Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Sal Murgiyanto: Ketika Cahaya Merah (Tetap) Berpijar [Bagian Kedua – Habis]

author = About Michael H.B. Raditya
Lulus dari Antropologi Budaya, serta Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, UGM. Berkerja sebagai editor Jurnal Kajian Seni – UGM. Turut aktif di pelbagai komunitas, seperti: REPERTOAR (co-founder), LARAS–Studies of Music in Society, dan SENREPITA. Meneliti dan menulis untuk ranah seni pertunjukan, kritik, musik, tari, dan budaya di pelbagai media.

View all posts by Michael H.B. Raditya →

Catatan Redaksi:

Artikel ini cukup panjang, demi kenyamanan pembaca kami membagi artikel ini menjadi dua bagian.

Ini adalah bagian yang kedua. Bagian pertama bisa disimak di Sal Murgiyanto:  Ketika Cahaya Merah (Tetap) Berpijar [Bagian Pertama]

 

Sekembalinya ke tanah air pada Desember 1976, Pak Sal turut membantu Sardono dalam beberapa karyanya. Selain itu, ia juga langsung diminta menangani dua pekerjaan sekaligus: mengajar di Departemen Tari LPKJ dan menjadi anggota komite tari di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). LPKJ dan DKJ kala itu bekerjasama dalam membangun kultur seni Indonesia di masa depan. Konstelasi yang dihadapi pun jauh berbeda dengan era sekarang, sebab pembangunan seni kala itu harus dilakukan pada tiga tahap: struktur, infrastruktur, dan suprastruktur. Salah satu ketua DKJ di kala itu, Asrul Sani, mengatakan kepada Pak Sal bahwa:

“Nampaknya bersama Komite Tari, Anda (Pak Sal) harus bekerja keras menyusun program-program tari DKJ, karena sekarang ini kalau saya saksikan dari acara-acara tari di televisi dan membaca tulisan tari di koran-koran, keduanya tidak membantu pemirsa dan pembaca meningkatkan apresiasi tari mereka.1)Raditya, Michael H.B. dan Anastasia Melati. 2016. Jalan Tari Pak Sal. Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama.

Bermula dari hal itulah, Pak Sal dan kolega membuat dua hal penting. Hal penting pertama adalah ia membangun tari lewat penari, yakni dengan menjadi penyelenggara Festival Penata Tari Muda (sempat berubah nama menjadi Pekan Penata Tari Muda ketika sudah berjalan) di tahun 1978 hingga 1984 yang berkonsentrasi mendidik penari generasi ke depan. Konsistensi Festival Penata Tari Muda membuat Indonesia turut dilirik masyarakat tari dunia, misalnya dengan kedatangan Charles dan Sephanie Reinhart— dua sosok yang memimpin ADF (American Dance Festival)— ke Indonesia untuk bertemu sosok penyelenggara Festival Penata Tari Muda tersebut. Setahun setelahnya IKJ dan Pak Sal diundang untuk terlibat ADF, baik dalam karya dan kepenulisan. Semenjak itu Indonesia rutin mengirim penari ke ADF.

Pengalaman panjang keikutsertaan ADF lantas menginspirasi Pak Sal dan kolega IKJ, seperti Sardono W. Kusumo dan Farida Oetoyo, untuk membuat Indonesian Dance Festival di tahun 1992, bertepatan dengan sepulangnya Pak Sal menamatkan studi doktoral di New York University (NYU) untuk bidang performance studies tahun 1985 hingga1991. Ketika itu IDF turut diperbantukan oleh tiga perempuan, a.l: Melina Surja Dewi, Nungki Kusumastuti, dan Maria Darmaningsih, yang kini memimpin IDF sejak tahun 2004 hingga sekarang. Beberapa nama penari penting Indonesia kini, seperti: Eko Supriyanto, Jecko Siompo, Mugiyono Kasido, Martinus Miroto, Ery Mefri, dan Hartati, turut terbentuk karena festival tersebut.

Hal penting kedua yang dibuat Pak Sal dan koleganya adalah membangun kultur tari lewat tulisan yang ditandai dengan pembuatan seminar kritik pertama di Indonesia. Seminar tersebut dibuat paska Pak Sal bergabung dengan Komite Tari DKJ. Akan tetapi, seminar kritik kemudian dibuat atas kerjasama dengan LPKJ ketika Pekan Penata Tari Muda dibuat dalam bingkai DKJ. Dari seminar itulah Pak Sal mulai menulis kritik tari di pelbagai media dengan rajin. Dari ketekunannya menulis kritik, Pak Sal telah menghasilkan tiga buku, di antaranya: Ketika Cahaya Merah Memudar (1992)  yang berisikan tulisan kritik tarinya; Kritik Tari—Bekal dan Kemampuan Dasar (2002) yang berisikan materi pembelajaran penari yang diperjelas dengan tulisan kritik pertunjukan; serta Tradisi dan Inovasi (2004) yang mengulas tradisi yang membutuhkan inovasi.

