Category: opini

  • Hikayat Winning Eleven

    author = Olav Iban

    Tiga dekade lalu, di setiap kota kecil di Jawa selalu ada seorang bocah yang dilahirkan sebagai jawara Winning Eleven.  Tak peduli di kecamatan mana atau kelurahan apa, selama ada rental Playstation, selalu saja ada bocah paling terampil di antara segala pakar. Ia adalah jenis bocah yang pada umur 10-12 tahun menonton Serie A Liga Calcio di RCTI. Menyaksikan Rui Costa berseragam Fiorentina, Buffon berseragam Parma, dan Roberto Mancini berseragam Lazio. Bocah ini cenderung tak sepakat dengan angkatan di atasnya yang menggilai satu klub saja karena kecanggihan anggota timnya. Seperti AC Milan karena Trio Belanda-nya, ataupun Inter Milan karena Trio Jerman-nya. Ia memperhatikan Filippo Inzaghi mencuat karena Atalanta, Toldo sudah hebat sejak Fiorentina, atau Clarence Seedorf terlalu hebat sampai berpindah-pindah dari Sampdoria ke Madrid, Madrid ke Inter, Inter ke Milan.

    Imbas dari segalanya itu, bocah ini adalah jenis bocah yang mengerti Hernan Crespo tak bisa apa-apa tanpa Sergio Conceicao, Vieri tanpa Recoba, atau Van der Sar tanpa Igor Tudor. Itulah isi otaknya, si bocah jawara. Dan umumnya, otak bocah jenis ini dilapisi rambut bergaya belah tengah layaknya pemain bola. Bila mana berkeringat, dikaitkannya bandana ibunya biar tambah gaya.

    Di kelurahan tempat saya bertumbuh, bocah ini bernama Adip Praja. Di kelurahan sebelah, namanya Bayu Dirgantara. Di kelurahan yang lain, namanya Prama Anggara. Bila datang musim turnamen Playstation se-kecamatan, berkumpullah bocah jenis mereka disertai taburan doa dari bocah-bocah medioker kepada Bathara Kalarahu agar diizinkan mengobrak-abrik undian grup, atau kepada Bathara Kalagumarang agar diizinkan berbuat apa saja termasuk memakai ilmu hitam L1 + X.

    Bocah-bocah seperti Adip Praja, Bayu Dirgantara, dan Prama Anggara tidak lahir dari keluarga kaya Orde Baru yang mampu menggelimangi anak-anaknya dengan Spica dan Sega. Mereka justru datang dari keluarga bersahaya; pedagang kelontong, sais, atau setinggi-tingginya kerani golongan III/a.

    Kepemilikan alat produksi (konsol Playstation) di rumah sendiri, dalam kasus ini, tidak membuat seorang bocah menjadi ahli dan menguasai pasar arena pergaulan. Anak-anak rental lebih matang dan jenius memainkan Winning Eleven karena ada pengorbanan uang yang harus dibayarkan untuk menyewa. Hal ini memantik semangat mereka untuk mendapat impas dengan cara berlatih sekeras mungkin, melawan musuh sebanyak mungkin, hingga mengatur formasi setakterduga mungkin. Dan, sebisa mungkin, menantang mas-mas penjaga rental. Tentu akan berbeda bilamana—seperti para pemilik alat produksi—hanya bertanding melawan komputer (atau adik-kakaknya) dan bermain Master League bersama Miranda, Castolo, dan Jaric.

    Walau tidak selalu, tetapi biasanya pemain jenis pertama akan kalah jika diajak ke rental Playstation dan diadu melawan pemain jenis kedua. Seiring dengan kekalahan itu, Winning Eleven telah berevolusi tidak lagi sekadar permainan bola virtual, melainkan wahana social climbing efesien di arena pergaulan anak-anak 90-an.

    Ketertarikan anak laki-laki Sekolah Dasar di tahun 1990-an kepada Winning Eleven awam dijumpai. Ini semacam pengayaan hiburan-pengetahuan alternatif ketika Paman Kikuk, Husin, dan Asta tak lagi menyenangkan. Winning Eleven adalah pilihan murah yang bisa dimainkan jauh lebih lama dibandingkan Street Fighter dan Mortal Combat di papan dingdong. Selain itu, Winning Eleven mampu menciptakan masyarakatnya sendiri di tempat rental Playstation.

    Pengunjung rental Playstation secara sangat sederhana bisa dibedakan menjadi dua; yang ingin bermain Winning Eleven dan yang tidak. Jika ada seorang anak datang sendirian bersepeda Polygon membawa memory card, lalu duduk memainkan Harvest Moon atau Metal Gear Solid, bisa dipastikan ia bukan anggota genk Winning Eleven. Sedangkan bila dijumpai seorang anak datang sendirian bersepeda BMX, lalu duduk memainkan Metal Slug atau CTR atau Tekken, bisa dipastikan ia sedang menunggu lawan tanding Winning Eleven-nya datang. Ini wajar mengingat di masa nirhandphone janji pertemuan ditentukan di sekolah dan dilandasi rasa saling percaya.

    Sebenarnya ada satu jenis pengunjung lagi, yakni pemain bola virtual dari kubu FIFA, namun mereka langka dan ditengarai punah (waktu itu). Di tingkat yang lebih tinggi ada pula kubu WWF Smackdown, hanya saja kubu ini tidak punya pemain setia.

    Kembali ke pemain Metal Slug atau CTR atau Tekken tadi. Bilamana kawannya sudah datang ia akan segera beralih ke Winning Eleven. Karena kejadiannya di Indonesia, di kota-kota kecil di Jawa pula, biasanya pihak rental menyediakan opsi Winning Eleven bajakan yang sudah dimodifikasi mengikuti bursa transfer teraktual.

    CD masuk, tombol dinyalakan, tapi pertandingan tidak semerta-merta dimulai. Pertanyaan-pertanyaan dasar berikut ini haruslah disepakati dahulu: (1) Boleh pakai ilmu one-two atau tidak? (2) Pemainnya merah semua atau tidak? (3) Pakai radar atau tidak? (4) Pakai negara atau klub? (5) Tim mana yang tidak boleh dipakai? dan (6) Roberto Carlos boleh dijadikan striker atau tidak?

    Namun, bagi pemain sekelas Adip Praja, Bayu Dirgantara, dan Prama Anggara, dua pertanyaan terakhir tidaklah penting. Apapun timnya, bagaimanapun rupa formasinya, pokoknya siap tanding!

    Memang sebagian besar pemain Winning Eleven masuk ke kategori pemain pragmatis. Keindahan gameplay, pengaturan formasi menyerang dan bertahan, bukan hal utama. Pundi-pundi gol adalah yang kemutlakan. Mereka biasanya menempatkan pemain dengan speed 19, shot power 19, dan dribbling 19 di barisan depan. Jarang mereka memperlihatkan umpan lambung, kebanyakan adalah umpan dekat dan terobosan. Begitu menguasai, bola diarahkan ke sisi sayap. Lari sekencang-kencangnya hingga ujung bendera corner kick, lalu membalikkan badan dan berlari diagonal ke tengah lapangan mengincar celah yang sudah lowong ditinggal bek yang tadi ikut mengejar ke sudut lapangan, kemudian tendang ke arah gawang tanpa tedeng aling-aling. Komentator pertandingan akan berteriak, “Shuuutoo…!” yang kemudian diikuti suara “Gol gol gol gol gol gol gooool!” Lalu muncullah sosok zoom in yang kalau bukan Shevchenko, Batistuta, Adriano, ya Ryan Giggs.

    Trik culas seperti di atas tidaklah mempan menandingi skill dewa bocah-bocah jawara. Mereka tidak terjebak bermain menggunakan ilmu kejar R1 + X. Alih-alih mengejar, mereka pandai menyusun pertahanan. Lilian Thuram tidak dipakai sporadis sebagaimana para pragmatis memanfaatkan speed dan shot power Roberto Carlos. Thuram diatur sejajar bersama Canavaro menciptakan jebakan offside. Atau memberlakukan man marking di kotak 16 dengan Jaap Stam dan Nesta. Tidak, trik culas tidak akan mempan.

    Keruntuhan Adip Praja, Bayu Dirgantara, Prama Anggara, dan kompatriotnya bukan karena kekalahan di medan laga atau dipermalukan di turnamen-antar kecamatan, tetapi akibat diri mereka sendiri sudah terlalu tinggi tak teraih. Di puncak menara gading, alih-alih bertumbuh dinamis, mereka stagnan dalam gilang-gemilang kejayaannya—menolak perubahan.

    Mulanya hanya ihwal sederhana seperti keengganan memenggunakan stik gentar. Menurutnya terlalu berat, tuas bundarnya terlalu mengganggu, terlalu licin dan liar. Sampai kemudian datanglah konsol PS2 dengan Pro Evolution Soccer (yang sebenarnya cuma variasi nama Winning Eleven). Di balik tampilan realistisnya, Winning Eleven di PS2 menyajikan alur yang lebih lambat, kelokannya lebih halus, karakter AI-nya lebih beragam, formasinya lebih rumit, dan alhasil kemudahan mencetak gol tak sefoya-foya di Playstation pendahulunya. Pola ini berulang di PS3 dan PS4 demi membuat Winning Eleven semanusiawi mungkin.

    Tentu tidak semua bocah jenis Adip Praja, Cs. tergusur posisi kedewaannya. Masih ada beberapa bocah jawara yang mampu menyelamatkan muka. Biasanya para dewa penyintas ini adalah mereka yang pandai dalam teknik umpan lambung. Skill dewanya tumbuh bersama-sama dengan Oliver Bierhoff, Sami Hyppia, Nwanko Kanu, atau Van Nistelrooy, lalu bersemi kembali bersama David Trezeguet, Peter Crouch, dan Klose.  

    Perlu diketahui, gol sundulan tidak sesederhana menekan tombol L1+O dua kali. Ada pembentukan momentum dari pemain selevel Paul Scholes, Dietmar Hamann, atau Patrick Viera sebelum digocek Fredrik Ljungberg—sembari Asley Cole maju menipu—berpindah sisi lapangan menuju Dennis Bergkamp, diumpan terobosan ke Marc Overmars, diteruskan ke Emmanuel Petit yang langsung memakai celah offside ke Asley Cole. Umpan lambung dari ¾ akhir lapangan dan disambar sengit oleh tandukan Nwanko Kanu.

    Kelihaian ini lebih ditentukan oleh pengaturan formasi ketimbang skill individu pemain di lapangan. Baik itu PS2, PS3, maupun PS4 kekuatan team work adalah keniscayaan tak terkalahkan.

    Seiring zaman berlalu, hiburan makin beragam, kebutuhan dan tuntutan hidup juga berubah. Rental-rental Playstation satu nasib dengan Wartel. Winning Eleven (melalui Pro Evolution Soccer) memang masih merajai permainan sepakbola virtual, tapi gempitanya takkan pernah semeriah yang lalu. Dua-tiga puluh tahun lagi orang-orang akan mengenang Clash of Clans dan Mobile Legend. Mereka akan merindu Angry Bird atau Plant vs Zombie dengan cara yang sama seperti bocah BMX menunggu datang lawannya menyeruput es teh plastikan sambil terlena bertualang bersama topeng Akuaku Bulubadak di Crash Bandicoot. Winning Eleven pun menjadi hikayat. Adakah yang lebih indah dari itu?

    Namanya juga hikayat, ia dibaca untuk pelipur rindu, pembangkit nuansa sendu, sembari melamun masa lalu, tersenyum mengenang yang telah silam.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Harga Sebuah Mitos

    author = Batari Oja

    Tahukah Anda berapa harga yang harus Anda bayar untuk sebuah mitos? Jika Anda belum tahu, maka datanglah berkunjung ke Beringin Kembar di Alun-alun Kidul Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Saya datang ke Alun-alun Kidul berbekal pertanyaan tentang apakah orang-orang masih melihat Beringin Kembar sebagai pohon yang angker atau sakral? Setelah mewawancarai beberapa orang; baik pengunjung dan penjual setempat, saya menyadari bahwa mereka melihat saya sebagai turis, jadi alih-alih menjawab pertanyaan saya, mereka lebih sibuk mendeskripsikan kesakralan beringin ini dan Kraton. Mereka mencoba mengekspresikan betapa sakralnya dan betapa istimewanya Beringin Kembar ini, sembari terus meyakinkan saya bahwa saya tidak menyia-nyiakan waktu berkunjung kemari dan ber-“main” masangin.

    Usaha mereka dalam menjamu saya sebagai turis dengan mitos kesakralan Beringin Kembar itu membuat saya menemukan fenomena menarik di Alun-alun Kidul; yakni bukan perspektif orang-orang dalam melihat Beringin Kembar itu sendiri sebagai objek sakral. Fenomena yang lebih menarik adalah bagaimana usaha orang-orang lokal merekonstruksi mitos kesakralan Beringin Kembar itu. Rekonstruksi mitos tersebut menopang aktivitas turisme di Alun-alun Kidul. Secara ekonomis, ini adalah pertanda baik bagi pekerja lokal, orang-orang yang mencari nafkah di tempat tersebut, seperti supir becak, tukang parkir, orang yang menyewa kain penutup mata untuk masangin, penjual makanan, dan pengemis (atau pemandu) yang duduk di bawah beringin yang menceritakan kesakralan Beringin Kembar.

    Ringin Kurung (Beringin Kurung) ditanam sejak Keraton berdiri pada tahun 1745. Ada 64 pohon beringin yang ada di Kraton, kedua Beringin Kembar yang merupakan pusat dari Alun-alun adalah pohon beringin yang paling disakralkan. Dahulu kala, tidak ada orang yang berani berjalan di antara kedua Beringin Kembar di Alun-alun Kidul, tapi kini, “ritual” berjalan di antara dua beringin tersebut menjadi “permainan” yang terpopuler di Alun-alun Kidul, yang disebut masangin.

    Seorang perempuan tua yang tengah duduk di bawah pohon beringin menawarkan untuk mencoba masangin, yang dia sebut sebagai ritual dan juga sebagai permainan. “Kalau bisa lewat, nanti cita-cita mbak akan terwujud,” katanya. Demi melewati Beringin Kembar itu, saya harus menutup mata dengan sehelai kain gelap. Kain penutup mata untuk masangin disediakan oleh seorang pria yang duduk di tepi Alun-alun. Saya hanya perlu mengeluarkan Rp. 5.000 untuk menyewa sehelainya. Kemudian, saya mencoba berjalan melewati Beringin Kembar hingga tiga kali tanpa pernah berhasil melewatinya sekali pun. Karena saya tidak pernah berhasil, perempuan itu lantas menyuruh saya berjalan dengan rute yang lebih pendek, yakni dari beringin satu ke beringin yang lainnya saja-yang akhirnya berhasil.

    Saya bertanya pada perempuan itu, apakah cita-cita saya benar akan menjadi kenyataan, padahal saya tidak bisa melewati Beringin Kembar. Perempuan itu tetap meyakinkan saya bahwa cita-cita saya pasti akan terwujud karena saya sudah berjalan dari beringin yang satu ke beringin yang satu lagi. Terlihat sekali dia ingin menyenangkan hati saya, dan tidak membiarkan saya pulang dengan kecewa. Dia mengubah peraturannya supaya saya bisa berhasil atau “menang”. Jadi saya beri dia Rp. 5000 untuk usahanya.

    Dengan menceritakan kembali tentang kesakralan Beringin Kembar, sekaligus menjamu para wisatawan dengan mitosnya, para pekerja lokal di Alun-alun Kidul terus-menerus memberikan nafas kepada mitos Beringin Kembar, agar tetap hidup dan diterima oleh para wisatawan. Oleh karena itu, para turis harus berhasil melewati Beringin Kembar itu dan pulang dengan pertanda baik. Pada akhirnya, ini bukan masalah rasa percaya atau tidak percaya, melainkan persoalan bagaimana mempraktikkan dan menghidupkan mitos tersebut. Kata “main” yang sering digunakan para pekerja di Alun-alun Kidul untuk menyebut “ritual” masangin, juga merupakan istilah yang istimewa. Ritual yang tadinya sakral bertransformasi menjadi sebuah “main”, suatu permainan, aktivitas yang tidak serius yang dilakukan oleh para wisatawan. Bagaimanapun dalam kasus ini, kesakralan bukan lagi hal yang krusial dalam turisme. Mitos tidak perlu lagi menjadi sakral, selama mitos tersebut laku dijual.

    Pertanyaan yang saya bawa ke Alun-alun Kidul: apakah orang benar-benar masih melihat Beringin Kembar sebagai pohon yang sakral atau sudah tidak? Belum terjawab. Sebaliknya malah menambah pertanyaan, memangnya kenapa jika Beringin Kembar tidak lagi sakral? Kesakralan mereka toh tidak bisa dirasakan oleh para wisatawan. Di saat Alun-alun Kidul berubah menjadi tempat wisata, tidak ada lagi ritual sakral, yang ada hanya permainan-yang disebut masangin.

