Dipaparkan oleh Dr. Tirto Suwondo dalam Ceramah Literasi & Seminar Sastra pada hari Sabtu, 28 September 2019 di Hotel Melia Purosani Yogyakarta sebagai rangkaian acara Joglitfest.
Sebagai informasi, sebagian dari bahan paparan ini pernah dibentangkan pada Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT) yang diselenggarakan oleh MASTERA (MAJELIS SASTERA ASIA TENGGARA) INDONESIA (Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta, 11—12 September 2017.
/1/
Sejarah mencatat, sesungguhnya, tradisi bersastra di Yogyakarta yang terbangun dewasa ini tak dapat dipisahkan dari mata rantai tradisi yang berkembang beberapa abad lalu. Jika ditengok 2,5 abad silam, misalnya, ketika Kompeni Belanda mencengkeramkan kukunya sangat kuat sehingga ikut mencampuri urusan internal kerajaan, terutama setelah Mataram pecah menjadi dua (Surakarta dan Yogyakarta) melalui Perjanjian Giyanti (1755), sebenarnya telah terbangun kegiatan seni-sastra yang saat itu dipelopori para penguasa (raja). Semula kegiatan itu hanya untuk mengantisipasi merebaknya krisis moral akibat krisis politik. Tetapi, kemudian berubah menjadi tradisi yang positif sehingga kehidupan sastra (Jawa) pada abad ke-18 (1830–1850-an) mencapai puncak zaman keemasan. Beberapa tokoh yang berperan, antara lain, Paku Buwana IV, Paku Buwana IX, Paku Buwana X, Mangkunegara IV, Ranggawarsita, dll. Semula tradisi itu hanya berkembang di istana (Mataram) dengan maksud sebagai legitimasi kekuasaan, tetapi akhirnya berkembang pula di daerah pesisir sehingga muncul beberapa karya sastra pesantren di daerah pantai utara Jawa.
Sejarah mencatat pula, pada masa itu para pujangga keraton mendapat tempat terhormat karena dianggap sebagai orang terpilih yang mampu membimbing masyarakat. Hasil karyanya diakui sebagai adiluhung sehingga dihormati dan dijunjung tinggi. Karena itu, mereka kemudian mendapat perlindungan penuh dan diberi hak menikmati fasilitas keraton sehingga kehidupannya terjamin. Kondisi itu jelas sangat berbeda jika dibandingkan dengan kondisi zaman modern ini; dan hal itu terasa sejak era Ranggawarsita berakhir (akhir abad ke-19). Hal demikian terjadi karena sejak awal abad ke-20, lebih-lebih setelah kemerdekaan (1945), para sastrawan harus berjuang sendiri mempertahankan hidupnya; atau menurut Damono, hidup mereka sepenuhnya ditentukan oleh pasar. Perjuangan itu semakin berat karena ternyata seni-sastra tidak laku di pasar. Itu sebabnya, demi hidupnya sastrawan mesti kerja rangkap, misalnya jadi dosen, guru, wartawan, redaktur, pengelola penerbitan, karyawan, dll. Dan semua itu terjadi pula dalam kehidupan sastra di Yogyakarta.
/2/
Agaknya pelajaran berharga dari masa lalu itulah yang membuat Yogyakarta mampu memperlihatkan dinamikanya sendiri dalam hal bertumbuhnya sastra. Predikatnya sebagai kota budaya, pendidikan, perjuangan, wisata, dan kota yang mewarisi nilai-nilai kultural-historis telah menjadi pemikat tersendiri bagi beragam entitas untuk masuk ke dalamnya. Kota budaya menjadi alasan di Yogyakarta terbangun intensif tegur sapa budaya antarseniman, sastrawan, budayawan se (di) Indonesia. Kota pendidikan menjadi alasan di Yogyakarta terbangun tradisi belajar baca-tulis (mengarang) cukup baik. Kota wisata juga menjadi alasan mengapa Yogyakarta hanya menjadi persinggahan sementara. Meski demikian, justru di situlah uniknya, dinamika menjadi tak pernah berakhir. Keunikan itu pula yang memperlihatkan sebagian besar seniman dan sastrawan besar Indonesia pernah (masih) tinggal, belajar, dan berproses di Yogyakarta. Sebut saja, misalnya, Rendra, Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Syu’bah Asa, Subagyo Sastrowardoyo, Arifin C Noer, Abdul Hadi WM, Darmanto Yatman, Bakdi Sumanto, Hariyadi S. Hartowardoyo, Arswendo Atmowiloto, Nasjah Djamin, Khorrie Layun Rampan, Motinggo Busje, Emha Ainun Najib, Linus Suryadi, dan masih banyak lagi.[1]
Tentu saja, keberadaan mereka di bidang sastra ditunjang oleh media publikasi, baik koran maupun majalah. Sejak awal kemerdekaan, misalnya, telah terbit Pesat (Maret 1945), Api Merdika (November 1945), Arena (April 1946), Minggu Pagi (April 1948), Budaya (1949), Gadjah Mada dan/atau Gama (April 1950), Basis (Agustus 1950), Pelopor (1950)[2], Medan Sastera (April 1953, berubah menjadi Seriosa pada Maret 1954), Media (Agustus 1954), Darma Bakti (1961), dan Suara Muhammadiyah (terbit sejak 1915). Tetapi, dari sekian banyak media itu, yang masih hidup hingga kini hanya Basis, Suara Muhammadiyah, dan Minggu Pagi. Kemudian, sejak 1966 muncul lagi Berita Nasional (Bernas), Mertju Suar/Masa Kini (Yogya Post), dan Eksponen (sejak 1970-an). Harian Masa Kini (Yogya Post) dan Eksponen pun kini telah mati. Dan terakhir koran Merapi belakangan juga membuka rubrik sastra.
