Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Apakah Seperti Ini Menjadi Seorang Lelaki, Mar?

author = Imey Triani Wasono Putri

Juara 3 Lomba Cipta Cerpen Festival Sastra UGM 2020

Sekarang aku tak mengenal takut lagi. Hari-hari menyeramkan yang setiap saat menghantui, seolah telah meledak jauh ke langit menjelma kembang api. Anyir darah yang seringkali membuatku pusing kepayang bahkan pingsan, kini seakan selalu membasuh tubuhku. Kepala-kepala itu menjelma mainan tentara, bahkan menjadi pemandangan biasa yang terlukis di sepasang mataku. Bahkan tanganku yang biasanya bergetar hebat saat memegang kapak, kini dapat memenggal kepala sambil mendendangkan lagu Nurlela dan akan berteriak semangat saat lirik “cha cha cha!” lantas diikuti gelak tawa tiada terkira.

***

Pagi itu, mau tidak mau aku harus bangun lebih awal. Sesuatu telah membuat celana pendekku basah dan itu sangat tidak nyaman. Rembesan sisa hujan berjatuhan dari langit-langit kamar. Aku menegakkan badan sambil mengusap kasar wajahku, memastikan hari memang masih sangat pagi. Ranjang tuaku ikut bersuara seolah mempertanyakan nasibnya yang memang sudah sangat tua itu. Ah, kemiskinan memang sudah mengutukku sejak dalam kandungan.

Aku melihat sisi kasur di sebelahku telah kosong. Seperti biasanya, ia akan bangun jauh lebih pagi dari aku bahkan matahari sekalipun. Aku melihatnya sibuk menjaga api,  menjejalkan beberapa kayu bakar pada mulut tungku sederhana dari tanah liat itu. Pundaknya kusentuh pelan. Sepertinya ia sedikit terkejut, namun tetap terjaga ketenangan dan anggun. Ia menoleh lalu menampakkan garis senyum. Aku mencium keningnya. Ia mengucap selamat pagi dan  sedikit menggerutu perihal daster yang diompoli kucing tetangga. Aku menyalakan radio, mendengarkan lagu apapun yang sedang diputar pagi itu.

Umur pernikahan kami kira-kira sudah empat tahun berjalan. Namun, tetap saja kami hanya tinggal berdua di rumah lusuh warisan orang tuaku tanpa seorang anak. Aku merasa sedikit kecewa dan beruntung. Kecewa karena seringkali iri melihat saudara, tetangga, teman, atau bahkan artis yang bergelak tawa dengan anak-anak mungil dan manis. Walaupun, cepat-cepat aku menyingkirkan pikiran itu sambil meyakinkan diri, bahwa: dunia hanya ajang untuk saling pamer, pun tidak terkecuali perihal kebahagiaan. Dan beberapa kali merasa beruntung karena tidak direpotkan oleh anak-anak yang menurutku sedikit ribet.

Rasa-rasanya, hubungan yang terjalin semakin hambar. Tidak bahagia tidak pula bersedih. Kita sama-sama tersenyum, memberi ucapan selamat pagi, kecupan sebelum tidur, bahkan melewati malam-malam liar. Namun, semua terlewati tanpa ada lagi sesuatu yang mendebarkan—berbeda dengan dulu. Rutinitas yang dirasa orang romantis itu, berlalu seperti angin lewat. Aku merasakan itu semua, entah dengan dia.

Menjadi pustakawan—sebenarnya aku lebih suka menyebutnya babu perpustakaan—bukan pekerjaan yang menyenangkan namun tak terlalu buruk juga. Walau kadangkala membosankan, setidaknya aku bisa menghindari suasana rumah dan gemerlap suara sepatu lars di jalanan. Aku hanya perlu duduk manis sambil mendengar iklan jamu pegal linu sambil menunggu pemutaran album Titiek Puspa setiap hari sabtu di radio. Menata buku sambil mendendangkan lagu Nurlela dan sesekali memperagakan lirikan-lirikan manja.

Beberapa kali para tentara datang kesini. Menanyakan tentang pengunjung dan buku-buku; Apakah ada orang mencurigakan yang pernah kesini? Apakah ada buku paham kiri? Apakah ada buku yang menghasut rakyat? Seringkali pula bercerita dan sedikit mengancam bagaimana nerakanya penjara di negara ini. Aku takut. Begitu saja, aku sudah takut. Memang kala itu siapa yang tak takut dengan orang-orang itu?

