Author: Tobma

  • 2 B R 0 2 B [Kurt Vonnegut]

    author = Devi Santi Ariani

    Semuanya benar-benar sempurna.

    Tidak ada penjara, gelandangan, rumah sakit jiwa, orang-orang cacat, kemiskinan, atau pun perang. Semua penyakit telah ditaklukan, begitu juga dengan masa tua. Populasi masyarakat Amerika stabil di angka empat puluh milyar jiwa.

    Suatu pagi yang cerah, di sebuah Rumah Sakit Chicago Lying-in, seorang pria bernama Edward K. Wehling, Jr., menunggui istrinya yang tengah bersalin. Ia satu-satunya yang menunggu. Tidak lagi banyak bayi yang lahir dalam sehari.

    Wehling berusia enam puluh enam tahun, masih tergolong sangat muda dalam populasi dimana semua orang rata-rata berumur seratus dua puluh sembilan tahun. Hasil X-ray menunjukkan bahwa istrinya akan melahirkan bayi kembar tiga. Tiga bayi itu adalah anak pertamanya. 

    Wehling muda duduk membungkuk di kursi, kepalanya ditumpukan pada kedua telapak tangan. Ia sangat kusut, tidak banyak bergerak dan pucat hampir tembus pandang. Kamuflase yang sempurna melihat suasana ruang tunggu juga sesuram dirinya. Kursi-kursi dan asbak telah disingkirkan, lantai ditutupi tumpukan lap penuh percikan cat. Ruangan itu sedang didekorasi ulang. Didekorasi sebagai memperingati seorang pria yang telah meninggal dengan suka rela. 

    Seorang pria getir berusia sekitar dua ratus tahun, duduk di atas tangga, melukis sebuah mural yang tidak ia suka. Dulu, pada hari-hari dimana penuaan dapat dilihat dengan mata telanjang, orang-orang akan mengira ia berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Ia telah menua selama itu sebelum obat anti penuaan ditemukan. 

    Mural yang sedang ia kerjakan menggambarkan sebuah kebun yang sangat rapi. Pria dan wanita berpakaian putih, dokter-dokter dan suster-suster, mengolah tanah, menanam benih, menyiangi serangga dan menaburkan pupuk.

    Pria dan wanita dalam pakaian serba ungu mencabuti rumput, menebang tumbuhan yang sudah tua dan rapuh, menyapu dedaunan dan membawanya ke pembakar sampah. Tidak pernah ada satu kebun pun—bahkan tidak di Belanda pada abad pertengah atau Jepang, yang begitu dirawat seperti kebun pada lukisan itu. Setiap tanaman mendapatkan semua hal yang mereka butuhkan; cahaya, air, udara dan nutrisi.

    Seorang perawat berjalan menyusuri koridor sambil menyenandungkan sebuah lagu populer:

    Jika kau tak suka ciumanku, sayang,

    Ini yang akan kulakukan:

    Akan kutemui gadis berbaju ungu,

    Dan ucapkan selamat tinggal pada dunia yang sendu,

    Jika kau tak inginkan cinta ini,

    Kenapa juga dunia harus ku isi?

    Kan kutinggalkan planet tua ini,

    Oleh bayi manis, biar tempatku diganti.

    Perawat itu menatap si Pelukis dan muralnya. “Terlihat sangat nyata,” ucapnya, “Sampai-sampai bisa ku banyangkan diriku berdiri di dalamnya.”

    “Apa yang membuatmu berpikir kau tidak berada di dalamnya?” ucap si Pelukis. Ia tersenyum satir, “Kau tahu, mural ini berjudul ‘Kebun Kehidupan yang Bahagia’.”

    “Itu lukisan Dr. Hitz yang sangat bagus,” ucap si Perawat. 

    ___

    Ia menunjuk saah satu figur berpakaian putih, yang kepalanya diisi potret Dr. Benjamin Hitz, kepala obstetri rumah sakit itu. Ketampanannya Hitz begitu membutakan.

    “Masih banyak wajah yang harus diisi,” ujar si Perawat. Maksud ucapannya adalah banyak wajah dari figur-figur dalam mural itu masih kosong. Wajah-wajah kosong itu akan diisi dengan potret dari orang-orang penting dari staff rumah sakit atau Kantor Biro Penghentian Federal Kota Chicago.

    “Pasti luar biasa rasanya bisa menggambar sesuatu semirip aslinya,” ujar si Perawat.

    Wajah si Pelukis membeku dalam ekspresi mencemooh, “Kau pikir aku bisa bangga dengan lukisan dangkal semacam ini?” ucapnya. “Kau pikir seperti ini menurutku kehidupan seharusnya?”

    “Memang bagaimana menurutmu kehidupan seharusnya?” tanya si Perawat.

    Si Pelukis melambaikan tangannya pada kain lap kotor. “Ini perumpamaan yang bagus,” ucapnya. “Bingkailah, dengan begitu kau bisa bayangkan gambaran yang jauh lebih jujur daripada yang ada di dinding ini.”

    “Kau ini bebek tua yang sangat murung, bukan begitu Pak Tua?”

    “Apa itu salah?” ucap si Pelukis.

    Si Perawat mengangkat bahu. “Kalau kau tak suka di sini, Kakek Tua—” ucap si Perawat, dan ia menyelesaikan kalimatnya dengan pengucapan nomor telepon untuk orang-orang yang sudah tak mau hidup lagi. Angka nol dalam rangkaian nomor telepon itu dibaca “naught”, kosong.

    Nomornya adalah “2BR02B.”

    Itu adalah nomor telepon sebuah institusi yang punya banyak julukan termasuk : “otomat,” “Pulau Burung,” “Pabrik Pengalengan,” “Easy Go,” “Selamat tinggal, Ibu,” “Happy Hooligan,” “Sheepdip,” “Tak-Ada-Tangis-Lagi,” dan “Kenapa khawatir?”

    2BR02B, to be or not to be adalah nomor telepon Ruang Eksekusi Kota milik Biro Penghentian Federal.

    Si Pelukis menjempol hidungnya di depan perawat. “Ketika aku memutuskan untuk mati,” ujarnya, “aku tak akan mati di tempat itu.”

    “Kau lebih suka melakukannya sendiri, ya?” timpal si Perawat. “Itu perkara kacau dan merepotkan, Kakek Tua. Kenapa kau tidak memikirkan orang-orang yang harus membersihkan sisa-sisa mu?”

    Si Pelukis memperlihatkan dengan seksama, ketidakpeduliannya atas kerepotan orang-orang yang harus melakukan pembersihan.

    “Dunia ini butuh lebih banyak kekacauan, kalau kau tanya padaku,” ucapnya.

    Si Perawat tertawa dan berlalu pergi. Wehling, si Calon Ayah, menggumamkan sesuatu tanpa mengangkat kepala. Dan kemudian, ia kembali terdiam. 

    Seorang wanita yang nampak tangguh melangkah kasar dengan sepatu hak tinggi. Sepatunya, stoking, jubah, tas dan topi; semuanya ungu. Warna ungu yang dideskripsikan si Pelukis sebagai ‘warna anggur saat Hari Penghakiman’.

    Medali pada tas musette ungunya adalah tanda dari Divisi Pelayanan, Biro Penghentian Federal; seekor elang bertengger di atas pintu putar.