Sepulangnya Pak Sal dari program doktoral, Pak Sal diminta untuk memimpin Masyarakat Musikologi Indonesia. Namun karena bidang yang berbeda, Pak Sal mengusulkan untuk memperluas jangkauannya menjadi Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) pada tahun 1992. Pak Sal memimpin MSPI sejak tahun 1993 hingga 1997, dengan beberapa program, seperti: Festival dan Temu Ilmiah (FESTIM) dan penerbitan buku. Hal yang cukup menarik, pada tahun 1993 Pak Sal mulai diminta mengajar di Taipei University National of the Arts (TNUA) hingga tahun 2011. Ia kemudian mengajar dan tinggal selama enam bulan plus satu hari di Taiwan, sedangkan setengah tahun sisanya ia habiskan di tanah air. Keberangkatan Pak Sal mengajar di TNUA, membuat IDF dan MSPI harus dipimpin secara jarak jauh selama enam bulan di setiap tahunnya. Namun yang tidak kalah penting, dengan pengelolaan yang cakap—walau tentunya terdapat kompleksitas di dalamnya—IDF dan MSPI tetap dapat terselenggara secara rutin tanpa ada gangguan yang berarti. Kembali pada soal konsentrasinya pada bidang akademis, dalam hal ini Pak Sal membangun iklim tari disertai dengan ilmu pengetahuan yang terus ia produksi, baik dalam bentuk tulisan kritik yang dilakukan secara personal, ataupun melalui penerbitan buku, khususnya tema seni yang dikelola secara kolektif di MSPI.

Jika kita bicara kritik, sebenarnya Pak Sal bukanlah orang pertama yang menuliskan kritik seni. Sebelumnya sudah ada, sebut saja Edi Sedyawati, penari cum arkeolog yang menuliskan kritik terlebih dahulu; selain itu, ada pula penulis lain seperti, F.X. Widaryanto dan beberapa teman wartawan, seperti Efix Mulyadi, Ardus M. Sawega, dsbnya. Namun yang membedakan Pak Sal dengan sosok-sosok sebelumnya adalah, pertama, konsistensi dan ketekunannya dalam menulis kritik tari, kedua, modal intelektual atas pemahaman tari yang ia gunakan dalam mengkritisi dan memberikan penilaian; ketiga, kesantunannya dalam menuliskan kritik yang tidak jarang ia tambahkan rujukan penyelesaian.

Bagi Pak Sal, terdapat dua hal yang menjadi dasar penulisan kritik tari, pertama, kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan—termasuk nilai keindahan—, kedua, kemampuan berpikir kritis—yang dilandasi oleh penggunaan “akal sehat” yang sekiranya tak henti ia perjuangkan di dalam perannya sebagai sarjana, peneliti, dan terutama pendidik2)Raditya, Michael H.B. dan Anastasia Melati. 2016. Jalan Tari Pak Sal. Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama..

Lantas bagaimana keberlanjutan Pak Sal dengan tulisan kritiknya? Sejujurnya dalam perbicangan yang saya lakukan, kepergian Pak Sal ke Taiwan membuat Pak Sal lebih rutin menuliskan artikel ilmiah dibandingkan kritik. Artikel-artikel ilmiah tersebut selanjutnya dikumpulkan oleh Dede Pramayoza dan kemudian dikemasnya menjadi buku Pertunjukan Budaya dan Akal Sehat (2015). Akan tetapi tidak terlalu rutin bukan berarti tidak sama sekali, beberapa tulisan kritik terbarunya turut diterbitkan dalam buku Kritik Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan (2016), juga dengan bantuan Dede Pramayoza sebagai editor.

Setelah ia memutuskan untuk purna tugas dari TNUA pada tahun 2011 dan memutuskan kembali ke Indonesia. Selanjutnya bukan Jakarta atau Surakarta yang ia pilih, melainkan Yogyakarta yang ia tetapkan untuk menghabiskan waktu di hari tuanya. Namun apa mau dikata, tahun 2013 Istrinya jatuh sakit. Pak Sal dan keluarga harus merelakan kepergian sang Istri pada Maret 2014. Sebagai sebuah persembahan terakhir untuk sang pujaan hati, dengan bantuan dari Ibu Siti Sutiyah (K.R.T. Dirjo Sasminta Murti) pada koreografi dan Pak Sunardi SMKI pada tata musik, teks sepanjang empat bait hasil dari perasaan terdalam Pak Sal ketika menunggu alm. Endang Nrangwesti di rumah sakit, dapat dialihwahanakan menjadi sebuah pertunjukan tari—atau lebih tepatnya ritual—bertajuk Wiwoho Girisapto, sebuah perasaan terdalam untuk mengantarkan sang Istri pergi menghadap Bapa.

