Blog

  • Merawat Kewarasan di Sekolah Sastra Jember

    author = About Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    View all posts by Redaksi Kibul →

    Sabtu-Minggu, 11-12 Maret 2017, kemarin Dewan Kesenian Jember punya gawe bertajuk Sekolah Sastra Jember. Acara dengan konsep pendidikan dan pelatihan (diklat) yang diadakan di Dinas Pendidikan Jember ini bermaksud untuk memberikan ragam wacana tentang sastra. Pada hari pertama, ada kelas puisi, cerpen, novel dan kritik sastra. Kelas puisi dengan pengampu Gatot Sukarman (penyair senior Jember) mengarahkan pemahaman puisi sebagai praktik petunjukan dan bahasa refleksi kejiwaan. Kelas cerpen dengan pengampu Gunawan (pegiat literasi Jember) berlangsung dengan agenda bagaimana menyusun ide sampai menjadi suatu narasi pendek Kelas novel dengan pengampu Isnadi (penulis novel Mata Ibu) menjelaskan novel sebagai dunia kemungkinan. Kelas kritik sastra dengan pengampu Dr. Ikwan Setiawan mengarahkan analisis sastra pada sudut pandang kritis. Selain sesi kelas, juga ada sesi diskusi sastra yang membahas kondisi sastra yang kontekstual. Diskusi sastra dipantik oleh Hat Pujiati, M.A., dengan tema “Membaca Sastra di Wilayah Tapal Kuda”

     

     

    Acara kemudian berlanjut pada sesi pentas malam sastra, yang menampilkan musikalisasi puisi, musik puisi, deklamasi, pembacaan puisi pamflet dan dramatisasi cerpen. Para penampil berasal dari kalangan pelajar, mahasiswa dan umum, serta peserta yang mempraktikkan materi. Setelah pentas selesai dilanjut apresiasi dan diskusi.

     

    Di hari kedua ada kelas filologi, sastra lisan, gerakan literasi dan sastra anak. Kelas filologi yang diampu oleh Dr. Eko Suwargono mencoba menjelaskan teks-teks klasik Nusantara begenre sastra. Kelas sastra lisan, yang diampu oleh Dr. M. Ilham, mengurai sejarah kebudayaan lisan dalam bentuk sastra berupa cerita rakyat. Kelas gerakan literasi yang diampu oleh Dr. Ir. Suporahardjo (pendiri Yayasan Tanoker Ledokombo) mencoba mengajak untuk membangun gerakan literasi dari desa. Di penghujung acara ada kelas sastra anak, yang diampu oleh Dr. Dina Dyah, yang memberikan wacana tentang fenomena sastra yang disajikan khusus untuk pelajaran anak-anak.

     

    Komposisi kurikulum Sekolah Sastra Jember terdiri dari materi teori, praktik, tekstual dan kontekstual. Dalam hal ini materi masih bersifat pengenalan. Diharapkan akan ada tindak lanjut berikutnya, seperti “materi sastra lisan diharapkan bisa mendorong pendokumentasian sastra lisan di daerah, serta kelas gerakan literasi diharapkan bisa mendorong didirikannya rumah baca atau komunitas literasi” Ujar Yongky selaku Ketua Panitia Sekolah Sastra Jember.

     

    “Acara Sekolah Sastra Jember menjadi penting untuk membuat Jember lebih bisa dilirik dalam peta kesusastraan, khususnya di Jawa Timur. Maka dari itu perlu ada tindak lanjut untuk merawat usaha membangun sastra di daerah” Tutur Gatot Sukarman, selaku penyair sekaligus pengampu kelas puisi.

     

    “Tindak lanjut juga berupa bagaimana respon kita terhadap kondisi masyarakat. Ambil contoh di Jember yang memiliki tingkat buta huruf yang tinggi. Kita coba memberikan hal yang kontekstual, untuk memberikan pemahaman bahwa sastra dan literasi memiliki tanggung jawab moral terhadap persoalan buta huruf”. Tutur Yongky yang juga koordinator bidang sastra Dewan Kesenian Jember.

     

    Menurut Eko Suwargono, selaku Ketua Umum Dewan Kesenian Jember, “sastra bukanlah hal yang remeh, maka dari itu ia menjadi satu bidang penting dalam struktur Dewan Kesenian Jember. Merawat sastra artinya menjaga kewarasan. Membangun sastra artinya membangun masyarakat yang waras. Memperjuangkan sastra berarti berjuang demi peradaban yang sehat dan waras.”

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    https://kibul.in/artikel/sekolah-sastra-jember-2/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/03/feat20170320b.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/03/feat20170320b-150×150.jpgRedaksi KibulArtikelPeristiwaArtikel,Budaya,kibul,Redaksi Kibul,Sastra,Sastra Indonesia,Sekolah Sastra Jember,SeniSabtu-Minggu, 11-12 Maret 2017, kemarin Dewan Kesenian Jember punya gawe bertajuk Sekolah Sastra Jember. Acara dengan konsep pendidikan dan pelatihan (diklat) yang diadakan di Dinas Pendidikan Jember ini bermaksud untuk memberikan ragam wacana tentang sastra. Pada hari pertama, ada kelas puisi, cerpen, novel dan kritik sastra. Kelas puisi dengan…Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Sekolah Kritik Budaya

    author = Redaksi Kibul

    SEKOLAH KRITIK BUDAYA merupakan acara pendidikan dan pelatihan untuk membentuk nalar kritis dalam bidang budaya, sosial dan humaniora.

    Sejatinya, budayadalam bermacam bentuknyabukan sekedar ekspresi ideal sebuah masyarakat. Di dalamnya kita akan menemukan bermacam konstruksi yang berkaitan dengan kelas, ideologi, jender, politik, dan lain-lain. Dengan memahami budaya secara kritis kita akan menemukan ketidaksetaraan, ketimpangan, ketidakberimbangan dan ketidakadilan yang beroperasi secara lembut dan tampak alamiah.

    SEKOLAH KRITIK BUDAYA Angkatan Pertama ini didesain untuk menawarkan beberapa perspektif kritis dalam memandang persoalan budaya di tengah-tengah masyarakat yang bergerak semakin cepat dan dinamis.

    Sekolah Kritik Budaya terdiri dari 2 paket (4 kelas).

     

    Paket 1 terdiri dari

    1. Kelas Gender mempelajari relasi sosial yang terbentuk karena konstruksi gender. Bagaimana budaya patriarki memunculkan perlawanan seperti feminisme. Bagaimana identitas maskulin dan feminis terbentuk dalam masyarakat. Bagaimana perjuangan politik gender kaiannya dengan demokrasi dan HAM.
    2. Psikoanalisis mempelajari sejarah kemunculan bahasa sebagai analisis mental: alam bawah sadar, hasrat dan perkembangan psikis, Dari Sigmund Freud sampai Jacques Lacan. Serta gugatan terhadap psikoanalisis melalui mesin hasrat produktivitas ala Gilles Deleuze.

     

    Paket 2 terdiri dari

    1. Kelas Posmodernisme mempelajari kritik terhadap modernisme, melalui pemikiran poststrukturalisme dan dekonstruksi. Juga mempelajari karya sastra postmodern dalam era kontemporer.
    2. Poskolonialisme.mempelajari kritik terhadap kolonialisme, melalui pemikiran Orientalisme, Subaltern dan hibriditas budaya.

     

    Acara ini akan berlansung tanggal 18-19 Maret 2017, di Aula Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember.

     

    Biaya pendaftaran:
    – 100 ribu setiap paket, terdiri dari 2 kelas (mahasiswa), 150 ribu (umum)
    – 200 ribu 2 paket, terdiri dari 4 kelas (mahasiswa), 300 ribu (umum)

     

    Pembayaran dikirim ke rekening
    BNI 0328967657 (IKWAN SETIAWAN)
    Mandiri 1430011335054 (GHANESYA HARI MURTI)

    Pendaftaran dilakukan melalui WA dengan melampirkan foto bukti pembayaran ke nomor:
    – 0898-0391-028 (Brujessi)
    – 0822-3241-7070 (Nindi)

     

    Informasi :
    0823-1288-8685 (Ikwan Setiawan)
    0852-5818-0521 (Yongky)
    0838-4969-9999 (Ghanesya)

    Facebook    : Sekolah Kritik Budaya

    Instagram    : @matatimoer

    Web        : matatimoer.or.id

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Segera Hadir

    author = Redaksi Kibul.in

    Kibul.in merupakan ruang bagi karya-karya yang dapat dianggap berada di luar kebenaran yang jamak, baik dari segi isi maupun bentuknya. Ruang ini diharapkan dipenuhi dengan tulisan-tulisan yang menyuarakan sesuatu yang unik, ganjil, dan seringkali dikesampingkan, tetapi memiliki arti penting dalam kehidupan. Dengan kandungan serupa itu, ruang ini diniatkan menjadi media alternatif bagi suara-suara yang kerap diredam sebelum didengarkan. Suara-suara itu dapat mewujud dalam bentuk fiksi berupa cerpen dan puisi, dan dalam bentuk opini berupa esai, artikel, dan resensi. Selain itu, media ini juga membuka pintu bagi suara dunia dalam bentuk terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan Berkontribusi.

    Redaksi Kibul.in
    Redaksi Kibul.in yang hanya muncul pada saat diperlukan.
  • Sastra (untuk) Anak: Bergembira di Taman Sastra

    author = Sukandar

    Merayakan perjalanan usia Studio Pertunjukan Sastra (SPS) ke-17 dan Bincang-bincang Sastra (BBS) ke-12, SPS menggelar “Hari Bersastra Yogya yang ke-5” dengan mengambil satu topik pembahasan Sastra (untuk) Anak, dengan tajuk “Bergembira di Taman Sastra”. Kegiatan ini digelar dengan sederhana namun kaya makna pada hari Minggu, 29 Oktober 2017 pukul 09.00 sampai 15.00 di Ruang Seminar dan Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta. Dalam kegiatan ini disajikan satu “laboratorium” kecil terkait dengan dunia literasi, sastra, dan anak. Sastra adalah salah satu media dan ruang bagi kehidupan literasi. Karenanya, sastra (untuk) anak diperlukan sebagai sebuah medan ajar sekaligus upaya membangun tradisi literasi. Sastra mengajarkan bagaimana sebuah peristiwa, pengalaman, benda, dan banyak hal lain dicermati, disimak untuk digenggam sebagai sebuah makna. Dan sastra (untuk) anak, mencoba meletakkan kembali dasar-dasar literasi lewat hal-hal sederhana: tentang rambut yang terus tumbuh di kepala, cacing yang menggeliat-geliat ketika sebagian tubuhnya hilang, juga tentang rumput atau pohon yang tumbuh di halaman rumah.

