembali hubungan. Coldplay memainkan Everglow.

    “Apakah kau masih menyayangiku, Alisa?”

    “Aku datang ke sini bukan untuk membahas itu. Kau bilang kau sakit dan butuh obat.”

    Ketika dia berbicara demikian, lidahmu nyaris saja tertelan. Oh, masa depan akan jadi gerowong sumbat. Persetan. Cinta harus didapatkan kembali.

    “Aku sungguh menyesal. Beri aku kesempatan dan pernikahan kita akan segera kuurus.”

    “Semudah itu? Dulu, kita seharusnya sudah menikah tapi berantakan karena cita-cita anehmu itu”

    “Waktu itu pikiranku lagi kalap. Silakan marah sepuasnya dan katakan apa yang mesti kulakukan agar hubungan kita kembali pulih.”

    “Dasar pembual tampan. Kita bicarakan dulu sakitmu.”

    Ilham memang seringkali muncul tiba-tiba. Dia datang kepada siapa saja tanpa punya penanda mangkal dan waktu jelas. Barang siapa tak siap, pikirannya pasti cenal-cenil seperti peragawati yang sepatunya ketiban kulit pisang. Tapi, yang menyambut dengan lapang dada bisa juga kewalahan dan salah kaprah mengambil langkah.

    Kau masuk golongan kedua, dan deskripsi yang lebih tepat tentangmu adalah kau tak ciut kepada ilham. Tak apa harus mengorbankan kasih sayang. Tak peduli omongan orang-orang.

    Hanya saja, kau bukan Nabi Musa yang melihat kehadiran api dan mendengar tuturan wahyu, lantas memimpin eksodus Israel dari Mesir. Kau hidup di zaman api bisa diciptakan teknologi dan Israel telah jadi salah satu penguasa dunia.

    Namun, mengamanatkan ilham telah jadi sumpahmu dalam hati yang tak patut diabaikan. Meskipun itu terjadi saat kau baru bangun tidur siang dan bukan karena melihat api apalagi makhluk astral. “Aku ingin menjadi presiden,” saat itu kau berdeham sebelum nafasmu benar-benar menguap.

    Alisa Bagalawa masih memegang jarum suntik dan matanya tak absen memelototi gerak-gerikmu. Betotan gitar Jonny Buckland mengawali lagu Hymn For The Weekend.  

    “Kau semakin aneh saja,” kata perempuan itu.

    Pandanganmu tertuju pada seisi kafe, berharap tak ada yang mendengar. Alisa Bagalawa tak tahu kalau mentalmu sedang ciut.

    “Saya takut terhadap jarum suntik dan sebenarnya saya tak sakit,” balasmu.

    Dia tertawa terbahak-bahak. Baru pertama kali pita suaranya bekerja lebih keras. Biasanya responsnya tak selalu berlebihan untuk setiap peristiwa konyol. Dan kau berpikir, Tuhan pasti baru saja membisikkan angin baik.

    Akan tetapi, sebelum kesenanganmu berjingkat-jingkat lebih, perempuan itu berubah ekspresinya dan menoyor kepalamu, untung tak keras.

    “Kalau begitu, kau menipuku dua kali,” tuturnya geram. Kiamat. Masalah kian runyam.

    “Aku tak bermaksud seperti itu, Alisa. Pokoknya, aku sangat menyayangimu dan aku mau kita bicarakan ini baik-baik.”

    Sekonyong-konyong kau sadar, alur percakapan yang kau ciptakan sedari tadi rupanya menemui jalan buntu. Tentu saja, sosok di hadapanmu bukanlah pemeran sinetron yang gampang dipermak oleh skenario sutradara.

    “Aku tak suka penipu,” nadanya kembali lebih tinggi.

    “Kau tak lagi mencintaiku?”

    “Bukan urusanmu.”

    “Apakah kau sudah punya pacar?”

    “Bukan urusanmu.”

    Beberapa pengunjung kafe berdatangan. Amazing Day mengalir syahdu.  Langit mulai gelap dan urusanmu masih belum kelar. Sepertinya kau tak punya lagi cara melambungkan harapan. Saat-saat seperti itu, bacaan soal menghadapi perempuan keras kepala atau kiat mengembalikan cinta usai gagal menjadi calon presiden barangkali tak mempan sama sekali.

