Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #30] Doa dalam Cerita

author = About Asef Saeful Anwar
Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.

View all posts by Asef Saeful Anwar →

Setiap petang, ada seseorang yang berdoa dengan membaca buku doa yang kerap dibawanya bekerja. Hari ini dia lupa membawa buku itu. Namun, ia tetap bersimpuh dan berucap:

“Duhai Tuhan Yang Maha Pengasih, ampunilah hamba-Mu ini karena lupa membawa buku doa, padahal tanpa buku itu aku tidak bisa berdoa dengan baik. Namun, aku akan mengucapkan huruf a sampai z.”

Dengan suara lirih dan penuh penghayatan diejanya seluruh abjad dari a sampai z, lalu ia meneruskan kalimat doanya:

“Sebab Engkau Maha Tahu, ya Tuhan, mohonlah kiranya menyusun sendiri huruf-huruf yang kueja tadi menjadi untaian doaku petang ini. Terima kasih, Tuhan, dan semoga Engkau berkenan mengabulkannya. Amin.”

Konon, di surga Tuhan sangat gembira. Ia berseru: “Wahai para malaikat, inilah doa tulus terindah yang naik hari ini karena datang dari hati yang penuh cinta dan diungkapkan dengan cerdas dan kreatif.”

***

Itu adalah salah satu kisah karangan Anthony de Mello yang saya baca dari buku One Minute Nonsense. Buku itu berisi kisah-kisah singkat penuh pelajaran. Meskipun rekaan, kisah-kisah tersebut mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan, meleburkan peran perasaan dan pikiran ketika membacanya. Sebagaimana saya tahu kemudian, de Mello adalah seorang frater yang aktif bertugas sebagai pemimpin retret dan pembimbing rohani membantu orang untuk berdoa. Ia diundang ke berbagai negara hanya untuk melatih orang-orang berdoa. Termasuk ke Indonesia pada pertengahan Oktober 1976 untuk memimpin pelatihan doa di Girisonta.

Ketika mengetahui fakta itu, saya kembali membaca bukunya dan menemukan sejumlah kisah yang sepertinya memang disusun demi mengurai kesalahkaprahan sejumlah orang tentang doa. Kisah di atas adalah salah satunya, yang amat jelas menyindir formalitas dalam berdoa yang harus menuruti kalimat-kalimat tertentu dalam buku doa. Hingga ketika tak membawa buku panduan doa dan tak hafal kalimat doa tertentu beberapa orang enggan berdoa dan malahan takut berdosa bila kalimat doanya salah. Cerita ini juga mengingatkan betapa masih banyak orang yang berdoa sebatas mengikuti ritual formal tanpa tahu apa yang didoakannya.

Ada pula kisah tentang seorang bruder yang merasa tak khusyuk berdoa karena diganggu oleh suara katak, sampai akhirnya ia sampai pada kesadaran bahwa suara itu bukan pengganggu doanya, tapi pengiring doanya. Tentu, ini kisah tentang bagaimana kita semestinya bersikap positif pada apa pun yang terjadi di sekitar kita ketika memanjatkan doa. Bruder di sana hanya refleksi kita sebagai pendoa, dan suara katak hanya metafora yang bisa saja dalam kenyataan berwujud: tangisan bayi, deru kendaraan bermotor konvoi sebuah partai, lagu dangdut dari radio tetangga, suara pengumuman orang meninggal, suara anak kecil di pengeras suara yang tengah memanggil anak kecil lainnya untuk segera ke TPA, dan lain sebagainya.

Cerita lain, misalnya yang lebih populer dengan beragam versi, tentang seseorang yang menyelamatkan diri di atap rumah pada sebuah banjir. Ia didatangi oleh regu penolong sampai tiga kali, tapi menolak ditolong sebab ia yakin Tuhan yang akan menolongnya sesuai dengan yang ia doakan. Namun, akhirnya ia meninggal karena banjir semakin tinggi. Di akhirat ia protes kepada Tuhan: “Mengapa Engkau tak menolongku padahal aku telah berdoa kepada-Mu?”. Tuhan menjawab: “Aku telah mengirimkan hamba-Ku untuk menolongmu tapi engkau menolaknya.”

Cerita itu tak lain dari refleksi pernyataan de Mello bahwa penghalang terakhir untuk mencapai Tuhan adalah kata dan konsep tentang “Tuhan” itu sendiri. Pernyataan ini cukup relevan juga bila “Tuhan” di sana diganti “doa”—atau beragam konsep lainnya. Hampir pada setiap kata dan pengertian manusia terperangkap di dalamnya hingga kadang melupakan apa yang riil dan substantif. Seseorang yang berada di atap rumah itu tak paham konsep pertolongan Tuhan dan pemahamannya tentang Tuhan amat terbatas hingga ia menolak sampai tiga kali bantuan yang nyata-nyata datang dari Tuhan.

Dalam hal doa, ketika seseorang memahaminya sebagai konsep yang ribet dan penuh formalitas, maka ia akan mengamalkan doa dengan keribetan dan keformalitasannya itu. Bila seseorang memandang doa sebagai media memohon segala permintaan, maka ia akan cenderung menjadi peminta-minta. Bila seseorang memandang doa sebagai media bermeditasi, maka ia akan berdoa hanya ketika butuh menenangkan pikiran. Bila seseorang menganggapnya sebagai media berdekatan dengan Tuhan, maka ia akan cenderung menjaga kedekatan itu dengan rutin dan rajin berdoa.

