Blog

  • Bulan Bahasa 2018

    author = Redaksi Kibul

    Bulan Bahasa UGM merupakan acara tahunan yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada (KMSI UGM) dalam rangka memperingati hari sumpah pemuda. Berangkat dari semangat mempertahankan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, Bulan Bahasa UGM menyajikan berbagai rangkaian acara dengan tujuan masyarakat tetap mencintai, melestarikan, dan mempertahankan bahasa Indonesia. Pada tahun ini, Bulan Bahasa mengusung tema “Suara Sastra, Suara Kebebasan” dalam rangka memperingati 20 tahun reformasi. Banyak dari sastrawan-sastrawan atau penyair-penyair pada masa reformasi yang menyumbangkan karyanya demi sebuah perubahan. Kami juga mengajak masyarakat untuk menyuarakan pendapat, pikiran, dan gagasannya ke dalam sebuah karya agar dapat menjunjung kebebasan yang tak ternilai.

    Pada tahun ini juga, Bulan Bahasa UGM mengadakan lomba bertaraf nasional yang dapat diikuti oleh seluruh masyarakat. Lomba-lomba tersebut, yaitu (1) Lomba Cipta Cerpen, (2) Lomba Cipta Puisi, (3) Lomba Penulisan Esai, dan (4) Lomba Penulisan Feature. Keempat lomba tersebut dapat diikuti siapa saja, tidak dibatasi usia, dan masing-masing lomba bertema bebas, khusus untuk lomba Penulisan Esai memiliki tema “Bahasa sebagai Alat untuk Menyuarakan Kebebasan”. Lomba ini sudah dibuka sejak 26 Juni 2018 dan akan ditutup pada tanggal 13 Oktober 2018.

    Adapun lomba-lomba tersebut dinilai oleh beberapa sastrawan ternama dan juga akademisi dari Universitas Gadjah Mada. Ahmad Tohari, Faisal Oddang, dan Pujiharto akan menilai dan menjadi juri pada cabang lomba cipta cerpen; Joko Pinurbo, Gunawan Maryanto, dan Rakhmat Soleh akan menilai dan menjadi juri pada cabang lomba cipta puisi; Aprinus Salam menjadi juri utama pada cabang lomba penulisan esai; serta Asef Saeful Anwar, Ramayda Akmal, dan Achmad Muchtar akan menilai dan manjadi juri pada cabang lomba penulisan feature. Selain lomba, segenap masyarakat juga dapat mengikuti rangkaian acara Bulan Bahasa UGM 2018 dalam Pembukaan Bulan Bahasa UGM 2018, diskusi dan screening film, dan Penutupan Bulan Bahasa UGM 2018 yang akan berlangsung di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Demikian rangkaian acara Bulan Bahasa UGM 2018, semoga acara ini dapat menjadi bahan edukasi bagi masyarakat agar terus mencintai bahasa Indonesia, mengingat sejarah, dan memiliki semangat untuk berkarya. Untuk informasi selengkapnya mengenai lomba-lomba dan rangkaian acara Bulan Bahasa UGM 2018, kunjungi laman resmi Bulan Bahasa UGM 2018 di https://bulanbahasaugm2018.wordpress.com/.

  • Bonbin Reborn: Melepas Rindu, Mengikat Semangat

    author = Bagus Panuntun

     

    Pengantar

    Minggu kedua bulan Ramadhan 2016, ketika sebagian besar mahasiswa UGM sedang bertemu mamak di kampung halamannya, ketika sebagiannya lagi sedang berada di tanah pengabdian dalam rangka KKN (Kuliah Kerja Nyata), Bonbin UGM direlokasi –dalam terminologi Ahok dan Ibu Dwikorita– ke Lembah UGM. Ini terjadi gara-gara UGM punya proyek menjadi kampus dengan platform yang kondusif untuk proses belajar mengajar. Kampus diproyeksikan untuk menjadi ruang dengan taman hijau dimana-mana, bebas polusi suara dari kendaraan bermotor, apalagi dari sebuah tempat seperti Bonbin yang dalam skripsi berjudul “Studi tentang Kehidupan Sosial pada Sebuah Warung di UGM, Bulaksumur, Yogyakarya” yang ditulis oleh Budi Hardjono dinarasikan sebagai berikut:

    “Jika dilihat dari jauh, maka orang-orang yang duduk di ruang itu seperti binatang-binatang yang terkurung dalam sangkar yang kotor, bersikap urakan, dan semua terlihat mesum. Bonbin seperti antitesis dari struktur yang dianggap “benar” di fakultas”.

    Ah, pembaca Kibul yang terhormat, barangkali kalian belum paham apa itu Bonbin, atau kalian kira Bonbin adalah tempat para tapir, celeng, dan iguana dikurung dalam kandang seluas kamar kos, maka sudah barang tentu itu keliru. Bonbin yang sedang kita bicarakan kali ini adalah nama sebuah kantin yang (dahulu) terletak di area Jalan Sosio-Humaniora, Universitas Gadjah Mada dan kerapkali disebut sebagai kantin legendaris UGM.

    Saya kira julukan legendaris memang tidak berlebihan jika kita melihat pelbagai peristiwa yang merentang sejak Bonbin didirikan hingga terakhir kali ia diruntuhkan. Pertama, sejak didirikan pada tahun 1987 oleh Profesor Koesnadi Hardjosoemantri –kala itu menjadi Rektor UGM— kantin ini telah ditujukan sebagai manifestasi visi kerakyatan yang –sebagaimana kita tahu— selalu digaung-gaungkan oleh UGM. Kala itu, Prof. Koes membangun Bonbin dengan cara mengumpulkan puluhan pedagang kaki lima yang tersebar di 8 titik sekitar UGM untuk kemudian meminta mereka menjual dagangannya di area kampus. Di kala kebanyakan pemegang kuasa gemar melakukan peminggiran kepentingan rakyat kecil, Prof. Koes justru hadir sebagai anomali dengan membawa kaum-kaum kromo ke pusat arena. Kedua, dalam rentang hampir 30 tahun, Bonbin telah menjadi saksi lahirnya sosok-sosok cemerlang dalam berbagai bidang, sebut saja Rahung Nasution (koki terkenal yang dulunya hampir setiap hari nongkrong di Bonbin), Faruk HT (Profesor dan Kritikus Sastra), hingga Puthut EA (sastrawan). Puthut EA dalam memoarnya berjudul “Para Bajingan yang Menyenangkan” bahkan menceritakan Bonbin sebagai tempat para aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) seperti Nezar Patria dan Budiman Sudjatimiko berkumpul menyusun strategi untuk menggulingkan Soeharto. Dan ketiga, setahun lalu ketika isu relokasi Bonbin mulai mencuat, Bonbin mampu membangunkan kembali gerakan mahasiswa yang awalnya adem ayem untuk kemudian berbondong-bondong dengan kaos hitam menuju Rektorat membawa spanduk merah bergambar tangan mengepal bertuliskan “#SAVEBONBIN, TOLAK RELOKASI !”.

