Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Elvan De Porres
Lalat-lalat berterbangan di atas meja, tapi kau tak peduli sama sekali. Kau malah asyik menyeruput kopi, mengudud rokok dan mencoba membuat pikiranmu tenang.
Sore ini, kau akan bertemu seseorang dan intuisimu mengatakan dia punya pengaruh penting bagi perjalanan masa depanmu. Kau sadar, dialah yang telah membuat tidur malammu terganggu atau harus menahan kencing untuk membalas pesan-pesannya.
Namanya Alisa Bagalawa, seorang dokter muda berparas rupawan. Berkulit sawo matang seperti perempuan Timor, bibirnya tipis kecoklatan dan sayu matanya akan membuat siapa saja tergila-gila.
Namun, gerundelan deskripsi itu bukanlah seleramu. Kau beranggapan, bila ingin mendapatkan perempuan jelita, berpelesir ke rumah bordil bisa jadi keputusan adiluhung. Bayarlah sesuai kesepakatan kawin kontrak, selera Anda dapat dibawa pulang tanpa seabrek kerumitan administrasi.
“Para leluhur mengajarkanku untuk memilih perempuan cerdas,” ujarmu suatu waktu saat mabuk bersama para karib.
Hanya saja, Alisa Bagalawa adalah perkecualian. Dia memiliki semuanya, entah yang masuk kriteriamu ataupun tidak. Dan seandainya diberi kesempatan meluruskan wangsit leluhur tersebut, kau pasti siap tak tidur tujuh hari tujuh malam. Meskipun itu tak penting sama sekali. Kecerdasan adalah keutamaan, sementara paras jatmika hanyalah bonus bagi laki-laki yang beruntung.
Kau sebetulnya bakalan jadi pejantan yang beruntung itu, tapi….
“Kenapa kau ingin mencalonkan diri jadi presiden?”
“Maafkan. Ini benar-benar panggilan jiwa.”
“Jawaban yang menyedihkan. Kau tahu aku tak suka politik dan niat basa-basi.”
“Maafkan. Ini benar-benar panggilan jiwa”
Kejadian remeh-temeh tersebut terjadi lima bulan lalu. Waktu itu ambisimu mengalir deras bak angin muson yang sulit dibendung sistem periodiknya. Entah ilham apa yang telah memengaruhimu, itikad menjadi presiden merupakan perkara mutlak.
Kau dan Alisa Bagalawa tak lagi saling mengontak. Hingga akhirnya bursa pencalonan presiden ditutup dan namamu tak masuk sama sekali dalam daftar manusia harapan bangsa itu. Kau kecewa bukan kepalang, padahal menurut si peramal, seorang pria tua yang gemar memelihara kucing Arab, sosok seperti dirimu bahkan telah lama dirindukan. Kau membayar mahal peramal itu dan tak memperoleh hasil apa-apa.
Ponselmu berdering dan seseorang menelepon.
“Sudah di situ?”
“Iya.”
“Oke, sedikit lagi merapat.” Percakapan selesai.
Kau melanjutkan penantian ditemani album Coldplay A Head Full of Dreams yang diputar pemilik kafe. Coldplay tidak masuk dalam daftar musik favoritmu. Namun, itu jauh lebih baik ketimbang lagu India atau psychedelic rock yang bunyinya terlalu nyaring. Ketika lagu Birds berdetak, orang yang kau tunggu akhirnya datang juga.
Dia tersenyum kepadamu, tapi senyuman itu lebih mirip orang nyinyir. Kau malu dan mukamu memerah dan berniat mematahkan otot-otot lalat di hadapanmu tapi tak jadi tersebab lalat tak setara dengan anjing hutan.
“Jadi, kamu butuh obat untuk sakit apa?” Alisa Bagalawa langsung bertanya tanpa basa-basi.
“Punya obat penenang pikiran?” kau membalasnya sambil mengendus-endus batangan rokok. Dia memerhatikanmu dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Sebuah jarum suntik.
“Saya tidak suka jarum suntik. Pil atau sirup?”
“Tidak. Ini lebih baik untuk orang yang tak waras.”
Kau mendengus dan menggaruk pantatmu dengan gelisah. Sialan. Memang berhadapan dengannya, menjaga gengsi tentu tak berlaku bagimu. Toh semenjak gagal mencalonkan diri jadi presiden, kau begitu memikirkan dia dan kembali memacakkan amanah leluhur lainnya; segeralah menikah bila telah menemukan orang yang tepat.
Lima menit kau berpikir keras, mengharapkan ide segera turun dari langit, lantas mengajarimu kaidah mandraguna untuk merajut kembali hubungan. Coldplay memainkan Everglow.
“Apakah kau masih menyayangiku, Alisa?”
“Aku datang ke sini bukan untuk membahas itu. Kau bilang kau sakit dan butuh obat.”