    Tapi, seperti yang digariskan leluhur, kau adalah lelaki yang tegar. Kau tak mau pertemuan itu berakhir dengan air mata. Meskipun bila diizinkan menangis, kau pasti berjasa besar untuk para pemelihara ikan hias.

    Ketika hari benar-benar malam, Alisa Bagalawa akhirnya pulang duluan. Meninggalkanmu seorang diri.

    “Aku pamit. Ada pasien lain yang harus kutemui,” bisiknya di kuping kananmu.

    “Apakah aku masih bisa menghubungimu?”

    Dia tak berkata apa pun, berjalan terus hingga bayangannya lenyap.

    Fixing up a car to drive in it again

    Searching for the water, hoping for the rain

    Up and up

    Up and up….Lagu terakhir album A Head Full of Dreams itu menemanimu sendirian. Di luar sebuah sedan putih telah menantinya.

  • Menjadi Si Miskin yang Dilupakan di Paris dan London

    author = Floriberta Novia Dinda Shafira

    Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London – Meskipun dibawa ke tangga kemashyuran oleh 1984 dan Animal Farm, karya yang mengantar Eric Blair, dengan nama pena George Orwell, masuk ke kancah sastra Inggris, dan pada akhirnya, dunia, adalah Down and Out in Paris and London (judul asli buku ini).

    Isi buku ini terinspirasi oleh, kalau tidak diambil mentah-mentah dari, pengalaman Orwell hidup miskin di Paris dan, kemudian, di London. Setelah melepas kariernya sebagai polisi imperial Inggris di Burma—tanpa persetujuan penuh dari keluarganya, tentu—Orwell, seperti banyak penulis dan calon penulis Anglophone sebelum Great Depression, tinggal di Paris dan mengasah bakat kepenulisannya di sana.

    Sewaktu di Paris inilah, karena sebagian besar uangnya dicuri, Orwell mulai terpaksa untuk hidup miskin. Kemudian, karena merasa tak kuat lagi bekerja sebagai tukang cuci piring di Paris, ia pindah ke London, dan di kota itu ceritanya tentang kemiskinan berlanjut, dengan kawan-kawan baru, dengan kesengsaraan-kesengsaraan yang baru pula.

  • Mendengarkan Kicau Burung Gereja di Atas Delman Menuju Semipro

    author =

    /1/

    Apakah puisi seperti jazz? Boleh jadi – bila puisi tidak cuma kata, tak cuma kalimat, tapi juga nada, irama, bunyi, bahkan kebisuan, juga elemen ketidaksadaran. Freud menyebutnya sebagai ungkapan yang terbentuk dari dorongan-dorongan naluriah. Puisi-puisi Stebby Julionatan dalam Di Kota Tuhan, Aku adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah, bagi saya, mirip jazz yang saya temui dalam roman-metropolitan Seno Gumira Ajidarma, Jazz, Parfum, dan Insiden; ia seperti hiburan, tapi hiburan yang pahit, getir, sendu, ungkit rasa duka. Si tokoh Aku dalam roman tersebut mengaku teringat kepada lagu Berta, Berta dalam album Branford Marsalis, I Heard You Twice the First Time, sebuah nyanyian bersama tanpa iringan instrumen tanpa bermaksud menjadikannya suatu paduan suara yang canggih.

    Seperti Seno, Stebby juga memperlihatkan puisi seperti iringan nada-nada, kenangan orang tua dari Als de orchiden Bloein yang disebut-sebut dalam puisi Stebby tersebut: seorang pejuang sekaligus seniman Ismail Marzuki yang menulis maha tembang tentang sebuah analogi Bunga Anggrek yang Mulai Tumbuh. Puisi-puisi Stebby adalah bunga anggrek yang menghiasi rawa-rawa yang (sering) keruh; lagu itu adalah tentang kehilangan sekaligus pertemuan. Romansa sekaligus melankolia atas Hindia Belanda bagi para bumi putera di musim gugur anggrek.

    Als de orchideen bloein,
    ween ik haast van liefdes smart.
    Want ik kan niet bij je wezen

    Si penulis keroncong merasa kehilangan di saat anggrek bermekaran / Saya hampir menangis / karena aku tidak bisa bersamamu. Perasaan kehilangan itu, perasaan tidak bersama itu, dirasakan betul oleh seorang Biru yang juga merasa sendiri setelah melihat Tuhannya bercabang (hlm. 16) karena kedua orang tuanya beda agama, yang melankolis melihat Rabu semakin keburu … lenyap ditelan kelabat asapdi atas bus-bus berjingkat (hlm. 19). Seperti kata Stebby, irama itu adalah ukulele bagi kenangan orang tua tentang dirinya, tentang Rabu dan Biru.

