Hujan di angkringan
Hujan menyapaku
dibawah terpal angkringan
riuh berdentum mengguyur
gelas kopi yang dingin dan hitam
Riaknya menegur berteriak
gaduh dan lantang,
“cepat pulang!”
Jogja, 2013
Ngasem
: untuk AR
Lewat tengah malam ini
sepucuk kenangan higgap di dahi
Sengatannya, auuh!
Mencubit kantuk pergi
menyeberang ke tepi memori
Aku menyusur jalur yang dulu kita lewati
Sepi kawan,
malam telah tenggelam
dan pagi tak hendak beranjak
Kau tahu kawan,
aku memesan makan yang sama
pada warung pojok pasar itu.
Minuman yang sama juga
di masa susah
Di tempat ini kawan,
kita dulu sering bertanding derita
Kau bilang keluh kujawab kesah
Kurasa sekarang engkau yang kalah
Susah dan kenangku masih tersisa
Jogja lewat tengah malam, 2016
Puasa di Jogja
Puasa di Jogja adalah
Menyusur jalur sahur
di pagi buta,
gelap mendekap
menyimpan lapar
di setiap ketika
Puasa di Jogja adalah
menunda rindu dahaga
Lalu bertemu di nol kilometer
memetik senja terbenam
pada pipimu yang merona
Berbuka di Jogja adalah menyeruput es teh
pada sedotan sama
yang menyimpan sisa aroma nafasmu
Jogja, 2015
Lebaran
Lebaran,
Rasanya baru kemarin kau membangunkan subuh dari buta
Belum sempat kita bersantap bersama seusai senja
Belum sempat kulihat kau dengan baju pemberian ibu sebelas tahun lalu
Belum sempat kusaksikan adegan kau bersujud di depan ibu
Kau sudah mau pergi saja, lebaran?
Kau bahkan belum sempat terima maafku
yang tak pulang sejak bertahun-tahun lalu
Jogja, 2017
Pada sebuah Kota
: mrt
Kota itu semakin canggih saja
mengganti waktu dengan jalur-jalur baja
menambal hampa dengan harga
Ah, kota itu semakin maju
mengganti senja dengan organ palsu
menukar lembar harapan
dengan rentetan daftar cicilan
Kota, hamba ingin pulang
pada parasmu yang polos dan lugu
tanpa merah dari bibir luka
bekas memar lebam asa yang sirna
Kota, meskipun darah
tercecer di sekujur ingatanmu
padamu aku ingin pulang
menghunus rindu
Chiang Rai, Maret 2019