Tak jarang pula mereka merayuku. Mencubit pipi. Menarik kerah baju. Menepuk bokong. Menyentuh kelelakianku. Kurang ajar! Sialan! Biadab! Tak punya tata krama! Apakah di luar sana kekurangan perempuan, hingga seorang lelaki harus mereka gerayangi? Tetap aku tidak bisa melawan. Aku takut. Begitu saja, aku sudah sangat takut.

Tidak ingat pasti, bagaimana mereka membawaku dari perpustakaan itu. Yang kuingat hanya sepatu lars yang menendang bahu. Sepasang jempol yang diborgol. Anyir darah yang mengalir di sudut bibir karena seringkali dihantam tamparan. Juga tulang rusuk yang tersiksa oleh sikutan dan beberapa tinju yang membungkam mulutku.

Entah apa yang kurasakan semalam sebelum aku ditodong senjata hari itu. Malam di rumah yang biasanya terasa biasa saja, kala itu menghangat. Selimut yang menutupi setengah tubuhku dan istriku membuat pengap dan banjir keringat. Tiba-tiba aku ingin sekali mendengar lagu Fly Me to the Moon dengan segelas teh atau kopi yang dicampur jahe.

“Jangan lupa jahenya dibakar juga!” ucapku sambil mempercepat langkah menyesuaikan posisinya.

Ia menyalakan api, menjejalkan beberapa kayu bakar di mulut tungku, sambil sesekali mengusap mata dan menyeka peluh di dahi. Tangannya sibuk menyiapkan panci untuk merebus air dan jahe yang dibakar di atas api. Ia berjongkok, menjaga kobaran api. Raut wajahnya yang sederhana memantulkan kasih sayang dan kehangatan.

Aku menyalakan radio, memilih lagu Fly Me to the Moon  yang akan bergema malam itu. Tanpa penuh sadar, aku menarik lengannya. Ia sedikit bingung, namun tidak juga melawan tarikanku. Ku ajak ia menari, sekenanya. Hentakan kaki kita selaras dengan itu. Kita berdua menari sambil sesekali menguap dan memejamkan mata. Rasanya, saat itu aku tak ingin Frank Sinatra mengakhiri Fly Me to the Moon-nya, biarlah kita benar-benar terbang ke bulan dan terus menari berdua. Berdua saja.

Aku bersandar di dadanya dan ia membelai rambutku yang mulai panjang—belum sempat pergi ke tukang cukur langganan, lalu ia lebih dulu pensiun. Tubuhku tak mau lepas dari pelukannya. Aku mencumbu bibirnya yang malam itu menawarkan rasa berbeda. Debaran yang sempat hilang, perlahan menghiasi sesuatu di dalam aku.

“Bagaimana bisa kau dulu memilih menikah dengan orang sepertiku ini, Mar.” Aku menghela napas setelah perkataan yang asing itu keluar dari mulutku.

“Emang kamu orangnya gimana mas?”

Ndak pernah menyangka. Lelaki lugu dan kemayu sepertiku bisa punya kamu. Jiwaku kurang lelaki ya, Mar?”

“Emang seorang lelaki itu harus seperti apa, Mas?”

Obrolan ngawur itu terhenti oleh pertanyaannya yang terus menggangguku. Tak pernah terduga, malam itu benar-benar malam terakhir. Malam itu berakhir dengan secangkir kopi yang dicampur jahe, lagu “Fly Me to The Moon”, pelukan, dan pertanyaan singkat darinya yang masih saja kucari jawabannya.

Aku benar-benar tidak dapat memastikan keadaanku saat ini. Rasa sakit datang bersamaan dan seolah mengoyakku hidup-hidup. Mulutku terasa ngilu dan asin darah. Lengan kananku tak berdarah namun menampakkan lebam. Pangkal jempol yang terluka dan nyeri. Dan rasa sakit lainnya, yang tak bisa kujelaskan seperti apa. Mungkin, mungkin saja, ini adalah perjalanan menuju jawaban atas pertanyaanmu, Mar.

Tidak ada yang tahu alasan mengapa aku—dan beberapa orang—digiring kesini. Diberi makan ala kadarnya. Tidak ada yang bertanya. Tidak satupun dari kami mengeluarkan suara. Menatap mata para tentara sekejap saja, langsung kualihkan pandangan dengan amat ketakutan dan tergesa-gesa.