    Namun dengan segala hal yang membuat Bonbin layak disebut kantin legendaris, nyatanya Bonbin punya nasib yang tak mujur-mujur amat. Setelah tempo lalu dijuluki “kantin gelap yang menyebarkan bakteri salmonela” oleh para petinggi Universitas , ia kemudian –alih-alih direnovasi– direlokasi ke area Lembah yang letaknya jauh dari fakultas-fakultas di UGM. Belum cukup dengan kemalangan tersebut, omset penghasilan pedagang ternyata jauh menurun. Nama Bonbin pun kini tak dikenal lagi oleh mahasiswa-mahasiswa angkatan baru. Bangunan Bonbin pun kerap banjir. Tak cukup sampai disitu, Bonbin bahkan mulai ditinggalkan oleh sebagian besar aktivis kampus yang dulu mengadvokasi nasibnya. Para mahasiswa yang setahun sebelumnya garangnya minta ampun, kini pergi entah kemana untuk sibuk dengan “karir”-nya masing-masing.

    Di tengah kondisi yang memaksa kita menasbihkan lema “prihatin” ini, hadirlah puluhan alumni Fakultas Sastra yang tergabung dalam Komunitas Sastra Lawas yang kemudian menginisiasi sebuah pagelaran bertajuk Bonbin Reborn.

     

    Bonbin Reborn, Sekadar Nostalgia?

    Bonbin Reborn digelar beberapa hari lalu, tepatnya pada tanggal 18 Februari 2017. Sehari sebelum acara digelar, saya sempat bertemu dengan Widhi Asmara, sosok ketua panitia, untuk berbincang selama kurang lebih 20 menit di Warung Ketoprak Mas Heru.

    Sebagai bahan obrolan awal, saya pun menanyakan latar belakang diadakannya acara tersebut. Widhi Asmara setelah menyeruput kuah es campur yang baru saja ia pesan, kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan begitu santai,

    “Ya, latar belakang awalnya lebih ke keinginan untuk bernostalgia”.

    Bonbin Reborn sedari awalnya memang diciptakan sebagai “ruang untuk mengenang”. Itulah mengapa pada malam ketika acara dirayakan, kita bisa menemui Yu Par, Heru, Lilik, Cithut, hingga Mbak Ning menggelar lapak dagangan mereka di venue acara yang ada di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri. Yu Par malam itu menjual sego rames dengan oseng mie, kikil lombok ijo, tahu santan, pecel, hingga aneka gorengan ayam, telur, tempe. Heru yang sedari dulu menjadi legenda dengan ketopraknya malam itu sibuk mengulek bumbu kacang demi pesanan yang kian menit kian bertambah. Lilik tak mau kalah, sedari sore ia telah menyiapkan buah-buah yang paling segar untuk diblender pada malam harinya. Sementara Cithut dengan dibantu Mas Yat, tak henti-hentinya mengaduk puluhan gelas wedang sachet mulai dari Extrajoss, Good Day, sampai Kapal Api. Saya tidak sempat melihat apa saja yang dijual Mbak Ning sebab hari itu lapaknya kelewat penuh, namun yang jelas pada hari itu Mbak Ning mendapat jatah menjual teh dan wedang jeruk, dua menu minuman biasanya dijual Cithut namun hari itu dikhususkan buat Mbak Ning.

    Sementara lapak pedagang sibuk melayani pesanan, para Bonbiners (julukan bagi para pelanggan Bonbin) telah duduk di kursi dan meja yang ada di samping timur lapak. Pada satu meja yang terletak di pojok paling barat, nampak tiga lelaki dan satu perempuan dengan rambutnya yang mulai beruban tengah takzim menekuni hidangan mereka. Yang laki-laki nampak bersemangat menyantap ayam kecap, sementara yang perempuan lebih santai menyendokkan kuah sup ke mulutnya. Saya menaksir mereka berasal dari angkatan 80-an, generasi awal yang “tumbuh” di Bonbin. Pada meja di samping kanannya, asap rokok mengepul. Enam gelas kopi hitam berjajar di meja tersebut. Di sekeliling meja, nampak enam laki-laki yang semuanya berkaos dan bercelana jeans bercakap dengan volume keras dan sesekali terbahak riang gembara. Sementara itu, pada dua meja samping kanannya lagi, nampak beberapa anak muda tengah bercakap dengan seorang lelaki beruban dengan rokok di tangan kanannya. Saya mengenal sosok lelaki beruban itu sebagai Faruk HT, Profesor Sastra yang namanya kerapkali disebut dalam skripsi-skripsi mahasiswa se-Indonesia. Sedangkan di sekeliling meja, orang-orang dengan berbagai usia nampak berlalu lalang mencari sahabatnya yang lama tak ia temui. Di antara orang-orang tersebut, saya sempat melihat sosok-sosok penulis kondang macam Lono Simatupang (Antropologi) hingga Kris Budiman (Sastra). Sosok-sosok senior ini tanpa canggung bercakap dengan orang-orang yang nampak jauh lebih muda darinya. Malam itu Bonbin Reborn benar-benar mampu menghidupkan kembali nuansa yang selalu hadir di tengah meja-meja Bonbin: keakraban dan kesederhanaan dalam wujud yang paling egaliter.

    Setelah mengamati hiruk pikuk yang ada di area lapak makanan, saya pun mendekat ke venue bagian selatan. Di situlah panggung musik digelar dengan perlengkapan yang layak mendapat dua acungan jempol. Seperangkat sound system dengan kualitas tata suara yang benar jernih dan dua LED live viewing terpasang di kanan kiri panggung, lighting dengan berbagai macam bentuknya menyemburatkan cahaya penuh warna dan warni, dan yang paling menarik adalah  enam buah benda berbentuk kubus sebesar anak gajah yang entah namanya apa digantung dan menjadi semacam seni instalasi aerial setelah masing-masing kubus mendapat sorot bertuliskan B-O-N-B-I-N. Panggung musik malam itu diisi banyak sekali musisi yang menurut Widhi Asmara 90%-nya adalah alumni Bonbin. Kita bisa berjumpa dengan Sastromoeni generasi lawas yang ternyata memainkan lagu bergenre rock and roll, Sastromoeni generasi kini juga tampil dengan lagu-lagu humor medley-nya yang membuat tawa penonton menyeruak, sementara itu suasana halusinatif hadir tatkala Risky Summerbee and The Honeythief membawakan lagu-lagu folk psikedeliknya dengan struktur lagu yang kompleks namun eksotis – dan kita tak bisa mengalihkan diri dari solo insrumental efek gitar Risky yang unik. Malam itu adalah malamnya Frau saat penyanyi lulusan jurusan Antropologi ini menyanyikan tembang “Sepasang Kekasih yang Bercinta di Luar Angkasa” suasana menjadi begitu magis namun sekaligus begitu hidup setelah semua penonton ikut melafalkan tembang tersebut dengan lancar. Sebenarnya masih banyak musisi yang tampil pada malam hari itu, namun saya tak sempat menikmati penampilan Gunawan Maryanto, Drs Him, hingga para DJ sebab musti nyambi melapak buku bersama @warungsastra.