Berbagai media tersebut baru aktif mempublikasikan sastra sejak 1960-an. Minggu Pagi, misalnya, selain memuat artikel, juga puisi, cerpen, dan cerbung. Pada 1960-an cerbung Hilanglah Si Anak Hilang karya Nasjah Djamin dimuat Minggu Pagi, selain karya Motinggo Busye, Bastari Asnin, dan puisi-puisi karya Rendra. Sementara, Pesat dan Budaya (Departemen P dan K) juga memuat artikel, puisi, dan drama. Meski berlabel sebagai majalah kebudayaan umum, sejak terbit pertama (1950) Basis juga memberi ruang yang lumayan bagi karya puisi. Kendati terlambat, Kedaulatan Rakyat akhirnya juga memberi ruang khusus bagi cerpen, puisi, dan artikel seni, sastra, dan budaya. Kondisi tersebut semakin marak ketika Bernas dan Masa Kini (Yogya Post) juga berbuat hal sama. Lewat media-media itulah para sastrawan berkiprah dari generasi ke generasi hingga generasi terbaru yang tak hanya ditopang oleh koran dan majalah tetapi juga oleh penerbit buku, baik penerbit profesional maupun yang berafiliasi pada lembaga tertentu.
Sejak awal 2000-an setidaknya sastrawan yang terus berproses di Yogyakarta hingga sekarang –baik yang menulis dalam bahasa Indonesia maupun Jawa– di antaranya Umar Kayam (alm), Bakdi Sumanto (alm), Kuntowijoyo (alm), Budi Sardjono, Ashadi Siregar, Emha Ainun Nadjib, Iman Budhi Santoso, Mustofa W. Hasjim, Joko Pinurbo, Joni Aria Dinata, Sutirman Eka Ardana, Joko Santoso, Sindhunata, Gunawan Maryanto, Otto Sukatno, Ulfatin Ch, Abidah Khalieqy, Toto Sugiharto, Satmoko Budhi Santoso, Herlinatiens, Agus Wahyudi, Raudal Tanjung Banua, Asef Saeful Anwar, Mini GK, Esti Nuryani Kasam, Aguk Irawan, Tia Setiadi, Evi Idawati, Agus Noor, Rachmat Djoko Pradopo, Hamdy Salad, Khrisna Mihardja, Edi AH Iyubenu, Suminto A. Sayuti, Abdul Wachid, Labibah Zain, Ikun Sri Kuncoro, Eko Triyono, Risda Nur Widia, Muhidin M. Dahlan, Purwadmadi, Ardini Pangastuti, AY Suharyono, Suwardi Endraswara, dan masih banyak lagi. Konon, kalau dihitung secara keseluruhan, baik tua maupun muda, di Yogyakarta terdapat tidak kurang dari 125 sastrawan.[3] Mereka pula yang pada dua dekade terakhir membangun dinamika kehidupan sastra di Yogyakarta.
Meski tidak selalu berumur panjang, hingga kini tercatat, dari jumlah 1300-an penerbit anggota IKAPI di Indonesia, 92 penerbit terdapat di Yogyakarta.[4] Banyaknya penerbit itulah yang turut membangun kehidupan perbukuan di Yogyakarta, termasuk buku-buku sastra. Hanya saja, di antara 92 penerbit itu tidak lebih dari 15% yang bersedia menerbitkan buku sastra. Di antara jumlah yang sedikit itu, penerbit yang belakangan masih aktif ialah Diva Press, Jalasutra, Narasi, Sheila, Galang, Arti Bumi Intaran, Sine Book, Garailmu, Matapena, Elmatera, Media Kreativa, Kepel, Kunci Ilmu, Gama Media, Bigraph Publishing, ISAC Books, Navilla, Hikayat, Pustaka Pelajar, LkiS, Bentang Budaya, Pusaka Nusatama, Kunci Ilmu, YKF, Matahari, Adicita Karya Nusa, JWS Sastra, Basa Basi, Interlude, Garudawaca, Halaman Indonesia, Pustaka Hati, Gambang, Sabda Media, Deepublish, Lingkaran, dan Qalam Nusantara. Bahkan, penerbitan buku sastra itu bagi mereka hanya –seperti sering dikatakan Sapardi Djoko Damono– karena idealisme belaka sebab buku-buku sastra tidak laku di pasaran. Karena itu, tidak mengherankan kalau buku-buku sastra seringkali justru diterbitkan oleh penerbit-penerbit kecil yang bukan anggota IKAPI; bahkan sering diterbitkan (dibiayai dan dijual kepada komunitasnya) sendiri oleh pengarangnya.
