Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Mario F. Lawi
Ada 25 puisi yang masuk tahap akhir penentuan pemenang Sayembara Menulis Puisi Kibul.in x Kumpulan Puisi. Puisi-puisi yang dikirim panitia untuk saya baca tidak dilengkapi identitas para penulis. Nomor-nomor penanda digunakan sebagai pengganti identitas. Dengan demikian, teks-teks tersebut berbicara kepada saya dengan sedapat mungkin menutup kemungkinan penelusuran terhadap biografi si penyair. Namun celah biografis tersebut juga menyempil dari teks-teks yang ditampilkan para penyair dalam puisi-puisi mereka. Ada beberapa puisi yang begitu jelas menunjukkan pengaruh dari penyair-penyair terkenal Indonesia sehingga suara dalam puisi tersebut tidak lagi terdengar sebagai milik si penulis puisi.
Dari ke-25 puisi, ada sejumlah puisi yang memang menarik perhatian saya karena penyampaiannya, tema yang diusung, serta penguasaan penyair terhadap khazanah yang diangkatnya dalam puisi. Ketiga hal tersebut merupakan pertimbangan-pertimbangan prioritas, karena dari segi penulisan, ke-25 puisi yang sampai di tahap akhir penilaian tentu saja lebih baik dari puisi-puisi yang gugur di tahap awal. Selain puisi-puisi yang tak bisa melepaskan diri secara cerdik dari cengkeraman pengaruh penyair lain, puisi-puisi yang merespons kekinian tanpa berusaha mendedahkan kedalaman juga saya sisihkan dari tahap pemilihan pemenang. Demikianpun puisi-puisi yang ditulis dengan ketakutan bahwa para pembacanya tidak akan mampu memahami alusi-alusi yang digunakan si penyair.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, saya pun memilih ketiga puisi dengan judul-judul berikut sebagai pemenang:
“Pada Sebuah Mimpi” sebagai pemenang pertama, karena di balik kejernihan penyampaiannya dan ketenangan suasana di dalam puisinnya, ada lapisan alusi yang bekerja. Maryam dan ruthab, Maria dan laut, bintang dan belukar api, bahkan bintang dan Maria adalah alusi internal yang saling mengikat karena punya tradisi panjang di luar teks puisi tersebut. Dalam tradisi Katolik, Maria ibu Yesus punya sebuah julukan yakni Stella Maris atau bintang laut. “Maria” adalah bentuk plural kata Latin “mare” yang berarti “laut”. Bintang yang diibaratkan seperti belukar api melemparkan puisi ini ke dalam pergantian antara kisah Musa dalam Perjanjian Lama dan Maria dalam Perjanjian Baru. Di antara kecenderungan dominan itu, ada kisah tentang Maryam dan ruthab dari tradisi Islam yang menyempil. Penggunaan alusi ini lebih berhasil karena dalam sejumlah teks lain yang sampai ke tahap akhir, para penyairnya merasa perlu melakukan name dropping dan menggunakan catatan kaki karena takut permainan mereka tidak bisa diikuti oleh pembaca.
Pemenang kedua adalah puisi berjudul “Lembu Brahman di Kandang Penggemukan”. Puisi tersebut dengan baik menampilkan bagaimana zaman, konteks dan dominasi mengubah narasi sebuah hal. Dengan sudut pandang orang ketiga, penyair bebas memasuki pikiran si lembu, bahkan mengandaikan si lembu mengenakan atribut religius seperti yang dikenakan oleh para pemeliharanya. Dalam puisi tersebut, lembu brahman dan sejarahnya ditempatkan dalam perspektif antroposentris di tengah aliran waktu yang juga ikut mengubah cara dominan yang digunakan untuk memandangnya. Ada satu-dua mitologi yang ditarik ke dalam puisi tersebut, tetapi penyampaiannya tidak menjadi terlampau didaktis seperti puisi-puisi lain. Retrospeksi di akhir puisi membuat kisah tentang lembu turut mengangkut perubahan peradaban yang dialami manusia.
Pemenang ketiga adalah puisi berjudul “Jurang”, sebuah puisi yang berangkat dari dua baris kutipan Cento Proba, puisi cento tentang Kristus yang ditulis dengan sepenuhnya merakit baris-baris karya penyair Romawi Vergilius, dan menggunakan cara yang lebih fleksibel dari Proba dengan memainkan baris-baris puisi Vergilius (terutama dari puisi Ecloga I) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tanpa pemahaman terhadap bahasa dan sastra Latin serta kemauan menelusuri sejarah penulisan puisi sampai ke periode dua milenium yang lalu, puisi seperti ini tidak akan berhasil dikerjakan. Saya menduga puisi ini memang dikerjakan oleh orang yang pernah belajar bahasa Latin secara formal dan melanjutkan pelajarannya dengan menelusuri puisi-puisi para penyair Romawi, entah dari periode Kristen seperti Proba, maupun dari periode sebelumnya seperti Vergilius. Siasat tersebut membuat interaksi tak langsung antara “aku” dan “kau” dalam puisi menjadi pars pro toto bagi interaksi antara si penyair dan pembaca hari ini dengan teks-teks klasik dari berabad-abad yang lalu.
Catatan Redaksi:
E-book Antologi Puisi Sayembara Menulis Puisi Kibul.in x Kumpulan Puisi bisa diunduh di sini