    Akhirnya, berapa sih harga sebuah mitos? Harganya sekadar Rp. 5.000, untuk penutup mata dan asik-asikan. Jadi, bagaimana mungkin saya tidak berhasil dalam masangin ketika saya sudah membeli mitosnya.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Guru Penjaga Peradaban: Refleksi Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0

    author = Apri Damai Sagita Krissandi

    Guru dalam bahasa Sanskerta terdiri dari kata Gu yang artinya gelap dan Ru yang artinya terang. Sisi gelap dan terang menjadi satu. Guru bisa mempunyai arti penyeimbang sisi gelap dan terang. Guru adalah gabungan dunia gelap dan terang yang memberikan arah menuju kebenaran. Guru dapat diartikan juga mengangkat sisi gelap menuju sisi terang. Mungkin dari situ muncul tokoh Batara Guru. Batara Guru adalah penguasa tiga dunia, dunia para dewa, dunia manusia, dan dunia bawah (setan). Batara guru dapat membukakan telinga manusia untuk melihat hal yang baik dan hal yang buruk.

    Pak Bakri tidak pernah lelah mengajar. Ia bingung akhir-akhir ini kepalanya sering pusing. Usut punya usut beliau yang saat ini berusia 58 tahun berusaha belajar mengakses internet untuk mendapatkan bahan ajar yang update. Ide itu ia dapatkan setelah mendatapkan pelatihan guru go-blog. Dia teringat pada masa muda dulu. Saat itu, ia mengajar dengan gaya orasi berapi-api ala Bung Tomo. Anak-anak terbelalak kagum. Sesekali ia bercerita tentang tokoh idolanya, Iwan Fals. Ia bercerita bahwa Iwan Fals adalah seseorang yang berani menyarakan hati wong cilik. Anak-anak menangkap api-api semangat sang guru muda. Ketika musim kapas, Pak Bakri mengumpulan klentheng dari buah kapas untuk media hitung-menghitung, kadang untuk bermain bas-basan, kadang untuk melempar siswanya yang ngantuk. Pak Bakri sering menyarankan anak-anaknya untuk bermain bersama-sama dan tidak boleh curang, ada gobak sodhor, benthik, sepak tekong, sunda manda, dan lain-lain. Bagi Pak Bakri, permainan tradisional membuat murid-muridnya senang dan guyub. Kali waktu yang lain anak-anak diminta untuk membantu Pak Warto, penjaga sekolah, untuk sekedar mencabuti rumput. Ia mengatakan bahwa Pak Warto sudah renta, sudah menjadi kewajiban kita untuk membantunya. Tidak hanya Pak Warto, anak-anaknya pernah diajak membantu mengangkat belanjaan Bu Wid-penjual bubur, memapah Mbah Bewok-penjual gulali yang kepleset di jalan becek, dan orang-orang lainnya yang membutuhkan bantuan. Pak Bakri tidak pernah mengajarkan berbuat baik ia hanya melakukan yang perlu dia lakukan, pun anak-anaknya terpatri hal itu. Kini tahun 2019, konon Revolusi industri 4.0 sedang berlangsung. Pak Bakri gamang, jiwanya menantang perubahan, hatinya tetap teguh belajar, fisiknya tidak.

    Kisah yang berbeda datang dari Jakarta Selatan. Sudah sepekan Pak Andre mengikuti pelatihan merancang media pembelajaran berbasis IT. Pada akhir pelatihan, ia diminta merancang sebuah game untuk pembelajaran matematika. Ia berjam-jam mengahadap laptop untuk mencari tutorial di youtube cara membuat game menggunakan macromedia flash. Hanya butuh sehari, Pak Andre menjadi ahli. Di Sekolah, game itu diuji. Game buatannya mengakomodasi minat murid-muridnya yang tumbuh dengan asuhan smartphone. Game matematika dilahap dengan singkat oleh murid-muridnya, penilaian secara otomatis langsung terekam, Pak Andre tak perlu koreksi. Ia mengabdikan diri untuk belajar teknologi pembelajaran. Segala temuan teknologi pendidikan terbaru dengan singkat ia kuasai. Pembelajaran di kelas diwarnai aplikasi kuis seperti kahoot, moodle, dan quizlet. Aplikasi belajar mandiri seperti seesaw, padlet, dan quipper video pun ia tuangkan dengan inovatif di kelas. Hasil ujian siswa melejit. Siswa sangat antusias menanti tantangan yang diberikan Pak Andre. Gairah kopetitif dan persaingan kreativitas memang mewarnai kelasnya. Pak Andre sadar betul hal itu. Kecepatan dalam menerima dan mengolah informasi secara kreatif menjadi target pembelajaran Pak Andre. Ia kerap meminta siswanya berkompetisi membuat produk kreatif hasil dari berselancar di internet. Ia memimpikan suatu saat muridnya dapat membuat smart product dan smart services yang dapat berguna bagi masyarakat.

    Pak Bakri adalah tetangga Boni. Pak Andre adalah paman Boni. Kebetulan atau tidak sekarang Boni menjadi mahasiswa keguruan. Ia bercita-cita menjadi guru. Kata banyak orang cita-cita Boni sederhana.

    Saat ini Boni semester 4 dan sedang menjalani magang yang mengharuskan dia mengobservasi kegiatan pembelajaran di kelas. Boni diminta belajar dari seorang guru pamong, Pak Budi. Pak Budi menjelaskan bahwa di era revolusi industri 4.0 ini pembelajaran harus mengarah pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Pak Budi menjelaskan pada Boni bahwa pada abad 21 ini keterampilan yang harus dimiliki siswa adalah 4C (communication, collaboration, critical thinking, dan creativity).  Suatu ketika pada pembelajaran PKn tentang keanekaragaman suku di Indonesia, salah seorang siswa memberikan pendapatnya tentang indahnya tato orang Mentawai. Siswa tersebut mengatakan jika tato itu harus jadi kebanggan Indonesia karena tatto Mentawai adalah salah satu tatto tertua di dunia. Sontak Pak Budi mengardik pendapat siswa tersebut. Pak Budi mengatakan bahwa tatto itu simbol kriminalitas. Murid itu langsung terdiam. Ia malu dan merasa salah. Boni, sang guru muda hatinya bergejolak karena apa yang dikatakan anak itu benar. Gambar tato Mentawai sempat viral dan dianggap sebagai tato tertua di dunia. Sebagai seorang guru magang hatinya bergejolak, dalam hatinya mempertanyakan makna critical thingking yang tadi pagi disampaikan Pak Budi kepadanya.

    Di Kampus Boni, Seminar-seminar pendidikan bernuansa revolusi industri 4.0 banyak diselenggarakan. Pembicaranya ahli-ahli. Boni sering ikut demi sertifikat syarat lulus. Katanya Indonesia sudah tertinggal dalam menyongsong revolusi industri 4.0. Kita masih dianggap melaksanakan revolusi industri 3.0 bahkan 2.0.  Ciri khas revolusi industri 4.0 adalah adanya sensor-sensor yang membaca data. Pembicara bercerita bahwa melalui sensor-sensor yang tersebar, data-data diolah dengan alogaritma tertentu dan menghasilkan artificial intelligece yang dapat melakukan perintah otomatis. Maka jangan heran kalau tiba-tiba ada orang yang menawarkan obat diabetes. Bisa jadi secara tidak sadar kita buang air di urinoir yang bersensor dan mengirim data yang terhubung dalam big data dan tiba-tiba perusahaan obat tahu bahwa air seni kita menunjukkan potensi diabetes secara otomatis mengirimkan iklan obatnya. Boni menelaah kata-kata itu big data dan artificial intelligece. Dia baru ingat suatu ketika ia parkir di suatu mall tiba tiba dapat sms iklan promo donat di mall itu, yang ia heran adalah mengapa pihak mall bisa tahu nomornya. Boni menjadi sadar bahwa Hpnya memancarkan sensor yang tertangkap teknologi di mall itu dan langsung dikirimi pesan promo, yeaaah. Selamat datang di era revolusi industri 4.0.

    Kecanggihan ini menuntut konsekuensi. Setiap tanggal 1 Mei buruh teriak mayday-mayday “tolong-tolong”. Buruh-buruh semakin terdesak dengan kecanggihan mesin-mesin. Biasanya mereka berbaris memasang label kemasan minuman, sekarang pekerjaan mereka telah digantikan secara efektif oleh mesin. Buruh yang tersisa adalah buruh checking, meneliti kesalahan produksi, dan memantau mesin yang panas. Tidak hanya buruh, satpam digantikan CCTV yang mendeteksi kerawanan secara otomatis. CCTV dilengkapi pemindai wajah, maka dia akan memberi tahu jika ada wajah asing berkeliaran di area pabrik. Baru-baru ini sebuah perusahaan konstruksi di Jerman dapat membangun gedung di Korea melalui alat berat yang terkoneksi internet. Mereka mengoprasikan alat-alat berat dari jarak jauh.

    Boni masih asik mengikuti diskusi seminar yang mulai merujuk pada dunia pendidikan. Pembicara menggambarkan dunia pendidikan ke depan. Pendidikan dengan nuansa digital semakin kental. Pembelajaran melalui media video mulai banyak digemari. Seperti pekerjaan konstruksi yang bisa dikerjakan jarak jauh. Guru nantinya juga bisa mengajar jarak jauh. Siswa belajar dengan cara yang berbeda. Tujuan belajar siswa pun berubah. Ia membayangkan bahwa belajar tidak harus bertatap muka. Belajar bisa dari rumah, bisa dari WC, bisa dari atas pohon. Dampaknya adalah profesi guru akan semakin berkurang. Biasanya dalam satu kelas diajar seorang guru, bayangkan jika kelasnya virtual, maka satu guru dapat mengajar ratusan bahkan ribuan siswa sekaligus. Hanya guru berkualitaslah yang dapat bertahan. Boni yang notabene calon guru jadi kepikiran. Ia teringat kisah Pak Bakri dan Pak Andre, dia juga terbayang Pak Budi. Pak Bakri dan Pak Andre adalah kisah ideal, Pak Budi adalah realitas. Mereka adalah guru yang baik, tetapi tidak semua guru baik dapat bertahan di zaman ini. Boni memiliki tiga pilihan, menjadi Pak Bakri yang menyasar hati, menjadi Pak Andre yang merengkuh teknologi, atau menjadi Pak Budi yang realistis.

    Boni merenung-renung. Ia teringat Pak Budi yang berapi-api ketika menjelaskan tantangan abad 21 kepadanya tetapi menjadi orang yang sangat kolot dalam memaknai tato. Anomali ini banyak terjadi. Guncangan budaya memang melanda guru-guru. Boni berkesimpulan, guru perlu merengkuh perubahan dengan optimis dan berpikiran terbuka. Peka dalam mendengar perubahan, tidak menghindari kerumitan berpikir. Jika perlu diskusi panjang, diskusilah. Jika tidak tahu jawabannya, berbesar hatilah. Kenalilah dunia siswa. Kenali film yang populer saat ini. Kenali artis Korea idaman mereka. Kenali restoran yang sedang trending di Instagram. Generasi milenial memiliki pencapaian yang berbeda. Rengkuhlah hatinya dengan berpikiran terbuka, setelahnya ajaklah mereka untuk menemukan prinsip-prinsip hidup yang hakiki. Setidaknya inilah kritik Boni terhadap Pak Budi. Pak Budi adalah gambaran umum guru-guru saat ini. Guru yang memahami konsepnya teapi sulit melakukannya.

    Boni merasa tidak secakap Pak Andre dalam teknologi, teknologi berkembang cepat sekali, arusnya terlalu deras. Boni merenung kembali. Kesadaran porsi akan kebutuhan adalah kunci. Guru perlu mengadaptasi teknologi dengan bijak. Jika arusnya terlalu deras, gurulah yang menjadi tanggul, jika lajunya sangat kencang gurulah yang harus menjadi remnya, jika terlalu dingin gurulah yang harus menyulut bara, jika terlalu panas gurulah yang menyejukkan. Seminar di kampus mengingatkan Boni bahwa revolusi industri 4.0 memang menuntut kolaborasi antara manusia dan teknologi. Teknologi bukan lagi “budak” tetapi partner atau rekan. Pilihlah rekan kerja yang baik dan sesuai, tidak harus berpartner dengan semua teknologi. Kesibukan merengkuh teknologi dapat menghilangkan esensi. Maka esensinya dipahami, teknologinya baru dicari. Boni sedikit ingat satu berita bahwa beberapa pendiri google tidak membiarkan anak-anaknya menggunakan HP sebelum 14 tahun. Mereka percaya bahwa imajinasi dan kreativitas dapat telatih maksimal ketika keadaan sangat terbatas. Boni ingat juga ketika ia membaca novel Harry Potter, imajinasinya lebih liar dan hebat dibanding penggambaran visual di filmnya yang terbatas.

    Akhirnya Boni terbayang Pak Bakri yang memakai hati. Begitu lama Boni merenung. Ia membayangkan Pak Bakri. Sebagai tetangga, Boni pernah mendapat les gratis dari Pak Bakri. Boni sering berkaca-kaca jika mendengar cerita Pak Bakri dari muridnya atau dari kawan yang mengenal Pak Bakri. Pak Bakri tidak lekang oleh zaman. Pak Bakri hidup di sanubari setiap siswanya. Jika saja Pak Bakri masih mampu, Boni yakin beliau akan berjuang belajar teknologi. Pak Bakri adalah pribadi yang terlibat. Ia melibatkan diri pada lingkungan dan zamannya. Hati dan naluri yang menggerakkannya. Ia membukakan mata siswanya pada realitas yang tidak selalu indah sekaligus ia mengajak bertindak menuju kebaikan. Pak Bakri mengajak siswanya melihat gelap sekaligus terang seperti arti kata guru. Teknologi juga perlu hati, maka kembalilah pada yang hakiki.

    Boni berkesimpulan bahwa guru yang akan bertahan di era distrupsi adalah guru yang memiliki kualitas diri baik sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Peradaban akan berubah. Ketika semua orang berpacu dalam perubahan, di sinilah peran guru, menjaga perubahan tetap pada nilai-nilai kemanusiaan, menjaga karakter siswa, menjaga kewarasan, menjaga hati, menjaga manusia muda, menjaga peradaban seperti peran Batara Guru.

  • Goethe dan Miranda di Balik Triwarna Tiga Negara

    author = Averio Nadhirianto

    Mungkin sebagian besar dari kita menyadari bahwa bendera tiga negara Amerika Selatan, Ekuador, Kolombia, dan Venezuela memiliki desain yang sangat mirip satu sama lain. Apakah persamaan ini hanya satu kebetulan semata, atau memang ada cerita tersendiri di baliknya? Ternyata kesamaan desain bendera nasional mereka memang memiliki latar belakang historis dimana pada awal abad ke-19, tepatnya pada 1821, tiga negara ini pernah bersatu membentuk sebuah negara federasi bernama Gran Colombia.

    Federasi ini didirikan oleh  Simón Bolívar (24 Juli 1783 – 17 Desember 1830), salah satu dari Libertadores de América (pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan negara-negara Amerika Latin dari para conquistador Spanyol dan Portugis) sebagai perwujudan dari visi politiknya. Namun sayang, Gran Colombia ini hanya mampu bertahan selama 10 tahun sebelum mengalami perpecahan di tahun 1831. Perpecahan ini disebabkan oleh beberapa sebab, diantaranya perselisihan Bolívar dengan Francisco de Paula Santander, presiden Gran Colombia saat itu[1]T.H. Donghi, The Contemporary History of Latin America, Duke University Press, Durham, 1993. Hlm 92-93., menyangkut konstitusi negara, dan konflik berkepanjangan antara kaum federalis dan regionalis yang masing masing menginginkan sistem sentralisasi dan desentralisasi dalam sistem pemerintahan negara.

    Peristiwa bubarnya negeri ini ironisnya terjadi hanya berselang beberapa bulan pasca-kematian Bolívar pada Desember 1830 yang pada pidato terakhirnya sempat meminta rakyat Gran Colombia menjaga persatuan sepeninggalnya kelak. Perpecahan ini pada perkembangannya kemudian menghasilkan tiga negara yang kita kenal sekarang tadi (pada masa awal perpecahan, Kolombia bernama New Granada) dan Panama yang melepaskan diri dari Kolombia pada 1903.  