Selain didukung banyaknya penerbit, pertumbuhan sastra di Yogyakarta juga didukung lembaga-lembaga pemerintah dan swasta. Misal saja, Balai Bahasa DIY. Selain mengadakan pelatihan penulisan sastra dan hasilnya lalu diterbitkan (sejak 1995), setiap tahun (sejak 2007) Balai Bahasa juga memberikan penghargaan kepada buku-buku sastra terbaik terbitan penerbit Yogyakarta.[5] Hal inilah yang mendorong munculnya pengarang-pengarang baik lama maupun baru untuk bergairah kembali menulis buku sastra. Penghargaan 2007 diberikan kepada novel Lumbini (Jalasutra, 2006) karya Kris Budiman.[6] Penghargaan 2008 diperoleh novel Mahabbah Rindu (Diva Press, 2007) karya Abidah El-Khaileqy.[7] Novel Rumah Cinta (Arti Bumi Intaran, 2008) karya Mustofa W Hasjim menyabet penghargaan 2009.[8] Pada 2010 penghargaan dimenangkan novel Jejak Kala (Sheila, 2009) karya Anindita S Thayf.[9] Kumpulan cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (Bentang, 2010) karya Agus Noor memenangkan penghargaan 2011.[10] Pada 2012 penghargaan diperoleh novel Sang Nyai (Diva Press, 2011) karya Budi Sardjono.[11] Tahun 2013 penghargaan diberikan kepada kumpulan cerpen Lengkingan Viola (Java Karsa Media, 2012) karya Ramayda Akmal.[12] Novel Perempuan yang Memetik Mawar (Lukita, 2013) karya Dahlia Rasyad memenangkan penghargaan 2014.[13] Penghargaan 2015 jatuh pada novel Sihir Pembayun (Diva Press, 2014) karya Joko Santoso.[14] Tahun 2016 penghargaan diperoleh novel Pameran Patah Hati (Ping, 2015) karya Mini GK.[15] Pada 2017 penghargaan jatuh pada kumpulan cerpen Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (Diva Press, 2016) karya Eko Triono.[16] Penghargaan 2018 diperoleh novel Alkudus (Basa Basi, 2017) karya Asef Saeful Anwar.[17] Sementara, pada 2019, entah mengapa, Balai Bahasa DIY tidak lagi memberikan penghargaan bahasa dan sastra. Padahal, sastrawan Yogyakarta juga masih menulis dan menerbitkan karyanya pada 2018. Dan, dalam empat tahun terakhir, Dinas Kebudayaan DIY justru menggairahkan kembali kehidupan sastra, khususnya Jawa, dengan cara mengadakan lomba penulisan novel. Setiap tahun memilih 20 novel sebagai nomine, dan akhirnya dipilih 5 novel terbaik dan diterbitkan.[18]
Dari upaya pemberian penghargaan itu tercatat sejak 2004 hingga 2018 di Yogyakarta telah terbit tidak kurang dari 200 judul buku sastra. Jumlah itu masih bisa bertambah karena ada beberapa pengarang/penerbit yang tidak mengikutsertakan terbitannya ke ajang penghargaan. Selain dipicu oleh kehadiran beberapa lembaga yang komit terhadap pertumbuhan sastra, baik pemerintah maupun swasta,[19] di Yogyakarta juga terbangun tradisi baca-tulis-diskusi-pameran-penerbitan buku oleh berbagai komunitas (kantong sastra) baik yang berafiliasi di bawah lembaga (UGM, UNY, UIN, UAD, USD, Sarjana Wiyata)[20] maupun komunitas yang sifatnya mandiri (dengan dasar kecintaan pada seni-sastra).[21] Itulah sebabnya, tradisi proses kreatif bersastra di Yogyakarta terus bertumbuh.[22]
Hanya saja, di balik pertumbuhan karya sastra yang cukup menggembirakan tersebut, tradisi kritik –sebagaimana terjadi pada umumnya– masih jauh tertinggal. Hal itu terbukti, ketika dijaring dalam rangka penghargaan terhadap buku-buku kritik sastra (2016), dalam rentang waktu beberapa tahun buku-buku tersebut langka adanya. Kendati demikian, hal tersebut tidak berarti menghentikan dinamika kehidupan sastra di Yogyakarta.
/3/
Masalah yang perlu disimak berikutnya ialah bagaimana kecenderungan (tematik, stilistik, estetik) karya-karya sastra yang “menjamur” di Yogyakarta itu? Di satu sisi diharapkan dalam kehidupan sastra di Yogyakarta lahir sejumlah karya yang berkualitas, tetapi di sisi lain fakta menunjukkan sebagian besar karya yang ada menunjukkan jarak yang relatif jauh dari ”kanon literer”. Tema dan masalah yang diangkat cenderung tidak mengalami ”pendalaman” bahkan ada yang hanya ingin bertausiah lewat sastra dan memberi nasihat. Fakta dan sarana sastra juga tidak diberdayakan maksimal sehingga tingkat plausibilitasnya relatif kurang, aspek lifelike terabaikan, dan akibatnya terasa janggal, tanpa kejutan, dan datar. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar karya sudah diberi ”label” tertentu (novel motivasi, novel religius, novel penyejuk hati, novel ajaran, dll.) yang akibatnya karya-karya itu menjadi tendensius dan terkesan bagai karya pesanan. Bahkan, gambar cover buku pun telah mengisyaratkan hal yang fashionable.[23]
Satu hal yang pantas dicatat ialah, pada dua dekade belakangan muncul kecenderungan mengejawantahkan mitos. Hal itu tampak, misalnya, mitos Nyai Roro Kidul dalam Sang Nyai (2011) Budi Sardjono, mitos Keraton Boko dalam Roro Jonggrang (2011) Arie Sudibyo, mitos wayang dalam Semar Mesem (2011) R. Toto Sugiharto, mitos pesugihan Gunung Kawi dalam Menagih Janji Misteri Gunung Kawi (2016) Otto Sukatno, dan mitos Roro Mendut dalam Putri Pesisir (2016) Ardian Kresna. Pengejawantahan mitos ke dalam sastra memang memiliki risiko tersendiri. Tantangannya ialah apakah mitos itu menjadi semacam pakem ataukah hanya sebagai suatu titik pijak (bahan). Jika menjadi pakem tentu akan tampak pretensius dan cenderung melakukan pengukuhan terhadapnya. Tetapi, jika hanya menjadi titik pijak, sekadar sebagai context bound, dimungkinkan dapat melahirkan sesuatu yang baru, bahkan bisa jadi muncul pemikiran-pemikiran dekonstruktif, misalnya, seperti “lakon carangan” dalam wayang. Dan faktanya, dalam novel-novel yang lahir itu secara umum mitos diperlakukan sebagai pakem.
