Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Mendengarkan Kicau Burung Gereja di Atas Delman Menuju Semipro

author =

/1/

Apakah puisi seperti jazz? Boleh jadi – bila puisi tidak cuma kata, tak cuma kalimat, tapi juga nada, irama, bunyi, bahkan kebisuan, juga elemen ketidaksadaran. Freud menyebutnya sebagai ungkapan yang terbentuk dari dorongan-dorongan naluriah. Puisi-puisi Stebby Julionatan dalam Di Kota Tuhan, Aku adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah, bagi saya, mirip jazz yang saya temui dalam roman-metropolitan Seno Gumira Ajidarma, Jazz, Parfum, dan Insiden; ia seperti hiburan, tapi hiburan yang pahit, getir, sendu, ungkit rasa duka. Si tokoh Aku dalam roman tersebut mengaku teringat kepada lagu Berta, Berta dalam album Branford Marsalis, I Heard You Twice the First Time, sebuah nyanyian bersama tanpa iringan instrumen tanpa bermaksud menjadikannya suatu paduan suara yang canggih.

Seperti Seno, Stebby juga memperlihatkan puisi seperti iringan nada-nada, kenangan orang tua dari Als de orchiden Bloein yang disebut-sebut dalam puisi Stebby tersebut: seorang pejuang sekaligus seniman Ismail Marzuki yang menulis maha tembang tentang sebuah analogi Bunga Anggrek yang Mulai Tumbuh. Puisi-puisi Stebby adalah bunga anggrek yang menghiasi rawa-rawa yang (sering) keruh; lagu itu adalah tentang kehilangan sekaligus pertemuan. Romansa sekaligus melankolia atas Hindia Belanda bagi para bumi putera di musim gugur anggrek.

Als de orchideen bloein,
ween ik haast van liefdes smart.
Want ik kan niet bij je wezen

Si penulis keroncong merasa kehilangan di saat anggrek bermekaran / Saya hampir menangis / karena aku tidak bisa bersamamu. Perasaan kehilangan itu, perasaan tidak bersama itu, dirasakan betul oleh seorang Biru yang juga merasa sendiri setelah melihat Tuhannya bercabang (hlm. 16) karena kedua orang tuanya beda agama, yang melankolis melihat Rabu semakin keburu … lenyap ditelan kelabat asapdi atas bus-bus berjingkat (hlm. 19). Seperti kata Stebby, irama itu adalah ukulele bagi kenangan orang tua tentang dirinya, tentang Rabu dan Biru.

Namun, kehilangan dan pertemuan itu diungkap dalam satu instrumen yang
berdialog, sesuatu yang segar dan sering mengejutkan, sebagaimana jazz
merupakan suatu percakapan akrab yang terjadi dengan seketika, spontan, dan
tanpa rencana. Ah, bukankah Stebby menyebut Duka
yang dilihat orang sebagai tontonan
(hlm. 36). Puisi Stebby mengemas
kehilangan (atau juga kerinduan?) itu dalam iringan irama yang melodis. Irama,
rima, asonansi, aliterasi beserta kombinasinya, repetisi, bentukan kosa kata
baru atau kosakata lama yang langka (rumbia,
aurora, cetat, aubede, miktam,
rantas),
kata-kata lumrah yang dioplos begitu rupa sehingga bunyinya (dan dengan

demikian, maknanya) jadi unik serta segar (aku daging dan kau rangka, izinkan aku mencinta sekaligus berselibat dari rantai dosa-dosa)

Stebby seakan memiliki apa yang Eliot pernah sebut dalam The Use of Poetry and the Use of Criticism sebagai ‘imajinasi audiotirs’: kepekaan terhadap ritme dan sukukatayang menembus jauh ke wilayah bawah sadar dari pikiran dan perasaan, yang menguatkan, menyegarkan, setiap kata. Eliot percaya, watak musik yang memesona bagi penyair adalah pada kepekaannya terhadap ritme dan struktur. Seolah kembali memanggil Schiller, Eliot juga melihat bahwa puisi mula-mula hadir dalam ritme tertentu yang kemudian membentuk ide dan imaji dalam jalinan kata-kata. Jika Sutardji sejak awal melancarkan agenda pembebasan kata dari ‘beban pengertian’, berbicara tentang mantra yang menekankan repetisi, tapi agenda Stebby adalah menyimpan semacam tertib alamat, bahkan mungkin ‘amanat’, dalam sengkarut kata puitis dalam musik ukulele, keroncong. Puisi-puisi Stebby dalam “Midrash Kedua (2017)” memperlihatkan agenda tersebut, bahkan sejak awal dalam puisinya berjudul “Imam” (hlm. 70):

Aku daging dan kau rangka; kusumbang asupanmu dalam sel-sel darahku
Aku daging dan kau rangka; kutuai dosa-dosa agar dirimu (tampak) selalu suci.
Aku daging dan kau rangka; izinkan aku mencinta sekaligus berselibat dari rantai dosa-dosa.

