Category: ngibul

  • [Ngibul #82] Bertemu Sjahrir di Makam Soekarno

    author = Olav Iban

    Tak seperti nama Soekarno, tidak banyak dari manusia Indonesia generasi sekarang yang mengenal nama Sutan Sjahrir.  Kealfaan sejarah yang sama yang dilupakan kita ialah bahwa tiga bulan setelah Indonesia merdeka—dengan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, sistem pemerintahan Indonesia berubah dari presidensiil menjadi parlementer karena persuasi cerdas dari sebuah buklet berjudul Perdjuangan  Kita. Selang sebulan sejak buklet 42 halaman itu beredar dan dibaca banyak kaum elit Indonesia, penulisnya pun ditunjuk menjadi Perdana Menteri Indonesia pertama pada 14 November 1945 (hanya 89 hari setelah proklamasi). Dia adalah Sutan Sjahrir.

    Sjahrir bukan orang sembarangan. Ia lahir di Nagari (setingkat desa) Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kampung paling beruntung se-Indonesia raya. Kampung yang paling banyak menghasilkan tokoh Indonesia kelas wahid. Dari tokoh masa lampau seperti Syekh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi (imam Masjidil Haram sekaligus guru dari Ahmad Dahlan—pendiri Muhammadiyah, dan Hasyim Ashari—yang kemudian mendirikan Nahdatul Ulama), hingga tokoh Indonesia modern seperti Emil Salim.

    Semenjak Perang Padri usai (1821-1837), rakyat Nagari Koto Gadang mendapat peranan istimewa dan paling fundamental bagi sejarah Indonesia, yakni menjadi angkatan pertama yang bersekolah dengan pendidikan Barat. Jadi janganlah malu kalau kalah bersaing ilmu dengan keturunan istimewa mereka. Sjahrir salah satu manusia istimewa itu. Tahu kau mengapa?

    Dari segelintir manusia beruntung di kampung itu terdapat seorang jaksa bernama Datoek Dinagari, yang kemudian memperanakan seorang jaksa, dan lalu bercucu seorang jaksa pula. Cucu itu bernama Mohammad Rasjad gelar Maharadja Sutan, ayahanda Sutan Sjahrir.

    Tahu kau K.H. Agus Salim yang brilian itu? Beliau adalah sepupu Sutan Sjahrir. Atau bila tidak, kau pastinya tahu Chairil Anwar sang penyair—dia adalah keponakan Sutan Sjahrir.

    Tapi di sini kita tidak bicara banyak tentang keistimewaan Sutan Sjahrir. Untuk pembacaan lebih dalam tentang itu, silakan membaca analisis ringkas saya terhadap aktualisasi pemikiran Sjahrir bagi Indonesia masa kini di ugm.academia.edu.

    Tulisan remeh ini semata-mata hanyalah perwujudan impulsivitas saya yang terkejut bertemu sosok Sjahrir di Makam Bung Karno, orang yang secara tak langsung berperan besar dalam kematian Sjahrir.

    Sjahrir lahir pada tahun 1909, selisih delapan tahun dari Soekarno. Ketika Soekarno yang memimpin PNI ditangkap oleh Pemerintah Hindia Belanda dan berujung pada pembubaran PNI, Hatta bersama-sama dengan Sjahrir (keduanya kala itu sedang kuliah di Belanda) menyelamatkan PNI dengan mendirikan PNI-Baru (Pendidikan Nasional Indonesia).

    Pada tahun 1931, Hatta mendorong Sjahrir untuk pulang ke Indonesia dan kemudian menjadi pemimpin PNI-Baru dengan tujuan menghidupkan kembali PNI (Partai) yang ditinggalkan Soekarno. Kekuatan agitasi dan mobilisasi Soekarno kala itu sudah sangat tenar di dalam negeri, namun jaringan luar negeri Soekarno berada di bawah Hatta dan Sjahrir. Mungkin ini dikarenakan Soekarno belum pernah ke luar negeri. Sementara Hatta dan Sjahrir, nama keduanya telah dikenal oleh banyak aktivis anti-kolonialisme di luar sana lewat Perhimpunan Indonesia yang dipimpin oleh mereka berdua.

    PNI-Baru pimpinan Sjahrir dianggap berbahaya, hingga akhirnya Sjahrir pun ditangkap juga pada 1934. Dan pada 1935, ia bersama Hatta diasingkan ke Boven Digul lalu dipindah ke Banda Neira selama tujuh tahun hingga Jepang menyerang nusantara.

    Di masa awal kedatangan Jepang, triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir yang baru saja kembali dari pengasingan telah bersepakat bahwa dua pemimpin yang lebih dikenal (Soekarno dan Hatta) akan bekerja sama secara terbuka kepada pemerintah pendudukan Jepang. Sedangkan Sjahrir—yang kurang dikenal—akan beraksi incognito memusatkan perlawanan para pemuda dengan menyusun gerakan perlawanan bawah tanah. Dua strategi berbeda demi tujuan yang sama.

    Sjahrir adalah salah satu orang yang pertama kali mendesak adanya pergerakan cepat untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pada sore 14 Agustus 1945, terjadi pertemuan enam mata antara Soekarno, Sjahrir, dan Hatta di rumah Soekarno. Terjadi adu argumen panjang lebar antar-ketiganya. Sjahrir ingin proklamasi dilaksanakan 15 Agustus 1945 melalui radio dengan Soekarno sebagai proklamator tunggal. Hatta dan Soekarno menolak karena tetap meyakini keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merencanakan proklamasi pada 24 Agustus 1945. Soekarno juga menolak bilamana nanti ia sendiri yang memproklamirkan.

    Penolakan ini mengecewakan golongan muda (yang sebagian besar adalah anak-anak ideologis Sjahrir) dan berimbas pada Peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945. Malam Jumat legi menjelang 17 Agustus 1945, ketika Hatta dan Soekarno bersama tokoh-tokoh lain serta para golongan muda merumuskan proklamasi, Sjahrir menolak hadir. Begitu pula keesokan harinya sampai detik-detik proklamasi dilewati. Hatta begitu kecewa karena ketidakhadirannya. Seandainya Sjahrir tidak keras hati bisa saja ia turut menandatangani teks proklamasi mewakili golongan muda. Semua ini dijabarkan gamblang oleh Hatta lewat buku Sekitar Proklamasi (1969) satu tahun sebelum Soekarno meninggal.

    Tapi Sjahrir bukannya pasif. Ada sumber yang mengatakan Sjahrir sudah membuat konsep teks proklamasi sendiri sebelum Hatta dan Soekarno menyusun bersama golongan muda di rumah Laksamana Maeda.

    Fyi, tokoh-tokoh golongan muda berada dalam pengaruh ideologinya. Kalau kau ingat foto-foto lampau yang memotret gerbong-gerbong kereta penuh corat-coret kemerdekaan dalam bahasa Inggris, Sjahrirlah otak di belakangnya.

    Kondisi politik Indonesia tidak mulus setelah proklamasi. Banyak negara yang meragukan pemerintahan Indonesia yang dianggap bentukan Jepang. Padahal citra Jepang di mata dunia amatlah buruk sejak pecahnya Perang Dunia II. Belum lagi benturan-benturan ideologi di dalam tubuh pemerintah Indonesia. Maka, seperti yang telah saya kisahkan di atas, gaya politik Indonesia berubah. Sjahrir maju ke depan menjadi Perdana Menteri memimpin politik diplomasi Indonesia, sementara Soekarno dan Hatta mengendurkan sedikit ke belakang.

    Indonesia di bawah pimpinan Sjahrir lebih terbuka dan mengedepankan diplomasi ketimbang angkat senjata. Hasil-hasilnya penting, namun sayangnya kerap disalahartikan. Yang paling kentara adalah pertentangan Sjahrir dengan Jenderal Soedirman dan Tan Malaka. Keragu-raguan dan penolakan yang semakin gencar membuat Sjahrir memilih mengundurkan diri dari posisi Perdana Menteri.

    Gegar karena pengunduran itu, 19 jam kemudian parlemen malah berbalik arah mendukung kebijakan politiknya. Soekarno turut memintanya kembali menduduki jabatan itu. Namun Sjahrir tetap mundur dan mengembalikan mandatnya pada tanggal 27 Juni 1947. Tetapi tiga hari kemudian atas desakan Soekarno dan Hatta, Sjahrir diangkat sebagai Penasehat Istimewa Pemerintah, sebuah posisi unik yang cuma sekali ada.

    Begitu hebat tik-tok di antara mereka bertiga sehingga mereka dijuluki Triumvirat Indonesia—julukan yang memudar semenjak label Dwitunggal digembar-gemborkan Orde Baru guna mengikis ketunggalan Soekarno.

    Di balik kekuatan trio tersebut, sebenarnya rakyat sudah mencium aroma pertikaian antara Hatta-Sjahrir vs Soekarno.

    Yang paling nyaring memang ketika kekecewaan Hatta terakumulasi lewat pernyataan mundur dari jabatan Wakil Presiden tahun 1956 dan menamatkan riwayat Dwitunggal Soekarno-Hatta. Namun yang lebih seru adalah pertikaian Sjahrir dengan Soekarno sebagaimana yang disampaikan Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab (1978).

    “Satu kali (di Prapat ketika Soekarno dan Sjahrir diasingkan bersama-sama dengan KH. Agus Salim) Soekarno menyanyi di kamar mandi, cukup keras juga dan bagi Sjahrir rupanya dirasa terlalu ribut, hingga Sjahrir berteriak, ‘Houd je mound!’ (tutup mulutmu!).  

    “Waktu kemudian saya tanyakan Soekarno mengapa benci sama Sjahrir, ia mengatakan, ‘Bagaimana juga saya adalah Kepala Negara, mengapa dia menghardik saya seperti itu? Tanyalah Haji Agus Salim bagaimana hal sebenarnya waktu itu.’ (tambahan: sebagai Perdana Menteri, Sjahrir tentu adalah Kepala Pemerintahan).

    “Tambah lagi cerita yang menyebabkan marahnya Bung Karno kepada Sjahrir. Dalam penyusunan delegasi diusulkan oleh Leimena kepada saya agar Sjahrir dijadikan ketua, karena Roem dirasakan kurang kuat menghadapi orang yang pintar-pintar dalam delegasi Belanda.

    “Saya katakan kepada Leimena itu tidak bisa, mengingat Sjahrir sudah lama sejak Renville tak mau duduk dalam delegasi perundingan dengan Belanda. Roem tetap ketua, Sjahrir dijadikan penasihat, kata saya. Maka Leimena pergi menemui Sjahrir di Jakarta. Ternyata Sjahrir bersedia jadi penasihat, bahkan ia datang menemui saya di Bangka untuk berunding. Saudara Gafar, Sekretaris Negara, membuatkan surat pengangkatan untuk Sjahrir selaku penasihat resmi. Saya tanyakan, ‘Apa perlu surat pengangkatan yang resmi begitu?’ Gafar seorang yang

    legalistik menjawab,”Ya, saya mengingatnya antara Ali Sastroamidjojo tak senang sama Sjahrir. Jadi kalau ada surat pengangkatan begini menjadi gedekt (terlindungi),’ kata Gafar. ‘Baiklah,’ kata saya. Akhirnya surat pengangkatan itu dibuat oleh Gafar selaku Sekretaris Negara, kemudian di-teken oleh Bung Karno.

    “Surat pengangkatan tersebut dibawa oleh Roem ke Jakarta dan diberikannya kepada Sjahrir. Sjahrir setelah menerimanya, terus berkata, ‘Apa dia (Soekarno) itu! Mengapa dia yang harus mengangkat saya. Yang seharusnya mengangkat saya adalah Sjarifuddin (Kepala Pemerintah Darurat RI di Sumatera). Roem juga kesal, tetapi lebih kesal lagi dan marah ialah Soekarno setelah mendengar itu. Bagaimana juga hal ini tentu dirasakan Bung Karno sebagai suatu penghinaan baginya.”

    Demikian kesaksian Hatta.

    Kejengkelan Soekarno kepada Sjahrir sebenarnya sudah lama terjadi jauh sebelum itu. Menurut saya, salah satu penyebabnya adalah karena runcingnya perbedaan cita-cita mereka tentang seperti apa pemerintahan Indonesia kelak setelah merdeka. Soekarno, yang eklektis Jawa, sejak prakemerdekaan sudah menyarankan adanya satu partai negara—partai tunggal. Sedangkan Sjahrir, yang sosial-demokratis Barat, menginginkan banyak partai—multipartai. Keduanya sama-sama punya blok pendukung yang kuat di golongan elit ketokohan Indonesia.

    Gagasan Soekarno itu berhasil diwujudkan ketika PPKI menyetujui pendirian partai negara pada 27 Agustus 1945 dan mensahkan Partai Nasional Indonesia sebagai partai negara. Sedihnya, PNI sebagai partai negara dibubarkan hanya lima hari kemudian karena dianggap menyaingi peran KNIP dan dikhawatirkan menimbulkan perpecahan yang tidak perlu. Dan tahukah kau siapa Ketua BP-KNIP (tim kecil di tubuh besar KNIP)? Betul, dialah Sutan Sjahrir.

    Manuver Sjahrir didukung oleh Hatta. Sebagai Wakil Presiden, Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X 16 Oktober 1945 tentang perubahan fungsi KNIP dari semula pembantu Presiden menjadi badan yang sederajat dengan Presiden, dan diserahi kekuasaan legislatif untuk ikut serta menetapkan GBHN sebelum terbentuknya MPR, DPR, dan DPA.

    Terbayang kecewanya Soekarno kala itu. Apalagi setelah pelimpahan kekuatan legislatif itu, KNIP merancang perubahan kabinet presidensiil menjadi kabinet parlementer (yang jelas multipartai) dan menunjuk Sjahrir menjadi Perdana Menteri sehingga semakin membuat surut fungsi Soekarno tak lagi menjadi Kepala Pemerintahan.

    Strategi balasan Soekarno mengambil alih kekuasaan saya rasa tak perlu banyak dibahas. Saya yakin hal-hal ini telah diketahui banyak orang, terutama ketika ambisi itu mencapai puncaknya lewat TAP MPRS No. II/MPRS/1963 tentang Penetapan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Seumur Hidup.

