Category: Puisi

  • Aku Mencintaimu Lebih dari Buku-Buku

    author = Chandra Wulan

    Aku Mencintaimu Lebih dari Buku-Buku

    lembar-lembar beraroma kayu merengek memintaku membaca,
    tapi dua lembar kelopak matamu yang mengantuk lebih menggoda
    mengerjap perlahan, memancar sayang

    kuhirup wangi sampo dan kelelahan dari balik selembar daun telingamu sebelah kanan
    kertas-kertas kusut
    rambutmu kusut
    kasur carut marut

    halaman menguning dimakan ingatan
    gigi kita kuning ditempeli kopi tiap pagi

    aku batal membaca
    buku cerita di tangan kananku terbuka
    sayang, buku-buku jarimu lebih menarik untuk kutelusuri lekuknya

    huruf demi huruf merangkai kata di kepala
    keluar dari lidah manismu
    kalimat-kalimat di buku mengabur tanpa kabar
    lelah menunggu tak terbaca

    aku mencintaimu lebih dari buku-buku
    jangan bilang-bilang buku!

    2018

    Kapal

    pernah suatu masa pada puncak keberanianku,
    aku bertanya,
    “sayangkah kau kepadaku?”

    jawabanmu seperti kata-kata penyair
    tenang dan mengawang-awang

    ketakutanku menjelma laut
    pada bulan purnama
    sejak itu aku tahu,
    kepastian tak mesti lebih baik
    dari apapun juga

    keberadaanmu adalah mercusuar,
    yang menuntunku berlabuh
    atau menjauh

    Yogyakarta, 2018

    Dadamu Sebidang Kebun

    aku tidak bisa berenang
    karena itulah, aku akan rela saja
    jika harus tenggelam—
    di dadamu.
    sampai bunga-bunga di bajuku sesak napas
    sampai luntur gugur meresap menerabas
    katup tersembunyi di balik dadamu
    sebelah kiri
    dan terlewatkanlah satu degupan
    yang mengejutkanmu
    hingga tanganmu terpakssa
    menenggelamkan aku lebih jauh
    lebih dalam
    pekat
    cemas berirama
    detak silih berganti
    ramai damai

    pakaianku tanah hitam subur
    dadamu sebidang kebun
    yang menumbuhkan aku

  • Aku Mau Jadi Manusia oleh Antonius Wendy

    author = Antonius Wendy

    Catatan Redaksi:
    Puisi-puisi Antonius Wendy adalah pertanyaan-pertanyaan tanpa kalimat tanya dan jawaban-jawaban tanpa kesimpulan, menyoal muasal, kehidupan, dan masa depannya, tentang kegelisahan hidup seseorang mengapa kehidupan nyata yang jauh dari ideal. Aku dalam salah satu puisi ini nampaknya menginginkan kemerdekaan, kemenangan dan kebahagian. Tapi jika menghadapi dunia saja kalah bagaimana kita menang pada akhirnya nanti?
    Dengan demikian, puisi ini nampak menunjukkan ironi, tentang keinginan untuk melawan di tengah ketidakberdayaan, tentang harapan di tengah tak adanya kepastian dan tentang keinginan akhir yang bahagia di tengah penderitaan.

     

    Aku Mau Jadi Manusia

    kau kulit api yang pupur kata
    mereguk sari zaman lunta

    kami hangus kau tumbuh luas
    dari esensi dualitas entitas
    jadi patung medusa tanpa kepala
    diami bandang pandang mata

    tapi bukan cuma soal imaji palsu
    bukan pula janji cemerlang biru
    sedang belerang sekarang rumah
    menimpang dunia lekang patah

    kawanku sempat nulis puisi
    kalau kalau hidup bakal hidup
    begitu pun mati bakal mati

    dan itulah, ialah jalan tiada
    selain ingin binasa segala suara

    maka ini orasi
    karangan aspirasi

    tanya yang tak punya jawaban
    hidup yang tak punya masa depan

    aku mau hidup dan bertanya sekalian
    aku mau jawaban masa depan
    pesuk jentera tak lagi awas laras
    untuk itu aku panjat ke atas batas

    Yogyakarta, Oktober 2017

     

     

    N I H I L

    tiada kelayakan daripada mereka
    menaungkan diri kepada cahaya
    cahaya binasa yang menolak bersinar
    hingga masa berujar, “Mati lebih benar.”

