Author: Tobma

  • [Ngibul #34] Seorang Belanda yang Memerintahkan Seorang Ronin Jepang Memenggal Kepala Seorang Maluku Demi Bumbu Masak di Pasar Bologna

    author = Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    Ini adalah sebuah kisah tentang seorang Belanda yang memerintahkan seorang ronin Jepang memenggal kepala seorang Maluku demi bumbu masak di Pasar Bologna.

    Kisah ini dimulai di tahun 1477, di sebuah pasar bernama Mercato di Mezzo, Bologna, Italia. Pagi itu seorang nelayan paruh baya sedang dipukuli oleh beberapa  pedagang pasar. Nelayan ini mengaku baru saja tiba dari Florence setelah membeli barang selundupan di pelabuhan Venesia: setengah karung bunga pala—yang ternyata hanya bunga pohon cherry yang dikeringkan. Orang-orang berkerumun menyaksikannya, termasuk juga seorang anak kecil bernama Ludo. Ludo kecil bertanya-tanya, mengapa nelayan itu mau menipu demi tanaman kering? Konon katanya, tanaman pala yang sejati hanya bisa didapat dari sebuah pulau di ujung samudera. Harganya amat sangat mahal melebihi emas. Faktanya, para pedagang di Bologna itu membeli bunga pala dari pedagang Venesia yang sebelumnya membeli dari pedagang di Alexandria yang sebelumnya lagi membeli dari pedagang Arab yang membeli dari pedagang India yang membeli dari pedagang China yang membeli dari pedagang Melayu yang membeli dari penduduk asli pulau di ujung samudera itu. Setiap kali berpindah tangan harganya meningkat 100-200%. Ludo kecil ternganga-nganga mendengarnya.

    Tahun 1510 di Roma, Italia, sebuah buku harian terbit dan menggemparkan komunitas-komunitas petualang Eropa. Buku harian itu ditulis oleh seorang lelaki Italia yang telah melakukan penjelajahan melintasi Semenanjung Arab,  menyusup ke dalam kota suci Mekah dengan mengaku muslim, menembus kerajaan Hindu, mendaratkan kaki di Pulau Raksasa Sumatera, dan mencapai pulau maharahasia penghasil rempah-rempah. Lelaki Italia itu bernama Ludovico di Varthema.

    Sebelum buku harian di Varthema terbit—seperti halnya Mekah—segala tentang muasal rempah-rempah langka bernama pala, sang pelezat masakan di dapur raja-raja Eropa, adalah serba rahasia. Kabur diselubungi awan mitos dan monster-monster laut yang diciptakan dari mulut ke mulut oleh pedangan Arab dan Hindustan di pelabuhan-pelabuhan Eropa. Ada yang bilang asalnya dari pulau dengan cuaca hujan-panas ekstrim yang dihuni naga laut dan dijaga raksasa-raksasa kanibal.

    Selama hampir 1.000 tahun, bisnis rempah-rempah di Eropa dikuasai oleh pedagang Arab. Orang Eropa biasanya hanya bisa membeli secara grosir di pasar-pasar Venesia atau di pelabuhan Alexandria, Mesir. Lebih ke timur dari itu, amat sulit bagi seorang pedagang non-Muslim untuk melintasinya.

    Satu hari setelah Varthema meluncurkan bukunya, rute pelayaran menuju pulau maharahasia akhirnya sampai di mata para penjelajah. Bukan monster dan naga yang menjaganya, melainkan Angin Pasat Tenggara dan sedikit politik demi keuntungan 990%. Dua tahun kemudian, pada tahun 1512, sebuah kapal ekspedisi Portugis akhirnya berlabuh di pulau itu, dan menjatuhkan batu domino ke kisah selanjutnya.

    Gelderland adalah nama kapal Belanda pertama yang melego jangkar di lepas pantai Kepulauan Banda. Hari itu adalah hari Senin, 15 Maret 1599. Dan orang yang pertama-tama turun ke datar bernama Roens Pieterszoon. Beberapa tahun kemudian, setelah beberapa Pieterszoon berikutnya, datang pula ke pulau itu seorang Pieterszoon lain. Kali ini bernama Pieterszoon Verhoeven, seorang laksamana yang membawahi sekurang-kurangnya 1.000 orang bersenjata yang terdiri dari orang Belanda dan beberapa samurai tak bertuan dari Jepang yang disewa oleh VOC.

    Suatu hari yang membosankan, pada tahun 1609, di sela-sela perseteruan dagang dengan Inggris dan Portugis, Laksamana Pieterszoon Verhoeven mendaratkan sepertiga pasukannya ke pulau itu. Penduduk Banda Naira yang tidak siap memilih melarikan diri bersembunyi ke gunung-gunung. Setelah kira-kira satu bulan pasukan Verhoeven menyerbu dan membangun benteng, para pemimpin Banda Naira mengutus orang untuk melakukan perjanjian damai. Pada tengah hari, pada tanggal 22 Mei, sang Laksamana berangkat menuju tempat perundingan dengan penuh percaya diri. Ia ditemani sebagian besar kapten-kapten kapalnya, lengkap dengan sepasukan bersenjata, sampai di tempat perundingan di bawah sebuah pohon di dekat pantai bagian timur Banda Naira. Betapa kecewanya sang Laksamana menjumpai tempat itu kosong, tidak dilihatnya pihak lawan barang seorang.

    Dengan kesal, sang Laksamana menyuruh penerjemahnya menyelidiki di sekitar lokasi. Si penerjemah pun bertemu pihak lawan yang tengah bersembunyi di balik hutan. Kata mereka, “Kami bersembunyi karena ketakutan melihat kalian datang membawa pasukan. Suruhlah pasukan itu pergi. Lalu datanglah ke tempat perundingan baru cukup bersama beberapa orang penting saja untuk menyertai Laksamanamu.”

    Mendengar itu, sang Laksamana yang gagah berani menyuruh pasukannya menjauh. Ia bersama beberapa petinggi lain berjalan menuju lokasi baru yang tidak lain dan tidak bukan hanyalah perangkap mematikan. Pieterszoon Verhoeven terbunuh seketika itu juga. Kepalanya dipenggal dan ditancapkan di tombak perang penduduk Banda Naira. Dua puluh enam orang Belanda lainnya dibantai di tempat yang sama. Empat belas lainnya tewas saat lari di antara hujan tombak. Dari sedikit yang selamat, adalah seorang Pieterszoon lain. Namanya Jan Pieterszoon Coen, seorang juru tulis yang di kemudian hari menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

    Sabtu, 21 Oktober 1600. Di lain tempat, nun jauh di Kepulauan Jepang, ketika kabut tebal menyelimuti lembah sempit Sekigahara, berkumpullah 74.000 pasukan di sisi Timur dan 82.000 pasukan di sisi Barat. Pasukan pertama dipimpin Tokugawa Ieyasu, sementara yang kedua dikomandani oleh Ishida Mitsunari. Kendati selisih kekuatan hampir sebesar 10.000 orang, Kubu Timur justru memenangkan Pertempuran Sekigahara, dan menandai dimulainya kekuasaan Keshogunan Klan Tokugawa selama 250 tahun ke depan yang dikenal sebagai Zaman Edo, zaman di mana banyak samurai tak lagi bertuan.

    Pertempuran Sekigara membawa dampak yang sangat hebat bagi sistem sosial Jepang mengingat ini adalah perebutan kekuasaan, sebuah perang yang menentukan siapa penguasa Jepang. Bahkan kelak, tiga abad kemudian, keturunan dari pihak yang kalah dalam pertempuran ini membalaskan dendamnya lewat Restorasi Meiji. Para bangsawan pendukung kubu Mitsunari yang kalah menderita banyak sekali kerugian. Yang paling kentara ialah dicabutnya hak dan kekuasaan wilayah mereka oleh pemerintahan Tokugawa yang baru berkuasa. Akibat pencabutan ini, banyak samurai kemudian kehilangan tuannya. Dan seorang samurai yang tidak memiliki tuan, tidak laik lagi disebut samurai. Ia menjadi seorang ronin, “pengembara”.

    Luasnya perdagangan Belanda serta berbahayanya misi-misi eksplorasi mereka membuat pihak VOC yang kaya raya turut menyewa para ronin Jepang sebagai anak buah kapal-kapal militer mereka. Tak luput juga sang Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, yang di tahun 1621 melakukan penyerangan ke Kepulauan Banda. Ia membawa satu armada terdiri dari 13 kapal besar, 3 kapal kecil dan 6 perahu layar penuh senjata, disertai 1.665 pasukan Eropa, 286 orang hukuman dari Jawa sebagai pendayung perahu, dan beberapa orang kulit hitam. Turut serta di dalamnya 80 ronin Jepang. Tekad Jan Pieterszoon Coen bulat: melumat keberingasan orang Banda yang dahulu pernah memenggal kepala pimpinannya, lalu menguasai sumber utama dan satu-satunya rempah-rempah pala di dunia.

    Akibat dari penyerangan Jan Pieterszoon Coen berkali lipat lebih kejam daripada pembunuhan yang dilakukan orang Banda tahun 1609. Setidaknya 6.000 rakyat Banda tewas, 789 orang diasingkan paksa, 1.700 melarikan diri ke pulau-pulau kecil, dan masih banyak yang tak tercatat. Beberapa sumber menyebutkan tindakan Coen membinasakan hampir 60% rakyat Banda dari sekitar 14.000 total penduduknya.

    Namun kesadisannya lebih dari itu. Atas perintah Jan Pieterszoon Coen, 32 orang pemimpin Banda dipenggal kepalanya lalu dipotong menjadi empat bagian. Sementara 8 orang sesepuh Banda tubuhnya dipotong empat tanpa memenggal dahulu kepalanya. Keempatpuluh orang itu dieksekusi oleh para ronin Jepang. Berikut catatan dari seorang saksi mata.

    “Sabtu, 8 Mei 1621. Keempatpuluh tawanan digiring bagaikan sekawanan domba. Sebuah kurungan bambu berbentuk bulat dibangun di luar benteng, dan sambil terikat erat dengan tali dan dijaga ketat oleh para penjaga, para tawanan itu dipaksa masuk … Bersama para tawanan itu ada juga enam orang ronin Jepang yang diperintahkan masuk ke pagar bambu, dan mereka memotong perut dan membedah tubuh kedelepan tawanan itu dengan pedang yang tajam menjadi empat bagian. Lalu ketigapuluh dua tawanan lainnya juga mengalami nasib yang sama, dipenggal kepala baru dipotong-potong. Eksekusi ini ngeri untuk dilihat. Para tawanan mati tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kecuali salah seorang di antara mereka berkata, ‘Apakah tuan-tuan tidak merasa berdosa?’. Peristiwa ini sangat mengerikan. Kepala dan potongan tubuh mereka yang telah dieksekusi itu ditancapkan pada ujung bambu, dan dipertontonkan kepada masyarakat.”

    Sejak peristiwa itu, posisi Belanda di Kepulauan Banda tiada tanding. Bahkan orang-orang Inggris sekalipun tak berani keluar rumah selama dua minggu. Dengan memandulkan Inggris dan membantai orang-orang Banda, Jan Pieterszoon Coen berhasil mencapai tujuan Belanda menguasai salah satu pulau terpenting di dunia perempah-rempahan.

    Begitulah kisah tentang seorang Belanda yang memerintahkan seorang ronin Jepang memenggal kepala seorang Maluku demi bumbu masak di Pasar Bologna.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #33] Fragmen, Fakta, Fiksi dan Film

    author = Fitriawan Nur Indrianto
    Lulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.

    Fragmen-Fragmen Tentang Realitas dan Imajinasi

    Duduk atau terbaring di rerumputan sembari melihat langit yang dipenuhi awan merupakan pengalaman yang hampir dialami oleh semua anak kecil. Gumpalan awan yang berwarna putih itu kemudian bergerak akibat tiupan angin dan akan berubah menyerupai gajah, kodok, pesawat, perahu, naga dan lain sebagainya. Di mata anak-anak,  awan telah menjelma menjadi benda atau makhluk yang menghidupi alam pikiran mereka. Bagi anak-anak, imajinasi telah menumbuhkan keceriaan dan mewarnai hari-hari mereka.

    Saya termasuk bagian dari anak-anak itu. Imajinasi saya terbentuk hanya dari sebuah proses alamiah ketika gumpalan uap air yang ada di langit tertiup oleh angin. Dari sana, saya kemudian menuangkan pengalaman yang tak tergantikan itu ke dalam buku gambar. Tapi banyak orang yang memiliki contoh yang lebih “gila.” Konon seorang pria Skotlandia terinspirasi oleh suara ketel yang dipanasi di atas sebuah kompor. Pengalaman indrawinya itu membuatnya terinspirasi menciptakan mesin uap. Karyanya itu menjadi penanda Revolusi Industri yang pada akhirnya akan mengubah wajah dunia.