Kami diinterogasi tentang gerombolan, kaum kiri, ideologi, pemberontak, buku penghasut rakyat, dan segala hal yang sebenarnya tak begitu kupahami.

Jarum jam terus berputar ke kanan sebagaimana harusnya. Kami—aku dan mereka yang ditahan—masih belum tahu dan mengerti tentang alasan seperti apa hingga harus ditahan di sini. Untuk apa mereka bertanya-tanya perihal rela berkorban. Kami bukan siapa-siapa dan tidak melakukan apa-apa. Tetap, masih saja pertanyaan-pertanyaan itu hanya bersarang di kepala. Kami takut. Begitu saja, kami sudah sangat takut.

Walaupun aku tidak disiksa—secara fisik—oleh orang-orang disini, namun aku tetap sangat tersiksa. Rutinitas ucapan selamat pagi, kecupan di dahi, memutar lagu Fly Me To the Moon, dan sesekali kau marahi karena terlambat berangkat kerja, memang harus segera kubereskan dari bayangan yang menghantui. Tapi, bagaimana aku bisa membunuh bayangan itu, jikalau ia telah menjadi tubuh lain yang melekat di tubuhku. Tolong aku, Mar.

Atau, bagaimana aku mengakhiri benturan-benturan pada kepalaku sendiri berharap manja dan kemayu ini lekas mati. Aku sudah tidak di sisimu. Aku tidak lagi bisa meminta ini-itu padamu. Aku tidak lagi bebas berjalan sesuka hati dengan pinggul yang berirama kesana-kemari. Aku harus beranjak dari ini. Sekali lagi, tolong aku, Mar.

Aku masih ingin mencari jawaban atas pertanyaanmu, bahkan saat aku harus mengerjakan hal, yang kata mereka adalah sebuah tugas dan perintah. Kukira aku hanya akan disuruh merebus singkong dan membuat kopi, atau pekerjaan lainnya yang ditempatkan di pawon.

Namun, sore itu—sore yang tidak ingin kuulangi lagi—seseorang menyuruhku membuang karung yang entah apa isinya. Lagi-lagi aku masih berjalan kemayu, mengayun-ayunkan karung yang kutenteng dengan satu tangan, sambil menggerutu keberatan. Kukira, hari itu aku bekerja sedikit banyak sampai-sampai tubuhku menguar bau yang tak bersahabat dengan hidungku. Ku lempar sembarang karung itu dari seberang kali, penuh semak belukar  yang tumbuh malang melintang dan seringkali menusuk betisku yang semakin mengecil. Rasanya arus kali saat itu sedang deras-derasnya hingga sesuatu yang ada di karung mencuat keluar. Sesuatu yang mengapung terombang-ambing terbawa air. Tiba-tiba air kali yang terlihat coklat muda itu bercampur warna merah yang samar. Masih terus kupandangi sesuatu itu hingga terbawa sedikit jauh. Dan setelahnya, baru benar-benar kusadari.

Tubuhku berkeringat, namun suasana kala itu membuatku merasakan dingin di tiap peluhku. Embus nafasku kasar dan tak teratur. Bibirku terasa kering gersang. Mataku masih menatap sesuatu itu. Memastikan, bahwa yang kulihat saat itu benar-benar kepala manusia dengan mata yang belum tertutup sempurna. Darah segar bercampur dengan coklat air kali. Beberapa ekor burung terlihat mendekati dan akhirnya ditinggal terbang melayang. Barangkali, burung itu merasa iba melihat begitu malang sebuah kepala yang terlunta-lunta oleh nasib dan derasnya arus sungai. Dapat kubayangkan kala itu, mungkin aku terlihat seperti mayat hidup yang sedang berdiri di pinggiran kali.

Beberapa malam setelahnya, kantuk seolah tak sudi mengunjungiku. Seringkali tubuhku bergetar hebat dan aku hanya bisa menelungkupkan wajah dengan bantal agar ingatan itu tidak membunuhku pelan-pelan. Beberapa hari itu pula aku tidak bekerja, lebih banyak mengasingkan diri di kamar mandi dan duduk termenung di pojokan kamar.

