Blog

  • Hari Bersastra Yogya #7

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Dalam rangka tasyakuran 19 tahun Studio Pertunjukan Sastra dan 14 tahun Bincang-Bincang Sastra, Studio Pertunjukan Sastra menggelar acara Hari Bersastra Yogya #7. Acara bertajuk “Rame Panggung Sepi Dunung” ini akan diselenggarakan pada Sabtu, 26 Oktober 2019 pukul 13.00—23.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Ada dua rangkaian acara, Sarasehan Komunitas Sastra DIY pada pukul 13.00—16.00, bersama Bernando J. Sujibto (Komunitas Kutub), Hamada Adzani (PKKH UGM), Taufiq Hakim (Komunitas Jangkah), Baiq Intan Cahaya (Klub Buku Yogyakarta), serta penampilan dari Unstrat UNY dan Teater JAB. Sementara malam hari, akan diadakan Bincang-Bincang Sastra edisi 169 pada pukul 20.00—23.00 bersama Eko “Ompong” Santosa, Muhidin M. Dahlan, dan Kedung Darma Romansha. Akan tampil di sini Komunitas Sakatoya, Komunitas Ngopinyastro, dan Mukhlis Melayoe.

    Studio Pertunjukan Sastra kali ini hadir dengan gelaran Hari Bersastra Yogya yang akan membabar serba-serbi komunitas sastra di DIY dalam sarasehan dan refleksi kritis terhadap maraknya aktivitas pertunjukan sastra di Yogyakarta. Pergulatan yang terjadi di arena sastra Yogyakarta dalam satu dekade terakhir ini cukup kompleks. Peristiwa demi peristiwa sastra berlangsung dan sudah semestinya segera disambut dengan percik permenungan. Perubahan kondisi sosial politik, wacana, para pelaku, dan berkembangnya dunia perindustrian membuat iklim kehidupan masyarakat sastra berubah dan berkembang secara signifikan.  

    Dari perkembangan tersebut, Yogyakarta sebagai salah satu kota yang paling konsisten merawat denyut jantung kehidupan sastra di Indonesia tentu menghadapi berbagai tantangan. Dalam sejarahnya, tegur sapa budaya yang terjalin di Yogyakarta adalah satu jembatan komunikasi komunalitas antar komunitas sebagai bagian penting bagi terselenggaranya kehidupan sastra di Yogyakarta. Basis kreativitas berkesenian di Yogyakarta adalah komunitas. 

    Namun, sifat sastra yang integral dan tingginya intensitas penyelenggaraan acara kadang justru membuat esensi sastra tertindih. Belum lagi dengan banyaknya aktivitas seni yang datang silih berganti tak henti-henti di daerah istimewa ini. Segenap dinamika kehidupan sastra di Yogyakarta itulah yang akan diperbincangkan sebagai refleksi keberadaan Studio Pertunjukan Sastra di belantika sastra Yogyakarta. Selama 14 tahun menggelar acara Bincang-Bincang Sastra rutin sebulan sekali tanpa henti tentu telah banyak hal dijumpai oleh Studio Pertunjukan Sastra. 

    Sukandar, koordinator acara ini menyampaikan, “Sarasehan Komunitas Sastra DIY diharapkan dapat menjadi ajang pertemuan gagasan, berbagi pengalaman, dan mengurai persoalan-persoalan lika-liku luka laku komunitas sastra di Yogyakarta. Setiap komunitas dengan beragam peranan dalam proses pembelajaran dan pengembangan dialektika dan estetika merupakan fondasi dinamika arena sastra Yogyakarta. Satu usaha kecil yang coba diwujudkan oleh Studio Pertunjukan Sastra ialah menghimpun profil komunitas sastra di Yogyakarta dalam sebuah buku kecil sebagai dokumentasi “rujukan referensial” keberadaan komunitas sastra Yogyakarta.”

    “Bincang-Bincang Sastra dengan tajuk ‘Rame Panggung Sepi Dunung’ mencoba membabar banyak hadirnya karya sastra berpadu dengan kesenian di sekitarnya yang justru mencemari kemurnian karya sastra. Karya sastra tergradasi nyaris tertindih sehingga yang hadir adalah bentuk kesenian baru sama sekali, sementara karya sastra sebagai inti justru tidak tampak adanya. Melalui topik perbincangan ini para tokoh sastra dan pertunjukan diharapkan bisa berbagi wawasan demi mengembalikan sastra kepada khitahnya,” terangnya.

    “Satu hal yang juga tidak bisa dipisahkan dari acara Hari Bersastra Yogya adalah adanya lapak buku. Buku dan karya sastra merupakan satu bagian penting dari keberlangsungan kehidupan kesastraan. Semoga acara ini dapat hadir sebagai sebuah percik permenungan bersama mengenai kreativitas bersastra di Yogyakarta. Hal yang coba ditempuh tetaplah sama, jalan belajar, upaya merawat tegur sapa,” pungkas Sukandar. 

  • Genealogi Sastra Indonesia Modern di Yogyakarta

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Taman Budaya Yogyakarta bekerja sama dengan Studio Pertunjukan Sastra menggelar acara Temu Seniman dan Budayawan bidang sastra bertajuk “Genealogi Sastra Indonesia Modern di Yogyakarta”. Hadir selaku pembicara dalam acara ini adalah Prof. Dr. Faruk dan Iman Budhi Santosa yang akan dimoderatori oleh Latief S. Nugraha. Acara ini akan diselenggarakan pada Rabu, 26 Februari 2020 pukul 13.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta.

    Sebagaimana diketahui bersama, bahwa pada tahun 2019 di Yogyakarta telah terselenggara sebuah festival sastra untuk pertama kalinya. Joglitfest atau Festival Sastra Yogyakarta menjadi satu penanda penting keberadaan sastra dan segala dinamikanya yang selama ini tumbuh berkembang di Yogyakarta. Keterlibatan sastrawan, komunitas sastra, kampus, dan lembaga-lembaga kebudayaan secara aktif dalam terselenggaranya perhelatan Festival Sastra Yogyakarta menjadi perwujudan kreativitas berkesenian di Yogyakarta. 

    Mengenai hal tersebut, Prof. Faruk menyampaikan, “Yogyakarta memang dikenal sebagai tidak hanya kota pendidikan, melainkan juga kota kesenian. Dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan kesenian lainnya, kegiatan kesastraan di Yogya dapat dikatakan merupakan kegiatan yang paling semarak.”

    Dialektika kultural di Yogyakarta telah menempatkan sastra pada satu titik yang tumbuh berdampingan dan ditopang adanya sekolah, kampus, sanggar seni, dan komunitas-komunitas yang tumbuh berkecambah di kota ini. Kontinuitas dan diskontinuitas dinamika sastra Indonesia modern di Yogyakarta sebagai suatu studi sejarah yang tak terpisah dari masa kini memungkinkan terjadinya penjelajahan masa silam untuk masa kini.