    Realitas menghasilkan banyak Imajinasi, kata John Lennon. Agaknya, apa yang disampaikan oleh sang musisi ada benarnya.  Fisikawan terbesar abad 20, Albert Einstein pun menyatakan betapa pentingnya imajinasi. Ia bahkan mengatakan bahwa imajinasi lebih berharga dari pengetahuan. Namun apakah benar kata-kata mutiara dari para tokoh terkenal itu kebenarannya bersifat mutlak ataukah sangat kontekstual?

    Suatu hari, seorang seniman terkenal bernama Leonardo da Vinci pernah melukis sebuah karya masterpiece berupa lukisan perjamuan terakhir Yesus Kristus beserta para rasul (Il Cenacolo/The Last Supper (1494)). Lukisan itu sangat terkenal. Namun berabad-abad sesudahnya, tak ada yang menyangka bahwa lukisan da Vinci tersebut tak melukiskan keadaan yang sebenarnya. Sebuah penelitian akhirnya menunjukkan bahwa perjamuan terakhir dilakukan secara “lesehan” berdasarkan adat orang Palestina waktu itu.

     

    Yang Fiksi dan Yang Fakta

    Waktu kuliah S1 dulu, saya pernah mendengar perdebatan mengenai apakah sastra bisa dijadikan sebagai sumber dokumen sejarah atau sebaliknya, karya sejarah (historiografi) bisa dianggap sebagai sebuah karya seni. Ketika berbicara mengenai sejarah maka otomatis kita akan berbicara tentang tulisan, sebab definisi sejarah sendiri adalah menyoal cerita masa lampau ketika manusia sudah mengenai tulisan. Di luar hal tersebut, kerja ilmu sejarah adalah membuat catatan atas peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau. Kerja tersebut disebut dengan historiografi. Karya sejarah memang diambil dari peristiwa-peristiwa yang merupakan rentetan kejadian-kejadian yang terjadi dalam ruang dan waktu. Kejadian-kejadian itu satu sama lain dicari benang merahnya untuk kemudian digunakan sebagai media mengungkapkan fakta dan kebenaran atas peristiwa yang diteliti. Pertanyaannya, apakah dalam semua karya sejarah yang ditampilkan dalam catatan sejarah itu tak mengandung unsur fiksi dan imajinasi sama sekali?

    Jika jawabannya adalah “iya” maka jawaban itu bisa diragukan. Para ahli sejarah pun akan mengakui bahwa akan selalu ada unsur subjektifitas untuk menafsirkan data-data yang diperoleh. Tidak semua data sejarah diambil dari sumber langsung ketika peristiwa terjadi. Data itu bisa saja hanya merupakan tafsiran saksi sejarah yang pada saat kejadian memang menjadi saksi peristiwa. Tentu ada hal-hal yang lepas dari pandangan mata, dari apa yang didengar dan sebagainya mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh indra manusia. Dari penuturan saksi tersebutlah seorang sejarawan kemudian menciptakan narasi mengenai peristiwa yang meski didukung oleh data yang lain, bisa saja narasi sejarah tersebut tidak benar-benar sama dengan realitas.

    Penggambaran mengenai manusia purba zaman prasejarah misalnya, mungkin saja bisa mendekati kebenaran. Namun tak menutup kemungkinan bahwa nantinya akan  ada kesalahan-kesalahan faktual yang diungkap oleh para sejarawan yang kemudian akan mengubah pandang manusia terhadap masa lalunya.  Belum lagi jika kita melihat catatan-catatan sejarah tentang satu peristiwa yang digambaran dengan narasi yang berbeda antara satu penulis sejarah dengan penulis lain. Apakah hal tersebut tidak berpengaruh pada pembacaan? Bukankah setiap kata memiliki makna dan fungsi masing-masing? Apakah kalimat “aku makan nasi” dan “nasi dimakan aku” itu memiliki makna yang sama? (silakan tanya ahli linguistik).

    Sebaliknya, pertanyaan apakah karya sastra bisa dijadikan sebagai karya sejarah juga merupakan pertanyaan yang menarik. Bukankah karya sastra itu dikenal sebagai sebuah karya fiktif (imajinatif)? Namun, bukankah banyak sekali karya sastra yang datanya diambil dari data sejarah? Karya-karya Pramoedya Ananta Toer misalnya hampir sebagian besar diambil dari data sejarah. Pram bahkan memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari data sejarah unuk kemudian dijadikan sumber bagi pelukisan peristiwa di dalam karya fiksinya itu.

     

    Tentang Film Yang Ditonton

    Beberapa pekan ini, perdebatan mengenai penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) mencuat kembali. Film ini memang sudah lama tidak tayang untuk konsumsi massal pasca-reformasi 1998. Namun hampir dua dekade sebelumnya, film ini merupakan tontonan wajib bagi semua warga negara Indonesia. Di masa Orde Baru, film ini selalu diputar setiap tanggal 30 September malam.

    Film berjudul Pengkhianatan G30S/PKI merupakan film yang diproyeksikan sebagai film dokumenter berdasarkan peristiwa yang terjadi pada malam 30 September 1965. Film ini disutradarai oleh Arifin C. Noer dan dibintangi antara lain oleh Umar Kayam, Amoroso Katamsi, dan Syubah Asa. Film ini akhirnya ditayangkan pertama kali untuk publik pada tahun 1984,  hampir dua dekade pasca peristiwa tersebut terjadi.  Film tersebut selanjutnya dijadikan tontonan wajib bagi masyarakat Indonesia di era pemerintahan Soeharto.

    Dalam tulisan ini, saya tidak ingin terjebak pada pembicaraan yang sifatnya politis, mengingat bidang tersebut bukanlah ranah yang selama ini saya pelajari. Saya akan mencoba masuk pada persoalan aspek sejarah dan sastra saja, mengingat background akademik saya lebih dekat pada ranah tersebut. Pada akhirnya, saya akan kembali mengulang mengenai pembahasan antara fakta dan fiksi. Satu frame yang musti dijadikan patokan bahwa film Pengkhianatan G30S/PKI adalah sebuah film. Meskipun ia bisa dikategorikan film bernuansa sejarah tapi pada dasarnya ia adalah film, sebuah media apresiasi yang merupakan wujud dari karya seni. Tentu ada dua hal yang terkandung dalam film tersebut, yakni aspek fakta dan fiksi.                        

    Beberapa saat yang lalu, salah satu stasiun televisi swasta memuat acara yang membahas film tersebut. Narasumber yang diundang adalah Jajang C. Noer, Salah satu tokoh yang terlibat dalam pembuatan film tersebut. Jajang sendiri mengungkapkan bahwa kedua aspek tersebut berperan dalam pembuatan film tersebut. Jajang mengatakan bahwa film tersebut dibuat berdasarkan data sejarah resmi. Artinya, sebuah narasi yang saat itu dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru. Selain itu beberapa data sejarah yang lain didapat dari literatur yang diambil dari Cornell Paper versi CIA. Beberapa tokoh kunci peristiwa tersebut juga dimintai keterangan, diantaranya adalah istri dan anak para jenderal yang menjadi korban penculikan dalam peristiwa G30S.                        

    Meskipun Sang sutradara, Arifin C. Noer mencoba untuk bisa menghasilkan karya yang “persis” dengan peristiwa namun sang pencatat skenario, Jajang juga tidak menampik bahwa unsur imajinatif berperan serta dalam pembuatan film tersebut. Hal itu disebabkan oleh sulitnya memperoleh data termasuk tokoh-tokoh yang bisa dilibatkan dalam pembuatan film tersebut. Pada masa itu, tokoh-tokoh yang dianggap sebagai pelaku dalam pemberontakan itu hampir pasti sudah tak hidup lagi di muka bumi lantaran kalau tidak ditembak di tempat maka akan dihukum mati. Mereka yang mengenal tokoh-tokoh yang disangka kalaupun masih hidup telah mengalami pemenjaraan dan pembuangan. Kala itu, mereka yang masih selamat dan bisa ditemui akan lebih memilih diam jika ditanya mengenai persoalan yang menyeret mereka ke dalam momen paling suram dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, kesulitan untuk mendapatkan data sejarah yang relevan diakui dirasakan oleh tim pembuatan film tersebut. Bahkan tokoh-tokoh “hero” seperti Presiden Soeharto yang terlibat langsung dalam peristiwa tersebut dikatakan Jajang bukan sosok yang mudah dimintai keterangan.

    Jajang mengungkapkan bahwa beberapa bagian yang sepenuhnya berdasarkan tafsiran dan imajinasi semata. Salah satu bagian yang diakui hanya berupa tafsiran belaka adalah mengenai tokoh Aidit. Saat film itu dibuat, data mengenai PKI sangatlah sulit didapatkan apalagi menemukan orang yang bisa ditanya mengenai sosok pimpinan partai komunis tersebut. Hampir-hampir orang memilih menghindar daripada dituduh memiliki kedekatan dengan  tokoh PKI. Akhirnya, gambaran mengenai tokoh Aidit pun direka. Salah satu hasil yang diakui membuat sang sutradara Arifin C. Noer tepuk jidat adalah ketika ia salah melukiskan tokoh Aidit yang merokok, padahal beberapa tahun sesudahnya terungkap bahwa Aidit tidak merokok. Salah satu contoh lain adalah ketika melukiskan adegan penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya. Masih menurut Jajang, sang sutradara pun menggunakan unsur imajinasi untuk melukiskan hal tersebut. Bahkan, Arifin C. Noer pun tak percaya bahwa kematian para jendral akibat penyiksaan, namun ia pun akhirnya melukiskan adegan itu. Bila kita membaca buku sejarah versi lain, konon berdasarkan data visum dokter yang menangani para korban, mereka bukan meninggal karena disiksa dengan silet, dicongkel matanya dan sebagainya melainkan meninggal karena ditembak dan ditusuk.

    Dari paparan tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa film Pengkhianatan G30S/PKI adalah sebuah kerja historiografi yang melibatkan unsur fakta dan fiksi. Ia memang diproyeksikan sebagai sebuah film dokumenter. Data-data yang digunakan pun merupakan data sejarah. Namun sebagaimana kita ketahui, data sejarah yang ada saat itu adalah data tunggal yang berasal dari kerja tim penulisan sejarah Indonesia yang dikomandoi oleh militer.

     

    Tentang Menonton Film

    Wacana penayangan kembali film Pengkhianatan G30S/PKI kembali mencuat ke publik. Panglima TNI pun menginstruksikan jajarannya untuk melakukan acara nonton bareng acara tersebut, termasuk melibatkan masyarakat umum. Atas wacana tersebut, kemudian muncul perdebatan yang lumayan alot mengenai apa maksud dan tujuan acara nonton bareng film tersebut. Ada sebagian yang menganggap bahwa hal tersebut merupakan sinyalemen untuk membangkitkan kembali wacana komunistophobia. Di pihak lain, penayangan film tersebut bermaksud untuk membuat generasi sekarang tidak buta dengan sejarahnya.

    Film Pengkhianatan G30S/PKI kira-kira memiliki durasi tayangan selama 271 menit. Sebenarnya, film tersebut sangat mudah didapatkan karena film tersebut dapat ditemukan di Youtube. Menonton film dengan durasi sepanjang itu tentu saja sangat melelahkan. Terkait dengan wacana penayangan tersebut, pemerintah pun tidak memberikan instruksi berupa pelarangan.

    Meskipun wacana penayangan film tersebut hanya diberikan kepada jajaran aparatur militer namun tak bisa dipungkiri penayangan film tersebut akan berimbas pada publik secara luas. Bagi generasi yang telah menjadi konsumen film itu selama bertahun-tahun mungkin saja akan ada kerinduan untuk kembali menonton film tersebut setelah selama hampir dua dekade tak lagi diadakan nonton bareng.

    Sementara itu, bagi mereka yang sama sekali belum pernah menyaksikan film ini bisa saja menjadi penasaran mengingat kehebohan wacana yang ditayangkan di media massa. Saya kira di era demokrasi sekarang, adalah hak semua pihak untuk menonton film tersebut. Namun tak bisa dipungkiri di alam politik Indonesia, film yang “kontroversial” ini memang akan berimbas ke dalam sektor politik.  Muatan ideologis dan hegemonik yang dikandung dalam film ini kental dengan nuansa sejarah khas versi pemerintah Orde Baru.

     

    Catatan Penutup

    Sebagai generasi muda yang berjarak dengan peristiwa tersebut, tentu kita ingin melihat secara gamblang peristiwa tersebut. Film Pengkhianatan G30S/PKI hanyalah salah satu referensi untuk melihat peristiwa masa lampau. Akan lebih baik jika anda menyempatkan waktu untuk mengkaji buku buku sejarah, mendengar cerita dari kakek nenek anda yang saat itu menjadi bagian dari masyarakat pada masa itu, atau bertanya pada ahli-ahli sejarah. Anda juga bisa mendiskusikan mengenai masalah tersebut di warung kopi atau angkringan (tentu dibutuhkan keberanian untuk memperdebatkan hak tersebut di ruang publik).