    Bendera pertama Gran Colombia pada masa awal berdirinya merupakan hasil desain dari salah satu pembebas (libertador) termasyhur lain yaitu Fransisco de Miranda (28 Maret 1750 – 14 Juli 1816). Desain Miranda berupa bendera triwarna (tricolour) horizontal kuning-biru-merah pertama kali dipakai untuk bendera Republik Venezuela yang pertama (1811-1812) sebelum dijadikan sebagai simbol negara Gran Colombia ketika mereka bersatu bersama Ekuador, Kolombia, dan Panama. Desain triwarna Miranda sendiri ternyata terinspirasi dari obrolan yang pernah dilakukannya dengan sastrawan sekaligus filsuf legendaris asal Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (28 Agustus 1749 – 22 Maret 1832), mengenai teori warna-warna primer pada tahun 1785.  

    Ya, ialah Goethe sang pengarang Faust dan roman Die Leiden des jungen Werthers (Penderitaan Pemuda Werther) yang legendaris itu. Ia menulis buku berjudul Zur Farbenlehre (Teori Warna-Warna) yang diterbitkan pada 1810, dua tahun setelah rilis Faust bagian pertama. Tidak seperti dua karyanya yang paling terkenal itu, Zur Farbenlehre adalah sebuah buku yang 100% ilmiah. Ia adalah hasil investigasi saintifik Goethe mengenai fenomena-fenomena yang melibatkan warna di dunia seperti aberasi kromatik, refraksi atau pembiasan cahaya, warna-warna komplementer, efek psikologis yang ditimbulkan dari warna dan bagaimana warna-warna tersebut dipersepsi oleh indra manusia dalam pelbagai keadaan berbeda.

    Goethe mengatakan kepada Miranda—dalam sebuah diskusi sambil makan malam yang digelar di Weimar pada 1785, saat itu Zur Farbenlehre masih dalam tahap awal pengerjaan—ketika mendengar kisah perjuangannya membebaskan rakyat Amerika Latin dari penjajahan bahwa “takdirmu adalah menciptakan tempat di wilayahmu dimana tidak ada warna-warna primer yang terdistorsi satu sama lain.[2]T. Marshall, A Flag Worth Dying For: The Power and Politics of National Symbols, Simon and Schuster, New York, 2017. hlm. 218. Seperti yang kita ketahui, biru, kuning, dan merah adalah termasuk jenis warna primer. Goethe berhasil meyakinkan Miranda, yang menyatakan ia (Goethe) mampu membuktikan bahwa “kuning adalah warna paling hangat, mulia, dan yang paling mendekati cahaya, biru adalah campuran kegembiraan dan ketenteraman, merah adalah bentuk peninggian (exaltation) dari kuning dan biru, sintesis, lenyapnya cahaya ke dalam bayangan.[3]T. Marshall, Ibid.

    Lebih lanjut, Miranda berujar  “Sebuah negara berawal dari satu nama dan satu bendera, kemudian “ia” (nama dan bendera itu) bergabung menjadi “mereka”, ibarat seorang manusia yang memenuhi takdirnya.[4]T. Marshall, Ibid. Akhirnya desain Miranda tersebut hingga kini menjadi dasar dari wujud triwarna tiga bendera Ekuador, Kolombia, dan Venezuela yang kita kenal. Bendera-bendera tersebut menjadi salah satu dari sekian banyak warisan abadi Goethe untuk dunia.

     

    Daftar Pustaka:

    Fun Flag Facts, ‘Equador, Venezuela, and Colombia: A love of primary colors’ (Daring) 7 Agustus 2015
    J.R. Adams, Liberators, Patriots and Leaders of Latin America: 32 Biographies, 2nd edition, McFarland & Company, Inc., Publishers, London, 2010.
    R.S. Hardjapamekas, Pengantar Sejarah Kesusasteraan Jerman, Pustaka Jaya, Bandung, 2003.
    T. Marshall, A Flag Worth Dying For: The Power and Politics of National Symbols, Simon and Schuster, New York, 2017.
    T.A. Meade, A History of Modern Latin America – 1800 to the Present, Wiley&Blackwell, West Sussex, 2010.
    T.H. Donghi, The Contemporary History of Latin America, Duke University Press, Durham, 1993.

    References

    References
    1 T.H. Donghi, The Contemporary History of Latin America, Duke University Press, Durham, 1993. Hlm 92-93.
    2 T. Marshall, A Flag Worth Dying For: The Power and Politics of National Symbols, Simon and Schuster, New York, 2017. hlm. 218.
    3, 4 T. Marshall, Ibid.

  • Yang Patut Dikagumi Dari Dwi Hartanto

    author = Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    Saya lupa, apakah itu di Layar Emas RCTI atau Bioskop TransTV atau dari rental VCD bajakan. Yang kuat di ingatan saya sepuluh tahun lampau hanyalah: (1) pemeran utamanya main juga di Titanic, (2) ada banyak tips jitu menggaet gadis-gadis cantik, dan (3) adalah fakta bahwa kepercayaan diri merupakan senjata terhebat yang diciptakan Tuhan untuk manusia.

    Berselang tahun, berselang pula pengetahuan saya. Jelas sudah akhirnya bahwa yang saya tonton itu bukanlah perjalanan hidup Hugh Hefner pendiri Playboy, bukan pula Howard Hughes miliarder pencipta pesawat Hercules, melainkan Frank Abagnale Jr., seorang pilot, pengacara, dokter, sipir, dan empat identitas lainnya yang ternyata palsu. Kisahnya diabadikan oleh Steven Spielberg dalam film Catch Me If You Can. Diperankan dengan ganteng oleh Leonardo Dicaprio, dan ditemani oleh Tom Hanks yang tetap fenomenal meski tanpa Wilson.

    Walau bukan Hugh Hefner atau Howard Hughes, Frank Abagnale—di film itu—juga sama-sama dikerubungi gadis-gadis cantik dan saldo rekening unlimited. Hanya saja keduanya itu dimilikinya dengan cara paling menantang di dunia: menipu!

    Tak perlu berpanjang cerita, saya yakin pembaca sudah pernah menonton film tersebut. Jadi langsung saja ke ending: Oleh karena kepiawaiannya dalam pemalsuan cek bank, Frank Abignale dipekerjakan oleh FBI sebagai konsultan keamanan hingga akhirnya namanya melambung dan direkognisi lewat otobiografinya yang membuat Steven Spielberg terkagum-kagum sehingga lahirlah film Catch Me If You Can.

    Satu dekade berlalu, dan kenangan akan film itu terngiang lagi akhir-akhir ini. Penyebabnya adalah Dwi Hartanto, seorang mahasiswa TU Delft yang disebut-sebut sebagai The Next Habibie.

    Kendati tidak sefenomenal Frank Abignale, aksi Dwi Hartanto membuat saya terkagum-kagum. Betapa tidak, ia mengaku diri sebagai pemenang kompetisi riset teknologi antar-space agency dunia, memiliki tiga hak paten di bidang wahana antariksa, menjadi Direktur Teknik ESA/ESTEC (European Space Research and Technology Center), terlibat di ring-1 proyek roket satelit super-sensitif ultra-rahasia milik Airbus Defense, ISS, NASA, ESA, JAXA, NLR, DLR, UMR, KPR, Vega ZR, Ninja R, dan seterus-seterus-seterusnya. Kesemuanya itu diklaim dengan gagah berani tepat di bawah hidung cantik Najwa Shihab, peserta Visiting World Class Professor, wartawan-wartawan media massa nasional, sampai Presiden Ketiga Indonesia Pak BJ. Habibie. Untungnya ia tidak sempat mengaku sebagai manager Kelompok Penerbang Roket. Bisa mati muda dia.

    Saya agak gelisah dengan banyaknya komentar di media sosial dan publikasi media nasional yang menyebut bahwa aksi manipulasi tipu-menipu Dwi Hartanto adalah wujud rendah diri yang kemudian disimpulkan sebagai bentuk kebutuhan akan pengakuan. Bahkan media anti mainstream mainstream club sekelas mojok.co turut melihatnya dari sudut pandang yang sedemikian lugu.

    Terlepas dari aksi manipulasi yang mungkin ditirunya dari Papa Setnov Kalashnikov, seorang Dwi Hartanto patut untuk saya kagumi. Saya pribadi pasti gemetaran disorot oleh mata Mbak Najwa, telapak tangan basah, mengetuk-ngetuk kaki, bahkan bila yang saya ucapkan adalah kebenaran firman Tuhan.

    Seperti jutaan pemuda lain yang kurang berpendidikan dari ujung Pulau Weh sampai Pulau Rote, saya mengidap gagap bawaan bernama inferiority complex. Suatu lack terhadap self-worth.

    Saya bukan orang yang paham disiplin ilmu psikoanalisis. Tapi mungkin iya bahwa kompleks rendah diri memicu keinginan berlebihan seseorang untuk menggaet seabrek prestasi spektakuler guna mencapai pengakuan sosio-eksistensialistis, persis seperti yang tampak pada kasus Dwi Hartanto. Namun sistematika itu tampaknya terlalu sederhana. Bagi mereka yang mengidap penyakit laten kompleks rendah diri—apalagi yang generatif turun-temurun—berbohong dengan melebih-lebihkan kondisi adalah kesulitan yang anumerta.

    Keputusasaan yang parah sudah cukup membuat seorang rendah diri menderita. Ia cenderung melarikan diri dari kesulitan ketimbang menantang masalah rendah dirinya dengan gagah berani. Dalam kasus Dwi Hartanto, dengan taraf IQ-nya sebagai seorang kandidat doktor, saya rasa sudah cukup untuk menyadari bahwa setiap kebohongannya akan membuat dirinya diancam oleh masa depannya sendiri. Jadi, bila benar Dwi Hartanto mengalami permasalahan minder, rasanya mustahil sanggup bertatap muka mempecundangi mantan presiden yang terkenal jenius dan sangat berpengaruh. Dalam kasus kompleks rendah diri, mungkin cuma manusia sekelas Napoleon yang berhasil melewati kompleksitas itu dengan gilang-gemilang seperti yang dicontohkan Alfred Adler. Dan saya yakin Dwi Hartanto belum sekelas Napoleon.

    Dalam banyak fakta yang ada di zaman now ini, manusia-manusia rendah diri mendapat kemujuran untuk tampil—bahkan gila tampil—lewat media sosial. Bagi sebagian yang masih ragu, mereka tampil memakai avatar dan/atau akun abal-abal. Bagi yang agak yakin, mereka tampil dengan profilnya sendiri, membagi-bagi foto selfie, berbagi status ceria dan glamor. Di lini chating sepertinya si doi anak yang asyik, rame ulala berjuntai-juntai, namun ketika dijumpai secara nyata, orangnya ternyata pendiam dan lumalu cingkucing. Di whatsapp bicaranya selangkangan, tapi waktu kopi darat, malah ngudek-ngudek es teh. Tak perlu disangsikan, ini fakta. Bahkan mungkin kita sendiri bagian darinya. Ya, sudahlah.

    Dengan pekerjaan saya yang kerap bersinggungan dengan pemuda dan mahasiswa (terutama di luar Jawa), kurangnya keberanian akibat rendahnya kepercayaan diri adalah isu paling pertama yang saya jumpai dan menggelisahkan hati. Kalau diperhatikan, para pemuda atau mahasiswa yang menjuarai atau menjadi delegasi wakil daerah orangnya selalu itu-itu saja. Kalau bukan orang itu, pasti temannya si itu.

    Dari kegelisahan itulah saya berdiri di sudut ini memandang kagum pada keberanian dan kepercayaan diri seorang Dwi Hartanto. Sesuatu yang bila digunakan secara positif akan sangat mempengaruhi kesuksesan seseorang. Banyak saya temui—terutama pada mahasiswa saya—orang-orang yang punya potensi intelektual tapi tidak berani mengutarakan isi hatinya. Jangankan menghadapi ribuan peserta Visiting World Class Professor, mengangkat tangan untuk menyanggah pernyataan dosen yang keliru saja mereka bergeming. Matanya ke sana kemari mencari kawan. Jangankan menatap balik sorotan mata Mbak Najwa, menatap mata dosennya ketika FGD saja sudah mbrebes mili. Jangankan bertemu dengan BJ Habibie, mendatangi bapaknya pacar untuk apel malam minggu saja perlu rokok dua bungkus baru berangkat. Tak perlu disangsikan, ini fakta.

    Seandainya mereka—juga saya—memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang sama seperti yang dimiliki Dwi Hartanto, pastilah hidup ini lebih indah. Masuk kelas tanpa rasa khawatir ditunjuk dosen menjawab soal. Membela diri di depan penonton tanpa tremor. Datang apel untuk bertanding catur dengan calon mertua. Dan banyak keindahan hidup lain-lainnya. Sampai akhirnya memahami pepatah bijak yang amat sulit dimengerti para pengidap kompleks rendah diri: “Ketidakpastian masa depan adalah takdir, tapi kekhawatiran adalah pilihan.”

    Seandainya saja orang-orang pintar, jujur, dan berintegritas di Indonesia ini memiliki keberanian dan kepercayaan diri seperti Dwi Hartanto, saya amat yakin The Next Habibie tidak hanya sekadar tajuk di channel-channel youtube.

    Ngomong-ngomong soal Habibie, saya teringat tayangan di TV Don Bosco Selamun sedang mewawancarai BJ Habibie dan anaknya, Ilham Habibie. Mereka bicara tentang kontinyuitas cita-cita teknologi dirgantara Indonesia, bahwa Ilham Habibie—yang sama hebatnya dengan bapaknya—sedang meneruskan proyek pesawat keren yang diidam-idamkan BJ Habibie sejak lama.

    Kata Pak Don, “Kalau lihat Mas Ilham, pak Habibie, mission accomplished?”

    Jawab Pak Habibie tegas, “NO!

    Pak Don tak berkedip. Tatapannya seakan ingin berkata wth!? namun yang keluar lebih santun, “Not yet?”  Sambil menjilat bibir.

    Pak Habibie ngotot menjawab, “No…!” lanjutnya, “Ilham is my son. But I have many of intellectual son!

    Lalu munculnya foto Dwi Hartanto yang diikuti tayangan profil singkatnya.

    Pak Don bertanya lagi, “Inikah yang termasuk yang anda bilang sebagai my intellectual son?”

    Mata Pak Habibie menyipit. Katanya, “Eemm.. itu grand son.”

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Dua Perlawanan Sastra

    author = Asef Saeful Anwar

    Jika mencermati perjalanan sejarah sastra modern Indonesia, karya-karya yang mendapatkan tempat, baik dalam pandangan sastrawan maupun kritikus, adalah karya-karya yang mengusung perlawanan. Perlawanan ini terbagi dalam dua jenis, yakni perlawanan terhadap kekuasaan pada zaman karya itu ditulis dan perlawanan terhadap konvensi sastra yang berlaku pada masa itu. Jenis pertama biasanya mewujud dalam tema, sedangkan jenis terakhir mewujud dalam bentuk.

    Di zaman Hindia-Belanda telah ada perlawanan terhadap kekuasaan adat yang ditunjukkan oleh sejumlah novel yang diterbitkan Balai Pustaka. Perlawanan ini kemudian “disahkan” sebagai ciri sastra modern Indonesia permulaan. Di luar terbitan Balai Pustaka, ada karya-karya Mas Marco Karto(ha)dikromo dan Semaun yang menentang kekuasaan Hindia-Belanda dengan cita-cita kemerdekaan yang diusungnya. Fakta ini menunjukkan bahwa novel dianggap sebagai penanda kemodernan dalam karya sastra Indonesia mengingat konvensi sastra di Indonesia belum mengenal genre ini.

    Artinya, novel secara tidak langsung merupakan perlawanan terhadap hikayat yang merupakan salah satu bentuk konvensi sastra lama. Perlawanan pada konvensi sastra lama ini, dalam bentuknya yang lain, berlanjut pada masa Pujangga Baru yang secara terang-terangan menginduk pada gerakan De Tachtiger di negeri Belanda dengan faham romantisismenya sehingga secara tidak langsung paham dan gerakan ini mengilhami untuk menentang konvensi puisi lama, seperti syair atau pantun. Jika zaman Balai Pustaka terdapat sejumlah karya yang mengkritisi kekuasaan Hindia-Belanda, pada zaman Pujangga Baru karya-karya semacam itu hampir nihil.

    Pada masa penjajahan Jepang tidak banyak karya sastra yang diterbitkan karena ketatnya sikap Keimin Bunka Syidoso (lembaga kebudayaan yang didirikan dengan tujuan yang hampir sama dengan Balai Pustaka) dan singkatnya masa kekuasaan. Meski demikian, pada zaman ini hingga kemerdekaan mulai ada rintisan untuk menentang bentuk konvensi sastra Pujangga Baru. Tidak seperti Pujangga Baru yang menentukan jumlah baris dan kata dalam sajak serta banyaknya penggunaan bunga kata, generasi yang kemudian disebut sebagai Angkatan ’45 cenderung ringkas dan langsung dalam menyampaikan sesuatu dalam karya sastra.