Perasaan terpukul dan kehilangan membuat Pak Sal mempertanyakan apa tujuan kehidupannya. Ketika orang yang ia cintai pergi meninggalkanya, lantas dengan apa ia berteguh. Dalam perenungan yang panjang, Pak Sal akhirnya memutuskan untuk kembali jatuh pada apa yang ia cintai sebelum bertemu sang Istri, yakni tari. Pak Sal kembali merunut tari atas upaya-upaya yang telah ia lakukan, dan bagaimana perkembangannya kini setelah ia harus membagi konsentrasinya di Indonesia dan Taiwan ketika itu. Sebuah kenyataan harus ia terima. Diskusi tari dan penulisan kritik tari semakin sedikit jumlahnya. Alhasil Pak Sal memutuskan untuk membuat sebuah kelompok diskusi bersama Anastasi Melati. Kelompok tersebut menggelar diskusi bulanan dengan maksud turut mengisi waktu Pak Sal untuk membagikan pengetahuan dan kemampuan yang ia miliki.

Kelompok tersebut kemudian semakin terasa dibutuhkan dan mempunyai dampak besar bagi lanskap tari dan penari muda di Yogyakarta maupun Surakarta. Berkembangnya kelompok tersebut lantas membuat Pak Sal perlu memberikan nama tegas. Sebuah nama yakni Senrepita ia pilih, akronim dari Sentonorejo Pitu A atau Seni Pertunjukan Pilihan Kita. Komunitas tersebut kemudian tidak hanya bergerak di bidang diskusi, melainkan turut berfokus pada pendidikan penulisan. Dengan bantuan beberapa muridnya ketika mengajar dulu seperti Juju Masunah yang pernah menjabat di salah satu bidang pada Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (kini terpisah menjadi Kementrian Pariwisata dengan Badan Ekonomi Kreatif) di tahun 2014, Senrepita mengadakan sebuah program bertajuk Coaching Clinic. Program tersebut berhasil dihelat sebanyak tiga kali di Jakarta, Cirebon, dan Surakarta (2014). Menanggap baik program tersebut, beberapa orang mengajak Senrepita terlibat dalam ranah kepenulisan pada pertunjukan-pertunjukan lain. Di Yogyakarta, Bambang Paningron mengajak Senrepita untuk mengadakan acara serupa pada acara Jogjakarta International Performing Art (JIPA) di tahun 2014. Tidak hanya itu, Surabaya turut meminta CCMP dihelat untuk mendidik penulis kritik di kota tersebut. Dan yang terakhir di tahun 2016, IDF mengajak Senrepita untuk membuat CCMP dengan tajuk yang berbeda berbarengan dengan kegiatan dua tahunan festival tarinya.

Alih-alih berkonsentrasi pada diskusi tari per dua bulan dan CCMP, Senrepita turut berkonsentrasi pada bidang penerbitan. Dengan bantuan Michael HB Raditya, Dede Pramayoza, dan beberapa lainnya, beberapa buku atas nama Senrepita telah terbit, a.l: Pertunjukan Budaya dan Akal Sehat (2015); Kritik Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan (2016); Jalan Tari Pak Sal (2016); buku biografi bertajuk Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari (2016); Membaca Jawa yang akan terbit dalam waktu dekat; dan beberapa buku tari, seni, dan budaya yang akan terbit tahun ini.

Cerita di atas adalah catatan versi lebih sederhana dari kedirian dan prestasi yang Pak Sal torehkan. Sebenarnya masih banyak pencapaian lainnya yang ia dapat baik di lingkup lokal maupun internasional, untuk masing-masing hal, a.l: kepenarian, kependidikan, kepenulisan, kepemimpinan organisasi, kesarjanaan, dan sebagainya, yang di dalam tulisan ini memang sengaja tidak saya hadirkan. Bukan berarti hal lainnya tidak kalah penting, melainkan saya hanya menyarikan beberapa aktivitasnya yang bisa ditautkan untuk membentuk refleksi dari kehidupan Pak Sal. Pun cerita akan Pak Sal di atas tidak saya maksudkan sebagai cerita dengan ending yang menyenangkan, terlebih, menyenangkan itu relatif. Saya pun juga tidak ingin kita para pembaca hanya terpusat atas pencapaian yang telah Pak Sal dapatkan. Namun dari cerita kehidupan di atas, saya lebih ingin menunjukan bahwa seorang individu dapat ikut dan berparsitipasi dalam sebuah konstelasi, dan seorang individu juga dapat membentuk konstelasi.