    Dari temuan yang ada, Iman Budhi Santosa melontarkan satu pertanyaan, “mungkinkah karya-karya sastra Indonesia modern hasil kreasi sastrawan di Yogyakarta yang mengangkat fenomena kebudayaan Jawa di Yogyakarta dan benar-benar “Njawani”, secara genealogis dapat dikelompokkan sebagai salah satu bagian dari yang disebut Sastra Yogya?”

    Penelusuran genealogi sastra Indonesia modern di Yogyakarta yang di dalamnya mengandung pembahasan tentang proses pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia modern di Yogyakarta, serta perwujudan kontinuitas dan diskontinuitas dari sastra Indonesia modern di Yogyakarta penting untuk terus dikerjakan kendati tidak mudah. Tentu saja hal tersebut dengan melihat wacana, pengetahuan, dan kekuasaan yang ada dalam dinamika sastra Indonesia modern di Yogyakarta saling berpengaruh.

  • Geliat Pameran Kriya di Tengah Wabah Corona

    author = Redaksi Kibul

    Pandemi Covid-19 terbukti tidak menyurutkan gairah seniman berkarya dalam kompetisi Matra Kriya Fest (MKF) 2020. Ratusan karya yang masuk mewakili berbagai daerah di Indonesia dan memiliki banyak sekali variasi ragam kesenian. Mereka mengusung banyak hal, mulai dari isu terkini hingga lokalitas yang kental.

    Setelah sukses menjaring ratusan karya perupa muda dari seluruh Indonesia, MKF pun ditutup di Pendhapa Art Space, (23/11). Pameran yang telah berlangsung dari tanggal 14-23 November 2020 ini ditutup dengan penampilan tari dari Onya Adat dan Cresensia Naibaho. Selain pameran, MKF juga menghadirkan bazar-bazar dari industri kreatif yang dikelola anak-anak muda, performing art, workshop, kriyaventura, fashion show, diskusi seni, serta talkshow. Semua kegiatan tersebut bisa dilihat pada channel YouTube Dinas Kebudayaan D.I. Yogyakarta, (tasteofjogja disbud diy).

    Musyaffa salah satu kurator menjelaskan bahwa unsur-unsur terutama komposisi juga nilai fungsi pada karya sangat dipertimbangkan. Apa yang dipahami dari kriya selama ini semisal material, keterampilan kerja tangan, fungsi, serta nilai seni yang berhubungan dengan ekspresi, jadi dasar penilaian.

    MKF menginginkan adanya kepaduan antara material dan ekspresi. Sejauh mana komposisi yang digunakan, manfaat/ kegunaan, serta kesatuan, dari hal tersebutlah keempat kategori juara terpilih dinilai. Dalam kacamata kriya itu sendiri, apa yang menjadikan karya menarik dan keselarasan konsep yang diutarakan dengan tema “Nusantara in Slice” menjadi penting. Karya yang dibuat berangkat dari kesadaran seniman dalam berkarya dan pemahaman mereka atas apa yang mereka pilih dan buat.

    Pengumuman 4 Kategori Juara Menutup Rangkaian MKF 2020

    40 karya yang dipamerkan disaring menjadi 12 nominasi yang memperebutkan empat kategori yaitu, karya terbaik, karya inovasi dan kreasi terbaik, karya local content terbaik, serta juara favorit.

    Pemenang karya terbaik yaitu Adek Dimas Ajisaka dengan karya “Gunungan Nusantara”. Karyanya mengambil konsep gunungan dalam pagelaran wayang kulit yang merepresentasi tatanan kehidupan yang merupakan simbol keanekaragaman yang menyatu harmonis dalam ruang kehidupan. Spirit keanekaragaman inilah yang melatarbelakangi penciptaan atas karya tersebut. Kekayaan budaya dan sumber daya alam nusantara secara visual digambarkan lewat tokoh Semar yang diartikan sebagai kebijaksanaan. Sedangkan daun jati sebagai media penciptaan karya merupakan kontektualisasi kekayaan hayati alam Indonesia.

    “Friendly For Disaster” karya Thoha Amri Abdillah mengantarkannya memenangkan kategori karya local content terbaik. Karya ini merekam nusantara yang menjadi jalur cincin api dunia. Ketangguhan dan sikap sabar masyarakat menghadapi bencana seperti tsunami, gempa bumi, dan gunung meletus, ia tuangkan lewat ukiran kayu dengan sentuhan warna dan goresan tumbuh-tumbuhan yang kental nuansa tradisional.

    “Saya menyusun dan mematangkan konsep dan merealisasikannya dalam bentuk karya. Kriya menurutku sebagai akar dan dasar seni rupa nusantara, seni yang paling dekat dengan masyarakat secara kultur. Ada banyak hal yang bisa divisualisasikan karena kebudayaan nusantara tidak ada habisnya. Terus berkembang dalam berpikir, membuat karya yang lebih inovatif merupakan tantangan bagi saya dan seniman lainnya,” imbuhnya.

    Sedangkan karya Stefanus Bintang Kumara berjudul “Ngadu Jago Marang Bopo” membawanya meraih juara kategori karya inovasi dan kreasi terbaik. Karyanya ini berangkat dari kepedulian akan wayang beber yang yang mulai luput dari perhatian masyarakat. Hal tersebut memunculkan ide kreatif untuk mengembangkan dan mengubah struktur dari wayang beber pada umumnya. Pembaruan ini merupakan sebuah penggabungan antara wayang beber dengan batik. Wayang beber sebagai sebuah ide dalam penciptaan karya seni batik dengan mengangkat cerita-cerita yang ada di Nusantara. Karyanya bertujuan memperkenalkan kembali wayang beber sebagai edukasi melalui kesenian.

    Pertemuan dan percampuran dua kebudayaan yang terinspirasi dari kedua orang tuanya, bapak yang berasal dari Papua dan ibu dari Yogyakarta menginspirasi Lejar Daniartana Hukubun menciptakan karya “Wayang Papua merek KK. Lejar”. Karyanya ini memenangkan kategori karya terfavorit.

    “Dari dua kutub kebudayaan yang digabungkan tersebutlah lahir hal baru seperti yang dilakukan juga oleh Steve Jobs. Selain itu, karya saya juga terinspirasi dari pemikiran yang ada dalam buku Seni dan Daya Hidup dalam Perspektif Quantum yang ditulis oleh M. Dwi Marianto. Pandemi memiliki sisi positif, saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sehingga bisa fokus dalam memikirkan konsep dan membuat karya ini. Acara MKF 2020 sangat istimewa karena peduli terhadap perkembangan seni kriya dan menumbuhkan semangat berkesenian,” ujarnya.