    Namun, kehilangan dan pertemuan itu diungkap dalam satu instrumen yang
    berdialog, sesuatu yang segar dan sering mengejutkan, sebagaimana jazz
    merupakan suatu percakapan akrab yang terjadi dengan seketika, spontan, dan
    tanpa rencana. Ah, bukankah Stebby menyebut Duka
    yang dilihat orang sebagai tontonan
    (hlm. 36). Puisi Stebby mengemas
    kehilangan (atau juga kerinduan?) itu dalam iringan irama yang melodis. Irama,
    rima, asonansi, aliterasi beserta kombinasinya, repetisi, bentukan kosa kata
    baru atau kosakata lama yang langka (rumbia,
    aurora, cetat, aubede, miktam,
    rantas),
    kata-kata lumrah yang dioplos begitu rupa sehingga bunyinya (dan dengan

    demikian, maknanya) jadi unik serta segar (aku daging dan kau rangka, izinkan aku mencinta sekaligus berselibat dari rantai dosa-dosa)

    Stebby seakan memiliki apa yang Eliot pernah sebut dalam The Use of Poetry and the Use of Criticism sebagai ‘imajinasi audiotirs’: kepekaan terhadap ritme dan sukukatayang menembus jauh ke wilayah bawah sadar dari pikiran dan perasaan, yang menguatkan, menyegarkan, setiap kata. Eliot percaya, watak musik yang memesona bagi penyair adalah pada kepekaannya terhadap ritme dan struktur. Seolah kembali memanggil Schiller, Eliot juga melihat bahwa puisi mula-mula hadir dalam ritme tertentu yang kemudian membentuk ide dan imaji dalam jalinan kata-kata. Jika Sutardji sejak awal melancarkan agenda pembebasan kata dari ‘beban pengertian’, berbicara tentang mantra yang menekankan repetisi, tapi agenda Stebby adalah menyimpan semacam tertib alamat, bahkan mungkin ‘amanat’, dalam sengkarut kata puitis dalam musik ukulele, keroncong. Puisi-puisi Stebby dalam “Midrash Kedua (2017)” memperlihatkan agenda tersebut, bahkan sejak awal dalam puisinya berjudul “Imam” (hlm. 70):

    Aku daging dan kau rangka; kusumbang asupanmu dalam sel-sel darahku
    Aku daging dan kau rangka; kutuai dosa-dosa agar dirimu (tampak) selalu suci.
    Aku daging dan kau rangka; izinkan aku mencinta sekaligus berselibat dari rantai dosa-dosa.

    Sejak dari judulnya kita tahu, puisi ini ‘beralamat’ terang. Saya yakin
    para pembacanya umumnya maklum siapa itu imam, bagaimana ia berjuang atas nama
    Tuhan dan jamaat, memutus mata rantai kekerasan — sebagaimana tertera dalam Matius (5: 39): “siapa yang menamparmu
    pada pipi kanan, sodorkan kepadanya pipimu yang lain..”, sebagaimana Yesus
    sebagai Imam jamaat menanggung dosa-dosa
    agar dirimu (tampak)
    selalu suci, menanggung
    dosa-dosa para Kristiani agar tampak suci.

    Maka, seperti Stebby juga, saya berani katakan bahwasanya dampak utama
    puisi ini pun datang dari bunyi repetitif “aku daging dan kau rangka”. Bunyi
    yang berulang tersebut begitu kuat menyugestikan harapan akan datangnya
    kebebasan dan pembebasan dosa-dosa. Beratnya jalan menuju pertobatan dosa-dosa
    itu direpresentasikan melalui korespondensi yang tak gampang antara daging dan
    rangka; antara menuai dosa-dosa dan melindungi orang-orang agar tampak suci;
    antara terlibat dalam cinta dan terlibat dalam rantai dosa-dosa.