    Dalam hal melahirkan kembali nostalgia akan nuansa Bonbin, saya kira Bonbin Reborn bukan hanya berhasil, namun sukses berat. Akan tetapi, sejenak kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah “reborn” sekadar dimaknai sebagai kelahiran kembali akan sederet kenangan, yang mana sifatnya lebih sentimentil dibanding esensial?

    Oleh karena apa yang terindera dari pagelaran malam itu, bagi saya nampaknya terlalu sederhana jika “reborn” sekadar dimaknai sebagai lahirnya kembali sederet kenangan. Satu hal yang perlu dicatat, keberhasilan Widhi Asmara dkk memadatkan area panggung dengan sorak, riuh, dan gempita sekaligus menghidupkan kembali meja-meja Bonbin dengan asap, kopi, dan dialog,  saya kira membuat acara ini layak dimaknai sebagai kelahiran kembali jiwa-jiwa Bonbin yang “kuat dalam berpesta, semangat dalam berdialektika”.

     

    Isu Bonbin Terkini

    Sebelum menutup tulisan ini, sekiranya izinkan saya mengabarkan sedikit hal terkait perkembangan isu relokasi Bonbin yang sebenarnya belum juga purna hingga detik ini. Singkatnya begini:

    Kepindahan Bonbin ke area Lembah sebenarnya hanyalah perpindahan sementara, sebab tepat dua Minggu setelah jajaran Rektorat UGM didemo lebih dari tujuh ribu mahasiswa pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun lalu, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. (Rektor UGM), Dr. Paripurna, S.H., M.Hum., LL.M. (Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni), dan jajaran Rektorat lain bersedia memenuhi tuntutan mahasiswa untuk membangun kembali kantin baru bagi 12 pedagang Bonbin yang tepatnya berada di antara fakultas Filsafat dan Ekonomika dan Bisnis. Kantin baru tersebut direncanakan akan selesai dan berada satu komplek dengan Plaza Sosio-Humaniora yang pembangunannya akan disponsori Bank Indonesia dan direncanakan selesai pada akhir tahun 2017. Meski isunya tak lagi sehangat tahun lalu, namun nyatanya masih ada beberapa mahasiswa yang mencoba tetap konsisten mengawal tiap pertemuan antara pedagang dengan rektorat.

    Widhi Asmara, dalam percakapannya tempo hari sempat menyatakan harapannya atas Bonbin Reborn dengan lebih serius. Setelah menyesap Gudang Garam di tangan kirinya, ia menyatakan harapan pribadinya pada Bonbin Reborn sebagai hari lahirnya kembali komunitas Bonbiners sebagai komunitas yang solid, komunitas yang datang tak sekadar untuk berpesta, namun mampu melampaui pemaknaan “bersenang-senang” sebagai praktik membantu sesama.

    Berangkat dari antusiasme yang terbangun selama Bonbin Reborn, dan harapan Widhi Asmara akan terwujudnya “praktik membantu sesama”, saya kira sudah sepatutnya para Bonbiners mengawal kembali isu tersebut sampai tuntas. Dan barangkali jika sampai tahun depan “tanah yang dijanjikan” tak jua ada buktinya, para Bonbiners musti kembali melepas rindu dan mengikat semangat di depan Gedung Rektorat.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Bagus Panuntun
    Mahasiswa Sastra Prancis UGM semester 10. Sering dipanggil aktivis karena pernah jadi Presiden Lembaga Eksekutif Mahasiswa. Kini menjual buku di instagram @warungsastra, yang pada mulanya ia beri nama @jualbukutereliye
  • Berpikir Dekonstruktif: Proses Kreatif Menulis Eka Kurniawan

    author = Cucum Cantini

    Sepuluh April 2018 di Hall PKKH Universitas Gadjah Mada, telah terjaring kepala-kepala yang membutuhkan suplemen kreatifitas kepenulisan fiksi. Kuliah umum yang digelar di Forum Umar Kayam yang berjudul “Proses Kreatif Eka Kurniawanâ€? yang dimoderatori oleh juga seorang penulis kenamaan, Mahfud Ikhwan, dimulai pada pukul 10.15 WIB. Kursi telah penuh, begitupun kopi, teh, serta panganan telah hampir tandas. Di awal acara, Mahfud telah memberikan peringatan bahwa nantinya diharapkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada Eka bukanlah rasa penasaran mengenai awal gagasan, inspirasi, atau pertanyaan-pertanyaan umum yang sudah dilontarkan bertubi di banyak acara Eka, mengingat bukan pertama kali tema acara tersebut diadakan. Hal ini memberikan motivasi bahwa proses kreatif Eka haruslah menimbulkan pertanyaan yang kreatif pula.

    Meskipun, bukan lagi rahasia umum—dugaan mengenai kekhasan penulisan Eka yang bercita rasa realisme magis: sebuah menu tidak terhidang begitu saja tanpa ada bahan dan cara pengolahan yang tepat. Sebuah masakan harus memenuhi kreatifitas cita rasa perpaduan bahan yang mengenyangkan sekaligus sedap dibaca, yang akhirnya menimbulkan kecanduan untuk selalu menikmatinya lagi dan lagi.

    Eka memulai slide pertamanya dengan sebuah gambar deretan foto berjudul Pahlawan Nasional Indonesia—suara tawa peserta akan berubah kekaguman di akhir slide-yang nanti akan disampaikan dalam tulisan ini. Eka menekankan perlunya meredefinisi kembali sejarah; memulai dengan sebuah pertanyaan atau mempertanyakan dunia. Kenapa di setiap pergantian rezim pahlawan nasional ikut berubah? Kenapa hanya ada tiga wanita di puluhan foto tersebut?

    Gagasan mengenai perspektif seringkali berbeda, sekalipun sejarah menggambarkan dengan lugas, seperti lukisan Pangeran Diponegoro, satu lukisan dengan banyaknya mata di setiap kepala, pastilah mentransmisikan imajinasi yang berbeda pada masing-masing memori. Hal inilah yang dijadikan Eka sebagai patokannya menulis: dia menulis dengan perspektif dan imajinasinya. Itulah kenapa tulisannya akan berbeda dan unik. Kau takkan menemukan kisah sejarah rekaan Eka dalam buku sejarah manapun.

    Pertanyaan yang seringkali muncul ketika menyantap teks-teks olahan Eka adalah: kenapa tokoh-tokoh laki-laki selalu bodoh dan berfisik biasa saja, sementera tokoh-tokoh wanita selalu kuat, menarik, dan (beberapa) memikat birahi? Di sini Eka meredefinisi tokoh-tokoh maskulin dan feminin. Bertukar posisi. Karena di setiap laki-laki, tidak ada kesempurnaan maskulin yang ideal. Begitupun tokoh-tokoh wanitanya.