    Dengan banyak mencari referensi, maka kita akan mendapatkan banyak pengetahuan mengenai narasi atas masa lalu. Kita bisa saja secara kritis melakukan riset, pendalaman terhadap narasi-narasi sejarah yang telah kita miliki untuk bisa membayangkan bagaimana sebenarnya yang terjadi pada masa lampau.

    Namun sekali lagi, kita adalah generasi yang berjarak dengan masa lampau. Kebenaran yang kita terima adalah kebenaran wacana. Oleh sebab itu alangkah lebih baik menyikapi apa yang kita yakini itu dengan lebih bijaksana, yakni dengan selalu mengedepankan akal sehat, tanpa perlu berteriak  “Ganyang!”

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #32] Cucuk Senthe

    author = Bagus Panuntun
    Power Ranger Merah

    Jika kamu pernah membaca cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri” karya Ahmad Tohari, maka kamu tak akan asing lagi dengan istilah yang jadi judul dalam Ngibul ini. Cucuk Senthe adalah istilah dalam bahasa Jawa yang merujuk pada lelaki dengan dorongan birahi yang meledak-ledak hingga ia tak bisa mengendalikan gairahnya sendiri.

    Dalam cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri”, Sang Cucuk Senthe tersebut adalah seorang lelaki paruh baya bernama Sarpin yang dikenal telah meniduri puluhan atau mungkin ratusan perempuan dan tak pernah menutup-nutupi hobinya tersebut kepada para tetangganya di desa. Alkisah, suatu hari Kang Sarpin berkeluh kesah pada tokoh yang menjadi narator dalam cerpen ini. Dalam curahan hatinya, ia mengaku amat kesal pada burungnya sendiri.

    “Dia amat bandel. Bila sedang punya mau, burung saya sama sekali tak bisa dicegah. Pokoknya dia harus dituruti, tak kapan, tak dimana. Sungguh burung saya sangat keras kepala sehingga saya selalu dibuatnya jengkel. Dan bila sudah demikian, saya tak bisa berbuat lain kecuali menuruti apa maunya (Tohari, 82:2015)”.

    Akan tetapi, Kang Sarpin sungguh-sungguh menyesal dan ingin meraih pertaubatannya. Maka, demi mencapai hal tersebut, ia ingin agar burungnya segera dikebiri. Sadar bahwa tak akan ada mantri sunat yang mau melakukannya, ia kemudian dengan penuh kesadaran datang ke tukang sabung dan potong ayam, membayarnya, lalu memintanya untuk memotong burungnya: burung Kang Sarpin.

    Dalam karya sastra Indonesia, sebenarnya ada juga kisah lain yang menceritakan hubungan manusia dengan burungnya sendiri. Tahu kisah si Ajo Kawir? Ia adalah tokoh utama dalam novel “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (SDRHDT)” karya Eka Kurniawan. Meski tak separah sosok Kang Sarpin, Ajo Kawir saya kira punya potensi besar untuk menjadi Cucuk Senthe. Jauh sebelum dikenal sebagai pria paruh baya yang ngga bisa ngaceng, ia dulunya adalah seorang bocah yang setiap malam tak bisa menahan birahinya untuk tidak mengintip persenggamaan dua orang polisi dengan seorang perempuan gila. Namun berbeda dengan Kang Sarpin yang memilih menghilangkan sifat Cucuk Senthe-nya dengan memotong burung sendiri, Cucuk Senthe Ajo Kawir justru hilang dengan sendirinya. Hal tersebut terjadi setelah ia dipaksa memasukkan burungnya ke saluran peranakan si Perempuan Gila oleh dua polisi yang menangkap basah aksi voyeurisme-nya. Malangnya, tiba-tiba kadar Cucuk Senthe Ajo Kawir benar-benar lenyap sampai ke titik nol. Burungnya tidur panjang dan tak pernah mau bangun lagi meskipun ia usahakan dengan berbagai cara.

    Membaca cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri” dan novel “SDRHDT”  sebenarnya menimbulkan perasaan agak miris bagi saya. Saya percaya, sebagaimana Kang Sarpin atau setidaknya Ajo Kawir, setiap orang memiliki potensi ke-Cucuk-Senthe-an masing-masing. Jauh-jauh hari, Sigmund Freud pernah bilang bahwa tidak ada motif yang lebih valid yang menggerakkan tindakan manusia selain insting libido. Eka Kurniawan juga nampaknya menyetujui hal ini dengan menulis pada novel “SDRHDT”:

    Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala” (Kurniawan, 126: 2014).

    Kutipan di atas sebenarnya mengingatkan kita bahwa manusia tak pernah bisa lepas dari kemaluannya: penggerak utama segala insting libido. Namun saya kira, insting libido sebenarnya bukan hanya suatu insting yang berhubungan dengan gairah seksual atau nafsu birahi semata. Lebih jauh dari itu, insting libido bisa merujuk pada segala nafsu kebinatangan yang melampaui soal makan, minum, dan seks: keserakahan, keinginan membunuh, hasrat pamer kekuatan atau segala sifat lain yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan.

    Coba ingat dengan baik apa yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini. Para wakil rakyat mengorupsi uang KTP sampai 2,8 Trilyun. Uang segitu kalau dihitung bisa untuk membiayai kuliah satu orang di UGM selama 450.000 semester. Atau kalau bingung, uang segitu paling tidak bisa untuk membiayai kuliah 50.000 mahasiswa dari masuk sampai lulus. Gendeng? Tentu tidak segendeng fakta bahwa beberapa hari lalu, justru banyak wakil rakyat lain yang berusaha melindungi pimpinannya supaya tidak berangkat sidang kasus tersebut.

    Tidak usah jauh-jauh ke Rohingya, saat ini banyak orang sekitar kita yang mentang-mentang mayoritas, lalu dengan entengnya berikrar siap menghunus pedang untuk para minoritas “berdarah halal” yang mereka anggap menyimpang karena berbeda.

    Atau marilah kita menengok yang paling dekat pada diri kita sendiri, misalnya seberapa sering kita ingin segera memperlihatkan gawai terbaru, foto makan Escargot pas Euro Trip atau bahkan, haha, pamer buku-buku bacaan? Sadar tidak sadar, diakui atau tidak diakui, tindakan kita tersebut seringkali hanya –meminjam istilah Bordieu—strategi kekuasaan melalui praktik pembedaan diri (la distinction) untuk meraih power di masyarakat. Untuk persoalan ini saya punya saran –terutama untuk diri saya sendiri—, alih-alih sekadar pamer, tulislah pengalaman kita bersama hal-hal tersebut (gawai, makanan, perjalanan, buku) dengan rapi dan menarik, syukur-syukur memberikan pandangan-pandangan hidup yang humanis – selanjutnya kirim ke redaksikibul@gmail.com. Hal tersebut saya kira penting. Kita perlu belajar untuk membiasakan diri memberi sesuatu yang informatif dan reflektif di tengah derasnya informasi yang kebanyakan lebih layak dilempar ke keranjang sampah: ya, seperti foto-fotomu yang sebenarnya blas nggak berfaedah itu. Kurang-kurangin lah…

    Baiklah, melihat berbagai realita akhir-akhir ini, juga apa yang sering kita lakukan setiap hari, saya jadi berpikir bahwa jangan-jangan kita semua adalah seorang Cucuk Senthe? Jangan-jangan kita selalu punya dorongan birahi yang meledak-ledak untuk menunjukkan hasrat kebinatangan kita: keserakahan, keinginan membunuh, hasrat pamer kekuatan? Jangan-jangan, mayoritas masyarakat kita adalah masyarakat Cucuk Senthe? Lalu jika kita tak mungkin menjadi Ajo Kawir yang dorongan birahinya hilang sendiri, haruskah kita memotong paksa burung kita seperti Kang Sarpin? Masalahnya, jika semua orang adalah Kang Sarpin, bukankah hanya kita yang bisa memotong “burung” kita sendiri?

     

    *gambar sampul Novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas cetakan pertama April 2014

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #31] Gara-Gara Tere Liye

    author = About Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.

    View all posts by Andreas Nova →

    Barangkali jika polemik pajak penulis dan Tere Liye sudah bergulir satu dekade yang lalu, mungkin ibu saya tidak akan memberikan restu untuk berkuliah di Jurusan Sastra. Selepas SMA, masuk UGM bukan tujuan utama saya. Predikatnya sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia sudah membuat saya minder. Semula saya lebih memilih main aman untuk mendaftar universitas-swasta-yang-jelas-diterima-dan-tinggal-bayar-lebih atau sekolah-tinggi-yang-kekurangan-mahasiswa-masuknya-mudah-keluarnya-apalagi. Tapi ibu saya mendorong untuk ikut UM UGM. Masuk ya syukur, enggak ya silakan masuk ke universitas-swasta-yang-biaya-kuliahnya-bisa-buat-modal-dagang. Untungnya saya lolos UM UGM. Cita-cita ibu saya untuk melihat anaknya diwisuda di Grha Sabha Pramana pun dikabulkan Tuhan (walaupun harus menunggu selama lima belas semester). Selayaknya ibu yang sayang pada anaknya, ibu ingin masa depan anaknya jelas. Tapi apakah universitas mampu menjamin masa depan? Hanya Fakultas Kedokteran yang menjamin lulusannya bisa menjadi dokter (setelah koas), Yang lain? saya rasa tidak. Tidak semua lulusan hukum menjadi advokat atau notaris, tidak semua lulusan teknik mesin bekerja di pabrik mobil, tidak semua sarjana pendidikan menjadi guru, tidak semua anak filsafat menjadi filsuf dan tidak semua anak sastra menjadi sastrawan. Kebanyakan dari mereka menjadi pegawai bank. Seandainya ibu saya mendengar berita kalau pajak penulis sebesar 245 juta seperti yang dituturkan Tere Liye, mungkin beliau akan menyarankan masuk ke jurusan lain atau bekerja sebagai staff kantor dengan penghasilan yang di bawah Pendapatan Tidak Kena Pajak.

    Gara-gara heboh berita Tere Liye yang memprotes pengenaan pajak penulis yang dirasanya tidak adil tersebut membuka mata masyarakat kita bahwa semakin banyak profesi-profesi yang di luar negeri cukup menjanjikan tapi menjadi tidak menjanjikan ketika sampai di negeri ini. Misalnya pemain sepakbola. Di luar negeri, khususnya di Eropa, pemain sepakbola adalah profesi yang cukup menghasilkan, bermain di liga kasta kedua saja sudah bergaji ratusan ribu euro per tahun, apalagi jika pemain tersebut bermain di liga utama dan klub yang terkenal alhasil gaji dan nilai kontraknya akan bertambah berkali-kali lipat. Jika ditambah wajah yang rupawan, bisalah pundi-pundi uangnya kembali berlipat ganda dari pendapatan iklan—walaupun pajaknya juga berlipat ganda. Misalnya Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro. Seorang anak muda dari Madeira, Portugal, mengawali karier di Sporting Lisbon pada tahun 2002. Kemudian dilirik oleh Sir Alex Ferguson lalu dibeli Manchester United pada tahun 2003, Bermain dari 2003 hingga 2009 di Old Trafford kemudian dibeli Real Madrid sekaligus memecahkan rekor transfer waktu itu dengan harga €94 juta dan kemudian menjadi salah satu atlet terkaya di dunia. Nampak mudah dan menyenangkan ya? Percayalah semua itu hanya wang sinawang. Berapa persen sih kemungkinan anak muda di Madeira untuk menjadi pemain Real Madrid? Tidak mudah walau kemungkinannya tidak nol persen. Tidak hanya butuh kerja keras tapi juga butuh keberuntungan. Profesi pemain sepakbola yang keren dan luar biasa itu menjadi menyedihkan ketika kita melihat kenyataan yang terjadi di negara ini. Ada pemain sepakbola yang setelah pensiun malah menjadi PNS, atau malah jualan es, atau menjadi entah apa setelah fisiknya tak kuat lagi diajak beradu di lapangan rumput. Pemain sepakbola hanya salah satu contoh saja, umumnya semua atlet memiliki kemungkinan untuk menghadapi nasib yang kurang lebih sama jika tidak pandai mengelola keuangannya dengan baik untuk masa depannya. Itu juga kalau ada uang untuk dikelola.

    Penulis lebih menyedihkan lagi. Di luar negeri, setahu saya penulis yang terkenal kere itu cuma Edgar Allan Poe, dan itu sudah lebih dari seabad yang lalu. Penulis seperti Dan Brown, J.K Rowling, Neil Gaiman, Yann Mattel, Paulo Coelho itu nominal royaltinya luar biasa. Padahal mungkin persenan royaltinya tidak jauh beda dengan penulis-penulis Indonesia. Penulis Indonesia itu musuhnya banyak, mulai dari minat baca masyarakat yang mending-kepoin-mantan-di-instagram-daripada-baca-buku, daya beli buku yang di-atas-lima-puluh-ribu-udah-dianggap-mahal-seratus-ribu-mending-enggak-usah-kecuali-buku-penulis-terkenal, penerbit yang kelamaan-bikin-laporan-penjualan-karena-kebanyakan-manipulasi, pembajak buku yang bukunya-dijual-separuh-dari-harga-asli-karena-cuma-fotokopi-yang-kadang-hasilnya-miring-tapi-duitnya-masuk-kantung-sendiri, ditambah pajak yang dipersoalkan Tere Liye.