    Dalam puisi kemudian kita kenal Chairil Anwar dan dalam prosa kita kenal Idrus serta Pramoedya Ananta Toer. Pada masa ini, karya sastra yang mengungkapkan perlawanan terhadap kekuasaan Soekarno dapat dikatakan tidak ada. Bahkan, muncul sejumlah karya yang justru mendukungnya ketika Lekra dengan gencar sama-sama mengusung Manifestasi Politik. Baru pada akhir pertengahan 1960-an muncul sajak-sajak kritik terhadap pemerintahan Soekarno (dan Lekra?), salah satunya ditulis oleh Taufiq Ismail.

    Pada akhir dekade 1960-an muncul gerakan neo-romantisime yang diusung oleh Goenawan Mohammad dan Sapardi Djoko Damono dengan sajak-sajak lirisnya. Sampai kini, pengaruh gaya liris mereka masih didapati dalam sejumlah sajak yang dimuat media massa nasional. Padahal, sejak tahun 1970-an telah ada usaha-usaha penentangan terhadap konvensi itu dengan munculnya puisi mantra dari Sutardji Calzoum Bachri, puisi mbeling dari Remi Sylado, serta puisi pamflet dan balada-nya Rendra. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan mereka sampai sekarang masih tercatat sebagai bagian penting dari sejarah sastra modern Indonesia seperti halnya perlawanan terhadap bentuk novel konvensional yang dilakukan Iwan Simatupang. Dalam genre cerpen, pada masa ini muncul pula Danarto dengan gaya berceritanya yang menentang bentuk-bentuk cerpen masa itu. Lalu apakah pada masa itu ada yang melawan kekuasaan Orde Baru yang dikenal represif dan militeristik?

    Pengarang pada masa itu ada yang melakukan perlawanan, tetapi dilakukan secara implisit. Beberapa pengarang prosa menyiasati latar demi tujuan perlawanan terhadap kekuasaan. Latar negara dipindahkan ke dalam satu kawasan kecil yang disebut daerah, entah desa atau kota, yang jelas bukan ibu kota. Setelah dipindah tokoh-tokoh dimainkan dengan nasib yang ternyata ditentukan oleh situasi di luar latar itu, yakni negara. Kita dapat melihat hal ini, misalnya dalam Para Priyayi dan Ronggeng Dukuh Paruk. Gejala ini dapat dilihat pula dari maraknya novel-novel dengan warna lokalitas yang tinggi di masa Orde Baru.

     

    Uraian di atas akan memanjang apabila diteruskan dengan upaya perlawanan konvensi sastra yang diusung oleh Afrizal Malna dan kawan-kawan, serta sejumlah karya sastra perlawanan yang lahir setelah Orde Baru jatuh. Padahal ruang untuk tulisan ini hanya kecil. Namun, setidaknya dari uraian tersebut kita dapat mengerti bagaimana caranya sastrawan-sastrawan melawan. Tulisan ini hanya ingin menekankan kembali bahwa perlawanan selalu menjadi napas dalam bersastra. Adapun mana yang dipilih, apakah perlawanan terhadap kekuasaan atau konvensi sastra, itu bergantung sastrawannya.

     

    Untuk masa kini, perlawanan terhadap kekuasaan sepertinya akan sulit diwujudkan. Kesulitan ini bukan karena adanya pihak-pihak seperti Balai Pustaka, Keimin Bunka Syidoso, atau Orde Baru dengan aparatus hukumnya, tetapi justru karena ketercengkraman sastra oleh suatu kuasa yang bukan berasal dari pihak pemerintah, melainkan oleh sistem kapitalisme negeri ini. Penulis di zaman  sekarang berhadap-hadapan dengan media massa yang merupakan salah satu kepanjangan tangan kapitalisme dan dengan penerbit-penerbit skala-besar yang mengejar keuntungan materi yang memiliki syarat dan ketentuan pemuatan atau penerbitan yang disesuaikan dengan selera massa, selera pasar.

     

    Kalaupun akan lahir karya sastra yang melawan sistem ini, maka dimungkinkan terjadi pada media atau penerbit independen yang nir-kepentingan ekonomi. Kemungkinan adanya perlawanan ini semakin besar ketika kini telah banyak komunitas sastra yang memiliki media publikasi sendiri. Dalam posisi yang demikian, sastrawan harus memilih apakah akan menjadi penulis jangka pendek yang mungkin saja karyanya bestseller dengan menuruti kaidah pasar, atau penulis jangka panjang yang mungkin karyanya baru dibicarakan setelah ia mendiang hanya oleh komunitasnya sendiri atau juga oleh dunia sastra secara luas.

     

    Tawaran untuk melawan sistem kapitalisme ini bisa mewujud dalam bentuk maupun isi. Bentuknya tentu harus tidak serupa dengan karya sastra kebanyakan yang disiarkan media massa dan yang pernah diterbitkan penerbit skala-besar. Sementara isinya dapat berupa kritik terhadap misalnya, salah satunya, dehumanisasi akut yang disebabkan sistem kapitalisme. Tawaran ini sekadar untuk melengkapi karya sastra masa kini yang memang beberapa di antaranya telah mengusung tema perlawanan dengan mengkritik kehidupan beragama, sistem patriarkhat, tabu, dan lain sebagainya, serta dalam bentuknya yang mutakhir karena pengaruh teknologi seperti cerpen dalam bentuk sms atau karya yang kemudian disebut sebagai fiksi mini. Terserah pada penulis untuk memilih bentuk karyanya seperti apa dan isinya bagaimana, tetapi napas perlawanan akan senantiasa menjadi dasar bagi kebaruan yang hendak dicapai sebuah karya.
    Apa pun yang dipilih, patut dicatat bahwa dalam dunia sastra Indonesia, penulis-penulis yang melawan konvensi sastra—yang berarti mengusung konvensi sastra baru—lebih diapresiasi dan dihargai daripada yang hanya semata menuliskan tema perlawanan. Namun, pencapaian sebuah karya sastra akan menjadi lebih baik ketika dapat melakukan dua perlawanan secara bersamaan, seperti yang pernah dilakukan Rendra ketika gencar menulis puisi pamflet untuk melawan kekuasaan Orde Baru sekaligus berusaha melawan konvensi puisi pada masanya yang cenderung liris.

     

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Asef Saeful Anwar
    Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.
  • Dinamika Kesusastraan (di) Yogyakarta

    author = Redaksi Kibul

    Dipaparkan oleh Dr. Tirto Suwondo dalam Ceramah Literasi & Seminar Sastra pada hari Sabtu, 28 September 2019 di Hotel Melia Purosani Yogyakarta sebagai rangkaian acara Joglitfest.
    Sebagai informasi, sebagian dari bahan paparan ini pernah dibentangkan pada Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT) yang diselenggarakan oleh MASTERA (MAJELIS SASTERA ASIA TENGGARA) INDONESIA (Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta, 11—12 September 2017.

    /1/

    Sejarah mencatat, sesungguhnya, tradisi bersastra di Yogyakarta yang terbangun dewasa ini tak dapat dipisahkan dari mata rantai tradisi yang berkembang beberapa abad lalu. Jika ditengok 2,5 abad silam, misalnya, ketika Kompeni Belanda mencengkeramkan kukunya sangat kuat sehingga ikut mencampuri urusan internal kerajaan, terutama setelah Mataram pecah menjadi dua (Surakarta dan Yogyakarta) melalui Perjanjian Giyanti (1755), sebenarnya telah terbangun kegiatan seni-sastra yang saat itu dipelopori para penguasa (raja). Semula kegiatan itu hanya untuk mengantisipasi merebaknya krisis moral akibat krisis politik. Tetapi, kemudian berubah menjadi tradisi yang positif sehingga kehidupan sastra (Jawa) pada abad ke-18 (1830-1850-an) mencapai puncak zaman keemasan. Beberapa tokoh yang berperan, antara lain, Paku Buwana IV, Paku Buwana IX, Paku Buwana X, Mangkunegara IV, Ranggawarsita, dll. Semula tradisi itu hanya berkembang di istana (Mataram) dengan maksud sebagai legitimasi kekuasaan, tetapi akhirnya berkembang pula di daerah pesisir sehingga muncul beberapa karya sastra pesantren di daerah pantai utara Jawa.

    Sejarah mencatat pula, pada masa itu para pujangga keraton mendapat tempat terhormat karena dianggap sebagai orang terpilih yang mampu membimbing masyarakat. Hasil karyanya diakui sebagai adiluhung sehingga dihormati dan dijunjung tinggi. Karena itu, mereka kemudian mendapat perlindungan penuh dan diberi hak menikmati fasilitas keraton sehingga kehidupannya terjamin. Kondisi itu jelas sangat berbeda jika dibandingkan dengan kondisi zaman modern ini; dan hal itu terasa sejak era Ranggawarsita berakhir (akhir abad ke-19). Hal demikian terjadi karena sejak awal abad ke-20, lebih-lebih setelah kemerdekaan (1945), para sastrawan harus berjuang sendiri mempertahankan hidupnya; atau menurut Damono, hidup mereka sepenuhnya ditentukan oleh pasar. Perjuangan itu semakin berat karena ternyata seni-sastra tidak laku di pasar. Itu sebabnya, demi hidupnya sastrawan mesti kerja rangkap, misalnya jadi dosen, guru, wartawan, redaktur, pengelola penerbitan, karyawan, dll. Dan semua itu terjadi pula dalam kehidupan sastra di Yogyakarta.

    /2/

    Agaknya pelajaran berharga dari masa lalu itulah yang membuat Yogyakarta
    mampu memperlihatkan dinamikanya sendiri dalam hal bertumbuhnya sastra.
    Predikatnya sebagai kota budaya, pendidikan, perjuangan, wisata, dan kota yang
    mewarisi nilai-nilai kultural-historis telah menjadi pemikat tersendiri bagi
    beragam entitas untuk masuk ke dalamnya. Kota budaya menjadi alasan di
    Yogyakarta terbangun intensif tegur sapa budaya antarseniman, sastrawan,
    budayawan se (di) Indonesia. Kota pendidikan menjadi alasan di Yogyakarta
    terbangun tradisi belajar baca-tulis (mengarang) cukup baik. Kota wisata juga
    menjadi alasan mengapa Yogyakarta hanya menjadi persinggahan sementara. Meski
    demikian, justru di situlah uniknya, dinamika menjadi tak pernah berakhir. Keunikan
    itu pula yang memperlihatkan sebagian besar seniman dan sastrawan besar
    Indonesia pernah (masih) tinggal, belajar, dan berproses di Yogyakarta. Sebut
    saja, misalnya, Rendra, Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam,
    Kuntowijoyo, Syu’bah Asa, Subagyo Sastrowardoyo, Arifin C Noer, Abdul Hadi WM, Darmanto
    Yatman, Bakdi Sumanto, Hariyadi S. Hartowardoyo, Arswendo Atmowiloto, Nasjah
    Djamin, Khorrie Layun Rampan, Motinggo Busje, Emha Ainun Najib, Linus Suryadi,
    dan masih banyak lagi.[1]

    Tentu saja, keberadaan mereka di bidang sastra ditunjang oleh media publikasi,
    baik koran maupun majalah. Sejak awal kemerdekaan, misalnya, telah terbit Pesat (Maret 1945), Api Merdika (November 1945),
    Arena
    (April 1946), Minggu Pagi (April 1948), Budaya (1949),
    Gadjah Mada
    dan/atau Gama (April 1950),
    Basis
    (Agustus 1950), Pelopor (1950)[2], Medan
    Sastera
    (April 1953, berubah menjadi Seriosa pada Maret 1954),
    Media
    (Agustus 1954), Darma Bakti (1961), dan Suara
    Muhammadiyah
    (terbit sejak 1915). Tetapi, dari sekian banyak media itu, yang masih hidup hingga kini hanya Basis, Suara Muhammadiyah, dan Minggu Pagi. Kemudian, sejak 1966 muncul lagi Berita
    Nasional
    (Bernas), Mertju Suar/Masa Kini (Yogya Post), dan
    Eksponen (sejak 1970-an). Harian Masa Kini (Yogya Post) dan Eksponen
    pun kini
    telah mati. Dan terakhir
    koran Merapi belakangan juga membuka rubrik sastra.

    Berbagai media tersebut baru aktif mempublikasikan sastra sejak 1960-an. Minggu Pagi, misalnya, selain memuat artikel, juga puisi, cerpen, dan cerbung. Pada 1960-an cerbung Hilanglah Si Anak Hilang karya Nasjah Djamin dimuat Minggu Pagi, selain karya Motinggo Busye, Bastari Asnin, dan puisi-puisi karya Rendra. Sementara, Pesat dan Budaya (Departemen P dan K) juga memuat artikel, puisi, dan drama. Meski berlabel sebagai majalah kebudayaan umum, sejak terbit pertama (1950) Basis juga memberi ruang yang lumayan bagi karya puisi. Kendati terlambat, Kedaulatan Rakyat akhirnya juga memberi ruang khusus bagi cerpen, puisi, dan artikel seni, sastra, dan budaya. Kondisi tersebut semakin marak ketika Bernas dan Masa Kini (Yogya Post) juga berbuat hal sama. Lewat media-media itulah para sastrawan berkiprah dari generasi ke generasi hingga generasi terbaru yang tak hanya ditopang oleh koran dan majalah tetapi juga oleh penerbit buku, baik penerbit profesional maupun yang berafiliasi pada lembaga tertentu.

    Sejak awal 2000-an setidaknya sastrawan yang terus berproses di Yogyakarta hingga
    sekarang -baik yang menulis dalam bahasa Indonesia maupun Jawa- di antaranya Umar
    Kayam (alm), Bakdi Sumanto (alm), Kuntowijoyo (alm), Budi Sardjono, Ashadi
    Siregar, Emha Ainun Nadjib, Iman Budhi Santoso, Mustofa W. Hasjim, Joko
    Pinurbo, Joni Aria Dinata, Sutirman Eka Ardana, Joko Santoso, Sindhunata,
    Gunawan Maryanto, Otto Sukatno, Ulfatin Ch, Abidah Khalieqy, Toto Sugiharto,
    Satmoko Budhi Santoso, Herlinatiens, Agus Wahyudi, Raudal Tanjung Banua, Asef Saeful Anwar, Mini GK, Esti Nuryani Kasam,
    Aguk Irawan, Tia Setiadi, Evi Idawati, Agus Noor, Rachmat Djoko Pradopo, Hamdy
    Salad, Khrisna Mihardja, Edi AH Iyubenu, Suminto A. Sayuti, Abdul Wachid,
    Labibah Zain, Ikun Sri Kuncoro, Eko Triyono, Risda Nur Widia, Muhidin M.
    Dahlan, Purwadmadi, Ardini Pangastuti, AY Suharyono, Suwardi Endraswara, dan
    masih banyak lagi. Konon, kalau dihitung secara keseluruhan, baik tua maupun
    muda, di Yogyakarta terdapat tidak kurang dari 125 sastrawan.[3]
    Mereka pula yang pada dua dekade terakhir membangun dinamika kehidupan sastra
    di Yogyakarta.

    Meski tidak selalu berumur panjang, hingga kini tercatat, dari jumlah
    1300-an penerbit anggota IKAPI di Indonesia, 92 penerbit terdapat di
    Yogyakarta.[4]
    Banyaknya penerbit itulah yang turut membangun kehidupan perbukuan di
    Yogyakarta, termasuk buku-buku sastra. Hanya saja, di antara 92 penerbit itu
    tidak lebih dari 15% yang bersedia menerbitkan buku sastra. Di antara jumlah
    yang sedikit itu, penerbit yang belakangan masih aktif ialah Diva Press, Jalasutra, Narasi, Sheila,
    Galang, Arti Bumi Intaran, Sine Book, Garailmu, Matapena, Elmatera, Media
    Kreativa, Kepel, Kunci Ilmu, Gama Media, Bigraph Publishing, ISAC Books,
    Navilla, Hikayat, Pustaka Pelajar, LkiS, Bentang Budaya, Pusaka Nusatama, Kunci
    Ilmu, YKF, Matahari, Adicita Karya Nusa, JWS Sastra, Basa Basi, Interlude,
    Garudawaca, Halaman Indonesia, Pustaka Hati, Gambang, Sabda Media, Deepublish,
    Lingkaran,
    dan Qalam Nusantara. Bahkan,
    penerbitan buku sastra itu bagi mereka hanya -seperti sering dikatakan Sapardi
    Djoko Damono- karena idealisme belaka sebab buku-buku sastra tidak laku di
    pasaran. Karena itu, tidak mengherankan kalau buku-buku sastra seringkali
    justru diterbitkan oleh penerbit-penerbit kecil yang bukan anggota IKAPI;
    bahkan sering diterbitkan (dibiayai dan dijual kepada komunitasnya) sendiri
    oleh pengarangnya.

