Teater Jaringan Anak Bahasa (JAB), Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Senin, 18 Desember 2017 mendatang akan menggelar Pertunjukan Puisi “Nyanyian Kebangkitan”. Pementasan dengan tema Berantai Kisah, Beruntai Kasih ini akan digelar di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta pukul 19.00. Pertunjukan ini akan menghadirkan reportoar-reportoar musikalisasi puisi dengan menambahkan unsur teatrikal puisi, pembacaan puisi, dan deklamasi puisi. Kali ini Teater JAB juga akan berkolaborasi dengan para alumninya, antara lain Fitri Merawati, Iqbal H. Saputra, Sule Subaweh, Afrizal Oktaputra, dan Dita Yulia Paramita. Selain itu, pementasan ini juga akan dimeriahkan oleh kelompok musikalisasi puisi Jejak Imaji dan Al Fine.
“Konsep pertunjukan puisi ini sebenarnya merupakan usaha elaborasi pertunjukan musikalisasi puisi. Namun, di dalamnya kami hadirkan teaterikal, tarian, dan unsur-unsur lainnya. Sebelumnya, Teater JAB sudah menggelar pementasan ini di Auditorium, Universitas Muhammadiyah Surabaya pada hari Sabtu, 18 November 2017. Antusiasme penonton di sana sungguh menggembirakan dilihat dari antusias penonton yang rata-rata pelajar dan mahasiswa. Hal tersebut juga memiliki kesan tersendiri mengingat di Surabaya pertunjukan musik puisi semacam ini masih jarang hadir sebagai sebuah pertunjukan tunggal. Musikalisasi puisi biasanya dihadrikan sekadar sebagai pelengkap suatu acara sastra. Melihat kesuksesan pementasan di Surabaya, diharapkan pementasan di Yogyakarta akan lebih semarak,” ujar Farid selaku pimpinan produksi acara ini.
“Nyanyian Kebangkitan” sebagai judul besar konser musikalisasi puisi ini merupakan judul puisi karya Ahmadun Yosi Herfanda. Selain itu, karya lainnya yang akan disajikan adalah puisi karya Jabrohim yang berjudul “Syair untuk Leiser”, puisi karya Mahwi Air Tawar yang berjudul “Kabarkan Padaku”, puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Tanah Air Mata”, puisi karya Abdul Wachid B.S. berjudul “Khasidah dari Negeri Hijau”, dan puisi karya Acep Zamzam Noor yang berjudul “Setelah Mencintaimu”. Teater JAB memang sudah dikenal oleh khalayak sastra di Yogyakarta dengan musikalisasi puisinya. Pada tahun 2007 Teater JAB bahkan sudah memroduksi album musik puisi pertamanya bertajuk “Tanah Air Mata” menggunakan judul puisi karya Sutardji Calzoum Bachri. Pada tahun 2011 kembali memroduksi album musikalisasi puisi bertajuk “Rindu Tak Terucap” menggunakan judul puisi karya Sule Subaweh.
“Pementasan kali ini Teater JAB mengangkat semangat cinta dan nasionalisme. Hal ini merupakan suatu upaya untuk semakin mendekatkan sastra kepada masyarakat umum sehingga sastra tidak hanya diminati oleh masyarakat sastra semata. Barangkali acara pertunjukan puisi semacam ini bisa menjadi pintu masuk bagi siapa pun yang hendak mempelajari atau lebih tahu mendalam tentang sastra. Melalui musikalisasi puisi semoga pergelaran ini akan semakin mengokohkan Yogyakarta sebagai ibu kota musikalisasi puisi. Acara ini tentu tidak boleh terlewatkan. Bagi yang ingin menyaksikan bisa membeli tiket, presale Rp20.000 dan OTS Rp25.000. informasi mengenai pemesanan tiket dapat menghubungi narahubung kami, Dwi di nomor ponsel 083824241151,” pungkas Farid.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi
Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) bersama Bakti Budaya Djarum Foundation meneruskan investasi panjang dalam dukungan fasilitasi ruang presentasi karya seniman muda melalui program Jagongan Wagen. Pada edisi keenam Jagongan Wagen di tahun ini, PSBK menghadirkan Guntur Nur Puspito yang merupakan penerima Hibah Seni PSBK. Fasilitasi akses studio penciptaan, kuratorial dan produksi pementasan berlangsung di kompleks art center PSBK sejak pertengahan Agustus 2019.
Guntur Nur Puspito, lahir di Parigi (Sulawesi Tengah. Tahun 1998 masuk Sekolah Menengah Musik (SMM) Yogyakarta dengan instrument mayor biola, dibawah bimbingan Pupik Yeti Vivi Yanti & Sapta Ksvara Kusbini. Lulus dari SMM tahun 2001 & melanjutkan studi S-1 ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dibawah bimbingan Oni Krisnerwinto S.Sn., & Drs. Djunaedi. Lulus dari ISI tahun 2008. Menekuni aransemen semenjak memasuki bangku perkuliahan, dibawah bimbingan Drs. RM. Singgih Sanjaya M.Hum., dan Oni Krisnerwinto. Tujuh tahun terakhir mulai menekuni musik dalam penggarapan sebuah karya, baik karya sendiri maupun kolaborasi.
Semar Gaung adalah pertunjukan musik kolaboratif yang digagas oleh Guntur Nur Puspito atas pembacaan ulang terhadap sosok Semar dengan mengkontekstualisasikannya pada realitas hari ini. Dalam karya ini, Guntur berkolaborasi dengan Bayu Aji Nugraha (Dalang), Asita Kaladewa (Seniman Pantomime), Kinanti Sekar Rahina (Penari), dan Muhammad Shodiq (Penulis Naskah). Pertunjukan kali ini tertuju pada dialog tentang pengetahuan hari ini, seperti halnya pitutur Semar, tak lagi didengar. Suaranya menggaung, terlontar, membentur pada kepala-kepala beku dan kembali pada dirinya sendiri.
Semar adalah salah satu karakter dalam pewayangan yang kuat dan luas pengetahuannya. Sehingga dia dijuluki pamong para kesatria. Semar adalah simbol pengetahuan yang menjadi rujukan. Tapi zaman sudah berubah. Setiap manusia sudah mampu mengakses ‘pamong (guru)’-nya masing-masing. Sesederhana membuka layar gawai dan menemukan sumber-sumber; rujukan-rujukan daring disejajarkan dengan guru. Atau lebih jauh lagi, menganggap semua yang berasal dari daring mempunyai bobot pengetahuan yang sama. Dalam konteks Semar, ini seperti membayangkan tentang apa yang terjadi jika murid-murid Semar tidak lagi menjadikannya sebagai rujukan sumber pengetahuan. Ruang-ruang yang mulanya bersifat nyata hari ini disejajarkan dengan ruang-ruang yang bersifat maya.