    Saya kira, puisi “Imam” sangat bagus untuk menggambarkan betapa makna,
    hubungan kausalitas antarmakna dan unsur-unsur musikal bersinergi dengan
    efektif mewujudkan keindahan paripurna sebuah puisi, layaknya keindahan nyanyian burung gereja yak tak
    melihat ruma, namun menilih hati (hlm.
    60). Dengan adanya semacam takrif yangmembatasi
    ruang-gerak permainan imajinasi, efek psikis yang ditimbulkan oleh bunyi
    repetitifnya bukan hipnose, melainkan justru sebaliknya: kesadaran, Pembebasan.

    /2/

    Uniknya, jazz yang dimainkan secara puitis itu dijalankan oleh Stebby di atas delman dalam perjalanan menuju Semipro, sambil lalu lentik mengerling pada banyak wisatawan (hlm. 7). Midrash Pertama (2015-2016) nyaris seluruhnya adalah puisi traveling tentang sebuah kota seluas kepalangan tangan Nabot, yang merentang dari Ketapang hingga Dringu, dari Mayangan hingga Wonoasih (hlm. 6). Sembari memainkan jazz, ia seakan membangun kota Probolinggo dari dinding-dinding gereja besinya, mengumpulkan puing-puing piktografis untuk memberikan kesan kompleks nan cantik tentang kota tersebut, layaknya bunga anggrek dalam nyanyian Als de orchiden Bloein yang bermekaran menghiasi rawa-rawa yang umumnya keruh dan kotor.

    Dalam “Biru Mengenalkan Rabu pada Kotanya” (hlm. 5), Stebby memperlihatkan secara jelas nalurinya sebagai traveler itu.

    16 Rabu, datanglah ke kotaku di bulan Juli. 17 Bukan, bukan karena aku berulang tahun. 18 Tapi di masa itu, guguran kuning angsana mewarnai halaman museum.

    19 Berjalanlah di sepanjang jalannya. 20 Suroyo, yang dulu rimbun oleh gugusan asam Jawa. 21 Sembul klangenan noni-noni pada negerinya. 22 Juga gereja yang warnanya kini dikenal hingga ke negeri penjajahnya.

    Puisi di atas memperlihatkan kecermatan seorang penjelajah yang memiliki
    fantasi atas kotanya sendiri, kota yang selalu ramai di sepanjang Semipro di
    bulan Juli (hlm. 6), kota yang memiliki BJBR nan indah di kala senja (hlm. 32),
    kota dengan gereja besi yang berdiri kokoh di jalan Suroyo itu (hlm. 48). Tanpa
    insting voyage, mustahil Stebby bisa menarasikan situasi kota itu dengan penuh
    romansa, dan juga melankolia.

    Ia romansa, karena di sana ada pertemuan Biru dengan Rabu; namun, ia
    sekaligus melankolia karena di kota itu Biru juga terpisah dari Rabu, Biru yang
    tak pernah (diizinkan) memiliki dua
    nahkoda dalam satu bahtera
    (hlm. 9), tak mungkin ada dua agama dalam sebuah
    keluarga, seorang penjelajah yang justru merasa asing (homeless) di tanah kelahirannya sendiri.

    Berbeda dari penilaian Rosalla Desi (dalam “Jalan-Jalan Bersama Stebby
    di Kota Tuhan”) tentang Di Kota Tuhan
    yang menurutnya ‘sangat Stebby’; bagi saya, Di
    Kota
    Tuhan adalah Stebby
    sekaligus bukan-Stebby. Ia Stebby karena menceritakanpengalaman getir penulisnya tentang kota kelahirannya sendiri,
    namun ia juga bukan-Stebby karena penulisnya merasa asing justru di kotanya
    sendiri.

    Sampai di sini, Stebby berada dalam sebuah dilema, dilema yang tak
    pernah bisa ia tolak sebagai penulis puisi perjalanan itu: apakah ia memilih
    menjadi seorang penjelajah yang serius atau justru seorang turis yang
    fantastik. Untuk menulis kehidupan kultur urban, seseorang pertama-tama harus
    menjadi seorang ‘outsider’ (orang asing), karena hanya dengan itulah ia bisa
    menulis objeknya. Ketika Stebby memilih untuk menulis kotanya sendiri, ia
    sebenarnya sedang (dan memang harus) mengambil jarak agar mampu merumuskan ‘otentisitas’
    kota yang ditulisnya. Cara seperti ini lazim ditemui dalam kerja-kerja
    etnografer.