    Lucunya, kelompok yang menggaungkan Soekarno menjadi Presiden seumur hidup adalah Serikat Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOSKI). Semua orang tahu, Sjahrir adalah tokoh penting sosialisme Indonesia, pendiri Partai Sosialis Indonesia yang dibubarkan Soekarno pada 1960 bersama Masyumi. Usut punya usut, ketika kini zaman semakin terbuka, tersibaklah peran ABRI dalam asala-muasal SOSKI sebagai strategi politik untuk mengimbangi kekuatan persuasif PKI.

    Kita tidak akan pernah tahu seberapa besar ketidaksukaan Soekarno kepada Sjahrir. Yang bisa kita tahu adalah kenyataan bahwa pada tahun 1962, Sjahrir ditangkap dengan tuduhan palsu atas apa yang disebut Peristiwa Cendrawasih di Makasar. Peristiwa pelemparan granat oleh sekelompok orang kepada iring-iringan mobil Presiden Soekarno.

    Pelapor tuduhan palsu itu kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman maksimum satu setengah tahun, tetapi lucunya Sjahrir yang menjadi korban dari penuduhan palsu itu malah tidak pernah diadili apalagi dibebaskan.

    Informasi lain menyebutkan bahwa Sjahrir ditangkap karena dianggap melakukan rapat konspirasi subversif ketika ia bersama Hatta, Roem, Sultan Hamid II, dan sejumlah tokoh lain menghadiri upacara Ngaben ayahanda Anak Agung Gde Agung di Bali. Entah mana yang benar, tapi yang jelas penangkapan dan penahanan itu menghancurkan perasaan Sjahrir.

    Soe Hok Gie, yang juga simpatisan Sjahrir, menulis dalam Mingguan Djaya, 23 April 1966, bahwa kejadian itu membuat hati Sjahrir benar-benar patah, kecewa. Bukan kecewa karena penangkapannya, tetapi kecewa karena sebagian besar kaum cendekiawan Indonesia waktu itu bungkam atas kecurangan politik dan segala ketidakadilan.

    Sjahrir awalnya hanya menjadi tahanan rumah. Lalu dipindah ke Penjara Madiun selama satu tahun. Pada November 1962, Sjahrir menderita tensi tinggi sehingga harus dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Setelah membaik Sjahrir dipindah ke penjara Jl. Keagungan, dan kemudian dipindah lagi ke Rumah Tahanan Militer Budi Utomo.

    Di Rumah Tahanan Militer ini Sjahrir mendapat serangan stroke kedua. Ia ditemukan terkapar di kamar mandi pada malam hari, tapi pertolongan medis tidak segera diberikan. Baru keesokan harinya Sjahrir dibawa ke rumah sakit dan dilakukan operasi. Operasi ini gagal dan berakibat fatal. Sejak itu Sjahrir tidak lagi dapat bicara. Sungguh menyedihkan. Dalam kenestapaannya sosok jenius ini tidak bisa menyampaikan pemikirannya, tak mampu menyampaikan rasa sayangnya kepada istri dan kedua anaknya yang bersedih melihat kondisi Sjahrir.

    Istri Sjahrir memohon kepada pemerintah agar menyetujui Sjahrir dirawat ke Zurich, Swiss. Pada tanggal 21 Juli 1965, Sjahrir yang tidak dapat bicara berangkat ke Swiss dengan dilepas lewat pelukan dan air mata oleh para sahabatnya.

    Sjahrir wafat pada tanggal 9 April 1966 di Zurich, Swiss. Sang Perdana Menteri pertama Indonesia itu meninggal dunia jauh dari tanah airnya, dalam kondisi disabel, dengan status sebagai tahanan negara. Ironis sekali.

    Mirisnya lagi, Soekarno sebagai Presiden Indonesia yang memenjarakan Sjahrir sampai jatuh sakit dan wafat, tiba-tiba berbalik hati dan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 76/1966 tentang penetapan Sutan Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional hanya selang beberapa jam saja setelah berita wafatnya Sjahrir tersiar.

    19 April 1966, jenazah Sjahrir sampai di Indonesia. Puluhan ribu manusia berhujan-hujan mengiring jenazah masuk ke liang kubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Satu di antaranya adalah Hatta.  Dalam upacara pemakaman itu Hatta memberi salam terakhir kepada sahabatnya itu, “Ia berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan Indonesia merdeka. Ikut serta membina Indonesia merdeka. Tetapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka.”

    Jenazah Sutan Sjahrir sempat singgah di Belanda untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari para tokoh internasional.

    Bagi kita yang mengetahui keironisan jalan hidup Sjahrir tersebut, rasanya sulit membayangkan bertemu secuil saja monumen tentang Sjahrir di tempat peristirahatan terakhir Soekarno.

    Soekarno pernah membayangkan seperti apa nanti tempat jasadnya dibaringkan. “…di bawah pohon yang rindang, dikelilingi oleh alam yang indah, di samping sebuah sungai dengan udara segar dan pemandangan bagus. Aku ingin beristirahat di antara bukit yang berombak-ombak dan di tengah ketenangan. Benar-benar keindahan dari tanah airku yang tercinta dan kesederhanaan darimana aku berasal. Dan aku ingin rumahku yang terakhir ini terletak di daerah Priangan yang sejuk…” Wasiat tempat yang utopis, penuh damai dan tanpa musuh.

    Nyatanya, Presiden Soeharto tidak berniat memakamkan Soekarno sesuai wasiatnya itu. Di Blitar, jauh dari ibukota, di sanalah Soekarno dimakamkan bersanding dengan makam kedua orangtuanya.

    Makam Bung Karno dibuat megah. Pada 2004, pengembangan kembali dilakukan dengan menambahkan bangunan baru yang menjadi satu komplek dengan Makam Bung Karno, yaitu Perpustakaan dan Museum Bung Karno. Di museum itulah saya tersenyum-senyum sendiri ketika melihat berjajar memanjang lukisan para tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia.

    Dalam hati, saya yakin sekali tidak akan ada Sjahrir di sini. Keyakinan ini mulanya terbukti. Ketika mengikuti flow, saya jumpai lukisan Soekarno di urutan pertama, diikuti Hatta di urutan kedua. Di tempat ketiga—tempat di mana seharusnya ada Sjahrir, diduduki oleh tokoh lain yang namanya tidak saya ingat.

    Lambat laun makin penasaranlah saya untuk menelusuri pengurutan ini. Pada baris kesembilan langkah saya terhenti dan terkesima. Terpampang portrait Sjahrir. Ia digambarkan berbeda dari wajah-wajah Sjahrir yang kerap muncul di banyak media.

    Normalnya, terdapat dua jenis wajah Sjahrir yang kerap muncul di foto-foto lama. Jenis pertama adalah Sjahrir pra dan awal kemerdekaan yang kurus kecil dengan pandangan merunduk nan tenang. Sedangkan jenis kedua adalah Sjahrir yang mulai menggemuk dengan senyuman santai sumringah.

    Lukisan Sjahrir yang saya jumpai di Museum Bung Karno jauh berbeda. Sjahrir tampak bisu, tua, dan layu. Senyumnya tampak kecut bahkan menjurus cemberut. Batin saya bertanya-tanya, seperti inikah raut muka Sjahrir bilamana ia tahu lukisan wajahnya terpampang di dekat makam seorang Soekarno? Semoga tidak. Semoga Bung Kecil dan Bung Besar sudah damai di alam sana.

  • [Ngibul #81] Hidup Semaunya Sendiri

    author = Danu Saputra

    Istilah
    “hidup semaunya sendiri” sering kali memiliki makna yang negatif. Ketika
    istilah itu diberikan pada seseorang, misalnya seperti ini: “Dasar Kamu, hidup
    semaunya sendiri, rasakan nanti akibatnya,” hampir dapat dipastikan orang yang
    diberikan menjadi objek kekesalan dari sang pemberi istilah. Di sini kita dapat
    menggali lebih dalam menggunakan pertanyaan; Apa yang salah dengan hidup yang
    dijalani dengan mengikuti keinginan sendiri? Memangnya hidup harus dijalani
    sesuai dengan keinginan orang lain?

    Saya pikir
    tidak ada yang salah dengan hidup semaunya sendiri. Seseorang yang hidup dengan
    semaunya sendiri secara langsung menunjukkan keberanian dalam bertindak, lebih
    jauh lagi menunjukkan kemerdekaan atas diri mereka sendiri. Masalah bisa
    terjadi ketika “hidup semaunya sendiri” milik seseorang berbenturan dengan
    milik seseorang atau sekelompok orang lainnya. Ketika benturan itu terjadi maka
    kemampuan tawar-menawar, keberanian menghadapi resiko, dan kedewasaan mengambil
    peranan besar untuk menghindari perkelahian. Meskipun dalam kasus-kasus
    tertentu yang berkaitan dengan nilai-nilai yang dipegang teguh, perkelahian
    tidak dapat dihindari.

    Ilustrasi
    sederhana untuk melihat benturan dalam kasus “hidup semaunya sendiri” dapat
    dilihat dalam proses jual beli. Penjual dan pembeli dalam proses jual beli
    tentu sama-sama ingin meraih kemauannya yaitu untung yang besar, untuk itu
    penjual memberikan harga setinggi-tingginya dan pembeli meminta harga
    serendah-rendahnya. Adanya perbedaan harga antara penjual dan pembeli ini
    menggambarkan benturan yang terus terjadi hingga terjadi kesepakatan, yaitu
    kondisi ketika penjual dan pembeli sama-sama berani menghadapi resiko. Bisa
    jadi penjual berani menghadapi resiko mendapat untung lebih kecil dan pembeli
    berani menghadapi resiko membayar lebih mahal. Bisa juga penjual berani
    menghadapi resiko barang tidak terjual dan pembeli berani tidak mendapat barang
    yang dibutuhkan.

    Jadi
    sebenarnya tidak ada yang benar-benar hidup semaunya sendiri. Mereka yang
    mendapat label hidup dengan semaunya sendiri mungkin hanyalah orang yang
    memiliki nilai tawar yang tinggi dan tekad yang kuat untuk meraih apa yang
    diinginkannya. Hal itu menyebabkan mereka tidak mudah bergantung oleh hal-hal
    di luar diri mereka sehingga mereka dapat lebih bebas dalam bertindak.

    Meski
    begitu, jalan hidup yang semaunya sendiri sebenarnya bukanlah jalan yang mudah
    untuk dilalaui. Salah sedikit dalam melangkah, bukan jalan hidup semaunya
    sendiri yang ditempuh tetapi jalan hidup ngawur yang akan ditempuh.

    Sebagai
    penutup, saya ingin menyampaikan sebuah cerita.

    Pada suatu
    hari Dodo, Udin, dan Adit sedang ngopi dan merokok di tempat yang diperbolehkan
    untuk merokok. Beberapa saat kemudian Bowo datang untuk ngopi di samping
    mereka. Selang beberapa saat, Bowo meminta Dodo, Udin, dan Adit untuk mematikan
    rokok mereka karena Bowo merasa terganggu dengan asapnya. Selain itu, Bowo
    menceramahi Dodo, Udin, dan Adit tentang bahaya merokok. Dodo, Udin, dan Adit mesam-mesem memerhatikan Bowo yang terus
    ceramah, tentu saja mereka bertiga memerhatikan sambil tetap kebal-kebul dan srapat-sruput.

    Dari cerita
    itu, menurut Anda siapa yang menempuh jalan hidup ngawur?

  • [Ngibul #80] Menelanjangi Persahabatan, Mengungkap Isu Gender dan Nasionalisme di Maroko

    author = Bagus Panuntun

    Dalam Ngibul kali ini kita akan membahas novel Le Dernier Ami karya Tahar Ben Jelloun, sastrawan asal Maroko yang dikenal sebagai salah satu sastrawan terbesar Afrika Maghreb (Barat Daya) abad 20. Buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Sahabat Terakhir oleh Slamet P. Sinambela dan diterbitkan penerbit Basa-basi bulan lalu, Agustus 2018.

    Bicara tentang Tahar Ben Jelloun tentu tidak bisa dipisahkan dari salah satu novelnya La Nuit Sacrée (Malam Keramat) yang meraih Prix Goncourt, penghargaan tertinggi untuk karya sastra berbahasa Prancis, tahun 1987 di mana karya tersebut kini telah diterjemahkan dalam 43 bahasa. Ia terkenal dengan karya-karyanya yang secara ekspresif berbicara tentang budaya Maroko, hak asasi manusia, identitas seksual, dan kegamangan identitas masyarakat pascakolonial.

    Ben
    Jelloun sendiri dikenal sebagai salah seorang penulis sastra francophone. Apa itu sastra francophone? Sebelum melanjutkan tulisan
    ini, izinkan saya terlebih dahulu menjelaskan secara singkat definisi kata
    tersebut. Sebab, rencananya saya akan lebih sering menulis tentang karya-karya francophone di Ngibul-ngibul selanjutnya.

    Jadi begini, sastra francophone adalah sebutan untuk menyebut salah satu khazanah sastra berbahasa Prancis, tetapi ditulis oleh pengarang dari luar Prancis. Biasanya, mereka adalah penulis yang berasal dari negara-negara bekas jajahan Prancis. Oleh sebab itu, tak jarang sastra francophone digolongkan sebagai sastra pasca kolonial. Dalam artian, sastra francophone mempermasalahkan persoalan bahwa meskipun penjajahan telah lama berlalu, namun  trauma-trauma akibat penjajahan  terus berlangsung hingga saat ini.

    Meskipun istilah sastra francophone masih asing bagi sebagian besar orang Indonesia, namun sebenarnya khazanah sastra ini sudah masuk ke Indonesia sejak lama. Di antara para pengarang francophone yang karyanya pernah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia antara lain Jean Marie Gustave le Clezio asal Mauritius, Amin Maalouf asal Lebanon, dan tentu saja Tahar Ben Jelloun sendiri. Kibul sendiri pernah menerbitkan salah satu terjemahan cerpen dari penulis francophone asal Kongo, Emmanuel Dongala, dengan cerpennya yang berjudul Kereta Hantu.

    Kembali ke novel Le Dernier Ami. Novel ini bersetting di Maroko penghujung 1950-an. Di tengah semangat perayaan pasca kemerdekaan atas Prancis, dua bocah, Ali dan Mamed bertemu di SMA Prancis (lycée français). Mamed adalah bocah yang kasar dan arogan, sementara Ali bocah yang naif lagi cupu. Suatu hari Mamed membela Ali yang dirundung teman-temannya karena berkulit putih dan dianggap mirip Yahudi. Semenjak itu mereka berteman, sering pergi bersama, mendiskusikan politik dan buku secara serampangan, dan terutama terobsesi pada obrolan tentang seks.