    Si Wanita punya banyak sekali bulu wajahnya, sebuah kumis. Itu bukan lagi hal aneh tentang penjaga kamar eksekusi, tidak peduli seberapa cantik dan feminim mereka saat direkrut, semuanya akan berkumis dalam waktu lima tahun. 

    “Apakah ini tempat yang seharusnya saya kunjungi?” ujarnya pada si Pelukis.

    “Tergantung apa keperluanmu,” timpalnya. “Kau tidak akan melahirkan, bukan?”

    “Mereka bilang saya harus berpose untuk mural,” jawabnya. “Nama saya Leora Duncan.” 

    Ia berhenti, menunggu.

    “Dan kau mendorong orang-orang?” ucapnya.

    “Apa?” jawab Leora.

    “Lupakan,” ucap si Pelukis.

    “Itu lukisan yang sangat menawan,” ujar Leora kemudian. “Terlihat seperti surga atau semacamnya.”

    “Atau semacamnya,” ujar si Pelukis. Ia mengambil daftar nama dari saku. “Duncan, Duncan, Duncan,” ujarnya, memindai daftar. “Ya—ini dia. Kau harus dilukis. Kau lihat tubuh-tubuh tanpa wajah ini, pilihlah. Putuskan dimana kau ingin aku menempelkan wajahmu. Kita punya beberapa pilihan saja yang tersisa.”

    Si Wanita mempelajari mural dengan suram, “Wah,” ujarnya, “semuanya keliatan sama bagiku. Aku tidak tahu apa-apa soal seni.”

    “Tubuh ya cuma tubuh, ya?” ucap si Pelukis. “Baiklah, sebagai ahli seni rupa, aku merekomendasikan yang satu ini.” Ia menunjuk lukisan tubuh tanpa wajah seorang wanita yang membawa tongkat pembakar sampah.

    “Umm..” gumam Duncan, “yang itu lebih cocok untuk bagian pembuangan, kan? Pekerjaanku lebih melayani, bukan membuang.”

    Si Pelukis menangkupkan telapak tangannya dengan gaya mengejek. “Tadi kau bilang tak tahu apa-apa soal seni, lalu kau membuktikan kau tahu lebih banyak dari yang aku tahu! Tentu saja yang itu tidak pantas untuk penyambut tamu sepertimu kan. Kau lebih seperti penembak jitu, pemotong—ya lebih cocok untukmu.” Ia menunjuk figur berbaju ungu yang tengah memotong ranting mati dari dahan pohon apel. “Bagiamana dengan yang ini?” ucapnya. “Kau suka?”

    “Ya ampun—” ucap Duncan, bersemu malu—“Itu, kalau yang itu, aku akan akan berdiri di samping Dr. Hitz.”

    “Itu mengganggumu?” tanya si Pelukis.

    “Tentu tidak!” jawabnya. “Hanya—hanya saja, itu sebuah kehormatan.”

    “Ah, kau.. kau mengaguminya, ha?” ujar si Pelukis.

    “Siapa yang tidak mengagumi Dr. Hitz?” ucap Duncan, tatapannya memuja lukisan Hitz. Potretnya bak Zeus, berkulit coklat, berambut putih, pria berumur dua ratus empat puluh tahun yang maha kuasa. 

    “Siapa yang tidak mengaguminya?” ulang Duncan. “Ia bertanggung jawab membangun kamar eksekusi pertama di Chicago.”

    “Tak ada yang lebih menggembirakanku,” ucap si Pelukis, “daripada menempatkanmu di samping Dr. Hitz selamanya. Menggergaji ranting— yang menurutmu tepat?”

    “Itu hampir seperti apa yang aku lakukan,” ucapnya. Tentang pekerjaannya, cara bicaranya seketika melembut. Yang dia lakukan adalah membuat orang-orang merasa nyaman selagi ia membunuh mereka.

    Dan, sementara Leora Duncan berpose untuk mural, ke dalam ruang tunggu masuklah Dr. Hitz.

    Ia setinggi tujuh kaki, auranya menguarkan rasa penting, prestasi dan kesenangan hidup.

    “Wah, Nona Duncan! Nona Duncan!” ucapnya, disusul sebuah lelucon, “Apa yang kau lakukan di sini? Ini bukan tempat orang-orang ingin pergi, ini tempat orang-orang akan datang!”

    “Kita akan berada dalam sebuah lukisan yang sama,” ucapnya malu-malu.

    “Bagus!” ucap Dr. Hitz sepenuh hati. “Dan, oh, lihatnya.. bukankah lukisannya menakjubkan?”

    “Saya merasa sangat terhormat bisa ada di dalamnya bersama Anda,” ucap Duncan.

    “Biar kuberi tahu sesuatu,” ucap Dr. Hitz, “Aku lebih merasa terhormat berada dalam lukisan yang sama denganmu. Tanpa wanita sepertimu, dunia kita yang mengagumkan ini tidak akan mungkin ada.”

    Ia memberi hormat, dan berlalu menuju ruang bersalin. “Tebak siapa yang baru saja lahir,” ucapnya.

    “Aku tidak tahu,” jawab Duncan.

    “Kembar tiga!” ujarnya.

    “Kembar tiga!” seru Duncan. Ia berseru karena teringat implikasi hukum tentang bayi kembar tiga. Hukum menetapkan bahwa tidak ada bayi yang bisa lahir kecuali orang tuanya menemukan seseorang yang rela mati untuk memberikan tempat pada bayi itu. Kembar tiga, dan jika semuanya hidup itu artinya tiga sukarelawan untuk bunuh diri.

    “Apakah orang tuanya sudah menemukan sukarelawan?” tanya Leora Duncan.

    “Kabar terakhir,” ujar Dr. Hitz, “mereka hanya punya satu, dan sedang berusaha mencari dua lagi.”

    “Aku tidak yakin,” ucap Leora Duncan. “Tidak ada yang membuat janji untuk tiga orang dengan divisi kami. Hari ini hanya ada janji tunggal, kecuali ada yang menelpon setelah aku pergi. Siapa namanya?”

    “Wehling,” jawab si Calon Ayah. Berdiri; matanya merah, rambutnya acak-acakan. “Namanya Edward K. Wehling, Jr. Saya, calon Ayah yang berbahagia.” Wehling mengangkat tangan kanannya, menatap sebuah noda di dinding dan tertawa serak. “Hadir,” ujarnya.

    “Oh, Tuan Wehling,” ucap Dr. Hitz, “Aku tidak melihatmu di sana.”

    “Si Pria Tak Tampak,” ucap Wehling.

    “Mereka baru saja memberi kabar, ketiga bayimu telah lahir,” ucap Dr. Hitz. “Semuanya sehat, begitu juga dengan ibunya. Aku dalam perjalanan menemui mereka.”

    “Hore,” seru Wehling dengan hampa.

    “Kau tidak terlihat bahagia,” ucap Dr. Hitz.

    “Pria mana yang tidak bahagia, jika berada di posisiku saat ini?” tanya Wehling. Ia mengayunkan tangannya seolah tidak peduli, “Yang harus aku lakukan hanya memilih satu dari ketiga anak kembarku untuk bisa hidup dan mengantar kakek kandungku untuk dieksekusi lalu kembali ke sini membawa sebuah surat keterangan.”

    Dr. Hitz menatap Wehling dengan tajam. Ia menegakkan tubuhnya yang menjulang di atas Wehling, “Anda tidak setuju dengan usaha pengontrolan populasi, Tuan Wehling?” ucapnya.