    Dalam “Bentangan yang Membawa Kembali Kenangan” (hlm. 36), Stebby menulis:

    1 Bromo seperti bentangan yang membawa kembali kenangan. 2 Ia seperti rentang tangan yang memeluk kembali kehilangan. 3 Kabut, lerai cemara, nyanyian pipit di pagi hari. 4 Wangi kecubung, bau tahi kuda, dan getar otomotif yang merobek lautan pasir.

    Perhatikan, imaji tentang Bromo, tentang kabut, lerai cemara, nyanyian
    pipit, yang diiringi dengan wangi kecubung, bau tahi kuda, dan getar otomatif
    ditulis dalam narasi puitika-etnografis yang detail, dan ini hanya mungkin
    dilakukan jika penulisnya berposisi sebagai outsider
    (orang luar), seorang traveller
    (penjelajah). Menggambarkan Bromo membuat Stebby seperti orang lain, orang
    asing, seorang turis (domestik), yang melihat Boromo secara reduksionistis
    sebagai kawasan yang penuh kenangan, eksotisme, kabut, dan seterusnya.

    Pandangan seorang turis (tourist’s
    gaze
    )—kata John Urry dalam Leisure
    and Travel in
    Contemporary Societies (1990)—tak
    jauh beda dengan masculin voyeour (seorang
    priapenjelajah), yang melihat
    Probolinggo layaknya memandang seorang wanita dengan hasrat ingin memiliki.
    Hasrat itu sendiri bersifat jouissance,
    mengasyikkan tapi sekaligus menyakitkan, dan menulis puisi-puisi perjalanan itu
    memang pekerjaan yang menyenangkan sekaligus melelahkan, yang fantastik tapi
    sekaligus adiktif. Hal itu tak lain karena kita harus menjadi ‘asing’, homeless, di tengah dunia yang
    sebenarnya akrab dengan kita. Kita harus menjadi turis di negeri sendiri,
    menjadi alien untuk menciptakan hal-hal yang normal menjadi unik dan tak biasa
    bagi orang lain.

    Tetapi, benarkah Stebby sedang menjadi ‘orang lain’ untuk membebaskan
    diri, atau ia sebenarnya sedang menjadi ‘diri sendiri’ untuk memberikan
    kebebasan bagi orang lain?

    /3/

    Di ujung puisi ini saya merasa bahwa drama pembebasan dan pertobatan
    dosa-dosa itu agaknya bagian dari sebuah skenario ilahiah. Sasarannya sangat
    jelas: “… untuk Kota Probolinggo, kota seorang penyair yang merasa dirinya Musa
    yang telah berjasa menuntun bangsanya keluar dari Mesir, namun dinajiskan Allah menyentuh Kanaan – Tanah Perjanjian” (hlm. 5). Akhirnya, kota Tuhan yang dimaksud
    dalam puisi initernyata adalah
    parodi. Ini allusion. Ini bukan
    sebuah kisah keagamaan (semata). Ini kisah pemaksaan kekuasaan. Di Probolinggo, dengan persekot 200 gulden,
    Han Kek
    Koo membeli kota itu seharga
    sejuta ringgit. Dan hendak menguasainya selama sepuluh tahun, dari 1810
    (hlm.
    62).

    Sejak lama, nama Tuhan memang sering jadi alibi bagi sebuah penaklukan
    terhadap ‘yang lain’ di seberang sana: ‘mereka’ yang bukan ‘kami’. Bagi orang
    kulit putih dari abad-abad silam, emas, tahta, dan Tuhan merupakan paket three-in-one yang membenarkan setiap
    tindak penguasaan terhadap bangsa kulit berwarna, subkultur, mereka yang
    dianggap masih primitif, bebal, dan kanibal. Dalam hal ini, penaklukan adalah syiar peradaban: hiduplah bersama kami
    dalam kerajaan Tuhan, atau binasa di tangan kami yang dituntun daulah Tuhan.
    Dua opsi yang praktiknya sama saja, sebenarnya, yakni “mereka” harus berhentik
    menjadi “mereka.”