    Eka menunjukkan sebuah gambar Baratayuda, kisah perang legendaris. Kemudian dia munculkan gambar prajurit dengan seragam hijau tengah sungkem pada ibunya, pamit berperang. Sejarah mencatat kisah-kisah perjuangan yang nasionalis, mencekam, penuh semangat dan pengorbanan. Akan tetapi, pernahkah sejarah lain mencatat bagaimana seorang ibu yang ditinggal anaknya berperang? Bagaimana perasaannya? Inilah yang menjadi ciri khas Eka dalam memilih tokoh-tokohnya. Dia menyeret tokoh-tokoh minoritas, lemah, tak layak dijadikan tokoh hero dalam perang, atau tokoh-tokoh konyol seperti Petruk-Gareng. Jika tak ada yang sudi menceritakannya, Eka memberikan alternatif cerita berbeda dari dunia menceritakannya.

    Pernahkah membaca sebuah teks sejarah namun merasa ada yang tak lengkap? Seperti saat sekolah dasar dulu sejarah mencatat Seorang Supriadi, menceritakan kisah heroiknya namun sejarah menamatkan kisahnya dengan segera. Lalu teks dengan tragis menyatakan Supriadi hilang rimbanya. Kemudian sejarah melanjutkan kisah kemerdekaan dan melanjutkannya dengan kisah paska-kemerdekaan, dan Supriadi masih hilang di rimbanya, moksa. Eka melengkapi retakkan sejarah yang kosong, menambalnya dengan imajinasinya. Dan di sinilah peran teks untuk melengkapi sejarah.

    Jika sastra adalah sebuah bingkai, sastra haruslah mem-frame sebuah kisah dengan berbeda. Bukan persoalan bagaimana sebuah teks wajib estetik. Tetapi bagaimana narasi membangun wacana berbeda dari sejarah menawarkan gagasan kebenaran. Penganut Marxisme, Pierre Macherey, menyatakan teks-teks sastra memiliki kebungkaman, ketiadaan, tak terkatakan, silent. Inilah produksi kepenulisan Eka: menguak yang terbungkam. Menampilkan sejarah baru, merajut jarak antara yang benar dan yang diragukan kebenarannya. Sastra menjadi respon estetik terhadap karya lainnya yang dianggap pakem.

    Eka tidak menampik kehadiran sastra populer yang dianggap massal, massif, dan money oriented. Akan tetapi, keunikan dalam proses kreatifitas adalah menawarkan minoritas sebagai pusat. Itulah kenapa, prinsip kepenulisan kreatif ialah tidak hanya mengangkat oposisi biner pada umumnya, tetapi juga menyeret hal-hal yang mungkin tidak beroposisi. Sehingga dapat melengkapi dan mewarnai cerita.

    Racikan berbeda dalam teks khas Eka Kurniawan adalah Realisme Magis. Dua hal yang berseberangan diolahsatukan. Sebelumnya bisa saja meluncur pertanyaan: realis dan magis,mungkinkah? Buktinya Eka berhasil memasaknya bersama. Dan pembaca dapat menemukan seekor monyet yang tergila-gila pada raja dangdut. Ada manusia harimau dalam novel. Atau yang lebih membuat seorang anak terkencing di celana adalah ketika Dewi Ayu bangkit dari kuburnya setelah dua puluh satu kematiannya. Sebelumnya mungkin takkan ada yang mau menuliskan kisah tentang perempuan ideal cantik. Seorang pelacur. Perempuan keturunan dengan anak-anak jelita dan diakhiri dengan anak buruk rupa. Hidup dalam satu rezim kolonial saja, seorang perempuan rupawan akan hidup menderita. Maka Eka menambah luka dengan menghidupkannya di dua rezim selanjutnya.

    Eka bisa saja menjadikan tokoh perempuan sebagai heroin. Wanita cantik yang sangat mistis. Ini mengingatkan tokoh perempuan legendaris Indonesia: Suzzanna. Eka kemudian menampilkan kembali gambar tokoh-tokoh pahlawan nasional di akhir slide-nya. Tanpa disadari foto-fotonya berubah. Dan Suzzanna satu diantara tokoh-tokoh yang beberapa juga dia ganti dan beberapa dia pertahankan. Setiap individu memiliki sejarah dan pahlawannya sendiri. Itu pasti.

    Sejarah bisa jadi milik siapa saja, bukan hanya milik masyarakat, bangsa, negara, atau dunia. Ada hak untuk memercayai atau bahkan meragukan sejarah itu sendiri. Dan setiap orang dalam setiap golongan tertentu memiliki pandangan akan hal itu. Pertanyaannya beranikah seseorang menulis sejarah dalam imajinasinya? Melontarkan pertanyaan akan dunia, pada dunia. Karena sastra takkan lengkap jika hanya berupa proyek ideologis semata, harus ada realisasi untuk melengkapinya – Pierre Macherey.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [BBS #173] Berbincang di Rumah Ilalang

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra kembali hadir dalam acara Bincang-Bincang Sastra yang kali ini telah sampai pada edisi ke 173. mengusung tajuk Bincang Novela Rumah Ilalang Karya Stebby Julionatan, acara Bincang-Bincang Sastra akan digelar pada Sabtu, 22 Februari 2020 pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Akan hadir sebagai pembicara dalam acara ini ialah Stebby Julionatan dan Asef Saeful Anwar yang dimoderatori oleh Ilham Rabbani. Di dalam acara ini juga akan disajikan pembacaan nukilan novela oleh Agung Wicaksana.  

    “Novela Rumah Ilalang karya sastrawan asal Probolinggo ini adalah salah satu dari 12 naskah pemenang lomba novela yang diadakan oleh Penerbit Basabasi. Stebby mengangkat tema tentang isu agama juga orientasi seksual dan identitas gender. Belum banyak sastrawan Indonesia yang menulis mengenai itu ini. Novela Rumah Ilalang dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat Indonesia dalam memandang sesuatu yang dianggap oleh sebagai minoritas di tengah mayoritas,” ujar Aji Bayu Setiawan, koordinator acara ini. 

    Stebby Julionatan merupakan seorang sastrawan yang cukup produktif menerbitkan karya di media massa dan sudah menghasilkan sejumlah buku. Buku-bukunya yang sudah terbit selain Rumah Ilalang yakni, LAN (2011), Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar Kembali (2012), dan Di Kota Tuhan (2018). Sastrawan yang bekerja sebagai staf bagian informasi di Dinas Komunikasi dan Informatika, Kota Probolinggo, Jawa Timur ini  juga aktif bergiat di Dewan Kesenian Kota Probolinggo dan di Komunitas Menulis (Komunlis) yang dibentuknya pada tahun 2010. Aktivitasnya di bidang literasi tak tanggung-tanggung. Melalui Komunlis pada tahun 2015, Stebby menyelenggarakan program Komunlis Goes to School.

    “Novela karya Stebby ini memiliki warna tersendiri di dalam khazanah sastra Indonesia. Satu isu yang membutuhkan ruang gerak dan ruang diskusi yang lebih luas untuk memahaminya. Untuk itu, mari kita membaca buku ini dan berbincang bersama,” pungkas Bayu.