Perihal keterkabulan doa, de Mello mengatakan: “Kalau Tuhan menghendaki kamu menjadi tabib, Ia akan mengirimkan seorang pasien kepadamu. Jika Ia menghendaki kamu menjadi guru, Ia akan mengirimkan kepadamu seorang murid.” Jadi, terkabulnya doa itu bergantung bagaimana sikap manusia terhadap kejadian-kejadian setelah doa itu dipanjatkan. Hal ini mengingatkan saya pada sebuah dialog dalam film Evan Almighty ketika Tuhan yang menyaru sebagai manusia di sana berujar: Jika seseorang berdoa kepada Tuhan agar dia diberi kesabaran, apakah Tuhan akan memberinya kesabaran atau Tuhan memberinya kesempatan untuk bersabar? Jika seseorang berdoa kepada Tuhan agar berani, apakah Tuhan akan membuatnya berani atau Tuhan memberinya kesempatan untuk menjadi berani?”.

(Maka, jika kamu seorang perempuan yang tengah rajin berdoa memohon jodoh tapi malah dipertemukan dengan ibu-ibu cerewet nan menyebalkan, ladeni saja, barangkali ia punya anak laki yang kelak jadi jodohmu. Atau kalau ibu-ibu itu tak punya anak laki, barangkali itu cara Tuhan menegurmu agar kamu tidak cerewet, bahwa begitulah rasanya menghadapi orang cerewet. Ya, cerewet, sesuatu yang mungkin selama ini menghalangi terkabulnya doamu. Mungkin lho ya ini.)

***

Meskipun banyak orang yang merasa tercerahkan dengan cerita-cerita serta beberapa petuahnya, sebelas tahun setelah kematiannya, Kardinal Joseph Ratzinger (kelak menjadi Paus Benediktus XVI) dalam sebuah Kongregasi Doktrin Iman pada 1998 menyimpulkan karya-karya de Mello dapat menyebabkan kerusakan iman kristiani yang parah. Tentu, sebagai muslim saya tak bisa masuk ke ranah perdebatan tentang itu, saya hanya ingin menekankan bahwa kisah-kisah de Mello memiliki banyak kemiripan dengan kisah-kisah sufistik yang juga dijadikan sebagai media pencerahan bagi sejumlah sufi—dan sebagian sufi itu juga oleh beberapa pihak dianggap sesat dan cerita-ceritanya yang mengandung mistik juga dikhawatirkan dapat merusak keimanan. Dalam ajaran Budha, kisah-kisah semacam itu juga didapati pada ajaran Ajahn Chah yang kemudian diteruskan oleh anak didiknya: Ajahn Brahm. Konon, Ajahn Chah banyak memengaruhi pemikiran de Mello. Selain itu, de Mello juga sempat menyerap sejumlah kaidah semadi dari Hindu untuk diaplikasikan dalam beberapa pelatihan doanya semata demi mencari cara yang paling sesuai dan nyaman untuk berdoa bagi banyak orang.

Hingga kini karya-karya de Mello masih banyak diterbitkan dan diterjemahkan ke beragam bahasa yang mendedahkan dua fakta saling mendukung: karyanya memang layak baca dan masih (atau makin?) banyak orang yang kesulitan untuk berdoa.  Sebab doa adalah sesuatu yang universal, diucapkan oleh seluruh manusia, apa pun keyakinannya. Bahkan, tak jarang saya menemui beberapa orang yang dengan tegas menyatakan ke-atheis-annya masih berucap “semoga” dan “mudah-mudahan” seolah mereka tengah berdoa kepada Tuhan yang tak diyakininya. Nah, de Mello mampu menyentuh dari segi bagaimana doa sebaiknya dipandang oleh siapa pun tanpa mengenal batas agama.

Cerita-cerita kecilnya dan sejumlah petuahnya tidak mengubah keyakinan saya sebagai seorang muslim yang dalam beberapa kesempatan masih berdoa dengan bahasa Arab. Pernyataannya, sebagaimana yang disinggung sebelumnya, bahwa penghalang terakhir untuk mencapai Tuhan adalah kata dan konsep tentang “Tuhan” itu sendiri menurut saya memiliki kaitan yang erat dengan bunyi sebuah hadits qudsi yang menyatakan: “Aku (Allah) sesuai dengan persangkaan hamba-Ku”. Dan yang selama ini banyak menjadi penghalang berhubungan dengan Tuhan adalah persangkaan buruk manusia.

Saya menyusun tulisan kecil ini sebagai cara mengucap terima kasih pada Anthony de Mello yang lahir di Bombay, India, pada 4 September 1931. Melalui cerita-ceritanya saya dibuat lebih mengerti bahwa doa adalah jalan, sadhana, penghubung kepada Tuhan. Berdoa adalah media berbaik sangka kepada Tuhan. Berdoa itu seperti berpacaran, ia perkara hati, bukan masalah pikiran. Semangkin engkau memikirkan apa yang hendak engkau doakan, maka semangkin sulit engkau berdoa. Apalagi bila engkau masih berpikir: “Apakah Tuhan akan mengabulkan doaku?”.

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

https://kibul.in/ngibul/ngibul-30-doa-dalam-cerita/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/09/featasepso2.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/09/featasepso2-150×150.jpgAsef Saeful AnwarNgibulAsef Saeful Anwar,Budaya,Doa,kibul,ngibul,SastraSetiap petang, ada seseorang yang berdoa dengan membaca buku doa yang kerap dibawanya bekerja. Hari ini dia lupa membawa buku itu. Namun, ia tetap bersimpuh dan berucap:
“Duhai Tuhan Yang Maha Pengasih, ampunilah hamba-Mu ini karena lupa membawa buku doa, padahal tanpa buku itu aku tidak bisa berdoa dengan baik….
Bicara Sastra dan Sekitarnya