    Pertemanan mereka terus berlanjut hingga 30 tahun selanjutnya, tak peduli Mamed kuliah di Prancis, Ali kuliah di Kanada. Mamed komunis dan kiri, Ali anak film dan seni. Mamed pergi di Swedia, Ali menetap di Maroko. Kedekatan mereka makin terikat erat ketika mereka sempat dijebloskan bersama ke penjara dan kamp militer paksa oleh rezim otoriter Raja Hassan II yang menuduh mereka sosok berbahaya bagi negara.

    Kisah pertemanan Mamed dan Ali tersebut diceritakan melalui tiga sudut pandang: sudut pandang Ali, Mamed, dan seorang yang mengenal mereka bernama Ramon. Masing-masing narator menceritakan kisah yang sama namun dengan subjektivitas masing-masing dan dari situlah kita sebagai pembaca seperti diajak menambal sulam apa yang terselip di antara persahabatan mereka.  Buku ini menunjukkan bahwa di sela pertemanan yang begitu intens dan seolah sempurna, selalu ada kata-kata yang tak tersampaikan di antara keduanya.

    Menelanjangi Konsep Persahabatan

    Apa kau punya seorang yang kepadanya kau lebih nyaman menceritakan perihal apapun ketimbang dengan pacar  atau bahkan orang tuamu? Yang kepadanya misalnya kau berani terbuka soal berapa nominal hutang-hutangmu—atau bahkan hutang bapakmu. Bersamanya, kau bisa menceritakan apa saja mulai dari hal paling receh sampai yang paling privasi.

    Hampir
    setiap orang saya kira punya setidaknya satu teman seperti itu. Dan dalam novel
    ini, pertemanan Ali-Mamed yang begitu eratnya tersebut dideskripsikan Ali
    sebagai berikut:

    Kami memuji satu sama lain, kami saling memerlukan. Kami berdua saling mengakui ini dan kami bangga karenanya. Seperti aku, Mamed memilih persahabatan, ikatan yang kami pilih, ketimbang ikatan keluarga yang dipaksakan


    – 75

    Pertemanan Ali dan Mamed pada awalnya memang dinarasikan begitu mesra. Ketika muda, mereka pergi ke tempat pelacuran bersama. Beranjak dewasa, mereka disekap di kamp militer dan saling menyelamatkan nyawa masing-masing. Suatu kali, Ali tersedak dan hampir mati, Mamed berteriak sekencangnya sambil menangis sampai akhirnya dokter datang. Di waktu lain, giliran Ali yang menyelamatkan Mamed yang sekarat karena kram perut. Semalaman, Ali memijat perut Mamed agar ia tetap sadar diri.

    Hingga
    akhirnya Mamed harus pindah ke Swedia, mereka tetap terbiasa
    saling bertelfon berjam-jam untuk membicarakan perihal apapun, mulai dari
    keluarga hingga gosip terbaru di kota
    asal mereka.

    Kedekatan mereka bahkan menimbulkan kesan yang ganjil sampai membuat istri mereka masing-masing cemburu. Akan tetapi, di balik pertemanan yang nampaknya begitu erat, selalu ada hal-hal yang tersembunyi. Dan Ben Jelloun melalui Le Dernier Ami, seperti hendak menelanjangi apa-apa yang jarang sekali tersampaikan dalam sebuah pertemanan:

    “Aku sering cemburu kepada Ali, karena dia lebih berbudaya daripada aku, karena dia berasal dari keluarga yang sebagian aristokrat……..Mengapa aku harus cemburu? Dia tidak terkenal, dia bukan professor kedokteran, bukan penulis hebat


     – 141

    Dalam sebuah pertemanan, seorang kadang merasa sedang memupuk kepercayaan, namun bisa jadi yang sebenarnya sedang ia pupuk adalah kecemburuan. Ben Jelloun melalui novel ini seolah hendak menunjukkan bahwa di balik senyum, doa, dan dukungan yang kerap kita lontarkan saat teman kita bercerita, selalu terbesit pikiran untuk tidak percaya, untuk mencurigainya, untuk membanding-bandingkannya. Kecemburuan pada seorang teman, bahkan seringkali berwujud nyinyiran macam ungkapan Mamed berikut:

    Ali tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memamerkan latar belakang sastranya—atau lebih tepatnya untuk menunjukkan kekuranganku akan itu .

    -144

    Dalam novel ini, Ali memang dinarasikan sebagai sosok yang tekun membaca dan menonton film. Di bagian pertama ketika Ali menjadi narator, ia juga menyebut beberapa nama penulis dan sutradara beken macam Albert Camus, Frantz Fanon, Jean Genet, John Ford, atau Howard Hawks. Membaca dan menonton film sebenarnya merupakan hobi Ali sejak lama dan Mamed tahu betul soal ini. Namun siapa sangka bahwa diam-diam, setelah puluhan tahun berteman, Mamed masih menganggap hobinya Ali sebagai cara pamer saja?

    Le Dernier Ami bagi saya seperti teman gibah yang asyik, yang di tengah obrolan tiba-tiba mengajukan beberapa pertanyaan yang mengganggu pikiran, dan kalian sebagai pembaca boleh turut menjawab pertanyaannya.

    1. Sebutkan 1 saja nama teman terdekatmu.
    2. Kapan terakhir kali ia menceritakan satu pencapaian dalam hidupnya?
    3. Pencapaian seperti apa itu?
    4. Menurutmu, apa tujuannya cerita padamu? Berbagi saja, memotivasi, atau biar kelihatan keren?
    5. Kerenan mana, dia apa kamu?

    Isu Gender dan Nasionalisme di Maroko

    Maroko adalah negara dengan kultur Islam yang kuat akibat pengaruh bangsa Berber yang hidup berabad-abad di wilayah ini. Dominasi Islam ini sempat tersisihkan menjadi dominasi Barat ketika Maroko menjadi daerah protektorat Prancis sejak 1912 hingga 1957.

    Pasca
    kemerdekaan, kultur Islam kembali menjadi kuat, namun di sisi lain Prancis juga
    masih menanamkan pengaruh yang cukup besar di antaranya dalam bidang budaya dan
    bahasa. Bahasa Prancis misalnya menurut OIF (Organisasi Internasional
    Francophonie) masih digunakan oleh 33 persen warga Maroko dan menjadi bahasa
    Internasional wajib yang diajarkan di sekolah-sekolah.

    Tahar Ben Jelloun adalah salah satu warga Maroko yang mendapat pengaruh besar dari budaya Prancis. Ia tak hanya sempat mengalami masa penjajahan Prancis dan mengenyam pendidikan bahasa ini, namun juga tinggal di Paris sejak tahun 1971 hingga saat ini.

    Akibat pengalaman tersebut, karya-karya Ben Jelloun turut menghadirkan permasalahan yang jamak dialami bangsa-bangsa francophone, yaitu persoalan identitas yang demikian kompleks. Hal ini akibat kehidupan mereka yang di satu sisi memiliki norma-norma tradisional Islam tetapi di sisi lain juga mengenal wacana à la Prancis yang identik dengan modernitas, terutama kebebasan dan kesetaraan. Dalam novel Le Dernier Ami, Ben Jelloun nampak mencoba mengungkapkan tarik-menarik identitas ini dengan turut mengungkap dua isu yaitu gender dan nasionalisme.

    Gender Kelas Dua di Tengah Kultur Islam

    Isu gender dalam novel ini bisa kita lihat sejak permulaan novel di mana Ben Jelloun menghadirkan sosok Ali dan Mamed sebagai pemuda yang tumbuh dengan nilai-nilai Islam tapi justru terobsesi dengan hal yang begitu tabu di lingkungannya, yaitu seks.

    Pada permulaan novel, diceritakan bahwa sekolah mereka sedang mengadakan piknik. Di tengah piknik itu, para murid SMA bermain tantangan jujur-jujuran, mungkin semacam game truth or dare, untuk menceritakan rahasia orang terdekatnya. Pada giliran Mamed, ia memilih mendeskripsikan Khadija, pacarnya di SMA sebagai berikut:

    Dia berusia 18 tahun tapi masih perawan. Dia lebih memilih disodomi ketimbang meregangkan kakinya 


    – 16

    Ketika membeberkan keperawanan Khadija dan bagaimana mereka melakukan hubungan seks, Mamed menceritakan hal tersebut dengan penuh rasa bangga. Ia menganggap Khadija, sosok perempuan, sebagai objek yang sah-sah saja ia beberkan privasinya. Lebih parahnya, Mamed mengungkapkan hal tersebut di depan Khadija sendiri tanpa rasa bersalah. Namun Alih-alih marah dan melawan, Khadijah justru hanya bisa berlari dan menangis. Fragmen tersebut seperti mencerminkan fenomena sosial di Maroko di mana para lelaki bisa mengobjektivikasi perempuan semaunya sementara perempuan tak punya kemampuan untuk melawan.

    Menariknya, adegan-adegan dan ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan tema seks dinarasikan Ben Jelloun dengan deskriptif dan sangat jelas. Fragmen-fragmen tentang masturbasi, penetrasi, hingga hubungan seksual di luar cara lazim diceritakan tanpa sensor. Padahal, novel ini bersetting di Maroko, negeri yang identik dengan citra Islam kuat. Di Maroko, obrolan tentang seks sudah pasti merupakan tema yang tabu. Lebih-lebih jika itu berbicara tentang tindakan sodomi atau anal seks.

    Melalui fragmen-fragmen bertema adegan seksual yang dinarasikan dengan begitu detil dan gamblang, saya kira Ben Jelloun pertama-tama ingin menyingkap Maroko yang selalu menampilkan dirinya dengan citra Islam, namun sebenarnya mempunyai permasalahan akut dalam cara memandang perempuan, di mana perempuan masih dianggap sebagai gender kelas dua dan objek seksual . Sementara teknik penceritaan yang realis menjadi semacam pesan dari Ben Jelloun, bahwa permasalahan gender di Maroko sebaiknya tak lagi dibicarakan secara diam-diam. Ben Jelloun seperti mewakili sebagian masyarakat Maroko yang berharap bahwa ketidakadilan terhadap perempuan harus menjadi isu yang bisa dibicarakan secara terbuka.

    Maroko adalah negara dengan isu kesenjangan gender yang mengkhawatirkan. Hingga hari ini, data dari World Economic Forum misalnya menunjukkan bahwa kesenjangan gender di Maroko berada di peringkat 136 dari 144 negara. Data tersebut dilihat dari keterlibatan perempuan dalam perpolitikan, kesempatan bekerja, kesehatan, dan tingkat pendidikan. Saat ini, perempuan Maroko masih kesulitan untuk mengakses Pendidikan. 58,6 persen perempuan masih buta huruf. Sementara itu hanya 26,9 persen perempuan yang mampu berkarir di dunia kerja. Perempuan Maroko selama ini terkungkung dalam norma-norma yang mengharuskan mereka untuk tetap tinggal di rumah, melayani laki-laki, dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Tahar Ben Jelloun, melalui novel ini saya kira hendak menyuarakan kritik yang cukup keras terhadap budaya patriarki sebagaimana nampak dalam kutipan di bawah ini:

    Biasanya tidak ada hal tabu dalam pembicaraan kami, namun kami pasti memikirkan tentang lagu misoginis Bob Marley “No Woman No Cry”. Di Maroko, seperti semua orang tahu, prialah yang membuat wanita menangis. Mereka menangis dalam diam, wanita tidak berhak untuk protes. 


    (53)

    Nasionalisme Maroko dan Kegamangan Identitas

    Tahar Ben Jelloun dalam karya-karyanya seringkali menghadirkan tokoh-tokoh yang mengalami kebimbangan dan kegamangan dalam menemukan identitas dirinya. Hal ini juga turut ia hadirkan dalam Le Dernier Ami, terutama melalui sosok Mamed.

    Singkat cerita, setelah berkeluarga dan menjadi dokter yang sukses di Maroko, Mamed mendapat tawaran kerja di WHO di Stockholm, Swedia. Ia kemudian menerima pekerjaan tersebut dan berpisah dengan Ali.

    Tiba di Swedia dari Maroko, hal pertama yang aku sadari adalah keheningan. Keheningan mereka, putihnya kulit mereka, mata mereka yang jernih, dan rasa hormat mereka pada peraturan, aku menemukan peradaban dalam setiap individu. Ini luar biasa!

    -137

    Kutipan di atas adalah ungkapan pertama yang dinyatakan Mamed ketika baru menjejakkan kaki di Swedia. Kutipan tersebut saya kira menunjukkan dengan cukup jelas bagaimana cara pandang sebagian besar masyarakat Timur terhadap Barat. Dalam kutipan tersebut, tertulis bahwa kekaguman Mamed terhadap Swedia tidak tertuju pada keheningan dan keteraturannya saja, tetapi ia juga terpesona pada ciri fisik orang-orang yang ia lihat, yaitu orang berkulit putih dengan mata yang jernih. Keterpesonaan akan warna mata dan kulit tersebut adalah banalitas yang kerap terjadi pada masyarakat Timur yang mana selalu  memandang segala hal yang berbau Barat sebagai sesuatu yang superior. Padahal kita tahu, warna kulit dan mata tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang Mamed sebut sebagai peradaban.

    Setelah setahun hidup di Swedia, Mamed menjadi orang yang hidupnya serba berkecukupan. Namun demikian, ia justru mulai merasa merindukan kembali Maroko. Ia tiba-tiba dipenuhi perasaan melankolis dan mengenang Maroko seperti tertulis pada kutipan di bawah ini:

    Ini gila rasanya, tapi hal-hal yang paling kurindukan adalah hal-hal yang sebelumnya menggangguku:kebisingan mobil, teriakan pedagang jalanan, para teknisi yang mengotak-atik lift tanpa mau mengakui kalau sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, wanita yang menjual sayuran dari kebun mereka sendiri… Aku bahkan merindukan polisi di persimpangan yang bisa kami suap sekali-kali.. Aku bahkan merindukan para pengemis dan orang cacat di jalanan.