     

    A G N O S T I K

    Tiada derita tanpa cerita, untuk menopang doa dari silih ganti muara. Pada mulanya ialah ujud niskala merayap senyap bara. Melewati peningkah elegi pagi menghias segendang embun. Gerimis tipis kikis menepis baris terhenyak bersenandung. Memintal angin di sisi bukit. Mengarak jarak. Memahat pintu. Menunggu dan memalingkan muka dari ruap rupa rembulan yang senang merayu tempias sunyi di kaca jendela. Tiada cerita tanpa derita, kota tanpa kata, yang akhirnya kembali kepada kesia-siaan makna.

     

    Pe

    gemerlap dunia saling bertubrukan
    menggusur tepi dengan busur
    celaka dalam penyamaran
    simpang siur

    di sana kita bernama ambang
    tempat jiwa tidak tenteram
    terperangkap tanggung jawab

    juga bibir gerimis pernik keji
    menghujani angin tersimpuh sedu

    kutemu matamu menyatu
    dalam kesukaran lingkup semesta

    tapi kekasih, kelak jenazah aku
    yang belum sempat dimandikan
    memijar pijar liar
    haus pada genta
    dan beringsut
    dan menubruk
    piring piring rengat
    dinding miring lempung
    dari seringai misai badai
    yang selama ini di pelupuk kamu

    setiap hari, setiap detik saja
    kutemui diri semakin bahagia

    aku mau berakhir dengan senyuman
    kemenangan!
    dan mereka, manik pernik malam keji
    yang mengguyur lapang jengkal dahi ini
    tak akan pernah mampu ambil nyawaku

    Yogyakarta, Oktober 2017

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • 1984 dan Puisi-puisi Lainnya

    author = Edwin Anugerah Pradana

    Prosesi

    Di perahunya, para nelayan 

    menerka langit yang membutir

    dan mendung muncul 

    dengan pola rosemari.

     

    Tak banyak potret yang tertangkap:

    mata mereka terarah di joran patah,

    kail dengan bau asma, diesel yang lengah

    dan suara batuk mengerap.

     

    “Kembalikan saja jiwa kami…”

    Di prosesi itu, mereka nyanyikan 

    lagu takut yang lepas dari jaring. 

     

    “Kembalikan saja jiwa kami,

    jika surga sepi

    dan neraka mungkin kita kenali.”

     

    2020

    1984

    I

    “Mengapa kita tak jujur, Winston?”

    Julia seperti bertanya 

    dari arah dipan 

    dengan nyeri di 

    negeri yang maklum.

     

    Mereka tata berahi, di ruangan itu.

     

    II

    Sementara di luar, 

    kota memasang dua sayap 

    bendera partai 

    dalam sebongkah lahan yang penuh

    tapi mati. 

     

    Ada yang mati

    yang mati, 

    yang jujur

     

    III

    Lewat jendela, matahari 

    mengincar sepasang

    pemberontak dengan

    wajah dop itu.

     

    Ada kalanya, mereka 

    istirahat dari 

    takut di kerumunan.

     

    Derit dipan, 

    samar bohlam, 

    suara yang dijemput anak-anak tangga. 

     

    IV

    Tapi berahi, mereka susun, 

    dari langkah-langkah

    para prol dan apek desa.

     

    Cinta yang diiringi 

    seorang penunggu

    dengan mimik bernuansa

    museum-seorang pria dengan 

    senyum lokal. 

     

    Cinta yang mereka lelehkan

    di tubuh bom dan trauma.

     

    V

    Ia ulang itu, pintu yang menggambar

    warna-warna tentara. Takut yang tumbuh

    dan mengencangkan gempa 

    di udara mereka berdua.