    “Saya kira usaha itu sudah sangat sempurna,” jawab Wehling tegang.

    “Apa kau lebih suka kita kembali ke masa lalu, ketika populasi bumi masih dua puluh milyar—menuju empat puluh milyar, lalu delapan puluh milyar, lalu seratus enam puluh milyar? Apa kau tahu apa itu drupelet, Tuan Wehlin?” ujar Hitz.

    “Tidak,” ucap Wehling bersungut.

    Drupelet,” Tuan Wehling, “adalah sebuah ranting kecil pada sebonggol buat beri hitam,” ucap Hitz. “Tanpa kontrol populasi, saat ini, manusia akan berdesakan di Bumi kita yang tua ini seperti sebonggol buah beri! Pikirlah!”

    Wehling kembali menatap noda pada dinding rumah sakit.

    “Di tahun 2000,” ucap Dr. Hitz, “sebelum ilmuwan ikut campur dan menetapkan undang-undangan, kita tidak punya cukup air minum untuk semua orang, dan tidak ada yang bisa dimakan selain rumput laut—dan meskipun begitu, orang-orang tetap menuntut hak untuk bereproduksi seperti kelinci. Dan juga hak, jika mungkin, untuk hidup abadi.”

    “Aku menginginkan anak-anakku,” ucap Wehling pelan, “Ketiganya.”

    “Tentu saja,” ucap Dr. Hitz, “Itu normal.”

    “Aku juga tidak ingin Kakekku mati,” ucap Wehling.

    “Tidak ada orang yang suka memasukkan saudara kandung mereka ke Kotak Kucing,” ucap Hitz dengan simpati.

    “Aku harap orang-orang tidak menyebutnya begitu,” ujar Leora Duncan.

    “Apa?” tanya Dr. Hitz.

    “Aku berharap orang-orang tidak menyebutnya ‘Kotak Kucing’, atau semacamnya,” ucap Duncan. “Sebutan itu memberi kesan yang salah.” 

    “Kau benar,” ucap Dr. Hitz. “Maafkan aku,” ia mengkoreksi dirinya sendiri, lalu menyebut Ruang Eksekusi Kota dengan nama resminya, sebutan yang tidak pernah digunakan orang dalam percakapan mana pun. “Seharusnya aku sebut dengan Studio Bunuh Diri Etis,” ucapnya.

    “Terdengar lebih baik,” ucap Leora Duncan.

    “Anakmu—yang mana pun yang kau putuskan untuk bisa hidup, Tuan Wehling,” ucap Dr. Hitz. “Ia akan hidup bahagia di planet yang lapang, bersih, dan kaya—semua berkat kontrol populasi yang kami lakukan. Persis seperti lukisan taman itu.” Ia menggeleng. “Dua abad lalu, ketika aku masih muda, tempat ini seperti neraka yang kelihatannya tidak akan bertahan hingga dua puluh tahun. Abad ini, adalah abad yang damai. Tempat ini seluas imaginasi kita sanggup berkelana.”

    Senyumnya tersimpul. 

    Namun senyum itu hilang ketika ia melihat Wehling mengeluarkan sebuah revolver.

    Wehling menembak mati Dr. Hitz. “Nah, itu satu ruang kosong—ruang yang besar.”

    Dan kemudian ia menembak Leora Duncan, “Jangan khawatir, ini cuma mati,” ujarnya ketika Duncan jatuh ke lantai. “Nah, ruang kedua sudah kosong.” Kemudian, ia menembak dirinya sendiri, memberikan kesempatan hidup untuk ketiga bayi kembarnya. 

    Tidak ada orang yang datang. Tidak ada, tampaknya, tidak ada yang mendengar suara tembakan. Si Pelukis duduk di puncak tangga, termenung melihat ke bawah; pemandangan yang menyedihkan.

    Si Pelukis merenungkan teka-teki penuh duka dari kehidupan yang menuntut kelahiran, dan ketika lahir, menuntut untuk subur.. berkembang biak dan hidup selama mungkin—dan melakukan semuanya di planet kecil yang harus bertahan selamanya.

    Jawaban yang bisa ia pikirkan, semuanya suram. Bahkan lebih suram daripada sebuah Kotak Kucing, Happy Hooligan, atau Easy Go. Ia memikirkan tentang perang, wabah, dan kelaparan.

    Seketika ia sadar, ia tak akan pernah melukis lagi. Ia membiarkan kuasnya jatuh. Kemudian, memutuskan ia sudah cukup hidup dalam Kebun Kehidupan yang Bahagia ini. Perlahan, ia turuni anak tangga demi anak tangga.

    Ia mengambil pistol Wehling, bermaksud menembak dirinya sendiri. Tapi, tak punya keberanian untuk itu. Si Pelukis kemudian melihat telepon di sudut ruangan. Ia mendekat dan menekan nomor yang sangat diingatnya, “2BR02B.”

    “Biro Eksekusi Federal,” jawab suara hangat di ujung telepon.

    “Seberapa cepat aku bisa membuat janji?” tanyanya hati-hati.

    “Kami dapat memasukkan Anda dalam daftar siang ini, Tuan,” jawabnya. “Mungkin bisa lebih awal, jika ada pembatalan.”

    “Baiklah,” ucap si Pelukis. “Tolong masukkan aku dalam daftar.” Ia memberikan namanya, mengeja hufur per huruf.

    “Terima kasih, Tuan,” ucap si Penerima Telepon. “Kota ini berterima kasih kepada Anda, negara ini berterima kasih kepada Anda, planet ini berterima kasih kepada Anda. Tapi rasa syukur kepada Anda yang paling dalam berasal dari generasi yang akan datang.”

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Maira Noorshabrina Munaf

    Guru selalu membantu kita kalau ada masalah. Karena itulah, kita harus menghormati dan mendengarkan guru. Guru bisa saja marah. Tapi, waktu marah itu, bukan berarti guru tidak menyayangi kita atau tidak peduli pada kita. Tahun lalu, saat aku masih kelas 3 SD, guru wali kelasku adalah Pak Tegar dan Ibu Debby. Tahun ini, aku sudah naik kelas empat. Guru wali kelasku sudah tidak sama lagi.

    Saat awal masuk kelas empat, guru wali kelasku memperkenalkan dirinya. Namanya Ibu Ika. Dia mengajar pelajaran matematika. Ibu Ika tidak hanya mengajar di kelasku, tapi juga di kelas lainnya.

    Guru Bahasa Inggris aku adalah Ibu Suci. Kalau guru Bahasa Indonesia aku adalah Pak Danu. Ibu Suci dan Pak Danu juga mengajar di kelas lainnya.

    Pelajaran tahun ini semakin sulit dibandingkan tahun lalu. Tapi, guruku selalu menerangkan terus-menerus sampai kami mengerti pelajarannya. Guruku selalu membantu kami kalau ada masalah. Misalnya, kalau salah satu dari kami ada yang merasa sakit atau tidak nyaman, ibu bapak guru akan segera membawa kami ke Unit Kesehatan Sekolah, atau sering disingkat UKS. Kita harus menghormati bapak ibu guru karena mereka selalu menjaga kita saat di sekolah.

    Setiap guru pasti mempunyai peraturan di kelas. Kami harus mematuhi peraturan yang telah dibuat oleh guru kami. Tapi, masih ada saja beberapa murid yang tidak mau mematuhi peraturan itu. Misalnya, kami tidak boleh berlari dan bermain di kelas, tapi masih ada yang berlari dan bermain di kelas. Hal itu menyebabkan murid-murid yang lain bisa terganggu dalam belajar.