    (139)

    Kutipan di atas nampaknya merupakan cara Ben Jelloun mendeskripsikan perasaan orang imigran Maroko yang kerap berada dalam kegamangan akan identitasnya yang kompleks. Mamed yang sudah lama tinggal di negara miskin dan kering kerontang sekaligus serba dibatasi oleh kediktatoran berbalut norma agama, kemudian merasakan hidup di Swedia, yang ibarat oase, mampu memberikan kemakmuran, kenyamanan, dan kebebasan. Permasalahannya, dari situlah kegamangan justru muncul. Segala fasilitas dan kenyamanan yang Mamed dapatkan di Swedia justru mengingatkannya pada segala hal yang ada di tanah airnya, yang semuanya justru berbanding terbalik dengan yang ia miliki.

    Di titik ini, Memed barangkali mengalami keterasingan total atau situasi yang disebut Hommi Bhabha sebagai situasi “beyond”, “neither a new horizon, neither a leaving behind the past”, “tidak ada harapan bagi masa depan, tidak ada pula masa lalu yang dapat menjadi pijakan”. Sebab, ia tidak bisa merasa menjadi orang Swedia, namun di sisi lain ia juga sadar bukan lagi orang Maroko.

    Terkait permasalahan identitas ini, Ben Jelloun melalui Le Dernier Ami nampaknya menawarkan solusi tersendiri yaitu dengan  menawarkan identitas ketiga yang disebut identitas “nomade”, yaitu identitas yang tidak terikat pada satu identitas tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan sikap Mamed setelah mengalami pendewasaan dan tinggal cukup lama di Swedia, di mana ia akhirnya mengkritik baik kebudayaan Barat maupun kebudayaan Timur dari negerinya sendiri.

    Kepada Barat ia menuliskan “sebuah negara yang pernah menjajah negara lain tidak pernah bisa menjadi teladan (174)”, sementara di sisi lain ia juga mengkritik budaya Maroko dengan menulis “Islam fundamentalis itu bukan Islam. Itu omong kosong politik (154)” untuk mengkritik kondisi sosial politik di negaranya yang carut marut namun tersembunyi di balik topeng agama.

    Referensi:

    Ben Jelloun, Tahar, 2004. Le Dernier Ami, Paris: Editions du Seuil.

    Ben Jelloun, Tahar. 2018. Sahabat Terakhir, Yogyakarta: Basabasi.

    Brace, Richard M. 1964. Morocco, Algeria, Tunisia, a Spectrum Book. Prentice-Hall., Englewood Cliffs, New Jersey.

    Combe, Dominique. 2010, Les Littératures francophones, questions, débats, polémiques, Presses  Universitaires de France, Paris

    Said, Edward. 2000. Reflections on Exile, Cambridge: Harvard University Press.

    Shahab, Ali. 2012. Nasionalisme dalam Roman Les Yeux Baisses karya Tahar Ben Jelloun. Yogyakarta: UGM Press

  • [Ngibul #8] Komunistophobia: Wacana yang Terus Direproduksi

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    Suasana pasar itu tampak lengang lengang saja. Transaksi jual beli sebagaimana adanya. Keramaian hanya soal tawar menawar dan geguyonan di antara sesama pedagang atau dengan pembeli. Seorang ibu-ibu, menenteng tas di pundaknya berjalan pelan sambil melihat-lihat kemungkinan barang yang akan dibeli. Tapi keadaan tiba-tiba riuh ketika sang ibu menyadari bahwa seorang lelaki telah mengambil dompet di dalam tasnya. Lelaki itu kemudian diteriaki “Copet!”. Sontak semua yang ada di pasar itu geger mengejar sang copet. Ia terus berlari dikejar kawanan, hampir-hampir bisa meloloskan diri sebelum salah satu dari kawanan berteriak sambil menuding “PKI!!”. Lelaki itu bagai dihujam meteor dari langit-jatuh tersungkur. Di depan kerumunan ia mengiba, memohon ampun sambil berkata

    “Saya bukan PKI, saya hanya copet!”

    Narasi itu saya dapat beberapa tahun silam ketika mengikuti kelas antropologi politik semasa S1.  Konon menurut dosen pengampu, kisah itu merupakan sebuah kisah nyata. Narasi itu pula yang membawa saya mengingat banyak hal – membawa saya terseret jauh dalam persoalan-persoalan yang mendengung di luar dan di dalam kepala. Ada hal-hal menarik yang dapat kita lihat dari narasi di atas. Salah satunya, narasi tersebut membawa saya jauh menelisik ke dalam alam Orde Baru, satu usia panjang Rezim kekuasaan di Indonesia yang menempatkan komunistophobia sebagai salah satu kekuatan hegemonik utama dalam rangka mempertahankan kekuasaan.

    Saya termasuk generasi terakhir yang merasakan keberadaan Rezim tersebut – masih menjadi bagian dari masyarakat yang setiap tanggal 30 September malam duduk beramai-ramai di depan televisi  menyaksikan film garapan Arifin C Noor, Penumpasan Pengkhianatan G30 S PKI 1)Film ini kemudian diadaptasi menjadi novel oleh Arswendo Atmowiloto dengan judul Pengkhianatan G30S/PKI. Wijaya Herlambang dalam buku Kekerasan Budaya Pasca 1965. Bagaimana Orde Baru Melegitimiasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film menyatakan bahwa film ini diproduksi bukan sebagai film fiksi melainkan sebagai film dokumenter dengan narasi yang diarahkan sesuai dengan argumen Nugroho Notosusanto bahwa PKI merupakan satu-satunya pelaku dalam peristiwa 30 September 1965.  Sayangnya, waktu itu saya masih usia sekolah dasar, belum sanggup memahami isi apalagi menerima pesan yang hendak disampaikan film tersebut.  Alih-alih tertarik, saya justru selalu ketakutan, bukan pada adegan pembantaian para perwira Angkatan Darat yang merupakan klimaks dari film tersebut, melainkan pada adegan-adegan awal ketika tokoh Soekarno dimunculkan dalam kebimbangannya serta  gambar relief-relief perjuangan yang ditampilkan – didramatisasi dengan efek suara yang mencekam. Saya tidak pernah benar-benar menyelesaikan film itu sewaktu kecil, hanya sepotong-sepotong saja tanpa benar memahami maksudnya. Saya bahkan menganggap film tersebut tidak kalah seram dibanding film horor yang dibintangi Suzanna.

    Praktis, film tersebut baru bisa saya tonton sampai selesai ketika sudah menjadi mahasiswa, dan ketika zaman sudah memasuki alam reformasi yang menempatkan Orde Baru sebagai sebuah rezim yang memiliki stereotip negatif, otoriter, korup, militeristik dan sebagainya. Wacana-wacana anti Orde Baru pun terus berdengung di luaran. Sebagaimana gairah kebebasan yang mengiringi gaung reformasi, buku-buku sejarah yang berbeda versi dengan apa yang dikehendaki rezim sebelumnya bermunculan. Segalanya bebas untuk diakses, sehingga setidaknya saya pun dapat membaca  buku sejarah dengan berbagai versi, termasuk buku sah rezim Orde Baru (Sejarah Nasional Indonesia semua jilid) 2)Buku ini merupakan narasi sejarah yang disusun sebagai buku standar sejarah nasional Indonesia khususnya sebagai buku pegangan bagi pelajar tingkat SMTA dan SMTP. Buku ini disusun oleh tim yang diketuai oleh Prof. Nugroho Notosusanto sejarawan dari Universitas Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan di masa Orde Baru. Selain itu, Nugroho Notosusasanto pernah ditunjuk oleh Panglima ABRI, Jendral Nasution sebagai Kepala pusat Sejarah ABRI (lihat buku McGregor,K. Ketika Sejarah Berseragam. Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia (2008).  dan buku-buku lain yang isinya kadang beda versi, menguak hal-hal yang tidak terungkap maupun bertentangan dengan narasi Orde Baru. Praktis isi kepala saya menjadi berbenturan satu sama lain. Belum lagi saya lahir di keluarga dengan Bapak dan Ibu yang merupakan Pegawai Negeri Sipil yang sepenuhnya mendukung Orde Baru dan memiliki kakek pejuang 45 yang sepenuhnya anti komunis. Hal tersebut semakin menambah kerunyaman wacana. Hingga pada akhirnya saya (barangkali mewakili yang lain) menjadi sebuah generasi yang menyerupai gentong, menampung segala arus wacana dari berbagai arah.

    Menjadi generasi yang berada dalam masa transisi wacana memang bukan persoalan yang mudah. Dalam banyak sisi, kehausan untuk melihat sesuatu dengan gamblang begitu besar. Akan tetapi berbagai wacana yang mengisi kepala menjadi begitu banyak, saling berbenturan, abu-abu, sekaligus tidak pernah jelas manakah versi yang dapat dipercaya. Pada akhirnya semua cerita hanya lalu lalang di kepala. Meskipun begitu tentu ada beberapa hal yang bisa dilihat juga dihayati.

    Persoalan mengenai komunisme memang merupakan persoalan pelik, bukan hanya di Indonesia melainkan juga di Dunia. Dalam konteks sejarah, tidak bisa dipungkiri bahwa komunisme yang berakar dari ajaran Marxisme yang kemudian diadopsi Lenin hingga menjadi Marxisme-Leninisme telah menjadi ideologi dasar perkembangan partai komunis yang kemudian menjadi satu kekuatan ideologi negara-negara seperti Uni Republik Sosialis Soviet, Republik Rakyat Tiongkok, Republik Sosialis Vietnam, termasuk juga Indonesia khususnya pada dekade 1960-an. Komunisme juga pernah menjadi kekuatan dominan dan mencengkram separuh belahan dunia pada waktu itu. Di Indonesia sendiri, Komunisme menjadi ideologi yang populer sekaligus termanifestasi sebagai praktek berpolitik yakni dengan terbentuknya partai politik yang dikenal dengan nama Partai Komunis Indonesia (meskipun sejarah partai ini sudah muncul sejak zaman pergerakan nasional, kemudian menjelma menjadi berbagai versi)3)Kemunculan partai berhaluan Marxisme pertama kali pada tahun 1914 dengan berdirinya Indische Sociaal-Democratiche Vereninging (ISDV) yang kemudian bersekutu dengan Sarekat Islam (SI). pada kelanjutannya, ISDV yang semula banyak digawangi oleh golongan Eropa kemudian dipimpin oleh Pribumi diantara Semaun dan Darsono hingga pada tahun 1020 ISDV kemudian diganti dengan nama Partai Komunis Indonesia (Notosusanto dan Pusponegoro,1984:198-208) -yang menjadi salah satu kekuatan besar pada dekade 1960-an sebelum kehancurannya pasca peristiwa 30 September. Dalam konteks itu pula, komunisme tak urung meninggalkan jejak suram. Di Rusia, rezim Stalin pernah menjelma menjadi rezim berdarah yang membantai ribuan orang demi melanggengkan kekuasaannya. Sementara itu, di Indonesia sendiri, berbagai peristiwa berdarah juga melibatkan keberadaan partai ini. Tahun 1926 PKI melakukan serangkaian percobaan pemberontakan melawan kekuasaan kolonial dan bisa dikatakan “konyol”4)Kekonyolan itu muncul karena berdasarkan data sejarah keputusan adanya aksi disepakati dalam waktu singkat melalui pertemuan di Prambanan yang tidak dihadiri oleh tokoh-tokoh besar PKI. Bahkan Tan Malaka, salah satu tokoh besar PKI waktu itu juga tidak sepakat dengan hasil putusan. Tetapi dalam perspektif lain, peristiwa itu dianggap sebagai perlawanan terhadap kekuasaan Kolonial Belada di zaman modern., mengakibatkan banyak anggotanya ditangkap dan diasingkan ke Bovel Digoel. Tahun 1948 terjadi Madiun Affair, konfik berdarah yang menyebabkan banyak korban bergelimpangan sebagai akibat keputusasaan  dari  kelompok yang berhaluan kiri tersebut dalam situasi pelik Republik saat itu 5)Dalam bukunya berjudul Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie menyajikan uraian secara rinci mengenai peristiwa tersebut yang dilengkapi data dari berbagai sumber. Rentetan peristiwa yang melatarbelakangi peristiwa tersebut dijelaskan dengan baik oleh Soe Hok Gie termasuk konflik-konflik internal di kalangan faksi angkatan darat dan munculnya front Nasional sebagai pemerintahan tandingan atas kepemimpinan RI dibawah Soekarno dan kabinet Hatta.. Tahun 1965 juga terjadi insiden berdarah yang kembali melibatkan PKI dalam arus politik dewasa itu, dan mengakibatkan rentetan panjang genosida yang  tidak saja menempatkan PKI sebagai pelaku, kambing hitam, tetapi juga korban pasca peristiwa tersebut.6)Menurut catatan Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, sejak Oktober 1965 penghacuran dan pembunuhan masal terhadap anggota dan simpatisan PKI di mulai. kekerasan terhadap orang-orang yang dikaitkan dengan PKI terjadi di seluruh daerah, tetapi pembunuhan massal yang terburuk terjadi di Jawa dan Bali. Dari sumber sumber yang diambil dari para ahli, Riclkefs menyatakan bahwa setidaknya setengah juta orang tewas meskipun jumlah itu tak pernah pasti karena tidak ada seorangpun yang menghitungnya.. Selain itu ribuan orang ditahan dan dihukum tanpa proses pengadilan. sebagian besar diasingkan ke Pulau Buru (Ricklefs, 2008:594-586). Catatan mengenai hal ini salah satunya dalam tulisan Soe hok Gie berjudul Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali. Zaman Peralihan. (sayangnya sampai tulisan ini diterbitkan penulis belum bisa mengakses buku tersebut).