Dalam pertunjukan kali ini seniman ingin mengajak penonton untuk merenungkan kembali perihal kebiasaan kita saat ini dalam mengakses pengetahuan melalui dunia maya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia maya telah membukakan akses pengetahuan seluas-luasnya dan tanpa batas, namun di lain hal dunia maya juga telah menghilangkan peristiwa tatap muka dalam mengakses pengetahuan. Bahwa dalam peristiwa tatap muka ada hal lain yang kita dapatkan yaitu belajar tentang adab (attitude). Sedangkan akses ilmu pengetahuan di dunia maya seringkali absen akan hal tersebut.
Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK)
Melanjutkan spirit maestro seni Indonesia Bagong Kussudiardja, PSBK mewujudkan diri sebagai art center dengan misi mendukung pengembangan kreatif seniman dan masyarakat umum untuk terus terhubung pada nilai-nilai seni dan budaya, keberlanjutannya, dan penciptaan nilai-nilai budaya melalui seni. PSBK hadir sebagai laboratorium kreatif, tempat berkumpul, ruang presentasi karya seniman dari berbagai disiplin. PSBK menghadirkan karya seniman-seniman muda, memfasilitasi riset-riset artistik dan pengembangan profesional, dan merancang program-program untuk meningkatkan community engagement dan pengembangan jaringan melalui kesenian.
Sumber Gambar: Media PSBK/Desain grafis oleh Arfian Yustirianto, Foto oleh Donnie Trisfian (keterangan foto: Guntur Nur Puspito (Penerima Hibah Seni PSBK) sedang melakukan showcase proses penciptaan karya di Pendopo Diponegoro kompleks PSBK.
Ada 25 puisi yang masuk tahap akhir penentuan pemenang Sayembara Menulis Puisi Kibul.in x Kumpulan Puisi. Puisi-puisi yang dikirim panitia untuk saya baca tidak dilengkapi identitas para penulis. Nomor-nomor penanda digunakan sebagai pengganti identitas. Dengan demikian, teks-teks tersebut berbicara kepada saya dengan sedapat mungkin menutup kemungkinan penelusuran terhadap biografi si penyair. Namun celah biografis tersebut juga menyempil dari teks-teks yang ditampilkan para penyair dalam puisi-puisi mereka. Ada beberapa puisi yang begitu jelas menunjukkan pengaruh dari penyair-penyair terkenal Indonesia sehingga suara dalam puisi tersebut tidak lagi terdengar sebagai milik si penulis puisi.
Dari ke-25 puisi, ada sejumlah puisi yang memang menarik perhatian saya karena penyampaiannya, tema yang diusung, serta penguasaan penyair terhadap khazanah yang diangkatnya dalam puisi. Ketiga hal tersebut merupakan pertimbangan-pertimbangan prioritas, karena dari segi penulisan, ke-25 puisi yang sampai di tahap akhir penilaian tentu saja lebih baik dari puisi-puisi yang gugur di tahap awal. Selain puisi-puisi yang tak bisa melepaskan diri secara cerdik dari cengkeraman pengaruh penyair lain, puisi-puisi yang merespons kekinian tanpa berusaha mendedahkan kedalaman juga saya sisihkan dari tahap pemilihan pemenang. Demikianpun puisi-puisi yang ditulis dengan ketakutan bahwa para pembacanya tidak akan mampu memahami alusi-alusi yang digunakan si penyair.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, saya pun memilih ketiga puisi dengan judul-judul berikut sebagai pemenang:
“Pada Sebuah Mimpi” sebagai pemenang pertama, karena di balik kejernihan penyampaiannya dan ketenangan suasana di dalam puisinnya, ada lapisan alusi yang bekerja. Maryam dan ruthab, Maria dan laut, bintang dan belukar api, bahkan bintang dan Maria adalah alusi internal yang saling mengikat karena punya tradisi panjang di luar teks puisi tersebut. Dalam tradisi Katolik, Maria ibu Yesus punya sebuah julukan yakni Stella Maris atau bintang laut. “Maria” adalah bentuk plural kata Latin “mare” yang berarti “laut”. Bintang yang diibaratkan seperti belukar api melemparkan puisi ini ke dalam pergantian antara kisah Musa dalam Perjanjian Lama dan Maria dalam Perjanjian Baru. Di antara kecenderungan dominan itu, ada kisah tentang Maryam dan ruthab dari tradisi Islam yang menyempil. Penggunaan alusi ini lebih berhasil karena dalam sejumlah teks lain yang sampai ke tahap akhir, para penyairnya merasa perlu melakukan name dropping dan menggunakan catatan kaki karena takut permainan mereka tidak bisa diikuti oleh pembaca.
Pemenang kedua adalah puisi berjudul “Lembu Brahman di Kandang Penggemukan”. Puisi tersebut dengan baik menampilkan bagaimana zaman, konteks dan dominasi mengubah narasi sebuah hal. Dengan sudut pandang orang ketiga, penyair bebas memasuki pikiran si lembu, bahkan mengandaikan si lembu mengenakan atribut religius seperti yang dikenakan oleh para pemeliharanya. Dalam puisi tersebut, lembu brahman dan sejarahnya ditempatkan dalam perspektif antroposentris di tengah aliran waktu yang juga ikut mengubah cara dominan yang digunakan untuk memandangnya. Ada satu-dua mitologi yang ditarik ke dalam puisi tersebut, tetapi penyampaiannya tidak menjadi terlampau didaktis seperti puisi-puisi lain. Retrospeksi di akhir puisi membuat kisah tentang lembu turut mengangkut perubahan peradaban yang dialami manusia.
Pemenang ketiga adalah puisi berjudul “Jurang”, sebuah puisi yang berangkat dari dua baris kutipan Cento Proba, puisi cento tentang Kristus yang ditulis dengan sepenuhnya merakit baris-baris karya penyair Romawi Vergilius, dan menggunakan cara yang lebih fleksibel dari Proba dengan memainkan baris-baris puisi Vergilius (terutama dari puisi Ecloga I) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tanpa pemahaman terhadap bahasa dan sastra Latin serta kemauan menelusuri sejarah penulisan puisi sampai ke periode dua milenium yang lalu, puisi seperti ini tidak akan berhasil dikerjakan. Saya menduga puisi ini memang dikerjakan oleh orang yang pernah belajar bahasa Latin secara formal dan melanjutkan pelajarannya dengan menelusuri puisi-puisi para penyair Romawi, entah dari periode Kristen seperti Proba, maupun dari periode sebelumnya seperti Vergilius. Siasat tersebut membuat interaksi tak langsung antara “aku” dan “kau” dalam puisi menjadi pars pro toto bagi interaksi antara si penyair dan pembaca hari ini dengan teks-teks klasik dari berabad-abad yang lalu.