    Rosanto Bima selaku Ketua Pelaksana MKF berharap pandemi segera berakhir dan MKF di tahun mendatang bisa terlaksana kembali. “Semoga dari terselenggaranya ajang kriya ini bisa muncul karya fenomenal dan bisa menjadi kompetisi kriya tingkat internasional yang membanggakan bagi Indonesia dan Yogyakarta. Kami berharap di MKF selanjutnya seniman muda kriya dari Sabang sampai Merauke ikut andil dan menghadirkan karya-karya baru yang segar. Selamat untuk para pemenang, tetap berkesenian dan menghasilkan karya yang monumental,” harapnya.

  • FMM: Hari Raya Mengingat Mantan

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    Dengan muka sedikit masam, seorang perempuan tinggi semampai, berwajah manis dan lugu membawa sebuah boneka panda berwarna cokelat menuju salah satu sudut ruangan. Ia kemudian meletakkan boneka tersebut di antara benda-benda lain yang ada di situ seperti bola basket, jersey PSIM, mug, ponsel dan benda-benda lainnya. Setelah meletakkan boneka itu mukanya nampak lebih ceria, seolah beban hidupnya baru saja ia tanggalkan. Di sudut lain, seorang lelaki tampak melihat foto seorang gadis tersenyum manis yang diletakkan di sebuah meja. Mukanya tampak berkaca-kaca. Perempuan itu, sebut saja Marijane (bukan nama sebenarnya) dan laki-laki itu sebut saja Marijan (bukan nama sebenarnya juga).

    Barangkali tanpa sengaja, Marijane dan Marijan yang sebelumnya belum pernah bertemu tiba tiba bersenggolan, lalu salah satu benda yang kebetulan mereka bawa (buku atau ponsel) terjatuh. Kalian tentu bebas membayangkan apa yang akan terjadi. Akan tetapi daripada membayangkan salah satunya memaki yang lain, bolehlah kita bayangkan bahwa keduanya terlibat satu adegan romantis sebagaimana adegan di iklan parfum, “kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda”. Lalu mereka berkenalan, nonton band-bandan bareng di halaman gedung Kedaulatan Rakyat, kemudian jadian.  Lalu sebelum meninggalkan acara mereka menulis sepenggal pesan di whatsapp, “Tan, Aku udah punya pacar baru”.

    Cerita yang demikian bisa saja terjadi, tetapi mungkin juga tidak. Meskipun begitu baik Marijane maupun Marijan merupakan salah dua dari banyaknya pengunjung yang hadir di acara penutupan Festival Melupakan Mantan yang diselenggarakan di Gedung Kantor Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Keduanya merupakan pengunjung yang memiliki niat dan tekad yang kuat untuk melupakan kisah cintanya yang “tragis” dimasa lalu. Selain kedua pengunjung itu, nampak juga pengunjung lain yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk selfie, atau sekedar melihat pertunjukkan musik yang merupakan salah satu rangkaian acara festival malam itu.

    Festival itu bernama Festival Melupakan Mantan (FMM). Festival tersebut merupakan acara tahunan yang sudah terselenggara sejak 3 tahun lalu. Sebuah acara yang diselenggarakan tepat sehari sebelum peringatan Valentine Day. FMM pernah diselenggarakan di dua tempat yang berbeda, salah satunya pernah dipusatkan di titik nol kilometer Jogja dan yang lain di Pojok Benteng Wetan. Berbeda dengan acara dua tahun sebelumnya yang hanya diselenggarakan selama sehari, acara tahun ini diselenggarakan selama 3 hari sejak tanggal 11 hingga tanggal 13 Februari 2017. Menurut Mahmud Mada, ketua FMM 2017, acara tahun ini mengangkat konsep galeri pameran, dengan tema “kesah”. Artinya FMM banyak mengangkat dinamika-dinamika perpisahan dan kepergian. Nuansa kepergian akan dimaknai sebagai suatu proses pembelajaran diri bagi pasangan muda-mudi Yogyakarta untuk hidup lebih baik ke depannya.

    Salah satu hal yang menarik dalam acara ini, pengunjung diberikan kesempatan untuk menyerahkan barang-barang peninggalan mantan—yang barangkali menjadi tanda cinta yang menyesakkan hati—untuk kemudian disumbangkan. Ketika saya menyempatkan diri bertanya kepada Marijane, “Apa gak sayang tuh sama bonekanya?”, Marijane dengan santai menjawab. “Gak papa, itukan buat disumbangin, toh di rumah juga cuma nakut-nakutin kucing.”

    Selain menyerahkan barang-barang peninggalan mantan, pengunjung juga  diajak berpartisipasi lebih jauh dalam challenge “membawa” dan “menyerahkan” foto mantan. Foto-foto yang dibawa ini nantinya akan dipasang sebagai galeri bersama para pejuang masa lalu dan baru akan dibuka ketika acara selesai (pada saat penutupan festival). Proses penempelan foto itu tidak hanya dilakukan dengan sekadar menempel, tetapi pengunjung harus mengikuti proses lampah Alit menaiki tangga kenangan hingga sampai pada ruang privat yang diberi nama “Ruang Kenangan”

    Sayup-sayup terdengar pula di ruangan galeri semacam suara orang-orang yang sedang bercerita. menurut Adhika (bukan personil Kangen Band. Ya, doi jadi personil Kangen Band lagi lho !) yang merupakan seksi Humas acara tersebut, suara tersebut merupakan rekaman dari beberapa volunteer acara yang mengisahkan kisah asmara mereka. Sayangnya ketika saya berada di acara tersebut, saya tidak mendengar suara isak tangis, padahal saya berharap ada suara tersebut baik dari rekaman maupun para pengunjung yang tiba-tiba baper. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan Adhika bahwa acara ini memang bertujuan untuk membuat pengunjung bahagia.

    Salah satu sudut di ruang galeri yang tidak kalah menarik adalah ruang bagi para pengunjung untuk menyampaikan isi hatinya dalam tulisan. Agaknya di sudut ini pengunjung begitu antusias dengan adanya ratusan tulisan yang terpajang di sana. Dari tulisan-tulisan yang nampak, sebagian besar menunjukkan hal-hal yang positif. Para pengunjung juga begitu kreatif dalam tulisan- tulisannya. Seringkali ada nada slengekan untuk mengekpresikan diri. Beberapa tulisan unik yang ada antara lain:

    mantan=dosa terindah,

    mantanku keteknya asem,

    aku rapopo kok #weslali,

    saya sumbangkan mantan saya!!! nb: harap dirawat

    Tidak sedikit dari pengunjung yang hadir membawa pacar atau gebetannya. Barangkali hal tersebut dilakukan sebagai antisipasi jika ndilalahnya ketemu mantan supaya ia terlihat lebih cool. Saya sendiri tidak melihat pengunjung yang datang bersama orangtua, apalagi melihat sosok polisi. Padahal saya membayangkan alangkah mengharukannya jika ada seorang lelaki gagah berani dengan lencana dan seragam tiba-tiba baper di acara tersebut.