    Kalau kami tidak mematuhi peraturannya, guru kami bisa marah. Guru kami marah bukan karena guru kami tidak menyayangi atau tidak peduli, tapi karena mereka menyayangi kami dan ingin kami menjadi murid yang lebih baik. Waktu kami tidak mematuhi peraturan, guru kami memberi kami peringatan. Tetapi, biasanya kami masih saja melakukan hal yang sama, tetap tidak mematuhi peraturan. Seharusnya kami selalu mematuhi peraturannya, agar kami tidak mendapat peringatan.

    Di sekolah kami, juga terdapat banyak peraturan. Salah satunya adalah kami harus menjaga kelas dan area sekolah lainnya bersih dan rapi. Setiap hari ada beberapa murid yang ditugaskan untuk merapikan dan membersihkan kelas. Ada yang ditugaskan untuk merapikan buku, merapikan meja dan kursi, dan ada yang ditugaskan untuk memastikan laci murid-murid sudah bersih. Dengan itu kami sudah membantu guru kami dan juga membantu petugas kebersihan sekolah untuk membersihkan dan merapikan kelas.

    Di sekolahku ada banyak pelajaran. Ada pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Science, Social Studies, Kesehatan, Matematika, Kesenian, Musik, Agama, Komputer, dan Olahraga. Setiap pelajaran selalu ada guru yang mengajari kami tentang pelajarannya dengan cara yang mengasyikkan. Setiap pelajaran juga selalu ada ujian dan ulangannya. Guru kami selalu menyiapkan lembar pekerjaan sebelum ujian atau ulangannya dimulai.

    Guru kami telah melakukan banyak hal untuk kami, agar kami menjadi pintar dan lebih baik. Karena itu, kami harus berterima kasih kepada guru kami. Sebenarnya, guru kami sudah merasa sangat senang kalau kami menjadi murid yang baik. Jadi, untuk membanggakan guru kami, setiap murid harus menjadi murid yang baik.

    Semua guru yang mengajariku adalah guru idolaku. Karena, semua guru telah melakukan segala hal yang terbaik untukku dan teman-temanku. Mereka sudah menjaga kami. Mereka juga sudah menjadikan kami murid yang lebih baik.

    Terima kasih guru-guruku.

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Valerie Adelia Gunara

    Namaku Valerie. Aku bersekolah di Kinderfield Duren Sawit. Sekarang aku duduk di kelas 4 SD. Kelasku adalah P4 White. Aku senang bersekolah di sini karena aku punya banyak teman. Pelajarannya menyenangkan, dan gurunya pun baik-baik.

    Sekolahku tidak jauh dari rumah. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 4,7 km dan dapat ditempuh selama 15—20 menit. Setiap hari aku bangun tidur jam 06.30 pagi, kemudian bersiap-siap dan berangkat jam 7 dari rumah ke sekolah. Aku berangkat ke sekolah bersama adikku, karena adikku juga bersekolah di Kinderfield Duren Sawit dan duduk di kelas TK-A White. Ibuku mengantar aku ke sekolah setiap hari. Setelah itu, ibuku berangkat ke kantor. Sedangkan nenekku setiap hari menjemput aku di sekolah.

    Di sekolahku setiap hari ada pelajaran Matematika. Yang mengajar bernama Ibu Verika. Ibu Verika juga adalah wali kelasku. Aku senang diajar oleh Ibu Verika karena aku dapat mengerti pelajaran Matematika dengan mudah. Sekarang aku sedang belajar mengenai sudut. Pada saat pelajaran sudut, aku diharuskan membawa penggaris busur untuk menghitung sudut. Beberapa hari lalu, busurku kotor sehingga angkanya tidak terlihat dengan jelas. Kemudian, Ibu membelikanku busur yang baru. Sekarang aku dapat belajr sudut lebih baik lagi.

    Selain pelajaran Matematika, setiap hari aku juga belajar pelajaran Bahasa Inggris dengan Ibu Suci. Suatu hari anak laki-laki di kelasku membuat pesawat kertas pada saat pelajaran berlangsung. Ibu Suci tidak memarahi anak muridnya tersebut, melainkan ikut membuat pesawat kertas juga. Sungguh menyenangkan belajar bersama ibu Suci.

    Ada juga pelajaran Science, tetapi tidak setiap hari aku belajar Science. Yang mengajar adalah Ibu Lumi. Pelajaran Science bisa sangat menyenangkan karena aku dan teman-teman dapat pergi ke laboratorium. Kami pernah ke laboratorium untuk melakukan percobaan mengenai sel. Saat itu aku melihat sel dan alat pernapasan ikan. Aku dan teman-teman sangat tertarik dan senang.

    Ibu Lumi juga mengajar Health Education kepada kami. Saat pelajaran mengenai kesehatan, aku mendapatkan ilmu yang banyak. Salah satunya mengenai masa pubertas. Aku jadi tahu bahwa laki-laki dan perempuan akan melalui masa pubertas. Anak perempuan akan mengalami menstruasi. Dan apabila saat itu datang, kita harus menjaga kebersihan tubuh kita supaya terhindar dari penyakit yang berbahaya.

    Di sekolahku ada pelajaran Agama setiap hari Kamis. Ada lima macam agama, yaitu Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Islam. Aku beragama Kristen dan aku sangat senang mempelajari tentang Alkitab. Guruku bernama Pak Samuel. Dan ada satu temanku di sekolah yang juga beragama Kristen dan ke gereja yang sama denganku. Dia bernama Alexa. Kami bersama setiap Minggu di gereja. Demikian juga pada saat pelajaran Agama di sekolah. Pada saat pelajaran Agama, aku membawa Alkitab dari rumah. Pak Samuel senang bercerita mengenai firman Tuhan dengan cara yang lucu. Terkadang Pak Samuel memutarkan film mengenai Tuhan Yesus supaya kami tidak bosan dan mudah memelajarinya.

    Bahasa Indonesia adalah bahasaku sehari-hari di rumah, sedangkan kalau di sekolah aku berbahasa Inggris. Pak Danu mengajarkan Bahasa Indonesia dan Pak Danu memberikan tugas untuk membuat cerita sepanjang 500—2.000 kata. Tugas itu untuk membuat kami pandai berbahasa Indonesia dan lebih mudah bercerita.

    Salah satu pelajaran yang aku suka adalah Olahraga karena olahraga membuat badan kita sehat dan juga membuat kita bermain di luar kelas. Olahraga diajarkan oleh Pak Abid. Sejak kelas 1 sampai kelas 3, aku masuk ke dalam tim renang sekolah. Akan tetapi, sekarang tidak lagi karena aku lebih menyukai bernyanyi sehingga aku masuk ke dalam tim paduan suara sekolah. Besok aku akan ikut audisi untuk menjadi penyanyi solo. Tetapi aku tetap menyukai pelajaran Olahraga di sekolah, karena hal itu menyenangkan. Saat paduan suara, aku juga belajar untuk bermain angklung. Paduan suara diajarkan oleh Ibu Sally dan Ibu Jessica. Ibu Sally adalah pengarang lagu anak-anak.