Sejak dari judulnya kita tahu, puisi ini ‘beralamat’ terang. Saya yakin
para pembacanya umumnya maklum siapa itu imam, bagaimana ia berjuang atas nama
Tuhan dan jamaat, memutus mata rantai kekerasan — sebagaimana tertera dalam Matius (5: 39): “siapa yang menamparmu
pada pipi kanan, sodorkan kepadanya pipimu yang lain..”, sebagaimana Yesus
sebagai Imam jamaat menanggung dosa-dosa
agar dirimu (tampak)
selalu suci, menanggung
dosa-dosa para Kristiani agar tampak suci.

Maka, seperti Stebby juga, saya berani katakan bahwasanya dampak utama
puisi ini pun datang dari bunyi repetitif “aku daging dan kau rangka”. Bunyi
yang berulang tersebut begitu kuat menyugestikan harapan akan datangnya
kebebasan dan pembebasan dosa-dosa. Beratnya jalan menuju pertobatan dosa-dosa
itu direpresentasikan melalui korespondensi yang tak gampang antara daging dan
rangka; antara menuai dosa-dosa dan melindungi orang-orang agar tampak suci;
antara terlibat dalam cinta dan terlibat dalam rantai dosa-dosa.

Saya kira, puisi “Imam” sangat bagus untuk menggambarkan betapa makna,
hubungan kausalitas antarmakna dan unsur-unsur musikal bersinergi dengan
efektif mewujudkan keindahan paripurna sebuah puisi, layaknya keindahan nyanyian burung gereja yak tak
melihat ruma, namun menilih hati (hlm.
60). Dengan adanya semacam takrif yangmembatasi
ruang-gerak permainan imajinasi, efek psikis yang ditimbulkan oleh bunyi
repetitifnya bukan hipnose, melainkan justru sebaliknya: kesadaran, Pembebasan.

/2/

Uniknya, jazz yang dimainkan secara puitis itu dijalankan oleh Stebby di atas delman dalam perjalanan menuju Semipro, sambil lalu lentik mengerling pada banyak wisatawan (hlm. 7). Midrash Pertama (2015-2016) nyaris seluruhnya adalah puisi traveling tentang sebuah kota seluas kepalangan tangan Nabot, yang merentang dari Ketapang hingga Dringu, dari Mayangan hingga Wonoasih (hlm. 6). Sembari memainkan jazz, ia seakan membangun kota Probolinggo dari dinding-dinding gereja besinya, mengumpulkan puing-puing piktografis untuk memberikan kesan kompleks nan cantik tentang kota tersebut, layaknya bunga anggrek dalam nyanyian Als de orchiden Bloein yang bermekaran menghiasi rawa-rawa yang umumnya keruh dan kotor.

Dalam “Biru Mengenalkan Rabu pada Kotanya” (hlm. 5), Stebby memperlihatkan secara jelas nalurinya sebagai traveler itu.

16 Rabu, datanglah ke kotaku di bulan Juli. 17 Bukan, bukan karena aku berulang tahun. 18 Tapi di masa itu, guguran kuning angsana mewarnai halaman museum.

19 Berjalanlah di sepanjang jalannya. 20 Suroyo, yang dulu rimbun oleh gugusan asam Jawa. 21 Sembul klangenan noni-noni pada negerinya. 22 Juga gereja yang warnanya kini dikenal hingga ke negeri penjajahnya.

Puisi di atas memperlihatkan kecermatan seorang penjelajah yang memiliki
fantasi atas kotanya sendiri, kota yang selalu ramai di sepanjang Semipro di
bulan Juli (hlm. 6), kota yang memiliki BJBR nan indah di kala senja (hlm. 32),
kota dengan gereja besi yang berdiri kokoh di jalan Suroyo itu (hlm. 48). Tanpa
insting voyage, mustahil Stebby bisa menarasikan situasi kota itu dengan penuh
romansa, dan juga melankolia.

Ia romansa, karena di sana ada pertemuan Biru dengan Rabu; namun, ia
sekaligus melankolia karena di kota itu Biru juga terpisah dari Rabu, Biru yang
tak pernah (diizinkan) memiliki dua
nahkoda dalam satu bahtera
(hlm. 9), tak mungkin ada dua agama dalam sebuah
keluarga, seorang penjelajah yang justru merasa asing (homeless) di tanah kelahirannya sendiri.