    FMM bisa dikatakan sebuat acara kreatif yang nampaknya direspon positif oleh banyak kalangan. FMM berhasil mengangkat hal yang sangat dekat dengan dunia anak muda. Kisah percintaan yang berakhir tidak bahagia sering menghambat jalan hidup anak-anak muda sehingga mereka menjadi kesulitan menapaki jalan hidup yang baru. FMM telah menjadi sarana bagi mereka yang ingin mengekspresikan kegelisahan hidup dengan tujuan agar terbebas dari belenggu-belenggu masa lalu yang kadang masih menghantui. Doa saya semoga tidak ada lagi orang yang baper dan belum bisa move on. Amin

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Fitriawan Nur Indrianto
    Lulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.
  • FloatspotReborn: Mengapung Bersama di Situgunung

    author = About Dyah Nur Khoiriyah
    Pemudi biasa yang sangat menyukai awan dan mempunyai motto hidup Look beyond what you see.

    View all posts by Dyah Nur Khoiriyah →

    Float merupakan band indie asal Jakarta yang sudah berdiri sejak tahun 2004. Meskipun sudah sering bongkar-pasang personil dan sempat vakum, Float tidak pernah kehilangan pendengar-pendengar setianya. Selain Floatspot (sebutan Float untuk gig atau event yang menghadirkan mereka sebagai bintang tamunya) yang diselenggarakan oleh pihak luar, Float sangat senang membangun kemesraan bersama penggemarnya dengan mengadakan acara khusus yang diadakan di alam terbuka dan jauh dari kebisingan. Konser mereka misalnya pernah digelar di Dataran Tinggi Dieng, Perkemahan Bungbuay di Sukabumi, Nirwana Laut di Karimunjawa, hingga Teluk Kiluan Lampung,.

     

    Sabtu (25/2) lalu, Float kembali mengadakan acara serupa bertajuk Floatspot Reborn. Kembali berlokasi di Perkemahan Bungbuay, Situgunung Park, Sukabumi,  acara tersebut merupakan Floatspot pertama di tahun ini dan diadakan untuk mengiringi rilisnya single terbaru Float yang berjudul Reborn. Dikutip dari situs resminya, Floatspot Reborn diharapkan menjadi momentum untuk menyegarkan suasana hati seperti jika kita terlahir kembali. Dengan konsep acara yang santai dan tanpa rundown resmi,  acara ini seolah dibuat mengalir saja untuk diserahkan pada semesta.

     

    Floatspot Reborn diselenggarakan secara eksklusif dengan hanya menyediakan slot untuk 300 peserta yang dibagi menjadi dua kategori; campers (bersedia bermalam di lokasi dengan mendirikan tenda) dan non campers (hanya datang ke lokasi saat acara utama berlangsung). Acara ini sudah menjaring antusiasme yang tinggi sejak pertama kali dipublikasikan. Benar saja, tiket Floatspot Reborn ludes hanya dalam hitungan hari. Alhasil, mereka yang tidak kebagian tiket terpaksa harus masuk ke daftar tunggu. Beruntunglah saya dan kedua teman saya yang sudah melakukan registrasi sejak 30 menit pertama.

     

    Hari yang dinanti-nanti akhirnya datang juga. Saya dan kedua teman saya tiba di lokasi sekitar pukul 15.00 WIB. Langit mendung yang mengiringi kedatangan kami bertolak belakang dengan sambutan crew yang sore itu begitu ramah. Ternyata masih dibutuhkan sekitar 15 menit berjalan kaki –secara perlahan dan hati-hati karena jalan yang licin— untuk mencapai lokasi perkemahan Bungbuay. Setelah sampai di atas, kami disambut (lagi) dan diarahkan untuk mencari spot pendirian tenda. Kami bertiga dengan pede membuka bungkus tenda instan pinjaman dan mengaku bisa mendirikannya. Namun pada akhirnya, 85% pendirian tenda berhasil selesai berkat bantuan salah satu crew Float yang sangat baik hati (sepertinya karena dia prihatin melihat kami bertiga). Entah beruntung atau malang, sedetik setelah tenda berdiri, hujan deras jatuh mengguyur Situgunung.

     

    Sesorean kami habiskan dengan menduga kira-kira apa rencana B yang sudah Float siapkan jika hujan tak juga reda. Sekitar pukul 17.00, terdengar Meng dan crewnya sedang melakukan cek sound dengan suaranya yang khas dan syahdu. Sementara itu di dalam tenda, kami terus harap-harap cemas jika hujan tak jua berhenti.

     

    Hujan deras dengan ajaib berhenti sesaat sebelum acara inti dimulai pada pukul delapan malam. Kami bertiga dan floatmates lain pun segera mendekat ke panggung sederhana yang dibuat begitu manis dengan lampu-lampu temaram. Semua terlihat antusias, tak peduli dengan tanah berlumpur yang memperberat langkah, yang jika berjalan di atasnya menghasilkan suara ceplak cepluk, yang membuat kaki bagai es goreng saus coklat Pak Gatot yang dijual di Sunmor UGM.

     

    Malam itu Too Much This Way dilantunkan dengan apik sebagai pembuka penampilan Float, dilanjutkan dengan Waltz Musim Pelangi. Setelah semuanya berkumpul, Meng sang vokalis bertanya kepada kami, “Acara kaya gini, enaknya diadain berapa bulan sekali, sih?”, sebuah pertanyaan yang kemudian menghasilkan wacana untuk mengadakannya setiap tiga bulan sekali. Semua dibuat penasaran dengan lokasi syahdu mana lagi yang akan Float pilih. Apakah Nusa Tenggara? Sulawesi? Atau Yogyakarta?