    Selain paduan suara, aku juga belajar musik di sekolah. Beberapa waktu lalu saat pelajaran musik, aku belajar bermain suling dan menjadi dirigen. Yang mengajari musik adalah Ibu Mela. Ibu Mela juga terkenal sebagai penyanyi dan pemain musik. Ayahku juga seorang pemain musik, dia bisa bermain bermacam-macam alat musik, terutama piano. Tetapi aku tidak menyukai bermain piano, aku lebih suka bernyanyi.

    Saat aku kecil aku pernah bermain drum. Akan tetapi, aku tidak terlalu suka sehingga aku tidak pandai bermain musik. Ibuku berjanji akan memasukan aku les vokal apabila aku lolos audisi penyanyi solo. Ibuku berkali-kali berkata bahwa aku akan les vokal tetapi sampai sekarang aku belum ikutan les. Mungkin ibuku khawatir aku bosan apabila les vokal. Sebenarnya aku sangat ingin les vokal. Semoga aku lolos audisinya agar dapat les vokal segera.

    Ibu Guru Irti mengajarkan pelajaran seni. Ibu Irti mengajarakanku menggambar manusia. Nanti, aku juga akan diajarkan untuk melukis di pelajaran seni.

    Pelajaran bahasa asing selain Bahasa Inggris adalah Bahasa Mandarin. Walaupun aku keturunan Cina tetapi aku tidak mengerti bahasa Mandarin, demikian juga ibu dan bapakku. Walaupun pelajaran Bahasa Mandarin sulit, tetapi aku mendapatkan nilai yang bagus. Guru yang mengajar sangat pandai berbahasa Mandarin, namanya Huang Laoshi.

    Pelajaran yang paling sulit adalah Social Studies, karena banyak sekali hafalannya. Social Studies diajarkan oleh Ibu Rika. Akan tetapi, sekarang ini Ibu Rika sedang cuti melahirkan dan guru penggantinya adalah Ibu Egi. Ibu Egi juga baik dan aku dapat mempelajari Social Studies dengan baik.

    Dari semua pelajaran tersebut, aku paling menyukai pelajaran Agama, Olahraga, dan Health Education. Semuanya menyenangkan untukku. Semoga aku mendapatkan nilai yang baik untuk semua pelajaran. Dan guru yang paling aku suka adalah Pak Abid, karena dia lucu. Pernah dia menyebutkan namanya Abray, sesuai dengan tulisan nama di belakang bajunya. Aku juga mempunyai teman yang paling aku sukai, yaitu Tiara Maharani, Rere, Giselle, dan Bitha. Setiap hari aku bermain bersama mereka pada saat istirahat. Mereka adalah teman yang baik dan menyenagkan.

    Di sekolahku juga ada banyak acara-acara, seperti 17 Agustus, karya wisata, perayaan Idul Fitri, dan Natal. Kami merayakan bersama-sama karena kami adalah Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu sesuai dengan semboyan negara Indonesia.

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Josephine Everly Winata Lim

    Hai teman-teman, namaku Josephine Everly Winata Lim. Saat ini saya duduk di kelas lima di Kinderfield Primary School. Sekolahku berlokasi di Jalan Rawa Domba nomor 88, Jakarta Timur. Setiap hari aku bangun pukul 05.30. Setelah sarapan pagi, aku dan kakak berangkat sekolah bersama-sama karena kakak bersekolah di SMP Highfield yang berlokasi di gedung yang sama. Suasana lingkungan di sekolah sangat nyaman. Di pinggir pagar tembok sekolah ditanami pohon-pohon yang rindang sehingga angin terasa sepoi-sepoi dan taman sekolah yang ditanami rumput seperti karpet hijau yang terbentang.

    Di sekolahku kami masuk pada pukul 07.15. Ada kebiasaan khusus di sekolah kami yaitu sebelum memasuki kelas kami akan menyanyikan satu Lagu Nasional dan lagu Sekolah Kinderfield. Tujuan kami menyanyikan lagu tersebut, sebelum dimulai pelajaran agar kami belajar mencintai dan mengenal lagu nasional dan membangkitkan semangat supaya kita lebih segar ketika pelajaran dimulai. Dan menurut saya hal tersebut sangat efektif karena setelah bernyanyi kondisi badan menjadi lebih segar dan bersemangat.

    Di sekolah ada satu hal yang cukup menyenangkan yaitu jika ada pelajaran yang memerlukan pengenalan secara langsung maka guru akan langsung memberikan praktek ke lapangan. Contoh, saat pelajaran Science tentang lingkungan alam dan mengenal jenis bentuk daun, setelah ibu guru menerangkan teori di kelas, setelah itu kami diajak ke lapangan sekolah untuk belajar mengenal lingkungan alam dan bentuk bentuk daun di taman belakang sekolah. Selain praktek di lapangan kami juga sering melakukan eksperimen di laboratorium. Semua murid merasa sangat senang karena kami akan menggunakan alat-alat khusus dalam eksperimen. Sebelum pelajaran dimulai ibu guru mulai memberikan penjelasan tentang nama alat-alat tersebut dan kegunaannya. Para siswa merasa bersemangat karena mendapatkan pengalaman baru yang menarik di laboratorium.

    Saat jam istirahat, kami segera turun ke kantin. Kantin di sekolahku sangat besar, kadang di kantin terdengar suara kicauan burung yang berterbangan di luar. Karena di sekolah banyak ditanami pohon sehingga banyak pula burung yang hinggap di sana. Di kantin sekolah ada dijual bermacam-macam makanan dan minuman seperti jus buah, susu, sayuran dan makanan. Semua makanan yang dijual di kantin sekolah diawasi langsung oleh pihak sekolah dan dipastikan tidak menggunakan penyedap rasa untuk menjamin kesehatan para siswa. Pembayaran makanan di kantin sekolah tidak menerima uang tunai jadi para siswa umumnya membeli kupon di ruang adminstrasi terlebih dahulu.

    Teman-teman, jika saya kehabisan air di botol minum, saya bisa mengisi ulang di sekolah, karena di setiap lantai sekolah termasuk di kantin disediakan air mineral isi ulang. Hal tersebut memudahkan para siswa untuk mengisi botol kembali. Apalagi jika sehabis pelajaran olahraga, badan yang sudah lelah dan kehausan memerlukan cairan yang lebih banyak.

    Suasana lingkungan sekolah yang nyaman serta fasilitas yang mendukung disertai dengan guru-guru yang selalu membantu para siswa membuat kami dapat belajar dengan maksimal. Di sekolah kami biasa mengadakan diskusi dalam suatu materi. Sehingga anak-anak menjadi aktif di kelas. Berani bertanya dan berani menjawab menjadi suatu kebiasaan kami dalam berdiskusi. Jika ada pelajaran yang belum kami mengerti, kami dapat bertanya atau minta diajarkan kembali oleh ibu guru setelah jam sekolah usai. Ibu guru selalu menanyakan apakah ada pertanyaan atau ada yang belum jelas dimengerti oleh kami. Biasanya jika tidak ada pertanyaan dari para murid, ibu guru akan memberi pertanyaan kepada satu per satu murid dalam kelas itu. Beberapa anak murid yang tidak terlalu bisa dalam suatu pelajaran maka guru akan mengadakan kelas tambahan untuk anak murid di materi tersebut setelah jam sekolah usai.