    Selain didukung banyaknya penerbit, pertumbuhan sastra di Yogyakarta juga
    didukung lembaga-lembaga pemerintah dan swasta. Misal saja, Balai Bahasa DIY. Selain
    mengadakan pelatihan penulisan sastra dan hasilnya lalu diterbitkan (sejak 1995),
    setiap tahun (sejak 2007) Balai Bahasa juga memberikan penghargaan kepada
    buku-buku sastra terbaik terbitan penerbit Yogyakarta.[5]
    Hal inilah yang mendorong munculnya pengarang-pengarang baik lama maupun baru
    untuk bergairah kembali menulis buku sastra. Penghargaan 2007 diberikan kepada
    novel Lumbini (Jalasutra, 2006) karya
    Kris Budiman.[6]
    Penghargaan 2008 diperoleh novel Mahabbah
    Rindu
    (Diva Press, 2007) karya Abidah El-Khaileqy.[7]
    Novel Rumah Cinta (Arti Bumi Intaran,
    2008) karya Mustofa W Hasjim menyabet penghargaan 2009.[8]
    Pada 2010 penghargaan dimenangkan novel Jejak
    Kala
    (Sheila, 2009) karya Anindita S Thayf.[9]
    Kumpulan cerpen Sepotong Bibir Paling
    Indah di Dunia
    (Bentang, 2010) karya Agus Noor memenangkan penghargaan
    2011.[10]
    Pada 2012 penghargaan diperoleh novel Sang
    Nyai
    (Diva Press, 2011) karya Budi Sardjono.[11]
    Tahun 2013 penghargaan diberikan kepada kumpulan cerpen Lengkingan Viola (Java Karsa Media, 2012) karya Ramayda Akmal.[12]
    Novel Perempuan yang Memetik Mawar
    (Lukita, 2013) karya Dahlia Rasyad memenangkan penghargaan 2014.[13]
    Penghargaan 2015 jatuh pada novel Sihir
    Pembayun
    (Diva Press, 2014) karya Joko Santoso.[14]
    Tahun 2016 penghargaan diperoleh novel Pameran
    Patah Hati
    (Ping, 2015) karya Mini GK.[15] Pada
    2017 penghargaan jatuh pada kumpulan cerpen Agama Apa yang Pantas bagi
    Pohon-Pohon?
    (Diva Press, 2016) karya Eko Triono.[16] Penghargaan
    2018 diperoleh novel Alkudus (Basa Basi, 2017) karya Asef Saeful Anwar.[17]
    Sementara, pada 2019, entah mengapa, Balai Bahasa DIY tidak lagi memberikan
    penghargaan bahasa dan sastra. Padahal, sastrawan Yogyakarta juga masih menulis
    dan menerbitkan karyanya pada 2018. Dan, dalam empat tahun terakhir, Dinas
    Kebudayaan DIY justru menggairahkan kembali kehidupan sastra, khususnya Jawa,
    dengan cara mengadakan lomba penulisan novel. Setiap tahun memilih 20 novel
    sebagai nomine, dan akhirnya dipilih 5 novel terbaik dan diterbitkan.[18]

    Dari upaya pemberian penghargaan itu tercatat sejak 2004 hingga 2018 di
    Yogyakarta telah terbit tidak kurang dari 200 judul buku sastra. Jumlah itu
    masih bisa bertambah karena ada beberapa pengarang/penerbit yang tidak
    mengikutsertakan terbitannya ke ajang penghargaan. Selain dipicu oleh kehadiran
    beberapa lembaga yang komit terhadap pertumbuhan sastra, baik pemerintah maupun
    swasta,[19] di
    Yogyakarta juga terbangun tradisi baca-tulis-diskusi-pameran-penerbitan buku
    oleh berbagai komunitas (kantong sastra) baik yang berafiliasi di bawah lembaga
    (UGM, UNY, UIN, UAD, USD, Sarjana Wiyata)[20]
    maupun komunitas yang sifatnya mandiri (dengan dasar kecintaan pada
    seni-sastra).[21]
    Itulah sebabnya, tradisi proses kreatif bersastra di Yogyakarta terus bertumbuh.[22]

    Hanya saja, di balik pertumbuhan karya sastra yang cukup menggembirakan
    tersebut, tradisi kritik -sebagaimana terjadi pada umumnya- masih jauh
    tertinggal. Hal itu terbukti, ketika dijaring dalam rangka penghargaan terhadap
    buku-buku kritik sastra (2016), dalam rentang waktu beberapa tahun buku-buku
    tersebut langka adanya. Kendati demikian, hal tersebut tidak berarti
    menghentikan dinamika kehidupan sastra di Yogyakarta.

    /3/

    Masalah yang perlu disimak berikutnya ialah bagaimana kecenderungan (tematik,
    stilistik, estetik) karya-karya sastra yang “menjamur” di Yogyakarta itu? Di satu sisi diharapkan dalam kehidupan sastra
    di Yogyakarta lahir sejumlah karya yang berkualitas, tetapi di sisi lain fakta
    menunjukkan sebagian besar karya yang ada menunjukkan jarak yang relatif jauh
    dari ”kanon literer”. Tema dan masalah yang diangkat cenderung tidak mengalami
    ”pendalaman” bahkan ada yang hanya ingin bertausiah lewat sastra dan memberi nasihat. Fakta dan sarana sastra juga tidak diberdayakan maksimal
    sehingga tingkat plausibilitasnya relatif kurang, aspek lifelike
    terabaikan, dan akibatnya terasa janggal, tanpa kejutan, dan datar. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar karya
    sudah diberi ”label” tertentu (novel
    motivasi, novel religius, novel penyejuk hati, novel ajaran
    , dll.) yang
    akibatnya karya-karya itu menjadi tendensius dan terkesan bagai karya pesanan.
    Bahkan, gambar cover buku pun telah mengisyaratkan hal yang fashionable.[23]

    Satu hal yang pantas dicatat ialah, pada dua dekade belakangan muncul
    kecenderungan mengejawantahkan mitos. Hal itu tampak, misalnya, mitos Nyai Roro
    Kidul dalam Sang Nyai (2011) Budi
    Sardjono, mitos Keraton Boko dalam Roro
    Jonggrang
    (2011) Arie Sudibyo, mitos wayang dalam Semar Mesem (2011) R. Toto Sugiharto, mitos pesugihan Gunung Kawi
    dalam Menagih Janji Misteri Gunung Kawi
    (2016) Otto Sukatno, dan mitos Roro Mendut dalam Putri Pesisir (2016) Ardian Kresna. Pengejawantahan mitos ke dalam
    sastra memang memiliki risiko tersendiri. Tantangannya ialah apakah mitos itu
    menjadi semacam pakem ataukah hanya sebagai suatu titik pijak (bahan). Jika
    menjadi pakem tentu akan tampak pretensius dan cenderung melakukan pengukuhan
    terhadapnya. Tetapi, jika hanya menjadi titik pijak, sekadar sebagai context bound, dimungkinkan dapat melahirkan
    sesuatu yang baru, bahkan bisa jadi muncul pemikiran-pemikiran dekonstruktif,
    misalnya, seperti “lakon carangan” dalam wayang. Dan faktanya, dalam
    novel-novel yang lahir itu secara umum mitos diperlakukan sebagai pakem.

    Dalam beberapa tahun belakangan pengarang Yogyakarta tampaknya juga
    tersihir oleh kecenderungan untuk merekonstruksi tokoh-tokoh atau peristiwa sejarah
    kejayaan masa lalu. Novel-novel yang mencoba mengangkat sejarah itu, terutama sejarah
    Jawa, di antaranya The True Story of
    Majapahit: Orang-Orang yang Berdiri di Balik Lahirnya Majapahit
    (2009), Gajah Mada: Menangkis Ancaman Pemberontakan
    Ra Kuti
    (2009), Trunojoyo: Sebuah
    Novel Epos
    (2009), Siasat dan Kemelut
    Atas Tahta
    (2010) karya Gamal Kamandoko; Centhini: Sebuah Novel Panjang (2009) karya Sunardian Wirodono; Gadis-Gadis Amangkurat: Cinta yang Menikam
    (2011) karya Rh. Widada; Ratu Kalinyamat
    (2010) karya Murtadho Hadi; Diponegoro
    (2010) karya Yudhi AW; Api Paderi
    (2010) karya Mohammad Solihin; Dendam di
    Bumi Mangir
    (2010) karya A. Darmasto; Joko
    Tingkir
    (2010) karya Agus Wahyudi; Sihir
    Pembayun
    (2014) dan Penangsang
    Memanah Rembulan
    (2016 karya Joko Santoso.

    Hanya saja, sayangnya, sebagian besar novel-novel itu
    tidak pula menyajikan
    tafsir baru, apalagi menghadirkan wacana baru, sehingga membaca novel itu tidak
    ubahnya membaca buku sejarah yang telah ada. Akibatnya, novel-novel itu hanya tampak
    sebagai cetak ulang buku-buku sejarah dan cenderung tidak memiliki kontribusi
    yang memperkaya wawasan pemahaman atas sejarah itu sendiri. Dari sejumlah novel
    yang mencoba mengartikulasikan aspek sejarah itu, yang terlihat sedikit mampu
    keluar dari atau mampu menghadapi tantangan atas novel sejarah di antaranya Dendam di Bumi Mangir dan Penangsang Memanah Rembulan. Dalam Dendam
    di Bumi Mangir
    epos kepahlawanan dapat diekplorasi dengan matang dan dewasa
    sehingga tokoh-tokoh menjadi hidup dan berkarakter kuat. Sementara, dalam Penangsang Memanah Rembulan konflik-konflik
    politik, agama, kekuasaan, dan kemanusiaan dengan latar belakang sejarah Jawa
    abad ke-16 (pada masa kekuasaan Sutawijaya) dapat direkonstruksi dengan jernih.

    Selain hal seperti yang telah dikemukakan, dalam dua dekade terakhir, ada
    beberapa karya yang memiliki kadar literer yang cukup (tinggi). Misalnya saja
    kumpulan cerpen Sepotong
    Bibir Paling Indah di Dunia
    (2010) karya Agus Noor. Sebab, cerpen-cerpen dalam kumpulan
    ini disajikan dengan teknik penulisan yang avant
    garde
    , pemilihan diksi dan ekspresi yang sangat literer, dan tepat dalam
    pengungkapan dan pemilihan peristiwa. Sepintas memang terasa sulit ditemukan
    apa tema kumpulan cerpen ini karena antara satu cerpen dan cerpen lainnya
    bercerita tentang hal-hal yang berbeda. Akan tetapi, setelah dicoba dirunut
    benang merahnya, hal-hal yang berbeda itu tersatukan ke dalam sesuatu yang
    lebih universal. Cerpen-cerpen itu bercerita tentang cinta dan kesetiaan,
    bertahan hidup dan kematian, kemiskinan dan kebahagiaan, dan sejenisnya, yang
    semua itu berujung pada kehidupan. Semua cerita di dunia ini memang memaparkan kehidupan
    seperti yang demikian sehingga untuk menjadikannya istimewa, si pencerita mesti
    harus bekerja keras; dan terbukti pengarang cerpen dalam kumpulan ini mampu dan
    berhasil melakukannya.

    Buku kumpulan cerpen Agama Apa yang
    Pantas bagi Pohon-Pohon?
    (2016) karya Eko Triono agaknya juga melahirkan
    harapan baru bagi masa depan sastra dan kesusastraan di Yogyakarta. Jelajah
    imajinasi yang tergambar di dalamnya manakjubkan; pilihan tema, eksplorasi
    gagasan, dan gaya berceritanya yang bernas menunjukkan cakrawala yang begitu
    luas dan unik. Sebagai penulis muda ia telah mendekati piawai ketika
    mendekonstruksi cara-cara berpikir lama; dan karenanya cerpen-cerpennya begitu
    mengejutkan. Meski sedikit berbeda, buku kumpulan cerpen Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia seperti Mersault (2016) karya
    Risda Nur Widia juga menunjukkan hal serupa. Pengarang yang juga masih muda ini
    telah memiliki gaya yang khas, ringan, jernih, dan menunjukkan keahliannya
    dalam bercerita. Satu lagi ialah novel Alkudus (2017) karya Asef Saeful Anwar. Melalui novel ini secara metaforik
    dan dengan cara yang mengejutkan pengarang mengajak kita untuk kembali melihat
    dan merenungkan sebenarnya apa itu esensi agama (apa pun). Agama (apa pun) mestinya
    bukanlah seperangkat dogma yang eksklusif, melainkan bisa menginklusi setiap (seluruh)
    mahluk hidup.

    /4/

    Paparan di atas memperlihatkan, sejak awal hingga dua dekade terakhir, Yogyakarta
    masih menunjukkan dinamikanya dalam hal kehidupan sastra. Meski tidak selalu
    berjalan seperti yang diharapkan, berbagai komponen masih menunjukkan peran
    masing-masing yang sistemik. Pengarang masih terus aktif, kreatif, dan
    bertumbuh (regeneratif); dengan bertumpu pada idealisme penerbit masih mau menerbitkan
    buku-buku sastra; dan beberapa lembaga pendukung juga masih peduli terhadapnya.
    Sebagaimana terjadi pada umumnya, di Yogyakarta tidak hanya tumbuh karya sastra
    dalam bentuk (buku) cetak, tetapi juga tumbuh dalam media jaringan (internet). Bahkan,
    kebertumbuhan sastra di Yogyakarta langsung atau tidak juga didukung oleh
    komunitas (masyarakat) pembaca.[24]

    Hanya saja, dilihat dari sisi kesastraan dan kecenderungan estetiknya,
    karya-karya sastra yang lahir sebagian belum menunjukkan kebaruan (eksplorasi
    estetik). Hal itu tidak hanya tampak dalam karya-karya fiksi, tetapi juga dalam
    karya puisi. Bahkan, karya-karya (buku) drama tidak tampak hidup di Yogyakarta.
    Dalam dua dekade terakhir, misalnya, hanya dijumpai beberapa buku drama, yakni Pada Sebuah Gardu (Nouvalitera, 2012)
    Khrisna Mihardja, Tak Ada Bintang di
    Dadanya
    (Interlude, 2016) Hamdy Salad, dan Kisah Dua Lelaki Hamil (2016) Sri Harjanto Sahid.[25] Kendati
    demikian, satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa sebagian besar karya sastra
    Indonesia di Yogyakarta menampakkan kecenderungan untuk mengeksplorasi
    lokalitas -yang dihadapkan pada problem realitas kemanusiaan umumnya-; dan
    kecenderungan ini tampak dipengaruhi oleh latar belakang pengarangnya (Melayu,
    Jawa, Madura, pesantren, dan sejenisnya). Hal inilah yang, barangkali, justru menjadi
    bentuk sumbang sih nyata bagi jagat kesusastraan Indonesia; dalam arti
    Yogyakarta merupakan bagian (kota, wilayah, komunitas yang) penting dari
    Indonesia dalam percaturan dunia (internasional).

    Terakhir, yang perlu dicatat pula, agar Yogyakarta, juga Indonesia, tidak
    menjadi terra incognita di tengah relasi-sastra-budaya dunia, agaknya
    perlu ada upaya serius penerjemahan karya-karya sastra Indonesia (Yogyakarta)
    ke dalam bahasa internasional, tidak hanya bahasa Inggris tetapi juga bahasa
    lain. Selain karya Goenawan Mohamad, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar,
    Andrea Hirata, Hamka, Putu Wijaya, dan lain-lain dari khasanah sastra
    Indonesia, ada juga beberapa karya Umar Kayam, Joko Pinurbo, Eka Kurniawan, dan
    lainnya dari Yogyakarta yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing sehingga nama
    Indonesia (Yogyakarta) mulai dikenal dunia. Hanya saja, upaya itu rasanya belum
    cukup; perlu ada upaya lain, sebagaimana dipikirkan Iman Budhi Santosa,
    misalnya penerjemahan sastra Jawa ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian ke
    dalam bahasa asing. Hal demikian bisa saja bekerja sama, misalnya, dengan pihak
    hotel dan/atau maskapai penerbangan. Kira-kira begitulah.***

    Semarang-Yogyakarta, 15 September 2019.


    [1] Hal ini sebagian dapat dibaca pada nama-nama dalam buku Astana Kastawa: Antologi Karya Leluhur Sastra Indonesia (I dan II) susunan Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta (2014 dan 2015) yang memuat karya 56 sastrawan yang lahir di dan dari luar Yogyakarta.

    [2] Dari Mingguan Pelopor terjadi peristiwa yang melegenda berkait dengan dinamika sastra di Yogyakarta. Sebab, dari sini (sejak Maret 1968) muncul PSK (Persada Studi Klub) dengan “presiden”-nya Umbu Landu Paranggi; bersama Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Soeparno  S. Adhy, Mugiyono Gitowarsono,  dan M. Ipan Sugiyanto Sugito, mereka berikrar membentuk komunitas untuk mengasah kreativitas kepenulisan. Dan sejarah tentang PSK ini telah ditulis Asef Saiful Anwar dalam buku Persada Studi Klub dalam Area Sastra Indonesia terbitan Gama Press 2018. Dari komunitas (yang berakhir pada 1977) inilah kemudian lahir sastrawan kenamaan antara lain Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Emha Ainun Najib, Iman Budhi Santosa.