    Anak-anak diajak untuk kembali mendekat dan mencatat: mengapa, siapa, dan bagaimana rambut, si cacing, rumput, dan pohon itu? Bersama membuka kamus-kamus, menyerap arti denotasi/umumnya yang hari ini seperti diabaikan. Semangat itu menjadi titik tolak dari kegiatan ini. “Iqra”, membaca kembali segenap tanda, peristiwa yang terjadi baik di dalam maupun di luar diri manusia. Khususnya bagi dunia anak, mengajak mereka untuk menyerap segenap peristiwa kehidupan, mengumpulkan sebanyak-banyaknya arti denotasi sebagai bekal kelak di tumbuh, hidup di tengah zaman yang terus berubah.

    Orang bijak mengatakan, “sastra adalah cermin kehidupan”. Dengan demikan sastra (untuk) anak merupakan cara untuk terus-menerus mengenalkan kepada mereka sekian proses dan peristiwa kehidupan. Karena kelak, membaca pohon tidak saja membaca makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang dengan proses fotosintesa di daun-daun, namun juga mencatat semut-semut berbaris rapi di dahan dan batang, kupu-kupu terbang di atas bunga-bunga, burung-burung yang membuat sarang, juga tentang khasiat daun, akar, buah juga mungkin kulit pohonnya. Lewat pohon ternyata bisa hadir pelajaran biologi, botani, ekologi, dan banyak lainnya. Visi sederhana inilah yang kami usung dalam gelaran kegiatan “Hari Bersastra Studio Pertunjukan Sastra ke-5”. Dengan tajuk “Bergembira di Taman Sastra” segenap pelaku, pemerhati, dan tentunya anak-anak diajak untuk bergemberia dalam “kadarnya” masing-masing. Mengajak semua untuk kembali menapak pada pengalaman keseharian, peristiwa terdekat, untuk belajar tentang sastra lewat membaca kehidupan. Sebab, sekali lagi kata orang bijak, “sastra adalah cermin kehidupan”.

    Bentuk kegiatan yang kemudian diwujudkan adalah rangkaian workshop/pelatihan, Sarasehan, dan Pertunjukan sastra untuk anak. Workshop menghadirkan satu pertunjukan yang dikhususkan untuk ditonton, disimak, dimatke, oleh anak-anak peserta pelatihan. Menyajikan pergelaran Wayang Kartun dengan dalang Bagong Soebardjo yang mengangkat cerita Timun Mas. Anak-anak benar-benar diberi keleluasaan untuk menyaksikan sebuah pertunjukan tanpa ‘campur tangan’ orang tua/pendamping. Dari sana, mereka diminta untuk menuliskan apa yang telah mereka temukan dalam bentuk tulisan tangan. Respon inilah yang nantinya menjadi salah satu bahan sarasehan sekaligus pengenalan potensi anak-anak terkait proses bersastra. Metode ini  mengajak si anak untuk memikirkan apa yang mereka tuliskan dari hasil melihat, ngematke.

    Anak-anak yang dilibatkan dalam pelatihan “diseleksi” awal oleh para pendamping di masing-masing komunitas/sekolah/sanggar. Usia 9-13 tahun menjadi pilihan karena mereka dianggap sudah ‘selesai’ dengan kemampuan teknis membaca dan menulis. Mereka bersiap menuju proses literasi dan bersastra, yakni pembacaan secara terus menerus sehingga lahir daya pikir, kemampuan analisis, kritis, yang pada akhirnya lahir buah-buah yang  bisa bernama puisi, cerpen, esai dan bentuk karya lainnya. Tentu prosesnya sangatlah panjang dan tidak instan. Tidak bisa dalam sehari dua hari  pelatihan saja, namun sepanjang hayat.

    Selanjutnya adalah Sarasehan. Forum ini menghadirkan para pihak yang punya perhatian dalam dunia sastra dan anak. Menghadirkan Iman Budhi Santosa, seorang penyair/sastrawan, Effy Widjono Putro (pengasuh rubrik “Anak” koran Kedaulatan Rakyat), Kak Acep Yonni, seorang pendongeng dan juga guru, Yona Primadesi (orang tua dari penulis cilik), serta Ade Yulia Nurdiana (penulis cerita anak). Selain itu akan ada pendampingan edukatif oleh penggiat sastra dan literasi anak. Tulisan-tulisan dari para pemantik diskusi akan diperdalam bersama para peserta. Peserta yang melibatkan komunitas dan kantong literasi anak di Yogyakarta, serta peserta umum yang berkenan terlibat dalam “urun rembug” bersama tentang sastra (untuk) anak. Lewat proses ini dicatat bagaimana pikiran, ide serta tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh para pihak untuk ditata menjadi referensi kecil tentang sastra (untuk) anak. Hasilnya akan disatukan dalam bentuk buku yang akan diusahakan penerbitannya oleh SPS.

    Di akhir kegiatan akan dihadirkan beberapa pertunjukan sastra. Mendongeng oleh Kak Arif Rahmanto, drama anak disajikan oleh Komunitas Ajar Sastra Kulon Progo yang dimotori Muhammad Shodiq, dan baca puisi dari para penulis cilik seperti Abinaya Ghina Jamela, Niha Khoirunnisa, dan Mahanani Nismara Bumi. Arena ini dimaksudkan untuk memberikan tontonan, hiburan yang diperuntukkan bagi anak-anak, orang tua, komunitas. Sajian ini barangkali bisa menjadi referensi bagaimana sastra (untuk) anak dipanggungkan. Karena diperlukan respon kreatif terhadap karya-karya sastra (teks) dalam beragam bentuk sebagai bagian dari apresiasi dan publikasi. last but not least, akhir tapi bukan yang terakhir, seluruh rangkaian kegiatan ini, selain sebagai medan “Iqra” dalam pengembangan sastra untuk anak, juga sebagai sarana tegur sapa antar komunitas. Ruang bersama untuk memperkuat ‘atmosfer’ gerakan literasi anak di Yogya khususnya yang sudah ramai berkembang. Di kegiatan ini, komunitas diberikan ruang untuk mengabarkan segenap kegiatan dan kiprah mereka. Lewat stand sederhana dan ruang bersama untuk bertegur sapa, bertukar alamat dan bersahut senyum.

    Demikianlah, “Bergembira di Taman Sastra” versi SPS ini didukung oleh banyak pihak: Komunitas-komunitas, Taman Budaya Yogyakarta, Dinas Kebudayaan DIY, serta para narasumber yang telah meluangkan tenaga dan pikiran untuk berkenan manjing ajur-ajer di kegiatan yang sangat prasojo ini. Inilah salah satu cara merayakan perjalanan usia SPS. Terima kasih, semoga bermakna, jabat erat dari kami, SPS-Man yang terus belajar hadir dan mengalir, serta ready on stage, mengawal geliat sastra Yogya.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Sastra Syawal: Kembali ke Kampung Halaman

    author = Redaksi Kibul

    Ajar Sastra Kulon Progo bekerja sama dengan Studio Pertunjukan Sastra menggelar acara Sastra Syawal #1 “Kembali ke Kampung Halaman: Peluncuran dan Diskusi Buku Kumpulan Puisi karya Latief S. Nugraha Menoreh Rumah Terpendam”. Dalam acara ini hadir sebagai pembicara ialah Iman Budhi Santosa (Sastrawan) dan Ahmad Athoillah (Sejarawan Kulon Progo). Acara ini akan dipandu oleh Muhammad Shodiq Sudarti (Penggiat Sastra Kulon Progo). Selain itu akan ada pembacaan puisi oleh Latief S. Nugraha. Acara ini akan digelar pada hari Minggu, 16 Juli 2017 pukul 10.00-13.00 bertempat di Perpustakaan Daerah Kulon Progo, Jalan Sugiman, Wates, Kulon Progo. Tema “Kembali ke Kampung Halaman” sengaja dipilih karena acara ini sekaligus menjadi ajang syawalan dan silaturahmi sastrawan dan pencinta sastra di Kulon Progo khususnya dan Daerah Istimewa Yogyakarta umumnya. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

     

    “Latief S. Nugraha merupakan penyair asal Kulon Progo, tepatnya dari Kecamatan Samigaluh, yang telah banyak berkecimpung di arena sastra Yogyakarta. Puisi-puisinya acap kali terbit di media massa. Selain menulis puisi ia juga menulis esai dan cerpen. Ia juga dikenal sebagai penggiat sastra di Yogyakarta. Tahun 2016 lalu Latief menerbitkan buku kumpulan puisi Menoreh Rumah Terpendam. Kumpulan puisi tersebut sebagian besar isinya adalah puisi-puisi tentang suasana dan tempat-tempat di Kulon Progo. Sejauh ini belum banyak penyair di Yogyakarta yang mencoba mengolah Kulon Progo menjadi puisi. Terlebih lagi, Latief adalah penyair asli Kulon Progo. Saya kira kumpulan puisi Menoreh Rumah Terpendam menjadi penting nilainya melihat situasi kondisi Kulon Progo Saat ini yang menuju ke arah perubahan dan perkembangan,” ujar Muhammad Shodiq Sudarti, koordinator acara.