    Sekolah juga sangat mendukung dan memfasilitasi siswa yang memiliki bakat khusus untuk berkembang lebih baik lagi. Adanya program bakat siswa yang diadakan oleh pihak sekolah seperti program berenang, futsal, marching band, balet, dan musik. Tahun ini sekolah kami mendapatkan kesempatan untuk tampil di Istana Negara pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia untuk mementaskan marching band anak. Prestasi lain juga didapatkan dari program renang. Salah satu temanku yang bernama Sharla, dia adalah siswa yang berprestasi di olahraga renang. Sekolah juga mendukung hal tersebut dan membantu melatih dia untuk berkembang lebih baik, sehingga akhirnya dia menjadi perwakilan dari Jakarta Timur untuk perlombaan renang antar provinsi. Itu memotivasi dan memacu siswa lainnya untuk mendapatkan prestasi yang baik di bidangnya masing-masing. Dan saya juga ikut termotivasi untuk bisa menjadi pemain piano yang bisa menghasilkan prestasi yang baik seperti yang lainnya.

    Saya merasa beruntung bisa bersekolah di tempat yang baik, yang selalu memberikan dukungan dan fasilitas bagi para siswa untuk berkembang menjadi pelajar yang lebih bertanggung jawab terhadap cita-cita yang diimpikannya. Semoga ke depan saya bisa menjadi siswa yang berprestasi yang dapat dibanggakan oleh orang tua dan sekolah. Terima kasih untuk para guru yang selalu memberikan dukungannya tanpa rasa lelah kepada kami para murid.

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Polanco Surya Achri

    Sebelum Tidur

    Aku suka bermain bayangan dengan kedua tanganku
    membuat bentuk-bentuk yang mirip dengan hewan, lalu
    bercerita seperi Ayah saat mencerita pertualangan Kancil.

    2018

    Aroki

    Aroki, adalah nama sepedaku. Warnanya ungu
    seperti warna awan yang berarak di langit malam.
    Aku sangat senang bersepeda, karena seperti terbang.
    Angin berhembus dengan kencang. Aku sangat senang
    bersepeda bersama Aroki.

    2018

    Rebit

    Namanya Rebit, dan dia adalah boneka kelinciku.
    Dia berbadan besar, dan bertelinga panjang. Dia juga
    mempunyai bulu berwarna coklat yang sangat lembut.
    Rebit suka mengajakku bermain di Kota Cahaya,
    dan aku merasa seperti Alice, yang ada di Wonderland.

    2018

    Kali Mbah Suma

    Saat masih kelas 1 dan 2, aku sering pulang sekolah melewati
    Kali Mbah Suma. Aku sering pulang bersama teman-temanku.
    Di samping gereja, yang ada di dekat Kali Mbah Suma, kami
    sering berhenti sebentar. Mencari kereweng atau batu pipih untuk
    berlomba: banyak-banyakan loncatan dari batu yang akan kami
    lemparkan ke sungai. Di dekat Kali Mbah Suma, ada rumah berpagar hijau.
    Di sana memelihara anjing. Kami selalu berlari saat melewatinya:
    karena takut digigit, juga ngeri saat mendengar suaranya.

    2017-2018

    Sehabis Hujan

    Aku suka berjalan-jalan di sekitar rumah. Bermain air dan melihat
    bayang-bayangku di genangan hujan. Aku sering membawa sesobek kertas
    yang akan kubuat menjadi kapal-kapalan, dan akan kubiarkan mengambang.
    Ah, aku ingat, semalam Bunda menceritakan kisah Nabi Nuh kepadaku.

    2017-2018

    Mengejar Layangan

    Aku tidak begitu pandai menerbangkan layangan
    tapi aku suka menemani dan membantu sepupuku
    menerbangkannya. Saat yang paling kusukai adalah
    saat melihat layangan yang beradu di langit, dan saat
    ada layangan yang putus aku akan mengejarnya, sambil
    berteriak dengan penuh semangat: Gaaabuuuullll . . .

    2017-2018

    Bermain Bola Plastik

    Kami akan mengumpulkan sisa uang jajan, untuk membeli bola
    dan bermain di lapangan dekat Masjid. Sepasang sandal akan
    menjadi gawang yang dihitung dengan langkah perlahan di dua sisi.
    Hujan bukanlah halangan, dia adalah penambah keasyikan bermain.

    2018

    Memancing

    Saat hari libur, aku sering diajak Ayah pergi memancing.
    Ayah mengajariku bagaimana cara memasang umpan di kail
    dan melemparkan pancing ke dalam air. Ayah sering bilang
    memancing itu harus sabar. Ayah akan membantuku menarik
    pancing saat umpan sudah di makan ikan. Berat! Ternyata, ikan
    yang aku dapat sangat besar. Ayah bilang, itu buah kesabaran.

    2018

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Nova Azzalia Putri

    Udara di Pegunungan

    udara di pegunungan sangat dingin
    di sana banyak pohon yang menggigil
    daun-daun kering beterbangan
    di sana banyak rumput dan tanaman
    juga kayu-kayu kering masih berbau embun
    dan pohon yang sangat tinggi

    Pohon yang Sangat Tinggi

    aku melihat pohon durian
    pohon durian yang sangat tinggi
    pohon itu tumbuh besar dan sangat lama
    lebih lama dari umur manusia
    setiap pagi aku melihat pohon itu
    berdiri seperti membeku

    Pohon Pisang

    pohon pisang berbuah satu kali
    seperti kita yang hidup hanya satu kali
    pohon pisang mempunyai jantung
    seperti kita juga mempunyai jantung
    pohon pisang tumbuh puluhan tahun

    Pohon Jambu Biji

    aku suka memanjat pohon jambu biji
    tumbuh di samping rumah mbah uti*
    kalau aku sakit perut
    daunnya bisa untuk obat
    buahnya mengandung vitamin c

    *mbah uti= Simbah putri, nenek

    Di Sungai Belakang Rumah

    banyak ikan berenang
    menyusuri arus
    segerombolan udang
    bersembunyi di batu-batu
    aku melihat kepiting
    sedang mencari makan
    untuk anaknya yang kelaparan

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Dean Agha Koeswantoro

    Setiap tahun sekolahku menyelenggarakan pameran sains. Dalam acara tersebut, siswa-siswi diberi kesempatan untuk memilih tema dan melakukan penelitian yang berhubungan dengan tema tersebut. Setelah itu, mereka akan mempresentasikan hasil penelitiannya kepada juri. Kemudian juri akan menilai presentasinya dan membandingkan dengan presentasi peserta yang lain. Setelah dibandingkan dan dipilih pemenangnya, pemenang akan dipanggil ke panggung dan diberi hadiah.

    Berikut ini adalah cerita tentang pameran sains di sekolahku.

    Ketika aku mendapat berita bahwa sekolahku akan mengadakan pameran sains, aku senang sekali. Akhirnya aku bisa melakukan apa yang dilakukan orang yang pernah aku lihat di televisi. Setelah mendengarkan beritanya, aku langsung mencari di internet tentang bagaimana melakukan presentasi sains yang bagus. Aku membaca banyak artikel tentang pameran sains.

    Setelah membaca artikelnya, aku harus memilih tema apa yang akan aku kerjakan. Ada banyak sekali tema yang bisa aku pilih. Tapi aku tidak ingin yang terlalu susah. Karena khawatir tidak selesai mengerjakan semua rangkaian penelitiannya. Pertama, aku ingin memilih tema pemurnian air. Tapi aku pikir itu terlalu susah untuk dikerjakan dalam waktu yang singkat. Jadi, aku mencari tema penelitian yang lain. Kemudian aku menemukan tema mengenai pengelompokan daun. Aku memutuskan untuk memilih tema itu.