    [3] Data-data sastrawan yang masih (atau pernah) berkiprah di Yogyakarta dapat ditelusuri dalam, antara lain, buku-buku berikut. Dalam antologi puisi Malioboro (Balai Bahasa DIY, 2007) tercatat ada 110 penyair (sejak 1945-2000; dalam buku antologi puisi Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya susunan Iman Budhi Santosa dan Mustofa W. Hasjim (Pesan Trend Budaya Ilmu Giri, 2014) tercatat ada 90 penyair; dalam antologi geguritan Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya susunan Iman Budhi Santosa dan Mustofa W. Hasjim (Pesan Trend Budaya Ilmu Giri, 2014) tercatat ada 33 penggurit; dalam buku Perempuan Bermulut Api: Antologi Cerita Pendek Indonesia di Yogyakarta (Balai Bahasa DIY, 2015) tercatat ada 92 cerpenis; dan dalam buku Orang-Orang Panggung DIY (Balai Bahasa DIY, 2016) tercatat ada 40 sastrawan-teater.

    [4]
    Konon, jika ditambah dengan usaha
    percetakan dan penerbit-penerbit yang bukan anggota IKAPI, termasuk penerbit
    koran dan majalah, jumlahnya mencapai lebih dari 300.

    [5]
    Khusus penghargaan pertama (2007)
    diberikan kepada buku sastra terbaik terbitan 3 tahun terakhir (hingga 2006), sedangkan
    penghargaan selanjutnya (sejak 2008) diberikan kepada buku sastra terbaik yang
    terbit pada tahun sebelumnya, demikian seterusnya hingga sekarang. Kegiatan
    pemberian penghargaan sastra ini didukung oleh IKAPI DIY.

    [6]
    Buku-buku sastra terbitan 2004-2006
    pada masa penghargaan 2007 di antaranya Dunia
    Seribu Wajah
    (cerpen, 2005) karya Arwan Tuti Arta; Mitos Kentut Semar (puisi, 2006) karya Rachmat Djoko Pradopo; Saru Siku (novel, 2006) karya Otto
    Sukatno; Bersampan Ke Seberang
    (cerpen, 2006) karya Satmoko Budhi Santoso.

    [7]
    Buku-buku sastra terbitan 2007 pada
    masa penghargaan 2008 di antaranya Sinden
    (novel) karya Purwadmadi; Ki Ageng Miskin
    (puisi) karya Mustofa W Hasjim; Perempuan
    Panggung
    (novel) karya Iman Budhi Santoso; Ketika Kemarau Melintas di Biara (puisi) karya Rosindus JM Tae; Sali (novel), Zaman (novel), dan Ronggeng
    (novel) karya Dewi Linggasari; Sosok
    (novel) karya Nani Tato K; Kabut Kelam
    (novel) karya Ahmad Munif; dan Hikayat
    Kampung Mati
    (novel) karya Marhalim Zaini.

    [8]
    Buku-buku sastra terbitan 2008 pada
    masa penghargaan 2009 di antaranya Asrama
    Putri
    (novel) karya Dewi Linggasari; Singgasana (novel) karya Lila
    Mahardika; Perempuan Kedua (cerpen)
    karya Labibah Zain; Perempuan di Bawah
    Gerimis
    (novel) karya Ahmad Munif; Nirzona
    (novel) karya Abidah El-Khalieqy; Lafazs-Lafazs
    Cinta (novel) karya Hadi S Khuli; Rahasia Wanita (novel) karya Qotrun
    Nada; Kepribadian Wanita (novel)
    karya Suminaring Prasojo; Sujud Nisa di
    Kaki Tahajjud Subuh
    (novel) karya Kartini Nainggolan; Sang Pelopor (novel) karya Alang-Alang Timur; Mata Air Akar Pohon (puisi) karya Nur Wahida Idris.

    [9]
    Buku-buku sastra terbitan 2009 pada
    penghargaan 2010 di antaranya Titian Sang
    Penerus
    (novel) karya Alang-Alang Timur; Hakikat (novel) karya M Hilmi Asad; Sepertiga Malam (novel) karya Syaiful Erfad; Bisikan Surga (novel) karya Yani Rahma Nugraheni; Mencintai Malaysia (novel) karya Sidik
    Jatmika; Maestro (novel) karya Alex
    Suhendra; Perempuan Kedua (novel) dan
    Nayla (novel) karya Siti Rofikah; Doa untuk Dinda (novel) karya Endik
    Koeswoyo; Cinta 1001 Malam di
    Khatulistiwa
    (puisi) dan Karnaval
    Cinta
    (puisi) karya Cecilia Guno Samekto; Negeri Kong Draman (puisi) karya Akhmad Fikri; Tidur Tanpa Mimpi (puisi) karya Rachmat Djoko Pradopo; The True Story of Majapahit (novel), Gajah Mada (novel), dan Trunojoyo (novel) karya Gamal Kamandoko;
    Centhini (novel) karya Sunardian
    Wirodono; dan Juragan Subeyojeka
    (novel) karya Nur Iswantara.

    [10]
    Buku-buku sastra terbitan 2010 pada
    masa penghargaan 2011 di antaranya Awan
    Abrit
    (puisi) karya Fitra Firdaus A; Analea
    Cewek Penggila Bola
    (novel) karya Isna K; Joko Tingkir (novel) karya Agus Wahyudi; Siasat dan Kemelut atas Tahta (novel) karya Gamal Kamandoko; Ratu Kalinyamat (novel) karya Murtadho
    Hadi; Diponegoro (novel) karya Yudhi
    AW; Api Paderi (novel) karya Mohammad
    Solihin; Positif (novel) karya Maria
    Silvi; Memorabilia dalam Keabadian
    (novel) karya laila  Nurazizah; Dunia Padmini (novel) karya Trie Utami; Mata Blater (cerpen) karya Mahwi Air
    Tawar; dan Sepotong Bibir Paling Indah di
    Dunia
    (cerpen) karya Agus Noor.

    [11]
    Buku-buku sastra terbitan 2011 pada
    masa penghargaan 2012 di antaranya Bunga
    Tabur Terakhir
    (cerpen) karya GM Sudarta; Di Tepi Damba (puisi) karya Anak Padmawidya; Red Blood Ring (novel) karya Jojo Alexander; Hati Sinden (novel) karya Dwi Rahayuningsih; Sang Nyai (novel) karya Budi Sardjono; Menapak Jejak (puisi) karya Dewi Linggasari; Roro Jonggrang (novel) karya Arie Sudibjo; Semar Mesem (novel) karya R Toto Sugiharto; Gadis-Gadis Amangkurat (novel) karya R Widada; Hikayat Kata (puisi) karya Bambang Widyatmoko; Aku dan Puisi karya mahasiswa USD; Yang (puisi) karya Abdul Wachid; dan Ning (novel) karya Mazadek Hari.

    [12]
    Buku-buku sastra terbitan 2012 pada
    masa penghargaan 2013 di antaranya Lengkingan
    Viola
    (cerpen) karya Ramayda Akmal; Genderang
    Baratayuda
    (novel) karya R Toto Sugiharto; Mengenali Yogya (puisi) karya Ons Untoro; Musim Hujan Datang di Hari Jumat (puisi) dan Ketika Tuhan Melukis Hati Manusia (puisi) karya Mustofa W Hasjim; Cinta, Luka, Cemburu (puisi) dan Terpahat pada Awan (puisi) karya Rina
    Eklesia; Pengembaraan Debu (puisi)
    karya Hari Palguna; Misteri Gadis
    Kaligrafi
    (novel) karya Faturrohman Karyadi; Tartila (novel) karya Arifa; Kontroversial
    (cerpen), Pada Sebuah Gardu (drama), Citra (novel), Merapiku, Puisiku, dan Orang-Orang di Sekelilingku (puisi), dan Demit (cerpen) karya Khrisna Mihardja; Sastra Jendra Hayuningrat (novel) karya
    Agus Sunyoto; Tuan Dalang (novel)
    karya Dwi Rahayuningsih; Api Merapi
    (novel) karya Budi Sardjono; Conserto Al
    Malioboro
    (novel) karya Angsel Watra; Lintang
    (novel) karya Nana Rina; Pertanyaan
    Srikandi
    (puisi) karya Wiyatmi; dan Perempuan
    Berlipstik Kapur
    (cerpen) karya Esti Nuryani Kasam.

    [13]
    Buku-buku sastra terbitan 2013 pada
    masa penghargaan 2014 di antaranya Perempuan
    yang Memetik Mawar
    (novel) karya Dahlia Rasyad; Ziarah Tanah Jawa (puisi) karya Iman Budhi Santoso; Burung-Burung di Tiang Duka (puisi)
    karya Aly D Musrifa; Roro Jonggrang
    (novel) karya Budi Sardjono; 9 Kubah
    (puisi) karya Evi Idawati; Panji
    Asmorobangun
    (novel) karya Toto R Sugiharto; Rahim Titipan (novel) karya Satmoko Budhi Santoso; Senapan Tak Berpeluru (novel) karya Joko
    Santoso; Senja di Chao Praya (novel)
    karya Endah Setyawati; Nyanyian Raflesia
    (novel) karya Setyawati Iriani Nugroho; Tuhan,
    Maaf, Engkau Kumadu
    (novel) karya Aguk Irawan; dan Bangsal Sri Manganti (puisi) karya Suminto A Sayuti.

    [14]
    Buku-buku sastra terbitan 2014 pada
    masa penghargaan 2015 di antaranya Sihir
    Pembayun
    (novel) karya Joko Santoso; Nyai
    Gowok
    (novel) karya Budi Sardjono; Rajawali
    Satu Sayap
    (novel) karya Ulfatin Ch.; Matapangara
    (novel) karya Raedu Basha; Lamsijan
    (novel) karya Asep Saeful Anwar; Antologi
    Puisi Wayang dan Lain-Lain
    (puisi) karya Purwadmadi; Tasbih Merapi (puisi) karya Hamdi Salad; Persinggahan Akhir Tahun (puisi) karya Suminto A Sayuti; dan Mahabarata (novel) karya Herjaka HS.

    [15]
    Buku-buku sastra terbitan 2015 pada
    masa penghargaan 2016 di antaranya Maria
    Zaitun: Adaptasi Nyanyian Angsa WS Rendra
    (novel) karya Joko Santoso; Bunga-Bunga Kesunyian (cerpen) karya
    Risda Nur Widia; Teratak Daun Rumbia
    (cerpen) karya Susi Purwani; Ken Arok dan
    Ken Dedes
    (novel) karya Gamal Kamandoko; Kawin Muda (cerpen) karya Jajak MD; Pameran Patah Hati (novel) karya Mini GK; Memorabilia (novel) karya Kiki Ramdani; dan Hujan Pertama untuk Aysila (novel) karya Edi AH Iyubenu.

    [16]
    Buku-buku sastra terbitan 2016 pada
    masa penghargaan 2017 di antaranya Anak-Anak
    Minyak
    (novel) karya Imperial Jathe; Penangsang
    Memanah Rembulan
    (novel) karya Joko Santoso; Fazan (novel) karya Yudhi AW; Gejolak
    Jiwa
    (puisi) karya Supriadi; Muslimah
    Bintang Tujuh
    (novel) karya Rudi Hendrik; Menagih Janji Misteri Gunung Kawi (novel) karya Otto Sukatno CR; Sebutir Debu di Kaki Ka’bah dan Emak Tonce (novel) karya Pago Hardian; Pulung (cerpen) karya Nunung Deni P; Kado Kemenangan (cerpen) karya Marwanto;
    Bulan Bukit Menoreh (puisi) karya
    Marjudin Suaeb; Tokoh Anda yang Ingin
    Mati Bahagia Seperti Mersault
    (cerpen) karya Risda Nur Widia; Ombak Negeri Legenda (puisi) karya Aly D
    Musrifa; Mantra Bumi (puisi) karya
    Aprinus Salam; Memorabilia dan Melankolia
    (cerpen) karya Agus Noor; Kisah Dua
    Lelaki Hamil
    (drama) karya Sri Harjanto Sahid; Perempuan yang Mencintaimu dalam Kesunyian (novel) karya Vita
    Agustina; Energy Bangun Pagi Bahagia
    (puisi) karya Andy Sri Wahyudi; Aku Ingin
    Meniup Balon
    (novel) karya Aik Vela Pratisca; Kecamuk Kota (puisi) karya Rudi Santoso; Bukan Semilah (novel) karya Nadin T; Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (cerpen) karya Eko Triyono;
    Tak Ada Bintang di Dadanya (drama)
    karya Hamdi Salad; Malioboro 2057
    (puisi) karya Sutirman Eka Ardana; Lukisan
    Anonim
    (puisi) karya Umi Kulsum; Potret
    Wanita Jawa
    (puisi) karya Fitri Merawati; Kidung Rindu di Tapal Batas (novel) karya Aguk Irawan; dan Putri Pesisir (novel) karya Ardian
    Kresna.

    [17] Buku-buku sastra terbitan 2017 pada masa penghargaan 2018 di antaranya Igor: Sebuah Kisah Cinta yang Anjing karya Risda Nur Widia; Gita Donya karya Dhama Dove; Telembuk karya Kedung Darma Romansha; Nujum karya Isidora Damaika Saktiani; Alkudus karya Asef Saeful Anwar; Pekik Jihad Perempuan Jawa karya Fachruddin Ghozy; Sifat Baik Daun karya Daruz Armedian; Kamu sedang Membaca Tulisan ini karya Eko Triono; Saya Tidak Boleh Berbicara sejak Bayi demi Kebaikan-Kebaikan karya Edi AH Iyubenu; Bedak dalam Pasir karya Sule Subaweh; Pacarku Memintaku Jadi Matahari karya Reza Nufa; Percakapan Burung-Burung dan Cerita-Cerita Lain karya Nurul Hanafi; Rumbalara Perjalanan karya Bernando J. Sujibto; Rahasia Dapur Bahagia: Ensiklopedia Kuliner dalam Puisi karya Hasta Indriana; Pleidoi Main Kundang karya Indrian Koto; Tak Ada Puisi Hari Ini karya Sunawi; Lelaki Pengulum Sunyi karya Sunawi; Pertanyaan-Pertanyaan tentang Dunia karya Mutia Sukma; Akar Ketuban karya Umi Kulsum.

    [18] Pada 2017, misalnya, terpilih 5 novel terbaik dan diterbitkan, yakni Pulung Gantung Tali Pati karya Iman Budhi Santosa; Kadang Suriname Sanak Merapi karya Fuji Riang Prastowo; Sengara Mati karya Siti Aminah; Kori Wus Tinarbuka karya Sriharyanti; Begog Godhong Asem Pereng Gunung Merapi karya Sugeng Subagya. Dan, bagusnya, novel-novel hasil lomba ini ditulis berdasarkan hasil riset pengarangnya, sebagaimana dipersyaratkan oleh panitia melalui pengajuan proposal.

    [19]
    Pengayom swasta (mandiri) ini di
    antaranya dilakukan oleh Yayasan Sastra Yogyakarta (YASAYO) milik Rachmat Djoko
    Pradopo yang hampir setiap tahun memberikan penghargaan kepada pengarang dan
    peneliti sastra Indonesia dan Jawa. Seratus persen dana yang digunakan oleh
    Yasayo adalah dana pribadi.

    [20] Dari kelompok mahasiswa sastra UGM, misalnya, bersama Pustaka Pelajar, lahir antologi cerpen Nyidam (1994) dan Maling (1994); dari MPI-IKIP Muhammadiyah (sekarang UAD) lahir antologi puisi Seninjong (1986) Andrik Purwasito, Sajak Penari (1990) Ahmadun Y. Herfanda, Cahaya Maha Cahaya (1988) Emha Ainun Nadjib, Syair-Syair Cinta (1989) Suminto A. Sayuti; dari IAIN (UIN) Sunan Kalijaga lahir antologi Sangkakala (1988) dan Kafilah Angin (1990); dari UNY lahir Lingkaran Kosong: Antologi Puisi (1980) dan Catatan Tanah Merah (1992); ditambah lagi dengan terbitan lain dari Sarjana Wiyata, Universitas Sanata Darma, dan sebagainya.