Dalam beberapa tahun belakangan pengarang Yogyakarta tampaknya juga tersihir oleh kecenderungan untuk merekonstruksi tokoh-tokoh atau peristiwa sejarah kejayaan masa lalu. Novel-novel yang mencoba mengangkat sejarah itu, terutama sejarah Jawa, di antaranya The True Story of Majapahit: Orang-Orang yang Berdiri di Balik Lahirnya Majapahit (2009), Gajah Mada: Menangkis Ancaman Pemberontakan Ra Kuti (2009), Trunojoyo: Sebuah Novel Epos (2009), Siasat dan Kemelut Atas Tahta (2010) karya Gamal Kamandoko; Centhini: Sebuah Novel Panjang (2009) karya Sunardian Wirodono; Gadis-Gadis Amangkurat: Cinta yang Menikam (2011) karya Rh. Widada; Ratu Kalinyamat (2010) karya Murtadho Hadi; Diponegoro (2010) karya Yudhi AW; Api Paderi (2010) karya Mohammad Solihin; Dendam di Bumi Mangir (2010) karya A. Darmasto; Joko Tingkir (2010) karya Agus Wahyudi; Sihir Pembayun (2014) dan Penangsang Memanah Rembulan (2016 karya Joko Santoso.
Hanya saja, sayangnya, sebagian besar novel-novel itu tidak pula menyajikan tafsir baru, apalagi menghadirkan wacana baru, sehingga membaca novel itu tidak ubahnya membaca buku sejarah yang telah ada. Akibatnya, novel-novel itu hanya tampak sebagai cetak ulang buku-buku sejarah dan cenderung tidak memiliki kontribusi yang memperkaya wawasan pemahaman atas sejarah itu sendiri. Dari sejumlah novel yang mencoba mengartikulasikan aspek sejarah itu, yang terlihat sedikit mampu keluar dari atau mampu menghadapi tantangan atas novel sejarah di antaranya Dendam di Bumi Mangir dan Penangsang Memanah Rembulan. Dalam Dendam di Bumi Mangir epos kepahlawanan dapat diekplorasi dengan matang dan dewasa sehingga tokoh-tokoh menjadi hidup dan berkarakter kuat. Sementara, dalam Penangsang Memanah Rembulan konflik-konflik politik, agama, kekuasaan, dan kemanusiaan dengan latar belakang sejarah Jawa abad ke-16 (pada masa kekuasaan Sutawijaya) dapat direkonstruksi dengan jernih.
Selain hal seperti yang telah dikemukakan, dalam dua dekade terakhir, ada beberapa karya yang memiliki kadar literer yang cukup (tinggi). Misalnya saja kumpulan cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (2010) karya Agus Noor. Sebab, cerpen-cerpen dalam kumpulan ini disajikan dengan teknik penulisan yang avant garde, pemilihan diksi dan ekspresi yang sangat literer, dan tepat dalam pengungkapan dan pemilihan peristiwa. Sepintas memang terasa sulit ditemukan apa tema kumpulan cerpen ini karena antara satu cerpen dan cerpen lainnya bercerita tentang hal-hal yang berbeda. Akan tetapi, setelah dicoba dirunut benang merahnya, hal-hal yang berbeda itu tersatukan ke dalam sesuatu yang lebih universal. Cerpen-cerpen itu bercerita tentang cinta dan kesetiaan, bertahan hidup dan kematian, kemiskinan dan kebahagiaan, dan sejenisnya, yang semua itu berujung pada kehidupan. Semua cerita di dunia ini memang memaparkan kehidupan seperti yang demikian sehingga untuk menjadikannya istimewa, si pencerita mesti harus bekerja keras; dan terbukti pengarang cerpen dalam kumpulan ini mampu dan berhasil melakukannya.
Buku kumpulan cerpen Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (2016) karya Eko Triono agaknya juga melahirkan harapan baru bagi masa depan sastra dan kesusastraan di Yogyakarta. Jelajah imajinasi yang tergambar di dalamnya manakjubkan; pilihan tema, eksplorasi gagasan, dan gaya berceritanya yang bernas menunjukkan cakrawala yang begitu luas dan unik. Sebagai penulis muda ia telah mendekati piawai ketika mendekonstruksi cara-cara berpikir lama; dan karenanya cerpen-cerpennya begitu mengejutkan. Meski sedikit berbeda, buku kumpulan cerpen Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia seperti Mersault (2016) karya Risda Nur Widia juga menunjukkan hal serupa. Pengarang yang juga masih muda ini telah memiliki gaya yang khas, ringan, jernih, dan menunjukkan keahliannya dalam bercerita. Satu lagi ialah novel Alkudus (2017) karya Asef Saeful Anwar. Melalui novel ini secara metaforik dan dengan cara yang mengejutkan pengarang mengajak kita untuk kembali melihat dan merenungkan sebenarnya apa itu esensi agama (apa pun). Agama (apa pun) mestinya bukanlah seperangkat dogma yang eksklusif, melainkan bisa menginklusi setiap (seluruh) mahluk hidup.