     

    Bagi sejarah sastra Yogya dan sejarah sastra Kulon Progo, utamanya, buku karya alumnus Pascasarjana Ilmu Sastra UGM itu tentu saja penting nilainya. Dengan puisi Latief kembali menghadirkan sejarah yang telah terpendam di kedalaman masa silam. Judul buku Menoreh Rumah Terpendam karya Latief itu menurut Shodiq, merepresentasikan suatu upaya untuk menoreh rumah-rumah sejarah yang terpendam di bukit Menoreh.

     

    “Kulon Progo berada pada posisi ambang. Sebentar lagi sebuah kota besar akan tumbuh di Kulon Progo. Sementara itu, apakah masyarakat Kulon Progo sudah disiapkan kondisi sosial budayanya untuk memasuki dunia baru itu? Agaknya itulah yang dipertanyakan oleh Latief. Sejarah Kulon Progo sebagai sebuah rumah bersama yang selama ini terpendam dan tak juga terkuak bukan tidak mungkin dengan adanya pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA), jalur Bedah Menoreh, kota satelit, dan pintu gerbang Borobudur, berkemungkinan akan memberi dampak pada tercerabutnya nilai-nilai kebudayaan dan karakter masyarakat Kulon Progo sebagai pemilik sah bumi Menoreh. Oleh karenanya kumpulan puisi tersebut hadir setidaknya dapat menjadi sebuah pintu kecil untuk memasuki sejarah yang telah terpendam itu,” ujar Shodiq.

     

    “Acara ini semoga dapat menjadi ruang masyarakat sastra dan masyarakat umum untuk mengkaji ulang masa lalu, masa kini, dan masa depan Kulon Progo. Untuk itu kami menghadirkan sastrawan kawakan Yogyakarta, Iman Budhi Santosa dan sejarawan Kulon Progo, Ahmad Athoillah. Diharapkan akan ada titik temu antara sejarah sastra dan sejarah sejarah di Kulon Progo,” pungkas Shodiq.

     

    Tertanda,

    Muhammad Shodiq

    Koordinator Acara

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.
  • Sal Murgiyanto: Ketika Cahaya Merah (Tetap) Berpijar [Bagian Kedua – Habis]

    author = About Michael H.B. Raditya
    Lulus dari Antropologi Budaya, serta Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, UGM. Berkerja sebagai editor Jurnal Kajian Seni – UGM. Turut aktif di pelbagai komunitas, seperti: REPERTOAR (co-founder), LARAS–Studies of Music in Society, dan SENREPITA. Meneliti dan menulis untuk ranah seni pertunjukan, kritik, musik, tari, dan budaya di pelbagai media.

    View all posts by Michael H.B. Raditya →

    Catatan Redaksi:

    Artikel ini cukup panjang, demi kenyamanan pembaca kami membagi artikel ini menjadi dua bagian.

    Ini adalah bagian yang kedua. Bagian pertama bisa disimak di Sal Murgiyanto:  Ketika Cahaya Merah (Tetap) Berpijar [Bagian Pertama]

     

    Sekembalinya ke tanah air pada Desember 1976, Pak Sal turut membantu Sardono dalam beberapa karyanya. Selain itu, ia juga langsung diminta menangani dua pekerjaan sekaligus: mengajar di Departemen Tari LPKJ dan menjadi anggota komite tari di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). LPKJ dan DKJ kala itu bekerjasama dalam membangun kultur seni Indonesia di masa depan. Konstelasi yang dihadapi pun jauh berbeda dengan era sekarang, sebab pembangunan seni kala itu harus dilakukan pada tiga tahap: struktur, infrastruktur, dan suprastruktur. Salah satu ketua DKJ di kala itu, Asrul Sani, mengatakan kepada Pak Sal bahwa:

    “Nampaknya bersama Komite Tari, Anda (Pak Sal) harus bekerja keras menyusun program-program tari DKJ, karena sekarang ini kalau saya saksikan dari acara-acara tari di televisi dan membaca tulisan tari di koran-koran, keduanya tidak membantu pemirsa dan pembaca meningkatkan apresiasi tari mereka.1)Raditya, Michael H.B. dan Anastasia Melati. 2016. Jalan Tari Pak Sal. Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama.

    Bermula dari hal itulah, Pak Sal dan kolega membuat dua hal penting. Hal penting pertama adalah ia membangun tari lewat penari, yakni dengan menjadi penyelenggara Festival Penata Tari Muda (sempat berubah nama menjadi Pekan Penata Tari Muda ketika sudah berjalan) di tahun 1978 hingga 1984 yang berkonsentrasi mendidik penari generasi ke depan. Konsistensi Festival Penata Tari Muda membuat Indonesia turut dilirik masyarakat tari dunia, misalnya dengan kedatangan Charles dan Sephanie Reinhart— dua sosok yang memimpin ADF (American Dance Festival)— ke Indonesia untuk bertemu sosok penyelenggara Festival Penata Tari Muda tersebut. Setahun setelahnya IKJ dan Pak Sal diundang untuk terlibat ADF, baik dalam karya dan kepenulisan. Semenjak itu Indonesia rutin mengirim penari ke ADF.

    Pengalaman panjang keikutsertaan ADF lantas menginspirasi Pak Sal dan kolega IKJ, seperti Sardono W. Kusumo dan Farida Oetoyo, untuk membuat Indonesian Dance Festival di tahun 1992, bertepatan dengan sepulangnya Pak Sal menamatkan studi doktoral di New York University (NYU) untuk bidang performance studies tahun 1985 hingga1991. Ketika itu IDF turut diperbantukan oleh tiga perempuan, a.l: Melina Surja Dewi, Nungki Kusumastuti, dan Maria Darmaningsih, yang kini memimpin IDF sejak tahun 2004 hingga sekarang. Beberapa nama penari penting Indonesia kini, seperti: Eko Supriyanto, Jecko Siompo, Mugiyono Kasido, Martinus Miroto, Ery Mefri, dan Hartati, turut terbentuk karena festival tersebut.

    Hal penting kedua yang dibuat Pak Sal dan koleganya adalah membangun kultur tari lewat tulisan yang ditandai dengan pembuatan seminar kritik pertama di Indonesia. Seminar tersebut dibuat paska Pak Sal bergabung dengan Komite Tari DKJ. Akan tetapi, seminar kritik kemudian dibuat atas kerjasama dengan LPKJ ketika Pekan Penata Tari Muda dibuat dalam bingkai DKJ. Dari seminar itulah Pak Sal mulai menulis kritik tari di pelbagai media dengan rajin. Dari ketekunannya menulis kritik, Pak Sal telah menghasilkan tiga buku, di antaranya: Ketika Cahaya Merah Memudar (1992)  yang berisikan tulisan kritik tarinya; Kritik Tari—Bekal dan Kemampuan Dasar (2002) yang berisikan materi pembelajaran penari yang diperjelas dengan tulisan kritik pertunjukan; serta Tradisi dan Inovasi (2004) yang mengulas tradisi yang membutuhkan inovasi.

    Sepulangnya Pak Sal dari program doktoral, Pak Sal diminta untuk memimpin Masyarakat Musikologi Indonesia. Namun karena bidang yang berbeda, Pak Sal mengusulkan untuk memperluas jangkauannya menjadi Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) pada tahun 1992. Pak Sal memimpin MSPI sejak tahun 1993 hingga 1997, dengan beberapa program, seperti: Festival dan Temu Ilmiah (FESTIM) dan penerbitan buku. Hal yang cukup menarik, pada tahun 1993 Pak Sal mulai diminta mengajar di Taipei University National of the Arts (TNUA) hingga tahun 2011. Ia kemudian mengajar dan tinggal selama enam bulan plus satu hari di Taiwan, sedangkan setengah tahun sisanya ia habiskan di tanah air. Keberangkatan Pak Sal mengajar di TNUA, membuat IDF dan MSPI harus dipimpin secara jarak jauh selama enam bulan di setiap tahunnya. Namun yang tidak kalah penting, dengan pengelolaan yang cakap—walau tentunya terdapat kompleksitas di dalamnya—IDF dan MSPI tetap dapat terselenggara secara rutin tanpa ada gangguan yang berarti. Kembali pada soal konsentrasinya pada bidang akademis, dalam hal ini Pak Sal membangun iklim tari disertai dengan ilmu pengetahuan yang terus ia produksi, baik dalam bentuk tulisan kritik yang dilakukan secara personal, ataupun melalui penerbitan buku, khususnya tema seni yang dikelola secara kolektif di MSPI.

    Jika kita bicara kritik, sebenarnya Pak Sal bukanlah orang pertama yang menuliskan kritik seni. Sebelumnya sudah ada, sebut saja Edi Sedyawati, penari cum arkeolog yang menuliskan kritik terlebih dahulu; selain itu, ada pula penulis lain seperti, F.X. Widaryanto dan beberapa teman wartawan, seperti Efix Mulyadi, Ardus M. Sawega, dsbnya. Namun yang membedakan Pak Sal dengan sosok-sosok sebelumnya adalah, pertama, konsistensi dan ketekunannya dalam menulis kritik tari, kedua, modal intelektual atas pemahaman tari yang ia gunakan dalam mengkritisi dan memberikan penilaian; ketiga, kesantunannya dalam menuliskan kritik yang tidak jarang ia tambahkan rujukan penyelesaian.

    Bagi Pak Sal, terdapat dua hal yang menjadi dasar penulisan kritik tari, pertama, kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan—termasuk nilai keindahan—, kedua, kemampuan berpikir kritis—yang dilandasi oleh penggunaan “akal sehat” yang sekiranya tak henti ia perjuangkan di dalam perannya sebagai sarjana, peneliti, dan terutama pendidik2)Raditya, Michael H.B. dan Anastasia Melati. 2016. Jalan Tari Pak Sal. Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama..