    Dalam melakukan penelitian, aku harus mengumpulkan daun, meneliti, dan membaginya menurut bentuk dan warna daun. Aku dibantu oleh teman kakekku untuk mengumpulkan daun di sekitar lingkungan rumahku. Karena ada banyak daun yang berbeda, aku bisa membaginya menjadi lebih banyak kelompok.

    Setelah dikumpulkan daunnya, aku harus menelitinya. Aku melihat dengan detail daunnya, baik warna maupun bentuknya. Ada yang berbentuk panjang, berwarna gelap, berbentuk pendek, berwarna terang dan lain sebagainya.

    Setelah diteliti, daunnya aku foto dan tempel di poster yang akan aku gunakan untuk melakukan presentasi. Di poster itu aku juga menulis caraku melakukan eksperimen, hipotesaku, dan kesimpulan dari eksperimenku. Poster itu aku buat dari kertas karton. Posternya aku buat bersama ibuku. Kami harus membuat posternya dengan rapih supaya juri tidak bingung dan pusing.

    Setelah membuat poster di rumah, aku membawanya ke sekolah keesokan harinya. Ketika sudah sampai di sekolah, aku mencari mejaku yang sudah dinamai oleh panitia pameran sains. Setelah menemukan mejaku, aku menyiapkan posterku di meja. Sebelum jurinya datang ke mejaku, aku mengingat kalimat-kalimat yang sudah aku siapkan sebelum ke sekolah. Itu adalah kalimat-kalimat yang akan aku sampaikan pada juri.

    Akhirnya juri menghampiri mejaku lalu aku melakukan presentasi. Setelah melihat presentasiku, juri menilai presentasiku. Aku sedikit mendengar kalau aku mendapat nilai yang bagus untuk presentasiku. Setelah aku mendapat berita kalau nilaiku bagus, aku langsung senang sekali. Sebelum diumumkan pemenangnya, aku ingin keliling ruangan pameran sains yang dipenuhi dengan tugas anak lain.

    Aku sudah melihat tugas anak-anak yang lain. Setelah melihat semuanya, aku khawatir aku tidak menang. Ketika sudah waktunya untuk mengumumkan pemenangnya, aku tidak sabar untuk mengetahui siapa yang menang. Supaya lebih membuat ketegangan, pertama kali pembawa acara mengumumkan juara ketiga, diikuti oleh juara kedua, dan terakhir juara pertama. Setelah menunggu lama untuk juara ketiga dan kedua, aku mendengar namaku disebutkan oleh pembawa acara. Aku pemenang pertama pameran sains di sekolahku.

    Setelah pembagian hadiah, semuanya membereskan meja sendiri. Setelah selesai membereskan meja, aku langsung pulang.

    Bagian terfavoritku dalam eksperimen ini adalah ketika aku meneliti daunnya dan menempelkannya di poster. Aku juga suka melihat-lihat eksperimen anak-anak yang lain. Pengalaman ini sangat menyenangkan.

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Fatimah Salsabila Az-Zahra

    Ayah Nina bekerja di luar kota dan selalu pulang ke rumah seminggu sekali. Setiap ayah pulang, Nina selalu dibawakan banyak sekali cokelat dan kue manis berwarna-warni. Sayangnya, Nina tidak mau berbagi dengan Fina, adiknya. Nina memilih untuk menyembunyikan cokelat dan kue-kue kesukaannya di kamar.

    “Aku makan di kamar saja, ah!
    Biar Fina tidak minta!” kata Nina dalam hati sambil membawa satu toples penuh
    berisi cokelat.

    Nina suka sekali makan cokelat di
    kamar sambil membaca buku atau menggambar. Sayangnya, dia selalu lupa membuang
    bungkus cokelatnya dan membersihkan remah-remah yang tertinggal di tempat
    tidurnya.

    Sudah satu minggu Nina selalu
    makan cokelat di kamar dan bahkan menyelipkan bungkusnya di sela-sela tempat
    tidur! Hiyyy!

    Suatu malam, saat jarum jam
    menunjukkan pukul dua pagi, tiba-tiba Nina mendengar suara gaduh di dalam
    kamarnya. Nina terbangun dan merasa ketakutan.

    “Bagaimana ini?” sebuah suara
    terdengar dari bawah. Nina takut sekali dan tidak berani bergerak.

    “Lapor, Raja! Ada makanan yang
    belum terangkut. Kami kesulitan karena tempatnya di dekat bantal Nina.”

    Nina terkejut. Dari balik karpet,
    muncul dua ekor semut yang berukuran lebih besar dari biasanya. Mereka bahkan
    berbicara satu sama lain seperti manusia! “Apakah aku bermimpi?” tanya Nina
    dalam hati.

    Tiba-tiba sesuatu merayap di balik
    tempat tidur Nina. Badan Nina tiba-tiba terangkat. Nina sangat terkejut melihat
    dua semut raksasa menarik rambutnya, sementara lima semut raksasa lainnya
    berusaha mengangkat tubuhnya.

    “Ayo kita pindahkan Nina agar
    bisa mengambil makanan terakhir itu!” perintah salah satu semut yang ada di
    atas karpet.

    Rupanya para semut mengira Nina
    masih terlelap dan mereka ingin memindahkan Nina agar lebih mudah mengambil
    bungkus cokelat yang masih terdapat sisa-sisa cokelat di pinggirannya. Bungkus
    cokelat itu semalam Nina buang begitu saja di dekat bantal sebelum tidur.

    “AAA! Tidaaak! Tolong! Ayah, Ibu!
    Tolong Nina!” teriak Nina.

    Para semut pun terkejut karena
    Nina yang menjerit ketakutan. Tiba-tiba seekor semut yang berukuran paling
    besar mendekat ke arah Nina yang menangis ketakutan. “Oh, maaf Nina kami
    mengganggu tidurmu. Tapi kami sangat menyukai makanan-makanan yang kamu
    tinggalkan di tempat tidurmu.”

    Kemudian, semut-semut itu kembali
    mencoba mengangkat tubuh Nina yang berteriak ketakutan. “Ayah! Ibu!”

    “Nina! Ada apa, sayang?”

    Nina membuka matanya dan melihat
    ibu yang keheranan. Nina merasa lega karena ternyata tadi hanya mimpi. Nina pun
    memeluk ibu erat-erat sambil berjanji untuk membersihkan kamarnya dari sampah
    dan remah cokelat. Nina juga berjanji untuk tidak lagi makan cokelat dan kue di
    kamar.

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Teresa Zevanya Dyaniputri

    Hari sabtu yang cerah, Dinda dan Dino mengunjungi museum. Bersama kedua orang tuanya, mereka melihat-lihat kerangka dinosaurus dan binatang-binatang purba. Setelah itu, mereka menuju ke galeri harta. Kebetulan waktu itu museum sedang sepi, hanya ada mereka di ruangan itu. “Lihat, Kak!” kata Dinda. “Ada berlian besar tuh.”

    Memang benar, ada sebuah berlian yang besar sekali di tengah ruangan itu. Posisinya berada di dalam kotak kaca.