    Pada akhirnya Partai Komunis Indonesia dibubarkan. Ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme resmi dilarang di Indonesia melalui TAP MPRS NO XXV tahun 1966 dan masih berlaku sampai detik ini. Implikasi keberadaan ketetapan tersebut memang besar. Di masa Orde Baru, pembicaraan mengenai komunisme merupakan sesuatu yang tabu sekaligus berbahaya. Dalam ranah akademik, pembelajaran mengenai Marxisme dalam sudut keilmuan pun sangat dibatasi. Dalam ranah sastra, implikasi ketetapan tersebut dibarengi dengan pelarangan terhadap buku-buku Eks Lekra, sebuah lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Para penulis eks Lekra pun kesulitan untuk menerbitkan  karya-karyanya. Sastrawan sekelas Pramoedya Ananta Toer pun musti menyelundupkan karya-karya tulisannya agar bisa terbit7)Pelarangan terhadap buku buku eks-Lekra diperkuat  dengan adanya  Penpres No 4/1963 yang kemudian diadopsi kembali oleh Rezim Orde Baru dengan mengganti beberapa kata kunci. Penpres tersebut kemudian terus menjad dasar pelarangan buku di Indonesia pada zaman Orde Baru, meluas dari hanya buku buku komunisme tetapi juga buku buku lain yang dianggap mengganggu ketertiban umum (baca buku Menentang Peradaban: Pelarangan buku di Indonesia: 1999). Di samping itu, akses terhadap pembacaan karya-karya mereka juga dibatasi. Memiliki buku Tetralologi Buru misalnya, akan mendapatkan konsekuensi hukum yang besar. Salah satu faktanya adalah ditangkapnya tiga mahasiswa di Yogyakarta yang terbukti memiliki dan mengedarkan buku karya Pramoedya Ananta Toer tersebut.

    Ketika gaung reformasi begitu besar pasca peristiwa 1998, usaha untuk menghapus ketetapan itu sempat diwacanakan di masa Presiden Abdurrahman Wahid. Namun, wacana itu ditentang habis-habisan hingga urung dilakukan. Komunisme masih dianggap sebagai sebuah ideologi yang berbahaya, sebuah bahaya laten yang bisa mencengkam keutuhan NKRI. Meskipun ajaran masih dilarang, berbagai usaha untuk memperbaiki masalah-masalah disebabkan oleh konflik dimasa lalu telah dilakukan. Upaya rekonsiliasi dengan mempertemukan para korban tragedi 1965 dari berbagai pihak yang sebelumnya bertentangan pun sempat dilaksanakan, jauh setelah reformasi berjalan lebih dari sepuluh tahun. Banyak hasil yang di dapat. Upaya-upaya menghapus trauma masa lalu tersebut digalakkan sebagai upaya menjembatani sentimen-sentimen yang terus menerus ada. Meskipun upaya tersebut tak urung mendapatkan pertentangan di sana-sini.

    Generasi Y (yakni generasi yang lahir antara 1980an sampai 2000an) merupakan generasi yang berjarak dengan peristiwa-peristiwa sejarah 1965 dan sebelumnya. Sama halnya dengan generasi pasca reformasi 1998  yang juga memiliki rentang waktu yang jauh dengan peristiwa tersebut. Meskipun begitu, seperti yang juga saya alami, generasi ini terus menerus mendapatkan wacana seputar peristiwa sejarah tersebut. Ada yang beruntung mendapatkan banyak wacana, sehingga mampu melihat wacana sejarah sebagai sebuah kerja historiografi yang tentu tidak pernah terlepas dari kekuasaan. Tetapi ada pula yang hanya menerima satu wacana tunggal saja apakah itu versi A atau B. Tak bisa dipungkiri, pada setiap individu, wacana-wacana tersebut menjelma sebagai sebuah pengetahuan yang seringkali juga diimani, tanpa pernah tau apa yang sebenarnya terjadi. Wacana-wacana yang diterimanya ikut membentuk bayangan-bayangan mereka terhadap masa lalu. Tak bisa dipungkiri juga, wacana-wacana tersebut terus direproduksi. Di satu sisi, muncul wacana mengenai komunistophobia, di sisi lain muncul wacana anti narasi Orde Baru. Permasalahannya, dalam konteks dewasa ini sering kita jumpai narasi-narasi yang “menggelikan”.

    Sebagai contoh, kita sering melihat meme atau ujaran ujaran yang berbunyi  “piye le kabare? Penak jamanku To” dengan gambar mantan Presiden Soeharto yang tersenyum. Fenomena tersebut menunjukkan banyak hal, tetapi salah satunya adalah kecenderungan pemujaan terhadap rezim Orde Baru. Meskipun di sisi lain, meme tersebut bisa juga merupakan kritik terhadap kondisi sosial sekarang yang dianggap tidak lebih baik. Fenomena lain misalnya muncul ketika FPI kembali mendengungkan bahaya laten komunis. Habieb Rizieq, salah satu tokoh pembesar FPI sempat menyinggung peredaraan uang baru yang dianggap memasukkan unsur-unsur komunis di dalamnya.  Dari fenomena-fenomena tersebut, nampak bahwa komunistophobia masih terus didengungkan, menjadi sebuah wacana hegemonik yang ditujukan untuk memproduksi kembali kebencian dan ketakutan terhadap bahaya munculnya Partai Komunis Indonesia. Yang berbahaya, wacana-wacana tersebut justru seringkali didengungkan dan dipelintir oleh sebagian kalangan untuk menyerang kedudukan pemerintahan yang sah.

    Dibandingkan isu terorisme maupun radikalisme Islam (dan isu separatisme, radikalisme, dan gerakan kekerasan lain) yang sedang melanda berbagai belahan dunia, isu komunisme nampaknya masih subur di alam keIndonesiaan. Masalah yang muncul memang komunisme sering diidentikan berseberangan dengan paham-paham keagamaan khususnya Islam. Tidak bisa dipungkiri pula bahwa perseteruan antara ideologi agama dan komunis merupakan salah satu fakta sejarah. Presiden Soekarno pun pernah mencoba mendamaikan dan menggabungkan ideologi-ideologi tersebut dalam konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunis) namun kenyataan sejarah menunjukkan bahwa kesatuan tersebut sulit diwujudkan.

    Terlepas dari fakta-fakta itu, komunisme memang pernah menjadi sebuah ideologi yang membawa masyarakat Indonesia dalam fase yang suram. Komunisme, dalam hitam-putihnya pernah menjadi sebuah gerakan yang radikal, menghantam lawan-lawan politiknya yang berseberangan haluan. Barangkali ia memang tidak cocok untuk alam keIndonesiaan yang cenderung demokratis. Sama halnya, ideologi radikal lainnya, termasuk Islam radikal yang juga dipandang tidak cocok di alam keIndonesiaan yang lebih akrab dengan Islam nusantaranya yang cenderung moderat. Tetapi justru yang menurut saya berbahaya pada masa sekarang ini adalah wacana komunistophobia yang terus didengungkan. Narasi saya di awal menunjukkan bahwa orang dengan serta merta, konyol dan ngawur bisa saja menuduh orang sebagai komunis atau simpatisan komunis. Dengan adanya peraturan yang masih melarang ajaran tersebut, stigma komunis yang dilekatkan pada seseorang, organisasi atau bahkan rezim dapat berdampak pada hal-hal yang jauh lebih besar dan mengkhawatirkan. Menuduh seseorang, organisasi, atau rezim dengan stigma tersebut bahkan dapat memicu kebencian yang boleh jadi tidak berdasar dan membawa ke dalam potensi konflik maupun  kekerasaan. Kita harus sadar, bahwa kebencian-kebencian itu senantiasa dipupuk dan masih melekat dalam pribadi-pribadi tertentu. Jika hal itu dibiarkan barangkali akan sangat berbahaya terlebih jika masih ada orang yang dengan mudah menuduh orang lain misal sebagai “antek komunis”.

    Sama halnya dengan kasus komunisme, menuduh suatu golongan tertentu sebagai Islam radikal misalnya juga berbahaya. Hanya karena memenuhi panggilan sunah, orang bisa dicap sebagai teroris dan sebagainya tanpa kita benar-benar tau hal yang sebenarnya. Tidak hanya pada persoalan itu, sentimen etnis dan agama juga menimbulkan dampak adanya rasisme. Seringkali dewasa ini kita mendengar istilah “china”, “kristenisasi”, “kearab-araban” dan sebagainya. Potensi itu tumbuh subur, apalagi jika kita hubungkan dengan konteks pilkada Jakarta saat ini. Dalam konteks ini, mereka yang terlibat dalam perang-perang stigma itu bukan saja muncul dalam ranah mereka yang berada dalam panggung politik, tetapi juga masuk ke dalam diri anak-anak muda, generasi-generasi canggung yang masih ingusan. Perang di media sosial tak urung menunjukkan kenyataan tersebut. Kita tentu akan miris membayangkan apa yang akan terjadi kemudian jika wacana-wacana kebencian itu terus didengungkan.

    Dalam alam keIndonesiaan yang plural, ujaran-ujaran kebencian sangatlah berbahaya. Tak bisa dipungkiri bahwa generasi muda menjadi lahan subur bagi tumbuhnya radikalisme dalam bentuk apapun. Alih alih mencari damai, mencari kesamaan dan menepikan perbedaan, justru wacana sentimen dan stereotip malah menjadi ajang unjuk gigi. Mau tidak mau kita harus pula menyadari bahwa wacana-wacana tersebut terus diproduksi dan direproduksi. Barangkali kita sendiri tak sadar menjadi bagian dari produsen tersebut, bisa juga sebagai distributor ataupun konsumennya. Generasi muda tentu harus tetap kritis dan waspada. Mereka yang memiliki jiwa nasionalis tentu harus bisa memilah dan memilih, sebab 10 atau 20 tahun mendatang, estafet kepemimpinan negeri akan jatuh ke tangan kita. Entah komunisme, radikalisme islam, atau paham-paham yang memang merusak (biasanya diikuti oleh orang orang ekstrimis dan fanatis) harus kita singkiri dan waspadai. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga mengambil yang putih dari yang dianggap hitam. Sebab pada akhirnya tidak ada yang benar-benar hitam maupun benar benar putih selama masih dalam kerangka mencari kebenaran. Apakah kita akan terus mewarisi hal-hal yang begitu pelik di masa kini ataukah berupaya membangun generasi yang benar benar bersih, tanpa sentimen, rasa takut dan kebencian?  Bagaimanapun itu merupakan sebuah pilihan.
    * Foto karya Amalya Suchy Mustikapurnamasari.

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Fitriawan Nur Indrianto
    Lulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.

    References   [ + ]

    1. Film ini kemudian diadaptasi menjadi novel oleh Arswendo Atmowiloto dengan judul Pengkhianatan G30S/PKI. Wijaya Herlambang dalam buku Kekerasan Budaya Pasca 1965. Bagaimana Orde Baru Melegitimiasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film menyatakan bahwa film ini diproduksi bukan sebagai film fiksi melainkan sebagai film dokumenter dengan narasi yang diarahkan sesuai dengan argumen Nugroho Notosusanto bahwa PKI merupakan satu-satunya pelaku dalam peristiwa 30 September 1965
    2. Buku ini merupakan narasi sejarah yang disusun sebagai buku standar sejarah nasional Indonesia khususnya sebagai buku pegangan bagi pelajar tingkat SMTA dan SMTP. Buku ini disusun oleh tim yang diketuai oleh Prof. Nugroho Notosusanto sejarawan dari Universitas Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan di masa Orde Baru. Selain itu, Nugroho Notosusasanto pernah ditunjuk oleh Panglima ABRI, Jendral Nasution sebagai Kepala pusat Sejarah ABRI (lihat buku McGregor,K. Ketika Sejarah Berseragam. Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia (2008).
    3. Kemunculan partai berhaluan Marxisme pertama kali pada tahun 1914 dengan berdirinya Indische Sociaal-Democratiche Vereninging (ISDV) yang kemudian bersekutu dengan Sarekat Islam (SI). pada kelanjutannya, ISDV yang semula banyak digawangi oleh golongan Eropa kemudian dipimpin oleh Pribumi diantara Semaun dan Darsono hingga pada tahun 1020 ISDV kemudian diganti dengan nama Partai Komunis Indonesia (Notosusanto dan Pusponegoro,1984:198-208
    4. Kekonyolan itu muncul karena berdasarkan data sejarah keputusan adanya aksi disepakati dalam waktu singkat melalui pertemuan di Prambanan yang tidak dihadiri oleh tokoh-tokoh besar PKI. Bahkan Tan Malaka, salah satu tokoh besar PKI waktu itu juga tidak sepakat dengan hasil putusan. Tetapi dalam perspektif lain, peristiwa itu dianggap sebagai perlawanan terhadap kekuasaan Kolonial Belada di zaman modern.
    5. Dalam bukunya berjudul Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie menyajikan uraian secara rinci mengenai peristiwa tersebut yang dilengkapi data dari berbagai sumber. Rentetan peristiwa yang melatarbelakangi peristiwa tersebut dijelaskan dengan baik oleh Soe Hok Gie termasuk konflik-konflik internal di kalangan faksi angkatan darat dan munculnya front Nasional sebagai pemerintahan tandingan atas kepemimpinan RI dibawah Soekarno dan kabinet Hatta.
    6. Menurut catatan Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, sejak Oktober 1965 penghacuran dan pembunuhan masal terhadap anggota dan simpatisan PKI di mulai. kekerasan terhadap orang-orang yang dikaitkan dengan PKI terjadi di seluruh daerah, tetapi pembunuhan massal yang terburuk terjadi di Jawa dan Bali. Dari sumber sumber yang diambil dari para ahli, Riclkefs menyatakan bahwa setidaknya setengah juta orang tewas meskipun jumlah itu tak pernah pasti karena tidak ada seorangpun yang menghitungnya.. Selain itu ribuan orang ditahan dan dihukum tanpa proses pengadilan. sebagian besar diasingkan ke Pulau Buru (Ricklefs, 2008:594-586). Catatan mengenai hal ini salah satunya dalam tulisan Soe hok Gie berjudul Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali. Zaman Peralihan. (sayangnya sampai tulisan ini diterbitkan penulis belum bisa mengakses buku tersebut).
    7. Pelarangan terhadap buku buku eks-Lekra diperkuat  dengan adanya  Penpres No 4/1963 yang kemudian diadopsi kembali oleh Rezim Orde Baru dengan mengganti beberapa kata kunci. Penpres tersebut kemudian terus menjad dasar pelarangan buku di Indonesia pada zaman Orde Baru, meluas dari hanya buku buku komunisme tetapi juga buku buku lain yang dianggap mengganggu ketertiban umum (baca buku Menentang Peradaban: Pelarangan buku di Indonesia: 1999

  • [Ngibul #79] Susahnya Mendongeng untuk Anak Zaman Now

    author = Andreas Nova

    Saya masih ingat betul, ibu saya sering mendongeng untuk saya sebelum tidur ketika saya masih anak-anak. Dulu ibu saya sering membacakan dongeng yang diambil dari majalah Bobo, atau buku dongeng tipis-tipis yang kadang dibeli di toko buku. Tradisi mendongeng itu coba saya teruskan pada anak saya yang baru berusia dua tahun lebih sembilan bulan. Banyak buku dongeng yang bisa dipilih dan dibeli di toko buku. Tapi entah kenapa setelah sekilas membaca beberapa cerita yang ada dalamnya kok malah saya jadi bingung sendiri. Saya jadi ragu untuk mendongengkan kisah-kisah dalam buku dongeng tersebut karena anak saya rasanya terlalu kritis untuk dongeng-dongeng klasik semacam itu. Mungkin hanya anak saya saja yang rasa ingin tahunya terlalu tinggi (dan kadang membuat saya iri).