     

    Kalau saya tidak salah hitung, malam itu Float membawakan kurang lebih 19 lagu. Mulai dari yang terlawas hingga yang terbaru, yang dibawakannya secara acak. Beberapa di antaranya adalah Pulang, Tiap Senja, No Dream-Land, Songs of Seasons, Time, Keruh, Reborn, 3 Hari Untuk Selamanya, Ke Sana, dan favorit saya; Stupido Ritmo. Kami pun tak lelah untuk selalu ikut menyanyikan lirik-lirik puitisnya, terutama saat “Sementara” dilantunkan dan suasana seakan mencapai klimaks karena saking kompak dan lantangnya suara kami. Float membawakan lagu-lagunya dengan sangat santai dan apa adanya; tanpa alas kaki, sambil merokok dan bercanda, pokoknya sesuka hati. Suasana terasa sangat hangat, intim, dan membahagiakan. Float benar-benar berhasil membuat kami semua mengapung malam itu.
    Pagi di Situgunung diawali dengan suara nyanyian burung yang sangat ramai. Setelah mengintip ke luar tenda, beberapa tenda tetangga ternyata sudah lenyap. Kami bertiga pun memutuskan untuk segera berkemas. Tanah berlumpur masih saja menenggelamkan kaki, untungnya kami berhasil membereskan tenda dengan cepat dan kali ini tanpa bantuan crew. Sementara para crew masih sibuk membereskan panggung, kami mulai melangkah meninggalkan Bungbuay. Belakangan baru saya tahu bahwa ternyata Meng dan timnya beramai-ramai menggunakan kereta api untuk transportasi Bogor-Cisaat, Sukabumi.

     

    *Foto oleh L. E. Pusparini

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    https://kibul.in/artikel/floatspotreborn-mengapung-bersama-di-situgunung/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/03/Artikel-Orin-1024×539.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/03/Artikel-Orin-150×150.jpgDyah Nur KhoiriyahArtikelPeristiwaArtikel,Bungbuay,Dyah Nur Khoiriyah,Float,kibul,Musik,Peristiwa,Seni,Seni Musik,SitugunungFloat merupakan band indie asal Jakarta yang sudah berdiri sejak tahun 2004. Meskipun sudah sering bongkar-pasang personil dan sempat vakum, Float tidak pernah kehilangan pendengar-pendengar setianya. Selain Floatspot (sebutan Float untuk gig atau event yang menghadirkan mereka sebagai bintang tamunya) yang diselenggarakan oleh pihak luar, Float sangat senang membangun…Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • “Etalase Tubuh”, Pentas Produksi Sangkala 2017

    author = Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    SANGKALA FBS UNY alias Sanggar Kesenian Kolaborasi Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta akan mementaskan sebuah naskah karya Sahlan Bahuy yang berjudul “Etalase Tubuh” di Laboratorium Karawitan FBS UNY, Jalan Karangmalang No. 15, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (25/11) pukul 19.30 WIB. Pementasan ini merupakan Pentas Produksi Sangkala yang pertama di tahun 2017, setelah Pentas Produksi di tahun 2015 yang bertajuk “Tribute to Putut Buchori” dengan mementaskan naskah “Dukun-Dukunan” karya almarhum Putut Buchori.

    Ahmad Hayya, sutradara, menyebutkan, naskah ini pernah dipentaskan dalam acara Festamasio (Festival Teater Mahasiswa Nasional) ke-6 di Surabaya oleh Teater Lakon yang disutradari oleh penulisnya sendiri pada tahun 2013. Naskah ini membicarakan tentang realitas masyarakat konsumtif, isu kebahagian artifisial, kecantikan, fashion, gaya hidup, spiritualitas, hingga mitos dongeng dan mitos kebahagiaan sebagai kontemplasi atas kehidupan yang bertumpuk. Selain itu, pementasan “Etalase Tubuh” ini juga menjadi salah satu respon SANGKALA terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini.

    “Kami meyakini bahwa kegelisahan yang dirasakan Sahlan Bahuy di tahun 2012—2013 yang akhirnya melahirkan naskah “Etalase Tubuh”, masih terasa hingga saat ini. Bahkan semakin terasa. Mitos-mitos kebahagiaan sengaja dilanggengkan untuk melangsungkan satu sistem kekuasaan yang bahkan tidak disadari oleh masyarakat. Anak-anak tumbuh dengan iming-iming kebahagian yang bias dan abstrak, seolah-olah mengejar sesuatu yang tidak pernah dikenalinya. Sementara itu, orangtua semakin sibuk menyiapkan masa depan untuk anaknya dengan pola-pola instan dan kekinian sehingga tubuh anak menjadi seperti etalase yang memajang segala macam tawaran kebahagiaan.” terang Hayya, sapaan akrabnya.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • English Days 2017: The Eternal Wisdom Of Folktales

    author = Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    English Days yang berlangsung beberapa tahun terakhir, akan kembali diadakan untuk membuktikan eksistensi Program Studi Sastra Inggris UGM di bidang seni pertunjukkan. Pada English Days 2017, kami kembali mempersembahkan rangkaian acara dalam rangka melaksanakan acara tahunan Program Studi Sastra Inggris UGM. Dengan tema “The Eternal Wisdom of Folktales”, kami mengajak para pemerhati sekalian, baik, anak-anak, pelajar, maupun orang dewasa untuk ikut melestarikan nilai kearifan dalam cerita rakyat yang tak lekang oleh waktu dan harus senantiasa kita junjung dalam upaya menjadi insan yang lebih baik.

    English Days 2017 memiliki rangkaian acara yang mendukung tema kami untuk melestarikan nilai kearifan dalam cerita rakyat seperti, Talkshow yang akan dilaksanakan pada tanggal 13 Oktober 2017 di Auditorium FIB UGM dengan tema Each Movie Has It Own Beauty”. Talkshow tersebut akan menghadirkan Landung Simatupang (Aktor dan Sutradara Film) dan Prof. Ida Rochani Adi, S.U. (Dosen Sastra Inggris UGM), dengan Ari Bagus Panuntun (Redaktur Kibul.in) sebagai moderator. Story Telling Competition yang akan dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 2017 yang ditujukan untuk siswa-siswa SMP di Yogyakarta; lalu Creative Writing Competition yang membuka peluang untuk para penulis-penulis hebat yang bersedia mengirimkan karya terbaiknya untuk kami seleksi, dan yang terakhir, Charity atau bakti sosial. Untuk Charity tahun ini, kami akan menyumbangkan buku cerita rakyat dan mainan tradisional anak-anak yang akan diserahkan kepada komunitas Kali Code Yogyakarta.

    Pada Malam Puncak English Day 2017, kami mempersembahkan teater musikal yang berjudul “Queen at Last, Beyond The Folktale of Lutung Kasarung”. Pertunjukan tersebut akan menampilkan sisi lain dari cerita daerah dari Jawa Barat yaitu Lutung Kasarung dengan memfokuskan ke ikatan persaudaraan antara Purbasari dan Purbararang. Pertunjukan ini merupakan kolaborasi dari komunitas-komunitas seni di Program Studi Sastra Inggris, seperti Terasi (Teater Sastra Inggris), Icety (Komunitas Tari), Kombantrin (Komunitas Musik dan Band), dan Prasasti (Komunitas Musik Jawa/Gamelan). Teater musikal ini akan berkolaborasi juga dengan sutradara dan aktor besar Indonesia “Landung Simatupang” serta berbagai komunitas tari tradisional Indonesia. Acara kami akan dilangsungkan pada hari Minggu, 12 November 2017 di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta.  Pertunjukan akan dilangsungkan pada hari Minggu, 12 November 2017 di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta.