    [21]
    Menurut data yang dihimpun
    oleh Himpunan Sastrawan dan Komunitas Sastra DIY (HSKS DIY) pada 2015 tercatat tidak kurang 60
    komunitas sastra Indonesia yang
    masih aktif. Beberapa di antaranya
    Studio Pertunjukan Sastra, Sastra Bulan Purnama Tembi, Forum Apresiasi Sastra
    LSBO, Ngopinyastro, Diskusi Sastra PKKH, Teater Eska, Studi Sastra dan Teater
    Sila, Masyarakat Poetika Indonesia, Sanggar Seni Sastra Kulonprogo, Malam
    Selasa Sastra, Rubud EAN, dll. Sementara,
    komunitas yang bergerak di bidang sastra Jawa, yang aktif sejak tahun 1970-an,
    misalnya Sanggar Sastra Brayan Muda (1976), Sanggar Sastra Sujadi
    Madinah
    (1976), Sanggar Sastra Buana Patria (1976), Sanggar
    Sastra Gambir Anom
    (1986), Sanggar Gurit Gumuruh (1988), dan Sanggar
    Sastra Jawa Yogyakarta
    (Balai Bahasa, 1991). Memang tidak semua
    komunitas tersebut berfokus pada sastra, tetapi sastra mendapat porsi yang cukup baik. Bagi yang fokus pada
    sastra umumnya menyelenggarakan kegiatan rutin. Studio Pertunjukan Sastra, misalnya, selama kira-kira sepuluh tahun telah melaksanakan kegiatan dan pertunjukan
    sastra sekitar 120 kali (rutin sebulan sekali dan
    belum lagi kegiatan insindental).  Dan akhir-akhir ini, dengan munculnya upaya pemasyarakatan buku,
    termasuk buku-buku sastra, misalnya lewat Festival Kebudayaan Yogyakarta,
    Kampung Buku Jogja, Mocosik
    , dan lain-lain, akan semakin menambah gairah
    masyarakat terhadap buku (sastra).

    [22]
    Berkait dengan hal ini telah terbit
    buku Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku:
    Proses Kreatif Pengarang Yogyakarta
    (2016) dan Njajah Desa Milang Kori: Proses Kreatif Novelis Yogyakarta (2017),
    keduanya terbitan Balai Bahasa DIY. Buku pertama memuat tulisan proses kreatif
    50 pengarang dan buku kedua memuat tulisan proses kreatif 20 novelis
    Yogyakarta.

    [23]
    Hal ini misalnya tampak dalam novel Lafazs-Lafazs Cinta (Hadi S Khuli,
    2008), Rahasia Wanita (Qotrun Nada,
    2008), Doa untuk Dinda (Endik
    Koeswoyo, 2009), Titian Sang Penerus
    (Alang-Alang Timur, 2009), Hakikat
    (M. Hilmi Asad, 2009), Sepertiga Malam
    (Syaiful Erfad, 2009), Bisikan Surga
    (Yani Rahma Nugraheni, 2009).

    [24] Sekadar contoh, Hipwee Community pernah melakukan pooling tentang siapa sastrawan Yogyakarta yang paling digemari. Dari hasil pooling tersebut ternyata ada lima sastrawan yang karyanya paling digemari (menjadi idola) pembaca, yakni Emha Ainun Najib, Joko Pinurbo, Bernard Batubara, Muhidin M. Dahlan, dan Gunawan Maryanto (www.hipwee.com).

    [25]
    Hanya saja, jika ditelusur lebih
    jauh, naskah-naskah  drama cukup banyak
    jumlahnya, tetapi naskah-naskah itu tidak diterbitkan menjadi buku kumpulan
    drama. Hal demikian dapat dirunut melalui buku Orang-Orang Panggung Daerah Istimewa Yogyakarta (Herry Mardianto
    dkk.) terbitan Balai Bahasa DIY tahun 2016 yang memuat biografi 40 seniman
    panggung DIY.

  • Demokrasi dan Tahun Politik 2018

    author = DL. Junaidi

    Dalam beberapa waktu belakangan ini media massa di tanah air seringkali dihiasi dengan pemberitaan terkait proses dan persiapan menuju pesta demokrasi yaitu pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di sejumlah Provinsi, Kabupaten maupun Kota. Sebagaimana data yang telah dirilis pada website otda.kemendagri.go.id, terdapat sejumlah 171 daerah yang akan melaksanakan pemilihan Kepala Daerahnya, antara lain 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten. Telah ditetapkan pula oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa pelaksanaan Pilkada serentak ini jatuh pada tanggal 27 Juni 2018 mendatang.

    Dengan melihat data di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa pesta demokrasi serentak pada tahun 2018 ini akan menguras banyak energi bangsa kita. Euforianya pun akan terasa hampir di seluruh pelosok tanah air, dengan melihat sebaran data daerah yang akan melaksanakan proses Pilkada mendatang. Hal ini juga yang kemudian menyebabkan pihak POLRI seringkali berkoordinasi dengan TNI akhir-akhir ini dalam rangka mengantisipasi serta menjaga stabilitas nasional menjelang momentum Pilkada serentak yang dimaksud.

    Pilkada dan Problematikanya

    Secara substansial, pelaksanaan dari proses pemilihan Kepala Daerah ini pun merupakan bagian dari manifestasi sistem demokrasi yang dianut oleh negara kita. Meskipun secara historis dapat dilihat bahwa implementasi dari sistem demokrasi ini sempat mengalami fluktuasi, termasuk pada masa sebelum Reformasi pemilihan Kepala Daerah dilakukan dengan mekanisme demokrasi tidak langsung.

    Secara regulatif, Pilkada langsung diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 56 jo pasal 119, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, yang kemudian sempat mengalami dinamika politik pada tahun 2014 (era rezim Susilo Bambang Yudhoyono) dengan diterbitkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Rentetan proses politik ini berujung pada diterbitkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

    Dengan demikian maka, dapat disimpulkan pula bahwa mengenai sistem demokrasi kita khususnya Pemilihan Kepala Daerah sampai dengan saat ini belum menemukan format yang paten, terbukti dengan adanya pembahasan regulasi di badan legislatif masih seringkali terjadi pada setiap menjelang momentum Pilkada ini. Konsolidasi di tingkat elit politik nasional pun masih berjalan, dan kadangkala sulit untuk menuju mufakat.

    Terlepas dari dinamika dan aspek historis yang melingkupinya, proses menuju Pilkada serentak pada bulan Juni 2018 mendatang perlu untuk kita perhatikan bersama. Sebagaimana yang telah penulis utarakan sebelumnya bahwa proses ini akan menguras banyak energi bangsa, di lain sisi euforia dan iklim politik menjelang momentum Pilkada serentak juga tengah mengalami eskalasi. Secara sederhana, hal ini dapat kita identifikasi pada proses konsolidasi dan kampanye politik di berbagai teritori yang akan melaksanakan pesta demokrasi, bergulir derasnya arus informasi yang kian tak terkendali, termasuk di dalamnya perang hoax antar kandidat maupun pendukung kandidat.

    Melihat perkembangan dinamika dan alur panjang sejarah ini, maka dapat dikatakan bahwa sistem demokrasi kita masih jauh dari harapan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Masyarakatlah yang kemudian menjadi korban. Kohesi sosial terombang-ambing oleh penyebaran isu tidak benar dari pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak bertanggungjawab.

    Fenomena ini memang tidak dapat dipisahkan dari posisi dan peran media massa, baik cetak maupun online. Beragam informasi bergulir di tengah masyarakat, sampai terkadang sulit untuk memilah mana informasi faktual dan mana hoax. Kalau pun bukan hoax, informasi yang disampaikan masih sebatas asumsi. Dengan demikian maka, masyarakat pun kesulitan untuk menemukan sumber informasi yang benar-benar dapat dipercaya.

    Selain itu, proses Pilkada di tanah air juga masih seringkali diwarnai dengan fenomena money politic, black campaign, adanya golongan putih (golput), menguatnya politik identitas, serta berbagai macam konspirasi politik yang berkonotasi negatif lainnya. Secara prosedural, Pilkada serentak pada tahun 2018 ini juga masih menyisakan indikasi adanya calon tunggal di beberapa daerah. Di lain sisi, akhir-akhir ini justeru sedang marak terjadi penangkapan Kepala Daerah yang terindikasi melakukan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seringkali disebut dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT).

    Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa proses Pilkada langsung yang sebetulnya diharapkan mampu mengorbitkan tokoh-tokoh daerah yang berintegritas justeru banyak mengalami kontradiksi. Singkat kata, output dari sistem demokrasi langsung yang diterapkan di daerah-daerah masih jauh dari apa yang diharapkan.

    Demokrasi dan Keadilan Sosial

    Sistem demokrasi di republik ini yang mengisyaratkan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat (sesuai pasal 1 ayat (2) UUD 1945) pada akhirnya membawa konsekuensi adanya partisipasi masyarakat secara penuh dalam menentukan pemegang tampuk kekuasaan dari tingkat pusat hingga daerah. Hal ini tentunya mengandung sisi positif, juga secara bersamaan membawa sisi negatif, sebagaimana ulasan yang telah disampaikan pada paragraf-paragraf sebelumnya.

    Persoalannya sekarang adalah, bagaimana agar proses demokrasi yang sedang berjalan ini tidak sekedar bersifat mekanisme-prosedural, tetapi juga secara substantif melibatkan masyarakat dengan penuh kesadaran untuk membangun pranata kehidupan bersama ke arah yang lebih baik. Politik yang diperankan oleh para elit dari tingkat pusat hingga daerah pun diharapkan mampu menjadi media pembelajaran yang mencerdaskan bagi masyarakat hingga tatanan grassroot.

    Dengan demikian maka, rakyat semestinya diposisikan sebagai pion utama dalam proses demokrasi dan politik di tanah air, bukan sebatas menjadi komoditas politik para elit yang seringkali digemakan lewat panggung-panggung kampanye. Sebagaimana makna terminologis demokrasi dari bahasa Yunani yaitu “demos” (rakyat) dan “kratos” (kekuatan atau kekuasaan).

    Karena demokrasi merupakan suatu sistem yang kompleks, maka upaya untuk membenahinya ke arah paripurna membutuhkan kerja sinergis banyak pihak. Lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, rakyat sebagai konstituen, termasuk di dalamnya adalah mahasiswa sebagai agent of control, media massa yang independen dan obyektif, serta regulasi dan mekanisme yang sesuai dengan grundnorm bangsa ini yaitu UUD 1945 menjadi pra syarat dalam membangun pondasi demokrasi paripurna, yang pada muaranya membawa keadilan serta kesejahteraan bagi semua golongan.

    Pendidikan politik bagi rakyat agar tidak apatis dan pasif dalam menjelang pesta demokrasi juga penting untuk terus digerakkan. Di lain sisi, kaderisasi tokoh yang memiliki integritas dan kapabilitas yang baik, serta penyampaian gagasan yang visioner dan terukur oleh elit maupun partai politik juga menjadi bagian dari mata rantai pembentukan sistem demokrasi yang paripurna. Selebihnya, soal pilihan menjadi domain rakyat sebagai konstituen untuk menentukan, simetris dengan adagium “vox populi vox dei“.

    Dengan demikian maka, sistem demokrasi dengan salah satu manifestasinya di negeri ini yaitu Pilkada langsung dan serentak pada tanggal 27 Juni 2018 mendatang diharapkan menjadi pintu dan bagian dari upaya perwujudan cita-cita Proklamasi bangsa kita. Amiin.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Hubungan Cinta, Kerja, dan Keterasingan

    author = Olav Iban

    Oktober 1843, Karl Marx pindah ke Paris. Selama bulan April hingga Agustus 1844, Marx menulis pemikirannya berjudul Ökonomisch-Philosophische Manuskripte (Manuskrip Ekonomi Filosofis), atau lebih dikenal sebagai Naskah Paris. Tulisan saya kali ini mencoba mengurai singkat dan mempertanyakan pemikiran Marx dalam naskah tersebut pada diri kita masing-masing. Saya harap pengulasan ini dapat membuka pikiran kita bersama, entah apakah anda sedang dalam keadaan gelisah karena belum punya kerja, atau apakah anda sedang bekerja namun merasa hambar. Untuk itu, ada baiknya jika anda meluangkan waktu sejenak mempelajari ulasan pendapat Marx di bawah ini dan merenunginya.
    Pokok pemikiran Marx dalam Naskah Paris adalah keterasingan manusia karena pekerjaannya. Dengan bermazhabkan fenomenologi Hegel, Marx sepakat bahwa yang menjadikan manusia utuh adalah pekerjaan si manusia itu. Untuk mencapai pemahaman yang serupa dengan Hegel dan Marx itu, saya ingin memulainya dari 10.000 tahun yang lalu, ketika terjadi sebuah revolusi terhebat yang pernah dilakukan manusia, Revolusi Pertanian.

    Revolusi Pertanian adalah sebuah perubahan revolusioner yang dilakukan manusia dari yang semula hidup dengan cara berburu menjadi hidup dengan cara bertani (bercocok tanam). Berburu mengharuskan manusia hidup nomaden, berpindah tempat mengikuti buruannya. Ketika manusia menemukan ilmu tani, maka mereka berhenti dan berdiam di satu tempat tinggal saja. Mereka tidak lagi menjelajah mengikuti hewan buruan, tapi sebaliknya, membangun tempat tinggal permanen di dekat ladang pertaniannya: sumber makanannya. Pemberhentian ini memulai sejarah manusia hingga menyempurnakan genus homo sapiens (manusia yang bijaksana).

    Sejak itu, rentetan sejarah manusia dapat dijabarkan secara sederhana dalam tiga alenia berikut.

    Tempat tinggal tetap mendorong pembagian kerja. Sebelum Adam Smith membuktikannya, masyarakat purba telah mengetahui bahwa pembagian kerja meningkatkan efisiensi pekerjaan. Perempuan bekerja di sekitar tempat tinggal, menanam, menyiram, dll, sementara pria berburu dan berperang. Sebagian dari mereka yang pandai membuat kapak dan panah, fokus pada keahliannya itu dan tak perlu ikut berburu atau berperang. Sebagian yang berbadan kuat mendapat tugas berburu dan berperang. Sebagian yang pandai merajut, tetap merajut tanpa perlu sibuk berladang. Sebagian lagi yang lebih pandai, menjadi pemimpin. Di sini tercipta kelas-kelas pekerja dan spesialisasi.

    Kemudian, akibat pembagian kerja itu (spesialisasi) mendorong lahirnya teknologi dasar: kapak yang lebih efisien, cangkul yang lebih mudah, atau pemantik api yang lebih efektif. Seorang yang ditugaskan khusus untuk berladang, misalnya, akan berupaya mencari cara yang dapat memudahkan pekerjaannya.

    Kemudahan akibat teknologi dasar tersebut kemudian mendorong penghasilan produksi yang melimpah, gandum yang lebih banyak dari sebelumnya. Hasil gandum yang melonjak di lumbung memicu terjadinya transaksi niaga atau perdagangan. Kelompok A yang kelebihan gandum akan menukarkannya pada kelompok B yang kelebihan mata panah dan kapak. Dan akhirnya, pertemuan dua kelompok (dengan dua kepentingan berbeda) lewat perniagaan memicu terciptanya ilmu hitung, baca-tulis, bahasa pemersatu, dan dengan demikian lahirlah ilmu pengetahuan mula-mula. Inilah yang menguatkan pendapat mengapa sejarah manusia sangat erat kaitannya dengan bekerja.

    Rentetan di atas membedakan sejarah manusia dengan sejarah binatang. Memang, binatang juga bekerja. Lebah membangun sarangnya, srigala memburu mangsanya. Tetapi mereka hanya bekerja dalam skala apa yang mereka butuhkan saat itu di sana (here and now). Sementara manusia bekerja dalam skala apa yang dibutuhkan dan diinginkannya menurut hukum keindahan.

    Kebutuhan untuk ingin itu menjadikan produk hasil kerjanya indah itu membuat manusia sangat berbeda dengan binatang. Manusia dapat menempa mata panah sesuai dengan kebutuhannya (tajam dan ringan), namun sekaligus membentuknya sesuai keinginan yang menurutnya indah. Inilah yang menjadikan manusia itu manusia. Ia dapat melihat dirinya dalam hasil kerjanya, dan ketika hasil kerjanya menerima apresiasi dari manusia lain, maka ia merasa utuh dan sempurna.

    Bagi petani, keutuhan hidupnya tercermin dalam sawah yang menguning dalam susunan petak-petak rapi. Bagi tukang cuci, tercermin dalam pakaian-pakaian yang tak hanya bersih tapi juga wangi. Semua hasil kerja kerasnya masing-masing. Makna pekerjaan itu tercermin dalam perasaan bangga. Keringat yang tercurah tidak berarti apapun ketika dibandingkan dengan kebanggaan melihat hasil pekerjaannya. Dan ketika hasil pekerjaan itu diterima dan dihargai orang lain (apalagi orang yang dicintainya), ia merasa memiliki arti karena tahu bahwa ia berarti bagi orang lain -dan orang yang dicintainya. Inilah apa yang disebut Marx sebagai manusia yang utuh melalui pekerjaannya.