    Lantas bagaimana keberlanjutan Pak Sal dengan tulisan kritiknya? Sejujurnya dalam perbicangan yang saya lakukan, kepergian Pak Sal ke Taiwan membuat Pak Sal lebih rutin menuliskan artikel ilmiah dibandingkan kritik. Artikel-artikel ilmiah tersebut selanjutnya dikumpulkan oleh Dede Pramayoza dan kemudian dikemasnya menjadi buku Pertunjukan Budaya dan Akal Sehat (2015). Akan tetapi tidak terlalu rutin bukan berarti tidak sama sekali, beberapa tulisan kritik terbarunya turut diterbitkan dalam buku Kritik Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan (2016), juga dengan bantuan Dede Pramayoza sebagai editor.

    Setelah ia memutuskan untuk purna tugas dari TNUA pada tahun 2011 dan memutuskan kembali ke Indonesia. Selanjutnya bukan Jakarta atau Surakarta yang ia pilih, melainkan Yogyakarta yang ia tetapkan untuk menghabiskan waktu di hari tuanya. Namun apa mau dikata, tahun 2013 Istrinya jatuh sakit. Pak Sal dan keluarga harus merelakan kepergian sang Istri pada Maret 2014. Sebagai sebuah persembahan terakhir untuk sang pujaan hati, dengan bantuan dari Ibu Siti Sutiyah (K.R.T. Dirjo Sasminta Murti) pada koreografi dan Pak Sunardi SMKI pada tata musik, teks sepanjang empat bait hasil dari perasaan terdalam Pak Sal ketika menunggu alm. Endang Nrangwesti di rumah sakit, dapat dialihwahanakan menjadi sebuah pertunjukan tari—atau lebih tepatnya ritual—bertajuk Wiwoho Girisapto, sebuah perasaan terdalam untuk mengantarkan sang Istri pergi menghadap Bapa.

    Perasaan terpukul dan kehilangan membuat Pak Sal mempertanyakan apa tujuan kehidupannya. Ketika orang yang ia cintai pergi meninggalkanya, lantas dengan apa ia berteguh. Dalam perenungan yang panjang, Pak Sal akhirnya memutuskan untuk kembali jatuh pada apa yang ia cintai sebelum bertemu sang Istri, yakni tari. Pak Sal kembali merunut tari atas upaya-upaya yang telah ia lakukan, dan bagaimana perkembangannya kini setelah ia harus membagi konsentrasinya di Indonesia dan Taiwan ketika itu. Sebuah kenyataan harus ia terima. Diskusi tari dan penulisan kritik tari semakin sedikit jumlahnya. Alhasil Pak Sal memutuskan untuk membuat sebuah kelompok diskusi bersama Anastasi Melati. Kelompok tersebut menggelar diskusi bulanan dengan maksud turut mengisi waktu Pak Sal untuk membagikan pengetahuan dan kemampuan yang ia miliki.

    Kelompok tersebut kemudian semakin terasa dibutuhkan dan mempunyai dampak besar bagi lanskap tari dan penari muda di Yogyakarta maupun Surakarta. Berkembangnya kelompok tersebut lantas membuat Pak Sal perlu memberikan nama tegas. Sebuah nama yakni Senrepita ia pilih, akronim dari Sentonorejo Pitu A atau Seni Pertunjukan Pilihan Kita. Komunitas tersebut kemudian tidak hanya bergerak di bidang diskusi, melainkan turut berfokus pada pendidikan penulisan. Dengan bantuan beberapa muridnya ketika mengajar dulu seperti Juju Masunah yang pernah menjabat di salah satu bidang pada Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (kini terpisah menjadi Kementrian Pariwisata dengan Badan Ekonomi Kreatif) di tahun 2014, Senrepita mengadakan sebuah program bertajuk Coaching Clinic. Program tersebut berhasil dihelat sebanyak tiga kali di Jakarta, Cirebon, dan Surakarta (2014). Menanggap baik program tersebut, beberapa orang mengajak Senrepita terlibat dalam ranah kepenulisan pada pertunjukan-pertunjukan lain. Di Yogyakarta, Bambang Paningron mengajak Senrepita untuk mengadakan acara serupa pada acara Jogjakarta International Performing Art (JIPA) di tahun 2014. Tidak hanya itu, Surabaya turut meminta CCMP dihelat untuk mendidik penulis kritik di kota tersebut. Dan yang terakhir di tahun 2016, IDF mengajak Senrepita untuk membuat CCMP dengan tajuk yang berbeda berbarengan dengan kegiatan dua tahunan festival tarinya.

    Alih-alih berkonsentrasi pada diskusi tari per dua bulan dan CCMP, Senrepita turut berkonsentrasi pada bidang penerbitan. Dengan bantuan Michael HB Raditya, Dede Pramayoza, dan beberapa lainnya, beberapa buku atas nama Senrepita telah terbit, a.l: Pertunjukan Budaya dan Akal Sehat (2015); Kritik Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan (2016); Jalan Tari Pak Sal (2016); buku biografi bertajuk Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari (2016); Membaca Jawa yang akan terbit dalam waktu dekat; dan beberapa buku tari, seni, dan budaya yang akan terbit tahun ini.

    Cerita di atas adalah catatan versi lebih sederhana dari kedirian dan prestasi yang Pak Sal torehkan. Sebenarnya masih banyak pencapaian lainnya yang ia dapat baik di lingkup lokal maupun internasional, untuk masing-masing hal, a.l: kepenarian, kependidikan, kepenulisan, kepemimpinan organisasi, kesarjanaan, dan sebagainya, yang di dalam tulisan ini memang sengaja tidak saya hadirkan. Bukan berarti hal lainnya tidak kalah penting, melainkan saya hanya menyarikan beberapa aktivitasnya yang bisa ditautkan untuk membentuk refleksi dari kehidupan Pak Sal. Pun cerita akan Pak Sal di atas tidak saya maksudkan sebagai cerita dengan ending yang menyenangkan, terlebih, menyenangkan itu relatif. Saya pun juga tidak ingin kita para pembaca hanya terpusat atas pencapaian yang telah Pak Sal dapatkan. Namun dari cerita kehidupan di atas, saya lebih ingin menunjukan bahwa seorang individu dapat ikut dan berparsitipasi dalam sebuah konstelasi, dan seorang individu juga dapat membentuk konstelasi.

    Dari apa yang Pak Sal lakukan, entah dengan sadar ataupun sebaliknya, Pak Sal bersama koleganya telah membangun iklim tari Indonesia dengan beberapa hal penting, yakni praktik kesenimanan tari, pendidikan akademis, penulisan kritik, serta penerbitan buku. Alhasil terciptalah sebuah mekanisme pembangunan tari yang tidak terpisah, melainkan berjalan beriringan dan saling terhubung. Sebagaimana yang Pak Sal tegaskan, kehidupan tari tidak dapat memisahkan empat pilar utama, yakni penari/koreografi, penonton, pembuat kegiatan, serta kritkus/akademisi dalam keberlangsungannya. Empat pilar tersebut membentuk iklim tari yang utuh nan menyeluruh.

     

    Aftermath: Menjaga Cahaya Terus Berpijar

    Berdasarkan tulisan di atas, saya yakin kita telah sedikit mengenal sosok Pak Sal. Aken tetapi, perkenankan saya memberikan cara pandang dalam melihat Pak Sal, yakni,  pertama, cara yang paling harfiah adalah melihat torehan prestasi Pak Sal, baik dari segi kepenarian, akademisi, pendidik, hingga penggiat seni. Dengan cara pandang tersebut, Pak Sal akan terasa sangat luar biasa. Dalam hal ini, terkesima tentu boleh saja, namun yang patut dihindari adalah perasaan terbuai. Persoalannya, kita perlu menindaklanjuti cara ini dengan pertanyaan mengenai logika apa yang ia terapkan.

    Kedua, kita bisa melihat konstelasi yang terbangun ketika Pak Sal menjalani fase per fase kehidupannya. Sederhananya, kita bisa sangat mudah mendapatkannya di bagian depan tulisan, di mana konteks pariwisata menjadi latar belakang; konteks pembangunan kesenian di awal keterlibatan Pak Sal di DKJ; konteks atas kurangnya kritikus kini yang berarti minimnya kesadaran tersebut ditanamkan oleh individui ataupun kolektif; dan sebagainya. Lantas, dengan cara ini kita bisa memperhitungkan, apakah seseorang punya kiprah atas konstelasi yang terjadi ketika itu atau sebaliknya. Jika tidak maka juga tidak masalah, tetapi jika terbukti berkiprah, alangkah baiknya tidak berhenti begitu saja, melainkan menindaklanjutinya dengan pertanyaan jika konstelasi ketika itu diterapkan pada keadaan beserta kompleksitasnya kini.

    Alhasil berdasarkan penelusuran pembentukan logika serta penerapan konstelasi pada hal yang terjadi belakangan, maka kita dapat secara jernih melihat kiprah Pak Sal dalam dunia tari. Pak Sal telah menorehkan sebuah logika besar, bahkan ia masih menjalankannya hingga kini dalam lingkup terkecil pun, yakni komunitas. Akhir kata, ibarat sebuah cahaya, Pak Sal telah menyalakan dan terus menjaganya, namun nyala cahaya tersebut ke depan ada di tangan kita, entah kita akan melanjutkan menjaganya agar semakin berpijar, atau membiarkannya memudar dan lenyap begitu saja.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    https://kibul.in/artikel/sal-murgiyanto-ketika-cahaya-merah-tetap-berpijar-2/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/paksal.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/paksal-150×150.jpgMichael H.B. RadityaArtikelSosokBudaya,kibul,Kritik,Michael HB Raditya,Sal Murgiyanto,Seni,Seni Tari,Sosok,TokohCatatan Redaksi:
    Artikel ini cukup panjang, demi kenyamanan pembaca kami membagi artikel ini menjadi dua bagian.
    Ini adalah bagian yang kedua. Bagian pertama bisa disimak di Sal Murgiyanto:  Ketika Cahaya Merah (Tetap) Berpijar
     
    Sekembalinya ke tanah air pada Desember 1976, Pak Sal turut membantu Sardono dalam beberapa karyanya. Selain itu, ia…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

    References   [ + ]

    1, 2. Raditya, Michael H.B. dan Anastasia Melati. 2016. Jalan Tari Pak Sal. Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama.