    Karena Dinda dan Dino ingin buang air kecil, mereka sekeluarga pergi ke kamar kecil. Bersama-sama mereka meninggalkan ruangan tersebut. Setelah selesai dari kamar kecil, mereka kembali ke dalam galeri. Namun, alangkah terkejutnya mereka tatkala melihat kotak kaca tempat menyimpan berlian, ternyata berliannya sudah tidak ada, “Berlian itu hilang!” pekik mereka.

    Kaca pelindungnya ternyata pecah di satu sisi, dengan bentuk lingkaran sempurna. Tidak ada remah pecahan sedikitpun. Keluarga itu kemudian melapor kepada penjaga terdekat. Mereka pun kemudian mencoba melihat kamera pengintai. Dari hasil rekaman terlihat bahwa berliannya masih aman namun kemudian tiba-tiba kamera pengintai mati dan ketika hidup dan merekam lagi, berliannya telah hilang.

    Penjaga museum segera menghubungi polisi terdekat. Polisi segera datang lalu melakukan inspeksi dan investigasi di dalam ruangan itu. Dari hasil pemeriksaan, tidak ada sidik jari yang tertinggal di kotak kaca itu. “Mungkin pelakunya menggunakan sarung tangan” kata Dinda kepada Dino. Tidak ada petunjuk lain kecuali pecahan kaca lingkaran itu. Mereka semua terheran-heran bagaimana pelakunya bisa melakukan hal itu.

    Dinda dan Dino larut dalam pikiran mereka masing-masing. Mereka mengingat-ingat buku-buku dan pelajaran tentang teknologi. Lalu seperti ada lampu yang menyala dalam benak mereka, keduanya teringat pada sebuah buku teknologi yang menjelaskan tentang laser. Di dalam buku itu diterangkan bahwa laser bisa menembus apapun, mulai dari kertas hingga gunung. Kaca juga bisa dipecahkan menggunakan laser.

    Kakak beradik itu meminta salah satu dari para polisi untuk menyentuh pinggiran kaca itu. “Jika panas, berarti pencurinya menggunakan laser, Pak Polisi,” kata Dinda dan Dino bersamaan. Polisinya mengangguk, lalu menyentuhnya. Sedetik kemudian ia langsung melompat menjauh sambil memegang jarinya. “Panas,” teriak Pak Polisi itu. Ia langsung mengatupkan mulutnya karena telah mengganggu ketenangan. Ternyata benar, pinggiran pecahan itu panas.

    Kemudian, polisi bergegas melacak keberadaan toko laser termahal. Ternyata, toko itu berada tepat di sebelah museum. Para polisi bergegas ke sana dan menanyakan siapa yang baru-baru ini datang ke sana dan membali laser. Penjaga toko itu mendeskripsikan wajah orangnya. Para polisi juga menanyakan benda-benda apa saja yang orang itu sentuh untuk menemukan sidik jari.

    Polisi segera melacak keberadaan orang itu dan tak berapa lama mereka berhasil menangkapnya dan memasukkannya ke dalam mobil. Dinda dan Dino ikut pula ke kantor polisi. Di sana, mereka berdua diberi lencana kehormatan. Wah, betapa senangnya mereka mereka.

    Para polisi segera menanyakan keberadaan berlian kepada pencurinya. Pencuri itu bernama Joni. Pak Joni mengaku kalau berliannya disimpan di rumahnya. Para polisi segera menjemput berlian itu serta tak lupa berterima kasih kepada Dinda dan Dino.

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Shania Azzahra Budianto

    Aku suka sekali membaca buku. Setiap hari, aku membaca buku yang berbeda. Seperti komik, majalah, dan buku cerita. Sebelum tidur, aku selalu membaca buku kesukaanku, yaitu Dongeng untuk Anak Tercinta. Kemarin, aku membaca buku cerita tentang persahabatan yaitu Sahabat Sejati. Sekarang, aku lebih suka membaca buku tentang pengetahuan alam dan  pengetahuan sosial.

    Aku juga suka membuat cerita. Cerita yang telah kubuat judulnya Si Kancil yang Nakal, Petani yang Rajin, Desaku, Alam yang Indah, dan Indonesia yang Indah. Aku juga suka membacakan cerita yang telah kubuat ke keluargaku.  Biasanya, adikku sangat senang ketika aku membacakan sebuah cerita. Kadang-kadang orang tuaku menilai ceritaku dan cara aku membacakannya. Aku juga sering berlatih cara membuat cerita yang bagus dan cara membacakannya. Berlatih membuatku jadi lebih mengerti cara membuat cerita yang baik.

    Aku juga suka membaca buku cerita di depan kakek dan nenekku. Mereka selalu mendengarkan sebuah cerita dengan sepenuh hati. Sebaliknya, jika aku mendengarkan sebuah cerita tentang sejarah, aku akan mendengarkannya dengan penuh kehormatan.

    Orang tuaku memberitahu bahwa jika kita membaca buku dengan rajin, kita akan mendapatkan ilmu yang tidak akan terlupakan ketika sudah dewasa. Ibuku juga selalu mengingatkan aku jika aku tidak belajar dengan sungguh-sungguh aku akan lupa dengan ilmu yang telah aku pelajari dari kecil ketika aku dewasa. Membaca buku membuat kepintaran dan ilmuku bertambah.

    Setiap aku pulang ke rumah dari sekolah, aku selalu mengulang pelajaran yang sudah dipelajari di sekolah dengan membaca buku pelajaran. Setiap hari, aku juga suka membaca komik tentang  anak sekolah yang berusaha untuk menemukan sahabat sejati yang sebenarnya. Anak itu bernama Luis Raphael Thompson, yang dipanggil Luis, yang akhirnya menemukan sahabat sejati yang bernama Putra. Aku suka sekali komik itu. Mimpiku adalah untuk menjadi ilustrator yang terbaik di dunia. Aku harus belajar dengan rajin dan berlatih. Kadang-kadang aku membuat cerita di laptop. Tetapi, aku juga sering membuat cerita di buku tulis atau kertas.

    Aku mempunyai sekitar 20 buku cerita, 15 komik, 6 majalah, 24 buku Ilmu Pengetahuan Alam, 25 buku Ilmu Pengetahuan Sosial, dan 16 buku tentang sejarah. Hari ini, aku membaca sepuluh buku, yaitu Aku dan Kakak, Family Fantastic, Beast of Margenville, Teman Berempat, Jack and the Beanstalk, You and Me, The Bee, The Last Dragon, Sayap Peraih Mimpi yang Indah, dan Dragons: Race to the Edge. Kalau buku tentang sejarah, aku membaca lima buku, yaitu History of Soccer, The Egypt, Historical, The Great China, dan Beautiful Indonesia. Kemarin, aku membaca 8 buku cerita, 2 komik, 13 majalah, 17 buku Ilmu Pengetahuan Alam, dan 15 buku Ilmu Pengetahuan Sosial.

    Membaca buku adalah hal yang paling bermanfaat bagi hidupku. Membaca buku membuat aku jadi tahu apa yang sebelumnya aku belum tahu. Dengan membaca, ilmu dan kecerdasanku makin bertambah. Menurutku, membaca buku adalah pengalaman yang paling menyenangkan bagi diriku. Yang lebih indah dari membaca buku adalah bisa mendapatkan ilmu yang lebih banyak untuk masa depan dan untuk mewujudkan cita-citaku. Sekarang, aku harus membaca buku lebih giat dari sebelumnya. Sampai kapan pun aku akan selalu  membaca buku, karena buku menambah wawasanku menjadi lebih luas lagi.

    Membaca buku tuh asyik, lho!