Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Buramnya Wacana Kedaerahan pada Liga Dangdut

author = Michael H.B. Raditya

Faul, seorang pemuda asal Bener Meriah, Aceh, dinobatkan menjadi Juara kompetisi bernyanyi Liga Dangdut Indonesia (LIDA) pada Mei 2019 yang lalu. Tidak hanya peserta dari Aceh, juara kedua juga diraih oleh pemudi asal Sulawesi Selatan, Puput; sedangkan juara ketiga ditempati pemudi asal Maluku, Sheyla. Berlangsung selama empat bulan, mereka bertiga harus berjibaku untuk menjadi pemenang dengan peserta dari pelbagai provinsi lainnya, sekaligus menjadi objek dari program hiburan yang ditunggu oleh penonton layar kaca di setiap malamnya. 

Pun kompetisi yang ditayangkan oleh stasiun swasta, Indosiar ini [dibuat] berlangsung cukup ketat dengan hasil persentase kemenangan, 35%, 32,94%, dan 30.95% untuk ketiga posisi juara. Hal yang menarik dari ketiga juara terpilih, tidak satu pun dari mereka berasal dari pulau Jawa atau kota-kota besar yang kerap digadang-gadang karena pembangunannya. Tentu hal ini dapat ditafsirkan dengan pelbagai versi, baik sebagai juara yang tidak berasal dari kota “besar” semata; saatnya daerah bicara; dangdut sebagai genre penengah; dangdut menjadi musiknya masyarakat Indonesia di mana pun berada; dan lain sebagainya.

Namun dari itu semua, terdapat hal yang menggelitik, apakah kemenangan mereka bertiga merupakan ejawantah desentralisasi? Apakah kedaerahan menjadi agenda kepentingan yang diejawantahkan melalui hiburan? Atau jangan-jangan kedaerahan hanya menjadi komoditi semata, bukan sebagai wacana yang patut dan harus diperjuangkan. 

Hiburan Berbalut Kepentingan atau Sebaliknya?

Kompetisi liga dangdut telah berlangsung dua musim, yakni pada tahun 2018 dan 2019. Di setiap musimnya, kompetisi berlangsung dari awal bulan Januari hingga bulan Mei dengan durasi acara kompetisi terpanjang, yakni pukul 18.00-01.30 WIB. Menggandeng deretan biduan, biduanita, dan penyanyi lintas genre, semisal: Soimah, Nassar KDI, dan Inul Daratista sebagai juri tetap; Rita Sugiarto, Dewi Persik, Zaskia Gotik, dan Erie Suzan sebagai juri tetap yang bergantian di setiap episode; serta Ruth Sahanaya, Richie Five Minutes, Bams Ex-Samsons, Melly Goeslaw, Abdel Achrian, dan Hotman Paris sebagai juri tamu yang juga datang berganti-gantian.

Jika dilihat, susunan juri memang dibuat terasa beragam, baik dari biduanita dangdut, biduanita dangdut koplo, pemenang kompetisi, penyanyi lintas genre, serta orang-orang di luar semesta tarik suara yang diyakini dapat menaikkan rating. Namun, hal tersebut justru terbaca sebagai upaya untuk membuat kepercayaan kepada penonton bahwa kompetisi [seakan-akan] representatif, serta sebagai legitimasi diterimanya peserta dan dangdut oleh genre lain. Hal ini sudah barang tentu menarik atensi penonton secara lebih.