Catatan Redaksi:
E-book Antologi Puisi Sayembara Menulis Puisi Kibul.in x Kumpulan Puisi bisa diunduh di sini
Kebahagiaan tidak hanya dilihat dari seberapa banyak materi yang dimiliki, tetapi kebahagiaan dapat dirasakan dari seberapa besar kasih sayang terhadap keluarga. Setiap makhluk tentu mendambakan keluarga yang aman dan tidak ada yang menginginkan terjadinya bahaya, terlebih guna-guna dan santet yang secara sengaja dikirim oleh seseorang yang tidak menyukai sebuah keluarga di suatu desa. Oleh sebab perasaan iri, ia tidak segan-segan membunuh secara perlahan melalui jalan itu. Lakon Dukun Kimin karya Rizki Ramdhani akan mengungkap secara detail kejadian yang dialami oleh keluarga tersebut.
Teater Jaringan Anak Bahasa (JAB) adalah salah satu dari beberapa kelompok teater yang berada di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta yang didirikan pada tanggal 29 Juli 2001. Teater JAB berdiri di bawah naungan Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (HMPS PBSI).
Dalam rangka melaksanakan Program Kerja Pengurus Harian Teater JAB tahun 2018—2019, Teater JAB menyelenggarakan kegiatan Studi Pentas Teater JAB tahun 2018. Pementasan kali ini bergenre drama yang mengangkat tema Adat, Adab, Arah dengan naskah Dukun Kimin karya Rizki Ramdhaniyang disusun oleh Tim Kreatif Studi Pentas Teater JAB 2018. Pementasan ini sebagai kritik sosial yang mengangkat tentang kemanusiaan dan politik. Sasaran utama kegiatan ini adalah mahasiswa, pelajar, dosen, sastrawan, pemerhati teater, penikmat teater, dan pelaku teater itu sendiri.
Pentas drama ini akan dilaksanakan di Green Hall, Kampus II UAD pada hari Minggu, 13 Mei 2018. Ada tiga paket harga tiket, yaitu (1) Pelet (pre sale) Rp8.000,00; (2) Santet (ots) Rp10.000,00; dan (3) Jaran goyang (beli 2) Rp15.000,00. Untuk info pembelian dan pemesanan tiket, dapat langsung menghubungi nomor telepon 081578293572 atas nama Zeliana Hikmayani. Apabila penasaran dan ingin mengetahui Teater JAB secara lebih lanjut, dapat mengunjungi akun instagram @teaterjab_uad.
Pementasan ini didukung oleh Universitas Ahmad Dahlan, HMPS PBSI, Kreskit, Teater PeBei, Teater 42, Teater Bening, dan Teater Nitik. Selanjutnya disponsori oleh Hajj Chicken, Suffix Clothing, Makaroni Hehe, Jejak Kopi, Mangrove Printing, Mi Ayam Bu Tumini, Soto Pak Heri, Madah Buku, Anang Fotocopy, Angkringan Kang Dar, Burjo Cinere, Win Creative, Anang Fotocopy, Elhumaira, Pitucom Fotocopy, dan Afifah Fotocopy. Mitra media yang turut membantu mempublikasikan dan meliput pementasan, seperti Ramada 107,7 FM, Kibul.in, MinumKopi, Acarakitanet, Harian Jogja, Jogja Punya Acara, dan UKM Poros UAD.
Yogyakarta, 7 Maret 2017. Malam ini Seruni Art Management menyelenggarakan pameran lukisan di Greenhost Boutique Hotel, Prawirotaman. Dengan tajuk Amor Fati in Absentia, hadirlah pertarungan artistik ibu-anak antara Wara Anindyah dan Seruni Bodjawati. Pameran diresmikan oleh Elisabeth Inandiak, sastrawati pemenang Penghargaan Sastra Asia dan penerjemah Serat Centhini. Hingga 7 April 2017, enam belas lukisan Wara dan Seruni akan dipamerkan. Karya-karya tersebut terinspirasi oleh buku kumpulan cerpen Ratu Pandan Wangi (penulis dan pemerhati budaya dari Sastra Perancis UGM). Diharap audiens dapat memahami kompleksnya manusia dalam memaknai cinta.
Wara Anindyah dan Seruni Bodjawati adalah dua perupa perempuan yang karya-karyanya memiliki karakteristik kuat. Karya-karya Wara mengandung kedalaman makna yang kontemplatif, sedangkan Seruni berani menghadirkan objek-objek visual yang intens dan dramatis. Dengan tema-tema yang menggambarkan pergulatan diri dan kompleksitas cinta, Seruni dan Wara menghadirkan karya yang sangat kontras baik dari segi ide maupun eksekusi visualnya. Perbedaan spirit, teknik berkarya, pemilihan objek visual, hingga pengalaman hidup dapat menjadi analisis menarik bagi para penikmat karya.
Kedua perupa ini berkolaborasi dengan konsep amor fati yang berasal dari bahasa Latin. Amor berarti cinta, sedangkan fati berarti takdir. Jadi amor fati bisa dimaknai sebagai cinta kepada takdir. Paham ini dipopulerkan oleh filsuf terkenal, Friederich Nietzsche. Takdir memang memegang peranan penting dalam hidup, tapi manusia tetap harus berjuang dan berusaha. Sementara itu, in absentia adalah istilah bahasa Latin yang secara harfiah berarti “dengan ketidakhadiran”. Dalam istilah hukum di pengadilan, in absentia adalah upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa tersebut. Bisa juga disebut ketiadaan atau kenihilan.
“Supaya tak terjebak dalam nihilitas cinta, manusia perlu mengalir bersama takdir. Berjuang dan berusaha memang penting, tapi berserah diri juga perlu, termasuk dalam cinta. Inilah yang ingin saya dan Bu Wara sampaikan dalam lukisan,” jelas Seruni.
Salah satu lukisan Wara yang menyedot perhatian berjudul Forbidden Love (2017). Karya ini menggambarkan dua wanita kulit hitam yang saling mencintai. Mereka menjalin hubungan yang lebih serius hingga maut memisahkan. Takdir cinta mereka tak kalah dengan cinta biasa, terkadang justru lebih indah.