    Gara-gara Tere Liye, masyarakat jadi terbuka matanya kalau ide yang dituangkan dalam bentuk tertulis itu dikenai pajak. Pajak ada sebagai eksistensi ide. Saya sih setuju saja kalau untuk saat ini pajak bagi penulis dibuat lebih ringan atau malah dihilangkan. Supaya ide dan segala pemikiran kritis dapat meluap dan memperkaya budaya berpikir dan berdiskusi di negara kita. Bahkan jika perlu semua yang menunjang industri perbukuan dari hulu sampai hilir pajak dan birokrasinya dipermudah. Karena industri perbukuan di Indonesia ini belum mapan. Ada beberapa penerbit besar yang menang modal melawan ratusan penerbit kecil yang sama-sama memperebutkan pasar yang kecil. Minat baca kecil, daya belinya juga kecil. Bisnis apa itu? Nggak seksi di mata para investor. Hanya orang yang mencintai buku dan punya gairah terhadap dunia perbukuan saja yang mau berkecimpung di industri perbukuan. Pemerintah berbuat apa untuk meningkatkan minat baca? Mewajibkan pelajar membaca buku selama lima belas menit sebelum pelajaran? Lima belas menit itu dapat berapa halaman? Berapa bulan baru bisa menghabiskan satu buku? Gini mau mencerdaskan kehidupan bangsa? Meh!

    Gara-gara penjelasan Tere Liye yang menyederhanakan ilustrasi hitung-hitungan pajak ini, masyarakat awam menganggap penulis di Indonesia bisa memiliki pendapatan royaltinya satu milyar setahun. Hoax aja ditelan mentah-mentah apalagi mislead information seperti ini. Apalagi kecenderungan masyarakat kita suka mengeneralisasikan semua hal. Kasus Rohingya di Myanmar, yang mau di-grudug Candi Borobudur, atau menganggap semua Liberal adalah PKI terlepas hal itu benar atau salah. Kalau misal memang penulis Indonesia pendapatannya sampai semilyar setahun, berarti budaya membaca masyarakat sudah sangat baik karena minat baca—juga daya beli dan kesadaran masyarakat untuk tidak membeli buku bajakan—meningkat. Bisa jadi muncul banyak Sekolah Tinggi Ilmu Sastra (terserah mau disingkat apa). Penerbit-penerbit berlomba untuk menerbitkan buku yang bermutu, percetakan-percetakan berlomba untuk meningkatkan mutu cetaknya sehingga tidak ada insiden-salah-cetak-bendera-terbalik. Distributor, toko buku dan penjual buku menjadi sama larisnya dengan penjual gawai. Perpustakaan ada di mana-mana dan menjadi center of community. Ide akan dilawan dengan ide, buku dilawan dengan buku bukan dengan laporan kepolisian. Taman Budaya Yogyakarta selalu ramai dengan acara apresiasi sastra, juga negara ini akan aman tenteram loh jinawi. Tapi kan enggak seperti itu. Walaupun tidak berarti kemungkinan penulis Indonesia yang berpenghasilan satu milyar hanya dari royalti buku itu tidak ada sama sekali. Mungkin ada, tapi berapa banyak? Berapa buku yang telah ia tulis? Dengan minat baca masyarakat yang menyedihkan, berapa banyak buku yang harus ia hasilkan untuk sampai angka satu milyar? Akan lebih lucu lagi kalau ada masyarakat yang nggak ngerti soal royalti dan perpajakan asal nyeletuk aja, “Bajigur, pajaké 245 yuta, iso-iso Tere Liye dadi Kere Hore

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    https://kibul.in/ngibul/ngibul-31-gara-gara-tere-liye/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/09/featnova.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/09/featnova-150×150.jpgAndreas NovaNgibulAndreas Nova,Budaya,buku,kibul,Minat Baca,ngibul,Sastra,Tere LiyeBarangkali jika polemik pajak penulis dan Tere Liye sudah bergulir satu dekade yang lalu, mungkin ibu saya tidak akan memberikan restu untuk berkuliah di Jurusan Sastra. Selepas SMA, masuk UGM bukan tujuan utama saya. Predikatnya sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia sudah membuat saya minder. Semula saya lebih…Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul #30] Doa dalam Cerita

    author = About Asef Saeful Anwar
    Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.

    View all posts by Asef Saeful Anwar →

    Setiap petang, ada seseorang yang berdoa dengan membaca buku doa yang kerap dibawanya bekerja. Hari ini dia lupa membawa buku itu. Namun, ia tetap bersimpuh dan berucap:

    “Duhai Tuhan Yang Maha Pengasih, ampunilah hamba-Mu ini karena lupa membawa buku doa, padahal tanpa buku itu aku tidak bisa berdoa dengan baik. Namun, aku akan mengucapkan huruf a sampai z.”

    Dengan suara lirih dan penuh penghayatan diejanya seluruh abjad dari a sampai z, lalu ia meneruskan kalimat doanya:

    “Sebab Engkau Maha Tahu, ya Tuhan, mohonlah kiranya menyusun sendiri huruf-huruf yang kueja tadi menjadi untaian doaku petang ini. Terima kasih, Tuhan, dan semoga Engkau berkenan mengabulkannya. Amin.”

    Konon, di surga Tuhan sangat gembira. Ia berseru: “Wahai para malaikat, inilah doa tulus terindah yang naik hari ini karena datang dari hati yang penuh cinta dan diungkapkan dengan cerdas dan kreatif.”

    ***

    Itu adalah salah satu kisah karangan Anthony de Mello yang saya baca dari buku One Minute Nonsense. Buku itu berisi kisah-kisah singkat penuh pelajaran. Meskipun rekaan, kisah-kisah tersebut mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan, meleburkan peran perasaan dan pikiran ketika membacanya. Sebagaimana saya tahu kemudian, de Mello adalah seorang frater yang aktif bertugas sebagai pemimpin retret dan pembimbing rohani membantu orang untuk berdoa. Ia diundang ke berbagai negara hanya untuk melatih orang-orang berdoa. Termasuk ke Indonesia pada pertengahan Oktober 1976 untuk memimpin pelatihan doa di Girisonta.

    Ketika mengetahui fakta itu, saya kembali membaca bukunya dan menemukan sejumlah kisah yang sepertinya memang disusun demi mengurai kesalahkaprahan sejumlah orang tentang doa. Kisah di atas adalah salah satunya, yang amat jelas menyindir formalitas dalam berdoa yang harus menuruti kalimat-kalimat tertentu dalam buku doa. Hingga ketika tak membawa buku panduan doa dan tak hafal kalimat doa tertentu beberapa orang enggan berdoa dan malahan takut berdosa bila kalimat doanya salah. Cerita ini juga mengingatkan betapa masih banyak orang yang berdoa sebatas mengikuti ritual formal tanpa tahu apa yang didoakannya.

    Ada pula kisah tentang seorang bruder yang merasa tak khusyuk berdoa karena diganggu oleh suara katak, sampai akhirnya ia sampai pada kesadaran bahwa suara itu bukan pengganggu doanya, tapi pengiring doanya. Tentu, ini kisah tentang bagaimana kita semestinya bersikap positif pada apa pun yang terjadi di sekitar kita ketika memanjatkan doa. Bruder di sana hanya refleksi kita sebagai pendoa, dan suara katak hanya metafora yang bisa saja dalam kenyataan berwujud: tangisan bayi, deru kendaraan bermotor konvoi sebuah partai, lagu dangdut dari radio tetangga, suara pengumuman orang meninggal, suara anak kecil di pengeras suara yang tengah memanggil anak kecil lainnya untuk segera ke TPA, dan lain sebagainya.

    Cerita lain, misalnya yang lebih populer dengan beragam versi, tentang seseorang yang menyelamatkan diri di atap rumah pada sebuah banjir. Ia didatangi oleh regu penolong sampai tiga kali, tapi menolak ditolong sebab ia yakin Tuhan yang akan menolongnya sesuai dengan yang ia doakan. Namun, akhirnya ia meninggal karena banjir semakin tinggi. Di akhirat ia protes kepada Tuhan: “Mengapa Engkau tak menolongku padahal aku telah berdoa kepada-Mu?”. Tuhan menjawab: “Aku telah mengirimkan hamba-Ku untuk menolongmu tapi engkau menolaknya.”

    Cerita itu tak lain dari refleksi pernyataan de Mello bahwa penghalang terakhir untuk mencapai Tuhan adalah kata dan konsep tentang “Tuhan” itu sendiri. Pernyataan ini cukup relevan juga bila “Tuhan” di sana diganti “doa”—atau beragam konsep lainnya. Hampir pada setiap kata dan pengertian manusia terperangkap di dalamnya hingga kadang melupakan apa yang riil dan substantif. Seseorang yang berada di atap rumah itu tak paham konsep pertolongan Tuhan dan pemahamannya tentang Tuhan amat terbatas hingga ia menolak sampai tiga kali bantuan yang nyata-nyata datang dari Tuhan.

    Dalam hal doa, ketika seseorang memahaminya sebagai konsep yang ribet dan penuh formalitas, maka ia akan mengamalkan doa dengan keribetan dan keformalitasannya itu. Bila seseorang memandang doa sebagai media memohon segala permintaan, maka ia akan cenderung menjadi peminta-minta. Bila seseorang memandang doa sebagai media bermeditasi, maka ia akan berdoa hanya ketika butuh menenangkan pikiran. Bila seseorang menganggapnya sebagai media berdekatan dengan Tuhan, maka ia akan cenderung menjaga kedekatan itu dengan rutin dan rajin berdoa.

    Perihal keterkabulan doa, de Mello mengatakan: “Kalau Tuhan menghendaki kamu menjadi tabib, Ia akan mengirimkan seorang pasien kepadamu. Jika Ia menghendaki kamu menjadi guru, Ia akan mengirimkan kepadamu seorang murid.” Jadi, terkabulnya doa itu bergantung bagaimana sikap manusia terhadap kejadian-kejadian setelah doa itu dipanjatkan. Hal ini mengingatkan saya pada sebuah dialog dalam film Evan Almighty ketika Tuhan yang menyaru sebagai manusia di sana berujar: Jika seseorang berdoa kepada Tuhan agar dia diberi kesabaran, apakah Tuhan akan memberinya kesabaran atau Tuhan memberinya kesempatan untuk bersabar? Jika seseorang berdoa kepada Tuhan agar berani, apakah Tuhan akan membuatnya berani atau Tuhan memberinya kesempatan untuk menjadi berani?”.

    (Maka, jika kamu seorang perempuan yang tengah rajin berdoa memohon jodoh tapi malah dipertemukan dengan ibu-ibu cerewet nan menyebalkan, ladeni saja, barangkali ia punya anak laki yang kelak jadi jodohmu. Atau kalau ibu-ibu itu tak punya anak laki, barangkali itu cara Tuhan menegurmu agar kamu tidak cerewet, bahwa begitulah rasanya menghadapi orang cerewet. Ya, cerewet, sesuatu yang mungkin selama ini menghalangi terkabulnya doamu. Mungkin lho ya ini.)

    ***

    Meskipun banyak orang yang merasa tercerahkan dengan cerita-cerita serta beberapa petuahnya, sebelas tahun setelah kematiannya, Kardinal Joseph Ratzinger (kelak menjadi Paus Benediktus XVI) dalam sebuah Kongregasi Doktrin Iman pada 1998 menyimpulkan karya-karya de Mello dapat menyebabkan kerusakan iman kristiani yang parah. Tentu, sebagai muslim saya tak bisa masuk ke ranah perdebatan tentang itu, saya hanya ingin menekankan bahwa kisah-kisah de Mello memiliki banyak kemiripan dengan kisah-kisah sufistik yang juga dijadikan sebagai media pencerahan bagi sejumlah sufi—dan sebagian sufi itu juga oleh beberapa pihak dianggap sesat dan cerita-ceritanya yang mengandung mistik juga dikhawatirkan dapat merusak keimanan. Dalam ajaran Budha, kisah-kisah semacam itu juga didapati pada ajaran Ajahn Chah yang kemudian diteruskan oleh anak didiknya: Ajahn Brahm. Konon, Ajahn Chah banyak memengaruhi pemikiran de Mello. Selain itu, de Mello juga sempat menyerap sejumlah kaidah semadi dari Hindu untuk diaplikasikan dalam beberapa pelatihan doanya semata demi mencari cara yang paling sesuai dan nyaman untuk berdoa bagi banyak orang.