  • [BBS #168] Mbara, Perjalanan Setelah Kata

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Malam ini, Sabtu (21/9) pukul 19.30-22.00 bertempat di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, Studio Pertunjukan Sastra menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi 168 bertajuk “Mbara, Perjalanan Setelah Kata”.  Gelaran Bincang-Bincang Sastra kali ini sekaligus menjadi bagian dari pra acara Joglitfest: Festival Sastra Yogyakarta. Acara ini juga merupakan bagian dari Pergelaran Musikalisasi Sastra: Jentera yang berlangsung semalam, Jumat (20/9) di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Di dalam perbincangan ini akan hadir Gunawan Maryanto (penulis naskah dan sutradara The Wayang Bocor), Lukas Gunawan Arga rakasiwi (Pelatih Paduan Suara Mahasiswa Swara Wadhana UNY), L. Surajiya (Pelukis, Api Kata Bukit Menoreh), Sukandar (Pagiat Studio Pertunjukan Sastra), dan Fairuzul Mumtaz (Pendiri Sukusastra.com). Sayang, Bram Makahekum, pemimpin Musik Kelompok Kampungan berhalangan hadir dalam acara ini.

    Sebagaimana telah disaksikan bersama, Pergelaran Musikalisasi Sastra 2019 telah berlangsung dengan gemilang. Lebih kurang 800 kursi penonton di Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta dipenuhi para penonton yang sebagaian besar ialah generasi milenial. Para hadirin disuguhi sajian dari Api Kata Bukit Menoreh yang menafsir puisi-puisi karya Abdul hadi W.M., Ragil Suwarna Pragolapati, Darmanto Jatman, Endang Susanti Rustamaji, Subagio Sastrowardoyo, dan M. Thahar dalam karya seni lukis atau sastra rupa. The Wayang Bocor yang digagas Eko Nugroho tampil memukau dan jenaka dengan mempertunjukkan wayang kontemporer bertajuk “Permata di Ujung Tanduk” yang diangkat dari puisi-puisi perihal Sakuntala karya Gunawan Maryanto. Satu sajian yang anyar dipersembahkan Paduan Suara Mahasiswa Swara Wadhana UNY dengan paduan suara dari puisi-puisi karya Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Wisnoe Wardhana, dan Ki Hadi Sukatno dengan sepektakuler. Agaknya pertunjukan sastra ini menjadi satu hal yang baru dan belum pernah ada sebelumnya. 

    Pergelaran Musikalisasi Sastra semalam dipuncaki dengan tampilnya Kelompok Kampungan pimpinan Bram Makahekum. Pementasan ini merupakan pementasan pertama kalinya di Yogyakarta setelah pementasan terakhirnya dua puluh tahun silam pada masa revormasi. Selebihnya, Kelompok Kampungan justru banyak manggung di kota-kota besar di luar kota kelahirannya ini. Karya-karya Bram Makahekum dan W.S. Rendra disajikan dengan bergelora oleh Kelompok Kampungan. Bram makahekum pun tampil dengan enerjik. 

    Latief S. Nugraha selaku carik Studio Pertunjukan Sastra mengutarakan, “Menuju pementasan yang tersaji dalam Pergelaran Musikalisasi Sastra 2019 semalam, tentu ada proses kreatif yang dilalui. Jalan panjang menuju panggung yang gemilang cahaya itulah yang akan dibabar dalam acara Bincang-Bincang Sastra edisi 168 kali ini. Satu proses alih wahana  dari teks yang tersusun di atas kertas menuju satu perunjukan agung di atas pentas justru menjadi penting untuk diperbincangkan.”

    “Sastra sebagai suatu bidang yang tidak berdiri sendiri dalam kehidupan luas, khususnya kebudayaan, dan terutama kesenian, merupakan dunia yang integral dengan jagat kesenian lainnya. Karya sastra sebagai inti, sudah selayaknya tidak terlepas dari esensinya meski telah dialih wahana menjadi satu pergelaran dengan tafsir interpretasi yang bermacam-ragam. Hal itu semata untuk menghadirkan sastra di depan publik, dalam satu wujud yang baru dan segar. Nah, dalam kesempatan inilah peristiwa pascasastra tersebut menjadi menarik untuk diulas,” imbuhnya.

    “Perjalanan setelah kata, merupakan satu kesadaran dari ungkapan Sapardi Djoko Damono dalam puisinya “Dalam Bis”, yakni “Sebermula adalah kata…” yang pas rasa-rasanya untuk merangkum peristiwa pascasastra yang hadir selama ini. Pergelaran Musikalisasi Sastra  menjadi satu pesta akbar di antara gelaran sastra yang rutin terjadi setiap bulannya. Penting rasanya bagi masyarakat untuk mengembalikan nilai-nilai karya sastra yang telah dipertunjukan itu ke asal-usulnya. Demikian landasan pemikiran mengapa acara ini dihadirkan. Semoga memberikan manfaat,” pungkasnya.

  • BBS #167: Irama Lain Monolog Yogya

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan MocoSik Book & Music Festival menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi 167. Acara kali ini agak berbeda sebab diselenggarakan di tengah festival buku dan musik. Mengetengahkan tajuk “Irama Lain Monolog Yogya”, Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan narasumber Indra Tranggono (pengamat budaya dan penulis lakon) dan Banyu Bening (aktor dan pendiri akuaktor.com) yang akan dimoderatori oleh Latief S. Nugraha. Dalam acara ini juga akan tampil aktris berbakat Joanna Dyah dengan sebuah pertunjukan monolog. Sedianya acara ini akan diselenggarakan di Omah Ontosoroh MocoSik Book & Music Festival, Jogja Expo Center (JEC) pada hari Jumat, 23 Agustus 2019 pukul 19.30-22.00 WIB, terbuka untuk umum dan gratis. 

    Bukan suatu hal yang kebetulan agaknya ketika Studio Pertunjukan Sastra dalam acara Bincang-Bincang Sastra kali ini hadir dengan tema Monolog. Jika melihat dinamika pertunjukan seni yang ada saat ini, kita akan menjumpai bermacam-ragam hasil karya kreatif pascasastra. Misalnya —dari yang paling sederhana, pembacaan puisi, pembacaan cerita, musik puisi, dramatik reading, hingga teatrikal, dan lain-lain. Usaha alih wahana ini menunjukkan bahwa teks sastra adalah pokok yang dapat diapresiasi ke dalam bermacam wujud. 

    “Mengapa Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan tema monolog di acara buku dan musik? Hadirnya pertunjukan dan bincang-bincang mengenai monolog ini diharapkan dapat menjadi irama lain di acara MocoSik Festival. Monolog sebagai satu bentuk pertunjukan dalam seni peran yang menuntut kepiawaian dan keunggulan aktor dalam berperan sebagai penampil tunggal,” ujar Mustofa W. Hasyim, ketua Studio Pertunjukan Sastra.