Seruni turut menyemarakkan pameran dengan lukisan berjudul A Star is Born (2012). Karya ini menggambarkan Salvador Dali dan Gala sebagai ikon hubungan cinta yang fantastik dan absurd. Ada misteri dan keajaiban tak terduga yang disampaikan melalui kisah hidup mereka. Menyimpan teka-teki abadi dan makna yang terus menebarkan spirit artistik.
“Melalui konsep ini, kami ingin mengingatkan orang-orang untuk mencintai diri sendiri. Makin banyak cinta yang berkumpul dalam diri kita, makin banyak pula cinta yang bisa dibagikan.” kata Pandan sekaligus menjelaskan isi bukunya. Sebagian karya Wara dan Seruni yang dipamerkan akan menjadi ilustrasi untuk buku tersebut.
“Sebagai sebuah kesatuan peristiwa, apa yang dilakukan ketiga perempuan ini sejatinya tengah membongkar jejaring kerja yang berkaitan antara produksi gagasan dan produksi artistik seniman. Ketika kisah telah lahir menjadi ide, dari sanalah kemudian tubuh dapat bergerak untuk menciptakan bentuk sekaligus menghadirkan sebuah wawasan melalui visual,” kata Nilu.
Pembukaan pameran turut dimeriahkan oleh Grangi Guitar Duo, yaitu kolaborasi Eddo Diaz dan Henry Yuda Oktadus. Setelah digelar selama sebulan, pameran akan ditutup oleh peluncuran buku kumpulan cerpen Ratu Pandan Wangi berjudul Amor Fati: Cinta yang Nihil. Buku tersebut berisi 20 cerpen tentang cinta dari berbagai sudut pandang. Tak hanya cinta antara lelaki dan perempuan biasa. Ada juga cinta lain dimensi kehidupan, cinta berbeda ras dan agama, cinta pada benda mati, dan lain sebagainya. Kumpulan cerpen itu akan dibahas pada 7 April 2017 di Greenhost Boutique Hotel. Dalam bentuk apa pun, cinta selalu indah untuk diwujudkan dalam karya seni.
Info lebih lanjut dapat mengunjungi situs www.seruniartmanagement.com
Narasumber:
Ignatia Nilu – Kurator Green Art Space (082227173094)
Seruni Bodjawati – Perupa yang berpameran (085868770622)
Ratu Pandan Wangi – Penulis buku Amor Fati (085743655818)
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/
Rumah Maiyah Emha Ainun Nadjib didukung oleh Penerbit Octopus dan Studio Pertunjukan Sastra menggelar acara Peluncuran Buku Sepotong Dunia Emha karya Latief S. Nugraha. Akan hadir selaku pembicara pada acara ini Dr. Aprinus Salam, M.Hum., Muhammad Zuriat Fadil, dan Latief S. Nugraha yang dipandu oleh Sukandar. Dalam kesempatan ini Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) akan menyampaikan khatimah terhadap buku tersebut. Acara yang sedianya berlangsung pada Rabu, 23 Mei 2018 pukul 20.00 di Pendopo Rumah Maiyah, Jalan Barokah 287 Kadipiro, Yogyakarta ini akan diawali dengan salat isya sekaligus tarawih berjamaah, terbuka untuk umum dan gratis.
“Progress Manajemen menyambut baik lahirnya buku karya Latief S. Nugraha yang berjudul Sepotong Dunia Emha. Buku tersebut bermula dari penelitian tesis dengan judul “Emha Ainun Nadjib dalam Arena Sastra dan Arena Sosial” di Universitas Gadjah mada,” ujar Helmi Mustofa, selaku koordinator acara.
“Dalam buku tersebut, Latief memaparkan secara terstruktur dan detail pergulatan Cak Nun di arena sastra dan sosial. Kami sudah lama menanti terbitnya kajian-kajian terhadap peranan dan karya Cak Nun. Kami selalu mendukung siapa saja yang mau menanam benih-benih nilai yang ditebar Cak Nun, lantas menyebarluaskannya,” imbuh staf Progress Manajemen itu.
Menurutnya, “Selama ini, catatan mengenai Cak Nun tidak lebih banyak dari catatan yang ditulis oleh Cak Nun mengenai banyak hal. Sungguh tidak sebanding apa yang telah dilakukan Cak Nun dengan apa yang dilakukan untuk Cak Nun. Buku seperti yang telah ditulis oleh Latief ini, dilihat dari hasilnya tentu bermanfaat bagi Jamaah Maiyah khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya.”
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa Cak Nun melakukan “perlawanan budaya” yang disebut beliau dengan melakukan dekonstruksi pemahaman nilai, pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi masalah masyarakat. Di dalam khazanah kesastraan, Cak Nun telah banyak melahirkan gagasan-gagasan yang membentuk dan mengorganisasikan praktik-praktik yang direpresentasikan langsung kepada masyarakat. Melalui karya-karyanya, Cak Nun mencoba membebaskan sastra ke berbagai bentuk, berbagai sikap, ke berbagai kepentingan, dan ke dalam ruang kemungkinan-kemungkinannya.
“Semoga buku Sepotong Dunia Emha dapat menjadi kado ulang tahun Cak Nun yang ke 65 pada tanggal 27 Mei mendatang,” pungkas Helmi.
Lembaga Seni dan Sastra
Reboeng bekerja sama dengan Kadipaten Pakualaman menggelar acara peluncuran
buku Mata Khatulistiwa: Antologi Puisi
Penyair Nusantara. Acara ini akan diselenggarakan pada Sabtu, 10 November
2018 pukul 18.00-21.00 di Pendapa Kepatihan Pakualaman (Akper Notokusumo),
Jalan Masjid Pakualaman 5 Yogyakarta. Dalam acara ini akan hadir para penyair
yang puisinya terhimpun dalam buku Mata
Khatulistiwa, yakni Nermi Silaban, Indrian Koto, Irwan Segara, Kedung Darma
Romansha, Dedet Setiadi, Mario F. Lawi, dan Bustan Basir Maras. Selain itu akan
hadir sejumlah tokoh yang akan mengapresiasi terbitnya buku setebal 474 halaman
ini dengan membaca puisi, antara lain Ganjar Pranowo, Nusyirwan Soejono, Sri
Surya Widati, Dwikorita Karnawati, Paripurna, Sri Adiningsih, Sitoresmi
Prabuningrat, Butet Kartaredjasa, Iman Budhi Santosa, Landung Simatupang, dan
Hamdy Salad. Sebuah tembang macapat juga akan disajikan dalam acara ini oleh
Muhammad Bagus Febrianto. Selain itu akan ditampilkan reportoar musik, pertama
oleh Teater Eska yang akan menyajikan tiga reportoar musik puisi dari tiga
penyair dalam buku Mata Khatulistiwa. Kedua,
Jejak Imaji yang akan menyajikan musik puisi karya Nana Ernawati. Ketiga, Serat
Djiwa akan menyajikan komposisi instrumentalia musik etnik dari berbagai daerah
di Nusantara merespons keanekaragaman puisi dalam buku Mata Khatulistiwa. Acara ini akan dipandu oleh Labibah Zain.