    Hingga kini karya-karya de Mello masih banyak diterbitkan dan diterjemahkan ke beragam bahasa yang mendedahkan dua fakta saling mendukung: karyanya memang layak baca dan masih (atau makin?) banyak orang yang kesulitan untuk berdoa.  Sebab doa adalah sesuatu yang universal, diucapkan oleh seluruh manusia, apa pun keyakinannya. Bahkan, tak jarang saya menemui beberapa orang yang dengan tegas menyatakan ke-atheis-annya masih berucap “semoga” dan “mudah-mudahan” seolah mereka tengah berdoa kepada Tuhan yang tak diyakininya. Nah, de Mello mampu menyentuh dari segi bagaimana doa sebaiknya dipandang oleh siapa pun tanpa mengenal batas agama.

    Cerita-cerita kecilnya dan sejumlah petuahnya tidak mengubah keyakinan saya sebagai seorang muslim yang dalam beberapa kesempatan masih berdoa dengan bahasa Arab. Pernyataannya, sebagaimana yang disinggung sebelumnya, bahwa penghalang terakhir untuk mencapai Tuhan adalah kata dan konsep tentang “Tuhan” itu sendiri menurut saya memiliki kaitan yang erat dengan bunyi sebuah hadits qudsi yang menyatakan: “Aku (Allah) sesuai dengan persangkaan hamba-Ku”. Dan yang selama ini banyak menjadi penghalang berhubungan dengan Tuhan adalah persangkaan buruk manusia.

    Saya menyusun tulisan kecil ini sebagai cara mengucap terima kasih pada Anthony de Mello yang lahir di Bombay, India, pada 4 September 1931. Melalui cerita-ceritanya saya dibuat lebih mengerti bahwa doa adalah jalan, sadhana, penghubung kepada Tuhan. Berdoa adalah media berbaik sangka kepada Tuhan. Berdoa itu seperti berpacaran, ia perkara hati, bukan masalah pikiran. Semangkin engkau memikirkan apa yang hendak engkau doakan, maka semangkin sulit engkau berdoa. Apalagi bila engkau masih berpikir: “Apakah Tuhan akan mengabulkan doaku?”.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    https://kibul.in/ngibul/ngibul-30-doa-dalam-cerita/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/09/featasepso2.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/09/featasepso2-150×150.jpgAsef Saeful AnwarNgibulAsef Saeful Anwar,Budaya,Doa,kibul,ngibul,SastraSetiap petang, ada seseorang yang berdoa dengan membaca buku doa yang kerap dibawanya bekerja. Hari ini dia lupa membawa buku itu. Namun, ia tetap bersimpuh dan berucap:
    “Duhai Tuhan Yang Maha Pengasih, ampunilah hamba-Mu ini karena lupa membawa buku doa, padahal tanpa buku itu aku tidak bisa berdoa dengan baik….
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul #3] Di dalam Tubuh Yang Sehat Terdapat Jiwa Yang Nyastro

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    Konon menurut sebuah game strategi yang memasukkan unsur mitologi dan legenda Zeus: Master of Olympus, sebuah negara bisa menjadi besar, makmur dan disegani apabila warganya dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Selain kebutuhan material, kebutuhan lain yang menunjang kemajuan itu adalah kebutuhan akan ilmu pengetahuan, seni dan sastra, serta olahraga. Di dalam game itu, ilmu pengetahuan diwakili oleh bangunan College dan Podium yang menghasilkan seorang filsuf. Kesenian diwakili oleh Drama school dan Theater yang menghasilkan dramawan, sementara olahraga diwakili oleh Gymnasium dan Stadium yang menghasilkan atlet. Jika kebutuhan akan ketiga hal itu terpenuhi warganya menjadi bahagia namun jika tidak, mereka akan ngambeg.

    Kalau kita melihat sejarah, Yunani yang dulunya berisi negara-negara kota seperti Athena, Sparta, Olympia, dan sebagainya memang merupakan salah satu cikal bakal kebesaran peradaban Eropa. Negara-negara kota itupun terkenal menghasilkan para filsuf besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan lain-lain. Sementara itu, kita juga tahu bahwa Olympia merupakan negara kota yang sejak awal sudah menggelar kegiatan olahraga. Nama ajang perlombaan olahraga internasional “Olimpiade” konon juga diambil dari nama negara kota tersebut.

    Beberapa negara besar di dunia juga tidak terlepas dari ketiga unsur tersebut. Negara Inggris misalnya, memiliki universitas-universitas ternama di dunia. Inggris juga melahirkan banyak generasi sastrawan besar, sebut saja William Shakespeare, Charles Dickens dan George Orwell. Di sisi olahraga, Inggris memiliki Liga sepakbola yang paling populer di dunia, dengan klub-klub besar seperti Manchester United, Liverpool, Arsenal dan lain-lain,  pernah melahirkan nama-nama besar seperti Alan Shearer, David Beckham, atau Michael Owen. Negara Paman Sam, Amerika Serikat juga memiliki universitas-universitas besar, memiliki sastrawan-sastrawan hebat dan juga populer dengan olahraga basketnya melalui kompetisi NBA.

    Memang, saya belum memiliki informasi yang akurat apakah seorang filsuf misalnya memiliki hobi berolahraga. Belum juga saya teliti lebih lanjut apakah  Plato pada masanya senang berolahraga atau tidak. Tapi saya menduga, Plato yang juga seorang pecinta sastra itu sewaktu kecil  sempat bermain sepak tekong, gobak sodor atau sepakbola (ala Yunani kuno). Kalau Shakespeare tentu sebagai seorang dramawan minimal jogging bersama kawan-kawannya sebagai pemanasan sebelum berlatih drama. Konon, Shakespeare juga senang bermain tenis. Kalau benar apa yang dikatakan oleh sahabat saya Ramayda Akmal bahwa di Eropa orang lebih senang membaca daripada ngobrol, maka saya bisa berasumsi bahwa pemain bola seperti David Beckham atau yang lain minimal juga membaca dan kemungkinan memiliki hobi yang tak diungkap seperti menulis puisi atau cerpen.

    Kita tentu ingat pepatah mensana in corpore sano bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat pikiran yang sehat. Seringkali kita menduga bahwa para pemikir dan sastrawan lebih sering menghabiskan waktu di kamar dengan pola hidup yang tidak sehat. Tetapi dugaan itu bisa ditepis. Di Indonesia sendiri, saya ingat betul ketika membaca buku Aku karya Sjuman Djaja, bahwa penyair besar kita Chairil Anwar menyukai permainan bulu tangkis. Dalam buku itu, muncul adegan dimana Chairil Anwar merupakan pemuda yang gigih ketika memegang raket, tidak mau mengalah ketika sedang bertanding. Kalau anda sering ikut Maiyah yang dipimpin oleh Cak Nun, anda akan sering mendengar bahwa Cak Nun sejak muda selalu menghabiskan waktu berjalan, pernah juga melakukan perjalanan sunyi mengikuti gurunya Umbu Landu Paranggi.

    Beberapa kawan penulis di Yogyakarta saya amati juga memiliki hobi berolahraga. Sebut saja Mario Lawi, penyair muda itu ternyata jago bermain futsal. Cerpenis Risda Nur Widia hobi bermain skateboard, penyair Indrian Koto, esais Tia Setiadi dan cerpenis Reddy Suzazyt ternyata jago olahraga beladiri Taichi. Beberapa saat yang lalu, saya pun tergabung tanpa sengaja dengan komunitas penulis muda di Yogyakarta dan sepakat untuk setiap seminggu sekali bermain futsal bersama. Beberapa nama penulis muda seperti Eko Triono, Muhammad Qadhafi, Irwan Apriansyah, dan lain-lain tergabung dalam komunitas tersebut. Saya sendiri bukan filsuf, bukan sastrawan maupun olahragawan tetapi alhamdulillah belajar dari tiga hal tersebut, berpikir, bersastra dan berolahraga. Bahkan saya sering tidak bisa menulis puisi kalau badan saya pegal-pegal. Biasanya sebelum menulis puisi atau mengerjakan penelitian ilmiah, saya menyempatkan waktu untuk melakoni olahraga favorit saya yakni bermain basket.

    Di zaman yang bergerak sangat cepat dan manusia dituntut untuk lebih produktif, seringkali ruang-ruang untuk berpikir, berkreasi dan berkeringat tanpa disadari telah terbatasi. Misalkan saja pelajar dan mahasiswa sekarang sudah disibukkan dengan berbagai tuntutan akademik seperti lulus cepat dan sebagainya. Kondisi demikian menuntut mereka untuk menfokuskan diri pada satu hal, kehilangan waktu-waktu untuk mengikuti kelas drama, kelas menulis atau ikut UKM olahraga. Hal yang sama juga dialami oleh para olahragawan. Jadwal latihan yang begitu padat sering membuat mereka harus meninggalkan bangku sekolah atau perkuliahan. Tetapi pendidikan kita sebenarnya memberikan dorongan bagi para pelajar maupun atlet untuk senantiasa bisa berprestasi di bidang masing-masing tetapi tetap memiliki ruang untuk meluangkan  waktunya menyalurkan bakat lain. Dikutip dari salah satu situs online, Direktorat Jenderal Dikti Prof. Intan Ahmad mengatakan bahwa:

    “Kalau tidak mempunyai pendidikan yang baik, jika masa selesai sebagai olahragawan, maka ia akan susah dapat pekerjaan yang baik. Tapi kalau ia punya pendidikan yang bagus dan menjadi seorang olahragawan, maka seseorang itu punya nilai tambah.”

    Perkembangan dewasa ini juga menunjukkan bahwa ruang-ruang untuk melakukan kegiatan fisik sudah banyak berkurang. Di kampung saya dulu terdapat lapangan badminton, bola voli, sepakbola dan ruang-ruang terbuka untuk berolahraga dan bermain namun sekarang nyaris tidak ada. Saya juga melihat banyak anak kecil yang lebih sibuk ngegame di ponsel mereka. Sebenarnya, karena saya juga seorang pecinta game, hal itu sah-sah saja. Hanya, seringkali anak-anak (khususnya di kampung saya) salah dalam memilih game. Mereka cenderung memilih game yang kurang mendidik. Dan yang paling miris, mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di sana, ketimbang melakukan aktivitas yang lain. Kalau saya mengingat masa kecil, adalah kegemaran setiap sore menendang bola, nyaris kegiatan-kegiatan tersebut sekarang hanya diikuti oleh sekelompok anak kecil yang umumnya tergabung dalam sekolah sepakbola. Fenomena ini tentunya agak mengkhawatirkan. Generasi muda kita harus mulai sadar tentang pentingnya olahraga. Tentu, olahraga bukan merupakan satu-satunya elemen. Seperti apa yang dicontohkan oleh game Zeus: Master of Olympus, minimal ada tiga unsur penting yang harus ada yakni ilmu pengetahuan, seni dan sastra sekaligus olahraga.

    Sebenarnya, para pemimpin negara kita sudah memberikan contoh yang bagus. Baru-baru ini misalnya, Presiden Jokowi menyempatkan diri bermain futsal bersama Menpora dan pejabat-pejabat pemerintah yang lain, bertanding melawan para wartawan istana. Selain itu, Jokowi juga ternyata menyukai kegiatan sastra, ia membeli salah satu serial Supernova: Intelegensi Embun Pagi karya Dewi Lestari dan Asal Usul Kota-kota di Indonesia Tempo Doeloe karya Zainuddin HM dalam kunjungannya ke Ambon. Nah, sekarang apakah anda mau jadi orang hebat, menjadi presiden seperti Jokowi? Kalau mau, saran saya gemarilah ketiga kegiatan tersebut. Kalaupun anda tidak menjadi filsuf, sastrawan maupun atlet dijamin anda tetap akan mendapat manfaat, minimal jadi orang cerdas dan sehat. Selain itu, dengan kegiatan-kegiatan tersebut anda juga dapat memiliki banyak relasi dan informasi, mungkin juga bisa ketemu jodoh.

    Dalam beberapa hal, saya juga agak miris melihat beberapa akun instagram. Banyak teman yang lebih sering mengunggah foto wajah dan menu makan malam dibandingkan mengunggah hasil tulisannya (ya ngunggah tulisan di media massa atau kibul.in lah masa di instagram). Saya takut, kecenderungan itu membawa kita ke dalam banyak persoalan. Menurut beberapa informasi, Identitas seseorang akan terlihat dari tingkat konsumsinya atau apa yang ada di kepalanya . Tingkat konsumsi paling rendah adalah jika yang anda pikirkan hanya makan. Kemudian merangkak hanya urusan pakaian. Tetapi kalau sudah beranjak pada tingkat konsumsi buku, maka anda sudah bisa dikatakan “keren”. Sebab seperti kata sahabat Olav Iban: Manusia lebih membutuhkan cerita daripada sesuap nasi. Namun itu belum cukup, mustinya ditambah kasti dan sepak takraw.