    Mustofa menambahkan, “Di dalam pertunjukan sastra, acap kali dijumpai suatu pertunjukan pembacaan kisah (prosa: cerpen, nukilan novel) yang kemudian dihadirkan sebagai satu pertunjukan dramatic reading, storytelling, dongeng, dan ada pula yang mengadaptasi naskah cerpen tersebut menjadi naskah monolog dan tentu saja pertunjukan yang dihadirkan adalah monolog. Sementara itu, mau tidak mau, suka tidak suka, naskah drama monolog juga merupakan teks sastra yang rasa-rasanya perlu untuk juga dibaca dan dikaji atas keberadaannya.”

    Di Yogyakarta kita mengenal tokoh-tokoh yang piawai dalam hal seni pertunjukan monolog, seperti Yoyok Aryo, Sri Harjanto Sahid, Whani Darmawan, Joko Kamto, Nevi Budianto, Butet Kertaradjasa (untuk menyebut beberapa nama). Dalam lima tahun terakhir, monolog juga hadir di sejumlah komunitas teater kampus. Monolog juga menjadi tangkai lomba di Peksiminas atau FLS2N yang digelar oleh lembaga terkait. Di Yogyakarta Whani D Project sempat menggelar acara pementasan monolog seiring dengan terbitnya buku naskah monolog Sampai di Depan Pintu karya Whani Darmawan. Terhitung beberapa pementasan monolog seperti yang dimainkan oleh Yan Jangkrik Samurai Sakate karya Whani Darmawan atau Khocil Birawa dengan Genderuwo Pasar Anyar karya Indra Tranggono juga cukup mencuri perhatian. Aktor Yogya Rendra Bagus Pamungkas belum lama ini juga sukses menggelar pementasan monolog Sutan Sjahrir di Salihara memperingati 10 tahun komunitas tersebut. Hal ini menandakan bahwa pertunjukan monolog masih mendapat tempat. Meskipun demikian, mengapa keberadaan pertunjukan panggung, apalagi monolog, di era sekarang ini gampang segera hilang diterpa angin malam? 

    “Melalui acara ini, semoga akan lahir wacana dan wawasan yang menambah keluasan pandangan kita bersama. Kesadaran bahwa panggung monolog dan naskah lakon monolog adalah dunia sunyi menjadi satu hal menarik untuk diperbincangkan. Tidak banyak pertunjukan monolog yang hadir, tidak banyak pula naskah monolog yang lahir. Dari yang tidak banyak itu, kita hanya menjumpai sedikit sekali buku yang menghimpun naskah-naskah monolog karya para penulis atau teaterawan kita. Banyak naskah yang tercecer tidak terdokumentasi dengan baik. Hal ini mesti segera dicari solusinya!” pungkas Mustofa.

  • BBS #166: Ziarah A. Adjid Hamzah

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta dan Dewan Teater Yogyakarta menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi ke 166 mengusung tajuk “Ziarah A. Adjib Hamzah: Sosok dan Karya”. Acara ini akan diselenggarakan Minggu, 28 Juli 2019 pukul 20.00-23.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, jalan Sri Wedani 1 Yogyakarta. Hadir selaku pembicara dalam Bincang-Bincang Sastra kali ini ialah A.S. Adham (putra alm. A. Adjib Hamzah) dan Brisman H.S. (Teater Ramada). Di dalam acara ini juga akan tampil Dewan Teater Yogyakarta menyajikan dramatik reading salah satu naskah drama karya mantan pemimpin redaksi Majalah Suara Muhammadiyah itu.

    Melalui acara Bincang-Bincang Sastra edisi Sastrawan Leluhur kali ini, Studio Pertunjukan Sastra mengajak para pencinta sastra dan teater di Yogyakarta untuk kembali ziarah, mengenal dan mengenang sosok maestro sastra Yogyakarta pemilik nama lengkap Adham Adjib Hamzah. Bagi generasi milenial, mungkin nama A. Adjib Hamzah terdengar asing di telinga. Padahal ia merupakan salah satu tokoh sastra Yogyakarta yang telah banyak melahirkan karya sastra berupa novel, cerpen, dan drama. Proses kreatifnya di bidang kesastraan dimulai sejak masa awal kemerdekaan bersama sang adik, Hadjid Hamzah, berbarengan dengan Nasjah Djamin, Kirdjomuljo, Motinggo Boesje, Bastari Asnin, dan  para sastrawan sezaman yang lainnya. 

    Yogyakarta sebagai ibukota negara pada masa awal kemerdekaan mendorong sejumlah sastrawan dari luar berbagai daerah berbondong-bondong datang sehingga iklim kreativitas kesastraan, seni rupa, teater, dan lainnya tumbuh berkecambah. Adjib Hamzah menjadi salah satu nama sastrawan kelahiran Yogyakarta yang tumbuh. 

    Kecintaannya pada dunia seni dan filsafat dibuktikan dengan riwayat pendidikan formal yang ditempuhnya, yakni di Sekolah Musik Indonesia Yogyakarta, Asdrafi, dan Akademi Metafisika Yogyakarta. Di sela hari-harinya yang suntuk dengan mesin tik di meja kerjanya, A. Adjib Hamzah juga aktif dalam dunia teater. Ia pernah menjadi guru drama di SMP Muhammadiyah III B, di SPG Muhammadiyah I Yogyakarta, di SMP Muhammadiyah V Putri, dan mengajar dramaturgi dan penulisan skenario film pada Fakultas Ilmu Dakwah Masjid Syuhada Yogyakarta. Selain itu, ia juga mendirikan kelompok Teater Ramada di tempat tinggalnya, yakni di Notoprajan. Terkait dengan dunia drama, ayah dari Affan Safani Adham, Annas Solikhin Adham, Amran Sahrani Adham, Amin Sa’adi Adham, Azam Sauki Adham, Arief  Subhan Adham, Abas Sani Adham, dan Anna Sophia Adham  ini menulis buku Pengantar Bermain Drama (CV Rosda, 1985) yang menjadi buku bacaan wajib di sejumlah sekolah dan kampus di Indonesia. Tidak hanya itu, karyanya juga diangkat menjadi film dan sinetron, antara lain Gudeg Yogya (film, 1962), Tiga Siluet (sinetron, 1985), dan Hengki (sinetron, 1986). Karyanya berupa drama radio diputar di RRI Nusantara II Yogyakarta sejak 1957-1985. Ia juga mengisi sinetron di TVRI Stasiun Yogyakarta sejak tahun 1972-1986. 

    “Kali ini Studio Pertunjukan Sastra hadir dengan tema sastrawan leluhur A. Adjib Hamzah. Bisa dibilang ia adalah maestro di bidang sastra, khususnya di arena satra Yogyakarta. Karya-karyanya telah mengisi sejumlah media massa di Indonesia. Karya-karyanya juga banyak yang terbit dan memenangkan sejumlah penghargaan. Antara lain,  Pembela Keadilan, menjadi pemenang pertama dalam Sayembara Besar Mengarang PN Balai Pustaka dan diterbitkan Balai Pustaka tahun 1968.  Tabah Si Anak Laut menjadi pemenang pertama sayembara yang diadakan Kedaulatan Rakyat dan diterbitkan oleh Kedaulatan Rakyat tahun 1971. Atas kesetiaannya, pada tahun 1993 menerima Penghargaan Seni dari Pemerintah Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta,” tutur Sukandar selaku koordinator acara.