“Lembaga Seni dan Sastra
Reboeng dengan bangga mempersembahkan buku Mata
Khatulistiwa: Antologi Puisi Penyair Nusantara. Buku ini merupakan
perwujudan kesadaran bahwa Negara Kesatuan Repulik Indonesia kaya akan
keragaman nilai budaya dan tata kehidupan di masing-masing daerah. Sudah
selayaknya manakala masing-masing suku bangsa dan generasi muda di Indonesia
melakukan pengenalan dan pembelajaran terhadap nilai-nilai budaya sebangsa
setanah air untuk merekatkan kebersamaan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Buku ini merupakan karya kecil bagi masyarakat sastra
Indonesia dalam rangka memeriahkan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-73,” ujar
Nana Ernawati, Direktur Lembaga Seni dan Sastra Reboeng.
Nana
Ernawati menambahkan, “Buku Mata
Khatulistiwa: Antologi Puisi Penyair Nusantara disusun oleh Iman Budhi
Santosa, Nana Ernawati, Nurul Ilmi Elbana, dan Latief S. Nugraha. Para penyair
dari penjuru tanah air yang puisinya dihimpun dalam buku tersebut ialah Fikar W. Eda dan Salman
Yoga S. dari Provinsi Aceh, Nermi Silaban dari Provinsi
Sumatra Utara, Ahlul
Hukmi dan Marhalim Zaini dari Provinsi
Riau, Taufik Ikram Jamil dan
Yuanda Isha dari Provinsi Kepulauan
Riau, Jumardi Putra dan Rini Febriani Hauri dari Provinsi Jambi, Deddy Arsya, Esha Tegar Putra, dan
Indrian Koto dari Provinsi Sumatra
Barat, Mohammad Arfani dari Provinsi
Sumatra Selatan, Valentina Edellwiz Edwar dari Provinsi Bengkulu, Iqbal H.
Saputra dan Sunlie Thomas Alexander dari Provinsi Bangka Belitung, Udo Z. Karzi dari Provinsi Lampung, Irwan Segara dan
Muhammad Rois Rinaldi dari Provinsi Banten, Afrizal Malna, Chairil Gibran Ramadhan,
dan Zeffry Alkatiri dari DKI
Jakarta, Acep Zamzam Noor, Kedung
Darma Romansha, dan Soni Farid Maulana
dari Provinsi Jawa Barat, Arif
Hidayat, Dedet Setiadi, Triyanto Triwikromo dari Provinsi Jawa Tengah, Hasta
Indriyana, Latief S. Nugraha, dan Nana Ernawati dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Dadang
Ari Murtono, M. Faizi, Mashuri, Nurul Ilmi Elbana dari Provinsi Jawa Timur, Ni
Made Purnamasari dan Wayan Jengki Sunarta dari Provinsi Bali, Fitri
Rachmawati dan Kiki Sulistyo dari Provinsi
Nusa Tenggara Barat, Imelda Oliva Wissang dan Mario F. Lawi dari Provinsi Nusa Tenggara Timur, Hudan
Nur dari Provinsi Kalimantan Selatan, Arbendi
I. Tue dari Provinsi Kalimantan Tengah,
Imam Budiman dari Provinsi Kalimantan Timur, Aslan
Abidin dan Dalasari Pera dari Provinsi
Sulawesi Selatan Ilham Q. Moehiddin dan Syaifuddin Gani dari Provinsi Sulawesi Tenggara Bustan
Basir Maras dari Provinsi Sulawesi
Barat, Jamil Massa dari Provinsi
Gorontalo, Dino Umahuk dari Provinsi
Maluku Utara, Mariana Lewier dari Provinsi Maluku, Aleks Giyai, Alfrida V. P. Yamanop, dan Gody
Usnaat dari Provinsi Papua.”
Buku tersebut menghimpun
puisi karya 55 penyair Nusantara dengan catatan penutup yang ditulis oleh Kris
Budiman. Puisi-puisi dalam buku ini menunjukkan karakter bangsa dan kekayaan
setiap jengkal tanah bumi Indonesia. Nilai-nilai lokalitas dari berbagai daerah
disajikan oleh para penyair dalam buku ini. Agaknya buku ini menjadi buku
pertama yang hadir di Indonesia dengan konsep mempersatukan puisi-puisi karya
penyair di Indonesia dengan tema khusus yakni nilai-nilai kedaerahan kampung
halaman para penyair.
“Kenapa buku ini diterbitkan dan diluncurkan di
Yogyakarta? Karena Daerah Istimewa Yogyakarta dipandang dan dikenal luas
sebagai kawah candradimuka lahirnya para sastrawan terkemuka di Indonesia.
Tidak sedikit sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia lahir sebagai penyair
di daerah istimewa ini. Sejumlah penyair yang puisinya terhimpun dalam buku ini
pernah dan tengah bertungkus lumus melakukan proses kreatifnya berpuisi di
Yogyakarta. Oleh karena itu, Lembaga Seni dan Sastra Reboeng merasa memiliki
keyakinan bahwa acara peluncuran buku Mata
Khatulistiwa: Antologi Puisi Penyair Nusantara ini mesti diselenggarakan di
Yogyakarta,” pungkas Nana Ernawati.
Pada bulan November 2019 PSBK akan menggelar platform Ruang Seni Rupa edisi ke empat di tahun ini dengan memamerkan karya dari peserta Seniman Pascaterampil 2019. Kali ini mereka akan mewujudkan gagasannya melalui sebuah pameran seni rupa untuk ke dua kalinya. Pameran yang diberi tajuk “Mengeja Y” akan dibuka pada Jumat, 8 November 2019 dan berlangsung sampai tanggal 23 November 2019.
Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) bersama Bakti Budaya Djarum Foundation meneruskan investasi panjang dalam dukungan fasilitasi ruang presentasi karya seniman muda melalui program Ruang Seni Rupa. Pada Ruang Seni Rupa edisi ke empat ini, PSBK akan menghadirkan karya dari sepuluh Seniman Pascaterampil 2019. Fasilitasi akses studio penciptaan, kuratorial dan produksi pameran berlangsung di kompleks art center PSBK selama satu bulan sejak akhir Oktober 2019.