/4/
Paparan di atas memperlihatkan, sejak awal hingga dua dekade terakhir, Yogyakarta masih menunjukkan dinamikanya dalam hal kehidupan sastra. Meski tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan, berbagai komponen masih menunjukkan peran masing-masing yang sistemik. Pengarang masih terus aktif, kreatif, dan bertumbuh (regeneratif); dengan bertumpu pada idealisme penerbit masih mau menerbitkan buku-buku sastra; dan beberapa lembaga pendukung juga masih peduli terhadapnya. Sebagaimana terjadi pada umumnya, di Yogyakarta tidak hanya tumbuh karya sastra dalam bentuk (buku) cetak, tetapi juga tumbuh dalam media jaringan (internet). Bahkan, kebertumbuhan sastra di Yogyakarta langsung atau tidak juga didukung oleh komunitas (masyarakat) pembaca.[24]
Hanya saja, dilihat dari sisi kesastraan dan kecenderungan estetiknya, karya-karya sastra yang lahir sebagian belum menunjukkan kebaruan (eksplorasi estetik). Hal itu tidak hanya tampak dalam karya-karya fiksi, tetapi juga dalam karya puisi. Bahkan, karya-karya (buku) drama tidak tampak hidup di Yogyakarta. Dalam dua dekade terakhir, misalnya, hanya dijumpai beberapa buku drama, yakni Pada Sebuah Gardu (Nouvalitera, 2012) Khrisna Mihardja, Tak Ada Bintang di Dadanya (Interlude, 2016) Hamdy Salad, dan Kisah Dua Lelaki Hamil (2016) Sri Harjanto Sahid.[25] Kendati demikian, satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa sebagian besar karya sastra Indonesia di Yogyakarta menampakkan kecenderungan untuk mengeksplorasi lokalitas –yang dihadapkan pada problem realitas kemanusiaan umumnya–; dan kecenderungan ini tampak dipengaruhi oleh latar belakang pengarangnya (Melayu, Jawa, Madura, pesantren, dan sejenisnya). Hal inilah yang, barangkali, justru menjadi bentuk sumbang sih nyata bagi jagat kesusastraan Indonesia; dalam arti Yogyakarta merupakan bagian (kota, wilayah, komunitas yang) penting dari Indonesia dalam percaturan dunia (internasional).
Terakhir, yang perlu dicatat pula, agar Yogyakarta, juga Indonesia, tidak menjadi terra incognita di tengah relasi-sastra-budaya dunia, agaknya perlu ada upaya serius penerjemahan karya-karya sastra Indonesia (Yogyakarta) ke dalam bahasa internasional, tidak hanya bahasa Inggris tetapi juga bahasa lain. Selain karya Goenawan Mohamad, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar, Andrea Hirata, Hamka, Putu Wijaya, dan lain-lain dari khasanah sastra Indonesia, ada juga beberapa karya Umar Kayam, Joko Pinurbo, Eka Kurniawan, dan lainnya dari Yogyakarta yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing sehingga nama Indonesia (Yogyakarta) mulai dikenal dunia. Hanya saja, upaya itu rasanya belum cukup; perlu ada upaya lain, sebagaimana dipikirkan Iman Budhi Santosa, misalnya penerjemahan sastra Jawa ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian ke dalam bahasa asing. Hal demikian bisa saja bekerja sama, misalnya, dengan pihak hotel dan/atau maskapai penerbangan. Kira-kira begitulah.***
Semarang-Yogyakarta, 15 September 2019.
[1] Hal ini sebagian dapat dibaca pada nama-nama dalam buku Astana Kastawa: Antologi Karya Leluhur Sastra Indonesia (I dan II) susunan Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta (2014 dan 2015) yang memuat karya 56 sastrawan yang lahir di dan dari luar Yogyakarta.
[2] Dari Mingguan Pelopor terjadi peristiwa yang melegenda berkait dengan dinamika sastra di Yogyakarta. Sebab, dari sini (sejak Maret 1968) muncul PSK (Persada Studi Klub) dengan “presiden”-nya Umbu Landu Paranggi; bersama Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gitowarsono, dan M. Ipan Sugiyanto Sugito, mereka berikrar membentuk komunitas untuk mengasah kreativitas kepenulisan. Dan sejarah tentang PSK ini telah ditulis Asef Saiful Anwar dalam buku Persada Studi Klub dalam Area Sastra Indonesia terbitan Gama Press 2018. Dari komunitas (yang berakhir pada 1977) inilah kemudian lahir sastrawan kenamaan antara lain Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Emha Ainun Najib, Iman Budhi Santosa.
[3] Data-data sastrawan yang masih (atau pernah) berkiprah di Yogyakarta dapat ditelusuri dalam, antara lain, buku-buku berikut. Dalam antologi puisi Malioboro (Balai Bahasa DIY, 2007) tercatat ada 110 penyair (sejak 1945–2000; dalam buku antologi puisi Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya susunan Iman Budhi Santosa dan Mustofa W. Hasjim (Pesan Trend Budaya Ilmu Giri, 2014) tercatat ada 90 penyair; dalam antologi geguritan Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya susunan Iman Budhi Santosa dan Mustofa W. Hasjim (Pesan Trend Budaya Ilmu Giri, 2014) tercatat ada 33 penggurit; dalam buku Perempuan Bermulut Api: Antologi Cerita Pendek Indonesia di Yogyakarta (Balai Bahasa DIY, 2015) tercatat ada 92 cerpenis; dan dalam buku Orang-Orang Panggung DIY (Balai Bahasa DIY, 2016) tercatat ada 40 sastrawan-teater.
[4] Konon, jika ditambah dengan usaha percetakan dan penerbit-penerbit yang bukan anggota IKAPI, termasuk penerbit koran dan majalah, jumlahnya mencapai lebih dari 300.
[5] Khusus penghargaan pertama (2007) diberikan kepada buku sastra terbaik terbitan 3 tahun terakhir (hingga 2006), sedangkan penghargaan selanjutnya (sejak 2008) diberikan kepada buku sastra terbaik yang terbit pada tahun sebelumnya, demikian seterusnya hingga sekarang. Kegiatan pemberian penghargaan sastra ini didukung oleh IKAPI DIY.
[6] Buku-buku sastra terbitan 2004–2006 pada masa penghargaan 2007 di antaranya Dunia Seribu Wajah (cerpen, 2005) karya Arwan Tuti Arta; Mitos Kentut Semar (puisi, 2006) karya Rachmat Djoko Pradopo; Saru Siku (novel, 2006) karya Otto Sukatno; Bersampan Ke Seberang (cerpen, 2006) karya Satmoko Budhi Santoso.