Dari apa yang Pak Sal lakukan, entah dengan sadar ataupun sebaliknya, Pak Sal bersama koleganya telah membangun iklim tari Indonesia dengan beberapa hal penting, yakni praktik kesenimanan tari, pendidikan akademis, penulisan kritik, serta penerbitan buku. Alhasil terciptalah sebuah mekanisme pembangunan tari yang tidak terpisah, melainkan berjalan beriringan dan saling terhubung. Sebagaimana yang Pak Sal tegaskan, kehidupan tari tidak dapat memisahkan empat pilar utama, yakni penari/koreografi, penonton, pembuat kegiatan, serta kritkus/akademisi dalam keberlangsungannya. Empat pilar tersebut membentuk iklim tari yang utuh nan menyeluruh.

 

Aftermath: Menjaga Cahaya Terus Berpijar

Berdasarkan tulisan di atas, saya yakin kita telah sedikit mengenal sosok Pak Sal. Aken tetapi, perkenankan saya memberikan cara pandang dalam melihat Pak Sal, yakni,  pertama, cara yang paling harfiah adalah melihat torehan prestasi Pak Sal, baik dari segi kepenarian, akademisi, pendidik, hingga penggiat seni. Dengan cara pandang tersebut, Pak Sal akan terasa sangat luar biasa. Dalam hal ini, terkesima tentu boleh saja, namun yang patut dihindari adalah perasaan terbuai. Persoalannya, kita perlu menindaklanjuti cara ini dengan pertanyaan mengenai logika apa yang ia terapkan.

Kedua, kita bisa melihat konstelasi yang terbangun ketika Pak Sal menjalani fase per fase kehidupannya. Sederhananya, kita bisa sangat mudah mendapatkannya di bagian depan tulisan, di mana konteks pariwisata menjadi latar belakang; konteks pembangunan kesenian di awal keterlibatan Pak Sal di DKJ; konteks atas kurangnya kritikus kini yang berarti minimnya kesadaran tersebut ditanamkan oleh individui ataupun kolektif; dan sebagainya. Lantas, dengan cara ini kita bisa memperhitungkan, apakah seseorang punya kiprah atas konstelasi yang terjadi ketika itu atau sebaliknya. Jika tidak maka juga tidak masalah, tetapi jika terbukti berkiprah, alangkah baiknya tidak berhenti begitu saja, melainkan menindaklanjutinya dengan pertanyaan jika konstelasi ketika itu diterapkan pada keadaan beserta kompleksitasnya kini.

Alhasil berdasarkan penelusuran pembentukan logika serta penerapan konstelasi pada hal yang terjadi belakangan, maka kita dapat secara jernih melihat kiprah Pak Sal dalam dunia tari. Pak Sal telah menorehkan sebuah logika besar, bahkan ia masih menjalankannya hingga kini dalam lingkup terkecil pun, yakni komunitas. Akhir kata, ibarat sebuah cahaya, Pak Sal telah menyalakan dan terus menjaganya, namun nyala cahaya tersebut ke depan ada di tangan kita, entah kita akan melanjutkan menjaganya agar semakin berpijar, atau membiarkannya memudar dan lenyap begitu saja.

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

 

https://kibul.in/artikel/sal-murgiyanto-ketika-cahaya-merah-tetap-berpijar-2/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/paksal.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/paksal-150×150.jpgMichael H.B. RadityaArtikelSosokBudaya,kibul,Kritik,Michael HB Raditya,Sal Murgiyanto,Seni,Seni Tari,Sosok,TokohCatatan Redaksi:
Artikel ini cukup panjang, demi kenyamanan pembaca kami membagi artikel ini menjadi dua bagian.
Ini adalah bagian yang kedua. Bagian pertama bisa disimak di Sal Murgiyanto:  Ketika Cahaya Merah (Tetap) Berpijar
 
Sekembalinya ke tanah air pada Desember 1976, Pak Sal turut membantu Sardono dalam beberapa karyanya. Selain itu, ia…
Bicara Sastra dan Sekitarnya

References   [ + ]

1, 2. Raditya, Michael H.B. dan Anastasia Melati. 2016. Jalan Tari Pak Sal. Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama.