Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Kelas Terakhir [Alphonse Daudet]

author = Andreas Nova

Aku sangat terlambat ke sekolah pagi itu, dan sangat takut dimarahi, terutama karena Pak Hamel telah mengatakan kepada kami bahwa ia akan menguji kami tentang partisipel, dan aku sama sekali tidak tahu tentang itu. Sesaat kupikir lebih baik membolos dan berkeliaran di ladang.

Hari ini cuacanya hangat, sangat cerah.

Burung-burung hitam bersiulan di tepian hutan dan padang rumput, di belakang penggergajian, tempat tentara-tentara Prusia tengah berlatih. Semua itu sangat menggodaku untuk membolos daripada mengikuti pelajaran mengenai partisipel. Tapi, aku sudah bertekad, maka cepat-cepat aku berlari menuju sekolah.

Saat melewati kantor kepala desa, aku melihat orang-orang berkerumun di depan papan pengumuman. Selama dua tahun ini, semua kabar buruk ada di situ mulai dari berita kekalahan perang, tuntutan-tuntutan, sampai perintah-perintah dari pusat; aku tak menghentikan langkahku sembari membatin,

“Kali ini apa lagi?”

Lalu, saat aku berlari di alun-alun, Wachter, si pandai besi yang berdiri di sana dengan muridnya, membaca pengumuman itu lalu berseru padaku,

“Jangan buru-buru begitu, Nak. Kau akan segera sampai di sekolah!”

Aku pikir ia mengolokku dan aku pun masuk dengan terengah-engah ke halaman sempit rumah Pak Hamel.

Biasanya, di awal kelas, suara ramai bisa terdengar sampai ke jalan, suara meja dibuka dan ditutup, suara pelajaran diulang-ulang berbarengan, sangat keras, tangan kami pun menutup telinga supaya pelajaran bisa masuk lebih baik, dan Pak Guru memukul-mukul meja—dengan penggaris besar— sambil berteriak:

“Diam sedikit!”

Kuharap dengan kebisingan itu aku dapat menyelinap ke bangku tanpa diketahui; tapi tak seperti biasanya, hari itu sangat tenang, seperti layaknya Minggu pagi. Lewat jendela yang terbuka aku melihat teman-temanku sudah duduk rapi di bangku mereka, dan Pak Hamel berjalan bolak-balik, menggamit penggaris besi yang menakutkan itu. Aku terpaksa membuka pintu perlahan dan masuk di tengah-tengah suasana hening. Bayangkan betapa takut dan merahnya mukaku.

Tapi tidak! Pak Hamel menatapku tanpa marah dan berkata lembut, “Segera duduk, Franz; kami hampir mulai tanpamu.”

Aku melangkah ke bangku yang biasa kududuki. Sementara menenangkan jantung yang masih berdebar ini, aku melihat Pak Guru mengenakan mantel halus berwarna hijau, kerah jabot yang terlipat rapi, dan pet sutra hitam bersulam yang hanya ia kenakan saat ada inspeksi dari pusat atau pada hari pemberian hadiah. Suasana kelas masih terasa lain dari biasa dan sangat khidmat. Tapi yang membuatku terkejut adalah ketika melihat di bagian belakang, di bangku-bangku yang biasanya kosong, orang-orang desa duduk dan berdiam seperti kami. Pak tua Hauser dengan topi bajak lautnya, mantan kepala desa, mantan
tukang pos, dan kemudian orang-orang lainnya. Semuanya nampak sedih, dan Hauser membawa buku abjad tua yang tercabik ujungnya, ia buka lebar di atas lutut, dengan kacamata tebalnya yang diletakkan di halaman buku.

Sementara aku masih bertanya-tanya, Pak Hamel telah naik ke mimbarnya, dengan nada lembut dan serius seperti saat tadi menyambutku, ia berkata kepada kami.

“Anak-anakku, ini adalah kelas kita yang terakhir. Perintah dari Berlin melarang untuk mengajarkan bahasa selain Bahasa Jerman di sekolah wilayah Alsace dan Lorraine. Guru baru akan tiba besok. Hari ini adalah pelajaran Bahasa Prancis terakhir kalian. Saya mohon kalian perhatikan dengan sungguh-sungguh.”

Kata-katanya itu membuat hatiku remuk. Ah! Orang-orang sialan itu, rupanya itu yang mereka umumkan di papan pengumuman.

Pelajaran Bahasa Prancis terakhirku!

Dan aku belum terlalu bisa menulis! Jadi, aku tidak akan pernah mempelajarinya lagi. Aku terpaksa berhenti begitu saja. Sekarang aku menyalahkan diriku, mengingat waktu yang terbuang begitu saja. Membolos hanya untuk mencari sarang burung, atau meluncur di sungai Saar. Buku-buku milikku yang dulu terasa membosankan, terasa berat untuk dibawa, tetapi sekarang buku tata bahasa dan sejarah para orang kudus nampak seperti sahabat lama dan terasa sangat menyedihkan jika aku berpisah dengan mereka. Seperti Pak Hamel. Mengingat beliau akan pergi, dan aku tidak akan dapat bertemu dengannya lagi membuatku lupa akan hukuman berupa pukulan-pukulan penggarisnya yang pernah aku terima.
Sungguh kasihan beliau! Untuk menghormati kelas terakhir ini, beliau mengenakan pakaian terbaiknya dan sekarang aku mengerti mengapa para tetua desa datang dan duduk di belakang, Mereka juga berharap dapat datang lebih sering ke sekolah. Itu juga salah satu cara berterima kasih terhadap guru kami yang telah mengabdi dengan setia selama empat puluh tahun, dan memberikan penghormatan kepada tanah air yang sudah hilang.

Aku sedang dalam lamunanku saat namaku dipanggil. Rupanya giliranku untuk membaca. Apa pun akan kulakukan untuk dapat menyebutkan aturan-aturan partisipel —yang sangat kubenci itu— dengan lantang dan jelas tanpa kesalahan? Tapi baru akan berucap saja aku salah, aku bertumpu ke bangkuku, menunduk takut. Aku mendengar Pak Hamel berkata,

“Aku tidak akan memarahimu, Franz. Kamu sudah cukup dihukum. Itulah keadaannya. Tiap hari kita bilang pada diri sendiri. ‘Ah! Masih banyak waktu, besok saja aku belajarnya’. Dan sekarang kamu lihat yang terjadi. Ah! Sungguh kerugian besar bagi masyarakat Alsace yang selalu menunda belajar untuk esok hari. Sekarang orang-orang bisa saja berkata kepada kita ‘Apa?! Kamu mengaku orang Prancis tapi kamu tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasamu! Namun dalam hal itu, Franz, kamu bukan orang yang paling bersalah. Kita semua punya kesalahan yang pantas dipertanggungjawabkan. Bapak dan ibumu tidak memberi perhatian yang cukup untuk memastikanmu mendapat pendidikan yang layak. Mereka lebih suka menyuruhmu bekerja di ladang atau menenun untuk mendapatkan uang yang cuma sedikit. Saya sendiri, apakah saya memiliki kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan? Bukankah aku sering menyuruhmu menyirami tanaman di kebunku padahal kamu seharusnya belajar? Dan jika aku mau pergi memancing ikan forel apakah aku keberatan meliburkanmu?”

Jadi, dari satu hal ke hal lain, Pak Hamel mulai berbicara tentang Bahasa Prancis dan mengatakan bahasa ini adalah bahasa yang paling indah di dunia, yang paling jelas, paling logis. Kami harus menguasainya dan jangan sampai melupakannya. Karena apabila sebuah bangsa menjadi budak, selama ia menguasai bahasanya, mereka menguasai kunci kemerdekaannya . Lalu ia mengambil buku tata bahasa dan menyampaikan pelajaran pada kami. Aku heran karena aku seolah sangat mudah memahaminya. Semua yang beliau ajarkan nampak mudah dan mudah. Kupikir belum pernah aku bersungguh-sungguh dalam
belajar dan beliau juga belum pernah mengajar sesabar ini. Nampaknya sebelum beliau pergi, Pak Guru yang malang ini hendak menjejalkan seluruh ilmunya sekaligus ke otak kami.

Pelajaran selesai, kami berganti belajar menulis. Untuk hari ini, Pak Hamel telah menyiapkan contoh-contoh baru, yang ditulis dalam tulisan rapi berbentuk bulat: Prancis, Alsace, Prancis, Alsace. Contoh-contoh tulisan itu tergantung di meja kami seperti bendera-bendera kecil yang berkibar di sekeliling kelas. Semua murid menulis dalam keadaan yang hening. Tidak ada suara lain kecuali goresan pena di atas kertas. Kemudian ada beberapa kumbang masuk, tetapi tidak ada yang peduli. Termasuk anak-anak yang
sedang berusaha belajar menulis dengan hati-hati, seolah hal itu adalah bagian dari belajar Bahasa Prancis. Di atas atap, burung-burung merpati sayup-sayup bernyanyi, mendengar itu aku berpikir.

“Apakah mereka akan dipaksa bernyanyi dalam Bahasa Jerman?”

Ketika kualihkan pandangan dari halaman bukuku, aku melihat Pak Hamel berdiri di mimbarnya sembari menatap benda-benda di sekelilingnya, seolah ia ingin merekam seluruh isi bangunan ini dalam ingatannya. Coba pikir! Selama empatpuluh tahun, beliau berada di tempat yang sama, dengan halaman sekolah di depannya, dan kelas yang sama juga. Hanya bangku-bangku dan meja-meja telah digosok dan dipoles karena sering digunakan. Pohon-pohon kenari di halaman sekolah telah tumbuh besar, juga tanaman hop yang beliau tanam sendiri telah menghiasi jendela-jendela hingga ke atap. Betapa sedihnya
Pak Guru yang malang itu harus meninggalkan itu semua, mendengar kakaknya bolak-balik di kamar atas sambil mengemas pakaian-pakaian mereka! Karena mereka akan pergi besok, meninggalkan tempat ini untuk selamanya.

Walau bagaimanapun, beliau memiliki keberanian untuk mengajar kelas ini sampai selesai. Sesudah menulis, kami belajar sejarah, kemudian, murid-murid kecil bernyanyi bersama BA BI BU BE BO. Di sana, di belakang kelas, Pak Tua Hauser telah mengenakan kacamatanya dan sembari memegang erat buku abjad dengan kedua tangannya, ia mengeja abjad bersama-sama mereka. Beliau berusaha keras. Suaranya menggelegar penuh emosi, dan menggelikan bagi yang lain, kami semua seolah ingin tertawa dan menangis sekaligus. Ah!

Aku tidak akan melupakan kelas terakhir ini.

Tiba-tiba jam gereja menunjukkan pukul dua belas, disambut lonceng yang menandakan waktu doa Malaikat Tuhan. Hampir bersamaan, terompet-terompet tentara Prusia yang sedang pulang dari latihan terdengar lantang menggetarkan jendela. Pak Hamel berdiri di mimbarnya, mukanya pucat. Rasa-rasanya beliau belum pernah nampak setinggi ini.
“Kawan-kawan,” katanya, “Saya… saya…”

Ada sesuatu yang seolah mencekiknya. Beliau tidak menghabiskan kalimatnya. Kemudian beliau berpaling ke papan tulis, mengambil sebatang kapur dan menekannya dengan kuat, beliau menulis sebesar mungkin:
“HIDUP BANGSA PRANCIS!”

Kemudian ia berdiri di situ, menyandarkan kepalanya ke dinding dan tanpa bersuara, dengan tangannya ia memberi isyarat pada kami.

“Sudah selesai, pergilah.”

 

“La Derniere Classe” (The Last Class) adalah sebuah cerita pendek karya penulis Prancis
Alphonse Daudet (1840-1897) diterbitkan sebagai bagian dari Les Contes du Lundi (1873).
naskah asli Bahasa Prancis

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: http://kibul.in/cara-berkontribusi/

 

Andreas Nova
Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
Sarjana Sastra dengan susah payah.