  • Sal Murgiyanto: Ketika Cahaya Merah (Tetap) Berpijar [Bagian Pertama]

    author = About Michael H.B. Raditya
    Lulus dari Antropologi Budaya, serta Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, UGM. Berkerja sebagai editor Jurnal Kajian Seni – UGM. Turut aktif di pelbagai komunitas, seperti: REPERTOAR (co-founder), LARAS–Studies of Music in Society, dan SENREPITA. Meneliti dan menulis untuk ranah seni pertunjukan, kritik, musik, tari, dan budaya di pelbagai media.

    View all posts by Michael H.B. Raditya →

    Catatan Redaksi:

    Artikel ini cukup panjang, demi kenyamanan pembaca kami membagi artikel ini menjadi dua bagian.

    Ini adalah bagian yang pertama.

     

    Pada tahun 1993, kalimat yang senada dengan tajuk tulisan ini menjadi judul dari sebuah buku. Buku bertajuk Ketika Cahaya Merah Memudar terbit dan cukup menyita perhatian pelbagai kalangan seni ketika itu. Jika dicermati tajuk dari buku tersebut, mungkin anda akan mengiranya sebagai sebuah buku puisi, novel, atau sejenisnya. Memang tak pelak terhindarkan, dengan tajuk buku yang puitis konotasi para pembaca lazimnya akan tertuju pada karya sastra. Namun yang cukup mengejutkan, ternyata buku tersebut berisikan tulisan akan kritik pertunjukan— khususnya tari—, dari Sal Murgiyanto (selanjutnya dipanggil Pak Sal), yang ia kumpulkan dari tulisan kritiknya di beragam media cetak (koran) kala itu.

    Lantas atas dasar apa buku kritik pertunjukan justru menggunakan kalimat puitis sebagai tajuk? Apakah hanya strategi belaka untuk membumikan kritik yang lazimnya berurai kata “pedas” dan menyakitkan? Atau karena penerbitan di kala itu memang didominasi buku sastra? Mengapa pula hal tersebut perlu dirunut, terlebih sebenarnya sah-sah saja penggunaan gaya bahasa tertentu ketika menyampaikan sebuah gagasan. Namun di luar dari itu semua, salah satu alasan mengapa tajuk puitis tersebut saya runut adalah untuk memperlihatkan bahwa bahasa menjadi media yang tidak kalah penting dalam menyampaikan gagasan dan rangkaian gerak dari para seniman tari. Dalam hal ini, Pak Sal telah memberikan sebuah kultur mengurai pertunjukan dengan gaya berbahasa yang puitis serta kritik santun kepada para penampil. Alhasil para pembaca mendapatkan informasi, mengetahui kritik atas pertunjukan, dan dapat menentukan sebuah pertunjukan berkualitas atau sebaliknya.

    Selain gaya penyampaian, konotasi dari tajuk Ketika Cahaya Merah Memudar pun cukup beragam. Mulai dari interpretasi pembaca yang menganggap bahwa tajuk adalah pesan reflektif atas cerminan dari kualitas tari dan kebiasaan kritik pertunjukan di kultur Indonesia, hingga alasan yang hanya merujuk salah satu tajuk dalam buku tersebut, yaitu ketika Pak Sal menceritakan kematian Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senopati dengan simbolisasi cahaya merah yang perlahan memudar. Entah konotasi mana yang pantas menggambarkan,  namun saya melihat  Ketika Cahaya Merah Memudar adalah sebuah sikap dari Pak Sal yang menstimulasi masyarakat akan kesadaran atas kritik pertunjukan dan itu lah yang ditanamkan Pak Sal sedari ia memilih untuk mulai menulis kritik pertunjukan.

    Lantas, apakah logika yang ditanamkan Pak Sal masih subur hingga kini? Atau tidak perlu jauh-jauh, apakah nama Sal Murgiyanto masih dikenal bagi generasi milenial? Berawal dari keisengan, saya menanyakan secara acak mahasiswa tari semester awal dan muda-mudi penggiat seni1)Entah mahasiswa ataupun penggiat seni dengan tahun kelahiran 1994 hingga kini., ternyata nama Pak Sal cukup asing di telinga. Namun itu pun tidak bisa disalahkan, toh memang Pak Sal sudah tidak lagi menulis kritik pertunjukan di media koran, sehingga mereka cenderung lebih mengenal Putu Fajar Arcana dan Aryo Wisanggeni (Kompas), atau Bambang Bujono dan—yang lebih muda—Seno Joko Suyono (Tempo). Jika ada yang mengetahui Pak Sal, lazimnya mereka adalah mahasiswa yang telah menempuh mata kuliah kritik tari atau mereka yang giat membaca literatur seni.

    Kalau begitu, apakah benar kesadaran kritik Pak Sal yang kita ibaratkan sebagai cahaya merah telah benar-benar pudar?, atau bagaimakah cara cahaya merah itu tetap berpijar dan merona?, dan yang terpenting, apakah yang ia tanamkan kepada kita? Bertolak dari hal tersebut, maka dalam tulisan ini saya akan mencoba mengenalkan Pak Sal kepada anda. Dengan tidak mengumbar segudang prestasi yang ia miliki—jelas hal tersebut rentan dengan narsistik—, melainkan dengan merujuk pada konstelasi yang terjadi ketika itu. Alhasil kita paham mengapa sosok Sal Murgiyanto terlahir sebagai seorang yang perlu kita ketahui atas jalan kesenian yang ia yakini.

     

    Mengupas Pak Sal Mencermati Konstelasi

    Sejak keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No II tahun 1960 menghasilkan dua proyek pembangunan dengan salah satu isinya adalah pembangunan pada sektor pariwisata. Ketika itu menteri Djatikoesoemo selaku pimpinan Departemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata berupaya mengembangkan sektor pariwisata di pelbagai tempat. Dengan tur keliling luar negeri sebagai stimulasi mengemas pariwisata Indonesia kelak, terhentilah Pak Menteri di sebuah pertunjukan Ballet Royale du Camboge yang dipentaskan di Angkor Wat2)Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.. Pertunjukan seni di site spesific agaknya sangat berkesan bagi Pak Menteri sehingga dari pengalaman tersebut ia bercita-cita menciptakan pertunjukan serupa. Alhasil, dengan kenyataan bahwa site spesific tidaklah sulit dicari di negara ini, terpilihlah candi Prambanan untuk dieksplorasi dengan sebuah pertunjukan.

    Sepulangnya dari perjalanan keliling menonton pertunjukan seni, Pak Menteri memantapkan keputusannya menciptakan pertunjukan baru dengan merekrut hingga 1200 orang teknisi serta pekerja sekaligus memercayakan proyek tersebut pada Ir. Harsojo. Dalam waktu hanya 3 bulan saja, sebuah infrastruktur pertunjukkan berukuran 50 x 12 meter dengan kapasitas penonton 2000 hingga 3000 kepala telah diselesaikan. Infrastruktur sudah terjalin, maka Pak Djatikoesoemo menyerahkan konten pertunjukan pada Pangeran Suryohamijoyo dan Dr. Soeharso, serta tim yang terdiri dari penata tari dan pelatih tari3)Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.. Alih-alih mempertunjukan wayang wong atau pertunjukan budaya lainnya, proyek ini memformulasikan sebuah pertunjukan baru di Indonesia ketika itu, yakni Sendratari—akronim dari seni drama dan tari. Pertunjukan itu setidaknya melibatkan sekitar 865 orang yang terdiri dari penari, penabuh, gamelan, perancang busana, dll. Layaknya cerita Rorojongrang dan 1000 candinya, dalam waktu 52 hari pentas sendratari Ramayana siap dipertunjukan4)Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia..

    Tidak dapat ditampik bahwa di kala itu proyek tersebut sangat besar. Bayangkan saja 865 kepala yang mempunyai spesifikasi seni tradisi dilibatkan. Sebuah pengelolaan yang apik dalam mengakomodasi pekerja seni dari kota sekitar, seperti: Surakarta, Klaten, dan Yogyakarta, baik dari sanggar, kelompok pemuda, ataupun institusi pendidikan seni.

    Dipertunjukkan secara bergantian, pertunjukan Sendratari Ramayana semakin terkesan variatif dengan sisipan yang dibuat per kelompok dalam mengisi struktur pertunjukan yang telah ditentukan. Dari sekian banyak penari yang terlibat, seorang penari pria berbadan mungil, berambut sebahu, dengan kepenarian cakap turut serta di dalam proyek seni tersebut. Dia adalah Sal Murgiyanto.

    Pak Sal belajar menari bukan karena mega proyek, melainkan ia telah belajar menari sejak kecil. Maklum, darah seni telah mengalir dari kakeknya, R.M. Sastrotenoyo. Sedikit mengulas R.M. Sastrotenoyo, berkat beliau pengadaan busana dan gamelan slendro-pelog wayang wong Sriwedari tersedia. Tidak hanya itu, beliau juga merupakan direktur artistik masa mula Wayang Wong Sriwedari, Surakarta5)Raditya, Michael H.B. dan Anastasia Melati. 2016. Jalan Tari Pak Sal. Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama.. Selain tari, R.M. Sastrotenoyo juga dikenal sebagai seniman batik6)Hardjoprasonto, Soemardjo. 2017. “Darah Seni Mengalir dari Kakeknya”, dalam Sal Murgiyanto: Membaca Jawa, oleh Anastasia Melati (ed.) Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan Komunitas Senrepita.. Oleh karena pengalaman personal Sal kecil dengan seni telah kental, maka belajar seni bukanlah hal mengagetkan bagi Pak Sal, dan kepada tarilah Pak Sal jatuh cinta.