    Hanya dengan tiket presale1 25K, presale2 30K, dan on the spot 35K, kami mengajak para pemerhati sekalian dari segala golongan untuk mengingat pentingnya melihat lebih dalam cerita rakyat yang kita punya dengan menyaksikan pertunjukan kami. Tiket sudah bisa dibeli dari tanggal 1 Oktober 2017 di ticket box gedung MEC lantai 1 Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Untuk informasi lebih lanjut hubungi Fanny (082367537329),  line : 24rf03, atau instagram : @englishdays.ugm.

    Acara ini kami selenggarakan dengan kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak, seperti UC Browser, PT Rijen Cahaya Mulia, Klick, Dinas Pariwisata DI Yogyakarta, Maestro Pro, D’gejrot, Happy Puppy, Movie Box, Jolie.

    Demikian, rangkaian acara kami dalam English Days 2017 dapat menjadi bahan edukasi bagi generasi sekarang untuk meningkatkan rasa cinta terhadap cerita-cerita rakyat Indonesia dan melestarian budaya Indonesia.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Eksplorasi Rasa oleh Asita Kaladewa Melalui Nafas Nafsu

    Eksplorasi Rasa oleh Asita Kaladewa Melalui Nafas Nafsu

    author = Padepokan Seni Bagong Kussudiardja

    Asita Kaladewa, seorang seniman pantomim yang telah lama berkiprah di Yogyakarta akan menampilkan karya terbarunya berjudul Nafas Nafsu dengan bekerja sama dengan Naoki Nagai sebagai dramaturg dan pengisi musik. Dalam karya ini Asita ingin bercerita tentang kegelisahannya sebagai manusia ketika harus berkompromi antara keinginan untuk menjaga alam dan tuntutan kehidupan sehari–hari yang membuatnya semakin menjauh dengan alam atas nama efisiensi.

    Jagongan Wagen edisi kedua di tahun 2020 akan menjadi Jagongan Wagen yang spesial karena ditampilkan dalam medium yang tidak seperti biasanya. PSBK memahami betul atas apa yang terjadi terkait persebaran Covid-19 secara global dan terkhusus di Indonesia. Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk melakukan pembatasan jarak sosial maka strategi khusus perlu dilakukan untuk penyelenggaraan event publik di PSBK termasuk salah satunya Jagongan Wagen.

    Penyelenggaraan Jagongan Wagen tetap dipertahankan karena PSBK merasa punya tanggung jawab untuk terus memberikan akses seni pada masyarakat dan menjaga komitmen kepada seniman untuk memberikan fasilitasi produksi karya tanpa mengurangi kewaspadaan. Berikut pernyataan dari Direktur Eksekutif Jeannie Park yang dikutip melalui surat edaran terkait hal tersebut “Di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), kami berkomitmen untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat luas dengan mematuhi perilaku pembatasan jarak sosial (social distancing) dan akan menawarkan akses on-line alternatif bagi program acara seni untuk publik. Kami juga berkomitmen untuk tetap mendukung proses kreatif seniman yang membutuhkan akses fasilitas di PSBK dengan menerapkan prosedur kesehatan dan keselamatan, serta mengikuti perkembangan terkini yang disarankan oleh sumber informasi resmi.” Dengan demikian penyelenggaraan Jagongan Wagen bulan ini akan dilakukan dengan cara memindahkan pertunjukan yang biasanya diselenggarakan secara langsung di PSBK ke medium online streaming video.

    Asita Kaladewa merupakan seniman pantomim kelahiran Kudus. Ia merupakan salah satu pendiri Bengkel Mime Theatre. Pada Tahun 2007, ia lulus dari Institut Seni Indonesia pada jurusan Seni Pertunjukan dengan minat utama artistik. Selain menekuni dunia pantomim, ia juga aktif berkarya dengan medium seni rupa yang ia pelajari secara otodidak. Sedangkan Naoki Nagai merupakan seniman pantomim kelahiran Niigata, Jepang.Ê Ia pernah belajar pantomim di Tokyo Mime Institut. Selain sebagai seniman pantomim ia juga pernah menjadi dosen di Showa Music Academy, Kanagawa, Jepang. Ia tinggal di Indonesia sejak 2007 dan mulai aktif berkarya lagi sejak tahun 2012 dengan menggelar pertunjukan di Indonesia, Taiwan, dan Jepang.Ê

    Nafas Nafsu merupakan karya yang berangkat dari kegelisahan Asita Kaladewa tentang dilema terkait hubungan dirinya dengan lingkungan alam. Di satu sisi ia selalu membayangkan bahwa hidup yang ideal akan tercapai ketika ia bisa memiliki kehidupan yang menyatu dengan lingkungan alam, tapi di sisi yang lain ia juga harus menghadapi kenyataan bahwa ia sering menjaga jarak bahkan menjauh dari lingkungan alam karena harus bertahan dari tuntutan kehidupan sehari–hari yang semakin praktis.Ê Untuk membicarakan persoalan ini Asita membuka kembali memori empat karya pantomim yang pernah ia ciptakan dengan tema relasi manusia dengan lingkungan alam. Empat karya yang ia pilih berjudul “Sesak”, “Tanjung harapan”, “Berburu Serangga” dan “Fish”. Asita menggerakkan dan menafsir ulang karya–karya lama tersebut sebagai upaya refleksi sekaligus titik tolak pencarian jalan keluar dilemanya. Namun saat melakukannya, nafasnya tersengal – sengal tak terkendali; tubuh dan nafas tidak selaras. Ia menyadari ada yang sedang tidak selaras antara harapan dalam dirinya dengan kondisi fisik tubuhnya. Tabrakan unsur budaya dan unsur alam yang ada pada tubuh Asita, termanifestasi melalui gerak nafasnya. Persoalan nafas ini digarisbawahi dan menjadi pintu masuk untuk membicarakan dilemanya. Terutama mengenai pengendalian nafas: nafas dan nafsu saling berhimpitan dalam diri manusia. Lewat karya ini Asita hendak menawarkan laku kesadaran pengendalian nafas dan nafsu untuk mendamaikan dilema relasi manusia dan lingkungan alam dengan memperdalam aspek gerak nafas untuk meredakan dilema tersebut.