[7] Buku-buku sastra terbitan 2007 pada masa penghargaan 2008 di antaranya Sinden (novel) karya Purwadmadi; Ki Ageng Miskin (puisi) karya Mustofa W Hasjim; Perempuan Panggung (novel) karya Iman Budhi Santoso; Ketika Kemarau Melintas di Biara (puisi) karya Rosindus JM Tae; Sali (novel), Zaman (novel), dan Ronggeng (novel) karya Dewi Linggasari; Sosok (novel) karya Nani Tato K; Kabut Kelam (novel) karya Ahmad Munif; dan Hikayat Kampung Mati (novel) karya Marhalim Zaini.
[8] Buku-buku sastra terbitan 2008 pada masa penghargaan 2009 di antaranya Asrama Putri (novel) karya Dewi Linggasari; Singgasana (novel) karya Lila Mahardika; Perempuan Kedua (cerpen) karya Labibah Zain; Perempuan di Bawah Gerimis (novel) karya Ahmad Munif; Nirzona (novel) karya Abidah El-Khalieqy; Lafazs-Lafazs Cinta (novel) karya Hadi S Khuli; Rahasia Wanita (novel) karya Qotrun Nada; Kepribadian Wanita (novel) karya Suminaring Prasojo; Sujud Nisa di Kaki Tahajjud Subuh (novel) karya Kartini Nainggolan; Sang Pelopor (novel) karya Alang-Alang Timur; Mata Air Akar Pohon (puisi) karya Nur Wahida Idris.
[9] Buku-buku sastra terbitan 2009 pada penghargaan 2010 di antaranya Titian Sang Penerus (novel) karya Alang-Alang Timur; Hakikat (novel) karya M Hilmi Asad; Sepertiga Malam (novel) karya Syaiful Erfad; Bisikan Surga (novel) karya Yani Rahma Nugraheni; Mencintai Malaysia (novel) karya Sidik Jatmika; Maestro (novel) karya Alex Suhendra; Perempuan Kedua (novel) dan Nayla (novel) karya Siti Rofikah; Doa untuk Dinda (novel) karya Endik Koeswoyo; Cinta 1001 Malam di Khatulistiwa (puisi) dan Karnaval Cinta (puisi) karya Cecilia Guno Samekto; Negeri Kong Draman (puisi) karya Akhmad Fikri; Tidur Tanpa Mimpi (puisi) karya Rachmat Djoko Pradopo; The True Story of Majapahit (novel), Gajah Mada (novel), dan Trunojoyo (novel) karya Gamal Kamandoko; Centhini (novel) karya Sunardian Wirodono; dan Juragan Subeyojeka (novel) karya Nur Iswantara.
[10] Buku-buku sastra terbitan 2010 pada masa penghargaan 2011 di antaranya Awan Abrit (puisi) karya Fitra Firdaus A; Analea Cewek Penggila Bola (novel) karya Isna K; Joko Tingkir (novel) karya Agus Wahyudi; Siasat dan Kemelut atas Tahta (novel) karya Gamal Kamandoko; Ratu Kalinyamat (novel) karya Murtadho Hadi; Diponegoro (novel) karya Yudhi AW; Api Paderi (novel) karya Mohammad Solihin; Positif (novel) karya Maria Silvi; Memorabilia dalam Keabadian (novel) karya laila Nurazizah; Dunia Padmini (novel) karya Trie Utami; Mata Blater (cerpen) karya Mahwi Air Tawar; dan Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (cerpen) karya Agus Noor.
[11] Buku-buku sastra terbitan 2011 pada masa penghargaan 2012 di antaranya Bunga Tabur Terakhir (cerpen) karya GM Sudarta; Di Tepi Damba (puisi) karya Anak Padmawidya; Red Blood Ring (novel) karya Jojo Alexander; Hati Sinden (novel) karya Dwi Rahayuningsih; Sang Nyai (novel) karya Budi Sardjono; Menapak Jejak (puisi) karya Dewi Linggasari; Roro Jonggrang (novel) karya Arie Sudibjo; Semar Mesem (novel) karya R Toto Sugiharto; Gadis-Gadis Amangkurat (novel) karya R Widada; Hikayat Kata (puisi) karya Bambang Widyatmoko; Aku dan Puisi karya mahasiswa USD; Yang (puisi) karya Abdul Wachid; dan Ning (novel) karya Mazadek Hari.
[12] Buku-buku sastra terbitan 2012 pada masa penghargaan 2013 di antaranya Lengkingan Viola (cerpen) karya Ramayda Akmal; Genderang Baratayuda (novel) karya R Toto Sugiharto; Mengenali Yogya (puisi) karya Ons Untoro; Musim Hujan Datang di Hari Jumat (puisi) dan Ketika Tuhan Melukis Hati Manusia (puisi) karya Mustofa W Hasjim; Cinta, Luka, Cemburu (puisi) dan Terpahat pada Awan (puisi) karya Rina Eklesia; Pengembaraan Debu (puisi) karya Hari Palguna; Misteri Gadis Kaligrafi (novel) karya Faturrohman Karyadi; Tartila (novel) karya Arifa; Kontroversial (cerpen), Pada Sebuah Gardu (drama), Citra (novel), Merapiku, Puisiku, dan Orang-Orang di Sekelilingku (puisi), dan Demit (cerpen) karya Khrisna Mihardja; Sastra Jendra Hayuningrat (novel) karya Agus Sunyoto; Tuan Dalang (novel) karya Dwi Rahayuningsih; Api Merapi (novel) karya Budi Sardjono; Conserto Al Malioboro (novel) karya Angsel Watra; Lintang (novel) karya Nana Rina; Pertanyaan Srikandi (puisi) karya Wiyatmi; dan Perempuan Berlipstik Kapur (cerpen) karya Esti Nuryani Kasam.