Ketika dia berbicara demikian, lidahmu nyaris saja tertelan. Oh, masa depan akan jadi gerowong sumbat. Persetan. Cinta harus didapatkan kembali.
“Aku sungguh menyesal. Beri aku kesempatan dan pernikahan kita akan segera kuurus.”
“Semudah itu? Dulu, kita seharusnya sudah menikah tapi berantakan karena cita-cita anehmu itu”
“Waktu itu pikiranku lagi kalap. Silakan marah sepuasnya dan katakan apa yang mesti kulakukan agar hubungan kita kembali pulih.”
“Dasar pembual tampan. Kita bicarakan dulu sakitmu.”
Ilham memang seringkali muncul tiba-tiba. Dia datang kepada siapa saja tanpa punya penanda mangkal dan waktu jelas. Barang siapa tak siap, pikirannya pasti cenal-cenil seperti peragawati yang sepatunya ketiban kulit pisang. Tapi, yang menyambut dengan lapang dada bisa juga kewalahan dan salah kaprah mengambil langkah.
Kau masuk golongan kedua, dan deskripsi yang lebih tepat tentangmu adalah kau tak ciut kepada ilham. Tak apa harus mengorbankan kasih sayang. Tak peduli omongan orang-orang.
Hanya saja, kau bukan Nabi Musa yang melihat kehadiran api dan mendengar tuturan wahyu, lantas memimpin eksodus Israel dari Mesir. Kau hidup di zaman api bisa diciptakan teknologi dan Israel telah jadi salah satu penguasa dunia.
Namun, mengamanatkan ilham telah jadi sumpahmu dalam hati yang tak patut diabaikan. Meskipun itu terjadi saat kau baru bangun tidur siang dan bukan karena melihat api apalagi makhluk astral. “Aku ingin menjadi presiden,” saat itu kau berdeham sebelum nafasmu benar-benar menguap.
Alisa Bagalawa masih memegang jarum suntik dan matanya tak absen memelototi gerak-gerikmu. Betotan gitar Jonny Buckland mengawali lagu Hymn For The Weekend.
“Kau semakin aneh saja,” kata perempuan itu.
Pandanganmu tertuju pada seisi kafe, berharap tak ada yang mendengar. Alisa Bagalawa tak tahu kalau mentalmu sedang ciut.
“Saya takut terhadap jarum suntik dan sebenarnya saya tak sakit,” balasmu.
Dia tertawa terbahak-bahak. Baru pertama kali pita suaranya bekerja lebih keras. Biasanya responsnya tak selalu berlebihan untuk setiap peristiwa konyol. Dan kau berpikir, Tuhan pasti baru saja membisikkan angin baik.
Akan tetapi, sebelum kesenanganmu berjingkat-jingkat lebih, perempuan itu berubah ekspresinya dan menoyor kepalamu, untung tak keras.
“Kalau begitu, kau menipuku dua kali,” tuturnya geram. Kiamat. Masalah kian runyam.
“Aku tak bermaksud seperti itu, Alisa. Pokoknya, aku sangat menyayangimu dan aku mau kita bicarakan ini baik-baik.”
Sekonyong-konyong kau sadar, alur percakapan yang kau ciptakan sedari tadi rupanya menemui jalan buntu. Tentu saja, sosok di hadapanmu bukanlah pemeran sinetron yang gampang dipermak oleh skenario sutradara.
“Aku tak suka penipu,” nadanya kembali lebih tinggi.
“Kau tak lagi mencintaiku?”
“Bukan urusanmu.”
“Apakah kau sudah punya pacar?”
“Bukan urusanmu.”
Beberapa pengunjung kafe berdatangan. Amazing Day mengalir syahdu. Langit mulai gelap dan urusanmu masih belum kelar. Sepertinya kau tak punya lagi cara melambungkan harapan. Saat-saat seperti itu, bacaan soal menghadapi perempuan keras kepala atau kiat mengembalikan cinta usai gagal menjadi calon presiden barangkali tak mempan sama sekali.
Tapi, seperti yang digariskan leluhur, kau adalah lelaki yang tegar. Kau tak mau pertemuan itu berakhir dengan air mata. Meskipun bila diizinkan menangis, kau pasti berjasa besar untuk para pemelihara ikan hias.
Ketika hari benar-benar malam, Alisa Bagalawa akhirnya pulang duluan. Meninggalkanmu seorang diri.
“Aku pamit. Ada pasien lain yang harus kutemui,” bisiknya di kuping kananmu.
“Apakah aku masih bisa menghubungimu?”
Dia tak berkata apa pun, berjalan terus hingga bayangannya lenyap.
Fixing up a car to drive in it again
Searching for the water, hoping for the rain
Up and up
Up and up….Lagu terakhir album A Head Full of Dreams itu menemanimu sendirian. Di luar sebuah sedan putih telah menantinya.