    Sebagai contoh, beberapa malam yang lalu saya mendongengkan Para Pemusik dari Bremen (Town Musicians of Bremen/Die Bremer Stadtmusikanten). Dongeng dari Grimm Bersaudara itu berkisah tentang seekor keledai, anjing, kucing dan ayam jago yang sudah tua dan lari atau diusir pemiliknya karena dianggap tidak bisa bekerja dan memutuskan berpetualang ke Bremen dan bermain musik di sana. Baru menceritakan beberapa kalimat tentang si Keledai, anak saya menginterupsi dan bertanya “Keledai itu apa?”, saya akhirnya membuka ponsel saya, mencari gambar keledai dan menunjukkannya kepada anak saya. “Ooh, ini kuda, Papa. Bukan keledai.” begitu komentarnya, akhirnya beberapa menit selanjutnya saya habiskan dengan menjelaskan bedanya keledai dengan kuda, tentu saja dengan bahasa yang mudah ia mengerti.

    Kemudian saya melanjutkan cerita tersebut hingga sampai adegan dimana binatang-binatang tersebut mengusir kawanan Perampok yang tinggal di sebuah rumah yang hangat.

    “Kenapa binatangnya tahu kalau itu orang jahat?” tanyanya lagi.

    Saya cuma membatin “Ya karena ceritanya seperti itu, Nak”, tapi pasti dia akan protes berkepanjangan. Karena memang tidak ada adegan yang menjelaskan kalau perampok-perampok itu menjahati orang lain atau binatang-binatang itu. Untung saja sesaat kemudian dia minta dibuatkan susu dan kemudian tidur.

    Saya meneruskan membaca beberapa cerita dalam buku dongeng itu (buku ini akan saya bahas di rubrik Buku kalau lolos dari Redaktur Resensi). Saya sempat berpikir, apakah dongeng-dongeng klasik dari Grimm atau dari Kisah Seribu Satu Malam kurang relevan dengan anak-anak di masa kini. Bukankah kisah-kisah klasik seperti itu disebut klasik karena sampai saat ini masih relevan?

    Pernah juga saya mendongengkan “Kisah Gadis Kecil Berkerudung Merah” (Little Red Riding Hood/Le Petit Chaperon Rouge). Daripada terjadi misintrepretasi akhirnya saya sederhanakan menjadi mbak bertopi merah. Awalnya tidak ada pertanyaan sampai adegan si mbak bertopi merah bertemu dengan serigala. Pertanyaan tentang serigala itu apa juga sudah saya antisipasi dengan menyiapkan jawaban bahwa serigala itu mirip anjing tapi lebih besar. Bagian yang saya sederhanakan lagi adalah ketika serigala mendahului mbak bertopi merah—yang tidak kita ketahui namanya siapa sampai akhir cerita—ke rumah nenek si mbak ini tadi memakan si nenek hidup-hidup dan kemudian menyamar (karena dia pasti akan bertanya kenapa si nenek masih hidup padahal sudah dimakan serigala, dan akan membuatnya tidak mau makan ayam goreng kesukaannya karena takut ayamnya masih hidup). Adegan itu saya anggap terlalu gore untuk anak berumur dua tahun, jadi saya ganti menjadi serigala itu menakut-nakuti si nenek sehingga si nenek lari dari rumah dan kemudian si serigala berpura-pura menjadi si nenek untuk menyambut mbak bertopi merah. Ketika si mbak bertopi merah menyadari bahwa yang di rumah neneknya bukan neneknya tapi seekor serigala, dan ia berteriak minta tolong pada penebang kayu yang kebetulan (salah satu ciri dongeng klasik adalah terlalu banyak deus ex machina dimana-mana) ada di dekat rumah nenek. Ia kembali bertanya,

    “Kenapa serigala tidak cepat-cepat menggigit mbaknya?”

    “Lha kan pak penebang kayu lari-lari ke rumah neneknya mbak topi merah.”

    “Tapi serigala lebih dekat, jadi serigala itu bodoh, Papa.”

    Saya membatin lagi “Oke Nak, memang seperti ini ceritanya.”

    Akhirnya saya menggunakan jurus “pokoknya” sehingga cerita tetap berakhir dengan gembira seperti normalnya dongeng Disney.

    Beberapa dongeng yang saya baca dan saya ragu untuk menceritakan kepada anak saya, disebabkan karena dongeng itu terlalu khayal, dan memang seperti itulah dongeng. Entah anak saya yang terlalu kritis atau imajinasinya masih belum berkembang hingga bisa menangkap bayangan yang disampaikan dongeng itu. Tapi rasanya perlu diakui anak-anak sekarang lebih kritis daripada para netizen yang lebih mudah memakan hoax. Saya jadi teringat pengalaman Danu Saputra ketika ia bercerita tentang Pak Harimau yang bertamu ke rumah Pak Kelinci. Salah satu muridnya bertanya, kenapa Pak Harimau bisa masuk ke rumah Pak Kelinci, kan (rumah Pak Kelinci) kecil?

    Dongeng-dongeng—karena diperuntukkan secara khusus untuk anak-anak juga sangat sederhana. Satu sisi ini baik untuk memahami cerita. Di sisi lain, hal ini juga tidak baik karena hanya mendikotomikan baik dan buruk, orang baik dan orang jahat, dan sebagainya. Tapi ya kali kita berharap dalam dongeng ada tokoh berwatak abu-abu macam serial Game of Thrones. Mungkin ada, tapi saya rasa tidak banyak. Hal ini kadang membuat saya takut apakah nantinya anak saya akan dengan mudah berasumsi “either you are with us or against us” karena hanya ada dua opsi yang tersedia dan pikirannya akan tertutup untuk melihat opsi lain yang bisa jadi ada.

    Ketakutan-ketakutan seperti itu kadang muncul dalam diri saya dan kadang mengurungkan niat saya untuk mendongeng. Tapi kalau tidak mendongeng kok rasanya saya tidak ada usaha membudayakan literasi di dalam keluarga saya.

    Pernah saya mendongeng tentang Cinderella, dan pada akhir cerita dia malah bertanya,

    “Pangeran itu apa, Papa?”. Kemudian saya menjelaskan kalau pangeran itu anak cowoknya Raja, kalau anak cewek disebut Putri.

    “Raja itu apa?” lanjutnya.

    Duh, mampus. Masa saya harus menjelaskan sistem pemerintahan monarki pada anak berumur kurang dari tiga tahun? Lalu jika anak saya bertanya kenapa Raja sangat kaya dan banyak orang miskin dan ia merasa itu hal yang tidak adil, kemudian kelak ia menjadi pendukung masyarakat tanpa kelas gimana? Gara-gara dongeng Cinderella lho itu.

  • [Ngibul #77] Perhentian Pertama Membaca Kura-Kura Berjanggut

    author = Olav Iban

    Mulanya saya begah ketika ditawarkan novel ini oleh admin WarungSastra.com.  Yang saya tanya, ono ra novel amrik liyane Steinbeck? Saat itu saya tertarik sangat dengan East of Eden yang baru saja diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Menimbang beban ongkos kirim pesanan buku yang akan dikirimkan dari Kali Code ke sungai Kahayan, tanggung rasanya bila hanya membeli East of Eden.

    Kura-kura Berjanggut wae mas, ujar bakulnya. Mungkin bakulnya merasa ada kemiripan antara realisme Steinbeck dengan Azhari Aiyub. Saya—yang tak kenal penulis Indonesia siapa-siapa—perlu googling dulu mencari nama Azhari Aiyub. Tapi niat itu tertunda karena terbacalah sepenggal sinopsis di caption. Kok rasa-rasanya penceritaan yang begitu pernah saya baca. Di mana?

    Circa 2012, ketika sedang kere-kerenya tidak sanggup beli buku baru, terpaksalah saya culik bacaan acak dari rak buku adik saya yang tidak ada bakat sama sekali punya bacaan oke. Judulnya 20 Cerpen Indonesia Terbaik  2009. Cuma satu cerpen yang saya pilih, itupun karena judulnya paling dowo (saya benci cerpen karena cepet entek) : “Pengantar Singkat Rencana Pembunuhan Sultan Nurrudin”.

    Tuhan Mahabesar. Setelah membaca cerpen itu, pendapat saya cuma satu, dan itu bertahan sampai 2018, yakni: Iki yen ono novele mesti nguangkat pol.

    Memang Tuhan Mahabesar. Kendati di dalam cerpen itu hanya disebut nama Azhari, saya langsung yakin dia Azhari yang sama dengan Azhari Aiyub, penulis Kura-Kura Berjanggut. Maka, oke gus, kura-kura wae!

    Jebul harganya mahal, 195 ribu, dan beratnya setara Harry Potter and Goblet of Fire. Niat memangkas ongkos kirim pun menjadi muspro.

    Mahal namun tak rugi. Dalam sekali buka, hampir-hampir saya tidak mampu berhenti membaca kisah sangkilat si Ujud, mata-mata penuh dendam yang berniat menghabisi Sultan Nurrudin—Sultan Lamuri kedelapan yang makbul melakukan pemberontakan dari dalam Penjara Jalan Lurus dan meruntuhkan kesultanan 200 tahun dalam enam hari bersama para pengemis gembel dan petani merica, lalu membantai seluruh pedagang merica anggota kongsi dagang Ikan Pari kapitalis arkaik. Subhanallah.

    Jauh dari cerpen pengantarnya, novel ini justru dimulai dengan kalimat biasa-biasa saja. Seterusnya membahana. Jalannya cerita disusun dalam pola rapih tapi galawala, struktural tak wajar. Pembaca yang tak awas pasti akan tersesat dalam sudut pandang orang pertama tunggal-nya yang naratif tapi rodo intransitif. Pembaca akan kerap lengah dan lupa siapa objek penderitanya—atau sebaliknya, kehilangan siapa subjek pelakunya.

    Kekayaan kosakata dalam novel ini sungguh menakjubkan, saya mesti menyimpan banyak kata yang tak pernah ditemukan dalam KBBI nomor berapa pun untuk diserahkan pada dewa google yang mahatahu (telat sadar ternyata ada glosarium di bagian akhir buku).

    Menengok teknik penulisan dan pemilihan kalimat, sepertinya Azhari Aiyub menjiwai betul semangat realisme. Datar tapi banyak twist puitis. Melebar ke mana-mana tapi jeli dan patuh rambu. Nyata apa adanya tapi juga sekaligus meluapkan ambisi aneh seperti yang biasa dipunya oleh kaisar-kaisar Roma sebelum menyembelih mesias-mesias palsu. Novel ini membunuh munafiqun dengan kemunafikan. Begitu sturm und drang!

    Membaca bagian awal Kura-Kura Berjanggut adalah sorga sastrawi bagi penyuka kisah-kisah sejarah. Dengan berlatar Kerajaan Lamuri awal tahun 1600-an (di Aceh sekarang) dan percampuran cerita-cerita eksotis tentang mimpi pertarungan gajah buta, tentang penyakit raja singa yang diobati oleh dokter yang juga terkena raja singa, tentang perdagangan budak hitam, sampai politik antarputera-mahkota. Semua disulam kristik utuh jadi satu. Inilah novel dekonstruktif yang semestinya ditempeli stiker Best-S(tory-t)eller.

    Kura-Kura Berjanggut terbagi menjadi tiga bagian, yang pertama diberi nama Buku Si Ujud, yang kedua Buku Harian Tobias Fuller: Para Pembunuh Lamuri, dan terakhir  Lubang Cacing.

    Saya belum selesai bagian pertama, baru sampai halaman 411. Bukan karena lelah, melainkan karena saya harus dinas ke luar pulau. Di situ kadang saya merasa sedih. Kura-Kura Berjanggut (yang sampai halaman 411 belum jelas itu kura-kura apa) bukanlah novel saku. Ini novel batu. Sebagaimana batu yang harus dimasukkan saku untuk menunda rasa kebelet buang hajat, novel 960 halaman ini mau tak mau harus saya ajak perjalanan dinas. Bagaimanapun juga tak elok tahi saya tercecer ke mana-mana selain di ruang ngibul ini. Akhir kata, saya wajib mengutip kalimat Kepala Suku Mojok.co yang sama-sama belum tuntas membaca Kura-Kura Berjanggut, yang demikian, “Kalaulah novel ini belum banyak dibahas di media, tentu bukan karena kualitasnya, melainkan para apresiator dan kritikus yang pasti sedang tenggelam dalam keterpukauan atas novel ini.” Itu Juni lalu, semoga Agustus ini sudah banyak yang membahasnya.

    PS:

    Kata Andreas Nova, saya beruntung mendapatkan cetakan pertama buku ini. Cetakan kedua kabarnya stok buku ghoib, harga naik.

  • [Ngibul #75] Klitih, Hichki, dan Pendidikan Kita

    author = Bagus Panuntun

    Jika ada satu alasan yang membuat orang mulai mengatakan “Jogja tak lagi aman” alih-alih “Jogja berhati nyaman”, barangkali alasan yang paling jamak adalah makin banyaknya aksi klitih di Jogja.

    Klitih sendiri dimaknai sebagai aksi kekerasan remaja untuk menganiaya orang di jalanan dengan target korban yang mana suka. Artinya, tak ada motif pribadi semacam dendam kesumat atau bahkan motif ekonomi seperti  merampok atau mencopet. Motivasi para pelaku konon tertuju demi harga diri mereka di antara teman-teman selingkarannya. Dalam bahasa yang lebih kekinian, motivasi klitih adalah “keren-kerenan” di antara sesama pelaku. Semakin kejam, brutal, dan membuat orang menjadi gempar, maka semakin keren pula mereka.