    Sukandar menambahkan, “Sastrawan yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 4 Juni 1938 ini dikenal sebagai penulis yang disiplin. Berdasar kesaksian sang putra, A.S Adham, hampir sepanjang hari A. Adjib Hamzah duduk di depan mesin tiknya. Bahkan tamu pun harus menunggu jika ingin bertemu apabila bertepatan di saat ia fokus di depan meja kerjanya.” 

    “Kegiatan di bidang teater, yakni Teater Ramada juga menarik untuk dikupas. Maka dihadirkanlah Brisman H.S., selaku penggiat teater yang secara langsung oleh A. Adjib Hamzah diberi kepercayaan untuk mengelola Teater Ramada. Teater Ramada adalah sempalan dari sebuah teater dengan sejarah besar di Yogyakarta bahkan Indonesia, yakni Teater Muslim. Tradisi kepenulisan di suatu kelompok teater menjadi satu hal yang penting baginya. Oleh sebab itu, selain melatih bermain drama Adjib Hamzah juga melatih murid-muridnya dalam hal penulisan kreatif di Teater Ramada.” pungkas Sukandar.

    Keberadaan sastrawan di masa lalu beserta karya-karyanya tentu tidak boleh dilupakan begitu saja. Maka, penting bagi masyarakat untuk hadir menghikmati acara Bincang-Bincang Sastra kali ini. Acara yang rutin digelar setiap akhir bulan ini terbuka untuk umum dan gratis.

  • [BBS #165] Peluncuran dan Diskusi Novel Tango & Sadimin Karya Ramayda Akmal

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Gramedia Pustaka Utama dan Taman Budaya Yogyakarta menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi ke 165 mengusung tajuk Peluncuran dan Diskusi Novel Tango & Sadimin karya Ramayda Akmal. Acara ini akan diselenggarakan Sabtu, 22 Juni 2019 pukul 20.00-23.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, jalan Sriwedani 1 Yogyakarta. Hadir selaku pembicara dalam Bincang-Bincang Sastra kali ini ialah Mahfud Ikhwan dan Ramayda Akmal yang akan dipandu oleh Anis Mashlihatin. Di dalam acara ini juga akan tampil Esklasika menyajikan nukilan novel Tango & Sadimin. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

    Novel Tango & Sadimin merupakan novel kedua karya Ramayda Akmal yang berhasil menjadi runner up UNNES International Novel Writing Contest 2017. Sebelumnya, Jatisaba, debut novelnya yang pertama dinobatkan sebagai Pemenang Unggulan Sayembara Novel DKJ 2010. Ramayda Akmal tergolong produktif menghasilkan karya sastra, kajian sastra, esai-tulisan ilmiah populer yang dimuat di surat kabar lokal dan nasional. Tahun 2013, buku kumpulan cerpennya berjudul Lengkingan Viola Desingan Peluru mendapat penghargaan sastra dari Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta. Ramayda Akmal juga menjadi salah satu Emerging Writers di Ubud Writers and Readers Festival 2013.

    Selain menulis buku fiksi, ia juga menulis buku ilmiah, antara lain Pahlawan dan Pecundang, Militer dalam Novel-Novel Indonesia (2014 bersama Aprinus Salam) dan Melawan Takdir, Subjektivitas Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Perburuan (2015). Staf pengajar di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya UGM ini selain terus berproses kreatif di belantika sastra kini juga tengah menempuh studi  doktoral di Hamburg University, Jerman.

    “Kali ini Studio Pertunjukan Sastra berkesempatan menghadirkan Ramayda Akmal yang tengah mudik ke Indonesia dengan membawa karya terbarunya. Selain itu, Mahfud Ikhwan yang beberapa kali juga meraih penghargaan sastra melalui karya-karyanya akan bersanding mengulas seluk-beluk novel karya novelis asal Cilacap itu. Tidak salah jika kemudian Mahfud Ikhwan didaulat mengulas novel yang di dalamnya memaparkan kisah misteri dinamika rumah tangga tokoh Tango dan Sadimin di bantaran Sungai Cimanduy yang lembab serta berkabut, yang ganjil sekaligus ajaib ini,” tutur Latief S. Nugraha selaku koordinator acara.Sementara itu, Ramayda Akmal saat dihubungi melalui sambungan telepon mengungkapkan, “Kalau boleh jujur, novel Tango & Sadimin adalah cerminan dari proses penghayatan yang tidak pernah selesai tentang kehidupan, terutama hubungan antara realitas dan imajinasi, fakta dan asumsi-asumsi. Tango & Sadimin saya tulis dengan bahagia dan sangat menggebu-gebu. Sebab, tokoh-tokoh di dalamnya adalah cerminan dari realitas sekaligus impian-impian saya. Semoga karya ini bisa diterima dan bermanfaat bagi masyarakat.”

  • [BBS #164] Mendirikan Langgar di Taman Budaya Yogyakarta

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi ke 164 spesial bulan Ramadhan yakni Malam Sastra Seribu Bulan dengan mengetengahkan tajuk “Belajar ke Langgar”. Acara ini akan diselenggarakan Sabtu, 18 Mei 2019 pukul 20.30 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, jalan Sriwedani 1, Yogyakarta. Hadir selaku pembicara dalam Bincang-Bincang Sastra kali ini ialah Irfan Afifi, penulis buku Saya, Islam, dan Jawa (2019) yang akan dipandu oleh Muhammad Aswar. Di dalam acara ini juga akan tampil membaca puisi yakni, Daruz Armedian, Alfin Rizal, Umar Faruq, Dinnatul Lailiyah, Anna Zakiyah, dan Fadia Rachma. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

    “Langgar atau surau atau musala, lebih-lebih masjid, merupakan ruang bertemu, ruang tegur sapa antara aktivitas keagamaan-kemasyarakatan-kebudayaan. Masjid berdiri sebagai poros, pusat. Namun, rasa-rasanya kini ada yang jadi lain. Terasa telah terjadi pergeseran nilai, bahwa masjid benar-benar menjadi tempat suci, steril,” ujar Latief S. Nugraha, koordinator acara.

    “Pertanyaannya adalah, benarkah hubungan antara aktivitas sosial-budaya dengan religi di masjid tak harmonis lagi? Kalau benar demikian, ini masalah, tapi mungkin orang-orang tak memperhatikannya. Karena langgar, surau, musala, masjid bukan sekadar bangunan! Lalu, apa hubungannya dengan sastra?” imbuh Latief.