    Marx melanjutkan pemikiran di dalam Naskah Paris dengan membuat negasinya. Apa yang terjadi bilamana manusia bekerja tanpa cinta, baik cintanya terhadap pekerjaannya (hasil kerja) maupun cinta dari apresiasi orang yang didedikasikan sebagai penerima hasil keringatnya? Menurut Marx, manusia itu akan mengalami keterasingan.

    Setidaknya terjadi dua jenis keterasingan, yakni keterasingan dari dirinya sendiri dan keterasingan dari orang lain. Hasil kerja seharusnya mencerminkan kecakapan si pekerja, karena hasil kerja adalah manifestasi dari dirinya (objektivasi pekerjaan, dalam istilah Marx), karena pekerja meletakkan hidupnya ke dalam objek hasil pekerjaannya itu.

    Fenomena keterasingan tersebut amat nampak pada sistem bekerja di masa kini yang telah banyak kehilangan makna. Seorang buruh sawit, misalnya, tidak menerima hasil kerjanya karena hasil kerjanya itu adalah milik sang pemilik pabrik sawit. Ia bekerja bukan demi minyak sawitnya, melainkan demi uang upah hasil kerja kerasnya, imbalan atas keringatnya. Dan karena itu minyak sawit menjadi terasing darinya, sehingga ‘tindakan bekerja’ itu sendiri pun kehilangan arti bagi si buruh sawit. Ia terpaksa bekerja karena ia membutuhkan uang untuk hidupnya, tidak ada ‘keindahan’ di dalam setiap tetes keringatnya. Ia bekerja untuk tetap hidup. Dengan demikian, tidak dapat disangkal bila si pekerja ini baru merasa bahagia jika ia libur (tidak bekerja). Apabila ia bekerja, ia merasa bukan dirinya, ia berada di luar dirinya sendiri. Inilah yang disebut Marx sebagai keterasingan dari dirinya sendiri. Dengan bekerja tanpa cinta, ia bukan lagi mengembangkan diri, melainkan memiskinkan diri.

    Konsekuensi langsung dari keterasingan seseorang dengan pekerjaannya adalah keterasingan dirinya dengan orang lain. Manusia yang bekerja karena terpaksa (tanpa cinta) akan mengalami pertentangan batin. Ia malas bekerja, atau bekerja seadanya. Manusia kemudian bekerja semata-mata karena upah yang diberikan, atau karena tuntutan hidup mewajibkannya bekerja di kantor itu. Ia bekerja bukan demi pekerjaan itu sendiri.

    Sudah menjadi hakikat manusia untuk mencari makna dalam kegiatan hidupnya. Ketika manusia tidak memberi makna yang indah (atau minimal yang menyenangkan) pada pekerjaannya, maka ia akan memfokuskan diri bekerja demi uang. Buruh akan bersaing dengan sesama buruh untuk mendapatkan honor yang lebih besar. Pemilik modal akan bersaing dengan sesama pemilik modal untuk mendapatkan untung yang lebih besar. Di alam yang sedemikian, maka konstelasi keindahan akan berubah. Orang menikmati lukisan bukan demi keindahan tetapi seberapa besar nilai uangnya di lukisan itu. Orang melihat temannya bukan lagi sebagai rekan kerja, melainkan sebagai pesaingnya. Inilah yang disebut Marx sebagai keterasingan diri dengan orang lain.

    Kini, perlu kita tanyakan pada diri masing-masing: Apakah kita akan mencari pekerjaan sesuai dengan apa yang kita cintai; apakah kita akan bisa mencintai pekerjaan kita yang sekarang kendati passion kita tidak di jalannya?

    Saya sendiri sebagai lulusan Art Studies kerap merasa terasing dalam menjalani pekerjaan di administrasi pemerintahan yang formalis kaku, mengetik surat yang itu-itu saja, membuat tabulasi data yang monoton membosankan, yang jauh dari unsur inovasi dan kreativitas. Setiap produk pekerjaan saya pada akhirnya amatlah bukan-saya. Tak ada diri saya dalam hasil pekerjaan saya itu. Ia terasing dari saya, dan sebaliknya. Maka tak ayal, saya pun sering terjebak pada kemalasan. Bersyukur saya tidak terjebak pada obsesi mengumpulkan uang atau malah menjadikan rekan kerja sebagai saingan seperti yang dikhawatirkan Marx.

    Kegelisahan saya terhadap pekerjaan itu kemudian terjawab lewat membaca tulisan Marx tersebut, merenunginya, dan mempertanyakannya kembali. Nyatanya, sesuai saran Marx, yang saya perlukan hanyalah menambah bumbu cinta (dan keindahan) pada pekerjaan saya. Sebagai seorang desainer grafis, sebuah surat formal tinggal saya dipakaikan font Franklin Gothic Book atau Helvetica alih-alih Times New Roman atau Calibri yang biasa, kemudian diatur layout secantik mungkin, sehingga dengan begitu jiwa seni saya hadir dan melekat pada surat hasil kerja saya itu. Saya menemukan kenikmatan bekerja (suatu cinta) kendati di bidang yang bukan favorit saya. Dan pada akhirnya, kenikmatan tersebut perlu saya bagikan kepada anda dengan menulis ulasan pemikiran Marx ini sehingga oleh karenanya anda pun dapat menemukan makna cinta dalam setiap hasil kerja keras anda. Siapapun anda.

     

    *Foto karya Dwi Budi Pramono

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

  • Buramnya Wacana Kedaerahan pada Liga Dangdut

    author = Michael H.B. Raditya

    Faul, seorang pemuda asal Bener Meriah, Aceh, dinobatkan menjadi Juara kompetisi bernyanyi Liga Dangdut Indonesia (LIDA) pada Mei 2019 yang lalu. Tidak hanya peserta dari Aceh, juara kedua juga diraih oleh pemudi asal Sulawesi Selatan, Puput; sedangkan juara ketiga ditempati pemudi asal Maluku, Sheyla. Berlangsung selama empat bulan, mereka bertiga harus berjibaku untuk menjadi pemenang dengan peserta dari pelbagai provinsi lainnya, sekaligus menjadi objek dari program hiburan yang ditunggu oleh penonton layar kaca di setiap malamnya. 

    Pun kompetisi yang ditayangkan oleh stasiun swasta, Indosiar ini [dibuat] berlangsung cukup ketat dengan hasil persentase kemenangan, 35%, 32,94%, dan 30.95% untuk ketiga posisi juara. Hal yang menarik dari ketiga juara terpilih, tidak satu pun dari mereka berasal dari pulau Jawa atau kota-kota besar yang kerap digadang-gadang karena pembangunannya. Tentu hal ini dapat ditafsirkan dengan pelbagai versi, baik sebagai juara yang tidak berasal dari kota “besar” semata; saatnya daerah bicara; dangdut sebagai genre penengah; dangdut menjadi musiknya masyarakat Indonesia di mana pun berada; dan lain sebagainya.

    Namun dari itu semua, terdapat hal yang menggelitik, apakah kemenangan mereka bertiga merupakan ejawantah desentralisasi? Apakah kedaerahan menjadi agenda kepentingan yang diejawantahkan melalui hiburan? Atau jangan-jangan kedaerahan hanya menjadi komoditi semata, bukan sebagai wacana yang patut dan harus diperjuangkan. 

    Hiburan Berbalut Kepentingan atau Sebaliknya?

    Kompetisi liga dangdut telah berlangsung dua musim, yakni pada tahun 2018 dan 2019. Di setiap musimnya, kompetisi berlangsung dari awal bulan Januari hingga bulan Mei dengan durasi acara kompetisi terpanjang, yakni pukul 18.00-01.30 WIB. Menggandeng deretan biduan, biduanita, dan penyanyi lintas genre, semisal: Soimah, Nassar KDI, dan Inul Daratista sebagai juri tetap; Rita Sugiarto, Dewi Persik, Zaskia Gotik, dan Erie Suzan sebagai juri tetap yang bergantian di setiap episode; serta Ruth Sahanaya, Richie Five Minutes, Bams Ex-Samsons, Melly Goeslaw, Abdel Achrian, dan Hotman Paris sebagai juri tamu yang juga datang berganti-gantian.

    Jika dilihat, susunan juri memang dibuat terasa beragam, baik dari biduanita dangdut, biduanita dangdut koplo, pemenang kompetisi, penyanyi lintas genre, serta orang-orang di luar semesta tarik suara yang diyakini dapat menaikkan rating. Namun, hal tersebut justru terbaca sebagai upaya untuk membuat kepercayaan kepada penonton bahwa kompetisi [seakan-akan] representatif, serta sebagai legitimasi diterimanya peserta dan dangdut oleh genre lain. Hal ini sudah barang tentu menarik atensi penonton secara lebih.

    Berbeda dengan musim sebelumnya yang dimenangkan oleh Selfiyani asal Sulawesi Selatan, pada musim kedua ini pelbagai perubahan dilakukan, semisal: audisi yang sebelumnya dilakukan secara langsung di 34 provinsi dibuat lebih banyak, sebagai contoh di Jawa Barat dan Jawa Timur diselenggarakan di dua tempat berbeda; turut diadakannya audisi daring (online); konser kolaborasi dengan penyanyi genre lain; konser yang membawa nuansa kedaerahan; hingga konser final pada musim kedua berlangsung selama dua malam, 2 dan 3 Mei 2019. Dari hal tersebut, perubahan dibuat untuk mengakomodasi pelbagai daerah yang mempunyai cakupan luas, yang secara tidak langsung turut mendesiminasikan informasi LIDA lebih tersebar. Hal ini tentu menjadi investasi LIDA kepada peserta ke depan. Belum lagi wacana kedaerahan yang seakan menjadi “obat generik” akan keadaan Indonesia yang tengah bergejolak. 

    Bertolak dari agenda-agenda di atas, LIDA 2019 menjelma sebagai tontonan yang menghibur, mewakili warga Indonesia yang berbeda-beda, sekaligus menyimpan agenda persatuan untuk penonton. Hal ini seakan menjadi mutualisme dengan agenda pemerintah—entah dilakukan secara sadar atau tidak. Jika demikian adanya, maka hal ini tentu menjadi cara yang menarik untuk menggalang persatuan, tetapi perlu dipikirkan, seberapa jauh kedaerahan dikomodifikasi oleh industri hiburan dan seberapa mendalam kah kepentingan tersebut diterapkan?

    Berbeda-beda tetapi Dangdut Juga

    Kompetisi bernyanyi semacam ini bukanlah ihwal baru dalam jagad industri hiburan Indonesia. Beberapa kompetisi, seperti: Akademi Fantasi Indonesia, Indonesia Idol, X Factor Indonesia, Rising Star, hingga The Voice Indonesia, turut membuka kesempatan yang tidak jauh berbeda, yakni dengan audisi di beberapa kota dengan maksud mendapat perwakilan dari setiap daerah. Pun untuk kompetisi dangdut juga berlaku hal senada, seperti: Kontes Dangdut Indonesia (KDI), Bintang Pantura, dan D’Academy yang menggelar audisi di beberapa kota besar. Singkat kata, kompetisi-kompetisi tersebut sudah mempunyai kesadaran bahwa perwakilan provinsi dianggap penting untuk menunjukkan ketersebaran. 

    Bertolak dari ketersebaran dan kedaerahan, pada dasarnya kedaerahan di dalam lanskap pertelevisian bukanlah ihwal baru. S. Waisbord mengungkapkan bahwa penonton [Indonesia] lebih menyukai konten domestik dan regional daripada program asing [1]Waisbord, S. (2004) ‘McTV: Understanding the global popularity of television for- mats’, Television & New Media, 5 (4): 369. Dari hal tersebut, Penelope Coutas mencatat bahwa [mulai] tahun 1999 stasiun televisi di Indonesia memiliki lebih banyak konten ‘lokal’ daripada sebelumnya [2]Coutas, Penelope. 2008. “Fame, fortune, Fantasi: Indonesian Idol and the new celebrity” dalam Popular Culture in Indonesia Fluid identities in post-authoritarian politics, Ariel Heryanto (ed.). … Continue reading . Alhasil, konten lokal atau wacana kedaerahan sudah berlangsung sejak lama di dalam semesta pertelevisian Indonesia. Kendati demikian, LIDA secara tegas memberikan porsi pada peserta dari tiap provinsi di Indonesia. Secara khusus, mereka memang mempertemukan dan mengontestasikan para peserta yang menjadi delegasi dari setiap provinsi. Tidak hanya itu, mereka lengkap menautkan pelbagai “pernak-pernik” yang menyertainya, semisal menghadirkan mereka dengan baju daerah, bahasa daerah, lagu daerah, dan pelbagai produk budaya lainnya. Kendati demikian, semangat yang ingin dimunculkan bukanlah perbedaan yang kian meruncing, melainkan perbedaan yang disatukan dengan sebuah kesamaan, yakni dangdut. Persis dengan tagline program yang mereka buat, “Seni Menyatukan”.

    Pun hal ini kiranya senada dengan konteks Indonesia dan agenda NKRI belakangan, yakni persatuan di tengah isu perpecahan yang dilakukan oleh segelintir kelompok. Bahkan, selarasnya agenda mewujud pada sebuah perjumpaan antara rombongan LIDA dengan orang nomor satu Indonesia, Presiden Joko Widodo, pada April silam. Di kesempatan tersebut, rombongan LIDA menunjukkan kemewahan kedaerahan yang mereka punya dan dipersatukan melalui seni. Hal yang kiranya selaras dengan agenda persatuan kabinet Jokowi-JK. Bak gayung bersambut!

    Penyeragaman, Bukan Pemekaran

    Pada awalnya, saya mendukung dilangsungkannya LIDA atas dasar wacana kedaerahan yang diusung dan diakomodasi. Namun kelamaan, wacana kedaerahan yang digadang-gadang justru terasa menjadi buram. Sederhananya, kedaerahan hanya menjadi gimmick. Di mana, kedaerahan hanya menjadi pelengkap, bukan penggerak. Padahal, kedaerahan justru mempunyai peluang sebagai “bahan bakar” utama dari acara tersebut. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa LIDA tidak sepenuhnya lalai, terlebih pada juara LIDA 2019, Faul. Di mana Faul kerap menautkan lirik Aceh ketika ia menyanyi pada beberapa episode dan melakukan kolaborasi menarik dengan Soimah di Konser Result Top 4 LIDA. 

    Bertolak dari hal tersebut, mengapa hanya beberapa peserta saja yang mempunyai peluang seperti Faul? Apakah ada agenda tertentu mengingat hubungan dengan Aceh tidak terlalu baik belakangan? Apakah yang ditawarkan dari kedaerahan dari kompetisi tertaut? Apakah sebatas peserta yang berasal atau berdomisili di daerah yang diwakili? Pasalnya, bukan soal kuantitas provinsi yang dirangkul, melainkan kualitas seorang peserta mengenal daerahnya sendiri. Singkat kata, bukan bagaimana dangdut dinyanyikan oleh seluruh provinsi, melainkan bagaimana kedaerahan memberikan warna di dalam media hiburan dan dangdut. Semisal dengan fokus timbre suara yang berbeda-beda; interpretasi kultural yang beragam, dan lain sebagainya. Hal ini tentu akan memberikan wacana kedaerahan yang menarik serta tawaran warna pada dangdut ke depan.

    Namun yang terjadi justru berkebalikan, warna kedaerahan hanya timbul tenggelam. Sebagai gantinya, dangdut klasik—atau dangdut pada era Rhoma Irama—lah yang menjadi panutan sekaligus aturan peserta dalam bernyanyi. Pendisiplinan dan penyeragaman inilah yang terjadi pada tiap peserta yang [sebenarnya] berbeda-beda secara referensi musikal, semisal dangdut daerah, seperti: dangdut koplo, dangdut saluang, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, penyeragaman musikal ini terus dilakukan hingga mereka pantas menjadi duta dan mengemban nama LIDA di belakang namanya kelak. Sebagaimana para pemenang akan menjadi duta dangdut yang menjadi representasi dari “agenda” serta wacana tertentu.

    Alhasil, saya melihat bahwa LIDA tidak lebih dari penyegaran agenda dangdut lama yang meminjam wacana kedaerahan semata. Bukan sebagai upaya pemekaran kedaerahan—lebih lanjut pada karakter yang dimiliki di pelbagai daerah di Indonesia—yang diusung, ditunjukkan, dan ditumbuhkan pada ruang yang sama, yakni musik dangdut.

    References

    References
    1 Waisbord, S. (2004) ‘McTV: Understanding the global popularity of television for- mats’, Television & New Media, 5 (4): 369
    2 Coutas, Penelope. 2008. “Fame, fortune, Fantasi: Indonesian Idol and the new celebrity” dalam Popular Culture in Indonesia Fluid identities in post-authoritarian politics, Ariel Heryanto (ed.). New York: Routledge.