    Ada banyak pendapat yang mengungkapkan tentang sebab menjamurnya klitih di Yogyakarta. Beberapa berpendapat bahwa klitih lahir dari tradisi tawuran antar sekolah, sementara ada juga pendapat yang mengatakan klitih lahir dari kemuakan warga lokal terhadap semakin banyaknya pendatang di Kota Pelajar, yang seringkali tak paham patrap alias unggah-ungguh alias tata krama hidup di Jogja.

    Pendapat pertama saya kira cukup masuk akal. Klitih pada awal dekade 2.000-an memang identik dengan tawuran antar pelajar. Para pelajar yang kebanyakan pelajar SMA ini, biasanya menghabiskan akhir pekan dengan berombongan dan berboncengan motor, keliling kota, lalu ketika berpapasan dengan pelajar dari sekolah lain, mereka akan mencoba mencari masalah supaya bisa melibas ‘lawan’-nya. Meski demikian, pada awalnya klitih masih terbatas pada aksi saling hantam saja. Tak ada penggunaan senjata tajam, apalagi aksi membunuh secara random seperti sekarang.

    Beralih ke pendapat kedua yang menyatakan klitih hadir dari makin banyaknya pendatang, saya kira pendapat ini sangat perlu kita pertanyakan. Pendapat ini mungkin tak sepenuhnya salah. Kita saat ini memang seringkali melihat para pendatang di Jogja yang kurang srawung dengan masyarakat lokal, bahkan seringkali bersikap eksklusif, dan hanya bergaul dengan teman sesama daerahnya. Namun di sisi lain, saya kira para pendatang juga tak sedikit dalam memberi pemasukan bagi warga lokal yang misalnya berbisnis indekost, kuliner, atau bisnis-bisnis kreatif lain. Sejauh pengamatan pribadi saya, masih ada simbiosis mutualisme antara pendatang dengan warga lokal.

    Tak hanya itu. Dalam relasi yang lebih bersifat humanis, kolaborasi warga lokal dengan pendatang juga punya andil besar dalam mengangkat nama Jogja sebagai salah satu kota paling kreatif di Indonesia. Jika kita bergabung dengan komunitas tertentu di Jogja, kita tentu akan melihat bahwa komunitas-komunitas di Jogja diisi  anggota dengan spektrum yang sangat berwarna: ada warga asli Jogja namun ada juga yang berasal dari Sabang sampai Merauke. Kolaborasi dalam berbagai komunitas ini saya kira justru memperkuat citra Jogja sebagai kota yang pluralis sekaligus multikultural.

    Ketidakpercayaan saya terhadap pendapat kedua semakin kuat ketika bulan ramadhan lalu terjadi aksi klitih yang menewaskan kakak angkatan saya di Fakultas Ilmu Budaya: Dwi Ramadhani alias Kubil.

    Kubil dan Jagal Klitih Berumur 16 Tahun

    Kubil melewati hari terakhir dalam hidupnya dengan membagikan sahur gratis kepada orang-orang jalanan sebelum kemudian tewas dibacok di perempatan Mirota, Jogja. Kematiannya yang tragis namun jatmika kemudian mengundang bela sungkawa tak habis-habisnya, namun tak pelak juga diikuti amarah pada begal pembunuh yang awalnya tak diketahui siapa.

    Setelah beberapa hari dilakukan pelacakan, para polisi dan detektif akhirnya berhasil mengungkap siapa pembunuh tak dikenal tersebut. Namun orang-orang tak pernah menyangka bahwa salah satu sosok yang membunuh Kubil adalah bocah berumur 16 tahun.

    Ketika mendengar berita tersebut, saya mulai memikirkan, apakah benar seorang bocah semuda itu sudah mempersoalkan tingkah-adab para pendatang?

    Pertanyaan ini akhirnya terjawab setelah suatu hari saya menuliskan kegelisahan tersebut di twitter dan mendapat respon dari @lelakibudiman yang mengirimkan tulisan berjudul “Lumrahing Manungsa”. Tulisan di blog pribadi Ahmad Rahma Wardhana ini menyoroti sosok tersangka pembunuhan Kubil, si bocah 16 tahun, yang merupakan tetangganya sendiri.

    Wardhana menceritakan masa lalu bocah tersebut yang ternyata adalah korban perundungan saat masih SD dan SMP. Ia kerap dipaksa dimintai uang, dikeroyok, hingga dikucilkan teman-teman sekelasnya. Namun alih-alih mendapat tanggapan serius dari pihak sekolah, ia justru dua kali dibiarkan harus pindah sekolah hingga akhirnya mendapat teman sepergaulan yang bengis dan barbar.

    Kita tentu paham bahwa kita tidak sedang membela bocah tersebut meski kita tahu nasib pernah merenggut masa kecilnya yang indah. Tetapi dari sini setidaknya kita tahu, bahwa permasalahan klitih tak sekadar hadir karena semakin banyaknya jumlah pendatang. Lebih dari itu, ada sebab yang lebih mengakar dan saya kira hal itu berasal dari pendidikan kita.

    Sejak SD hingga SMA, kita tak sekali-dua kali melihat mereka yang dianggap badung justru semakin disingkirkan. Bimbingan Konseling di negeri kita lebih sering memberi poin hukuman bagi anak-anak bermasalah, alih-alih mendampingi dengan sabar atau mencari tahu sebab-musabab kenakalan mereka. Saya kira hal tersebut yang membuat istilah ‘di-BK’ terkesan sangar dan terdengar buruk.

    Sementara guru-guru di kelas juga tak kalah moralisnya dan biasanya lebih tak peduli mengapa seorang siswa bisa menjadi sangat brandal. Memikirkan hal tersebut, saya jadi teringat satu sosok guru dalam film India berjudul Hichki (2018).

    Hichki dan Bagaimana Naina Mathur Mengajar Kelas 9F

    Hichki berkisah tentang Naina Mathur (Rani Mukerji), seorang guru penderita touerette syndrome, sebuah gangguan neurologis yang membuat penderita tak bisa berhenti cegukan seumur hidupnya. Ia tak bisa mengontrol cegukannya atau bahkan sekadar menahan diri untuk diam selama 5 menit. Lebih lagi, suaranya saat cegukan sungguh keras dengan bunyi “Cak! Cak!” atau “Wak! Wak!” yang aneh betul saat didengar.

    Pada mulanya, penyakit bawaannya membuat Naina harus ditolak 18 kali ketika melamar sebagai guru. Sampai akhirnya, setelah 5 tahun menjaga mimpi, Naina mendapat kesempatan untuk mengajar di St. Notker, salah satu sekolah unggulan yang mau menerima Naina karena dua hal: pertama, Naina adalah alumni St. Notker yang berprestasi, kedua, Naina hanya diberi kesempatan mengajar di kelas 9F, kelas yang dihuni 14 bocah bergajulan dari daerah kumuh Mumbai.

    Bocah-bocah kelas 9F adalah siswa yang bisa diterima di St. Notker karena kebijakan pemerintah India, yang menghendaki setiap sekolah harus menerima murid yang tinggal di sekitar lokasi, terlepas dari kualitas yang mungkin berada di bawah standar. Tujuan program tersebut memang untuk memberi kesempatan bagi anak-anak kurang mampu untuk mengenyam pendidikan berkualitas. Sayangnya, kenakalan penghuni kelas ini membuat tak satupun guru mau mengajar mereka. Sampai akhirnya Naina datang.

    Ketika Naina mendapat kesempatan mengajar di hari pertama, Naina pun dikerjai habis-habisan. Bocah-bocah ini misalnya memasang kursi dengan kaki patah yang membuat Naina terjungkal dan dipermalukan di depan umum. Mereka bahkan menirukan cegukan Naina untuk mengolok-oloknya. Namun alih-alih menyerah dan menyalahkan moral anak-anak tersebut, Naina justru berusaha mencari tahu latar belakang mereka.

    Dalam satu fragmen, Naina yang heran mengapa tak ada satupun orang tua yang datang saat pengambilan rapot, memutuskan untuk datang ke rumah murid-murid 9F. Pada kunjungannya tersebut, Naina akhirnya tahu bahwa murid-muridnya lebih memilih membantu orang tuanya menjual sayur di pasar atau menambal ban di bengkel. Ia juga melihat realitas bahwa mereka tinggal di lingkungan yang mengalami kekeringan dan harus berebut air minum ketika kemarau datang. Dari kunjungannya, Naina akhirnya tahu bahwa penghuni kelas 9F adalah bocah-bocah yang terlahir di lingkungan kumuh dan berada dalam lingkaran setan kemiskinan.

    Dari situlah Naina memutuskan untuk berusaha melakukan apapun supaya murid-muridnya tetap bisa diterima di St. Notker dan punya harapan yang lebih benderang untuk masa depan mereka.

    Film Hichki saya kira sangat kontekstual untuk melihat bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia sekarang. Hichki adalah film yang menyinggung isu diskriminasi dalam lingkungan pendidikan. Dan kita tahu, diskriminasi adalah permasalahan pelik. Sekolah sebagai ruang yang konon menjunjung tinggi nilai kesetaraan, nyatanya selalu memunculkan liyan dalam berbagai ragam bentuknya, mulai dari kaum difabel, mereka yang berasal dari kelas ekonomi ke bawah, atau mereka yang seringkali dianggap nakal dan bodoh.

    Tak hanya sampai di situ, Hichki juga nampaknya mencoba menunjukkan bahwa akar terdalam dari permasalahan pendidikan kita adalah sistem yang terlalu demam pencapaian. Kritik ini ditunjukkan Hichki dengan fragmen-fragmen yang mempertentangkan model belajar kerja keras (hard work) dengan model belajar bersenang-senang (fun).

    Dalam film ini, model belajar yang pertama diwakili oleh Mr. Wadia, guru fisika sekaligus wali dari kelas favorit, 9A, yang orientasi belajarnya sangat terpaku pada silabus. Mr. Wadia adalah perwakilan dari sebagian besar guru yang menolak kelas 9F karena menganggap mereka merepotkan dan memperendah nilai rata-rata siswa. Sementara model yang kedua tentu saja diwakili Naina, yang alih-alih kerap memberikan pelajaran di kelas, justru kerap membawa murid-murid kelas 9F belajar di taman atau lapangan. Ia juga menyempatkan diri untuk bertemu dan ngobrol dengan orang tua murid, makan es krim bersama muridnya, dan membangun kedekatan lain yang lebih bersifat kemanusiaan.

    Menonton Hichki membuat saya berpikir bahwa saat ini kita perlu lebih banyak guru yang berpikir seperti Naina. Guru yang tak sekadar mengajar, namun juga mendengar. Guru yang tak hanya datang ke sekolah, namun juga sudi mampir rumah. Juga guru yang berpikir—sebagaimana dituliskan Timothy D. Walker dalam buku Teach Like Finland—bahwa sistem mendidik perlu menghargai kebahagiaan di atas pencapaian.

    Salah satu kutipan paling terkenal dari film Hichki adalah ucapan Naina bahwa 

    “Tak ada murid yang buruk. Yang ada hanyalah guru yang buruk.”

    Ucapan Naina mungkin tak sepenuhnya benar. Namun kita tahu, guru yang mau berkata demikian adalah guru yang sangat rendah hati. Ia menyadari bahwa guru lebih bisa mengubah murid dibanding murid bisa mengubah guru.

    Jika saja kita semua mau belajar dari Naina, barangkali permasalahan seperti klitih dan kenakalan-kenakalan remaja lainnya bisa teratasi.

  • [Ngibul #73] Dul Kibul Pengen Sekolah Lagi

    author = Asef Saeful Anwar

    Dul Kibul termenung cukup lama. Pesanan naskah drama untuk anak SMP dari seorang kepala sekolah malah ditelantarkannya. Jiwa sentimentalisnya yang kritis itu malah terbawa pada kenangan masa kecilnya. Tiba-tiba ia pengen sekolah lagi.

    Ya, Dul Kibul pengen sekolah lagi. Ia ingin kembali menyaksikan bagaimana bel yang berdentang mampu mengubah Pak Guru yang pandai menyusun kalimat tiba-tiba menjadi begitu mahir membagi dan mengkalikan angka-angka yang berderet panjang hanya dengan sebuah rumus sederhana.

    “Hidup itu harus penuh perhitungan,” kata beliau selepas mengoreksi pekerjaan murid-muridnya yang banyak salahnya.

    “Soalnya kok lebih sulit daripada contohnya ya, Pak,” gerutu Dul Kibul.

    “Sebab dalam contoh kalian hanya menyimak. Kalian tidak mengerjakannya. Kalian tidak melakukan apa pun selain melihat dan mendengar. Jadinya, soal dalam contoh terlihat mudah dan terdengar gampang.”

    “Terus tadi contohnya buat apa, Pak Guru?” Marbakat bertanya seperti menggugat. (Ah, mengapa Marbakat muncul dalam lamunannya? Biarkanlah, biar ramai)

    “Agar kalian tahu cara mengurai dan menyelesaikan masalah.”

    “Tapi akhirnya kami tidak bisa…” Turinah terdengar pasrah dan malas. (Waduh, Turinah, si janda kembang itu, yang lulus SMP langsung nikah, juga ikut-ikutan masuk lamunan. Tak apa. Asal tidak membuat salah fokus.)

    “Untuk menjadi bisa kalian memang harus tidak bisa dulu.”

    “Tapi kenapa soalnya lebih sulit dari contohnya?” Dul Kibul kembali menggerutu.

    “Sebab Bapak percaya kalian bisa mengerjakannya. Dan memang kalian bisa mengerjakannya.”

    “Tapi kan cuma sedikit yang betul.”

    “Biar sedikit yang penting ada yang betul. Akan bertambah banyak betulnya kalau kalian sering berlatih.”

    “Jadi, Pak Guru akan memberi soal lagi? Duh…”

    “Tidak, kalian buat soal sendiri lalu kerjakan sendiri. Kalau tidak bisa kasihkan ke teman semeja.”

    “Kalau nanti kami salah mengerjakannya?”

    “Jangan takut salah. Salah dalam belajar itu tidak dosa. Kita nanti bisa bahas bersama.”

    “Kenapa kami harus buat soal sendiri?”

    “Karena dalam hidup kalian pasti akan membuat masalah. Untuk itu kalian harus tahu jalan keluarnya, atau nanti dibantu teman untuk menyelesaikannya. Saling membantu menyelesaikan masalah adalah pelajaran utama dari kerja kelompok.”