Seniman yang terlibat dalam Ruang Seni Rupa ini merupakan semua peserta Program Seniman Pascaterampil 2019. Mereka adalah Asmiati Sihite, Azwar Ahmad, Briyan Farid Abdillah Arif, Muhrizul Gholy, Theodora Melsasail, Candrani Yulis Rohmatullah, Chrisna Bayu Septrianto, Kurniaji Satoto, Miftahuddin, Riyanti Wisnu Setyiorini Putri. Ke sepuluh seniman tersebut berasal dari disiplin seni yang berbeda-beda, ada yang dari seni rupa, film, tari, dan juga teater. Pameran ini merupakan kesempatan untuk bereksplorasi, berkolaborasi, dan berbagi gagasan dengan seniman lintas disiplin. Mengeja Y adalah hasil interpretasi para peserta program Seniman Pascaterampil PSBK 2019 atas fabel yang berjudul Kisah Si Kancil Mencuri Timun. Dari cerita tersebut, mereka menemukan konteks tentang ragam kecerdasan yang dimunculkan oleh generasi Y, atau akrab dengan istilah generasi milenial. Kesepuluh seniman yang juga lahir sebagai generasi Y, menitikberatkan pada penggalian identitas berpikir dan bersikap mereka atas percepatan teknologi, industri, serta dampak globalisasi yang terjadi pada lingkungan. Kecerdasan yang muncul kemudian mewakili sikap mereka sebagai pengambil bagian atas konsekuensi percepatan zaman.
Kecerdasan adalah sesuatu yang tidak tunggal. Ragamnya tidak hanya terbatas dalam wilayah hitung-hitungan matematis ataupun penguasaan bahasa belaka, melainkan juga tentang sikap individu sebagai subjek dalam lapisan masyarakat. Di era teknologi dan industri yang makin pesat, menentukan strategi pertahanan dalam persaingan penentuan posisi diri dalam bermasyarakat merupakan kecerdasan bertindak yang harus cepat diasah oleh tiap-tiap individu. Ketika zaman sudah semakin cepat, kita sebagai manusia juga harus ‘cepat’. Jika tidak, maka kita akan menjadi yang tertinggal di belakang. Persis, seperti pepatah Jawa ‘ra edan ra keduman’ (tidak ikut gila (nya zaman) maka kamu tidak akan dapat bagian). Di sisi lain, percepatan di era ini juga berdampak pada fenomena lingkungan alam dan sosial yang terjadi. Keterpautan jarak yang cukup jauh atas pemahaman warisan nilai leluhur dengan sistem pengetahuan yang parsial, menyebabkan kepincangan berpikir dalam mempertimbangkan cara individu (khususnya posisi seniman) dalam mengiringi dan menyikapi percepatan produksi industri maupun teknologi.
Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK)
Melanjutkan spirit maestro seni Indonesia Bagong Kussudiardja, PSBK mewujudkan diri sebagai art center dengan misi mendukung pengembangan kreatif seniman dan masyarakat umum untuk terus terhubung pada nilai-nilai seni dan budaya, keberlanjutannya, dan penciptaan nilai-nilai budaya melalui seni. PSBK hadir sebagai laboratorium kreatif, tempat berkumpul, ruang presentasi karya seniman dari berbagai disiplin. PSBK menghadirkan karya seniman-seniman muda, memfasilitasi riset-riset artistik dan pengembangan profesional, dan merancang program-program untuk meningkatkan community engagement dan pengembangan jaringan melalui kesenian.
author = About Andreas Nova
Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
Sarjana Sastra dengan susah payah.
View all posts by Andreas Nova →
Melihat pameran lukisan adalah hal yang jarang saya lakukan. Sebagai lulusan jurusan sastra yang tersesat dalam rimba teknologi informasi, saya lebih sering mengunjungi pameran gawai. Namun kali ini saya memberanikan diri untuk mengunjungi pameran lukisan Amor Fati In Absentia yang diadakan oleh Seruni Art Management di Green Art Space – Greenhost Boutique Hotel di Jalan Prawirotaman II no 629 Brontokusuman, Mergangsan, Yogyakarta. Karya yang dipamerkan di ruang tersebut adalah lukisan karya dua pelukis, Wara Anindyah dan Seruni Bodjawati, yang terinspirasi dari kumpulan cerpen Amor Fati: Cinta Yang Nihil karya Ratu Pandan Wangi yang akan diluncurkan bersamaan dengan penutupan pameran tersebut tanggal 7 April 2017.
Sebenarnya cukup disayangkan karena suatu hal saya tidak bisa menghadiri pembukaan pameran Amor Fati in Absentia yang diadakan 7 Maret 2017. Pameran tersebut dibuka oleh Elisabeth Inandiak, wartawati, penerjemah sekaligus sastrawati kebangsaan Prancis yang memiliki minat terhadap sastra jawa, terutamanya dari era Sastra Jawa Baru. Karya monumentalnya adalah penerjemahan Serat Centini ke dalam bahasa Perancis dengan judul Les Chants de l’île à dormir debout – Le Livre de Centhini (2002), yang membuatnya menerima Prix littéraire de l’Asie (“Penghargaan sastra Asia”) pada tahun 2003 dari Perhimpunan Sastrawan Berbahasa Prancis (Association des écrivains de langue française).
Amor Fati in Absentia, berasal dari dua frase bahasa latin. Amor Fati yang berarti cinta kepada takdir. Paham ini dipopulerkan oleh filsuf terkenal, Friederich Nietzsche. Sementara itu, in absentia adalah istilah bahasa Latin yang secara harfiah berarti “dengan ketidakhadiran”; ketiadaan.
Saya mengunjungi pameran lukisan tersebut pada hari ketiga setelah pameran dibuka. Lukisan-lukisan tersebut dipajang mengelilingi kolam renang yang terletak beberapa meter dari pintu masuk hotel. Ada lima belas lukisan yang dipamerkan di Green Art Space. Sepuluh lukisan karya Wara Anindyah dan lima lukisan karya Seruni Bodjawati. Lukisan Wara Anindyah diletakkan di sisi barat kolam renang. Sedangkan lukisan karya Seruni Bodjawati dipamerkan di sisi timur sebelah selatan.