Setelah ketakutan itu. Setelah nuraniku terguncang cukup lama. Setelah hal-hal yang kuanggap dan (mungkin) kau anggap pula tidak berkemanusiaan itu membuatku seringkali merasa pusing atau bahkan pingsan. Aku seolah telah melanggar janji kita, sekaligus sedang menemukan jalan menuju jawaban itu, Mar.

“Tidak ada yang lebih penting selain kemanusiaan. Itu kalimat terakhir yang diucapkan Bapak sebelum malam harinya ia menghilang entah kemana, seminggu kemudian telah ditemukan mati dengan tubuh kaku serta luka gorok di leher dan di perut yang melintang hingga di atas kemaluan. Dan aku ingin, sebagai calon pendamping hidup dan ayah dari anak-anakku nanti, dirimu memegang teguh ajaran Bapak, Mas. Berjanjilah.” Itu yang kau katakan padaku dengan suara lirih dan bergetar, sebelum cincin pernikahan—yang harganya tak seberapa—melingkar di jari manismu.

Tapi, sekali lagi, aku telah melanggar janji kita dan sekaligus menemukan sedikit titik terang atas pencarian panjang menemukan jawaban dari pertanyaanmu. Sudah sangat jarang aku berkunjung ke pawon serta menyentuh peralatannya. Aku sudah tidak menjaga kobaran api—seperti yang biasa kau lakukan dulu— untuk merebus air dan menyeduh kopi. Aku benar-benar sudah tidak melakukan pekerjaan yang dianggap orang remeh-temeh itu. Aku lebih sering disuruh untuk menjaga orang-orang yang mereka bawa entah dari mana. Orang-orang dengan wajah yang muram, ketakutan, lesu, tidak sedikit pula dari mereka yang berlinang air mata dan memancarkan kesedihan.

Aku kasihan. Aku sangat merasa iba. Seperti yang diajarkan oleh bapakmu, Mar. Tidak ada yang lebih penting dari kemanusiaan. Ajaran itu masih kujaga. Namun, mereka bilang padaku bahwa pekerjaan seperti itulah yang akan membuktikan kelelakian seorang lelaki. Kuat dan berani adalah lambang lelaki. Aku ragu tetapi tidak dapat mengelak dari rasa berpihak dengan omongan mereka. Aku tidak tahu pasti, apakah ini keputusan yang mengantarku pada sebuah jawaban atau akan membuatku terjebak pada jurang yang kelam.

Melewati pekerjaan semacam itu seolah menjadi neraka baru bagiku. Setiap saat aku harus melawan nuraniku yang kerap kali bergejolak. Betapa aku memang masih masih benar-benar belum menjadi lelaki. Bagaimana aku yang sering merasa mual, pusing atau bahkan pingsan lebih dulu saat melihat darah yang berceceran. Seringkali aku melihat guru yang mengajariku berhitung dulu, pedagang sayur yang sering memberiku lebih, tukang cukur yang telah pensiun, dan beberapa orang yang berjasa dalam hidupku dibawa mereka entah dari mana. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak kuasa membantu apa-apa. Kata mereka, hal itu tidak melawan kemanusiaan, itu adalah balasan setimpal untuk para pemberontak dan orang-orang yang susah diatur. Pun sampai saat ini, aku benar-benar belum sepenuhnya paham dan mengerti.

Badanku yang kian kurus kering memanggul mayat-mayat yang barangkali diselimuti kesedihan dan dendam. Membuka bumi ala kadarnya untuk kuburan masal. Membersihkan jeroan-jeroan yang berserakan di sana-sini. Aku tidak pernah melihat sendiri dan tidak mau membayangkannya, namun telingaku pernah mendengar, beberapa dari mereka dibakar bahkan dikuliti layaknya hewan.

Entahlah, apakah ini memang sungguh melanggar janjiku, Mar. Sekarang, aku melakukan tugas-tugas itu dengan ringan tangan dan hati riang. Semua seolah telah menjadi rutinitas setiap hari, tidak jauh berbeda rasanya seperti sedang makan, gosok gigi, tidur, atau minum kopi setiap pagi.

Bahkan, saat ini, saat aku berkuasa pada hidup dan mati manusia, aku masih bisa mendendangkan lagu nurlela. Kata mereka, saat aku melakukan ini, aku terlihat sebagai lelaki sejati. Kuat dan jiwa pemberani sudah merasuk ke dalam aku, sekali lagi, kata mereka seperti itu.

Apakah seperti ini menjadi seorang lelaki, Mar?