    Saya yakin betul, seperti apa yang dicontohkan oleh game Zeus: Master of Olympus, bahwa negara akan menjadi maju jika warganya setidaknya terpenuhi dan sadar akan ketiga kebutuhan tersebut. Dengan sehat jasmani dan rohani, setiap individu akan  memiliki pribadi yang baik. Mereka akan terhindarkan dari hal-hal yang negatif. Jadi, kalau kamu termasuk orang yang sibuk, maka di sela-sela liburmu, luangkanlah waktu untuk membaca, menulis dan berolahraga. Sementara bagi kamu yang memang selo, tidak ada alasan untuk tidak melakukan ketiga hal tersebut, demi kemajuan dirimu dan bangsamu. Percayalah kalau kamu rajin membaca, menulis novel dan rajin berolahraga, penggemar akan banyak. Berani jamin.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Fitriawan Nur Indrianto
    Lulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.
  • [Ngibul #29] Kepada Sahabatku Oei

    author = About Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    View all posts by Olav Iban →

     

    Kepada sahabatku Oei Soerjaningrat,

    Attende, Oei, quid fuisti ante ortum et quod eris usque ad occasum.

    Legi keempatbelas setelah mahapralaya di timur tanah Jawa, kami pulang dari Demak menuju selatan. Kuda-kuda kelelahan setelah dihela paksa mengejar matahari yang terdesak tenggelam. Kami harus segera sampai sebelum malam. Tak ada satu pun dari kami membuka mulut di pemberhentian dekat pesanggrahan Garijawati. Semua membisu, dengan telinga meruncing dan mata terpicing ke segala arah. Jaga-jaga kalau silap tidak waspada. Abu masih turun tipis dari langit. Perlu kau ketahui, Oei, yang bersamaku adalah tujuh tamtama tanpa tombak. Kulit mereka putih pucat terkena abu terus-menerus. Pakaiannya lusuh, namun wajah mereka tak takut bahaya, tak getar dirundung sengsara.  

    Negari kita mendesak hancur, Oei. Sinuwun terlalu kalem pada menteri-menterinya. Janjinya, yang adalah jasmani dan rohaninya, sudah semestinya terpatri di jidat rakyat, kita-kita ini. Tapi Sinuwun lupa. Aku ingin kau membantunya, tapi sudikah orang yang seperti kau mengulur tangan memberi rizki kepada Raja yang buta? Terserah kau. Tugasku hanyalah membaca lalu mengingatkan. Tegur tetangga jika ia terlalu keras menampar istrinya, tapi tidak membalas tamparannya.

    Tadi siang di bawah pohon randu alas pinggir Kali Gadjahwong, ada gelandang setengah telanjang menatapku tajam. Seolah Qadhi Rabbun Jalil al-Akbar. Semakin kudekat, mulutnya komat-kamit. Tahu apa yang tuturnya? Tak ada. Tak sepatah pun. Telingaku seketika tuli sampai matahari kembali tertutup awan. Kau tentu tahu maksudku. Tak perlu juga kurasa menjabarkannya di surat ini.

    Ampun aku melompat bercerita.

    Gulden dan rerempahan sedang keluar masuk di gerbang belakang Astana. Para satria sepuh sepertinya akan melakukan impertere. Makin cepat mahkota jatuh, makin cepat sungai harta mengairi sawah mereka. Anehnya, puluhan telinga yang kupasang di dinding-dinding ndalem tak ada yang menyebutkan pasokan senjata. Curiga kemudian kuarahkan pada gerak-gerakan massa kecil-kecilan. Pasti kau sudah dengar bagaimana pisowanan tak lagi mentas di alun-alun, malah di griya kaum atas sayap kanan, bahkan juga kiri. Kurasa ini periode di mana kita tidak bisa percaya semua orang, Oei.

    Ingat ini. Yusuf, yang dahulu tangan kanan Sinuwun, jangan lagi kau beri tembusan, saranku, tidak selalu ia orang baik. Rohadji pun begitu. Ia orang bersih di lapangan berlumpur tahi. Lalu si putri Kumbokarno lebih memperhatikan apakah tanamannya sudah disiram daripada perut rakyat yang kempis-kembang-tipis, tak perlu juga kau serahkan kepercayaanmu padanya. Ada baiknya kau sedikit melirik pada Kinanti dan Sun Yat Teng, mereka punya kartu bagus di kantongnya. Atau mungkin kau hadaplah sedikit menjauh ada Mulyani, mungkin ia mau pulang dari mancanegari atas bujukmu.

    Oei, sahabatku, pantik agamawi sedang diusung memecah-belah Negari kita. Tak bijak jika kau berpihak pada kelompok ageming aji yang tidak bisa jadi panuntun marang tingkah laku lan ngatonake sapa sejatining diri.

    Kau bagai saudaraku sendiri, Oei. Aku percaya. Kugadang-gadang kau menjadi menteri, tapi kau menolaknya. Kupisah-pisahkan semak dari belukar, tapi kau malah menepi dan bersemedi. Di dalam ruji penjara pula. Ayolah, Oei. Ini juga Negarimu. Salah jika kau hanya diam saja menatap manusia ndableg yang lalu lalang memakai kebijaksanaanmu. Kau biarkan mereka mencuri, Oei!

    Sekali ini, tak kuharap balasan darimu. Cukup hafal aku atas tiap alasanmu. Kau pasti cuma tertawa dan menunjuk jari ke pemuda-pemudi di Negari kita ini. Lihat mereka, Oei, yang saja tak mau peduli pada Negarinya sendiri. Mereka hidup di buwana baru penuh gemilang warna, tidak selalu batu, kayu dan tanah liat seperti kita dulu. Mereka tak tentu arah. Sujud tak punya kiblat. Memetik harpa kidung cinta tapi ingus di hidung saja masih berkerak. Ugal-ugalan congkak keliling kampung dengan tingkah seperti Walanda, tapi lupa memakai pantalon. Kurang ajar lagi. Sok pintar bicara faculteit.

    Sudahlah, Oei. Semua dari kita punya giliran menuju liang kubur. Jangan sisakan budi hanya bagimu. Kau berlagak. Menyanyi dengan telinga tuli. Bagilah untuk kami, mereka yang kau hina. Beri kami makan, Oei. Non audit praecepita venter. Perut yang kosong tak punya kuping untuk mendengar perintah. Alih-alih berbalas surat, aku menunggu turun gunungmu. Jumpa nanti kita di pasamuan.

    Sahabatku, Oei, ada satu lagi yang ingin kubincangkan: perihal perjalanan ini. Ada seorang frater mengundangku bertemu. Sebelumnya empat kiai dan enam bhiku telah tiba atas kehendaknya. Belum mampu khayalku mengira-ngira apa maksud mereka, sepertinys ada risalah yang ingin diluruskan. Tentang pembakaran biara serta gereja kurasa. Oleh sedikit pihak yang mengaku mukmin namun berpedang, agama dibiangkerokan. Aku bukan membela, tapi hidup kedamaian adalah hakikat mukminin, dan makhluk beragama ialah mereka yang menyediakan ruang damai bagi kiri-kanannya. Kita semua menanti suatu Asamkhata yang akan membantu memahami samsara.

    Negari kita punya beragam balok yang wajibnya mampu saling mengisi membangun candi Negari, bukannya saling tempur. Semoga pasamuan nanti membawa hasil.

    Kuda kami sudah selesai minum dan makan. Perjalanan segera berlanjut. Abu masih terus berjatuhan dari langit, semoga Allah segera menghentikannya. Keletihan tamtama pengawalku mulai terpancar dari mata mereka, maka kukirimkan satu orang dari mereka kepadamu untuk hantarkan surat ini sekaligus melepaskan derita dari matanya itu. Tapi hanya satu orang saja. Sisa kami bertujuh yang akan mendekati Desa Pucung, tiga ratus randu lagi Sungai dari Opak. Kelak bila kau mengiang ingin membalas, sampaikan ke sana. Lurahnya dapat dipercaya.

    Kalau bukan mengingat bahwa kau sahabatku, haram aku berani menulis ini. Aku kenal santun hatimu. Kata-katamu sangat berpengaruh pada Sinuwun, itulah sebabnya kusampaikan warta pendahulu padamu.

    Kuakhiri surat ini. Sangat ingin aku bertatapan muka denganmu, tapi kau tahu tugasku selalu berlari dan selalu kukejar. Pikirkan pesan dalam suratku ini. Meskipun hari ini kau tolak, di belakang nanti akan ternyata juga kebenarannya.

    Ut sementes faceris ita metes.

     

    Salam,

    Sahabatmu Mu’aith Yalad

     

     

    Lukisan Potrait of a Nobleman (circa 1915) karya Isaac Israels (1865-1934)

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    https://kibul.in/ngibul/ngibul-29-kepada-sahabatku-oei/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featolav2.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featolav2-150×150.jpgOlav IbanNgibulBudaya,ngibul,Olav Iban,Sastra
     
    Kepada sahabatku Oei Soerjaningrat,
    Attende, Oei, quid fuisti ante ortum et quod eris usque ad occasum.
    Legi keempatbelas setelah mahapralaya di timur tanah Jawa, kami pulang dari Demak menuju selatan. Kuda-kuda kelelahan setelah dihela paksa mengejar matahari yang terdesak tenggelam. Kami harus segera sampai sebelum malam. Tak ada satu pun dari…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul #28] Jakarta Under-koper

    author = About Fitriawan Nur Indrianto
    Lulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.

    View all posts by Fitriawan Nur Indrianto →

    Tahun 2017 ini, release film berjudul Moammar Emka’s Jakarta Undercover yang merupakan film buah karya sutradara Fajar Nugros. Film yang dibintangi oleh Oka AntaraBaim WongTiara EveGanindra BimoTio Pakusadewo, dan sederet nama beken lainnya ini diangkat dari buku Jakarta Undercover karya Moammar Emka, seorang jurnalis yang juga merupakan mantan santri Pesantren Mamba’ul Maa’rif, Jombang.

    Jakarta Undercover mengungkapkan berbagi realitas seksual  yang terjadi di Jakarta. Dengan menyebut nama-nama kawasan secara gamblang, buku tersebut sebenarnya bisa saja disalahgunakan menjadi sebuah ensiklopedi untuk menengok dunia malam Jakarta yang penuh dengan hiburan “selangkang” dengan berbagai varian. Meskipun begitu, penulisnya sebenarnya  ingin menyampaikan pesan sosial di balik tulisan-tulisannya. Dari membaca buku tersebut kita mungkin bisa bertanya, Seperti itukah wajah ibukota? Apakah memang suram, muram, dan buram?

    Apa yang ditulis oleh sang jurnalis mungkin saja memang merupakan sebuah realita. Tapi barang tentu, itu hanyalah potret kecil dari Jakarta yang memang memiliki jutaan lanskap dengan cerita masing-masing. Masih banyak realitas lain yang bisa kita lihat, sudut-sudut lain yang barangkali dari kacamata moralis jauh lebih “baik”.  Tapi sungguh berdasarkan pengalaman saya berada di kota itu selama satu minggu ini, kenyataan yang gelap itu ternyata memang ada di depan mata. Walapun saya tidak benar-benar nyemplung, namun saya bisa melihat dengan cukup jelas betapa Jakarta memang punya cerita.

    Saya punya beberapa cerita. Tidak melulu soal seks. Mungkin tidak kalah buram dari apa yang tergambar dalam buku Jakarta Undercover. Kisah-kisah ini boleh saja hanya dianggap sebagai kumpulan kisah-kisah konyol saja. Meski terkesan subjektif kisah-kisah di bawah ini sebenarnya berdasarkan fakta di lapangan juga.

    Cerita ini saya dapat dari pengalaman tinggal di Jakarta selama seminggu. Ya mulai minggu ini saya bekerja di sebagai jurnalis bola. Beberapa tokoh ini menceritakankan secara langsung pengalaman mereka kepada saya. Untuk menutupi identitas mereka anggap saja mereka itu si Asef, si Nova, si Bagus, si Olav dan si Dede.

     

    1. Asef dan pengalaman Buruk mencari Pekerjaan di Jakarta

    Sejak sebulan yang lalu, Asef mengadu nasib di Jakarta. Ia datang ke kota itu untuk memenuhi undangan interview dari sebuah “tempat kerja” yang berada di daerah Jakarta Timur. Ia datang pasca lebaran di tengah arus balik “Jawa”- Jakarta. Dari komunikasi dengan  pegawai HRD yang meneleponnya, Asef  harus sudah berada di Jakarta pada jam sembilan pagi esok hari, tanpa tolerasi. Artinya Asef hanya punya waktu semalam saja untuk memutuskan apakah ia akan hadir atau tidak. Dengan berbagai pertimbangan, ia akhirnya memenuhi undangan itu. Sore jam 5, ia pergi ke stasiun yang ada di pusat kota untuk mencari tiket berangkat malam itu juga. Sayang, tiket sudah habis. Ia pun “berlari” menuju terminal bus dan akhirnya berangkat dengan bus yang tujuan utamanya ke pulau Sumatera (karena memang dadakan sehingga tidak ada bus yang beroperasi malam itu dengan tujuan Jakarta). Asef pun akhirnya terpaksa naik bus apapun yang mampir ke ibukota.