Meskipun kedua pelukis ini memiliki hubungan yang dekat —Seruni Bodjawati —juga Ratu Pandan Wangi— adalah putri dari Wara Anindyah, Mereka memiliki gaya yang berbeda dalam lukisannya. Seruni berani memainkan warna —mengingatkan saya pada gaya psikedelik yang tren di tahun 1960-an. Ia menghadirkan obyek-obyek dalam lukisannya secara intens dan dramatis. Sementara Bu Wara lebih memiliki kedalaman makna, dengan pilihan warna hitam putih, atau memainkan warna pastel. Dalam beberapa lukisan saya merasakan masuk ke dalam dunia yang hampir mirip dengan imajinasi Tim Burton namun dalam versi oriental.
Masuk melalui jalur sebelah barat, saya disambut sebuah lukisan dan kata pengantar mengenai pameran lukisan tersebut dari Green Art Space. Beranjak ke selatan, terdapat dua lukisan berjudul Penantian dan Misteri Hutan Cinta. Lukisan yang saya sebut terakhir ini merupakan lukisan berukuran 50cm x 40cm yang dibuat dengan cat akrilik pada kanvas. Lukisan ini menggambarkan sesosok perempuan —kemungkinan adalah seorang ventriloquis— mencium bonekanya dengan latar belakang hutan yang suram. Seolah lukisan ini menggambarkan cinta pada sebuah benda yang tak memiliki nyawa.
Di panel sebelahnya terpampang dua lukisan lagi berjudul Hubungan Gelap dan Cinta Yang Nihil. Lukisan Cinta Yang Nihil ini adalah pemaknaan dari tajuk pameran lukisan ini. Lukisan tersebut menggambarkan seorang laki-laki yang memeluk seorang perempuan yang mengenakan gaun pengantin. Namun perempuan tersebut digambarkan seperti sesosok mayat tanpa kulit, ototnya yang merah dan kulitnya yang masih nampak terlihat pucat. Seolah si laki-laki memeluk boneka anatomi yang biasa ada di laboratorium biologi dengan latar belakang padang hijau, namun dibelakangnya bergulung mendung yang membuat suasana kelam.
Panel berikutnya terpampang satu lukisan berukuran 30cm x 22cm berjudul Perselingkuhan, dan sebuah lukisan besar berukuran 150cm x 120cm berjudul Konfigurasi Kekuatan Hati. Lukisan ini sangat menarik karena dibuat dengan tinta cina pada kanvas. Pemilihan warna monochrome tidak membuat lukisan ini membosankan, malah menurut saya menjadi menarik. Lukisan ini memadukan sosok yang ada dalam kartu remi, King of Hearts, Queen of Clubs, King of Spade, dan Queen of Diamond, dengan ornamen naga dan phoenix di antara sosok-sosok tersebut.
Panel di selatannya berisi empat lukisan yaitu Pelindung Kesucian, Romansa di Taman Hati, Senja di Musim Gugur, dan The Warmth of Family. Empat lukisan berukuran 50cm x 40cm itu terbuat dari tinta cina pada kanvas. Lukisan-lukisan ini merupakan ciri khas dari Wara Anindyah yang sering menghadirkan budaya Tionghoa pada lukisannya. Jika beberapa lukisan sebelumnya berwarna pastel namun berkesan suram, di sini justru sebaliknya. Warna hitam putih, namun nampak terlihat suasana gembira yang diekspresikan dalam lukisan tersebut.
Panel terakhir yang menghadap ke utara menampilkan lukisan berjudul Forbidden Love dengan ukuran paling besar, 200cm x 140cm. Ukurannya yang besar dan posisinya yang menghadap ke arah pengunjung yang masuk membuat lukisan ini seolah dihadirkan sebagai fokus pameran lukisan ini. Lukisan ini menggambarkan cinta yang terlarang —seperti judulnya— antara dua orang perempuan berkulit hitam. Mungkin jika ada atribut agama yang berbeda dalam lukisan akan menjadikan pasangan yang ada dalam lukisan ini menjadi pasangan yang akan sangat susah disatukan secara legal di Indonesia. Sudah sejenis, ras minoritas, beda agama pula.
Sebelum menuju ke sisi timur —area lukisan Seruni Bodjawati dipamerkan— Saya sempat mengobrol dengan Mas Nico dan Mbak Santi dari Seruni Art Management sembari mengisi lembar testimonial. Saya sempat menanyakan mengapa hanya terpasang lima belas lukisan dari enam belas lukisan seperti yang tertulis dalam press release. Satu lukisan Seruni Bodjawati yang berjudul Javanese Tree of Life memang tidak terpasang karena keterbatasan ruang. Sebagian besar lukisan adalah lukisan lama, tercatat hanya lima lukisan yang dilukis pada tahun ini.
Selepas mengobrol dengan mereka, saya meneruskan melihat lukisan Seruni Bodjawati di area sebelah timur. Hanya ada lima lukisan yang dipamerkan, namun rata-rata berukuran besar lebih dari 100cm. di sisi yang menghadap ke selatan terpampang tiga lukisan; Badai Rindu, Memoirs of Love, dan Episode Bulan Merah Jambu. Lukisan Badai Rindu didominasi warna biru pekat, seolah rindu yang berkecamuk di dalam diri.
Memoirs of Love yang dibuat dengan memadukan kolase dan cat akrilik pada kanvas dipenuhi dengan motif mata yang menggambarkan sosok filantrofi asal Yogyakarta, dr. Yap Hong Tjoen di masa pra kemerdekaan. Lukisan Episode Bulan Merah Jambu didominasi warna merah yang gelap, menggambarkan sepasang perempuan dan laki-laki yang menggunakan pakaian ala Dinasti Qing. Seruni menggambarkan Kaisar Terakhir Pu Yi yang mengalami episode-episode kehidupan yang dramatis.
Pada sisi yang menghadap ke barat, terpampang dua lukisan besar yang menjadi fokus karya Seruni Bodjawati dalam pameran lukisan ini. A Star is Born adalah lukisan yang pertama. Lukisan yang menggambarkan Salvador Dali dan istrinya Elena Ivanovna Diakonova, atau lebih dikenal dengan Gala Dali. Karya Seruni Bodjawati ini menggambarkan karya-karya Dali yang banyak terinspirasi dari istrinya.
Lukisan terakhir adalah Dunia Senyap Frida Kahlo. Karya yang dihasilkan pada tahun 2014 ini menggambarkan pelukis berkebangsaan Mexico, Frida Kahlo yang selalu diwarnai dengan berbagai konflik menegangkan antara hidup dan mati. Warna-warna mencolok di lukisan ini seolah menggambarkan sejarah hidupnya yang penuh gelombang, namun tetap mencintai hidupnya yang penuh ketidaksempurnaan.