Berbeda dari penilaian Rosalla Desi (dalam “Jalan-Jalan Bersama Stebby
di Kota Tuhan”) tentang Di Kota Tuhan
yang menurutnya ‘sangat Stebby’; bagi saya, Di
Kota
Tuhan adalah Stebby
sekaligus bukan-Stebby. Ia Stebby karena menceritakanpengalaman getir penulisnya tentang kota kelahirannya sendiri,
namun ia juga bukan-Stebby karena penulisnya merasa asing justru di kotanya
sendiri.

Sampai di sini, Stebby berada dalam sebuah dilema, dilema yang tak
pernah bisa ia tolak sebagai penulis puisi perjalanan itu: apakah ia memilih
menjadi seorang penjelajah yang serius atau justru seorang turis yang
fantastik. Untuk menulis kehidupan kultur urban, seseorang pertama-tama harus
menjadi seorang ‘outsider’ (orang asing), karena hanya dengan itulah ia bisa
menulis objeknya. Ketika Stebby memilih untuk menulis kotanya sendiri, ia
sebenarnya sedang (dan memang harus) mengambil jarak agar mampu merumuskan ‘otentisitas’
kota yang ditulisnya. Cara seperti ini lazim ditemui dalam kerja-kerja
etnografer.

Dalam “Bentangan yang Membawa Kembali Kenangan” (hlm. 36), Stebby menulis:

1 Bromo seperti bentangan yang membawa kembali kenangan. 2 Ia seperti rentang tangan yang memeluk kembali kehilangan. 3 Kabut, lerai cemara, nyanyian pipit di pagi hari. 4 Wangi kecubung, bau tahi kuda, dan getar otomotif yang merobek lautan pasir.

Perhatikan, imaji tentang Bromo, tentang kabut, lerai cemara, nyanyian
pipit, yang diiringi dengan wangi kecubung, bau tahi kuda, dan getar otomatif
ditulis dalam narasi puitika-etnografis yang detail, dan ini hanya mungkin
dilakukan jika penulisnya berposisi sebagai outsider
(orang luar), seorang traveller
(penjelajah). Menggambarkan Bromo membuat Stebby seperti orang lain, orang
asing, seorang turis (domestik), yang melihat Boromo secara reduksionistis
sebagai kawasan yang penuh kenangan, eksotisme, kabut, dan seterusnya.

Pandangan seorang turis (tourist’s
gaze
)—kata John Urry dalam Leisure
and Travel in
Contemporary Societies (1990)—tak
jauh beda dengan masculin voyeour (seorang
priapenjelajah), yang melihat
Probolinggo layaknya memandang seorang wanita dengan hasrat ingin memiliki.
Hasrat itu sendiri bersifat jouissance,
mengasyikkan tapi sekaligus menyakitkan, dan menulis puisi-puisi perjalanan itu
memang pekerjaan yang menyenangkan sekaligus melelahkan, yang fantastik tapi
sekaligus adiktif. Hal itu tak lain karena kita harus menjadi ‘asing’, homeless, di tengah dunia yang
sebenarnya akrab dengan kita. Kita harus menjadi turis di negeri sendiri,
menjadi alien untuk menciptakan hal-hal yang normal menjadi unik dan tak biasa
bagi orang lain.

Tetapi, benarkah Stebby sedang menjadi ‘orang lain’ untuk membebaskan
diri, atau ia sebenarnya sedang menjadi ‘diri sendiri’ untuk memberikan
kebebasan bagi orang lain?

/3/

Di ujung puisi ini saya merasa bahwa drama pembebasan dan pertobatan
dosa-dosa itu agaknya bagian dari sebuah skenario ilahiah. Sasarannya sangat
jelas: “… untuk Kota Probolinggo, kota seorang penyair yang merasa dirinya Musa
yang telah berjasa menuntun bangsanya keluar dari Mesir, namun dinajiskan Allah menyentuh Kanaan – Tanah Perjanjian” (hlm. 5). Akhirnya, kota Tuhan yang dimaksud
dalam puisi initernyata adalah
parodi. Ini allusion. Ini bukan
sebuah kisah keagamaan (semata). Ini kisah pemaksaan kekuasaan. Di Probolinggo, dengan persekot 200 gulden,
Han Kek
Koo membeli kota itu seharga
sejuta ringgit. Dan hendak menguasainya selama sepuluh tahun, dari 1810
(hlm.
62).