    Dalam karya ini Asita banyak bereksplorasi dengan rasa. Rasa yang dimaksud adalah rasa sebagai bahasa yang universal yang biasa dikonversikan dalam bahasa tubuh. Dalam menyampaikan kegelisahannya ia akan mengeksplorasi rasa yang ia tangkap untuk kemudian ia ekspresikan melalui gerakan-gerakan tubuh dalam pantomim. Perubahan bentuk medium dalam Jagongan Wagen kali ini awalnya membuat Asita sedikit ragu bahwa gagasannya menggunakan bahasa rasa ini dapat sampai ke penonton. Hal ini disebabkan dari awal ia sudah membayangkan bahwa pertunjukannya akan dilihat secara langsung, dan transfer rasa itu dapat dirasakan penonton dengan tepat karena jarak yang intim. Berikut kutipan wawancara Bersama Asita terkait hal tersebut “Lalu kemudian dalam perjalanan tentu saja rasa ego seniman itu gede, makanya ketika saya membaca situasi bahwa pertunjukan kemungkinan akan diundur, saya harus mulai berkompromi seperti kalau balon itu gak langsung digetah namun ditusuk satu-satu jadi enak. Ok, mas sekarang tidak live, padahal keinginan saya itu itu live biar itu terasa akan apa yang saya rasakan dari biasan-biasan di sekitar. Itu tentu saja sakit, tapi saya kembali lagi bertanya bahwa dalam membangun karya ini saya mulai berlatih memanajemen rasa kenapa di kehidupan nyata saya tidak bisa, itu yang kemudian saya ambil. Ya sudah tidak apa-apa. Kreativitas masih bisa terus berjalan, dan itu bisa menjadi sesuatu yang saya tidak tau dan itu bisa menjadi kejutan. Dengan demikian Asita meyakini bahwa melalui media apapun gagasannya akan tetap sampai karena ia merasa bahwa karya ini dibangun atas dasar kesungguhan. Ia juga melihat bahwa tim produksi memberikan dukungan yang penuh dan mau bersama-sama mencari cara agar karya ini tetap akan dapat dinikmati sesuai harapan walaupun mediumnya tidak seperti biasanya. Tentu saja kemudian Jagongan Wagen kali ini patut untuk dinantikan karena ini merupakan cara baru bagi seniman, tim produksi, maupun penonton untuk tetap dapat membuat sebuah peristiwa dalam medium di luar kebiasaan.

     

    Jagongan Wagen edisi Maret 2020 ini dapat ditonton dengan terlebih dahulu melakukan registrasi di www.psbk.or.id mulai hari ini hingga tanggal 28 Maret 2020 pukul 17.00 WIB. Setelah itu penonton akan mendapatkan email balasan pada tanggal 28 Maret 2020 pukul 19.00 yang berisi tautan video Jagongan Wagen “Nafas Nafsu. Melalui tautan tersebut penonton akan diantarkan untuk menonton video yang telah diunggah. Kemudian yang terakhir, untuk mendukung Jagongan Wagen edisi Maret 2020 penonton bisa mengisi kuesioner dan juga memberi saweran melalui donasi digital dengan cara scan QR code yang disertakan dalam email balasan. Terus semangat dan jaga stamina, sampai jumpa.

  • Catatan tentang Penulis Muda dan Sastra Daring

    Catatan tentang Penulis Muda dan Sastra Daring

    author = Cucum Cantini

    Sudah hampir sepekan acara “Penulis Muda dan Sastra Daring” yang digelar di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta terlewat. Bukan karena pembukaan acara oleh lagu-lagu Padi yang membuat ingatan makin terngiang (Padi di concert hall, kami—kita di Ruang Seminar). Akan tetapi, fenomena urgensi dan estetika alih media: dari sastra internet (cyber) ke dalam bentuk cetak (print out) , sampai saat ini masih menghantui dunia perbukuan kita.

    Berbekal mimpi-mimpi sederhana, ada kesamaan antara Teguh S. Pinang dan Andreas Nova, keduanya ingin memanfaatkan media internet sebagai wadah apresiasi kepenulisan. Meski, keduanya berada pada rezim yang berbeda, namun nyatanya tantangan masih sama. Di masa cybersastra.net masih berjaya, dan geliat penulis yang membabi-buta, kaum oposisi nyatanya tidak bisa terima pada saat itu, menurut Teguh, Republika menjadi salah satu media yang memberikan kritik sekaligus mewadahi sahut-menyahut-nya kaum cyber dan non-cyber (buku dan koran). Yang diperdebatkan adalah mengenai kuratorial sastra, memilih tulisan yang baik untuk dibaca dan layak untuk disebut sastra.

    Berbeda dengan keadaan di tahun 2000-an dimana proses tulisan beralih ke dalam bentuk cyber masih sangat rumit dan tanpa interaksi langsung, di 2017 Nova dkk. kemudian membuat situs web Kibul (https://kibul.in) sebagai media yang memanfaatkan teknologi informasi yang tidak lagi rumit. Meski bukanlah media sastra dalam jaringan pertama, Kibul di ulang tahunnya yang pertama telah dengan berani mengadakan polling atas cerpen-cerpen dan puisi-puisi yang pernah dipublikasikan setahun belakangan. Maka terjaringlah 16 penulis puisi dan 10 penulis cerpen untuk dibukukan. Alasan Nova untuk menerbitkan cerpen dan puisi atas dasar kedua rubrik tersebut lebih pendek secara kuantitas teks namun paling besar antusiasme dalam kepenulisannya.

    Penulis-penulis terpilih dalam Buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul lahir di antara tahun 1957 – 1998, yang artinya usia Kontributor Kibul berkisar antara 20 hingga 61 tahun. Hal lain yang tidak perlu dibahas dalam tulisan ini adalah tidak ada hubungannya dengan penulis muda, mengingat usia 61 tahun sulit untuk dikatakan demikian. Maka layaklah media semacam Kibul dikatakan merangkul karya-karya sastra yang tidak bertebaran di media-media cetak, memberikan peluang bagi penulis-penulis baru untuk berekspresi sebebas-bebasnya, menurut Nova.

    Senada dengan Nova, Teguh S. Pinang menyadari bahwa media yang tidak memberlakukan aturan-aturan ketat, atau membebaskan penulis untuk berekspresi, memberikan estetika yang khas pada setiap konten tulisan. Ilmu-ilmu sastra yang mempelajari estetika sastra takkan mampu melampaui kreativitas dan imajinasi penulis dalam membuat karya sastra.

    Dalam proses seleksi cerpen dan puisi Kibul 2017 sebelum mencetak buku antologi pertamanya, redaksi menyerahkan sepenuhnya pada hasil polling. Dalam hal ini, selera pembaca sangat memengaruhi nilai sastra yang akan diterbitkan. Meski sebelumnya, redaksi Kibul melakukan proses kuratorial pada naskah yang masuk melalui surel redaksi sebelum ditayangkan di situs webnya.