    Alhasil ketika proyek Sendratari Ramayana dilangsungkan, Pak Sal yang tengah menekuni tari turut serta dalam mekanisme pertunjukan tersebut. Kendati berbadan mungil, karir Pak Sal di sendratari Prambanan dapat dibilang menanjak, dimulai dengan memerankan tokoh-tokoh sederhana seperti bala tentara kera dengan honor sebutil telur, hingga dipromosikan menjadi penari utama, seperti: Hanggodo, Hanilo, dan Hanuman dengan honor hingga Rp.150,-7)Walujo, Djoko. 2016. “Pekerja Seni yang Gigih, Peka, dan Penari Sala ‘Betulan’”, pada Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari oleh Michael HB Raditya (ed.). Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan Senrepita. . Pak Sal pun menyadari keadaan tubuhnya yang tidak memungkinkan dirinya mendapat peran penting seperti Rama atau Rahwana, namun dari sinilah ia belajar satu hal, yakni untuk sadar akan keterbatasan dan mengubahnya menjadi keistimewaan. Ketekunannya berbuah penjiwaan yang mendalam ketika ia memerankan figur Hanggodo atau Hanuman.

    Menanjaknya karir Sal muda ketika itu ditandai dengan kesempatan pergi melawat ke India untuk misi kesenian. Sal muda yang menari cakap ketika itu ditanya oleh seorang penggiat seni di India, namun karena keterbatasan kemampuan berbahasa Inggris serta pengetahuan yang belum mendalam akan tari, Sal muda tidak bisa menjawab dengan baik dan sontak pengalaman tersebut membuat sesal dalam dirinya. Dari momen itulah ia berjanji untuk mempelajari bahasa dan memperdalam pengetahuan tari dari literatur akademis. Keseriusannya berbuntut pada pilihan untuk mengambil jurusan tari di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) pada tahun 1968. Di ASTI, Sal mematangkan tubuh kepenarian serta pemahaman literatur tari dengan sungguh-sungguh.

    Tidak hanya membaca, Sal muda juga turut aktif mendatangi pelbagai seminar terkait seni dan budaya. Salah satu seminar yang berkesan bagi Pak Sal adalah seminar yang dihelat di Surakarta tahun 1972 yang mendatangkan Umar Kayam dan Soedjatmoko sebagai pembicara. Sal muda pun terperangah melihat kecerdasan dua pemikir budaya tersebut, dan semenjak itu dua sosok tadi menjadi inspirasinya untuk belajar lebih giat pada ranah akademis. Sal pun menjadi dikenal kerap membaca buku, sebuah aktivitas yang cukup jarang dilirik oleh para penari ketika itu. Alhasil Sal muda yang ketika itu belum lulus sudah menjadi asisten mata kuliah Literatur Tari8)Widaryanto, FX. 2016. “Pernak Pernik bersama Mas Sal Murgiyanto”, pada Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari oleh Michael HB Raditya (ed.). Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan Senrepita.. Di tahun 1975, Pak Sal lulus dari ASTI. Ya memang cukup lama, namun durasi perkuliahan yang memakan waktu ini ternyata dikarenakan dua pencapaiannya di ASTI: pertama, gelar B.A. (setingkat sarjana) yang ia dapatkan pada tahun 1970; dan kedua, gelar S.ST (Seniman Seni Tari) yang ketika itu memakan waktu lima tahun.

    Di tahun kelulusannya, Pak Sal mendapat kesempatan untuk menjadi dosen dari tiga institusi berbeda, yakni ajakan R.M. Soedarsono di ISI Yogyakarta, Gendon Humardani di ISI Surakarta, dan Sardono W. Kusumo dkk di LPKJ (kini IKJ). Pak Sal pun cukup bingung memilih salah satu dari tiga tawaran hebat tersebut, namun Pak Sal akhirnya memilih tempat yang dapat memberikan kesempatan sekolah strata dua. Melalui bantuan Bu Edi Sedyawati dalam mencari beasiswa, Sal muda diberangkatkan untuk melanjutkan studi master di University of Colorado. Hanya memakan waktu satu tahun, dengan beberapa hal yang patut dibayar seperti: summer harus tetap berkuliah, dsbnya, Pak Sal jalani.

     

    Artikel ini berlanjut ke bagian kedua.

    Silakan menuju ke Sal Murgiyanto:  Ketika Cahaya Merah (Tetap) Berpijar [Bagian Kedua]

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    https://kibul.in/artikel/sal-murgiyanto-ketika-cahaya-merah-tetap-berpijar-1/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/paksal.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/paksal-150×150.jpgMichael H.B. RadityaArtikelSosokBudaya,kibul,Kritik,Michael HB Raditya,Sal Murgiyanto,Seni,Seni Tari,Sosok,TokohCatatan Redaksi:
    Artikel ini cukup panjang, demi kenyamanan pembaca kami membagi artikel ini menjadi dua bagian.
    Ini adalah bagian yang pertama.
     
    Pada tahun 1993, kalimat yang senada dengan tajuk tulisan ini menjadi judul dari sebuah buku. Buku bertajuk Ketika Cahaya Merah Memudar terbit dan cukup menyita perhatian pelbagai kalangan seni ketika itu….
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

    References   [ + ]

    1. Entah mahasiswa ataupun penggiat seni dengan tahun kelahiran 1994 hingga kini.
    2, 3, 4. Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
    5. Raditya, Michael H.B. dan Anastasia Melati. 2016. Jalan Tari Pak Sal. Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama.
    6. Hardjoprasonto, Soemardjo. 2017. “Darah Seni Mengalir dari Kakeknya”, dalam Sal Murgiyanto: Membaca Jawa, oleh Anastasia Melati (ed.) Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan Komunitas Senrepita.
    7. Walujo, Djoko. 2016. “Pekerja Seni yang Gigih, Peka, dan Penari Sala ‘Betulan’”, pada Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari oleh Michael HB Raditya (ed.). Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan Senrepita.
    8. Widaryanto, FX. 2016. “Pernak Pernik bersama Mas Sal Murgiyanto”, pada Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari oleh Michael HB Raditya (ed.). Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan Senrepita.

  • Sal Murgiyanto: Ketika Cahaya Merah (Tetap) Berpijar [Bagian Pertama]

    author = Michael H.B. Raditya

    Catatan Redaksi:

    Artikel ini cukup panjang, demi kenyamanan pembaca kami membagi artikel ini menjadi dua bagian.

    Ini adalah bagian yang pertama.

     

    Pada tahun 1993, kalimat yang senada dengan tajuk tulisan ini menjadi judul dari sebuah buku. Buku bertajuk Ketika Cahaya Merah Memudar terbit dan cukup menyita perhatian pelbagai kalangan seni ketika itu. Jika dicermati tajuk dari buku tersebut, mungkin anda akan mengiranya sebagai sebuah buku puisi, novel, atau sejenisnya. Memang tak pelak terhindarkan, dengan tajuk buku yang puitis konotasi para pembaca lazimnya akan tertuju pada karya sastra. Namun yang cukup mengejutkan, ternyata buku tersebut berisikan tulisan akan kritik pertunjukan— khususnya tari—, dari Sal Murgiyanto (selanjutnya dipanggil Pak Sal), yang ia kumpulkan dari tulisan kritiknya di beragam media cetak (koran) kala itu.

    Lantas atas dasar apa buku kritik pertunjukan justru menggunakan kalimat puitis sebagai tajuk? Apakah hanya strategi belaka untuk membumikan kritik yang lazimnya berurai kata “pedas” dan menyakitkan? Atau karena penerbitan di kala itu memang didominasi buku sastra? Mengapa pula hal tersebut perlu dirunut, terlebih sebenarnya sah-sah saja penggunaan gaya bahasa tertentu ketika menyampaikan sebuah gagasan. Namun di luar dari itu semua, salah satu alasan mengapa tajuk puitis tersebut saya runut adalah untuk memperlihatkan bahwa bahasa menjadi media yang tidak kalah penting dalam menyampaikan gagasan dan rangkaian gerak dari para seniman tari. Dalam hal ini, Pak Sal telah memberikan sebuah kultur mengurai pertunjukan dengan gaya berbahasa yang puitis serta kritik santun kepada para penampil. Alhasil para pembaca mendapatkan informasi, mengetahui kritik atas pertunjukan, dan dapat menentukan sebuah pertunjukan berkualitas atau sebaliknya.

    Selain gaya penyampaian, konotasi dari tajuk Ketika Cahaya Merah Memudar pun cukup beragam. Mulai dari interpretasi pembaca yang menganggap bahwa tajuk adalah pesan reflektif atas cerminan dari kualitas tari dan kebiasaan kritik pertunjukan di kultur Indonesia, hingga alasan yang hanya merujuk salah satu tajuk dalam buku tersebut, yaitu ketika Pak Sal menceritakan kematian Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senopati dengan simbolisasi cahaya merah yang perlahan memudar. Entah konotasi mana yang pantas menggambarkan,  namun saya melihat  Ketika Cahaya Merah Memudar adalah sebuah sikap dari Pak Sal yang menstimulasi masyarakat akan kesadaran atas kritik pertunjukan dan itu lah yang ditanamkan Pak Sal sedari ia memilih untuk mulai menulis kritik pertunjukan.

    Lantas, apakah logika yang ditanamkan Pak Sal masih subur hingga kini? Atau tidak perlu jauh-jauh, apakah nama Sal Murgiyanto masih dikenal bagi generasi milenial? Berawal dari keisengan, saya menanyakan secara acak mahasiswa tari semester awal dan muda-mudi penggiat seni[1]Entah mahasiswa ataupun penggiat seni dengan tahun kelahiran 1994 hingga kini., ternyata nama Pak Sal cukup asing di telinga. Namun itu pun tidak bisa disalahkan, toh memang Pak Sal sudah tidak lagi menulis kritik pertunjukan di media koran, sehingga mereka cenderung lebih mengenal Putu Fajar Arcana dan Aryo Wisanggeni (Kompas), atau Bambang Bujono dan—yang lebih muda—Seno Joko Suyono (Tempo). Jika ada yang mengetahui Pak Sal, lazimnya mereka adalah mahasiswa yang telah menempuh mata kuliah kritik tari atau mereka yang giat membaca literatur seni.