    ***

    Dul Kibul pengen sekolah lagi. Ia ingin menyaksikan banyak keajaiban yang dilakukan Ibu Guru dengan sebatang kapur yang dipegangnya. Dengan sebatang kapur itu, Ibu Guru mampu mengecilkan gunung, rumah, dan sawah serta segala isi dunia ini untuk dipasang di papan tulis. Ibu Guru juga pandai melekatkan nada-nada lagu riang dalam setiap ketukan mistar kayunya. Dan yang paling diingat Dul Kibul, beliau bisa dan biasa membesarkan atau mengecilkan kepala para muridnya hanya dengan bolpoin merah yang digariskan pada pekerjaan mereka.

    “Anak-anakku, kata-kata adalah mukjizat,”

    Demikian Ibu Guru berujar sebelum menggaritkan kapur putihnya pada papan yang hitam, dan dengan doa yang dipanjatkannya tiap malam untuk Dul Kibul dan kawan-kawannya—ya Ibu Guru adalah orang yang amat baik sehingga selalu mendoakan murid-muridnya—beliau mampu mengubah susunan garis-garis kapur putih itu menjadi kata-kata yang berwarna-warni: merah (mereka melihat warna merah), kuning (mereka melihat warna kuning), hijau (mereka melihat warna hijau)….lalu ia menuntun murid-muridnya melewati tangga nada dengan riang gembira. Ah, betapa saat kecil ia dan kawan-kawannya begitu banyak dikenalkan warna dan ketika dewasa mereka justru cenderung melihat segalanya dalam hitam dan putih, seolah tak ada warna lain,

    “Setiap kata, anak-anakku, memiliki jiwa,”

    Ibu Guru hampir selalu berkata demikian menjelang murid-muridnya berdoa sebelum pulang, seperti mantra yang tiada memiliki arti, tapi berkhasiat menenangkan murid-muridnya agar tidak terburu-buru.

    “Buru-buru itu perbuatan hantu, manusia tidak begitu,”

    “Apa di sekolah ini ada hantunya, Bu Guru?” tanya Dul Kibul.

    “Tidak ada. Di sekolah ini, terutama di kelas ini ada banyak malaikat, dan mereka mendekat ketika kalian menulis untuk melihat catatan kalian. Makanya, tulisan kalian harus rapi. Mereka juga tersenyum ketika mendengar kalian membaca.”

    “Apa malaikat bisa mendengar suaraku kalau aku membaca dalam hati?” Marbakat selalu bertanya dengan nada menggugat.

    “Bisa. Selama kalian membaca, baik dalam hati maupun dengan nyaring, mereka mendengarkan. Dan mereka sangat suka mendengarkan saat kalian membaca.”

    “Jadi, malaikat tidak hanya mendengarkan doa ya, Bu Guru?” Turinah bertanya tapi seperti menyimpulkan.

    “Iya, benar. Dan mereka sangat suka manusia yang rajin berdoa. Ayo berdoa dulu sebelum pulang.”

    ***

    Dul Kibul benar-benar pengen sekolah lagi. Ia ingin sekali mengulang dan belajar kembali bagaimana cara berdoa sebelum pulang, sebab sudah berkali-kali ia pulang dari tempat kerja tapi tak pernah berdoa. Sebagai tukang kibul ia memang telah lupa cara berdoa. Dan kini, ia begitu resah bila sewaktu-waktu berpulang tanpa sempat berdoa lebih dulu.

  • [Ngibul #72] Ketika Tidak Ada Waktu dan Ide Menulis

    author = Fitriawan Nur Indrianto
    Lulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.

    Bagi seorang penulis atau setidaknya orang yang punya hobi menulis, kegiatan yang digemarinya itu merupakan hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Sayangnya, seringkali pula karena faktor kesibukan atau karena tidak punya ide untuk digarap ia mengalami “kebuntuan”. Pada kasus pertama, seorang tengah berjibaku dengan berbagai hal yang membuat waktu untuk menulis hanya sedikit atau bahkan tidak ada. Yang pertama itu berhubungan juga dengan yang kedua. Kalaupun sebenarnya ide sudah ada tapi karena tidak ada waktu, maka ide pun tidak bisa digarap. Sementara yang kedua, ini merupakan “penyakit”, karena tanpa ide, tulisan tak akan lahir dan kalaupun lahir, pasti tulisannya akan jelek atau bahkan tidak jelas arahnya.

    Inilah yang saya alami ketika tulisan ini muncul. Saya bahkan mengalami dua masalah tersebut. Pertama tidak punya cukup waktu (sebenarnya pasti ada waktu tapi tidak cukup karena menulis adalah sebuah proses panjang) dan yang kedua adalah tidak punya ide. Yang semakin berat justru ketika dalam situasi paceklik tersebut kita tetap dituntut harus menghasilkan tulisan. Nah, pasti kita akan semakin kalang kabut. Di satu sisi kita pasti tidak ingin menghasilkan tulisan yang ala kadarnya, tidak jelas kemana arahnya tetapi di satu sisi kita pun harus tetap menjalankan kewajiban.

    Lalu apa yang harus kita lakukan dalam situasi seperti itu? Beberapa orang mungkin beruntung karena tuntutan untuk menulis itu lebih fleksibel. Misalnya saja kolom ngibul bagi para redaktur kibul. Tidak ada garis yang jelas apa yang harus ditulis oleh para redaktur Kibul. Dalam situasi itu, redaktur Kibul (saya) masih bisa bernapas lega, karena saya masih memiliki kebebasan untuk menulis apa saja. Akan tetapi dalam konteks yang lebih profesional, hal semacam itu mungkin tidak akan kita temui. Saya banyak bertemu dengan para penulis yang mereka benar-benar dituntut untuk selalu dalam kondisi prima. Artinya, sesibuk apapun mereka harus menulis dan harus menghasilkan tulisan yang bagus. Ketika saya menjadi pekerja tulisan pada tahun-tahun lalu, apa yang saya kemukakaan itu benar-benar terjadi. Tidak menghasilkan tulisan atau tulisan yang kita hasilkan jelek hasilnya adalah kena gamprat bos.

    Inilah yang menjadi masalah. Menulis pada akhirnya bukan sekadar merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat, paragraf dan wacana semata. Siapapun yang mengerti dunia tulis menulis dan sepenuh hati di dalamnya akan memandang kegiatan menulis dan hasilnya: tulisan, adalah sebuah hal yang harus dipertanggungjawabkan. Terlepas tulisan itu dibaca atau tidak oleh orang lain, ia bertanggungjawab akan apa yang telah dihasilkannya itu.

    Dalam kondisi demikian, siapa saja yang memilih memasuki dunia tulis menulis harus sadar bahwa menulis dan menjadi penulis bukan pekerjaan yang mudah. ia memiliki resiko yang cukup besar. Menjadi penulis memang sepertinya menjadi sebuah pekerjaan yang “keren”, tapi untuk menjadi keren juga bukan hal yang mudah.

    Akan tetapi, kalau kita pikirkan kembali, di dunia ini hampir tidak ada hal yang mudah meskipun juga tidak ada yang benar-benar sulit. Dalam konteks pekerjaan lain, saya kira sama halnya dengan demikian. Sesulit apapun kondisinya, kita terpaksa harus melakukan apa yang sudah menjadi tanggungjawab kita. Lalu apa kira-kira yang harus dilakukan jika kita menghadapi situasi yang demikian?

    Pada akhirnya, tarik napas panjang, ambil sebatang rokok (tidak dianjurkan), pikirkan sesuatu dan lakukan dengan sepenuh hati. Dalam kondisi tertentu, ternyata ada hal-hal yang bisa dilakukan sembari berjalan. Ternyata dalam kesempitan, kita masih punya waktu dan dalam kekosongan kita menemukan apa yang nampaknya tidak ada, seperti halnya ide yang toh akhirnya muncul juga.

    Apakah akan semudah itu? Saya kira yang terpenting dalam kondisi seperti itu bukan lagi hasilnya tapi prosesnya. Setidaknya, kita telah mencoba melakukan sesuatu yang sebelumnya kita anggap hampir mustahil. Toh pada akhirnya kita bisa melawan apa yang selama ini kita ragukan. Ternyata kita bisa melampaunya. Lalu bagaimana dengan hasilnya? Hem… Saya kira itu memang problematis. Melakukan suatu hal tanpa persiapan/perencanaan yang matang memang akan sulit. Hasilnya juga tidak akan terlalu memuaskan. Kalau hal itu terjadi, ya mau tidak mau kita harus menerima segala konsekuensi.

    Lalu bagaimana jika kita tetap dituntut untuk menghasilkan sesuatu yang optimal/perfect sementara kita berada dalam kondisi yang tidak sempurna? Dalam dunia kerja misalnya, bos tak peduli pada keadaan kita, taunya hanyalah selesai dan hasilnya baik. Nah loh, “modarkan”?

    Kira-kira apa yang harus dilakukan nih? Ada ide?

    Pendapat Anda:

  • [Ngibul #71] Piala Dunia Rusia 2018, Judi, dan Prediksi

    author = Danu Saputra

    Piala Dunia 2018 masih berlangsung. Pesta bola empat tahunan ini disambut meriah di hampir seluruh penjuru dunia, baik oleh para pecinta sepak bola, penjudi, dan bahkan oleh mereka yang tidak mencintai sepak bola dan membenci judi. Saat ini Piala Dunia sudah sampai pada putaran 16 besar, hanya Perancis, Uruguay, Rusia, Kroasia, Brasil, Meksiko, Belgia, Jepang, Swedia, Swiss, Kolombia, dan Inggris yang masih bertahan hingga saat tulisan ini saya ketik. Beberapa negara yang diunggulkan dalam permainan sepak bola karena keberadaan pemain bintang dalam skuat mereka seperti Jerman, Argentina, Portugal, dan Spanyol, ternyata secara tak terduga sudah harus mengakhiri kiprahnya di Piala Dunia 2018 lebih awal.

    Bagi saya, piala dunia tahun ini mengingatkan pada dua hal. Pertama judi, kedua seorang kenalan yang mengenalkan saya pada judi bola.

    Saya mengenalnya sebagai sosok yang enak diajak bercerita dan cukup bisa diandalkan. Sekali waktu di masa kuliah saya menginap di rumahnya dan meminum Congyang bersama teman-temannya. Dia memiliki buku catatan berwarna hijau yang tidak pernah berada di luar jangkauannya. Belakangan hari saya mengetahui ternyata di dalam buku itu dia mencatat segala sesuatu yang terkait dengan judi bola.

    Darinya, saya kemudian berkenalan dengan judi bola. Sebagai orang yang baru mengetahui tentang judi bola, saya hanya bermain pada taruhan menang, kalah, atau seri alias draw. Kala itu saya punya rumus pakem dalam bermain judi bola. Kalau Anda tertarik, Anda dapat menggunakan rumus pakem saya ini. Seperti ini rumusnya: pasanglah draw pada babak pertama, dan pasanglah menang untuk home pada babak kedua.

    Setelah satu musim bola terlewati dengan menggunakan rumus pakem itu, saya kemudian menyadari ternyata saya lebih banyak kalah dari pada menang. Meskipun saya sadar rumus pakem itu bosok, tapi tetap saja saya merasa jenius seperti Einstein karena saya telah berhasil menciptakan rumus.

    Di musim berikutnya, saya mulai bermain judi bola dengan lebih beragam, seperti menggunakan voor, parlay, tebak skor, dan lain sebagainya. Pada musim ini saya tidak pakai rumus apapun. Pokoknya pasang biar nonton bola jadi gayeng dan niat utamanya untuk menutup kekalahan musim lalu. Musim berakhir dengan sangat ambyar, kekalahan musim lalu tidak tertutup, malah ditambah utang judi sebesar dua juta lima ratus, nilai yang cukup besar bagi mahasiswa rantau seperti saya saat itu. Pada masanya, nilai utang judi itu kurang lebih setara dengan biaya kuliah dua semester.

    Di musim ketiga saya bermain judi bola, dewi keberuntungan mulai menghampiri. Sering menang, jarang kalah. Hutang mulai terbayar dan godaan memasang lebih tinggi selalu datang. Di musim keempat saya mulai menggunakan modal khusus untuk bermain judi, ketika modal habis, saya berhenti bermain, selama modal masih ada saya terus bermain. Musim berikutnya saya tidak bermain judi bola lagi, untuk sementara, karena tidak punya cukup uang dan takut kalah.

    Dua tahun kemudian, saya kembali bermain judi bola. Alasannya sederhana, biar seru nonton pertandingan bola. Nonton pertandingan bola tapi tidak pasang taruhan itu rasanya seperti makan mie ayam tanpa suiran daging ayam, kurang asyik. Saya pasang kecil-kecil aja, titip pasang di teman saya yang juga senang bermain. Lama-kelamaan, karena tidak enak titip pasang terus, saya pasang sendiri secara online.

    Kemarin saya ke Semarang. Sudah bertahun-tahun tidak ke Semarang dan bertahun-tahun pula tidak bertemu dengan kenalan saya yang mengenalkan saya dengan judi bola. Pada kesempatan itu saya bertemu dengannya dan kemudian mengetahui dia sudah lama tidak lagi bermain judi bola. Dia pernah bangkrut, kehilangan kendaraan, dan bahkan masuk penjara karena judi bola. Sekarang kondisinya sepertinya sudah membaik, setidaknya dia tidak sedang dirundung hutang dan masih bisa menikmati berbotol-botol Congyang di depan rumah bersama teman-temannya. Saya sendiri sudah cukup lama tidak minum Congyang, kemarin pun tidak.

    Meski dia tidak bermain judi bola lagi, saya tetap bermain judi bola. Tidak seperti dulu, sekarang saya pasang judi bola tidak lagi pakai rumus-rumusan. Pokoknya siapkan modal, dan pasang sampai modal habis. Kalau modal habis di tengah jalan ya berhenti main. Kalau modal masih ada sampai selesai ya syukur, bisa buat enak-enak.

    Di piala dunia kali ini saya memasang Meksiko sebagai jagoan saya. Di babak 16 besar, saya menjagokan Belgia, Swiss, dan Kolombia. Anda boleh mengikuti pilihan saya, kalau kalah jangan marah, kalau menang jangan lupa sedekah.