    Sampai di lokasi, Asef kemudian melapor pada security, menanyakan jadwal interview. Namun tak habis pikir, namanya tidak ada dalam daftar orang yang akan melakukan interview. Asef pun segera menghubungi kembali HRD melalui telepon langsung karena entah mengapa sang HRD tidak membalas pesan sms yang ia kirim. Telepon diangkat dan terjadi dialog antara mereka. Usut punya usut, si Asef salah lokasi interview. Kesalahannya pun fatal, Asef seharusnya tidak interview di Jakarta tapi di kota Cirebon. What???? Praktis karena tidak bisa hadir saat itu juga, interview gagal.

    So, Asef sudah berada di Jakarta. Pulang? Rasanya gak enak banget membawa kabar buruk itu kepada kedua ortunya. Maka ia pun mengambil keputusan untuk tetap tinggal di Jakarta dan mencari pekerjaan baru. Sampai saat ini, Asef tidak tahu siapa yang salah. Apakah si HRD judes yang tidak memberi keterangan dengan lengkap dan malas membalas sms padahal bersedia memberikan konfirmasi, atau Asef yang kelewat nggak ngeh.

    1. Kisah Nova yang ditawar Bencong

    Beda cerita dengan si Nova. Laki-laki ini sudah cukup banyak makan garam di Jakarta. Sayangnya ia masih saja apes. Suatu malam, sepulang kerja ia dihentikan langkahnya oleh seorang waria. Awalnya si waria cuma berdalih meminjam korek. Selepas itu sang waria menanyakan hal-hal yang “seolah-olah” penting. Eh lama-lama ketagihan dan si waria makin ganjen. Melihat wajah Nova yang manis dan mungkin sensual, si waria kini makin horny. Ia mulai mencolek si Nova, mulai dari tangan, perut sampai hampir “anunya”. Kontan si Nova kaget. Hampir saja si Nova berang dan mendorong si waria itu ke sungai. Tapi ia urung melakukannya karena si waria belum berbuat kasar. Tak butuh waktu lama sampai si waria makin menggila dan menawar harga si Nova. Busyeeeet… karena sudah tidak tahan, si Nova pun meninggalkan waria itu sambil geleng-geleng kepala, antara emosi tapi tertawa geli juga.

    1. Bagus yang Marah pada Ahok

    Si Bagus, yang punya tampang kece juga punya cerita. Ia memang gemar dengan dunia malam dan perempuan. Ia bisa jadi adalah orang pertama yang menentang kebijakan Gubernur Ahok karena mengalihfungsikan Kalijodo. Kini kawasan itu sudah tertata rapi dan bersih dari pekerja seks komersial.

    Setelah penggusuran tersebut, Bagus pun mencoba memenuhi hasrat seksualnya dengan lebih sering mampir ke daerah pesing tepatnya di sepanjang jalan Tu Bagus Angke. PSK di wilayah itu bisa dikatakan kelas rendahan. Pelanggannya rata-rata golongan menengah ke bawah. Sayangnya meskipun senang sama yang begituan, si Bagus gak berani jajan di sana entah dengan alasan beda kelas atau kurang nakal. Bagus akhirnya lebih senang nongkrong di dekat diskotik dan  karokean dekat tempat kerjanya. Banyak perempuan pendamping bertubuh sintal nan aduhai yang bekerja di sana. Sayangnya, bos perusahaan melarang karyawannya berurusan dengan diskotik itu. Selain urusan bakal panjang bila terkena masalah, image perusahaan juga dipertaruhkan jika anak buahnya teryata bermoral bejat. Kebijakan Ahok kah yang membuat Bagus tobat?

    1. Olav dan Orang-Orang Kecil yang Dilihatnya

    Sementara itu, si Olav punya cerita lain. Hampir setiap malam ia berjalan kaki dari kantornya menuju tempat ia mendapatkan angkutan kota. Ia musti berjalan kaki sejauh 1 km. Sebenarnya ia bisa saja naik KRL yang tarif sekali jalan 3000 rupiah. Tapi karena gajinya kecil dan ingin irit, Olav pun memilih berjalan kaki. Dari berjalan kaki itulah Olav dapat melihat nasib orang-orang kecil. Ia sering bertemu dengan pedagang Tionghoa yang berjualan mie ayam dengan lapak seadanya di pasar dekat sana. Olav juga sering melihat bagaimana pasukan oranye bekerja keras membersihkan sampah di sungai dan di jalan-jalan. Tapi, kisah yang paling membuat Olav meneteskan air mata adalah ketika ia selalu melihat para sopir angkot bermain judi di pinggir jalan besar, ramai-ramai heboh, tanpa dosa dan tanpa rasa takut. Olav sering berpikir bukankah pendapatan mereka tidak seberapa. Jika kalah, bagaimana nasib anak istri di rumah yang tidak dapat nafkah. Tapi itulah pemandangan yang setiap malam dilihat Olav sepulang pulang kerja.

    1. Dede dan Masjid di Jakarta

    Sebenarnya Dede adalah tokoh paling bejat diantara tokoh-tokoh lain di atas. Tapi ia gemar pergi ke masjid. Ia adalah saksi hidup tentang fenomena tidak mau menyolatkan jenazah si pemilih penista agama. Di berbagai masjid saat momentum jelang pilkada, berbagai spanduk yang bernada provokatif bermunculan. Bahkan beberapa orang memiliki rasa takut untuk mencoblos pasangan x karena takut dianggap sebagai pendukung penista agama. Padahal pemilu menjamin kebebasan memilih dan rahasia pemilih pun dijamin. Dede mendengar narasi itu dari bapak kosnya yang terpaksa memilih pasangan Z karena takut. Padahal sungguh tak ada yang mengintervensi dan mengancam bapak kosnya itu secara langsung.

     Kembali ke soal masjid, nyatanya Dede juga hanya bisa menemukan kedamaian di rumah Tuhan itu. Beberapa masjid di Jakarta ternyata ada yang terbebas dari unsur nuansa politik. Dengan sering datang ke masjid, Dede akhirnya melihat bahwa masih tetap ada kutbah-kutbah Jumat terdengar memberikan pesan yang menyejukkan, terutama tentang indahnya islam.

    Penutup

    Karena terlampu sibuk, saya lupa membubuhkan catatan pembuka bagi tulisan ini. Tapi saya akan tetap memberikan catatan penutup.

    Cerita-cerita di atas mungkin sangat umum dan biasa saja bagi orang Jakarta. Tapi, untuk seorang pendatang baru seperti saya, beberapa cerita di atas bisa membuat shock dan tidak habis pikir. Terlebih bagi mereka yang tidak terbiasa dengan kehidupan kota atau desa yang teratur dan damai.

    Apa yang saya tuturkan di atas boleh anda percaya boleh juga tidak. Jika anda penasaran dengan apa yang saya ceritakan, saya sarankan anda untuk datang sendiri ke Jakarta, menghabiskan minimal seminggu. Bersama saya juga boleh. Insyaallah anda akan betah, kecuali anda tipe orang yang mudah menyerah. Anda bisa belajar dari tokoh-tokoh saya, meskipun mungkin tidak ada yang menarik dari mereka, terlebih cerita soal mereka juga biasa-biasa saja.

    Akhirnya tulisan “ngaco” ini saya tutup dengan sebuah kata

    Ibu….

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    https://kibul.in/ngibul/ngibul-28-jakarta-koper/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featdede28.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featdede28-150×150.jpgFitriawan Nur IndriantoNgibulBudaya,Fitriawan Nur Indrianto,Jakarta,kibul,ngibulTahun 2017 ini, release film berjudul Moammar Emka’s Jakarta Undercover yang merupakan film buah karya sutradara Fajar Nugros. Film yang dibintangi oleh Oka Antara, Baim Wong, Tiara Eve, Ganindra Bimo, Tio Pakusadewo, dan sederet nama beken lainnya ini diangkat dari buku Jakarta Undercover karya Moammar Emka, seorang jurnalis yang juga merupakan mantan santri…Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul #26] Memaknai Kematian, Menghargai Kehidupan

    author = About Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.

    View all posts by Andreas Nova →

    Hari itu selepas shalat subuh, terkadang dilanjutkan oleh adanya berita kematian yang diumumkan dari masjid. Tidak mengagetkan Pakdhe ketika hari itu mendengar kabar Mbah Darmini meninggal dunia. Mbah Darmini memang sudah berusia lanjut. Meskipun beliau suka berkelakar, namun selalu terselip keluhan tentang sakitnya. Namanya orang yang sudah sepuh, ada saja penyakitnya.

    Mbah Darmini tidak menikah. Ia hidup dengan dua keponakannya, Salim dan Marlina yang ia rawat sejak kakak dan kakak ipar mbah Darmini meninggal karena kecelakaan kapal ketika melintasi Laut Jawa menuju Kalimantan. Kedua keponakannya sangat menyayangi mbah Darmini seperti orang tuanya sendiri. Kedua keponakannya sudah berkeluarga dan sudah memiliki momongan. Salim kemudian tinggal di kampung halaman istrinya di Magelang. Mbah Darmini, Marlina, juga suami dan kedua anaknya tinggal di satu rumah. Salim sebulan sekali datang bersama anak dan istrinya untuk menengok dan melepas rindu kepada adik dan pengganti orang tuanya itu.

    Malam hari setelah Mbah Darmini dimakamkan, diadakan tahlilan. Pakdhe selalu mendengar isak tangis Marlina ketika ada tamu—atau mungkin sanak keluarga—yang datang dan mengungkapkan bela sungkawa. Memang sehari-hari Marlina lah yang merawat mbah Darmini. Tangisnya tulus, tidak palsu, seolah seperti kehilangan sesuatu dan takkan menemukan penggantinya. Dan memang demikianlah adanya, hari itu Marlina kehilangan orangtua untuk ketiga kalinya.

    Ingatan Pakdhe menerawang kembali ke masa lalu, ketika bapaknya meninggal dunia. Tidak ada tanda-tanda sakit, hanya batuk-batuk yang jamak dialami para perokok berat. Tiba-tiba saja di suatu malam, beliau terjatuh dari tempat tidur dan tidak bisa menggerakkan sisi kanan tubuhnya. Kepanikan membuat Pakdhe dan ibunya membawanya ke rumah sakit. Sebuah tempat yang akan dibencinya dua pekan kemudian, tepat ketika bapaknya menghembuskan nafas di sana untuk terakhir kalinya. Saat itu pula Pakdhe yang baru berusia seperempat abad harus kehilangan bapaknya, sosok lelaki yang paling dekat dengannya. Tangisnya lepas. Sampai-sampai ia harus ditenangkan oleh Mak Titi, tetangganya yang kebetulan membesuk, namun Yang Maha Kuasa memintanya menyaksikan saat-saat bapaknya pakdhe menghembuskan nafas terakhirnya.

    Pakdhe tidak pernah sesedih itu sepanjang hidupnya. Ibunya mengajarkan sepahit apapun hidup, haruslah dikunyah dan ditelan. Tidak boleh dihindari ataupun dilepeh. Pakdhe tahu betul kematian—juga rezeki dan jodoh—adalah rahasia Gusti Allah. Kematian adalah siklus yang harus dialami oleh manusia, dan itu adalah hak prerogatif-Nya. Bahkan ketika manusia mencoba melangkahi hak-Nya dengan mengambil nyawanya sendiri. Matinya dikabulkan, nyawanya dicabut. Namun konon Gusti tidak menyukai tindakannya yang tidak menghargai anugerah kehidupan yang diberikan-Nya, sehingga Gusti melemparkannya ke neraka.

    Setelah kematian bapaknya, Pakdhe perlahan berubah. Di dalam hatinya ia sadar, kini ia harus menjadi tulang punggung keluarga. Ia harus bisa mencari nafkah untuk ibu dan adiknya, minimal tidak merepotkan ibunya kala itu mengais rezeki dengan membuat nasi liwet setiap pagi untuk dititipkan ke sekolah-sekolah. Pakdhe tidak lagi bermalas-malasan dan nongkrong sampai malam di pos ronda. Pakdhe mulai mengirimkan surat lamaran pekerjaan sambil berdoa supaya ada perusahaan yang mau mempekerjakannya.