    Kalau begitu, apakah benar kesadaran kritik Pak Sal yang kita ibaratkan sebagai cahaya merah telah benar-benar pudar?, atau bagaimakah cara cahaya merah itu tetap berpijar dan merona?, dan yang terpenting, apakah yang ia tanamkan kepada kita? Bertolak dari hal tersebut, maka dalam tulisan ini saya akan mencoba mengenalkan Pak Sal kepada anda. Dengan tidak mengumbar segudang prestasi yang ia miliki—jelas hal tersebut rentan dengan narsistik—, melainkan dengan merujuk pada konstelasi yang terjadi ketika itu. Alhasil kita paham mengapa sosok Sal Murgiyanto terlahir sebagai seorang yang perlu kita ketahui atas jalan kesenian yang ia yakini.

     

    Mengupas Pak Sal Mencermati Konstelasi

    Sejak keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No II tahun 1960 menghasilkan dua proyek pembangunan dengan salah satu isinya adalah pembangunan pada sektor pariwisata. Ketika itu menteri Djatikoesoemo selaku pimpinan Departemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata berupaya mengembangkan sektor pariwisata di pelbagai tempat. Dengan tur keliling luar negeri sebagai stimulasi mengemas pariwisata Indonesia kelak, terhentilah Pak Menteri di sebuah pertunjukan Ballet Royale du Camboge yang dipentaskan di Angkor Wat[2]Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.. Pertunjukan seni di site spesific agaknya sangat berkesan bagi Pak Menteri sehingga dari pengalaman tersebut ia bercita-cita menciptakan pertunjukan serupa. Alhasil, dengan kenyataan bahwa site spesific tidaklah sulit dicari di negara ini, terpilihlah candi Prambanan untuk dieksplorasi dengan sebuah pertunjukan.

    Sepulangnya dari perjalanan keliling menonton pertunjukan seni, Pak Menteri memantapkan keputusannya menciptakan pertunjukan baru dengan merekrut hingga 1200 orang teknisi serta pekerja sekaligus memercayakan proyek tersebut pada Ir. Harsojo. Dalam waktu hanya 3 bulan saja, sebuah infrastruktur pertunjukkan berukuran 50 x 12 meter dengan kapasitas penonton 2000 hingga 3000 kepala telah diselesaikan. Infrastruktur sudah terjalin, maka Pak Djatikoesoemo menyerahkan konten pertunjukan pada Pangeran Suryohamijoyo dan Dr. Soeharso, serta tim yang terdiri dari penata tari dan pelatih tari[3]Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.. Alih-alih mempertunjukan wayang wong atau pertunjukan budaya lainnya, proyek ini memformulasikan sebuah pertunjukan baru di Indonesia ketika itu, yakni Sendratari—akronim dari seni drama dan tari. Pertunjukan itu setidaknya melibatkan sekitar 865 orang yang terdiri dari penari, penabuh, gamelan, perancang busana, dll. Layaknya cerita Rorojongrang dan 1000 candinya, dalam waktu 52 hari pentas sendratari Ramayana siap dipertunjukan[4]Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia..

    Tidak dapat ditampik bahwa di kala itu proyek tersebut sangat besar. Bayangkan saja 865 kepala yang mempunyai spesifikasi seni tradisi dilibatkan. Sebuah pengelolaan yang apik dalam mengakomodasi pekerja seni dari kota sekitar, seperti: Surakarta, Klaten, dan Yogyakarta, baik dari sanggar, kelompok pemuda, ataupun institusi pendidikan seni.

    Dipertunjukkan secara bergantian, pertunjukan Sendratari Ramayana semakin terkesan variatif dengan sisipan yang dibuat per kelompok dalam mengisi struktur pertunjukan yang telah ditentukan. Dari sekian banyak penari yang terlibat, seorang penari pria berbadan mungil, berambut sebahu, dengan kepenarian cakap turut serta di dalam proyek seni tersebut. Dia adalah Sal Murgiyanto.

    Pak Sal belajar menari bukan karena mega proyek, melainkan ia telah belajar menari sejak kecil. Maklum, darah seni telah mengalir dari kakeknya, R.M. Sastrotenoyo. Sedikit mengulas R.M. Sastrotenoyo, berkat beliau pengadaan busana dan gamelan slendro-pelog wayang wong Sriwedari tersedia. Tidak hanya itu, beliau juga merupakan direktur artistik masa mula Wayang Wong Sriwedari, Surakarta[5]Raditya, Michael H.B. dan Anastasia Melati. 2016. Jalan Tari Pak Sal. Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama.. Selain tari, R.M. Sastrotenoyo juga dikenal sebagai seniman batik[6]Hardjoprasonto, Soemardjo. 2017. “Darah Seni Mengalir dari Kakeknya”, dalam Sal Murgiyanto: Membaca Jawa, oleh Anastasia Melati (ed.) Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan Komunitas Senrepita.. Oleh karena pengalaman personal Sal kecil dengan seni telah kental, maka belajar seni bukanlah hal mengagetkan bagi Pak Sal, dan kepada tarilah Pak Sal jatuh cinta.

    Alhasil ketika proyek Sendratari Ramayana dilangsungkan, Pak Sal yang tengah menekuni tari turut serta dalam mekanisme pertunjukan tersebut. Kendati berbadan mungil, karir Pak Sal di sendratari Prambanan dapat dibilang menanjak, dimulai dengan memerankan tokoh-tokoh sederhana seperti bala tentara kera dengan honor sebutil telur, hingga dipromosikan menjadi penari utama, seperti: Hanggodo, Hanilo, dan Hanuman dengan honor hingga Rp.150,-[7]Walujo, Djoko. 2016. “Pekerja Seni yang Gigih, Peka, dan Penari Sala ‘Betulan’”, pada Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari oleh Michael HB Raditya (ed.). Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan … Continue reading . Pak Sal pun menyadari keadaan tubuhnya yang tidak memungkinkan dirinya mendapat peran penting seperti Rama atau Rahwana, namun dari sinilah ia belajar satu hal, yakni untuk sadar akan keterbatasan dan mengubahnya menjadi keistimewaan. Ketekunannya berbuah penjiwaan yang mendalam ketika ia memerankan figur Hanggodo atau Hanuman.

    Menanjaknya karir Sal muda ketika itu ditandai dengan kesempatan pergi melawat ke India untuk misi kesenian. Sal muda yang menari cakap ketika itu ditanya oleh seorang penggiat seni di India, namun karena keterbatasan kemampuan berbahasa Inggris serta pengetahuan yang belum mendalam akan tari, Sal muda tidak bisa menjawab dengan baik dan sontak pengalaman tersebut membuat sesal dalam dirinya. Dari momen itulah ia berjanji untuk mempelajari bahasa dan memperdalam pengetahuan tari dari literatur akademis. Keseriusannya berbuntut pada pilihan untuk mengambil jurusan tari di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) pada tahun 1968. Di ASTI, Sal mematangkan tubuh kepenarian serta pemahaman literatur tari dengan sungguh-sungguh.

    Tidak hanya membaca, Sal muda juga turut aktif mendatangi pelbagai seminar terkait seni dan budaya. Salah satu seminar yang berkesan bagi Pak Sal adalah seminar yang dihelat di Surakarta tahun 1972 yang mendatangkan Umar Kayam dan Soedjatmoko sebagai pembicara. Sal muda pun terperangah melihat kecerdasan dua pemikir budaya tersebut, dan semenjak itu dua sosok tadi menjadi inspirasinya untuk belajar lebih giat pada ranah akademis. Sal pun menjadi dikenal kerap membaca buku, sebuah aktivitas yang cukup jarang dilirik oleh para penari ketika itu. Alhasil Sal muda yang ketika itu belum lulus sudah menjadi asisten mata kuliah Literatur Tari[8]Widaryanto, FX. 2016. “Pernak Pernik bersama Mas Sal Murgiyanto”, pada Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari oleh Michael HB Raditya (ed.). Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan Senrepita.. Di tahun 1975, Pak Sal lulus dari ASTI. Ya memang cukup lama, namun durasi perkuliahan yang memakan waktu ini ternyata dikarenakan dua pencapaiannya di ASTI: pertama, gelar B.A. (setingkat sarjana) yang ia dapatkan pada tahun 1970; dan kedua, gelar S.ST (Seniman Seni Tari) yang ketika itu memakan waktu lima tahun.

    Di tahun kelulusannya, Pak Sal mendapat kesempatan untuk menjadi dosen dari tiga institusi berbeda, yakni ajakan R.M. Soedarsono di ISI Yogyakarta, Gendon Humardani di ISI Surakarta, dan Sardono W. Kusumo dkk di LPKJ (kini IKJ). Pak Sal pun cukup bingung memilih salah satu dari tiga tawaran hebat tersebut, namun Pak Sal akhirnya memilih tempat yang dapat memberikan kesempatan sekolah strata dua. Melalui bantuan Bu Edi Sedyawati dalam mencari beasiswa, Sal muda diberangkatkan untuk melanjutkan studi master di University of Colorado. Hanya memakan waktu satu tahun, dengan beberapa hal yang patut dibayar seperti: summer harus tetap berkuliah, dsbnya, Pak Sal jalani.

     

    Artikel ini berlanjut ke bagian kedua.

    Silakan menuju ke Sal Murgiyanto:  Ketika Cahaya Merah (Tetap) Berpijar [Bagian Kedua]

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    References

    References
    1 Entah mahasiswa ataupun penggiat seni dengan tahun kelahiran 1994 hingga kini.
    2, 3, 4 Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
    5 Raditya, Michael H.B. dan Anastasia Melati. 2016. Jalan Tari Pak Sal. Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama.
    6 Hardjoprasonto, Soemardjo. 2017. “Darah Seni Mengalir dari Kakeknya”, dalam Sal Murgiyanto: Membaca Jawa, oleh Anastasia Melati (ed.) Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan Komunitas Senrepita.
    7 Walujo, Djoko. 2016. “Pekerja Seni yang Gigih, Peka, dan Penari Sala ‘Betulan’”, pada Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari oleh Michael HB Raditya (ed.). Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan Senrepita.
    8 Widaryanto, FX. 2016. “Pernak Pernik bersama Mas Sal Murgiyanto”, pada Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari oleh Michael HB Raditya (ed.). Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan Senrepita.