Berbeda dengan musim sebelumnya yang dimenangkan oleh Selfiyani asal Sulawesi Selatan, pada musim kedua ini pelbagai perubahan dilakukan, semisal: audisi yang sebelumnya dilakukan secara langsung di 34 provinsi dibuat lebih banyak, sebagai contoh di Jawa Barat dan Jawa Timur diselenggarakan di dua tempat berbeda; turut diadakannya audisi daring (online); konser kolaborasi dengan penyanyi genre lain; konser yang membawa nuansa kedaerahan; hingga konser final pada musim kedua berlangsung selama dua malam, 2 dan 3 Mei 2019. Dari hal tersebut, perubahan dibuat untuk mengakomodasi pelbagai daerah yang mempunyai cakupan luas, yang secara tidak langsung turut mendesiminasikan informasi LIDA lebih tersebar. Hal ini tentu menjadi investasi LIDA kepada peserta ke depan. Belum lagi wacana kedaerahan yang seakan menjadi “obat generik” akan keadaan Indonesia yang tengah bergejolak. 

Bertolak dari agenda-agenda di atas, LIDA 2019 menjelma sebagai tontonan yang menghibur, mewakili warga Indonesia yang berbeda-beda, sekaligus menyimpan agenda persatuan untuk penonton. Hal ini seakan menjadi mutualisme dengan agenda pemerintah—entah dilakukan secara sadar atau tidak. Jika demikian adanya, maka hal ini tentu menjadi cara yang menarik untuk menggalang persatuan, tetapi perlu dipikirkan, seberapa jauh kedaerahan dikomodifikasi oleh industri hiburan dan seberapa mendalam kah kepentingan tersebut diterapkan?

Berbeda-beda tetapi Dangdut Juga

Kompetisi bernyanyi semacam ini bukanlah ihwal baru dalam jagad industri hiburan Indonesia. Beberapa kompetisi, seperti: Akademi Fantasi Indonesia, Indonesia Idol, X Factor Indonesia, Rising Star, hingga The Voice Indonesia, turut membuka kesempatan yang tidak jauh berbeda, yakni dengan audisi di beberapa kota dengan maksud mendapat perwakilan dari setiap daerah. Pun untuk kompetisi dangdut juga berlaku hal senada, seperti: Kontes Dangdut Indonesia (KDI), Bintang Pantura, dan D’Academy yang menggelar audisi di beberapa kota besar. Singkat kata, kompetisi-kompetisi tersebut sudah mempunyai kesadaran bahwa perwakilan provinsi dianggap penting untuk menunjukkan ketersebaran. 

Bertolak dari ketersebaran dan kedaerahan, pada dasarnya kedaerahan di dalam lanskap pertelevisian bukanlah ihwal baru. S. Waisbord mengungkapkan bahwa penonton [Indonesia] lebih menyukai konten domestik dan regional daripada program asing [1]Waisbord, S. (2004) ‘McTV: Understanding the global popularity of television for- mats’, Television & New Media, 5 (4): 369. Dari hal tersebut, Penelope Coutas mencatat bahwa [mulai] tahun 1999 stasiun televisi di Indonesia memiliki lebih banyak konten ‘lokal’ daripada sebelumnya [2]Coutas, Penelope. 2008. “Fame, fortune, Fantasi: Indonesian Idol and the new celebrity” dalam Popular Culture in Indonesia Fluid identities in post-authoritarian politics, Ariel Heryanto (ed.). … Continue reading . Alhasil, konten lokal atau wacana kedaerahan sudah berlangsung sejak lama di dalam semesta pertelevisian Indonesia. Kendati demikian, LIDA secara tegas memberikan porsi pada peserta dari tiap provinsi di Indonesia. Secara khusus, mereka memang mempertemukan dan mengontestasikan para peserta yang menjadi delegasi dari setiap provinsi. Tidak hanya itu, mereka lengkap menautkan pelbagai “pernak-pernik” yang menyertainya, semisal menghadirkan mereka dengan baju daerah, bahasa daerah, lagu daerah, dan pelbagai produk budaya lainnya. Kendati demikian, semangat yang ingin dimunculkan bukanlah perbedaan yang kian meruncing, melainkan perbedaan yang disatukan dengan sebuah kesamaan, yakni dangdut. Persis dengan tagline program yang mereka buat, “Seni Menyatukan”.