    Sementara itu, dihubungi melalui aplikasi whatsapp, Irfan Afifi yang akan menjadi narasumber dalam acara tersebut menyatakan bahwa, “Kata ‘langgar’ itu berasal dari bahasa lokal-pribumi, sesuatu yang berasal dari dalam. Namun, sebagai fungsi ia menampung suatu ajaran yang berasal dari luar (Islam). Langgar oleh karenanya pasti merekam sebuah pertemuan. Ya sebuah sinergi tak menang-menangan serta merupakan peristiwa pertemuan sebuah kebudayaan.”

    Kaitannya dengan sastra, di Indonesia tidak sedikit sastrawan yang menghadirkan masjid, surau, langgar, musala dalam karya-karyanya.  A.A. Navis hadir dengan cerpen “Robohnya Surau Kami”, Emha Ainun Nadjib hadir dengan Seribu Masjid Satu Jumlahnya, A. Mustofa Bisri hadir dengan “Satu Rumah Seribu Pintu”, Kuntowijoyo hadir dengan Muslim Tanpa Masjid, Ki Ageng Suryomentaram hadir dengan Langgar, dan masih banyak lagi yang lainnya. Selain itu kita tentu akrab dengan syair puji-pujian berupa karya sastra yang kerap dinadhomkan. Betapa karya sastra dekat dengan kebudayaan di dalam rumah ibadah umat Islam tersebut. Latief S. Nugraha menyatakan, “acara ini merupakan permenungan bagi kita bersama bahwa telah terjadi pergeseran realitas yang nyata adanya. Langgar dahulu adalah sanggar, semacam kawah candradimuka bagi siapa saja untuk ngangsu kawruh, baik itu ilmu agama, sosial, maupun budaya termasuk kesusastraan. Tradisi yang hangat berlangsung di langgar itu kini perlahan pudar. Ada semacam jarak yang membuat  hubungan antara aktivitas keagamaan menjadi sangat kaku dan tegang bertemu dengan keberagaman. Di sini terbit sebuah pertanyaan untuk direnungkan bersama, benarkan ketika masyarakat rabun literasi maka akibatnya adalah buta toleransi?”

  • [BBS #163] Perempuan dan Sastra

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Balai Bahasa Yogyakarta menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi ke 163 mengusung tajuk Perempuan dan Sastra. Acara ini akan diselenggarakan Sabtu, 27 April 2019 pukul 19.30 di Ruang Sutan Takdir Alisjahbana Balai Bahasa Yogyakarta, jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Kotabaru, Yogyakarta. Hadir selaku pembicara dalam Bincang-Bincang Sastra kali ini ialah Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA. dan Herlinatiens yang akan dipandu oleh Fitri Merawati. Di dalam acara ini juga akan tampil Niskala x Riska Kahiyang dan Siti Nur Hidayati. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

    “Tajuk Perempuan dan Sastra diusung Studio Pertunjukan Sastra bukan hanya karena bulan April identik dengan Hari Kartini, melainkan keberadaan perempuan di kancah sastra senantiasa menarik ditelisik, tiada habis diulas, dan tak pernah tuntas. Ada realitas yang mungkin tidak banyak orang menyadari meski ketika dicermati hal itu acap kali dijumpai, bahwa para perempuan mendominasi keikutsertaannya dalam lomba penulisan karya sastra. Namun, ketika menelusuri peta dunia kesastraan di Indonesia pemandangannya berbeda, perempuan sering kali hanya menjadi objek, bukan sebagai pelaku pembuat karya. Di komunitas-komunitas sastra, kenyataan yang terjadi seperti menyatakan bahwa perempuan hanyalah pelengkap penderita,” ujar Murnita Dian Kartini, selaku koordinator acara.  

    Murnita menambahkan, “Garis yang samar dari gambaran itu tentu saja tidak sepenuhnya tepat. Jika ditelusuri lebih jauh, sesungguhnya keberadaan perempuan dalam arena sastra di Indonesia dari masa ke masa tidak sesuram yang dibayangkan. Para penulis perempuan memiliki peran penting dan karya yang cukup diperhitungkan. Hanya saja, seperti sudah diungkapkan di awal, para perempuan yang menulis karya sastra tidak lebih banyak dibanding keberadaannya sebagai objek kajian di dalam karya sastra.”

    Di mana posisi para perempuan dan karyanya di arena sastra Indonesia? Seperti apa sesungguhnya para perempuan menulis kaumnya di dalam karya sastra? Bagaimana dengan karya para perempuan sastrawan di arena sastra Yogyakarta maupun Indonesia? Masih perlukah kita membincangkan posisi perempuan (dan laki-laki) dalam dunia sastra di Yogyakarta dan Indonesia hari ini?

    Di Yogyakarta lahir sejumlah nama dan karya yang menghiasi dinamika kesusastraan di Indonesia, sebut saja Iskasiah Sumarto dengan novelnya Astiti Rahayu (1976), Dorothea Rosa Herliany  dengan antologi puisinya Nikah Ilalang (1995) dan Sebuah Radio Kumatikan (2001), Abidah el Khalieqy dengan novelnya Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2004), Ulfatin Ch. dengan antologi puisinya Selembar Daun Jati (1996) dan Nyanyian Alamanda (2003) Evi Idawati dengan antologi puisinya Pengantin Sepi (2002) dan Namaku Sunyi (2005), Herlinatiens dengan novelnya Garis Tepi Seorang Lesbian (2003) dan Jilbab Britney Spears (2004), Komang Ira Puspitaningsih dengan buku puisi Kau Bukan Perawan Suci yang Tersedu (2012), Mutia Sukma dengan antologi puisinya Pertanyaan-Pertanyaan Tentang Dunia (2017), Ramayda Akmal dengan novelnya Jatisaba (2010) dan Tango & Sadimin (2019) hingga Fitri Merawati dengan buku puisi Potret Wanita Jawa (2016). Beberapa nama dan karya tersebut berada sebaris dengan Toeti Heraty, N.H. Dini, Ratna Indraswari Ibrahim, Fira Basuki, Helvy Tiana Rosa, Laksmi Pamuntjak, Oka Rusmini, Laela S. Chudori, Linda Cristanti, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dee Lestari, Asma Nadia, Intan Paramadhita, Okky Madasari, Ratih Kumala, hingga misalnya yang terbilang muda Dewi Kharisma Michellia.“Sejumlah karya para penulis perempuan di Yogyakarta, secara implisit maupun eksplisit menampakkan sikap yang mendasarinya dalam berproses kreatif. Apakah hal ini seperti yang telah disampaikan oleh Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA., bahwa perempuan dalam sastra mengalami dinamika peng-objekkan dan pen-subjekkan? Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana pengarang perempuan terlibat dalam melakukan dua proses tersebut? Benarkah, perempuan dan sastra sama-sama rawan kritikan, mudah menjadi tabu, dianggap penyakit dan second class? Mungkinkah saat keduanya bersatu, perempuan dan sastra tidak saja bisa memerdekakan diri sendiri, tapi juga memerdekakan suatu bangsa? Pertanyaan-pertanyaan inilah nantinya yang akan dijawab oleh Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA. dan Herlinatiens. Semoga acara ini bermanfaat bagi pecinta sastra sekalian,” pungkas Murnita.