    Masyarakat Indonesia mungkin masih terjangkiti stigma sastra adiluhung/kanon dan sastra populer dalam menilai sebuah sastra. Meskipun tak jarang pemahaman mereka hanya sebatas jumlah eksemplar, popularitas, serta tren-tren yang mengekorinya. Intitusi atau lembaga-lembaga kesusastraan yang berkepentingan memiliki kuasa untuk menyeleksi karya-karya yang tidak sejalan dengan ideologinya. Meski proses penulisan dan penyebaran yang demikian sudah lampau, sebelum penerbitan modern ala Belanda hadir di Indonesia, cara pandang masyarakat masih dihantui ketakutan berdosa jika membaca sastra populer.

    Ada sedikit kekhawatiran Teguh selaku senior dalam sastra dalam jaringan, tidak hanya kepada Kibul tetapi juga kepada pegiat sastra cyber. Bahwa, sama halnya dengan sebuah unit kerja, Kibul harus memiliki manajerial yang kuat untuk bertahan dalam arus teknologi global. Akan ada wujud-wujud lain serupa Kibul yang mungkin akan lebih mutakhir dan bersponsor. Ini mengingatkan pada fenomena penerbitan indie dalam buku Declare! karya Adhe, bahwa banyak penerbit yang collapse karena terlampau idealis, dan penerbit yang makin besar namun hilang identitasnya karena terlalu komersil. Begitupun media-media yang hadir karena arus pop, Kibul harus menyiapkan dirinya dengan kekuatan manajemen yang tangguh. Menurut Teguh, berkomunitas adalah salah satu sarana untuk bersiap dengan segala halangan dan rintangan tersebut.

    Buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul yang pertama diberi judul Kisah Perempuan yang Membalurkan Kotoran Sapi pada Kemaluannya Seumur Hidup. Judul tersebut diambil karena cerpen tersebut meraih polling terbanyak di antara cerpen lainnya. Penulisnya merupakan asisten apoteker di salah satu apotek di Yogyakarta, yang sekilas mungkin tak mempelajari mengenai estetika sastra. Titis Anggalih selaku penulis cerpen tersebut mengakui belum pernah menulis sastra sebelum 2017. Dirinya belakangan aktif di komunitas Omah Aksara, yang aktif mempertemukan penulis-penulis berlatar belakang beragam profesi. Meski mengaku belum pernah menulis sastra, habitus Titis telah memahatnya menjadi sosok yang mengenal estetika sastra. Sejak dirinya kecil, sebelum tidur keluarganya telah mengajarkannya untuk mendengarkan kisah-kisah pengantar tidur, dan Titis menjadi member rental-rental buku yang 15 tahun yang lalu masih berjaya.

    Kini setelah hilangnya jejak-jejak kios rental buku, Titis memanfaatkan internet untuk belajar, membaca, dan memahami dunia melalui literatur-literatur yang mudah diakses. Titis menyarankan kepada para pengguna internet untuk tidak hanya memanfaatkan media-media dalam jaringan untuk berekspresi, namun juga menggunakan sebaik-baiknya untuk belajar dan membaca fenomena-fenomena dunia dengan kemudahaan saat ini.

    Cerpen Kisah Perempuan yang Membalurkan Kotoran Sapi pada Kemaluannya Seumur Hidup merupakan hasil Titis membaca informasi di media sosial mengenai perempuan yang membalurkan kotoran sapi pada kemaluannya untuk mencegah pelecehan seksual di Afrika. Dia kemudian menuliskan perasaannya atas fenomena tersebut, diramu dengan imajinasinya, lalu disampaikan dalam sebuah cerpen dan banyak pembaca yang ternyata mengapresiasi tulisan Titis.

    Titis adalah satu di antara banyak penulis muda yang memahami, meski tidak menyadari, estetika sastra yang menurut Teguh S. Pinang hadir dari karakter pribadinya. Dan Titis berani menulis dan membagikannya setelah dirinya aktif berkomunitas. Komunitas sendiri melahirkan nilai-nilai kompetisi, inspirasi, serta motivasi bagi anggota-anggotanya. Meski bukan hal yang dianggap besar, buku Antologi Cerpen dan Puisi Kibul 2017, telah menjadi hal yang monumental bagi para penulisnya. Seperti halnya Pram berkata, orang boleh pandai setinggi langit tapi selama dia tidak menulis dia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah. (*)

    *Foto dokumentasi Studio Pertunjukan Sastra

    This slideshow requires JavaScript.

  • BULAN BAHASA UGM 2019: Setapak Langkah, Secarik Makna

    author = Redaksi Kibul

    Bahasa Indonesia sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia menghadapi banyak tantangan saat ini. Di tengah meluasnya bahasa asing, posisi bahasa Indonesia tidak jarang dinomorduakan. Untuk melembagakan kembali bahasa Indonesia, Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) UGM menyelenggarakan acara Bulan Bahasa UGM 2019. Acara ini diselenggarakan daam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Pada tahun ini, tema yang diangkat yaitu “Setapak Langkah, Secarik Makna”. Tema ini diangkat untuk menunjukkan bahwa selalu ada makna dalam setiap langkah kehidupan. Dengan memaknainya, manusia dapat berkarya dan berkreasi. 

    Rangkaian Bulan Bahasa terdiri atas lomba, pengajaran, pelatihan kepenulisan, penyuluhan Desa Singosaren, dan diakhiri dengan pementasan Teater Kami Bercerita sekaligus menutup rangkaian Bulan Bahasa 2019. Lomba yang diadakan terdiri atas cipta cerpen, cipta puisi, penulisan esai, dan penulisan feature.  Dengan diadakannya keempat lomba tersebut, diharapkan dapat menjadi wadah bagi masyarakat Indonesia untuk berkarya. Selain itu, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Bulan Bahasa mengadakan pengajaran dan pelatihan kepenulisan. Pengajaran saat ini dilaksanakan di sekolah nonformal dan desa binaan, sedangkan pelatihan kepenulisan telah dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober 2019. Pelatihan kepenulisan menghadirkan Trinity, penulis The Naked Traveller sebagai pembicaranya. Rangkaian terakhir Bulan Bahasa UGM 2019 adalah Penutupan Bulan Bahasa 2019. Selain menampilkan Teater Kami Bercerita, pengumuman pemenang lomba juga akan dilaksanakan pada Penutupan Bulan Bahasa 2019. Penutupan Bulan Bahasa UGM 2019 akan dilaksanakan pada tanggal 11 November 2019 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Sasaran peserta dari seluruh rangkaian acara Bulan Bahasa UGM 2019 adalah masyarakat umum dari berbagai kalangan usia, terutama bagi masyarakat yang tertarik dengan dunia sastra dan bahasa. Secara garis besar, rangkaian acara Bulan Bahasa 2019 bertujuan untuk dapat meningkatkan rasa bangga masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia serta mengajak masyarakat luas untuk senantiasa memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai media untuk berkreasi.