[13] Buku-buku sastra terbitan 2013 pada masa penghargaan 2014 di antaranya Perempuan yang Memetik Mawar (novel) karya Dahlia Rasyad; Ziarah Tanah Jawa (puisi) karya Iman Budhi Santoso; Burung-Burung di Tiang Duka (puisi) karya Aly D Musrifa; Roro Jonggrang (novel) karya Budi Sardjono; 9 Kubah (puisi) karya Evi Idawati; Panji Asmorobangun (novel) karya Toto R Sugiharto; Rahim Titipan (novel) karya Satmoko Budhi Santoso; Senapan Tak Berpeluru (novel) karya Joko Santoso; Senja di Chao Praya (novel) karya Endah Setyawati; Nyanyian Raflesia (novel) karya Setyawati Iriani Nugroho; Tuhan, Maaf, Engkau Kumadu (novel) karya Aguk Irawan; dan Bangsal Sri Manganti (puisi) karya Suminto A Sayuti.
[14] Buku-buku sastra terbitan 2014 pada masa penghargaan 2015 di antaranya Sihir Pembayun (novel) karya Joko Santoso; Nyai Gowok (novel) karya Budi Sardjono; Rajawali Satu Sayap (novel) karya Ulfatin Ch.; Matapangara (novel) karya Raedu Basha; Lamsijan (novel) karya Asep Saeful Anwar; Antologi Puisi Wayang dan Lain-Lain (puisi) karya Purwadmadi; Tasbih Merapi (puisi) karya Hamdi Salad; Persinggahan Akhir Tahun (puisi) karya Suminto A Sayuti; dan Mahabarata (novel) karya Herjaka HS.
[15] Buku-buku sastra terbitan 2015 pada masa penghargaan 2016 di antaranya Maria Zaitun: Adaptasi Nyanyian Angsa WS Rendra (novel) karya Joko Santoso; Bunga-Bunga Kesunyian (cerpen) karya Risda Nur Widia; Teratak Daun Rumbia (cerpen) karya Susi Purwani; Ken Arok dan Ken Dedes (novel) karya Gamal Kamandoko; Kawin Muda (cerpen) karya Jajak MD; Pameran Patah Hati (novel) karya Mini GK; Memorabilia (novel) karya Kiki Ramdani; dan Hujan Pertama untuk Aysila (novel) karya Edi AH Iyubenu.
[16] Buku-buku sastra terbitan 2016 pada masa penghargaan 2017 di antaranya Anak-Anak Minyak (novel) karya Imperial Jathe; Penangsang Memanah Rembulan (novel) karya Joko Santoso; Fazan (novel) karya Yudhi AW; Gejolak Jiwa (puisi) karya Supriadi; Muslimah Bintang Tujuh (novel) karya Rudi Hendrik; Menagih Janji Misteri Gunung Kawi (novel) karya Otto Sukatno CR; Sebutir Debu di Kaki Ka’bah dan Emak Tonce (novel) karya Pago Hardian; Pulung (cerpen) karya Nunung Deni P; Kado Kemenangan (cerpen) karya Marwanto; Bulan Bukit Menoreh (puisi) karya Marjudin Suaeb; Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (cerpen) karya Risda Nur Widia; Ombak Negeri Legenda (puisi) karya Aly D Musrifa; Mantra Bumi (puisi) karya Aprinus Salam; Memorabilia dan Melankolia (cerpen) karya Agus Noor; Kisah Dua Lelaki Hamil (drama) karya Sri Harjanto Sahid; Perempuan yang Mencintaimu dalam Kesunyian (novel) karya Vita Agustina; Energy Bangun Pagi Bahagia (puisi) karya Andy Sri Wahyudi; Aku Ingin Meniup Balon (novel) karya Aik Vela Pratisca; Kecamuk Kota (puisi) karya Rudi Santoso; Bukan Semilah (novel) karya Nadin T; Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (cerpen) karya Eko Triyono; Tak Ada Bintang di Dadanya (drama) karya Hamdi Salad; Malioboro 2057 (puisi) karya Sutirman Eka Ardana; Lukisan Anonim (puisi) karya Umi Kulsum; Potret Wanita Jawa (puisi) karya Fitri Merawati; Kidung Rindu di Tapal Batas (novel) karya Aguk Irawan; dan Putri Pesisir (novel) karya Ardian Kresna.
[17] Buku-buku sastra terbitan 2017 pada masa penghargaan 2018 di antaranya Igor: Sebuah Kisah Cinta yang Anjing karya Risda Nur Widia; Gita Donya karya Dhama Dove; Telembuk karya Kedung Darma Romansha; Nujum karya Isidora Damaika Saktiani; Alkudus karya Asef Saeful Anwar; Pekik Jihad Perempuan Jawa karya Fachruddin Ghozy; Sifat Baik Daun karya Daruz Armedian; Kamu sedang Membaca Tulisan ini karya Eko Triono; Saya Tidak Boleh Berbicara sejak Bayi demi Kebaikan-Kebaikan karya Edi AH Iyubenu; Bedak dalam Pasir karya Sule Subaweh; Pacarku Memintaku Jadi Matahari karya Reza Nufa; Percakapan Burung-Burung dan Cerita-Cerita Lain karya Nurul Hanafi; Rumbalara Perjalanan karya Bernando J. Sujibto; Rahasia Dapur Bahagia: Ensiklopedia Kuliner dalam Puisi karya Hasta Indriana; Pleidoi Main Kundang karya Indrian Koto; Tak Ada Puisi Hari Ini karya Sunawi; Lelaki Pengulum Sunyi karya Sunawi; Pertanyaan-Pertanyaan tentang Dunia karya Mutia Sukma; Akar Ketuban karya Umi Kulsum.