  • (Rubrik) Sastra Anak: Bersastra dari Sudut Pandang Anak

    author = Redaksi Kibul

    Tahun 90-an sepertinya menjadi masa yang menyenangkan bagi anak-anak. Pada tahun-tahun itu, baik itu lagu, film, ataupun bacaan anak dapat dengan mudah kita temui. Radio dan televisi nasional pada saat itu memberikan cukup banyak porsi waktu untuk program anak-anak.

    Memang film-film anak pada saat itu masih didominasi oleh film luar, tapi paling tidak film-film tersebut sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Film anak buatan Indonesia pada saat itu yang cukup tenar adalah Si Komo dan Si Unyil.

    Sedangkan untuk lagu anak, akan banyak sekali jika disebutkan satu per satu. Paling tidak ada tiga nama yang menghasilkan cukup banyak lagu untuk anak-anak, mereka adalah A.T. Mahmud, Ibu Sud, dan Pak Kasur. Bintang Kejora, Paman Datang, Burung Kutilang, Bangun Tidur, adalah sedikit dari karya-karya mereka.

    Memang, saat ini bukan berarti lagu dan film untuk anak-anak tidak ada, tetapi keberadaan mereka tidak dengan mudah diakses oleh masyarakat umum. Mereka dapat dijangkau di saluran-saluran televisi berbayar atau di saluran internet tertentu. Sedangkan lagu dan film yang ada di saluran nasional umum, didominasi oleh lagu dan film dewasa, yang tidak menjadikan anak sebagai sudut pandang utama penciptaannya.

    Tidak jauh berbeda dengan buku bacaan untuk anak. Jika kita menyempatkan diri untuk melihat-lihat buku untuk anak di tempat penjualan buku, memang banyak buku bacaan untuk anak-anak tapi sebagaian besar merupakan buku import. Sangat sedikit buku anak yang berbahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh penerbit dalam negeri. Kalapun ada, biasanya didominasi oleh buku-buku yang berisi tuntunan untuk melakukan suatu kebaikan berdasarkan ajaran kepercayaan tertentu.

    Untuk itu, kibul.in yang hadir dengan harapan menjadi ruang bagi permenungan akan kehidupan masa kini melalui kata-kata, merasa perlu menghadirkan Rubrik Sastra Anak  dalam http://anak.kibul.in sebagai tempat untuk menampung tulisan-tulisan yang secara khusus diciptakan untuk anak-anak meskipun dapat juga dinikmati oleh pembaca dewasa.

    Kibul.in menerima tulisan untuk Rubrik Sastra Anak dalam bentuk cerpen, puisi, ulasan film anak, resensi buku anak, juga opini seputar dunia anak. Untuk dapat dimuat dalam Rubrik Sastra Anak, paling tidak tulisan tersebut dapat memenuhi beberapa poin berikut:

    1. Menggunakan sudut pandang anak-anak. Usia anda boleh saja sudah remaja, dewasa, bahkan sudah tua, tapi untuk dapat masuk dalam Rubrik Sastra Anak, tulisan yang anda buat harus menggunakan sudut pandang anak-anak usia 0–12 tahun.
    2. Membebaskan daya imajinasi anak. Hal ini berarti tulisan dibuat semenarik mungkin sehingga dapat memberikan pengalaman membaca yang merangsang daya imajinasi anak. Meski membebaskan imajinasi, hal ini tidak berarti tulisan harus panjang yang alih-alih menyenangkan, justru membosankan bagi anak-anak. Karena sifatnya yang membebaskan, maka tulisan bukanlah model panduan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu atau seperti tips cara cepat menjadi dokter, polisi, anak kesayangan orang tua, anak saleh, dan lain sebagainya.
    3. Mengandung nilai-nilai kebaikan universal. Tulisan-tulisan yang dibaca oleh anak-anak akan terus melekat dalam diri mereka hingga nanti mereka dewasa. Karena itu, tulisan-tulisan dalam Rubrik Sastra Anak ini harus memuat paling tidak satu nilai kebaikan universal agar kebaikan itu melekat pada diri anak-anak yang membaca tulisan di Rubrik Sastra Anak. Anda dapat memilih satu dari dua belas nilai kebaikan berikut: kedamaian, penghargaan, tanggung jawab, kebahagiaan, kebebasan, toleransi, kerjasama, cinta kasih, kesederhanaan, persatuan, kejujuran, dan kerendahan hati.

    Jika Anda memiliki tulisan dengan tiga poin di atas ada di dalamnya, dengan senang hati Kibul.in menerima tulisan tersebut dan menayangkannya di http://anak.kibul.in. Kami percaya, setiap orang pernah menjadi anak-anak dan setiap orang memiliki cerita yang layak diceritakan untuk anak-anak.

  • Ruang Seni Rupa ‘Suara 3×4 m’: Melihat Ke Luar Menilik Ke Dalam

    author = Padepokan Seni Bagong Kussudiardja

    Lima seniman muda peserta program residensi Seniman Pascaterampil menuangkan gagasannya dalam pameran Ruang Seni Rupa yang berjudul ‘Suara 3×4 m’. Melalui pameran ini, para seniman menarasikan berbagai peristiwa semasa pandemi Covid-19 yang berdaya refleksi dan meminta perhatian, salah satunya terkait kesehatan mental.

    Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) mempersembahkan Ruang Seni Rupa (RSR) edisi perdana di tahun 2020 dalam format alih wahana pameran yaitu online exhibition. Pameran pada ‘tembok’ digital menjadi salah satu bentuk presentasi yang paling ‘mendekatkan’ sebagai jembatan penonton menikmati pameran seperti ‘biasanya’ di masa pandemi saat ini. Pada pameran ‘Suara 3×4 mkali ini, susunan narasi, potret ruangan, dan wicara seniman yang dihadirkan pada video alih wahana ruang pamer, berdiri sebagai pemantik ingatan dan pengalaman audiens menikmati sebuah pameran. Jika biasanya yang kita banyak jumpai adalah instalasi di ruang-ruang galeri, kehadiran website ruangsenirupa.or.id berlaku sebagai ‘tembok’ pemajangan karya seniman. 

    Seniman yang terlibat dalam pameran kali ini merupakan peserta program residensi Seniman Pasca Terampil PSBK 2020, mereka diantaranya Chaerus Sabry (seni teater) dari Bulukumba, Chairol Imam (seni rupa) dari Surakarta, Egi Adrice (seni musik) dari Indramayu, M.Y.A.Rozzaq (seni rupa) dari Yogyakarta, dan Teguh Hadiyanto (seni rupa) dari Jakarta. Kelima seniman yang telah menjajaki kolaborasi multidisiplin seni pada persembahan pertunjukan Jagongan Wagen edisi April lalu, kini berkesempatan untuk saling bertukar pengetahuan dalam kolaborasi penciptaan dan presentasi karya seni rupa.

    Pameran ‘Suara 3×4 m’ yang berlangsung di ruangsenirupa.psbk.or.id mulai dari 7 Juli hingga 10 Agustus ini menjadi usaha seniman untuk kembali menilik ke dalam, merekam ingatan atas perjumpaan- perjumpaan personal yang mereka temui semasa pandemi. “Pada pameran kali ini, saya mengangkat tema tentang praktik self-esteem yang dipicu oleh kondisi pandemi. Bagi saya tema ini menarik untuk diangkat mengingat term kesehatan mental menjadi salah satu yang paling penting untuk diperhatikan akibat pandemi Covid-19 ini.” terang Chairol Imam atas karya video performance art yang berjudul ‘Pojok Angka & Aksara’. Seniman lainnya menampilkan komik strip 3 seri (Bucin, Gabut, Sepaneng) berjudul ‘Tidak Ke Mana-Mana’ karya Chaerus Sabry, video art berjudul ‘Tanpa Batas’ karya Egi Adrice, video art 3 seri (Retrofilia, An Sich, Esoteris) berjudul ‘Baid-Bain (yang jauh dan yang nyata’ karta M.Y.A. Rozzaq, dan augmented reality berbasis web (Bagian 1, Bagian 2) berjudul ‘Pie Kabare? Iseh Penak Di Rumah Ora?’ karya Teguh Hadiyanto.

    Peralihan wahana ruang pameran tak hanya memindahkan ruang pamer karya ke platform digital, tetapi juga turut mentransformasi desain kolaborasi penciptaan seniman, desain kolaborasi penyelenggara pameran dengan pelaku kreatif lainnya, serta desain fasilitasi masyarakat melalui karya seni. Proses produksi video dan kehadiran website ini membuktikan bagaimana ekosistem seni-budaya bertarung dengan keadaan yang tidak ‘biasanya’. Menemukan strategi-strategi kreatif untuk dapat menghadirkan seni yang berkualitas di tengah-tengah ribuan aneka ‘produk konsumsi digital’ masyarakat lainnya.

    ***

    Tentang Seniman Pascaterampil PSBK

    Lima seniman multidisiplin seni dari berbagai daerah di Indonesia; Chaerus Sabry (seni teater) dari Bulukumba, Chairol Imam (seni rupa) dari Surakarta, Egi Adrice (seni musik) dari Indramayu, M.Y.A.Rozzaq (seni rupa) dari Yogyakarta, dan Teguh Hadiyanto (seni rupa) dari Jakarta, tergabung dalam program residensi Seniman Pascaterampil PSBK 2020. Fasilitasi ini bertujuan untuk memperkuat nilai kolaborasi dan mempertajam kreativitas seni melalui ruang belajar dan ruang berkarya PSBK yang menekankan pada keterbukaan, kerjasama serta kesediaan untuk membuka diri menerima ciri dan cara kuratorial seni PSBK, salah satunya melalui presentasi Ruang Seni Rupa.