Pemaknaan akan karya-karya tersebut tentu saja akan lebih lengkap jika membaca kumpulan cerpen Amor Fati; Cinta yang Nihil karya Ratu Pandan Wangi. Namun, bukan berarti lukisan tersebut tidak bisa dimaknai tanpa membacanya. Lukisan-lukisan yang dipamerkan banyak membawa pembongkaran gagasan mengenai keberadaan cinta dalam konteks kontemporer. Tema pameran yang filosofis, lukisan yang surealis, dan warna-warna yang magis merupakan kombinasi yang ternyata menarik.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/
https://kibul.in/artikel/pameran-lukisan-amor-fati/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/03/featartnova1.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/03/featartnova1-150×150.jpgAndreas NovaArtikelPeristiwaAmor Fati in Absentia,Budaya,kibul,Lukisan,Pameran,Ratu Pandan Wangi,Sastra,Seni,Seni Lukis,Seruni Bodjawati,Wara AnindyahMelihat pameran lukisan adalah hal yang jarang saya lakukan. Sebagai lulusan jurusan sastra yang tersesat dalam rimba teknologi informasi, saya lebih sering mengunjungi pameran gawai. Namun kali ini saya memberanikan diri untuk mengunjungi pameran lukisan Amor Fati In Absentia yang diadakan oleh Seruni Art Management di Green Art Space…Andreas NovaAndreas Novaanovatione@gmail.comEditorBapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
Sarjana Sastra dengan susah payah.Kibul.in
Satulana merupakan kelompok seni pertunjukan yang lahir dari komunitas sastra alternatif bernama Ngopinyastro Yogyakarta, resmi didirikan di Yogyakarta untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Satulana adalah sebuah nama dari dua orang yang menyatukan diri dalam kelompok seni pertunjukkan berbahan dasar puisi. Ketertarikan mereka berdua terhadap sastra dan hal-hal di luar sastra membawa mereka berinisiatif mencampurkan segala multidisiplin seni menjadi sebuah pertunjukkan. Selain merawat spirit moyang dalam berkesenian, Satulana juga hadir sebagai illustrator puisi di atas panggung.
Sejauh ini Satulana sudah bergerak-merakap dari panggung satu ke panggung lainnya. Selain mengisi di berbagai acara yang mengundang, Satulana juga bergegas menciptakan panggung sendiri dengan mengangkat isu wacana yang Satulana anggap krusial untuk didialogkan. Dengan penuh kesadaran bahwa kelanggengan tak serta-merta dapat dilakukan sendiri, Satulana juga dengan segenap kerendahan hati meleburkan diri bersama komunitas lain untuk mempertemukan sastra dengan rupa, musik, dan segala yang berada di luar sastra yang mungkin untuk didampingkan –baik dalam suasana panggung maupun karya.
Maka, atas segala kepedulian lagi kebijaksanaan Satulana dalam menghidupkan tradisi sastra khususnya puisi, besar harapan Satulana mampu menjadi inspirasi bagi masyarakat, pekerja seni, dan pegiat sastra untuk sejenak membuka diri dan berbenah kendati hanya melalui seni pertunjukan.
Pagelaran Puisi dan Kesenian Barongan
Puisi merupakan salah satu karya sastra tertulis –yang dalam perkembangannya, para pegiat-pegiatnya sudah mendekatkan pusi ke dalam masyarakat melalui banyak hal. Salah satunya adalah pertunjukan. Dinamika tersebut mampu menjadikan puisi tetap eksis sampai era sekarang ini. Bahkan dapat dikatakan pengemasan pertunjukan puisi telah dilakukan dengan beragam bentuk. Mulai dari musikalisasi puisi, teatrikalisasi puisi, puisi gerak, dan puisi konkret. Berangkat dari fenomena tersebut, kali ini Satulana mencoba mengilustrasikan puisi di atas panggung dengan menggandeng kesenian tradisional Barongan.
Inisiatif untuk melibatkan seni tradisional barongan dalam karya Satulana kali ini bermula dari tolehan kepala masing-masing personel di lingkungan Yogyakarta khususnya yang lekat dengan budaya dan tradisi. Selain itu, pagelaran ini juga sebagai wujud kecil apresiasi dan rasa bangga Satulana karena kesenian barongan Blora telah dinobatkan sebagai warisan budaya dunia tak benda oleh UNESCO. Hal tersebut tentunya juga berdampak pada barongan di daerah lainnya, mengingat penghargaan barongan yang telah mendunia, dan eksistensinya yang masih terjaga di tengah perayaan kesenian modern. Kekhawatiran akan lunturnya aspek budaya dan tradisi di zaman sekarang itulah yang menjadi salah satu misi Satulana untuk membawa budaya dan tradisi tersebut ke dalam dimensi yang lebih mudah untuk diterima oleh masyarakat kini.
Dalam konsep pertunjukan tersebut, seni tradisional Barongan tidak hanya hadir sebagai kisah yang Satulana transformasikan dalam bentuk puisi. Akan tetapi, pertunjukan ini juga mengikutsertakan pagelaran kesenian tradisional barongan secara utuh –berikut musik
gamelan dan fungsinya sebagai ritual serta hiburan. Demikian halnya dengan Satulana yang tidak hanya menghadirkan deklamasi puisi, namun juga gerak, teatrikal, dan musik modern. Penggunaan puisi sebagai media penyampaian tentu dikarenakan puisi menjadi hal yang
cukup dekat dengan Satulana dan ssasaran utama audiens pagelaran ini yaitu masyarakat milenial.
Mengenai kisah barongan sebagai wacana dasar pertunjukan, Satulana mengembangkan bagian kisah dengan memfokuskan kepada tokoh Ratna Manggali dan Bahula. Kedua tokoh tersebut memiliki cukup andil dalam kebermulaan barongan versi Calonarang. Namun keberadaan dan kompleksitas Ratna Manggali dan Bahula belum terceritakan secara independen. Selain itu, kisah yang diangkat Satulana tidak lain juga berangkat dari spirit-spirit naskah sebelumnya tentang petuah kehidupan. Salah satu petuah yang dapat diambil dari kisah barongan adalah rwa bineda. Keberadaan baik-buruk sebagai penyeimbang kehidupan tersebut kita kemas dalam kisah Ratna Manggali dan Bahula. Bahwasanya dalam kehidupan ini tak ada yang menang atau yang kalah, kebaikan dan
keburukan akan terus berjalan beriringan secara turun temurun.
Berdasarkan benang merah permasalahan di atas, maka pagelaran ini diharapkan mampu menjadi salah satu solusi yang pada nantinya bisa dikembangkan lebih lanjut.
Info mengenai pagelaran tersebut bisa dilihat di tautan berikut