[18] Pada 2017, misalnya, terpilih 5 novel terbaik dan diterbitkan, yakni Pulung Gantung Tali Pati karya Iman Budhi Santosa; Kadang Suriname Sanak Merapi karya Fuji Riang Prastowo; Sengara Mati karya Siti Aminah; Kori Wus Tinarbuka karya Sriharyanti; Begog Godhong Asem Pereng Gunung Merapi karya Sugeng Subagya. Dan, bagusnya, novel-novel hasil lomba ini ditulis berdasarkan hasil riset pengarangnya, sebagaimana dipersyaratkan oleh panitia melalui pengajuan proposal.
[19] Pengayom swasta (mandiri) ini di antaranya dilakukan oleh Yayasan Sastra Yogyakarta (YASAYO) milik Rachmat Djoko Pradopo yang hampir setiap tahun memberikan penghargaan kepada pengarang dan peneliti sastra Indonesia dan Jawa. Seratus persen dana yang digunakan oleh Yasayo adalah dana pribadi.
[20] Dari kelompok mahasiswa sastra UGM, misalnya, bersama Pustaka Pelajar, lahir antologi cerpen Nyidam (1994) dan Maling (1994); dari MPI-IKIP Muhammadiyah (sekarang UAD) lahir antologi puisi Seninjong (1986) Andrik Purwasito, Sajak Penari (1990) Ahmadun Y. Herfanda, Cahaya Maha Cahaya (1988) Emha Ainun Nadjib, Syair-Syair Cinta (1989) Suminto A. Sayuti; dari IAIN (UIN) Sunan Kalijaga lahir antologi Sangkakala (1988) dan Kafilah Angin (1990); dari UNY lahir Lingkaran Kosong: Antologi Puisi (1980) dan Catatan Tanah Merah (1992); ditambah lagi dengan terbitan lain dari Sarjana Wiyata, Universitas Sanata Darma, dan sebagainya.
[21] Menurut data yang dihimpun oleh Himpunan Sastrawan dan Komunitas Sastra DIY (HSKS DIY) pada 2015 tercatat tidak kurang 60 komunitas sastra Indonesia yang masih aktif. Beberapa di antaranya Studio Pertunjukan Sastra, Sastra Bulan Purnama Tembi, Forum Apresiasi Sastra LSBO, Ngopinyastro, Diskusi Sastra PKKH, Teater Eska, Studi Sastra dan Teater Sila, Masyarakat Poetika Indonesia, Sanggar Seni Sastra Kulonprogo, Malam Selasa Sastra, Rubud EAN, dll. Sementara, komunitas yang bergerak di bidang sastra Jawa, yang aktif sejak tahun 1970-an, misalnya Sanggar Sastra Brayan Muda (1976), Sanggar Sastra Sujadi Madinah (1976), Sanggar Sastra Buana Patria (1976), Sanggar Sastra Gambir Anom (1986), Sanggar Gurit Gumuruh (1988), dan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (Balai Bahasa, 1991). Memang tidak semua komunitas tersebut berfokus pada sastra, tetapi sastra mendapat porsi yang cukup baik. Bagi yang fokus pada sastra umumnya menyelenggarakan kegiatan rutin. Studio Pertunjukan Sastra, misalnya, selama kira-kira sepuluh tahun telah melaksanakan kegiatan dan pertunjukan sastra sekitar 120 kali (rutin sebulan sekali dan belum lagi kegiatan insindental). Dan akhir-akhir ini, dengan munculnya upaya pemasyarakatan buku, termasuk buku-buku sastra, misalnya lewat Festival Kebudayaan Yogyakarta, Kampung Buku Jogja, Mocosik, dan lain-lain, akan semakin menambah gairah masyarakat terhadap buku (sastra).
[22] Berkait dengan hal ini telah terbit buku Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku: Proses Kreatif Pengarang Yogyakarta (2016) dan Njajah Desa Milang Kori: Proses Kreatif Novelis Yogyakarta (2017), keduanya terbitan Balai Bahasa DIY. Buku pertama memuat tulisan proses kreatif 50 pengarang dan buku kedua memuat tulisan proses kreatif 20 novelis Yogyakarta.
[23] Hal ini misalnya tampak dalam novel Lafazs-Lafazs Cinta (Hadi S Khuli, 2008), Rahasia Wanita (Qotrun Nada, 2008), Doa untuk Dinda (Endik Koeswoyo, 2009), Titian Sang Penerus (Alang-Alang Timur, 2009), Hakikat (M. Hilmi Asad, 2009), Sepertiga Malam (Syaiful Erfad, 2009), Bisikan Surga (Yani Rahma Nugraheni, 2009).
[24] Sekadar contoh, Hipwee Community pernah melakukan pooling tentang siapa sastrawan Yogyakarta yang paling digemari. Dari hasil pooling tersebut ternyata ada lima sastrawan yang karyanya paling digemari (menjadi idola) pembaca, yakni Emha Ainun Najib, Joko Pinurbo, Bernard Batubara, Muhidin M. Dahlan, dan Gunawan Maryanto (www.hipwee.com).
[25] Hanya saja, jika ditelusur lebih jauh, naskah-naskah drama cukup banyak jumlahnya, tetapi naskah-naskah itu tidak diterbitkan menjadi buku kumpulan drama. Hal demikian dapat dirunut melalui buku Orang-Orang Panggung Daerah Istimewa Yogyakarta (Herry Mardianto dkk.) terbitan Balai Bahasa DIY tahun 2016 yang memuat biografi 40 seniman panggung DIY.