    Namun memang benar kata ibunya, Gusti tidak pernah memberikan pencobaan yang melebihi kekuatan manusia. Sebab Gusti setia dan tidak akan membiarkan umat yang beriman kepada-Nya dicobai melampaui kekuatannya. Ia selalu memberikan jalan keluar dari cobaan yang dialami manusia. Tinggal manusia mau keluar dari cobaan atau tenggelam di dalamnya. Pakdhe pun ditarik keluar dari cobaan. Ia mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan kecil sebagai staf administrasi. Hal itu sudah cukup baginya. Namun Gusti juga mengulurkan tangannya kepada ibunya. Nasi liwetnya yang enak membuat salah satu orang tua siswa mencari tahu siapa yang membuatnya. Dari situ pesanan mulai ramai berdatangan, bahkan ibunya sampai mempekerjakan mbok Sumi dan Maryati tetangganya untuk memenuhi pesanan. Bahkan kini ibunya membuka usaha katering kecil-kecilan. Perlahan keterpurukan mulai sirna. Pakdhe dan ibunya bahkan mampu menguliahkan adiknya yang kini berkuliah di sebuah kampus swasta jurusan pendidikan.

    Ibunya Pakdhe memang seorang perempuan yang luar biasa. Biarpun ia dan suaminya adalah orang yang kurang mampu, namun ia dan suaminya bertekad menguliahkan kedua anaknya. Ia yakin pendidikan anaknya akan mampu mengangkat derajat keluarganya. Bahkan dalam hal memaknai kematian pun Pakdhe banyak belajar dari perempuan yang melahirkannya ini. Ibunya pernah kehilangan bapak, ibu, saudara—kakak tertuanya juga adiknya yang bungsu, anaknya—yang terlahir prematur dan hanya bertahan hidup 3 jam—juga suaminya. Bayangkan sudah berapa banyak air mata yang ia curahkan untuk menangisi kematian-kematian itu? Pakdhe tahu betul kesedihan ibunya. Namun semangat hidup ibunya terus terpancar di matanya.

    Pakdhe ingat betul ibunya pernah berucap kalau kematian memang akhir dari hidup manusia, tapi bukan berarti akhir dari hidup manusia di sekitarnya. Selama manusia masih dianugerahi nafas untuk hidup, hidupnya harus berarti. Tidak harus untuk orang banyak, setidaknya untuk keluarga dan sekitarnya sehingga hidupnya menjadi hidup. Jika ia tidak mengenal ibunya, mungkin akan sulit dipercaya kata-kata sebijak itu keluar dari mulut bakul nasi liwet. Namun memang kebijaksanaan bukan milik para pemikir dan cerdik cendekia saja, terkadang dari obrolan kere bersama tukang becak dan kuli bangunan juga dapat ditarik pelajaran.

    Setelah tamu Marlina pulang, ia mendekatinya dan menepuk bahunya.

    “Yang sabar, sekarang kamu harus hidup untuk suami dan anakmu. Selalu ada alasan untuk mengisi hidup. Maknailah hidupmu.”

    Setelah mengucapkan hal tersebut, Pakdhe pulang ke rumahnya yang hanya berjarak tiga rumah dari situ. Ia kemudian merebahkan badannya ke kasur kapuk. Ia menutup matanya, tanpa tahu esoknya setelah shalat subuh berita kematiannya diumumkan.

     

     

    *Lukisan Laura Kranz berjudul Drink of Death

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/ngibul/ngibul-26-memaknai-kematian-menghargai-kehidupan/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featno.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featno-150×150.jpgAndreas NovaNgibulAndreas Nova,Budaya,kibul,ngibulHari itu selepas shalat subuh, terkadang dilanjutkan oleh adanya berita kematian yang diumumkan dari masjid. Tidak mengagetkan Pakdhe ketika hari itu mendengar kabar Mbah Darmini meninggal dunia. Mbah Darmini memang sudah berusia lanjut. Meskipun beliau suka berkelakar, namun selalu terselip keluhan tentang sakitnya. Namanya orang yang sudah sepuh, ada…Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul #25] Perkara Buang Air

    author = Asef Saeful Anwar

    Eni marah kepada Sepat, ibunya yang sudah berusia lanjut, karena masih saja buang air besar di saluran irigasi desa meskipun di rumahnya telah dibuatkan WC. Sepat biasa buang air besar dini hari di atas jembatan pintu saluran irigasi. Tetangga sudah mafhum—tapi tak kunjung maklum—bahwa bila pagi hari ada tinja yang menempel di tebing dinding pintu saluran irigasi berarti milik Sepat. Beberapa orang menjadi saksi, Sepat-lah satu-satunya orang yang masih buang air besar di saluran irigasi, dan Eni yang menanggung malu karena bisik-bisik tetangga itu.

    Pada saat yang lain, ketika ibunya dirawat di rumah sakit, justru Eni yang kena marah pegawai rumah sakit karena ketahuan jongkok di atas kloset duduk. Barangkali kualat karena sering marah-marah kepada ibunya, ia jatuh saat jongkok hendak BAB. Ia terpeleset dari kloset dan menimbulkan gaduh hingga pegawai rumah sakit menolongnya lalu memarahinya. Ketika ditanya mengapa jongkok di atas kloset, Eni bilang: “Kalau duduk nggak keluar-keluar.” Saat itulah Eni baru sadar jawabannya mirip dengan jawaban ibunya ketika ia marah-marah: “Kalau di rumah nggak keluar-keluar.”

    Buang air besar adalah masalah personal. Masing-masing orang memiliki kebiasaan yang kadang tak bisa diterima oleh nalar orang lain. Termasuk kebiasaan Sepat dan Eni di atas. Tapi itulah yang berlaku sebab buang air besar memang masuk pada kategori aktivitas yang manja-manja-gimanagitu. Bagaimana tidak, hanya untuk mengeluarkan sesuatu yang sudah ditakdirkan keluar pun orang masih butuh prasyarat. Maka, ada orang yang bisa pups kalau sambil merokok, ada yang harus beristinja dengan air karena merasa kurang afdhal menggunakan tisu, ada yang malu pada suara buang angin atau jatuhnya feses sehingga butuh WC yang memiliki kran untuk meredam kegaduhan itu dengan suara air yang mengalir, ada yang harus sambil membaca, ada yang harus sambil bermain ponsel, bahkan ada yang harus sambil ngemil! Dan segala prasyarat lainnya yang mengacu pada kebutuhan akan kenyamanan. Tapi, faktor kenyamanan yang pertama dirasakan adalah tempat, sebelum masuk pada kebiasaan-kebiasaaan manja seperti dicontohkan di atas.

    Data Joint Monitoring Program WHO/UNICEF 2015 mencatat bahwa sebanyak 51 juta penduduk Indonesia masih berperilaku BAB sembarangan. Jumlah ini naik dari penelitian sebelumnya melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2012, yakni sebanyak 39—40 juta orang. Padahal, sebagian dari mereka yang BAB sembarangan itu sudah memiliki WC di rumahnya. Diksi sembarangan dalam data itu sebenarnya bisa dipersoalkan bila melihat tempat “pembuangan” yang dijadikan lokasi adalah tempat terpilih seperti sungai, saluran irigasi, atau tepi pantai. Adapun mengapa mereka memilih tempat-tempat itu dibandingkan WC mengantarkan pada pertanyaan: sejak kapan WC ada di rumah mereka? Pertanyaan itu yang perlu dijawab sebab orang yang dalam masa pertumbuhannya tidak bersinggungan dengan kakus cenderung akan merasa tidak nyaman dikurung dalam ruang yang disebut kamar kecil itu. Seperti halnya orang yang sudah terbiasa berbasuh dengan air tiba-tiba dipaksa menggunakan tisu, secara praktik mungkin tak masalah, tapi secara psikologis itu mengganggu, ada perasaan jorok, merasa masih kurang bersih, takut masih berbau, dan lain sebagainya.

    Selain pertanyaan itu, apabila WHO atau Kemenkes akan mengadakan survei kembali sebaiknya juga mulai mencari variabel lain terkait aktivitas BAB penduduk Indonesia. Misalnya, mencari data perbandingan antara penduduk yang BAB dengan cara duduk dan cara jongkok, antara yang cebok dari depan dan dari belakang, antara yang punya kakus siram dan kakus pencet, antara yang pakai tisu dan pakai air, dan lain sebagainya. Baiklah kalau WHO dan Kemenkes punya cara pandang bahwa BAB yang benar adalah dengan duduk, cebok yang bersih itu dari depan, kakus yang hemat air itu yang pakai pencetan dan ada tisunya, tapi pandangan itu akan mentok pada penyuluhan-penyuluhan tak berkesudahan bila tak mampu memahami pola pikir masyarakat dan menempatkan mereka selalu dalam posisi salah. Dengan data-data sekitar perilaku BAB yang nanti didapatkan akan diketahui cara paling mangkus mengubah perilaku buruk mereka yang sudah terlanjur dalam kebiasaan “sembarangan” sekaligus mengajarkan generasi mendatang tentang adab buang air yang baik dan sehat.

    Yang jelas, jangan terlalu gegabah menyimpulkan bahwa penduduk Indonesia telah banyak menggunakan tisu untuk cebok hanya dari naiknya penjualan tisu toilet dari tahun ke tahun. Percayalah tisu itu lebih banyak untuk mengusap mulut daripada buat mengelap onderdil pembuangan. Sebab kita sama-sama tahu ada begitu banyak tisu toilet yang tersesat di warung makan dan kita senantiasa enggan bin segan menyadarkan dan mengembalikan mereka ke tempat yang benar.

    Lalu bagaimana dengan perilaku buang air kecil sembarangan? Nah, kalau kegiatan ini memang sembarangan karena dilakukan dekat tembok, bawah pohon, roda bus, rel kereta, selokan, dan segala tempat lainnya yang diyakini tidak dihuni jin. Maka untuk ini, tidak perlu saya sertakan data. Cukup lihat lingkungan sekitar Anda, terutama pasar, terminal, dan stasiun, adakah di sana tulisan yang melarang untuk tidak pipis sembarangan? Bila masih didapati, berarti aktivitas itu masih nyata.

    Ketersediaan fasilitas publik berupa toilet umum memang terbatas. Toilet bandara dan stasiun khusus disediakan bagi penumpang, sementara di terminal toilet justru seperti dibisniskan. “Kencing aja bayar” adalah kalimat yang menunjukkan kegagalan negara mengurus masalah buang air kecil. Di sisi lain, masih banyak warga yang ketika buang air kecil tidak tertib, seperti tidak disiram atau mencoret-coret tembok toilet dengan tulisan-tulisan jorok. Bahkan, di sebuah mal di Kota Malang, saya pernah mendapati tulisan untuk tidak pipis di lantai pada pintu sebuah bilik (lihat gambar). Tidak mungkin imbauan itu muncul bila petugas cleaning service di sana tak sering mendapati orang yang mengarahkan air seninya pada lantai, bukan pada lubang kloset. Atau bisa jadi lapisan urine di lantai sangat tebal yang tidak mungkin terjadi bila pipis dilakukan dengan baik dan benar sesuai kaidah pertoiletan.

    Sebab lain selain kurangnya fasilitas toilet umum adalah masih adanya anggapan bahwa buang air kecil sebagai perkara darurat sehingga dilakukan di mana pun dianggap tak jadi masalah. Buang air kecil dianggap lebih sulit ditahan daripada saudara besarnya. Pelaku pipis sembarangan tak akan mempan dengan larangan-larangan melalui tulisan. Mereka juga kebal dengan penyuluhan tentang dampak buruk dari perilakunya. Segala penyakit dengan nama ilmiah yang sulit diingat tak bisa jadi gertakan. Bahkan, ancaman-ancaman siksa kubur juga diabaikan. Sekali lagi, karena mereka menganggap buang air kecil adalah persoalan darurat yang tak bisa diundur sehingga segala hukum menjadi gugur.

    Padahal, kalau mau, pipis bisa diatur. Bila tak percaya perhatikan toilet di bioskop yang ramai sebelum jam pemutaran, juga toilet saat acara wisuda yang diisi oleh para wisudawan yang tidak sekadar ingin mengalami sensasi pipis sambil pakai toga, tapi juga agar tidak ingin pipis saat acara berlangsung. Cara mencegah keadaan “darurat” demikian lebih baik daripada upaya yang banyak dilakukan penumpang pesawat atau kereta api yang memilih menahan pipis sepanjang perjalanan meskipun ada fasilitas toilet di dalamnya, dan ketika tiba di bandara atau stasiun, mereka akan langsung ke toilet hingga menyebabkan antrean.

    Perkara buang air telah lama disinggung oleh nenek moyang kita dalam peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Sayangnya, peribahasa itu lebih banyak ditafsirkan—bahkan seperti diseragamkan sehingga saat ada tafsir lain dianggap salah—dari sisi pendidikan tentang pentingnya guru sebagai tauladan. Jika dikaji lebih dalam, peribahasa itu juga menyiratkan betapa pendidikan adab buang air itu juga penting. Ada banyak analogi tentang keteladanan, tapi mengapa justru kencing—sesuatu yang dekat dengan najis—yang dipilih dalam peribahasa itu? Silakan direnungkan. Dan bila Anda adalah seorang lelaki, silakan dicerna apakah peribahasa itu menyindir cara kencing berdiri?

    Itu saja, saya mau cebok dulu.

     

    *foto karya Bambang Priantono, diambil dari sini

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/