    Sebuah kronik penaklukan ini saya temukan justru dalam kehidupan Stebby yang paling intim:

    20 Ya, di tempat ini pula, Mama mengubah kemudinya, 21 mengikut Papa. 22 “Tak mungkin ada dua nahkoda dalam satu bahtera,” begitulah ungkap Mama sebelum memalingkan muka. 23 Sama sepertiku; yang telah memilih diri untuk mengikutmu. Aku tidak peduli 24 meski nantinya, akan banyak hari serta muka yang menjauhjatuhkan paling dariku. (hlm. 10)

    Tak ada yang lebih sulit selain menerima kenyataan bahwa kita harus
    dipaksa menjadi mereka, dan lebih rumit lagi jika paksaan itu ternyata justru
    lahir dari lingkungan terdekat kita. Dari sini, Stebby tampak nyaris kehilangan
    gairah khidmat atas Tuhan. Dalam puisi “Jangan-Jangan, Tuhan Sendirilah
    Kebencian Itu” (hlm. 12), ia bahkan menyatakan secara jelas puncak dari seluruh
    perjalanan eksistensialnya, 1 Apakah aku bisa memilih 2 untuk dilahirkan oleh orang tua
    yang tak bermasalah?
    (hlm. 12).

    Mungkin karena itulah ia mencintai Probolinggo, bukan semata-mata karena
    kota ini adalah tempat kelahirannya, namun terlebih karena ia menggambarkan
    sejarah hidupnya sendiri. Probolinggo, kota yang tak pernah menjadi pusat,
    namun juga bukan pinggiran; kota sekadar tempat singgah Brawijaya saat mengunjungi rakyatnya di ujung Timur; kota
    yang dipenuhi ketakacuhan dan
    ketidakpedulian
    ; kota yang mirip seperti Kanaan, Tanah yang Dijanjikan
    dari jemaat Musa yang terbuang; kota yang dipenuhi dengansorga masa kanak-kanak, namun neraka
    masa dewasa.

    Namun, pergi selalu berupa kepulangan abadi. Setiap kali ia membenci
    hidup, setiap kali itu pula ia menyadari betapa hidup terlalu sayang untuk cepat diakhiri (hlm. 30). Di sinilah
    Stebby akhirnya membuka Midrash Kedua, midrash yang ia akui sendiri sebagai
    simbol kepasrahan total (dalam kondisi
    taat tanpa tapi dan patuh tanpa nanti
    ) dari seluruh kompleksitas hidup yang
    ia tampilkan dalam Midrash Pertama, inilah kepasrahan seorang Maria yang sangat
    menjaga diri, tutur, dan lakunya, hingga ia pantas disucikan.

    /4/

    Cukuplah akhir puisi ini, “Salam”, yang mencakup tiga tema besar yang
    telah dibahas sejauh ini (lagu, perjalanan, dan Tuhan)

    1 Salamku bagimu, para pejalan Emaus, 2 saatnya merelakan semua.

    Narasi tentang kebangkitan Yesus dalam perjalanan Emaus bersama dengan
    dua muridnya, sebagaimana yang tergambar dalam Injil Lukas 24: 13-35,
    menggambarkan secara sempurna sketsa keseluruhan dari puisi-puisi Di Kota Tuhan ini. Bagaimana dua orang
    murid yang menempuh perjalanan bersama Yesus justru tidak sadar bahwa Yesus
    sedang bersama dirinya. Mereka sadar justru ketika perjamuan makan malam di
    Emaus.

    Perjalanan Emaus dalam puisi ini layaknya perjalanan menaiki delman ke
    Semipro sambil mendengarkan nyanyian burung gereja.

    Peristiwa Emaus adalah peristiwa tentang perjalanan ‘teofanis’ manusia fana yang tak menyadari bahwa mereka sedang berada dalam sebuah perjamuan yang telah ditakdirkan, suatu perjamuan yang getir, hanyut, mengasyikkan, namun penuh keterkejutan. Sebagaimana pejalan Emaus, perjalanan penyair dalam puisi-puisi Di Kota Tuhan adalah perjalanan eksistensial seseorang yang tak menyadari bahwa merekasedang berada dalam sebuah kota yang telah ditakdirkan, sebuah kota yang menyimpan kenangan getir, pahit, dan penuh teka-teki, kota yang kepadanya kita pulang dan darinya kita pergi.

    Pendapat Anda:

  • Ilusi dan Perlawanan Seorang Vegetarian

    author =

    Physical Address

    304 North Cardinal St.
    Dorchester Center, MA 02124