     

    VI

    Ungu, atau biru, warna pejalan

    dari jauh mereka tebak 

    sedang menggusah lapar

    di bintang mati.

     

    Kini mereka makin takut. 

    Kini trauma menusuk. 

    Kini, desah mereka 

    adalah bayang-bayang

    bom dan parit-parit Oceania. 

     

    VII

    “Mengapa kita tak jujur, Julia,

    pada mata tuhan

    yang palsu, juga

    kepada batukku yang

    lembab saat kita

    bersentuhan pada ritus pertama?”

     

    VIII

    Winston bayangkan itu, sesaat 

    sebelum waktu mencegahnya

    dari malam yang putih, dari

    hari yang terpasang 

    di frasa sabotase.

     

    IX

    Lalu nama kita tak dieja lagi.

     

    “Mari kita selesaikan 

    cinta ini, mabuk ini, takut ini

    dengan lenguh yang sirene 

    dan nafas yang patuh.”

     

    Sebab mereka, tak bisa mengeja lagi.

     

    2020

    Setelah Panas

    Di depannya retakan tanah kering: 

    tempat capung membawa 

    kabar bahwa telah lama

    tak ada yang melintas di halaman.

     

    Di sekitar, ada bau

    kemarau yang telanjang.

    Dan debu pagar menindih

    karat seolah karang.

     

    Kusesap warna 

    yang mencair

    di ornamen tubuhmu.

     

    Ia katakan itu. Meski belum siap 

    untuk panas yang meraba, mereka (pada akhirnya)

    terbenam di demam yang sama.

     

    2020

    Di Pesisir

    “Aku tak dingin.”

    Ia seperti berbisik, sedikit tersenyum.

    Gadis itu tak bicara banyak setelah dusun kosong 

    dan sepi seperti tiba dari zaman pertama.

     

    “Siapa yang kau kenang?” 

    “Mungkin tak ada. Atau mungkin ibu, mungkin juga rumah yang hangat.”

     

    Selepas bertanya, pria muda itu berhenti. Menunduk. 

    Ia, sebenarnya, tak terkejut.

    Ia coba bayangkan perahu

    dan warnanya yang tak menyatu

    di pantul sinar pada laut.

     

    “Lalu mengapa kita tak menebak…” tawar si gadis 

    “…apa yang datang setelah ini?”

    “Aku tak tahu,” jawab pria terpotong. Ia ragu, lalu melanjutkan: 

    “kukira satu yang akan datang: waktu pagi.”

     

    Memang benar, di pukul dua, ada ombak terdengar di hadapan, tapi tak penting.

    Ini hampir subuh. Dan mereka seolah 

    menjadi pasangan—yang juga tak penting. 

     

    Tapi mereka tak sadar.

    Mereka lupa: pada kekasihnya masing-masing.

     

    “Kita tebak gambar pasir.” 

    Pesisir gelap. Tapi mereka tak berhenti berandai.

    “Ada gambar ibumu, di sana, juga rumahmu.”

    “Kau salah. Keduanya tak di sana,…”

     

    Kali ini pria itu agak terkejut, ia salah.

    Di tepian, ia pelan-pelan sadar, ada yang tak ia pahami.

     

    “tapi keduanya di sana,” gadis itu menunjuk laut. Pungkasnya: 

    “di ombak yang kadang tenang, tapi sering kali deras (seperti angan).”

     

    Rokoknya disulut, pria itu—dan gadis itu— tak

    saling memandang. 

    Ada yang mereka tanyakan

    di batin masing-masing 

    tentang nama yang sama pendek

    dan potong-potong waktu (yang juga sama).

     

    “Aku tahu! Sekarang, waktumu menebak.”

    Meski tak berucap, sebenarnya mereka tahu. 

    Sebenarnya mereka sama-sama setuju.

    Tapi bersamaan, mereka memikirkan hal lain:

     

    Ibu dan rumahnya. 

    Nasib yang tak tampak.

    Dan satu lagi yang sama: kekasihnya masing-masing.

     

    2020