Pun hal ini kiranya senada dengan konteks Indonesia dan agenda NKRI belakangan, yakni persatuan di tengah isu perpecahan yang dilakukan oleh segelintir kelompok. Bahkan, selarasnya agenda mewujud pada sebuah perjumpaan antara rombongan LIDA dengan orang nomor satu Indonesia, Presiden Joko Widodo, pada April silam. Di kesempatan tersebut, rombongan LIDA menunjukkan kemewahan kedaerahan yang mereka punya dan dipersatukan melalui seni. Hal yang kiranya selaras dengan agenda persatuan kabinet Jokowi-JK. Bak gayung bersambut!

Penyeragaman, Bukan Pemekaran

Pada awalnya, saya mendukung dilangsungkannya LIDA atas dasar wacana kedaerahan yang diusung dan diakomodasi. Namun kelamaan, wacana kedaerahan yang digadang-gadang justru terasa menjadi buram. Sederhananya, kedaerahan hanya menjadi gimmick. Di mana, kedaerahan hanya menjadi pelengkap, bukan penggerak. Padahal, kedaerahan justru mempunyai peluang sebagai “bahan bakar” utama dari acara tersebut. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa LIDA tidak sepenuhnya lalai, terlebih pada juara LIDA 2019, Faul. Di mana Faul kerap menautkan lirik Aceh ketika ia menyanyi pada beberapa episode dan melakukan kolaborasi menarik dengan Soimah di Konser Result Top 4 LIDA. 

Bertolak dari hal tersebut, mengapa hanya beberapa peserta saja yang mempunyai peluang seperti Faul? Apakah ada agenda tertentu mengingat hubungan dengan Aceh tidak terlalu baik belakangan? Apakah yang ditawarkan dari kedaerahan dari kompetisi tertaut? Apakah sebatas peserta yang berasal atau berdomisili di daerah yang diwakili? Pasalnya, bukan soal kuantitas provinsi yang dirangkul, melainkan kualitas seorang peserta mengenal daerahnya sendiri. Singkat kata, bukan bagaimana dangdut dinyanyikan oleh seluruh provinsi, melainkan bagaimana kedaerahan memberikan warna di dalam media hiburan dan dangdut. Semisal dengan fokus timbre suara yang berbeda-beda; interpretasi kultural yang beragam, dan lain sebagainya. Hal ini tentu akan memberikan wacana kedaerahan yang menarik serta tawaran warna pada dangdut ke depan.

Namun yang terjadi justru berkebalikan, warna kedaerahan hanya timbul tenggelam. Sebagai gantinya, dangdut klasik—atau dangdut pada era Rhoma Irama—lah yang menjadi panutan sekaligus aturan peserta dalam bernyanyi. Pendisiplinan dan penyeragaman inilah yang terjadi pada tiap peserta yang [sebenarnya] berbeda-beda secara referensi musikal, semisal dangdut daerah, seperti: dangdut koplo, dangdut saluang, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, penyeragaman musikal ini terus dilakukan hingga mereka pantas menjadi duta dan mengemban nama LIDA di belakang namanya kelak. Sebagaimana para pemenang akan menjadi duta dangdut yang menjadi representasi dari “agenda” serta wacana tertentu.

Alhasil, saya melihat bahwa LIDA tidak lebih dari penyegaran agenda dangdut lama yang meminjam wacana kedaerahan semata. Bukan sebagai upaya pemekaran kedaerahan—lebih lanjut pada karakter yang dimiliki di pelbagai daerah di Indonesia—yang diusung, ditunjukkan, dan ditumbuhkan pada ruang yang sama, yakni musik dangdut.

References

References
1 Waisbord, S. (2004) ‘McTV: Understanding the global popularity of television for- mats’, Television & New Media, 5 (4): 369
2 Coutas, Penelope. 2008. “Fame, fortune, Fantasi: Indonesian Idol and the new celebrity” dalam Popular Culture in Indonesia Fluid identities in post-authoritarian politics, Ariel Heryanto (ed.). New York: Routledge.