Sejak lama, nama Tuhan memang sering jadi alibi bagi sebuah penaklukan
terhadap ‘yang lain’ di seberang sana: ‘mereka’ yang bukan ‘kami’. Bagi orang
kulit putih dari abad-abad silam, emas, tahta, dan Tuhan merupakan paket three-in-one yang membenarkan setiap
tindak penguasaan terhadap bangsa kulit berwarna, subkultur, mereka yang
dianggap masih primitif, bebal, dan kanibal. Dalam hal ini, penaklukan adalah syiar peradaban: hiduplah bersama kami
dalam kerajaan Tuhan, atau binasa di tangan kami yang dituntun daulah Tuhan.
Dua opsi yang praktiknya sama saja, sebenarnya, yakni “mereka” harus berhentik
menjadi “mereka.”

Sebuah kronik penaklukan ini saya temukan justru dalam kehidupan Stebby yang paling intim:

20 Ya, di tempat ini pula, Mama mengubah kemudinya, 21 mengikut Papa. 22 “Tak mungkin ada dua nahkoda dalam satu bahtera,” begitulah ungkap Mama sebelum memalingkan muka. 23 Sama sepertiku; yang telah memilih diri untuk mengikutmu. Aku tidak peduli 24 meski nantinya, akan banyak hari serta muka yang menjauhjatuhkan paling dariku. (hlm. 10)

Tak ada yang lebih sulit selain menerima kenyataan bahwa kita harus
dipaksa menjadi mereka, dan lebih rumit lagi jika paksaan itu ternyata justru
lahir dari lingkungan terdekat kita. Dari sini, Stebby tampak nyaris kehilangan
gairah khidmat atas Tuhan. Dalam puisi “Jangan-Jangan, Tuhan Sendirilah
Kebencian Itu” (hlm. 12), ia bahkan menyatakan secara jelas puncak dari seluruh
perjalanan eksistensialnya, 1 Apakah aku bisa memilih 2 untuk dilahirkan oleh orang tua
yang tak bermasalah?
(hlm. 12).

Mungkin karena itulah ia mencintai Probolinggo, bukan semata-mata karena
kota ini adalah tempat kelahirannya, namun terlebih karena ia menggambarkan
sejarah hidupnya sendiri. Probolinggo, kota yang tak pernah menjadi pusat,
namun juga bukan pinggiran; kota sekadar tempat singgah Brawijaya saat mengunjungi rakyatnya di ujung Timur; kota
yang dipenuhi ketakacuhan dan
ketidakpedulian
; kota yang mirip seperti Kanaan, Tanah yang Dijanjikan
dari jemaat Musa yang terbuang; kota yang dipenuhi dengansorga masa kanak-kanak, namun neraka
masa dewasa.

Namun, pergi selalu berupa kepulangan abadi. Setiap kali ia membenci
hidup, setiap kali itu pula ia menyadari betapa hidup terlalu sayang untuk cepat diakhiri (hlm. 30). Di sinilah
Stebby akhirnya membuka Midrash Kedua, midrash yang ia akui sendiri sebagai
simbol kepasrahan total (dalam kondisi
taat tanpa tapi dan patuh tanpa nanti
) dari seluruh kompleksitas hidup yang
ia tampilkan dalam Midrash Pertama, inilah kepasrahan seorang Maria yang sangat
menjaga diri, tutur, dan lakunya, hingga ia pantas disucikan.

/4/

Cukuplah akhir puisi ini, “Salam”, yang mencakup tiga tema besar yang
telah dibahas sejauh ini (lagu, perjalanan, dan Tuhan)

1 Salamku bagimu, para pejalan Emaus, 2 saatnya merelakan semua.

Narasi tentang kebangkitan Yesus dalam perjalanan Emaus bersama dengan
dua muridnya, sebagaimana yang tergambar dalam Injil Lukas 24: 13-35,
menggambarkan secara sempurna sketsa keseluruhan dari puisi-puisi Di Kota Tuhan ini. Bagaimana dua orang
murid yang menempuh perjalanan bersama Yesus justru tidak sadar bahwa Yesus
sedang bersama dirinya. Mereka sadar justru ketika perjamuan makan malam di
Emaus.

Perjalanan Emaus dalam puisi ini layaknya perjalanan menaiki delman ke
Semipro sambil mendengarkan nyanyian burung gereja.

Peristiwa Emaus adalah peristiwa tentang perjalanan ‘teofanis’ manusia fana yang tak menyadari bahwa mereka sedang berada dalam sebuah perjamuan yang telah ditakdirkan, suatu perjamuan yang getir, hanyut, mengasyikkan, namun penuh keterkejutan. Sebagaimana pejalan Emaus, perjalanan penyair dalam puisi-puisi Di Kota Tuhan adalah perjalanan eksistensial seseorang yang tak menyadari bahwa merekasedang berada dalam sebuah kota yang telah ditakdirkan, sebuah kota yang menyimpan kenangan getir, pahit, dan penuh teka-teki, kota yang kepadanya kita pulang dan darinya kita pergi.

Pendapat Anda: