Author: kibulin

  • Kursus Balet

    author = Kiki Sulistyo

    Waktu pertama kali datang ke tempat latihan balet, Lin Munru melihat seekor burung betet; berkepala besar dengan paruh bengkok, bulu-bulunya hijau kecuali di bagian dada yang berwarna merah, dan kakinya pendek dengan dua jari menghadap ke belakang. Namun kata Madona, adik sepupunya, itu bukan burung betet, melainkan burung Kiki. Lin Munru belum pernah mendengar nama burung Kiki dan dia ingin mendebat adik sepupunya itu kalau saja dia tidak teringat pada jam pelajaran balet. 

    Tempat latihan balet berada di lantai atas sebuah ruko. Di lantai bawah ada gerai busana. Para murid balet harus melewati gerai itu untuk menuju lantai atas. Selain Madona ada beberapa anak yang juga tampaknya hendak latihan balet. Semua anak itu diantar oleh orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. 

         Berbeda dengan orang-orang yang tanpa menoleh langsung menuju lantai atas lewat tangga di sudut gerai busana, Lin Munru dan Madona tertahan di gerai busana dengan mata berbinar-binar melihat aneka busana yang dipajang. Langkah mereka mengayun pelan-pelan sebab mata mereka memperhatikan satu-persatu setiap busana yang mereka lewati. Bahkan mereka kemudian berhenti di depan manekin bergaun putih panjang yang mengembang di bagian bawah. Apa yang membuat mereka terpana bukanlah gaun itu melainkan sepatu yang dikenakan manekin. Sepatu itu terbuat dari kaca dan hanya sebelah saja. 

         “Cinderella..” bisik Madona pada Lin Munru. “Ternyata Cinderella anak durhaka,” lanjutnya.

        “Maksudmu?”

        “Iya, pasti dia sudah dikutuk ibunya sampai jadi patung begini.”

         Lin Munru merenung. Sebetulnya dia tidak sedang memikirkan kata-kata sepupunya, dia sedang teringat pada lelaki yang sudah meninggalkannya. Lelaki itu adalah dosen pembimbingnya ketika dia menempuh pendidikan tinggi. Bagi Lin Munru, lelaki itu memang tidak tampan tapi dia benar-benar pintar dan sanggup mendengar dan melayani pikiran-pikiran Lin Munru. Lagipula sebagai dosen dia tidak pernah bersikap seolah dirinya punya kasta lebih tinggi ketimbang mahasiswanya. Lin Munru jatuh cinta padanya namun hubungan mereka segera kandas ketika terkuak fakta bahwa lelaki itu pernah tidak mengakui kalau seorang perempuan setengah gila yang tinggal di sebuah kampung pesisir adalah ibunya. Bagi Lin Munru, seberapa pun pintar dan baiknya seseorang, jika dia tidak mengakui ibunya sendiri, maka orang itu tidak pantas dipercaya. Jika ibu kandung sendiri tidak diakui bagaimana dengan dirinya nanti?

         “Itu bukan cerita Cinderella, itu cerita Malin Kundang,” bantah Lin Munru.

         “Mungkin saja Cinderella dan Malin Kundang bersaudara.”

         “Tidak mungkin. Mereka tinggal di tempat yang jauh berbeda, di waktu yang juga jauh berbeda. ”

         “Aku punya teman sekolah yang pernah bercerita bahwa dia punya saudara yang sekarang tinggal di surga. Bukannya surga juga jauh?”

         “Itu artinya saudara temanmu sudah mati.”

         Lin Munru menarik tangan Madona agar bergegas menuju tangga. Tidak ada gunanya berdebat dengan sepupunya itu. Madona sedikit menahan tarikan Lin Munru sehingga kakinya seperti terseret-seret, sementara pandangannya terus tertuju ke manekin Cinderella. 

         Latihan pertama balet baru saja akan dimulai. Beberapa anak berdiri menghadap seorang perempuan yang mengenakan kaus polos dan celana ketat. Di belakang perempuan itu terbentang cermin sehingga dapat terlihat rambutnya yang diikat ke belakang. Bagian ujung rambut dicat hijau, sementara bagian tengahnya dicat merah. Di dalam cermin juga terlihat para pengantar anak-anak yang berdiri atau duduk bersandar di dinding seberang cermin.

         Ketika melihat Lin Munru dan Madona, pelatih balet berkata, “Oh, masih ada satu teman kita. Ayo silakan berbaris.”

         Lin Munru melepas pegangannya pada lengan Madona dan menyuruh sepupunya itu berbaris. Madona menurut, Lin Munru memperhatikan sepupunya sebentar lantas memperhatikan anak-anak yang lain sebelum memperhatikan si pelatih balet. Madona paling kecil dibanding anak-anak lain dan pelatih balet itu kelihatan kurang bersemangat. 

         Gagasan untuk memasukkan Madona ke kursus balet murni berasal dari Lin Munru. Madona anak yang aktif; suka memanjat tembok, melompati pagar, atau berguling-guling. Dia juga lebih sering bermain bersama anak laki-laki. Menurut Lin, Madona perlu menyalurkan energinya ke hal yang lebih jelas, karena dia sangat aktif risiko kecelakaan mungkin terjadi dan kalau ibunya melarang bisa-bisa dia jadi membenci ibunya. Kursus balet adalah pilihan yang tepat untuk anak yang aktif. Lin Munro sudah tidak ingat dari mana dia mendapat informasi  bahwa di sekitar pertokoan itu ada yang membuka kursus balet.

         Sebetulnya Lin Munru sendiri pernah punya keinginan jadi balerina. Sewaktu kecil dia menonton sebuah film tentang balerina dan seolah mendapat bisikan sekonyong-konyong timbul cita-citanya untuk jadi balerina. Sayang waktu itu belum ada kursus balet di kota tempat tinggalnya. Kalaupun ada, ibunya pasti tidak mengizinkan. Ibunya ingin dia lebih banyak memperhatikan pelajaran di sekolah dan karenanya kursus-kursus yang boleh diikutinya adalah kursus-kursus yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah. Cita-cita Lin Munru menjadi balerina segera terkubur, dan kenyataan itu membuat Lin Munru jadi membenci ibunya.

         Latihan balet dimulai. Karena itu baru pertemuan pertama pelatih hanya memberi latihan-latihan kecil untuk melenturkan badan. Dari seruan-seruannya, Lin Munru tahu kalau pelatih itu bernama Kiki. Lin jadi teringat pada burung yang tadi dilihatnya. Dia berjalan ke dekat jendela untuk menengok ke luar. Burung betet tadi sudah tidak ada. Lin menyapukan pandangan ke seluruh kabel listrik yang bisa terjangkau mata, tapi burung itu tidak juga terlihat.

         “Burung itu sudah terbang,” ujar seorang laki-laki yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Laki-laki itu turut melihat ke luar. 

         “Kok tahu saya sedang mencari burung?”

         “Soalnya tadi saya lihat burung itu terbang, burung itu mirip pelatih balet, dan tadi saya lihat kamu memperhatikan pelatih itu sebelum berjalan ke jendela.”

         Lin Munru menoleh. Laki-laki di sampingnya cukup tampan, kalau dia pemain sandiwara dia bisa berperan sebagai pangeran dalam cerita Cinderella.

         “Itu putrimu?” tanya laki-laki itu.

         “Kau bisa menebak soal burung. Jadi kupikir kau juga bisa menjawab pertanyaanmu sendiri.”

         “Oh, Baiklah. Itu bukan anakmu, itu sepupumu, dan dia nyaris membenci ibunya.”

         Lin Munru terheran-heran. “Sebentar,” ucapnya, “apakah kita pernah bertemu?”

         “Tentu saja.”

         “Di mana?”

         “Aku pemilik gerai busana di bawah.”

         “Oh, tapi aku tidak melihatmu tadi.”

         “Betul. Tapi aku melihatmu, itu artinya kita pernah bertemu.”

         “Baiklah. Kalau begitu bolehkah aku menanyakan sesuatu?”

         “Saya tahu kamu akan menanyakan soal sepatu manekin yang cuma sebelah.”

         “Aih, rupanya kau tahu segala hal.”

         “Tidak juga. Aku tidak tahu kalau pelatih balet itu adalah ibuku.”

         Lin Munru terkejut dan secara otomatis kepalanya menoleh ke arah si pelatih yang juga kebetulan sedang melihatnya. Pelatih itu tersenyum padanya. Lin Munru membalik badan dan melihat semua pengantar yang tadi bersandar di dinding sudah tidak ada di tempatnya. Rupa-rupanya mereka bosan dan memilih menunggu di luar.

         “Aku tahu kamu terkejut. Aku juga terkejut.”

         “Maksudmu terkejut mengetahui kalau pelatih balet itu adalah ibumu?”

         “Bukan. Aku terkejut karena kamu terkejut.”

         “Tentu saja aku terkejut. Kukira setiap orang akan terkejut mengetahui informasi itu.”

         “Apakah kamu juga akan terkejut kalau kukatakan aku tidak mau mengakuinya sebagai ibu?”

    Lin Munru berpikir sebentar. “Kukira tidak,” jawabnya kemudian.

         “Jawabanmu mengejutkanku,” ucap laki-laki itu.

         “Aku tidak terkejut dengan jawabanku.”

         “Aku tahu. Karena itu kamu membawa sepupumu ke kursus balet ini.”

         “Aku tidak mengerti maksudmu. Itu dua hal yang sama sekali tidak berhubungan.”

         “Seperti aku dan pelatih balet sama sekali tidak berhubungan?”

         “Itu hal yang lain lagi dan tidak berhubungan sama sekali denganku.”

         “Jika ada beberapa hal yang tidak berhubungan maka di dalamnya pasti ada hal-hal yang berhubungan,” ucap laki-laki itu lalu dengan satu gerakan ringkas membalik badan dan menjauh dari Lin Munru.

         “Tunggu,” kata Lin Munru, “apakah kau tahu ke mana burung betet itu terbang?”

         Laki-laki itu menoleh. “Tentu saja. Tapi itu bukan burung betet. Itu burung Kiki,” katanya sambil bergegas menuju tangga. Lin Munrumerenung. Sebetulnya dia tidak merenungkan jawaban laki-laki tadi, dia hanya tiba-tiba teringat pada dosen pembimbingnya dan berpikir-pikir apakah ada hubungan antara dosen pembimbingnya itu dengan seekor burung betet yang berubah nama dan terbang entah ke mana?

         “Lihat, lihat!” seru Madona tiba-tiba. Lin Munru menghentikan pikirannya dan melihat sepupunya serta anak-anak yang lain mengepak-ngepakkan tangan. Tubuh mereka terangkat dari lantai seperti sekelompok burung sedang belajar terbang. Melihat semua itu Lin Munro tertawa-tawa. Dia sama sekali tidak terkejut.

  • Kunang – Kunang di Tondano

    author = Pinkan Kurnia Dewi Siswantoro
    Lahir di Magetan, 30 Januari 1990, berdomisili di Bekasi Timur. Menjuarai sejumlah kompetisi menulis esai dan karya ilmiah tingkat nasional. Punya motto: Menulislah sampai namamu berada dalam salah satu sejarah yang selalu di ingat…. Dan menulislah hingga kamu tidak pernah merasa bosan.

    Angin datang seakan menderu – deru mengibaskan langit yang kala itu memancarkan cahaya sinar yang hampir kelam. Seolah harum cahaya yang bening keemasan dapat ku hirup dan tercecap di setiap rasanya yang manis, bagai diluluri madu sekalipun kabut tipis masih tertinggal.  Di pelataran basah seperti kupu-kupu,  mereka mengitari sebagian tanaman perdu yang liar dengan gulungan benang yang menjuntai di setiap garis awan yang mulai menipis. Masih sama ku ingat ketika aku merentangkan setiap gulungan benang di antara daun – daun basah bersama bapak di saat musim layangan. Kala itu aroma tanah selepas hujan dan langit yang mulai terhalang kabut menggiurkan dahaga yang berkecamuk, bapak lebih semangat menemaniku bermain dan mengulur – ulur gulungan benang yang menjuntai. Ketika aku bertanya padanya tidakkah lebih indah jika layangan dinikmati ketika langit cerah. Namun sekali lagi bapak selalu berkata bahwa lebih indah jika layang – layang yang menari di langit jauh lebih berkilau jika diikuti serombongan kunang-kunang di saat langit mulai petang.

    Kali ini aku dibawa pada bangku murung yang lelah. Sambil menatap ke arah bapak yang tiada habisnya, memandangi sebuah foto lawas yang selama ini disimpannya dengan rapi. Rasanya aku ingin menagih janjinya, untuk dapat menemaniku lagi saat musim layangan. Sekalipun tangan rentanya tidak dapat lagi membantuku menjuntai benang.  Namun, kedua mata bapak seperti diserang rasa kering yang tidak lagi memancarkan binar di matanya, yang ada justru makin menyesakkan yang membuatnya terpasung dan diam. Entah untuk yang kesekian kalinya, selesai menatap foto itu bapak menjanjikanku untuk pergi bersama sambil membawa serta layang-layang yang akan dimainkan di tempat itu, tempat yang sama seperti di foto yang ia selalu perlihatkan padaku dan ibu. Entah apakah masih sama persis ketika ia berjanji untuk pertama kalinya, hingga sampai ibu telah tiada. “Nanti bapak ajak ngana ke tempat ini ya.” Begitulah kiranya bapak selalu mengajakku. Ke tempat yang belum pernah ku sambangi, namun seperti melekat erat di mataku ketika menatap foto itu. Sungguh nampak jelas terlihat di foto itu, pesona kilauan cahaya fajar dari balik pegunungan, yang menembus permukaan danau, menambah keindahan danau dengan perpaduan warna perak dan orange berkilau indah. Refleksi permukaan danau yang terlihat di foto, seakan teduh karena menggambarkan kembali refleksi bukit dan langit berawan yang tipis di atasnya. Aku mulai membayangkan, mungkin saja terkadang hamparan itu berpendar, dan terbelah oleh perahu-perahu nelayan yang sedang menangkap ikan. Terlintas di otakku, bisa saja aku pergi kesana jika saat itu bapak pergi dengan pamit.

    “ Aney, besok pagi ngana ikut mapalus neh? Agar ngana baku beking pande.” Pinta bapak sembari menyeruput kawangkoang.

    Di tengah taman liar dengan aroma semak yang menyengat, semua orang nampak melangkah dengan cepat, hanya aku yang malas sambil menatap bapak dari jauh. Raut wajahnya yang sumringah tidak bisa membohongiku, bahwa sejatinya hatinya telah diambil dan terbawa oleh kekasih dari pulau yang jauh. Garis keturunan bisa saja berbeda dengan cara hidup yang dilakoninya. Bapak tidak pernah menolak takdir bahwa garis keturunan jawanya telah diselewengkan dengan mudah disaat bapak diasuh oleh pakdhe di ujung pulau harapan. Harapan dimana seorang bayi yang baru saja lahir lalu dipisahkan oleh ibunya karena harus dilakukan, agar terjamin masa depannya. Harapan seorang bayi dimana dapat tumbuh dewasa, hingga beranak pinak di kampung yang menjadi tempat jalan pulangnya. Pakdhe tumbuh dewasa mengajak serta bapak di pinggiran Danau Tondano, bersama kakak nenek yang lebih dahulu beranak pinak disana. 25 tahun bukan waktu yang singkat untuk menanamkan identitas bahwa ia saat itu menjadi laki-laki Tondano. Bersaudara mereka dengan baik tanpa adanya konflik etnik yang meradang.

    Di tepi danau Tondano dimana terdapat hamparan sawah menghijau, rumah kayu dengan arsitektur Eropa dengan cerobong asapnya yang menyembul. Dengan sekeliling jalan yang berkelok terlihat dihiasi oleh pemandangan hutan tropis yang lebat dan menyejukkan. Bapak seringkali bercerita padaku begitu sejuknya ketika ia bersujud seraya mengumandangkan kalimat takbir. Meskipun terdengar pula beberapa lonceng dari gereja saling menyahut. Beberapa kawan dari suku minahasanya dan beberapa dari etnik jawa tondano pun dengan sabar menunggu sambil melambungkan layang-layang yang berwarna abu.

    “ Manjo Edi… torang  terbangkan layangan ini.” Teriak salah satu khawan gerejanya usai bapak menunaikan ibadah.

    Kota ini mungkin menjadi tujuan exodus dari daerah bertikai di wilayah Indonesia Timur. Ketika menjadi rumah baru bagi orang dari daerah bertikai, kampung halaman tempat Bapak tumbuh hingga kini mampu menjaga citra tersebut.

    Suatu malam ketika bapak dan pakde singgah sebentar di tepi tondano, lebih indah dari angkasa segerombolan kunang-kunang yang bernyala berjajar jauh menjulang sampai tinggi, berkejaran dengan susah payah membuat danau biru jernih ini nampak indah meski tidak berombak. Sambil memandang ke langit Pakde berkata akan menikahi Marta anak pendeta dari gereja tua di desa sebelah. “Ka, ngana  serius? Ingat status kalian berbeda.” Kata bapak yang saat itu mengingatkan. “Kita sayang itu perempuan dengan tulus Ed. Apapun kita perjuangkan untuk dapatkan.” Dan jawaban itulah yang hanya dapat di dengar bapak seakan bertubrukan dengan suara desis angin malam itu. Nyatanya gadis dari anak pendeta itu telah dapat menjatuhkan hati kakak bapakku. Bapak bercerita bahwa malam itu adalah malam yang paling gelisah hingga matanya tidak bisa terpejam. Dan rasanya ia lebih memilih digigit kepinding yang banyak bersarang di tikar alas kasurnya atau rela digigiti nyamuk seakan ia rela membagi darahnya.“Kita memang bersaudara kak, tetapi tidak seharusnya ngana kaweng dengan gadis itu, tapi semua keputusan ada di tanganmu kak.”

    Andai saja toleransi sebagai wujud nyata sekalipun nantinya pakde pada akirnya menjadi pendeta di gereja pesisir Tondano. Aku pun mulai melipat sajadah yang biasanya berada sedikit di depanku, ketika mengumandangkan takbir di pinggiran danau Tondano bersama. Pergolakan hebat pun terasa, ketika ku dengar langsung  sang romo membaptis pakde yang berbaur haru biru. Bapak bertanya-tanya pada tubuh yang membawanya tumbuh. Akankah bernasib sama ketika arus sudah berkata. Tidakkah seharusnya kita berfikir untuk lebih memilih calon pendamping dari etnis jawa tondano, yang secara keyakinan sama lantaran keturunan dari Kyai Mojo. Sekejap wangi aroma aren dari saguer lebih kental terngiang di tengah pesta pernikahan pakde kala itu. Bapak pun ikut menghirup aroma saguer sambil menyeruputnya pelan-pelan demi menghangatkan tubuhnya yang mulai dingin akan angin malam. Hingga akhirnya ia larut dalam pesta adat dan terdampar di pinggiran tondano menghadap ke danau. Malam itu kunang-kunang tidak lagi terlihat menggerombol, seperti saat mereka menemukan serimbun bunga liar di tengah-tengah bunga yang terawat. Hingga bapak sering kali tersenyum, seakan merasa kalau kunang-kunang itu tengah menemaninya. Namun kala itu, bapak harus mulai membiasakan untuk menatap Tondano sendirian, sekalipun beberapa perahu nelayan silih berganti dan mereka menyapa sesekali.

    Seringkali ketika aku mulai disebut dewasa, aku pernah memberanikan diri untuk bertanya pada bapak, bagaimana cantiknya gadis – gadis Tondano disana. Sambil  menahan tawa bapak bercerita tentang keeolakan gadis Tondano, dimana wajahnya seakan ada sedikit percampuran dari ras Belanda. Disebutnya salah satu nama bernama Nensi si gadis suku Minahasa, ketika pertemuan pertamanya di sebuah adat perkawinan dan bapak membantu prosesi nya dengan membawa hantaran mas kawin dari pengantin pria, yang saat itu ialah khawannya sejak kecil.  Pertemuan pertama disaat upacara toki pintu di kediaman calon pengantin wanita rasanya pernah menjadi debaran tersendiri bagi bapak, apalagi pertemuan yang berlanjut ketika bapak mengikuti prosesi pesta nelayan di Tondano. Di tengah munculnya banyak sekali perahu bolotu yang bercorak warna – warni di tengah danau, nampaknya si gadis minahasa ini mampu merebakkan wewangian yang menyebabkan ketidak warasan. Namun hati tidak hanya ingin berlabuh lalu pergi bukan? Seakan menghidupkan lensa mata, lalu membuangnya dalam kalut yang meronta. Dan tetap saja alih-alih bapak akan pergi meminang, justru yang ku tahu hingga saat ini bapak pulang ke tanah kelahirannya.

    “Aney, ngana mengapa tidak turut serta mapalus bersama warga, ini mumpung tidak sedang hujan?” Tanya bapak ketika melihatku hanya termenung dan tidak mengikuti kerja bakti bersama.

    Tapi aku hanya tersenyum, seakan bapak tau aku lebih suka bermalas-malasan. Aku kagum dengan bapak. Ia laki-laki jawa yang justru dalam hidupnya, tidak pernah melupakan tradisi dan kebiasaan yang telah dibangunnya sejak kecil. Sekalipun ia pulang ke tanah kelahirannya. Tradisi yang ia bawa dari pulau harapan itu mengajarkannya akan hidup bertoleransi. Dan ia pun tidak pernah mengingkari jati dirinya, sebagai manusia muslim yang taat dan membaur dengan adat istiadat nya sebagai manusia keturunan jawa. Aku bertanya pada bapak yang saat itu masih menatap foto lawas yang ia bawa di sakunya. Mengajaknya untuk terbang sembari menagih janjinya untuk bermain layangan. Setidaknya uang dari pensiunan bapak masih cukup jika hanya sekedar membawa ku dan bapak untuk terbang.

    “Ayo pak kita pergi ke tempat yang selalu bapak lihat itu.”

    “Nanti saja ya Aney.”

    “Mengapa harus tunggu nanti? Bukankah lebih cepat itu lebih baik?”

    “Bapak hanya merasa bersalah karena bapak pergi tanpa pamit.”

    Jawaban terakir bapak itu sungguh menyiksaku, aku tidak pernah tau mengapa bapak memutuskan pergi dan memilih untuk tidak meneruskan hidup nya di sana. Bukankah ia selalu rindu untuk pulang. Hampir 27 tahun lamanya aku tidak pernah mengenal satupun keluarga bapak yang berada di Tondano.

    Kurang lebih seminggu sudah  jalanan basah karena hujan. Entah sudah berapa kali ku hitung tetesan embun yang masih saja hinggap di daun – daun itu. Ku lihat langit yang merendah masih saja dipenuhi dengan kabut.  Secarik kertas ku tulis dengan pena kesedihan, ingin rasanya ku beranikan diri untuk pergi tanpa pamit ke bapak. Rasa ingin tahuku yang besar ternyata tidak dapat menahanku untuk terus melihat sembilu di wajah kuyu bapak sampai saat ini. Masih saja bapak setia dengan foto lawasnya. Duduk di sofa yang hangat sambil mengikuti kebiasaan bapak menyeruput kawangkoan, kopi khas yang selalu ia minum ketika sedang bercengkrama dengan padhe sebatas sebagai penahan kantuk. Sembari menonton televisi, mengutak – atik remot tv sampai bapak merasa kesal karena acara tv yang selalu ku ganti.

    “ Tunggu Aney, stop di channel ini.” Kata Bapak sedikit mengeraskan suaranya.

    “ Yang ini pak?”

    “ Ya Allah… entah cobaan apa yang Kau beri, mengapa harus Tondano?” Teriak bapak kali ini sambil menangis histeris. Sesekali ia menyeka air matanya, namun kedua mata nya masih tajam untuk terus menatap lurus di televisi.

    Aku pun ikut larut dalam kesedihan, ketika hatiku tidak dapat acuh kala mendengar bapak berteriak menangis histeris. Ku lihat di berita tingginya curah hujan sejak akhir – akhir ini, menyebabkan  permukaan air Danau Tondano di Kabupaten Minahasa naik hampir satu meter.

    Luapan air danau yang menimbulkan banjir besar telah meluluh lantahkan beberapa pemukiman warga setempat. Alat pengukur ketinggian air pun tidak akurat lagi. Bapak berkata ia masiih ingat betul jika warga disana hanya berpatokan pada sebuah plat besi, yang telah dipasang dekat meteran. Namun, lihat saja di televisi hampir semua plat besi telah tenggelam. Kedua mata bapak semakin membengkak dan sayu. Kerutan di wajahnya dan gigi nya yang masih bergetar tidak dapat membohongi hatinya, bahwa saat ini bapak sangat gelisah. Di pegangnya erat-erat foto lawas  dan di lihatnya lamat-lamat masih sangat cantik alam danau Tondano jika dibandingkan dengan situasi saat ini. Tanpa berfikir panjang kecemasan bapak tidak dapat lagi tertahankan. Meski ia mencoba menahan diri di setiap denyut nadinya, nyatanya kedua tangannya mulai mengemas beberapa baju yang ia tata rapi di tas ranselnya.

    “ Bapak mau pergi?”

    “ Kemarin ngana ajak bapak terbang kan? Ayo sekarang Aney, uang pensiunan bapak masih mampu jika hanya sekedar terbang dan beberapa hari disana. ”

    “ Eh, bapak yakin?”

    “ Aiiihh… satu nilai yang ngana harus tau Aney… Torang Samua Basudara.”

    Kami pun segera bergegas mencari penerbangan paling awal hingga akhirnya kali ini kami berada di ketinggian  40.000 kaki dari permukaan air laut. Beberapa penerbangan menuju Manado memang di tutup dengan alasan cuaca yang tidak menentu. Sesekali ku longok di luar jendela pesawat, gumpalan  awan yang sedikit abu-abu hampir gelap karena di selimuti kabut. Beberapa kali kami berdoa agar dapat tiba dan mendarat dengan selamat. Sekalipun sesekali goncangan badan pesawat sangat terasa di tubuh kami yang sedikit bergetar.

    Tiba di pulai harapan yang biasa disebut bapak sedari aku masih disapih ibu. Ku pijakkan kaki ku untuk pertama kalinya. Baru ini ku lihat kedua mata bapak berbinar. Namun kemudian ia menjadi gugup di tengah lalu lalang orang – orang yang bergegas. Bising lalu lintas membuatnya cemas, mungkin hampir puluhan mobil yang berdengung mirip sengatan serangga yang hampir mematuknya. Adanya banjir membuat jalur lalu lintas banyak yang terputus. Setelah kami berani menerobos jalan melalui jalur alternatife, tibalah kami di sebuah tempat masa lalu yang selalu membuatku bertanya-tanya. Danaunya tidak lagi sejernih yang di foto, justru yang tersisa hanyalah ranting-ranting kayu dan beberapa perahu yang ikut terdampar di tepian danau. Beberapa rumah yang terendam air mulai surut dengan meninggalkan jejak lumut dan sampah yang menyarang. Terlihat kubah gereja tua  dan menara masjid besar yang masih utuh, karena letaknya sedikit berdampingan dan agak sedikit naik dari batas danau. Namun cat dan beberapa tiang penyangganya sudah pudar dimakan usia dengan gumpalan tanah akibat banjir.  Wajah bapak nampak temaram karena ratusan air mata yang membasahi pipi nya yang nampak sudah berkerut.  Segera mungkin ia bergegas berlari bersama warga setempat menarik perahu – perahu untuk di tempatkan lagi ke asalnya. Membuat simpul dari tali untuk dikaitkan ke perahu dan ranting-ranting pohon besar yang menutup jalan agar dapat segera di pindahkan.  Akupun terpacu untuk ikut membersihkan sampah yang bersarang di sekitaran rumah warga.

    “Aney ngana tetap bantu di sana. Jangan terpisah jauh dari bapak.” Teriak bapak dari jauh ketika ku lihat dia sedang membantu warga sekitar.

    Penglihatanku menerawang lebih jauh menyusuri situasi perkampungan yang saat ini tengah luluh lantah akibat terjangan banjir. Danau yang dulu riaknya tenang, nyatanya meluap bagai amukan gelombang yang siap menghantam siapa saja di hadapannya. Riak – riaknya tak lagi tenang, mungkin masih tersisa sedikit ketika hujan mulai turun kembali. Ku lihat beberapa warga yang biasa bapak sebut dengan etnik jawa tondano yang hampir semua warganya mayoritas muslim sedang melakukan  muraja’a bersama dengan warga desa minahasa sekitar yang menyenandungkan puji-pujian. Rumah – rumah panggung dari kayu yang roboh mulai dibangun kembali oleh warga, dengan meletakkan beberapa bambu sebagai penyangga yang dihujamkan ke dalam tanah dimana ujung atasnya turut menyanggah kuda kuda atap. Atap – atap seng yang sudah agak longgar pakunya akan terdengar berderit – derit mempertahankan kedudukannya di atas kuda – kuda. Beberapa ritual yang diyakini sebagai penguat kekokohan rumah ikut turut serta dalam mapalus berbagai macam benda, disertai doa-doa mengiringi tegaknya bambu penguat rumah,  asap kemenyan pun menyebar dengan aroma yang sangat khas.

    “Ngana bukan orang sini eh?” tanya salah satu Bapak tua yang sedang ku bantu memilah milih bambu.

    “Ooo… saya Aney dari Jawa.”

    “Jawa Tondano?” Tanya lagi si bapak tua.

    “Bukan bapak, saya dari jawa tengah, kemari dengan bapak saya, dulu besar disini.”

    “Oooh… Bapak ngana siapa punya nama?”

    “Edy, Edy Ering”

    “Aiiihhh, Edy si Jaton? Jawa Tondano itu? adik dari Bapa Obi? Dimana dia sekarang nak? Bertahun – tahun Edy pergi kita pikir dia sudah mati”

    “Bapak ini siapa?”

    “Kita khawan lama Edy ketika masih muda, sangat lama.”

    Aku pun langsung bergegas berlarian mencari dari sela-sela kerumunan orang yang sedang membereskan kampung akibat banjir. Ku temukan bapak sedang sesenggukan sembari sesekali menyeka air matanya dan memeluk lelaki yang lebih tua darinya. Ku picingkan kedua mataku dan ku buka lebar-lebar daun telingaku. Mengamati apa yang terjadi dan mendengar permintaan maaf bapak pada laki-laki tua itu. Yah…aku yakin dia adalah pakdhe Obi. Keduanya seperti pertemuan si anak ayam yang kehilangan induk. Ku dengar pakdhe obi kecewa, dengan sikap bapak yang pergi tanpa pamit.

    “Ngana tega dengan kita Ed. Seharusnya ngana tunjukkan sebagai laki-laki, apa kita pernah memaksa ngana untuk ikuti arus seperti kita?”

    “Maafkan saya kak, kita rindu ingin pulang. Tapi kita takut jika harus berpindah keyakinan.”

    “Ed, ketika sakramen ketiga ngana tidak kunjung datang. Nensi menunggu ngana ber jam-jam berhari – hari duduk diam di dalam gereja. Paman Nensi hampir saja bunuh kakak dan hampir saja ada pertikaian. Jika saat itu ngana jujur dan berani bicara ngana tidak perlu menyakiti hati siapapun.”

    “Maafkan kita kak, Kak…kita rindu… rindu sekali dengan kakak, bertakbir di Tondano. Kak.. masih adakah kunang-kunang itu?”

    Suara adzan terdengar syahdu dari pengeras suara di puncak menara mesjid Al Falah, mesjid terbesar di Tondano. Tangis haru begitu riuh ketika bapak saling berpelukan dengan saudara lama, keriuhan yang menggema bersama adzan yang masih dapat dilantunkan sekalipun warga tengah disibukkan memperbaiki desa. Di pinggiran danau tondano, yah… bapak bertakbir menyerukan Allahu Akbar…Allahu Akbar… Allahu Akbar… diikuti segerombolan kunang-kunang yang masih sama kilaunya ketika terakhir bapak pergi tanpa pamit. Kunang-kunang yang mungkin sudah beranak pinak dan telurnya menetas bersama tetesan embun ketika hujan. Meskipun kali ini layang – layang masih tak dapat diterbangkan.

    “Kak…kita dan ngana sama – sama sudah tua ya.” Sambil terbahak – bahak ditemani segelas kawangkoan.

    “Ngana yang tua, kita masih muda toh akibat minum saguer.”

    “Tidak kawangkoan lagi?”

    “Masih, kalau kita merasa sudah tua.”Mereka pun tertawa bersama.

    “Kak? Dimana Nensi sekarang?”

    “Ooohh… Jika ngana berenang ke danau Tondano, mungkin saja ngana bisa dipertemukan.”

    Tiba – tiba saja bapak terdiam dengan pandangan menatap Tondano bersama kunang-kunang.

     

    Catatan Belakang :

    Ngana : kamu // 
    Mapalus : sebutan adat gotong royong Minahasa //
    Baku beking pande : Bagi orang Minahasa bermakna agar menjadi cerdas //
    Kawangkoang : Kopi khas Sulawesi //
    Manjo : Ayo //
    Torang : kita //
    Kaweng : Kawin //
    Saguer : Minuman khas manado berasal dari pohon aren //
    Toki pintu : mengetuk pintu prosesi lamaran //
    Torang Samua Basudara : kita semua bersaudara (semboyan) //
    Muraja’a : berdoa bersama //
    Jaton : Jawa tondano ( sekumpulan desa jawa tondano keturunan kyai modjo beragama muslim) //

    * Cerpen ini adalah Cerpen Pemenang Ketiga Lomba Sastra dan Seni UGM 2017
    ** Gambar adalah lukisan Chasing Firefly karya Leah Fitts

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Kunang-Kunang dan Para Ikan di Kedung Mayit

    author = Dewanto Amin Sadono

    Juara 1 Lomba Cipta Cerpen Festival Sastra UGM 2020

    Ketika mancing di dekat pohon cangkring berumur seratus tahun itu, kail Sobrot nyangkut ikan seukuran telapak tangannya. Matanya berbinar-binar, dadanya bergetar-getar, ikan itu didekapnya hingga menggelepar-gelepar.  

    “Aku menemukan ibuku,” kata Sobrot pada teman-temannya sesama pemulung. Menurut bualan para pemancing, orang-orang yang mati di sungai itu akan menjelma jadi ikan, berubah jadi manusia lagi jika kena pancingan. 

    Walau ibunya hilang di pasar, ketemu di sungai juga tak apa-apa, apalagi peristiwa itu sudah lama, bisa saja selama masa itu sang ibu terpeleset saat hendak mengambil sandal jepitnya, lalu tenggelam ke dasar sungai yang penuh busa deterjen itu. Sama seperti umur Sobrot, lima belas tahun lalu ada perempuan yang melompat dari atas Jembatan Mayit tempat Sobrot dan empat kawannya bernaung di bawahnya, ditinggal pacarnya saat hamil. Tubuhnya tak pernah ditemukan, namanya Narti, dan nama itulah yang Sobrot pakai untuk ibunya. 

    “Bu Narti, jangan tinggalkan Sobrot lagi, ya! Sobrot sudah kerja, ibu di rumah saja!”

    Esoknya, Sobrot ke sungai lagi, “Aku akan mancing bapakku,” katanya kepada empat temannya. Punya ibu saja tidak apa-apa, tapi kalau bisa lengkap dengan bapaknya pasti lebih asyik lagi, begitu pikirnya. 

    Sama seperti kemarin, kali itupun Sobrot sedang dinaungi rejeki, dia dapat ikan lagi, bapaknya berkecipak-cipak di ember plastik yang dibawanya. Dua hari setelah Narti bunuh diri, terjadi kecelakaan. Pengendara motor lagi mabuk yang pulang dari Lokalisasi Silir itu menabrak Jembatan Mayit, lalu terjun ke sungai, mayatnya hilang, namanya Narto, dan Sobrot menamai bapaknya dengan nama itu biar serasi dengan ibunya. 

    “Bapak Narto sudah tua, temani Ibu Narti di rumah. Sobrot yang kerja!”

    Sejak punya bapak dan ibu, Sobrot tidak tidur di bawah Jembatan Mayit lagi, pindah ke kontrakan dua kamar, satu untuk dirinya, satu untuk orang tuanya. Kamar itu ada tempat tidurnya, juga meja kecil, serta toples tempat bapak-ibunya berenang-renang. 

    Bedeng bambu tak jauh dari jembatan itu milik Gentho, preman paling ditakuti di wilayah itu, sewanya seratus ribu sebulan. Tanah dan air di sepanjang sisi kanan sungai, serta kanan-kiri jalan, membentang lima kilo meter dari Jembatan Mayit sampai Jembatan Jurug sana, termasuk para penghuninya, milik preman yang badannya penuh tato itu, dia suka memalak siapa saja.

    Melihat Sobrot tertampak bahagia, empat temannya ingin punya bapak-ibu juga, lalu melakukan hal sama, mancing di dekat pohon cangkring itu, tapi hanya dapat sampah. Kail Cahyo nyangkut sandal jepit kiri yang setipis bokongnya, punya Mukidi kena kaos gambar calon  presiden yang kalah, milik Muharyo nyantol sepatu mirip punya tentara, sedangkan  kail Jonto kena sesuatu, saat di dalam air gerakannya mirip ikan, tapi saat diangkat ternyata bekas pembalut wanita, masih tersisa warna merahnya.

    “Sobrot beruntung,” Cahyo memberikan komentarnya, wajahnya kusam seperti air comberan, remaja kurus kering itu dibuang ibunya waktu umur dua tahun.

    “Sobrot diberkati tak ubahnya nabi,” Muharyo ikut memberikan pendapat, dia tak pernah tahu siapa bapak-ibunya, umurnya lima belas, wajahnya berlubang-lubang seperti permukaan Planet Mars usai digempur meteor berulang-ulang.

    “Sobrot jadi pemulung paling bahagia,” Jonto ikut menyela, dia yang paling muda, sebelas tahun. Ibunya pelacur yang bingung menentukan ayah dari bayinya, lalu membuangnya ke tempat sampah satu jam setelah dia dilahirkan.

    “Sobrot itu jelmaan ikan, pasti mudah mendapat ikan lainnya,” Mukidi menutup gerutuan teman-temannya.

    Tak ada yang tahu pasti asal-usul si Sobrot, tapi kabar yang beredar dia ditemukan sedang merangkak di dekat pohon cangkring. Perempuan yang sedang berak itu segera menghentikan beraknya, lalu menyelamatkan Sobrot yang sudah mulai mendekati bibir Kedung Mayit. Karena tak ada yang mau mengakui sebagai anaknya, penjual pecel di Pasar Kliwon itu merawatnya, tapi hanya sampai Sobrot umur lima tahun, disentri menghancurkan usus halusnya, lalu Malaikat Izrail mencabut nyawanya.

    Setelah ditinggal mati ibu angkatnya, anak lima tahun itu menjadi anak asuh banyak orang. Pagi sampai sore hari dipelihara para bakul Pasar Kliwon, kuli angkut, dan tukang becak yang pernah jadi langganan Mbok Ginah, sedangkan sore sampai pagi diasuh para pelacur bertarif lima ribu sekali main yang biasa beroperasi di Alun-Alun Kidul. Mereka menempatkan diri sebagai tantenya, dan mengajari banyak hal, termasuk bercinta. Sobrot kehilangan keperawanan saat umur sepuluh tahun, perempuan beruntung itu lima puluh tahun, oleh para tantenya Sobrot dijadikan hadiah arisan.

    Untuk ukuran gelandangan, Sobrot tergolong manis, kulitnya putih, rambutnya ikal, tubuhnya gembal dan bau sampah. Di antara keempat temannya, dia yang paling beruntung, para pelacur sering memberi rokok, makanan, dan tubuhnya, tapi Sobrot tak selalu mau, takut kena sipilis. Hasil pulungan Sobrot juga paling banyak, maka bisa menyewa bedeng. Wilayah kerjanya luas, penguasa Pasar Kliwon membiarkan Sobrot mencari botol plastik bekas di bak sampah di dekat pasar, preman amatir itu mengira Sobrot pacar Gentho. 

    Kabar tentang Sobrot yang menemukan bapak-ibunya saat mancing segera menyebar. Anak-anak yang orang tuanya minggat ikut mencari peruntungan. Dengan membawa pancingan, ratusan anak berjajar di kanan-kiri sungai berbau tinja itu dari pagi sampai sore, berhari-hari. 

    Mereka memasang berbagai umpan untuk memikat para ikan, kebanyakan tai dicampur tempe busuk dan roti tawar yang dipilin-pilin seukuran ujung jari kelingking. Namun, sungai yang membelah kota bersejarah itu sedang jadi bedebah, tak ada satu pun pemancing yang mendapat bapak atau ibunya, kecuali ikan sabu-sabu, dan itu bukan jenis ikan yang mereka inginkan, tak bisa menjelma menjadi bapak atau ibu. 

    “Di sungai ini sudah tidak ada bapak-ibu lagi karena memang hanya dua itu,” kata anak yang datang dari Boyolali, dan sudah dua hari tidak makan.

    “Tidak mungkin sungai sebesar ini tidak ada bapak-ibunya,” bantah anak lainnya menghibur diri, dia dari Purwodadi, dan tak ingin pulang dengan tangan hampa.

    Pemikiran itu ada benarnya karena sungai itu lebar dan panjang, serta ada bagian yang sangat dalam, yaitu tepat di bawah pohon cangkring, hampir lima belas meter. Dulu namanya Kedung Jaran, batang pohon cangkring itu berbentuk kepala kuda, tapi sejak puluhan bapak dan ibu anggota PKI digorok lehernya, ditembak kepalanya, dan mayatnya dibuang ke kedung itu seperti bangkai ayam, sebutannya berubah menjadi Kedung Mayit.

    Nama yang sama dipakai untuk menggantikan Jembatan Bacem, penghubung wilayah Solo dan Sukoharjo, letaknya lima puluh meter dari pohon cangkring. Konon, jembatan itu angker, sering muncul penampakan, ujudnya gembung, hilir-mudik mencari-cari kepalanya yang hilang dipenggal samurai. 

    Sore itu Sobrot uring-uringan, bapak-ibunya hilang, toples itu terguling, padahal tinggal dua hari lagi jadi manusia. Bapak-ibunya gemuk dan tampak gembira, mestinya betah dan tak kepikiran kembali ke sungai lagi. Sobrot sudah memberi makan sehari dua kali dan mengganti airnya setiap dua hari, sesuai petunjuk Mukidi, temannya ini sempat lulus SMP. 

    “Kalau dalam dongeng, pangeran kodok langsung berubah jadi manusia begitu ada yang menciumnya. Tapi karena ini bukan dongeng, bapak ibumu baru akan jadi manusia setelah empat puluh hari,” Mukidi pernah mengatakan hal itu. 

    Sore itu setelah seharian memulung botol-botol plastik bekas, Sobrot ke bawah jembatan, mencari Mukidi, ingin bertanya apa bapak-ibunya bisa dipancing lagi. Namun, Mukidi tidak ada. “Orang bertato naga itu telah membawanya kemarin malam,” Muharyo memberikan laporan.

    Sobrot tahu laki-laki itu, Gentho, pernah berperan sebagai pamannya karena mengincar lubang pantatnya, tapi tante-tantenya menghalangi karena menginginkan kemaluannya. Paginya Mukidi ditemukan sudah jadi mayat, mengapung di dekat pohon cangkring, dan tidak menjelma menjadi ikan.

    “Kenapa?” tanya Sobrot.

    “Ada darahnya tidak?” Muharyo yang mengambil alih pimpinan kawanan pemulung itu justru balik bertanya. 

    “Tidak, hanya bekas cekikan,” jawab Jonto yang sempat menyaksikan mayat Mukidi.

    “Syaratnya harus ada darah!”

    Sobrot tidak jadi bertanya tentang bapak-ibunya, memikirkan sendiri, mencari jalan keluarnya. Lima sekawan itu sekarang tinggal berempat, dan Sobrot memutuskan kembali tinggal di bawah jembatan, bekerja jadi pemulung seperti hari-hari sebelumnya. Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali, Muharyo hilang dari gubuk, lima sekawan itu tinggal bertiga, dan Jonto ketakutan. 

    “Brot, kita pergi saja!” usul Jonto.

    “Kemana?” Sobrot bertanya,”Menyusul Muharyo di Jembatan Juruk? Gentho tetap akan menemukan!”

    “Muharyo sudah mati dan pelakunya bukan Gentho!” kata Jonto.

    “Tahu dari mana?”Sobrot memicingkan mata.

    “Ada darahnya,” jawab Jonto.

    “Mana buktinya?” desak Sobrot lagi.

    “Tadi aku nemu kalung tengkorak milik Muharyo di dekat semak sebelah sana, terselip di antara batu, ada ceceran darah di situ,” Jonto tetap pada pendapatnya.

    Esoknya gantian Jonto yang hilang, dan Sobrot mengatakan pada Cahyo, Jonto pindah ke jembatan dekat pabrik sepatu, dan Cahyo percaya. Anak ber-iq dua digit itu selalu merasa dirinya bodoh saat di hadapan orang yang pandai bicara.  

    Sobrot sudah menunggu lima hari, tapi bapak-ibunya tetap tak kembali, lalu berpikir Muharyo dan Jonto lupa menyampaikan pesan itu, padahal sudah dia ulang lima kali. Sore itu Sobrot menyilet pergelangan tangannya, dia kangen akan bapak-ibunya, lalu terjun ke Kedung Mayit, pemberat berupa batako itu terikat pada kedua kaki. 

    Dua hari berlalu, dan Cahyo didera rindu akan teman-temannya, tinggal di bawah jembatan sendiri banyak tak enaknya. Pagi itu dia memancing di bawah pohon cangkring, tidak menggunakan umpan tai, tapi lontong dan nasi basi, itu yang biasa dimakan teman-temannya sehari-hari.  Kena siapa pun tak masalah, Muharyo atau Sobrot boleh, Jonto juga tak apa-apa, syukur-syukur ketemu bapak-ibunya.

    “Brot, Jo, Yo, makan!” Cahyo melemparkan kail ke tengah sungai. Seruan itu sama dengan dulu ketika dia nemu makanan yang bisa dibagi berlima. Dia tak memanggil Mukidi, mayatnya ditemukan dan tidak ada darahnya, juga tak memanggil bapak-ibunya, tak tahu nama mereka. 

    Sudah berjam-jam, Cahyo masih di bawah pohon cangkring, dan para penghuni pinggir sungai itu ikut merasakan kepedihan dan kesedihan ditinggalkan yang dicintai, mereka juga mengalami. Tante Zirah mengirimi roti, Mbak Melly membelikan gorengan, dan Mang Sapar melemparkan minuman, tapi Cahyo memberikan ke teman-temannya. Roti dan gorengan itu dia cuil-cuil, dijadikan umpan, sedangkan minuman dia buka tutupnya, lalu dia tuang isinya.

    “Brot, Jo, Yo, nih, roti dan gorengan kiriman Tante Zirah dan Mbak Melly!” Cahyo melemparkan kail itu ke tengah sungai, ke sepuluh ribu kali.

    Malam datang; tak ada seekor ikan pun yang mengendus umpan itu, tapi Cahyo tak peduli, seperti dirinya, dia yakin Sobrot, Muharyo, dan Jontro juga rindu. Dia terus melemparkan kail terikat di ujung bilah bambu itu, ke sepuluh ribu sepuluh kali, dan kambangan dari potongan sandal jepit itu kampul-kampul dipermainkan angin dan riak, tak pernah menyelam, tak ada ikan yang mendekati umpan itu, apa lagi menelannya. 

    Dulu, pada setiap malam Jumat Kliwon atau sehari menjelang Puasa, orang-orang dari luar daerah sering berziarah ke Kedung Mayit. Mereka mengirim bunga, melantunkan doa, dan ikan-ikan itu segera keluar dari dalam kedung, berkitar-kitar di permukaan, memamerkan kibasan ekornya, berenang dua-dua, membentuk formasi seperti pasukan infantri, dan binatang cantik itu beterbangan di atasnya, berkerlap-kerlip seperti lampu hiasan acara tujuh belasan. 

    Kunang-kunang itu sudah pindah ke Pekuburan Sonolayu, dan para ikan migrasi ke Laut Jawa, di sana masih ada tabur bunga dan kirim doa bagi para korban pesawat terbang yang nyungsep  ke dasarnya. 

    Sampai saat ini Cahyo masih mancing di bawah pohon cangkring itu, mencari orang tua serta teman-temannya, dan warga sekitar membiarkan, tak tega menghancurkan harapannya.

    Pekalongan, 20 Februari 2020

  • Kisah Perempuan yang Membalurkan Kotoran Sapi pada Kemaluannya Seumur Hidup

    author = Titis Anggalih

    Kisah Perempuan yang Membalurkan Kotoran Sapi pada Kemaluannya Seumur Hidup

    atau Koreksi atas Literatur Sejarah Best Seller Karya William D. Johnson

    atau Kiprah Kreatifitas Perempuan Indonesia di Kancah Internasional Menginspirasi Jutaan Perempuan Afrika

    Peringatan : Berdoalah untuk kebaikan diri atas nama Tuhan. Jika bulu tengkuk mendadak berdiri, itu sebab beberapa tulah dan kesaktian, sebagaimana akan diceritakan, memiliki daya jelajah yang tinggi.

     

    Ada banyak hal keliru atau setidaknya perlu ditambah dalam sebuah buku literatur sejarah best seller karya William D. Johnson yang berjudul Stories From The Eastern Front. Seperti umpama Johnson lupa mengisahkan sebuah adegan singkat yang terjadi di sebuah daerah pesisir selatan Pulau Jawa. Meski singkat, nyatanya penggalan itu justru merupakan bagian paling penting yang menjelaskan awal mula keseluruhan peristiwa : seorang Gadis Indo yang murka pada suatu malam keparat, demi mendapati kekasihnya dalam kondisi yang jauh dari waras : koyak baju serta beberapa bagian kulitnya, tanda baru saja diterjang selusin celeng. Sebagian daging tercerabut menghasilkan warna merah kehitaman. Nihil belaka upaya Gadis Indo mengusap dan membersihkan luka-luka menganga, darah semakin merembes dan tubuh lelaki itu makin lemas sebelum akhirnya tewas.

    Celeng-celeng sebenarnya tak pernah menyerang manusia, kecuali manusia melintasi wilayah mereka di hutan pedalaman yang berjarak satu bukit dengan kawasan desa. Dan lelaki itu, Gadis Indo berani bertaruh, tidak punya alasan sekonyol apapun saja untuk sekedar buang waktu memasuki hutan terkutuk berisi kawanan celeng.

    “Para celeng diguna-guna,” Gadis Indo tercekat. “Cuma seorang mempunyai ajian macam itu!”

    Lelaki yang dikenal sebagai Pemuda Partai ini adalah lelaki yang hampir tiap malam menidurinya. Lelaki ini, meskipun dicintainya, bukan pula suaminya.

    Pengamatan sambil bertaruh nyawa yang dirangkum William D. Johnson barangkali tak sepopuler temuan rahang Meganthropus oleh Von Koenigswald pada tahun 1936 di Sangiran. Itu hanya selisih 50 tahun sebelum Johnson merilis cetakan pertamanya. Namun sebuah rangkuman miliknya mengenai Perempuan Yang Membalurkan Kotoran Sapi Pada Kemaluannya Seumur Hidup lebih dimengerti dan lantas ditiru oleh perempuan-perempuan Afrika sebagai metode ampuh melindungi kemaluan mereka dari tindak pelecehan yang mulai marak dan terus meningkat jumlahnya di Afrika pada tahun-tahun itu hingga sekarang.

    Ini adalah kekeliruan yang beruntun. Ditulis secara serampangan maka ditiru pula secara serampangan.

    Sulitnya memperoleh data dapat dimaklumi. Sebagian orang yang menyaksikan sendiri kekejaman di tahun-tahun itu kebanyakan memilih bungkam dan menyimpan fakta irasional semacam kisah yang akan diceritakan selewat ini. Ensiklopedi dan kitab sejarah yang beredar jarang mengisahkan detailnya. Masih bisa ditemukan sebuah alias di laman pencarian kekinian jika diketikkan kata kunci sebuah nama, tapi tentu saja takkan dicantumkan di laman itu mengenai kisah sebenarnya. Bukan karena penduduk setempat melupakan kisah itu, namun lebih disebabkan teror kengerian terkena tulah seorang sakti yang pernah hidup masa itu.

    Pada masa sebelum pembantaian para manusia di tahun 1965, bukan dusta belaka jika beberapa pemimpin Partai Terlarang dikenal mampu lenyap dalam sekejapan mata, persis ketika pelor dilontarkan mengarah di mana otak para pemimpin berada. Bukan pula tak ada saksi bahwa beberapa anggota partai tak mempan ditebas segala jenis senjata tajam ( konon baru terluka pada serangan ketujuh ). Para warga juga dibuat heran dengan penampakan seorang tokoh petinggi partai yang mampu muncul di sejumlah tempat berbeda tapi pada waktu bersamaan.

    Tak ada yang lebih memahami ketangguhan ganjil macam demikian selain tokoh sakti yang dimaksud : Sang Nyai, ibu Gadis Indo.

    “Tak ada pemuka agama manapun yang bersedia menikahkan kita,” kata Gadis Indo suatu ketika di suatu tempat. “Aku anak seorang dukun dan kau pemuda kuminis.”

    Gadis Indo adalah gadis elok belaka. Bukan hanya sintal dan padat dadanya namun juga selalu memerah kedua pipinya. Senyum manis di bibir Gadis Indo memang pelit dan ucapan-ucapannya memuat sarkasme, itu justru yang menantang kejantanan Pemuda Partai untuk memenangkannya seorang. Bahkan sejak kali pertama tak sengaja keduanya ditemukan oleh takdir ( kalaupun percaya takdir ) di rumah Sang Nyai. Jika bukan karena takut mati konyol disantet ibunya, para pemuda desa kebanyakan sudah sejak lama saling kelahi memburu kemolekan Gadis Indo. Percayalah, bahkan sekelas jawara lebih memilih melepas hasrat berahi di rumah pelacuran daripada dibikin lunglai abadi batang kemaluannya oleh Sang Nyai. Tak ada yang senekat ( atau setolol ) Pemuda Partai mendekati anak gadis Sang Nyai. Meski ada benar kata orang, “Kalau beruntung, kenekatan kadang berbuah keberhasilan.”

    Dan kini, lelaki yang sedang diajak bicara Gadis Indo itu hanya terkekeh demi memperhatikan gadis menawan itu menyebut dirinya ‘kuminis’, bukannya ‘komunis’. Sebagaimana biasa, mereka diam-diam bertemu di sebuah tempat yang hanya mereka berdua dan Tuhan yang mengetahui.

    “Bukannya bagus? Kelak jika Tuhan bertanya mengapa kita tidak bisa menikah, tinggal kau laporkan pemuka-pemuka agama itu,” saran Pemuda Partai. Badannya tegap berisi dengan kulit kehitaman lantaran selalu terpapar terik matahari hanya membuat lelaki satu itu diidamkan banyak wanita. Membuat mereka melayang sekaligus diempaskan, sebab Pemuda Partai kelewat abai pada mereka sejak hanya ada Gadis Indo mengisi batok kepalanya.

    “Mereka rajin memuji Tuhan. Tuhan bakal membela mereka,” ujar Gadis Indo.

    “Tapi yang jelas Tuhan memberkati kita.”

    “Kenapa?”

    “Karena mempertemukan kita.”

    “Jangan berlagak. Memangnya ada kuminis yang percaya Tuhan?”

    “Kenapa tidak? Toh ada anak dukun yang mau lapor pada Tuhan.”

    Dan sama halnya puluhan malam yang telah diam-diam mereka lalui berdua, percakapan demi percakapan hanya jalan untuk mengobarkan berahi di antara keduanya hingga saling sembrono menanggalkan baju. Sekali lagi, hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu apa persisnya yang telah mereka lakukan selama berduaan itu.

    Setiap ritual klenik memiliki maharnya sendiri. Mulai dari kemenyan, bermacam jenis larutan, minyak dan bebungaan, hingga keperawanan seorang gadis ( dipercaya, Sang Nyai yang membiarkan keperawanannya sendiri menjadi mahar terlayak untuk dirobek titisan dedemit menjadi awal Sang Nyai memperoleh kesaktian paling mukti ). Dan kegagalan sebuah ritual akan tidak adanya mahar yang terakhir disebutkan adalah harga yang harus dibayar Pemuda Partai : kebinasaannya di pangkuan Gadis Indo.

    Akibat anaknya yang ternyata telah diperawani oleh Pemuda Partai, sejumlah kesaktian murid-murid Sang Nyai menguap. Pelor-pelor dan senjata tajam mulai ampuh kembali. Penumpasan para anggota hingga simpatisan partai akhirnya mulus dikerjakan dan menginspirasi lahirnya buku Stories From The Eastern Front. Ini adalah kegagalan yang tak diduga bahkan oleh Sang Nyai sendiri. Mengirim celeng-celeng untuk menyerang Pemuda Partai adalah cara ‘bersih’ membayar itu semua. Takkan ada tuduhan hukum jika tak ada bukti, dan Gadis Indo kenal betul pola demikian itu.

    Namun kelak, dipikirnya membalas dendam kepada ibu sendiri lebih tercela daripada mengguna-gunai celeng. Tanpa dibalas, alam bakal menampilkan perannya : seiring diberangusnya anggota Partai Terlarang nyatanya sosok Sang Nyai turut lenyap. Kalau tidak melarikan diri, pastinya menyiapkan diri, atau keduanya. Kedua hal itu sama buruknya buat Gadis Indo, sebab berarti Sang Nyai membutuhkan jabang bayi penerus sekaligus tumbal dengan segera. Bukan dari rahimnya yang sudah kering dan tak lagi bisa bunting, tapi dari rahim Gadis Indo.

    Sampai di sini, sebagaimana diketahui, membalurkan banyak-banyak kotoran sapi pada kemaluan Gadis Indo sendiri adalah jalan masuk akal untuk menangkal sesat pikir Sang Nyai.

    “Rumah pelacuran sesekali perlu bikin pengajian dan syukuran. Dari segala macam penduduk, cuma mereka yang dibikin untung oleh situasi perang,” kata Gadis Indo suatu ketika. Dirinya jadi sering bicara sendiri dan belum tampak tanda-tanda beriman dengan berdoa pada Tuhan. Tapi seakan ramalan, betul adanya jika para lelaki akhirnya memilih berbagi kemaluan pelacur daripada menanggung jijik tiada ampun : bergulat dengan liang kemaluan wanita indo cantik tapi dibuntal kotoran sapi.

     

    Cerpen di atas adalah Juara 2 Lomba Penulisan Cerpen Bulan Bahasa 2017 yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia UGM. Juri lomba cerpen terdiri atas Dr. Pujiharto, M.Hum., Ahmad Tohari, dan Asef Saeful Anwar.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Kepala Tiga

    author = Gary Ghaffuri

    Goffar
    menghisap sebatang Marlboro di depan minimarket sambil mengamati kendaraan yang
    lalu lalang. Pada embusan ketiga ponselnya bergetar. Beberapa pesan Whatsapp
    masuk. Kebanyakan pesan dari grup Whatsapp kantor yang memberikan ucapan
    selamat ulang tahun kepadanya. Selebihnya ucapan selamat dari teman dekat,
    keluarga, dan ibunya.
    Goffar membaca sebentar pesan-pesan tersebut lalu kembali melihat lalu lalang
    kendaraan yang seakan tidak ada habisnya. Malam itu adalah malam Minggu dan
    lalu lintas lebih padat dari biasanya.

    Meskipun
    Goffar merasa asing dengan dengan kota ini, dia masih bisa meraba urat nadi
    jalan-jalan utama hingga gang-gang yang pernah dia jelajahi sewaktu kuliah di
    kota ini. Telah banyak hal yang berubah, namun dia masih ingat dengan baik
    lokasi angkringan paling enak di kota ini, ruko-ruko mewah yang dulunya adalah
    deretan warung Lamongan, hingga lokasi kos-kosan nakal yang membolehkan
    penghuninya untuk menyelundupkan perempuan dengan bebas. Semuanya masih terekam
    dengan baik di ingatannya meskipun kota ini telah berubah rupa.

    “Habis
    ini beli bensin dulu ya,” kata Arief sambil duduk di sebelah Goffar. Arief baru
    saja membeli minuman di minimarket. Goffar hanya menoleh padanya dan
    mengacungkan jempolnya.

    “Sekarang
    kalau malam Minggu
    selalu macet,” kata Arief sambil menyesap larutan penyegar yang baru saja
    dibelinya. “Rasa-rasanya kota ini makin sumpek.”

    “Filmnya
    mulai jam berapa?” tanya Goffar
    tanpa memedulikan
    keluhan Arief.

    “Nanti
     jam 9, sekarang baru jam 7. Kita di sini
    dulu ya, kalau di lobi bioskop nggak
    bisa ngerokok,” jawab Arief sambil
    melihat jam di pergelangan tangannya.

    Arief
    menyambar sebatang Marlboro milik Goffar, menyalakannya dan mulai asyik dengan
    ponselnya. Goffar hanya memperhatikan tingkah sahabatnya sambil membayangkan
    bahwa waktu berlalu begitu cepat tanpa disadari. Sewaktu kuliah, Arief adalah
    seorang mantan vokalis sebuah band punk
    yang terkenal di skena lokal dengan lagu berjudul provokatif  “Alcohol
    Is The Answer
    ”. Sekarang dia bekerja sebagai seorang analis kredit di
    sebuah bank BUMN. Pemuda gondrong pembangkang yang gemar memakai kaos Ramones, celana jeans ketat, dan sepatu Vans Slip On telah berubah menjadi pria
    dewasa setengah bapak-bapak dengan rambut pendek yang mulai menipis, perut yang
    mulai menggembung, jenggot dan kumis yang terpelihara dengan baik, serta gaya
    busana yang makin jauh dari kesan fashionable.

    “Makan-makan
    lah, kamu hari ini ulang tahun kan?” tanya
    Arief sambil memasukkan ponsel ke dalam saku jaket.

    “Haha
    kupikir kamu nggak ingat. Ya nanti deh habis nonton,”

    “Pokoknya
    jangan angkringan.”

    “Warmindo?”

    “Bangsat,
    yang berkelas sedikit lah, kepala tiga nih,
    perlu dirayakan.”

    Holy Cow?”

    Nah gitu, bayarin bir sekalian di Spiegel
    ya.”

    “Katanya
    sober?”

    “Wah,
    khusus untuk malam ini nggak ada kata
    sober.”

    Alcohol is the answer!” Goffar berseru
    menyanyikan lagu lama milik band si Arief.

    “Bangsat,
    masih ingat aja! Hahahaha. Eh si Rozi
    katanya mau kawin bulan depan tuh,”
    kata Arief.

    “Anak-anak
    pada datang?”

    “Kayaknya
    sih datang, tapi nggak tau sih kalau yang rumahnya jauh,”

    “Makin
    susah aja kumpul-kumpul kalau udah
    pada kawin.”

    Goffar
    dan Arief adalah bagian dari sebuah komplotan beranggotakan sepuluh orang
    mahasiswa Sastra Inggris. Mereka bersepuluh berkenalan pada hari pertama masuk
    kuliah dan sejak itu mereka tidak terpisahkan hingga wisuda.  

    Setelah
    lulus kuliah, kesepuluh orang tersebut masih sering berkumpul hingga jumlah
    anggota yang bisa diajak berkumpul mulai berkurang karena pekerjaan atau sibuk
    dengan keluarganya masing-masing. Di antara kesepuluh anggota komplotan
    tersebut, hanya tinggal Arief dan Goffar yang belum menikah. Goffar belum
    menikah karena dia belum menemukan pasangan yang baru sejak berpisah dari
    pacarnya dua tahun yang lalu. Sedangkan Arief memiliki cerita yang agak
    mengenaskan.

    Arief
    baru saja berpisah dengan pacarnya setelah hampir lima tahun pacaran. Alasan mereka
    berpisah karena perbedaan agama. Biasalah Indonesia. Seminggu sebelum hari
    ulang tahun yang ke-30
    Goffar, Arief menelpon dan bercerita bahwa dia sudah berpisah
    dengan pacarnya karena keluarganya dan keluarga mantan pacarnya keberatan
    dengan pernikahan beda agama. Arief mengajak Goffar untuk bertemu di kota S,
    kota di mana
    Goffar kuliah sekaligus kota tempat Arief tinggal.   

    “Aku
    benar-benar lagi stres nih, butuh
    teman, main ke sini
    bisa nggak?” pinta Arief via telepon.

    “Akhir
    pekan ini kayaknya bisa. Nanti aku main ke situ
    deh. Awas, jangan gantung diri dulu,
    utangmu yang gocap belum dibayar.
    Sebelum mati lunasin dulu.”

    “Anda
    pancen asu hahaha,” jawab Arief
    sambil mematikan sambungan.

    Ketika
    bertemu tadi siang, Arief menceritakan semuanya. Dia dan mantan pacarnya
    sama-sama tidak ingin mangkir dari agama yang mereka anut sehingga mereka
    memutuskan untuk tetap menikah walaupun berbeda agama. Arief berasal dari
    keluarga yang konservatif sehingga keputusan untuk menikah beda agama tidak
    disetujui. Pada akhirnya semua usaha untuk mempertahankan hubungan dengan
    mantan pacarnya harus berakhir karena tidak ada lagi jalan yang bisa ditempuh.
    Meskipun mereka bisa saja menikah tanpa sepengetahuan keluarga masing-masing,
    mereka berdua sepakat bahwa keluarga adalah harga yang terlampau mahal untuk
    dikorbankan. Arief bercerita bahwa yang membuatnya tidak meneruskan rencananya
    menikah adalah ibunya. Arief sangat menyayangi ibunya yang merupakan orangtua
    tunggal. Ayahnya sudah meninggal sejak dia masih SMA. Dia rela mengorbankan
    kebahagiannya sendiri demi kebahagiaan ibunya. Sewaktu dia selesai bercerita, Goffar
    hanya terdiam. Goffar merasa tidak bisa memberikan nasihat apa-apa soal
    percintaan karena kisah cintanya sendiri tidak kalah mawutnya dengan kisah cinta sahabatnya.

    Hubungan
    Goffar yang terakhir hanya bertahan sekitar setahun saja. Goffar dan mantan
    pacarnya sebenarnya sudah berencana akan menikah. Goffar dan mantan pacarnya
    sudah sama-sama kenal dengan orangtua masing-masing. Mereka hanya tinggal
    menunggu waktu untuk mempertemukan orangtua untuk membicarakan masalah lamaran
    dan lain-lain. Tepat seminggu sebelum pertemuan antar orangtua dilaksanakan,
    mantan pacarnya tiba-tiba saja meminta untuk bertemu. “Penting, Mas,”
    katanya.

    Goffar
    tidak akan pernah lupa pertemuan itu. Mereka bertemu di sebuah warung kopi sekitar
    jam 7 malam. Goffar bergegas pulang dari kantor untuk menemui mantan pacarnya.
    Dengan masih berkemeja kerja Goffar harus menerima kenyataan bahwa mantan
    pacarnya ini mengaku belum siap menikah. Goffar tidak terlalu memperhatikan
    alasan yang dikemukakan oleh mantan pacarnya karena telinganya mendadak berdenging
    dan kepalanya sedikit pening. Bodohnya, Goffar hanya mengatakan bahwa jika
    memang itu keputusannya, maka dia akan berusaha menerima dengan lapang dada. Sakitnya
    baru terasa setelah Goffar berbaring di ranjang menjelang tidur. Goffar menangis
    sampai subuh sambil memutar berulang kali lagu-lagu patah hatinya Adhitia
    Sofyan di Sportify. Keesokan harinya Goffar
    bolos kerja dan naik motor keliling kota tanpa tujuan dari pagi hingga magrib
    untuk menghilangkan pikiran buruk.

    Tiga
    bulan setelah mantan pacarnya mengakhiri hubungan, Goffar mendengar kabar bahwa
    mantan pacarnya akhirnya menikah. Teman-temannya mulai ramai bergosip soal
    kemungkinan adanya perselingkuhan. Goffar sendiri tidak mau ambil pusing
    mengenai hal itu. Jika memang benar ada perselingkuhan, maka dia malah
    bersyukur sudah dihindarkan dari calon istri yang buruk. Terdengar sok tabah memang,
    namun bagaimanapun juga, penghiburan kepada diri sendiri perlu dilakukan agar jiwa
    tidak digerogoti kesedihan terlalu dalam.

    Goffar
    masih bisa merasa beruntung jika dibandingkan seorang teman yang akhirnya batal
    menikah setelah segala persiapan selesai dilakukan. Calon mempelai pria
    membatalkan pernikahan setelah undangan selesai dicetak, katering sudah
    dibayar, dan gedung sudah dipesan. Setidaknya masih ada yang nasibnya lebih
    sial darinya.

    Hal
    yang paling menyakitkan sebenarnya bukan soal betapa cepat si mantan pacar
    menikah dengan pria lain atau gosip mengenai adanya perselingkuhan. Hal yang
    paling menyakitkan adalah dia memberi nama anak pertamanya dengan nama anak yang
    kalian cari bersama-sama sewaktu masih pacaran. Bangsat memang.

    “Katanya,
    di umur-umur memasuki kepala tiga kita bakal dihadapkan pada sebuah kejadian
    penting yang bisa mengubah hidup kita,” kata Arief sambil mengepulkan asap Marlboro
    ke udara. “Mungkin sekarang kita sedang menghadapi kejadian penting itu.”

    “Mungkin.
    Tapi sejak putus itu hidupku nggak
    terlalu banyak berubah tuh,” jawab Goffar.

    Semenjak
    gagal menikah, hampir tidak ada yang berubah dalam hidup Goffar. Dalam
    pekerjaan memang dia sempat naik jabatan dari semula pegawai biasa akhirnya
    dipercaya memimpin sebuah tim kecil. Mungkin ini ada hubungannya dengan
    keputusan Goffar untuk tetap bertahan di kota Y, sebuah kota liburan dimana
    segala hal berjalan tidak terlalu tergesa gesa.

    Banyak
    orang percaya bahwa kota J adalah satu-satunya kota di mana karier bisa melesat cepat,
    kota metropolitan yang menjanjikan semua kesempatan dan kemungkinan yang ada.
    Tapi Goffar berpikir bahwa dalam setiap keputusan yang diambil dalam hidup,
    maka ada pengorbanan yang harus dibayarkan. Jadi manusia tinggal memutuskan hal
    apa yang ingin dikorbankan dan hal apa yang ingin dipertahankan. Jika Goffar
    pindah ke kota J, mungkin rekeningnya sudah gemuk dan kariernya bisa lebih baik,
    namun harga yang harus dibayar adalah kemacetan parah, stres yang tinggi, hidup
    yang serba terburu-buru, dan paru-paru yang perlahan tergerus oleh polusi udara
    yang begitu buruk.

    Banyak
    teman kuliahnya yang menyarankan Goffar untuk pergi dari kota Y. Namun Gofffar
    sudah bertekad untuk mengorbankan kesempatan mendapatkan penghasilan dan karier yang bagus demi
    mendapatkan ketenangan dan hidup yang tidak melulu dipacu waktu. Sebagian
    pembaca cerpen ini mungkin bakal mencibir habis-habisan keputusan ini namun
    Goffar memegang teguh prinsip bahwa hidup hanya sekali, maka lakukan saja
    hal-hal yang bisa membuat bahagia. Tidak perlulah menantang diri terlalu keras
    karena toh pada akhirnya manusia
    bakalan mati juga.

    “Kamu
    mah terlalu nihilis orangnya,”
    komentar rekan kerja Goffar suatu saat ketika mereka makan siang bersama.

    “Ya
    tapi benar kan, mau jadi apa pun di dunia ini toh
    pada akhirnya kita bakalan mati,” jawab Goffar.

    Untuk
    urusan yang satu ini Goffar memang belum tergoyahkan.

    Kembali
    soal cinta, Goffar juga belum merasa siap untuk memulai hubungan baru meskipun
    sempat dekat dengan beberapa perempuan. Meskipun dicap sebagai seorang nihilis dan keras
    kepala dalam memegang prinsip hidup, Goffar merasa bahwa jiwanya lembek, mudah merasa
    sakit hati sehingga dia sangat pemilih dalam menentukan pasangan. Semacam sistem
    pertahanan diri yang sudah terlatih dari pengalaman-pengalaman cinta yang
    buruk. Goffar sudah merasa cukup merasakan beberapa kali sakit hati dan dia tidak
    ingin hal itu terulang lagi. Menyebalkan memang jadi seperti ini. Kadang dia
    merasa ingin santai saja macam rekan kerjanya yang bisa sesuka hati
    berganti-ganti pacar dan patah hati berkali-kali namun tidak pernah takut untuk
    memulai hubungan baru.

    Beberapa
    minggu lalu Goffar sempat berpikir untuk membuat perubahan dalam hidup. Karena
    sudah bosan tinggal di kamar kos, dia sempat ingin mengajukan kredit
    kepemilikan rumah. Namun begitu mengetahui harga properti di kota Y, nyali Goffar menciut. Setelah
    dikalkulasi dengan menghitung jumlah cicilan setiap bulan ditambah perkiraan
    biaya listrik, air, dan pengeluaran lain-lain, nampaknya penghasilan Goffar
    yang sekarang masih kurang. Memang ada pilihan rumah murah dengan subsidi dari
    pemeritah yang lokasinya berada jauh dari pusat kota. Namun di mata Goffar, rumah-rumah
    bersubsidi itu kondisinya sangat mengenaskan. Seorang rekan kerja dengan
    setengah bercanda menyarankannya untuk segera menikah sebab jika penghasilan
    Goffar dan penghasilan istrinya digabung, maka cicilan rumah yang dia idamkan
    bisa ditanggung berdua sehingga lebih ringan. Dan permasalahannya kembali ke urusan
    mencari pasangan. Goffar hanya bisa geleng-geleng kepala.

    “Aku
    kayaknya bakal menjomblo seumur hidup nih
    haha,” seloroh Arief.

    “Fasenya
    memang begitu, awal-awal memang berat karena kita ngerasa nggak bakal ada yang bisa gantiin dia, tapi lama-lama bakal normal sendiri. Yah setidaknya
    yang aku alami seperti itu sih.”

    “Kamu
    nggak nyobain pakai aplikasi buat
    cari pasangan? Temen kantorku ada
    yang nyaranin buat pakai itu
    soalnya.”

    “Haha
    udah pernah, tapi nggak lama. Cuma pakai beberapa bulan aja. Perempuan yang umurnya di atas 30 kebanyakan sudah
    putus asa sedangkan perempuan yang umurnya 25-an sedang berada dalam puncak
    kecantikannya, mereka nggak tertarik
    sama pria uzur macam aku.”

    “Tapi
    aku pernah baca di The Telegraph,
    katanya perempuan muda sekarang lebih tertarik sama pria yang lebih tua.”

    Kok bisa?”

    “Para
    perempuan muda menyukai pria yang lebih tua karena alasan finansial dan
    kemapanan.”

    Asu, kita nggak termasuk kalau begitu.”

    Mereka
    berdua tertawa.

    “Tapi
    sudah pernah ada yang ketemu langsung? Maksudku dari kenalan lewat aplikasi.”

    “Cuma
    dua orang. Itu pun
    sekarang nggak kontak lagi.”

    “Orangtuamu
    nggak mendesak?”

    “Iyalah.
    Mereka sih cuma mau tahu beres aja, nggak
    mau tahu gimana kita
    jatuh bangun nyari pasangan haha.”

    “Tobat
    aja cuk, ngikutin kiai. Habis itu minta dijodohin.”

    “Bangsat,”
    umpat Goffar sambil tertawa.

    “Tiga
    puluh ya. Tiga bulan lagi aku juga bakalan nyampe
    tiga puluh nih,” gumam Arief. “Kayaknya
    aku bukannya nambah bijak tapi nambah bingung aja nih.”

    “Sewaktu
    masih 20-an, aku rasanya pengen cepat-cepat jadi tua biar segera
    paham kehidupan. Di umur yang sekarang aku malah ngerasa makin bingung.”

    Gitu ya.”

    Setelah
    hening yang lumayan lama, Goffar bertanya, “Jadi
    bagaimana sekarang?”  

    “Sekarang
    kita nonton dulu, yang lain bisa
    menunggu. Sudah jam 8 nih,” jawab
    Arief sambil melihat ke arah jam tangannya.
    Arief berdiri,
    mengisap batang rokok yang sudah pendek untuk yang terakhir kali dan
    membuangnya ke tempat sampah. Goffar berjalan membuntuti Arief menuju ke tempat
    parkir sambil berpikir bahwa kadang dalam hidup, tidak semua pertanyaan bisa
    terjawab.

  • Kematian Kirana

    author = Nisa Ramadani
    Mahasiswi Psikologi UGM dan volunteer Radio Buku.

    Kirana tergeletak di halaman belakang rumahnya. Di antara rerumputan berembun dan aroma nasi yang ditanak tetangganya, ia tertidur. Sungguh, bagi siapa saja yang melihatnya pasti akan merasakan suasana damai sekaligus haru. Matanya terpejam dengan wajar, tidak terlalu rapat namun juga tidak menyisakan sehimpit celah. Sesekali bibirnya melengkungkan senyum tanpa sebab yang jelas. Ia menyembunyikan alasannya di tempat yang tak bisa dijangkau orang lain. Segala sesuatunya disimpan rapat-rapat. Sinar mentari yang mulai menusuk-nusuk bumi pun seolah tak sanggup menembus isi kepalanya.

    Dua puluh dua tahun yang lalu, seorang ibu mengerang kesakitan di tempat yang sama. Seorang dukun bayi kemudian tergopoh-gopoh mendatangi sang ibu, mengerahkan segala kemampuan yang dipunya untuk menyelamatkan dua nyawa sekaligus. Keduanya sehat, tidak ada yang sekarat. Peristiwa itu menjadi cerita yang terus diulang-ulang kepada siapa saja yang bertandang ke rumah. Semua orang menganggap itu adalah suatu keajaiban yang patut dikenang. Semua orang kecuali Kirana.

    Menurutnya tak ada yang luar biasa dengan kelahirannya. Ia justru menyesal karena harus menjalani kehidupan dunia yang membosankan. Ia lebih memilih untuk mendekam erat sendirian di ruangan sempit, gelap dan berair selamanya. Kekecewaan dan kejengkelan terlukis begitu jelas di urat-urat wajahnya. Semakin hari semakin nyata. Kirana hampir tidak pernah tersenyum, baik untuk dirinya sendiri ketika bercermin maupun untuk orang lain. Katanya tersenyum akan membuat wajahnya tampak seperti orang baik-baik yang mudah ditipu.

    Kirana memang pernah ditipu habis-habisan oleh orang-orang yang sangat ia percayai. Sebenarnya ia ingin mengubur ingatan itu dalam-dalam atau membakarnya sampai benar-benar tuntas, tapi entah mengapa ingatannya itu seolah justru lebih abadi daripada ingatan-ingatannya yang lain. Masa kecilnya dipenuhi begitu banyak peristiwa menyedihkan dan memalukan. Mengenangnya seperti memutar kembali adegan mimpi buruk yang menceritakan secara lengkap dan detil tentang betapa payah dirinya di masa lalu, betapa dirinya mudah diinjak-injak orang lain, betapa dirinya selalu menangis pasrah dan tidak pernah berani melawan. Bayang-bayang hitam kelam yang selalu menghantui itu berubah bentuk menjadi apa saja sesuka mereka, tanpa pernah sekalipun meminta persetujuannya lebih dulu. Kadang bisa menyerupai wajah kakaknya, adiknya, ibunya, ayahnya, bahkan dirinya sendiri. Semua hal yang pernah ia benci seolah menjadi butir-butir debu yang memadat dalam sebuah kotak kaca tipis, kemudian saling berdesakan untuk berebut peran dan giliran, dan akhirnya bersedia muncul secara bergantian ketika perangkap itu retak dan hampir pecah.

    Krak! Dari lubang kecil yang tak simetris pada kaca itu tiba-tiba mencuat wajah kakaknya. Tidak seperti manusia, sosoknya lebih menyerupai tikus tanah. Sebenarnya ia lebih suka jika perempuan itu mirip burung dara. Tentu akan menarik jika Kisah Tiga Dara bisa mengawali ceritanya tentang tiga perempuan bersaudara yang saling bermusuhan, menjadi sebuah judul yang sengaja dipersiapkan untuk mengecoh pembacanya. Toh, semua tetangganya memang sudah menggunakan istilah itu ketika adiknya lahir. Tiga anak perempuan dari orangtua yang sama. Tiga anak perempuan dalam rumah yang sama. Tiga anak perempuan yang mau tak mau disebut sebagai tiga dara. Ia senang karena seperti mempunyai grup musik atau kelompok bermain abadi, sampai kemudian orang-orang mulai gemar membandingkan ketiganya di setiap kesempatan. Ia lebih cantik, kakaknya lebih supel, dan adiknya lebih modis namun tidak sepintar dua kakaknya. Hubungan hangat antarsaudara perempuan yang sering diperagakan di layar televisi atau di kolom iklan surat kabar pun hanya bisa dicerna sebagai omong kosong belaka. Ia tak mau lagi ambil pusing pada sikap kakaknya yang penuh kebencian atau sikap acuh tak acuh adiknya. Ia menutup diri dan mulai terbiasa pada sepi. Segenggam angan-angan yang terlepas, dibiarkannya mengangkasa.

    Prang! Kirana terbangun dari tidurnya. Dahinya basah dan sekujur ototnya menegang. Seekor tikus tanah baru saja menggigit jari kelingkingnya. Butuh waktu sekian menit baginya untuk menyadari apa yang terjadi. Samar-samar ia mendengar tangisan ibunya. Ia menajamkan pendengarannya sambil berjalan ke arah dapur. Banyak pecahan piring dimana-mana, serpih-serpih putih dalam berbagai ukuran tersebar merata ke seluruh penjuru rumah. Ibunya sesengukan dalam posisi yang tak wajar, tersungkur di atas meja makan yang kaki-kakinya dipaksa patah. Di garasi tidak ada motor merah. Ayahnya pasti sudah kabur, selalu saja begitu setelah kumat. Ia lalu menuntun ibunya ke kamar tidur. Kening ibunya panas, matanya merah melotot sambil menceritakan berapa jumlah uang yang diambil sang ayah.

    “Aku berdoa agar ayah cepat mati dan masuk neraka, ibu jangan sedih lagi ya,” ungkapnya.

    Seketika tamparan keras melekat di pipi kanan Kirana. Hatinya hancur. Ia ingin segera melebur bersama air mata yang telah menumpuk di pelupuknya, ingin segera melontarkan segala cacian melalui kerongkongannya yang kering, ingin segera mencekik leher ibunya kuat-kuat, tapi ia tak mampu. Ia hanya diam dengan tatapan kosong ke arah jendela. Saat itu ia berharap Tuhan akan turun melalui cahaya silau yang jatuh tepat di depan pagar rumahnya. Tuhan datang kepadanya dan mendekapnya, membawa dirinya terbang membubung tinggi ke langit, menyuguhinya madu dan anggur surga, serta mengizinkannya untuk tinggal selamanya. Ia tetap diam sambil terus memandang ke arah jendela, namun tak ada yang terjadi.

    Seminggu setelahnya, ia hampir mati. Wajahnya pucat dan badannya dingin. Motor merahnya menabrak trotoar dengan kecepatan tinggi, terguling tiga kali ke arah tiang listrik, lalu menyenggol roda becak yang terparkir rapi di selatan selokan. Seorang lelaki mendatanginya, berusaha menolong secepat kilat agar nyawanya tidak keburu melayang. Kirana tidak ingat apa-apa lagi dari kecelakaan tunggal di jalan raya dekat kampusnya, kecuali bola mata cokelat si lelaki yang menatapnya tajam selama sepersekian detik sebelum semuanya menjadi hitam.

    Hitam dan tak ada aroma manusia. Sesekali bulu kuduknya bergidik karena membayangkan sosok hantu berbaju putih yang bisa muncul kapan saja di belakangnya. Ia terus melangkah tanpa henti mencari keramaian. Rasanya seperti berjalan di padang pasir saat malam tanpa bintang. Dingin, sepi, dan tak tahu arah jalan pulang.

    Sendirian membuatnya teringat tentang celengan ayam semasa kecil. Setiap hari ia rela menahan lapar demi sebuah impian untuk memiliki piano grande warna hitam. Suatu hari ia pulang dengan girang karena sekolah selesai lebih awal. Uang sakunya masih utuh, seribu rupiah dengan tambahan sekeping kuning lima ratusan dari hadiah makanan ringan pemberian gurunya. Ia berlari menuju celengan ayamnya, tapi yang tersisa hanya remah-remah tanah liat berantakan. Ayahnya mencuri lagi dan kali ini miliknya yang harus hilang. Ia tak sedih, tak marah, dan tak mengadu pada ibunya. Ia bingung harus menangis atau protes. Ia juga bingung harus bercerita pada siapa karena selalu sendirian.

    Semenjak itu ia menjuluki diri sendiri sebagai anak yatim. Baginya ayah kandung yang hidup bersamanya itu sudah mati. Seorang laki-laki pengangguran yang sering mencuri uang milik siapapun untuk mabuk, main pelacur, dan memanjakan teman-temannya agar dijuluki Si Boss. Seorang laki-laki yang dengan jelas memperlihatkan tatapan penuh napsu pada tubuh anak-anak perempuannya yang mulai matang. Seorang laki-laki yang sama sekali tidak cocok dipanggil ayah. Sudah tidak ada lagi kebaikan yang tersisa pada diri laki-laki tersebut. Kirana lebih suka menganggapnya sebagai mayat hidup yang memerankan sosok orang asing.

    Kemudian sosok orang asing yang lain membuyarkan lamunannya. Dalam kegelapan, Kirana berlari ke arahnya tanpa menyilakan sebersit keraguan untuk bisa hinggap di hatinya. Sebenarnya ia tak mengerti mengapa bisa begitu yakin dan ia tak peduli mengapa tetap bisa begitu yakin meski tak menemukan alasan yang pantas. Ia terus berlari menyongsong titik kecil di kejauhan yang semakin lama semakin menampakkan wujud sejatinya. Jantungnya keras berdegup, selaras dengan hentakan yang jatuh di atas pasir dan kerikil oleh telapak kaki mungil yang dipacu untuk terus menerjang sisa waktu. Ia melebarkan senyumnya seolah berharap agar sosok itu juga melakukan hal yang sama kepadanya. Jarak yang tercipta antara keduanya tinggal sekilan tangan. Sosok itu menatapnya tajam. Dari bola mata cokelat itu ia bisa melihat dirinya sendiri yang sedang tersenyum kepadanya. Kebahagiaan yang selalu ia bayangkan seolah telah tersaji dalam bentuk terbaiknya dan siap mendekapnya erat lalu memusnahkan segala macam kesepian yang muncul dari kesendiriannya. Ketakutan dan kecemasan yang selama ini mengusiknya tanpa ampun akan habis dikoyak-koyak oleh cita dan cinta. Ia ingin meluapkan semua rasa sayang yang ada di setiap roman picisan dengan lantang sampai pagi datang, sebelum sosok itu akhirnya berkata, “Jangan salah sangka, aku tidak pernah menyukaimu.”

    Sekali lagi hidupnya gelap. Ia jatuh tersungkur lalu dihisap tanah kering yang membawanya ke perut bumi, seolah ada jilatan kilat yang menyambarnya, seketika membuat tubuhnya lemas dan tidak berdaya, pasrah disedot paksa oleh lubang orong-orong raksasa. Ia merasa sangat lelah dan hanya ingin tidur lebih lama. Kirana memutuskan untuk pingsan di dalam mimpinya sendiri.

    Kini tak ada lagi warna hitam. Semuanya putih, benar-benar putih bersih tanpa noda maupun kesan kekuning-kuningan. Kirana menduga bahwa ia sedang berada di surga. Dari dalam saku bajunya ia menarik secarik kertas yang sedikit kumal dan lecek. Ia membacakan isinya keras-keras dengan penuh penghayatan.

     

    Untuk Tuhanku Tersayang

    Kenapa sih usil banget? Kurang kerjaan ya? Kenapa harus ada alam semesta? Kenapa harus ada bumi dan manusia? Dan kenapa manusia sengaja diciptakan berpasang-pasangan? Apa karena manusia tak mungkin sanggup menahan beban sendirian? Atau karena dunia ini sebenarnya adalah neraka? Manusia memang sangat rapuh dan lemah sih, tapi justru karena itu, kenapa tidak sekalian saja sepasang manusia langsung dipertemukan dari lahir? Kenapa manusia harus repot-repot menjalani sebuah permainan yang melelahkan? Bagaimana jika manusia gagal menemukan sesuatu yang memang miliknya? Apa tak pernah terpikirkan, betapa menderitanya manusia ketika harus menelan kekalahan dan merasakan sakit hati? Bagaimana jika semua manusia ingin mati saja? Bukankah hal-hal sederhana semacam itu seharusnya bisa diduga dari awal? Jadi, apa memang benar jika manusia diciptakan hanya untuk menjadi penghibur yang menyenangkan? Kenapa begitu egois?

     

    Kirana terdiam sambil terus meyakinkan diri bahwa sebentar lagi sesuatu yang hebat akan terjadi. Sejujurnya ia masih sangat lelah dan ingin tidur saja, tapi rasa penasaran yang terpendam sejak lama menuntutnya untuk tetap memperjuangkan jawaban. Menurutnya kesempatan langka seperti ini tidak akan datang dua kali. Jika ia benar-benar sedang berada di surga maka Tuhan pasti mendengarnya. Ia menunggu dan terus menunggu, namun tak ada yang terjadi.  

    Ia semakin sangsi pada semuanya. Hal-hal yang sempat ia percayai sejak kecil satu per satu pergi meninggalkannya sendiri bersama pertanyaan-pertanyaan tanpa jeda. Kepalanya menjadi sakit dan perutnya mual. Rasa haus perlahan merambati kerongkongannya. Sinar putih menyilaukan yang berpendar-pendar dari segala penjuru membuat matanya berkunang-kunang. Segera ia menutup kelopaknya rapat-rapat, namun percuma karena ia telanjur tak bisa lagi merasakan perbedaan ketika kelopaknya terbuka atau tertutup. Matanya buta ditelan cahaya.

    “Sudah kubilang lebih baik mati saja, tapi kamu tak pernah mau percaya,” protes suara berat dan sedikit serak.

    “Jangan dengarkan dia, hidup cuma sekali bukan untuk disia-siakan,” suara melengking menimpali.

    “Hidup itu tidak penting, untuk apa diperjuangkan? Mati jauh lebih praktis dan tidak membuatmu lelah,” jawab suara berat dan sedikit serak.

    “Percayalah, hidup itu lebih menyenangkan,” balas suara melengking.

    Kirana membuka matanya. Dahinya basah dan sekujur ototnya menegang. Matanya mampu menangkap cahaya yang terpantul dengan sewajarnya dari dinding putih dan langit-langit, meja kecil dan kursi kayu, serta punggung laki-laki yang baginya terasa tidak asing. Ia berusaha mengingat apa saja yang telah dialaminya. Ia tahu bahwa dirinya bisa saja memanipulasi ingatan tanpa disadari, menyusun kebohongan untuk menipu kenyataan. Kadang ia penasaran, siapa sosok yang bertanggungjawab untuk memilah arsip kenangan di kepalanya kemudian seenaknya memutuskan mana yang pantas disimpan dan mana yang pantas dibuang. Seandainya ia bisa bicara dengan ‘siapa’ tentu ia akan minta dibuatkan ingatan palsu yang penuh dengan kebahagiaan agar hidupnya senantiasa diliputi kegembiraan.

    “Lho, masih hidup? Kamu harusnya sudah mati, kamu kan baru saja mati,” gerutu laki-laki itu seraya membalikkan badan ke arahnya sambil membawa secangkir teh.

    Kirana tersenyum. Ia menatap lekat-lekat mata cokelat laki-laki tersebut. Ia tahu bahwa orang yang dikasihinya itu tak akan pernah membalas perasaannya. Bukan tidak mau, tapi memang tidak bisa. Mau tak mau, ia harus mencari lagi sosok lain dan menerka tiap muka dengan harapan yang tak berlebihan.

    “Jangan khawatir, aku tak berniat untuk tinggal di sini kok. Aku tak akan mengusikmu lagi. Sampai jumpa, aku mati dulu ya,” ucap Kirana sambil memejamkan matanya kembali.

    Aroma rumah sakit menyeruak masuk ke dalam raganya. Tak ada rasa sedih dan sesal yang tertinggal pada jiwanya. Ia merelakan semuanya dan memilih untuk sengaja mati. Dalam hati, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus hidup dengan sebaik-baiknya.

    Aku telah berkali-kali mati dan aku hidup lagi. Mimpi-mimpiku akan kembali bernyawa meski terus dibunuh. Kematian memang diciptakan untuk melahirkan kehidupan. Aku mati dan aku semakin hidup.

     

    ***

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Katastrofe

    author = Achmad Muchtar

    KAU masih ingat? Kala itu, bumi berguncang. Tembok-tembok mengelupas setelah sebelumnya bergetar hebat; mengeluarkan batu bata dari bungkusan beton yang sudah kering dan rapuh. Kayu-kayu atap terjun disertai genting-genting yang pecah berkeping-keping. Jeritan bercampur tangis haru, teriakan disertai panggilan kepada Tuhan, menyesaki ruang hampa di sela-sela gemuruh. Hujan debu memancar dari setiap rumah yang akan rata. Yang tersisa hanyalah segitiga kehidupan: ruang kosong di bawah reruntuhan; di sudut bawah dari setiap pertemuan tembok dengan lantai, bentuknya menyerupai limas segitiga yang ujungnya jatuh ke samping, yang ketiga sisinya siku-siku di ujung limas itu, sedangkan sisi yang menghadap ke atas berupa reruntuhan atau kosong.

    Peristiwa itu membawa ancaman yang datang dari dua kutub. Mempertanyakan: apakah gelombang besar dari Laut Selatan ataukah wedhus gembel dari Merapi yang bakalan memorakporandakan tanah kita? Mungkin tsunami. Mungkin letusan Merapi. Orang-orang gempar; berlarian ke segala penjuru. Menjadi makhluk paling egois. Orang-orang berkerumun bingung. Aku pun bingung. Ingin menghindari wedhus gembel dengan berlari ke selatan ataukah menghindari tsunami dengan berlari ke utara. Namun, pada akhirnya kami bersatu, menatap lekat Merapi dari sawah yang lapang. Awan tebal membubung tinggi di atas kubah Merapi. Namun, ia tidak meletus, juga tak ada tanda-tanda air bah datang. Kita semua tertipu. Aku yakin, kala itu Tuhan pasti tertawa.

    Kau tahu, semenjak pagi itu, anak kita jadi kesepian. Dalam hitungan detik, gerakan magma kerak bumi mengubah segalanya; impian jadi kehilangan, harapan jadi kebimbangan. Dan, rencana tentang keluarga bahagia yang kita pupuk di pelaminan musnah, menjadi butiran-butiran tak kasat mata.

    ***

    KAU ingat, beberapa tahun sebelum pernikahan kita, di hamparan padang ilalang kala senja itu, menggurat tapak tangan kita yang senang menggapai-gapainya. Kemudian, kita berbaring dengan bersandar di atas rerumputan nan hijau. Dari bulan yang tertusuk ilalang itu binarnya memantul pada dua wajah kita yang rapat. Serupa laut kala senja yang menggenang. Bintang jatuh. Sekian detik kita bergeming; menatap hati kita masing-masing. Memantrakan doa-doa dan harapan-harapan. Kita sama-sama tahu, berdoa saat bintang jatuh adalah saat-saat paling mujarab untuk dikabulkan.

    Kuduga doa dan harapan kita sama. Maka, sekian bulan berlalu dan akhirnya kita menikah juga setelah sekian lama berjuang; mendapatkan restu dari orang tua dan negara. Perjuanganku untuk mendapatkanmu tak sia-sia. Setelahnya, impian kita terlaksana. Kita mendiami rumah yang di sekelilingnya hamparan sawah yang hijau, lengkap dengan gubuk di belakang, orang-orangan sawah yang berbanjar di kiri, dan kolam ikan kecil dengan bunga teratai di kanan, sedangkan di depan adalah taman bunga (persis seperti lukisanmu). Kau suka bunga melati, karena itu, kau menamai anak pertama kita Melati. Dan, kau juga lebih suka fajar ketimbang senja, maka kau menamai anak kedua kita Fajar.

    Semua keinginan kita terkabul, kecuali anak laki-laki kita. Ada yang berbeda dari Fajar anak kita. Ia tidak tahu bagaimana bersikap seperti manusia pada umumnya. Padahal, kita juga sama-sama tidak bisa mendefinisikan bagaimana manusia pada umumnya. Memang, barangkali, pada umumnya, anak-anak bangun pagi-pagi, lalu mandi, sarapan pagi, sekolah, lalu makan siang, tidur siang, bermain, mandi, minum susu, lalu tidur kembali. Namun, Fajar tidak bisa melakukan semua hal seperti itu; ia tidur dan bisa bangun kapan saja; makan apa saja yang ada di hadapannya. Jika Melati bisa mandi sendiri, Fajar tidak bisa, ia harus dimandikan oleh kamu atau aku. Ia lebih banyak bermain dengan dirinya sendiri ketimbang dengan teman satu-satunya: Melati.

    Apakah jika Fajar tidak bisa bersikap seperti anak-anak pada umumnya, ia tidak bisa disebut manusia? Ia tidak normal? Kau menangis kala itu.

    ***

    “Ayah, apakah mereka tidak mau menyelamatkan Fajar karena ia berbeda?” tanya Melati.

    Aku tersentak, tak bisa menjawab.

    Tuhan menguji kita. Entah Dia sayang entah benci.

    Saat ia lahir, kudengar cercaan datang bertubi-tubi: ia cacat, ia bukan manusia, ia tidak normal, ia aneh, tetapi kau tetap memeluknya; melindungi telinganya dari suara-suara itu. Kau selalu menyembunyikan Fajar dari tontonan orang-orang yang mencari hiburan. Hingga setiap malam kau selalu menahan untuk tidak menangis saat menidurkannya.

    Kau pernah murka, memaki-maki semua nama Tuhan yang kau ketahui: Ia bukan Yang Maha Pengasih, Ia bukan Yang Maha Penyayang, Ia bukan Yang Maha Adil, dan sebagainya. Hingga suatu ketika kau putus asa menormalkan kelakuan Fajar. Kau bilang ia bodoh dan tak berguna. Fajar kau kurung di kamar sendirian. Kau tahu, aku kehilangan dirimu yang pantang menyerah kala itu. Sungguh, aku benar-benar tak mengenalimu lagi.

    “Yah, Ibu pernah bilang Fajar bodoh. Orang-orang juga bilang begitu. Apakah orang yang tidak sekolah itu akan bodoh? Fajar tidak pernah sekolah.”

    “Tidak, Nak. Sebaliknya, dia cerdas, sangat cerdas. Walaupun dia tidak sekolah seperti kamu dan teman-temanmu, Fajar tidak bodoh. Kamu juga harus tahu, belajar tidak harus di sekolah; dengan pakaian, buku-buku, atau teman-teman yang semuanya seragam. Belajar bisa dengan apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Fajar belajar di mana saja. Ia banyak belajar mengobservasi lingkungan sekitarnya, di sekitar rumah kita.”

    ***

    SUATU pagi, di sebuah tanah yang lapang, ratusan orang berkumpul. Muka mereka antara percaya dan tidak percaya. Bau amis darah menguar ke udara. Obat-obatan bergelimpangan. Tenda-tenda didirikan. Jeritan, tangisan, dan teriakan, semakin mengharubirukan suasana. Sirene ambulans memecahkan pengap dan harap. Wartawan-wartawan sibuk mencari uang. Bantuan makanan datang beberapa jam kemudian.

    Mata Melati masih terlalu jernih, untuk melihat teman-temannya yang mati syahid. Juga mayat-mayat yang bergelimpangan di serambi masjid; yang antre untuk dimandikan dan kemudian dibawa ambulans untuk dimakamkan. Telinganya juga masih terlalu bersih untuk mendengar jeritan, tangisan, dan teriakan yang memekakkan. Namun, semua itu berangsur-angsur kabur sebab hujan telah mengguyur. Semuanya luntur beserta darah-darah yang merah. Rumah-rumah pun semakin rubuh tak kuasa menahan tekanan hujan atau sengaja untuk dirubuhkan. Rata dengan tanah.

    “Kita beruntung, Nak, dapat selamat dari gempa,” kataku mengalihkan perhatian Melati yang sedang mendengar jeritan dan tangisan haru.

    “Tidak seperti Fajar?” Melati merengut.

    “Dan beberapa teman-temanmu.”

    “Mengapa Ayah tidak menyelamatkan Fajar?” Kulihat matanya mulai basah.

    “Sebab, dia sudah berada di tempat yang tepat.”

    “Di dalam rumah ambruk? Agar dia mati?” tanyanya dengan nada yang meninggi.

    “Tidak, Nak, Fajar anak yang patut dibanggakan. Dia tidak bodoh. Dia berada di tempat yang tepat kala itu. Dia sudah bisa menyelamatkan dirinya sendiri.”

    “Tapi, kenapa dia tidak selamat, Yah?”

    “Karena dia diselamatkan,”jawabku singkat, ingin segera menyudahi percakapan yang mengharukan ini. Tak kuasa air mata tak dapat kubendung lagi.

    “Kulihat hanya Ibu yang menyelamatkan Fajar. Orang-orang hanya melihat sambil teriak dan menangis saja, Yah.”

    “Ayah juga diam saja, Nak. Maafkan Ayah. Tetapi, ibumu yang salah.”

    “Bukankah Ibu penyelamat? Kenapa Ibu salah? Bukankah Ayah bilang kalau Ibu mati syahid karena menyelamatkan Fajar.”

    “Iya, Nak. Ibumu penyelamat. Ayahlah yang salah. Maafkan Ayah, ya.”

    Kupeluk Melati yang mulai tersedu-sedu. Kami menangis.

    Kelak aku akan bercerita jika ia sudah besar.

    “Kala itu, aku dan ibumu di dapur. Kamu masih di kamar. Juga Fajar. Kamar Fajar terpisah dari kamar kita. Aku bergegas membawamu dan menyeret ibumu keluar. Tiba-tiba kita teringat Fajar masih berada di dalam. Ibumu panik bukan main. Sementara, tembok-tembok kamar Fajar sudah bolong (kulihat Fajar jongkok di pojokan kamar, di segitiga kehidupan!). Kamu histeris. Ibumu menyerahkan kamu pada gendonganku. Kutarik tangan ibumu agar tak bertindak bodoh, tapi ibumu melepas-paksa. Kurasakan tangan ibumu bergetar. Gempa pun berhenti. Ibumu masuk rumah kita yang setengah ambruk; menarik Fajar ke gendongan ibumu. Ibumu tak menyadari walaupun gempa sudah berhenti berguncang, bukan berarti rumah berhenti bergerak. Atap yang kayunya besar-besar itu menimpa ibumu, juga Fajar. Kuhalangi pandanganmu dengan menutup matamu.”

    ***

    PADA suatu malam, kunang-kunang beterbangan. Membuat terang malam yang berwarna jelaga. Barangkali ada jelmaanmu di antara mereka. Kupanjatkan doa: Semoga kau …. Ah, semoga kalian tenang di sana ….

    Melati akhir-akhir ini sering menangis.[]

    Bantul, 3 Juli 2014

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Kaki Langit

    author = Milla Himmatuz Zahra

    Tepat di seberang jendela kamar apartemenku, aku  mendapati seorang lelaki berumur hampir satu abad. Dengan setia ia memeluk tiang lampu jalan. Nanar mukanya sendu, seakan menyimpan segudang kelelahan. Beberapa botol minuman kaca berserakan di sana. Kilauan lampu jalan yang sedari tadi menghangatkan bagian kanan wajahnya, kini mulai redup. Tua dimakan sang waktu. Namun ia tetap bertahan di sana, merindukan hangatnya mentari yang dapat mengganti sinar redup lampu jalan. Dia lah seorang anak manusia titipan Tuhan, yang telah lama mendamba akan hadirnya kebebasan.

    Belakangan kutahu, ia bernama Troy, seorang warga selundupan Bangladesh yang telah lama mendiami kota bagian selatan Amerika Serikat. Perjumpaanku dengannya empat pekan lalu, membawaku dalam dunia kearifan yang sama sekali tak pernah kusangka sebelumnya. Bagiku, yang hanya seorang pelajar perantauan dari Indonesia, aku yakin tak setegar dia. Kala itu, setelah beberapa hari aku memperhatikan polah tingkahnya dari jendela kamarku, hatiku menuntunku untuk menghampirinya. Ternyata ia jauh lebih tua dari pengamatan jarak jauhku selama ini. Ia seorang lelaki cacat. Pergelangan tangan kanan hingga ujung jarinya kaku, kasar, hitam, dan merekah. Layaknya batu kali yang sering kujumpai saat aku berada di Banyuwangi dulu. Sedang jari di tangan kirinya hanya tersisa tiga. Entah kemana perginya kelingking dan jari manisnya.

    ***

    Ia memperhatikanku dengan seksama, sebelum melempar senyum yang tak pernah kuduga. Aku pun menyebelahinya dengan senyuman, dan mengamati sekujur tubuhnya yang mulai lapuk dimakan usia. “Kau mempertanyakan ini?” ungkapnya dengan terbata, sembari mengangkat pergelangan tangan kanannya dengan bantuan tangan yang lain. Aku mengangguk ragu. Dia kembali tersenyum dan meluruskan engsel lehernya hingga tatapannya menerobos dinding kamarku.

    “Kau pasti tahu Mount Everest, tapi aku yakin kau tak benar-benar mengenalnya, kau tak pernah berjumpa dengannya, bukan? Inilah saksi akan pertemuanku dengannya tiga puluh tahun lalu. Saat itu badai es datang, dan aku tetap mendakinya. Hanya tangan-tangan inilah yang mampu menopang segala beban tubuhku. Badai es itu adalah sebuah sambutan dari sang pencakar bumi. Dia sengaja menyambutku sebagai seorang tamu. Dan aku pun menerimanya. Tangan ini hanyalah sebuah kenangan akan keberanianku kala itu. Biar pun kata orang, aku ini tak lebih waras dari orang gila kebanyakan, yang rela mengorbankan raga pemberian Tuhan hanya demi sebuah kepuasan. Namun aku bangga bisa memilikinya. Memiliki tangan yang lebih pantas dikatakan cacat ini, tak semua orang bisa sepertiku,” ujarnya sambil terkekeh.

    Dia begitu rupawan di mataku. Bahkan sebelum aku memperkenalkan diri, dia telah lebih dulu berkelakar tentang secuil kisah hidupnya yang aku pun tak sanggup untuk mendengarnya. Dia adalah sang penakluk bumi, hampir sembilan belas negara telah dipijakinya. Dan kesemuanya menjadi seorang warga illegal. Aku tak tahu apakah aku harus bangga terhadap prestasinya kali ini. Ia rindu akan hadirnya kebebasan. Negara asalnya dulu, dirasa terlalu naïf baginya. Yang hanya mampu bertahan hidup dengan bantuan tangan-tangan berdosa berkedok malaikat. Menuntut lebih akan bantuan yang diberikan.

    Pertanyaan berjejal di otakku, tentang bagaimana ia dapat bertahan hidup hingga sekarang di berbagai negeri orang. Mendapat pekerjaan jelas tak mungkin, karena hampir seluruh negara maju dan berkembang tak memberi kesempatan bagi warga selundupan untuk mendapat lahan pekerjaan. Ia seakan dapat membaca celah pikiranku.

    “Selama ini aku tak pernah hidup dengan belas kasihan orang. Itu akan membuatku semakin terinjak-injak. Dulu aku adalah seorang seniman jalan. Setidaknya dari beberapa dolar yang diberikan orang padaku adalah bukan atas dasar belas kasihan. Mereka memang tertarik pada musik yang aku bawakan. Namun sejak angin barat daya yang mematikan saraf dan membekukan darahku di puncak tertinggi di dunia itu, segala instrumen musikku tamat sudah. Aku mengganjal perut dari sisa-sisa makanan restoran cepat saji yang memadati kota ini. Itu pun kulakukan seperempat malam menjelang pagi, sebelum matahari muncul di permukaan. Itu kenapa aku setia di sini hingga pagi menjelang. Aku tak mau kalah dengan mobil pengangkut sampah, walaupun ia dilengkapi dengan roda setinggi badanku. Kaki ini jauh lebih tangguh.”

    “Kau tahu tentang kisah dua jari yang hilang ini?” lanjutnya memperlihatkan tangan kirinya tepat di depan mukaku. Aku menggeleng. “Saat tengah hari jika aku benar-benar merasa lapar, aku mengulumnya, menggigitnya, dan kemudian mengunyahnya. Kau mungkin tak akan percaya. Tapi itu benar-benar kulakukan. Sejauh ini aku telah menaklukkan berbagai negeri dan pegunungan keramat, namun hingga kini aku belum bisa menaklukkan lambungku jika benar-benar dalam keadaan kosong. Aku berharap sisa tiga jariku ini dapat menopang hidupku hingga ajal menjelang kelak.”

    Aku meringis, perutku mual. Membayangkan seandainya dua jariku terpaksa kutelan mentah-mentah demi bertahan hidup. “Hahaha.. Kau tak perlu merasa jijik seperti itu. Hal bodoh semacam itu juga akan kau lakukan jika kau benar-benar dalam keadaan terjepit. Tapi aku harap, kau tak akan mengalami keterpojokan sepertiku. Kau gadis yang manis. Aku juga sempat memiliki anak gadis sepertimu, mungkin sekarang dia berada di sana. Damai di antara malaikat penjaga surga,” ujarnya menerawang langit.

    ”Hidupnya berakhir di tangan para penjajah tak berhati di negeriku.” Aku menelan ludah, dia benar-benar orang hebat. Memiliki kisah hidup yang tak dimiliki kebanyakan orang.

    “Kau benar-benar orang hebat. Sungguh aku sangat menaruh hati pada ketegaranmu menapaki kerikil hidup. Aku sangat terkesan dengan berbagai kisah hidupmu, sampai-sampai aku lupa untuk memperkenalkan diri. Aku Wina, pelajar perantauan dari bumi Indonesia. Sudah sangat lama aku  memimpikan kakiku berpijak di negeri penguasa bumi seperti ini. Semoga Harvard bisa mengantarku untuk menjadi orang hebat sepertimu,” ujarku penuh harap.

    Saat ia tahu bahwa aku adalah pelajar perantauan dari Indonesia, dia pun menatapku seakan tak percaya. “Indonesia? Nederlandsch-Indie kah itu? Aku pernah mendengarnya. Namun sayangnya aku belum pernah mengunjunginya. Kau tahu tentang Adolf Bastian?” Aku menggeleng.

    Troy kembali berujar, “Ia sangat mencintai Indonesia. Ia merawat dan mengenalkan nama Indonesia ke seluruh dunia, meskipun dia sendiri adalah orang asing. Bastian antropolog yang gemar berkunjung ke Indonesia guna melakukan riset. Aku beruntung sempat berkunjung tepat di depan pusaranya, di wilayah Sudwestkirchhofs Stahnsdorf, saat aku berada di Berlin dulu. Ia dikubur di kompleks pemakaman orang-orang hebat Jerman. Aku harap kau tak kalah dengannya, yang begitu bangga akan negerimu. Maukah kau berkisah sedikit tentang tanah kelahiranmu itu? Aku sangat ingin mengunjunginya.” Troy begitu bersemangat. Aku pun dengan bangga berkisah tentang Indonesia. Hingga seperempat pagi menjemput, dan Troy mengajakku mengais sisa makanan yang pernah ia ceritakan.

    ***

    Pertemuanku dengannya malam itu membawa rasa keingintahuan yang teramat sangat tentang dirinya. Aku ingin mendengar celotehan tauladan dari mulut tuanya. Hampir setiap malam aku menghampirinya untuk sekedar bertukar pikiran. Dan setiap pertemuan kami, aku sengaja membawakan makanan pengganjal perut buatanku untuk teman ngobrol. Awalnya Troy menolak, dia tak ingin dikasihani. Lalu aku tawarkan perjanjian padanya, satu kisah darinya untuk satu kue. Dan dia pun menyetujuinya. Sesekali di pertengahan cerita, Troy meraba saku celananya untuk memastikan barang simpanannya masih berada di sana. Saat aku bertanya tentang sesuatu yang ada di balik saku itu, dia pun kembali berkisah, sembari mengeluarkan sekerat roti yang terbungkus plastik dengan rapi.

    Roti itu sebenarnya sudah tak layak makan. Seluruh bagiannya telah terbalut jamur, baunya pun juga menusuk hidung. Aku heran mengapa Troy dengan setia menjaganya. “Kau pasti jijik melihat ini bukan? Mungkin jika aku membuangnya di pelataran jalan, tak satu pun anjing yang mendekatinya. Namun ini sangat berharga bagiku. Roti ini aku terima langsung dari tangan John Kennedy, mantan Presiden negeri ini, yang sampai sekarang pun sosoknya tak tergantikan. Aku ikut meramaikan pesta kampanye yang digelarnya. Saat itulah aku meminta padanya untuk memberikan sisa roti gigitannya padaku. Sebenarnya dia tak mau, karena roti itu terlalu rendah bagi pendukungnya. Namun aku berhasil meyakinkannya. Kau pasti bisa mengira sendiri seberapa tua kah umur roti ini. Dan hingga kapan pun aku akan tetap menjaganya.”

    Kekagumanku pada Troy semakin kental saja, hingga suatu waktu aku menyisihkan sebagian penghasilanku sebagai seorang pramusaji di restoran seberang kampus untuk membelikan Troy sepasang alat panyangga badan yang dapat membantunya berjalan. Hatiku miris tatkala menyaksikan perjuangan Troy dengan kaki rentanya,  melangkah terseok-seok berusaha mengais makanan sebelum truk pengangkut sampah datang. Dia harus berperang melawan waktu.

    Kali ini aku merasa jika Troy benar-benar seorang yang teguh mempertahankan prinsip, ia dengan keras menolak pemberianku. Ia kemudian mengajakku untuk menjual tongkat pemberianku untuk ditukar dengan sepasang sarung tangan. “Kau tahu, belakangan ini aku merasa tersiksa dengan keadaan tangan kananku yang mulai merepotkanku. Saat malam menjelang dan dingin yang luar biasa, bekas cengkraman badai es Mounth Everst itu membuat tangan ini jauh lebih perih dari sebelumnya. Aku lebih membutuhkan ini, dan aku harap kau tak keberatan untuk menyimpan sebelah kirinya untukmu. Sarung tangan sebelah kiri itu tak cukup berguna bagi tiga jariku ini,” pinta Troy kepadaku.

    Air mataku menetes. Sebegitu beratkah hidup Troy, dan dia tak pernah sekali pun mengeluh. Hatiku pilu, melihat Troy berjalan di depanku dengan langkahnya yang gontai. Aku sempat berjanji padanya untuk mengundangnya saat aku meraih gelar Master di bidang hukum kelak. Aku ingin melihat Troy bangga padaku, seperti yang aku rasakan padanya saat ini. Aku bangga memiliki Troy.

    ***

    Semester ini aku sangat sibuk guna merampungkan thesis terakhirku, hingga aku sedikit melupakan Troy. Hari-hariku hanya dipenuhi dengan buku-buku yang kutemui di perpustakaan hingga larut malam. Aku kembali teringat akan Indonesiaku. Aku harus cepat menyelesaikan studi ini dan kembali berpijak di sana dengan menggandeng Troy. Dia yang memberiku semangat selama ini.

    ***

    Aku berdiri terpaku di samping jendela kamar dengan mataku yang masih sembab. Mataku lurus mengamati lorong jalan yang menuntunku bersua dengan Troy untuk pertama kali. Malam ini aku sengaja tak menjumpainya. Aku tak mampu melihat tiang lampu jalan itu tak dipeluk oleh empunya lagi. Karena aku tahu, Troy tak akan pernah kembali ke tempat itu lagi. Ia sudah tiada. Sore hari sesaat setelah aku merampungkan thesisku. Profesor Logan telah meluluskan thesisku. Dan aku bisa menerima gelar Master itu bulan depan, saat waktu wisuda tiba.

    Namun perjalananku menuju apartemen tak semulus biasanya. Aku mendapati mayat Troy tergeletak di pinggir jalan, sekitar seratus meter ke arah timur dari restoran cepat saji yang biasa ia sambangi. Jenazahnya dikerumuni banyak orang, namun tak satu pun dari mereka merasa iba dan berniat menghubungi ambulan. Mereka tak ubahnya melihat mayat orang gila yang tak perlu untuk dibantu. Aku yakin dia Troy, sarung tangan biru muda di tangan kanannya itu adalah saksi jalinan persaudaraan kami.

    Konon, Troy terseret truk pengangkut sampah. Telah beberapa hari belakangan ini aku tak memberinya makan seperti yang kujanjikan dulu, padahal kisah tauladan Troy terlalu berharga dibanding secuil makanan yang biasa kuberikan padanya.

    ***

    Betapa pun kecewanya aku, itu tak akan membuat Troy kembali menemaniku lagi. Kemarin setelah aku mengurusi seluruh prosesi pemakaman Troy, aku kembali berdiam diri di kamar. Seharusnya ia tak pantas dimakamkan di sana. Ia orang hebat. Ia pantas untuk bersanding di antara makam Adolf Bastian dan para manusia menawan di bumi ini, seperti yang pernah ia ceritakan padaku. Semestinya penulis handal semacam Alberthine Endah lah yang pantas berjumpa dengan Troy, hingga ia bisa mengisahkan kisah hidup Troy dalam biorafi yang dapat menginspirasi banyak orang. Aku berjanji akan membawa sarung tangan ini kemana pun aku berpijak. Sarung tangan ini adalah miniatur raga Troy. Aku akan mengajaknya menapaki bumi Indonesia yang pernah diimpikannya.

    Ini semua tak guna untuk kusesali. Karena kutahu, Troy akan tetap menemaniku. Ia akan tetap menjaga dan menyayangiku. Kita akan kembali berkisah tentang indahnya surga kelak. Saat kita kembali menjadi buih harapan bagi semesta yang baru.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Kabar Kesepian

    author = Sobrun Jamil

    Siapa mengerti kesedihanku? Setelah tepat dua tahun lalu dokter memastikan bahwa bakteri Mycobacterium tuberculosis mulai membangun rumah tinggal di dalam paru-paruku. Menetap dan beranak pinak dengan cepat. Tanpa jeda. Setelahnya hanya ada hari-hari gelap yang dingin bagiku. Setelah itu dunia berubah wajahnya. Bukan lagi dunia yang pernah aku kenal sebagai sarang kebahagiaan dan keceriaan. Matahari pun tak lagi kukagumi, setiap terbitnya di fajar hari tak menerbitkan degup ketakjuban di dalam dadaku yang mulai digerogoti bakteri sialan ini. Bahkan setiap kali rembulan mencapai fase utuh bentuk tubuhnya aku tak bisa merasakan lagi taburan padhangmbulan yang gelora cahayanya membangkitkan gairah. Hanya kelengangan yang hadir, panjang sekali, mengurai sampai ke ujung ruang dan waktu yang entah batasnya ada di mana.

    Tepat dua tahun juga setelah dokter memvonis TBC itu, aku tak lagi bekerja di kota. Aku tinggalkan pekerjaan membentuk cincin, kalung, dan beragam bentuk perhiasan emas lain. Tubuhku sebenarnya masih menghendaki diri untuk bekerja di sana, namun aku harus memikirkan nasib pekerja lain. Aku tak ingin menjadi zombie yang menularkan bakteri sialan ini ke tubuh pekerja lain sehingga mereka ikut juga merasakan kesepian ini. Cukuplah aku saja. Mereka mesti tetap bekerja dengan tubuh sehat untuk menghidupi anak dan istri mereka di rumah. Cukup aku saja yang merasakan kehinaan ini. Kehinaan seorang lelaki, seorang suami dengan lima anak dan satu istri, tanpa pekerjaan dan hanya menghabiskan waktu di dalam rumah menunggu detik demi detik menghabisi usia hari. Seluruh kebutuhan ekonomi rumah tangga kini ditanggung oleh istriku, yang dengan ketangguhan dan kesetiaannya memutar roda keuangan lewat usaha salon dan rias pengantinnya. Sebelum aku terserang penyakit sialan ini istriku hanya menerima dua sampai tiga orderan merias per minggu. Namun kini dia tak membatasi dirinya, sebanyak apapun ia terima sebab hanya tinggal inilah lumbung uang kami saat ini. Untuk setiap orderan merias ia tempuh seorang diri jarak berpuluh-puluh kilometer dengan satu-satunya sepeda motor yang sanggup aku berikan sampai hari ini. Berangkat pagi dan pulang ketika matahari surup, entah harus dengan bagaimana aku ungkapkan keharuan yang bergejolak dari dalam tubuhku. Cinta dan kesetiaan terkadang memang sangat tak masuk akal, mungkin karena itu ia terletak di dada, bukan di kepala.

    Di tengah kebingungan itu diam-diam keasingan makin menguar dalam diriku dari hari ke hari. Atas saran dokter, segala sesuatu yang memiliki potensi penularan mulai dipisahkan dari diriku. Aku tak lagi tidur satu kamar dengan istriku, peralatan makan dan minumku dibedakan, kontak dengan manusia mesti diminimalisir, dan aku diharuskan memakai masker mulut sepanjang hari bagaikan rakyat dari sebuah rezim otoriter yang mulutnya disumpal dan suaranya dilenyapkan. Sesak makin berdenyut. Dalam satu hari mesti kuminum dua puluh butir obat dengan jenis dan rasa yang berbeda-beda, satu jam setelahnya mulutku tak berhenti mengeluarkan air liur, meludah-ludah, dan batuk darah! Bakteri ini benar-benar makhluk keparat yang melemparkanku ke dalam semesta suwung. Kalau saja bisa ingin rasanya kurogoh paru-paru di dalam dadaku ini dan membuangnya ke suatu wilayah yang tak pernah tercatat dalam peta kehidupan sehingga lekas berakhir penderitaan agung ini. Dan yang lebih mengiris dari kesedihanku adalah melihat kesedihan anak-anakku terhadap kesedihanku. Seperti misalnya pada suatu hari ketika Ranum menemaniku ke rumah sakit untuk daily check up, dari bilik jendela ruang dokter aku tak sengaja melihatnya menangis sesenggukan di bangku ruang tunggu. Berkali-kali ia usapkan tisu ke arah pelupuk matanya yang bulat dan bening. Aku tahu anak keduaku itu adalah anak yang tercengeng dibanding empat anakku yang lain, hatinya kaca tipis yang mudah pecah berkeping bahkan oleh setitik tetesan air dari langit, tetapi aku juga tahu kesedihannya yang ini lebih mendalam dan punya arti khusus bagi dirinya, dan itu pula yang membuatku semakin remuk redam. Aku adalah manusia lumpuh di hadapan air mata anak-anakku.

    Bahkan hingga cucu pertamaku, Jani, berusia satu tahun, aku belum pernah sekalipun menyentuh tubuhnya. Aku tak tahu bagaimana bentuk tulang wajahnya, wangi rambutnya, kenyal pipinya, dan halus kulitnya yang murni. Belum pernah kurasakan jari-jari mungilnya merambati jengkal tanganku, belum pernah kuhirup bau mulutnya, apalagi kecupan dari bibir kecilnya yang mengkilat. Betapa pilu, namun cukup bisa kumengerti ketakutan Raras, anak pertamaku. Sebagai seorang Ibu yang baru melahirkan anak pertamanya, ketakutan akan kesehatan Jani adalah hal yang amat sangat wajar. Terlebih sistem kekebalan tubuh Jani masih lemah, ia sangat rawan tertular virus jenis apapun. Maka lebih baik kukulum sendiri pilu ini daripada harus kutambah kepiluan lain dengan melihat anak dan cucuku tersiksa.

    Terhitung cukup lama Raras tidak pulang ke rumah untuk menengok sanak familinya sejak ia melahirkan Jani. Ia tinggal bersama suaminya di kota tetangga. Alasannya belum akan pulang adalah kesehatan Jani. Walau sebetulnya juga Raras pernah berujar kepada Ibunya lewat telepon bahwa ia sangat ingin pulang ke rumah dan mengenalkan Jani kepada saudara-saudaranya. “Meski sesungguhnya aku punya ketakutan untuk membawa Jani pulang ke rumah, tapi aku ingin tetap pulang, Bu. Jani harus kenal kepada saudara-saudaranya. Dan terutama Bapak, aku ingin Bapak melihat cucu pertamanya,” ucap Raras kepada Ibunya dari speaker gawai. Namun Raras tak kunjung datang juga. Aku sangat bisa paham dengan hatinya, karena baginya keputusan untuk pulang itu adalah pertaruhan besar. Justru istriku yang selalu menagih-nagih kepulangannya. Berkali-kali ia menelepon Raras untuk menagih janji. Istriku sangat ngotot bahwa Raras harus segera pulang semata-mata karena ia tak ingin melihatku sedih. Maka aku katakan kepadanya, “Sudahlah, bu. Jangan menekan Raras terus. Pahamilah hatinya, Raras berada di persimpangan jalan. Ia mencintai Jani, tapi juga mencintai Bapaknya. Jalan manakah yang harus ia ambil? Raras sedang menggenggam buah simalakama, jadi berhentilah membuatnya semakin bingung. Lagi pula aku tak keberatan jika sampai kapanpun Raras tak pulang. Bagiku, pertemuan yang sesungguhnya antara aku, anakku, dan cucuku sudah terjadi di alam batin. Sebenar-benarnya pertemuan. Mereka sudah menemuiku dan aku sudah menemui mereka melalui getaran cinta dan kasih yang bertaut di antara kita.”

    Tetapi tak kusangka ternyata Raras mengambil keputusan besar. Tiga hari yang lalu Raras menghubungi Ibunya dan mengatakan bahwa akan pulang ke rumah bersama suami dan Jani. Alangkah bahagianya aku mendengar kabar itu. Seakan mengupas musim kemarau di dalam dadaku. Tepat satu hari sebelum kepulangannya, kuberesi perabotan-perabotan di rumah. Kusapu sarang laba-laba yang menempel di sudut-sudut ruang. Kupoles kembali tembok-tembok yang mulai kusam dengan cat baru. Aku lakukan semuanya tanpa punya ingatan bahwa aku adalah seorang bapak sekaligus kakek yang sedang mengidap TBC. Aku hanya ingin pemandangan terbaik dari rumah ini untuk menyambut putri dan cucu pertamaku.

    Hari yang dinanti pun tiba, seluruh personil rumah sudah lengkap berkumpul di ruang tengah untuk menyambut kedatangan Raras sekeluarga. Ada istriku, Ranum, Sally, Ozi, dan Rafli. Sementara aku dengarkan suara geremang dan gelak tawa mereka dari ruang tamu. Siang ini matahari lebih emas cahayanya, memapar ke sekeliling halaman rumah. Burung-burung gereja meliuki udara, menghidangkan tari-tarian bagi kedatangan cucu pertamaku. Tak berselang lama sedan merah itu muncul, menyerap seluruh orkestra pemandangan indah, kemudian berhenti tepat di halaman rumah. Dari balik kaca jendela bisa kulihat kepala pertama yang keluar dari pintu sebelah kiri, dialah Raras anakku dan bayi kecilnya. Baru setelahnya Wijaya, menantuku, keluar dari sisi pintu yang lain. Ozi dan Rafli yang masing-masing duduk di kelas lima dan dua SD langsung berlari menghambur keluar menyongsong kakaknya, memeluk dan segera menyambar tas-tas yang dibawa oleh Raras. Rombongan itu masuk ke ruang tengah. Ranum dan Sally beranjak ke dapur menyiapkan suguhan. Jani digeletakkan di kasur kecil yang tergelar di atas karpet. Wajahnya yang mungil dan polos terlihat bingung menyapu keramaian di sekitarnya. Tangan serta kakinya bergerak-gerak kecil, melepas rasa letih yang ia tabung selama perjalanan. Pipi tebalnya tak absen digilir oleh ciuman yang datang dari nenek, tante dan dua paman kecilnya. Kegembiraan memancar, menembakkan rasa bungah ke seisi rumah. Ikut kurasakan kebahagiaan itu meski hanya bisa kupandangi mereka dari ruang tamu. Kebahagiaan yang meledak dari dasar jiwaku ternyata tanpa kusadari memompa keluar lelehan air mata. Tulang rusukku bergetar menahan haru.

    “Bapak kenapa menangis?”, Raras memergoki keadaanku, seketika itu juga ia berlari kecil ke arahku, dan bersimpuh.

    “Tidak apa-apa, nak.”

    “Bapak boleh pegang Jani, yang penting kan pakai penutup mulut dan cuci tangan. Bapak jangan bersedih, Raras tidak melarang Bapak memegang Jani kok. Bapak jangan menangis. Bapak dan Jani sama. Sama-sama hatinya Raras. Kalau Jani menangis, hati Raras linangannya. Begitu pun kalau Bapak menangis, yang menderas di pipi, adalah hujan dari awan keruh hati Raras.”

    Kerongkonganku tercekat mendengar kalimat Raras. Ada yang memberat di dadaku. Tulang rusukku kembang kempis dan kembali bergetar. Ramai-ramai orang seisi rumah mengelilingiku. Membentuk semacam kehangatan yang disuntikkan ke dalam dadaku.

    Hari berselang, dan sejak kudengar kalimat yang terlontar dari mulut Raras itu, kurasakan Tuhan sangat dekat hadir di dalam keterbatasan gerak hidupku. Sangat dekat hadir di hatiku. Aneh, bakteri keparat yang selama ini kukutuk seketika menjelma diri menjadi Malaikat pembuka jalan yang mengantarkanku kepada suatu titik posisi kesadaran di mana kesepian bukan lagi sebuah kesepian. Bakteri ini mengurai diri menjadi percik-percik cahaya yang menghangati sekujur tubuh. Berpendar-pendar. Kemudian menggumpal menjadi kehadiran-Nya.

    Kutemukan kini hanya Tuhan. Orang-orang bisa tertular virus tetapi Tuhan tidak. Maka satu-satunya yang bisa kusentuh, kuraba, kudekap, dan kukecup dengan tanpa kekhawatiran hanyalah Tuhan. Tuhan menjadi kawan karib sekaligus kekasih di dalam nurani. Dokter bisa membatasiku untuk tidak berdekatan dengan manusia tetapi dokter tidak bisa merantai tubuhku dari pergaulan dengan Tuhan. Tembok-tembok kamar bisa menyekat langkah kaki udara yang ditunggangi bakteri, bisa memisah tubuhku dengan tubuh anak dan istriku, tetapi tembok-tembok kamar tak akan pernah bisa memisahkan Tuhan dari tidurnya para hamba yang kesepian. Aku, hamba yang kesepian itu, hanya bersetia merajut bayang-bayang Tuhan, kujadikan selimut dengan sulaman 99 bintang asma-Nya. Selimut itu membungkusku ketika malam melemparkan sunyi yang dingin, sunyi yang menusuk tulang belulang. Sunyi yang panjang. Sunyi yang merentang.

    ***

    Batuk darah mengawali pagiku kali ini. Tiga kali  terbatuk, tiga kali darah muncrat dari mulutku ke atas permukaan lantai. Lalu kupandangi darah segar yang merah kental itu.

    “Tuhan, dulu ketika di surga Kau tiup tiga bagian tubuh dari tapel Baginda Adam, beliau bersin sebanyak tiga kali. Kemudian beliau hidup, lantas dikelabuhi Kanzul Jannah alias Iblis si Bendaharawan Surga sehingga Baginda Adam dihukum keluar dari surga, terjun ke bumi. Pagi ini Kau buat aku terbatuk tiga kali juga. Adakah, telah Engkau berikan padaku nyawa yang baru? Kelahiran yang baru? Agar kelak tak bisa ditipu oleh Iblis Dunia.”

    Benar-benar terasa kosong di dalam diriku. Di dalam diriku hanya tinggal air mata hamba-hamba Tuhan yang memendam perih dalam kemalangan. Wajah mereka yang bernasib kesepian mengisi ruang-ruang kosong di sela syaraf, darah, tulang, dan daging badanku. Teriakan dan pekikan para hamba Tuhan yang hidupnya dikurung oleh senyapnya dunia terdengar begitu nyaring di pusat gendang telingaku.

    Sebelum kusantap sarapan pagi yang telah disediakan istriku di atas meja beserta sendok dan garpu khusus itu, kuputuskan untuk sejenak mendoakan para hamba Tuhan yang kesepian. Kumulai dengan memejamkan mata hingga gelap benar-benar merasuk. Dalam kegelapan ruang dan waktu itu, aku bertemu banyak sekali wajah-wajah penempuh sepi. Kusambangi mereka satu per satu. Aku menyelam sampai ke lubuk hatinya. Setiap satu hamba Tuhan yang kujenguk dalam kegelapan, pada teras kecil gubuk jiwanya kurapal tiga asma Tuhan yang terangkai menjadi seutas wirid “Ya Kholiq, Ya Bari’, Ya Mushowwir“. Dengan amat sabar kusambangi satu per satu para hamba Tuhan yang kutemui di dalam dimensi suwung itu. Bermacam-macam jenis nasib kesepian mereka. Ada yang kesepian karena penyakit, ada yang kesepian karena kemiskinan, ada yang kesepian karena kekayaan, ada yang kesepian karena dikucilkan, disingkirkan, dan ditindas oleh pemerintahan suatu negara. Ada yang kesepian karena jabatan, ada yang kesepian karena status sosial. Ada yang kesepian karena kebodohan, ada pula yang kesepian karena kepandaian. Ada yang kesepian karena tak mengenal Tuhannya, ada yang kesepian karena menolak sesamanya. Ada yang kesepian karena setengah mati mencari keramaian, namun ada juga yang kesepian karena sengaja memilih kesepian. Berjuta-juta jumlah mereka. Tidak! Bisa jadi lebih! Ya ampun, banyak sekali ternyata jumlah orang kesepian. Beredar-edar jiwa mereka di dalam kegelapan. Semua kuhampiri, satu per satu, sampai tandas tanpa sisa.

    Ketika kulenyapkan diri dari kegelapan itu dan membuka mata, nasi beserta lauk di atas piringku telah berubah menjadi setumpuk warna oranye yang lindap. Matahari dan bumi terbujur kaku di atas meja.

    Pamulang, 29 Juni 2019.

  • Bagaimana JON Menjadi Kaya dengan Profesi Penjual Jamu Sebagai Sambilan

    author = Titis Anggalih

    Tak seorang pun sejak masa itu punya niat berdekatan dengan JON (bukan Jon, tapi Je O en, sebagaimana nama-nama yang kepanjangan dan usahamu memadatkannya serupa dengan nama lainnya : SBY, SN,atau ARB, hanya saja JON bukan pula politikus meski tak kalah berduit dari politikus).

    Orang menjaga jarak setidaknya seperempat lapangan bola agar kuping JON tak mampu menjangkau obrolan mereka. Itu terjadi sejak orang menyadari ada yang ganjil dengan JON : apa pun yang diucapkan lantas diamini oleh JON bakal mewujud jadi kenyataan, dan seringnya yang buruk-buruk.

    Seseorang pernah mempertanyakan mengapa manusia hidup perlu BAB sebelum dirinya sembelit berminggu-minggu. Mulas tiada berkesudahan namun tak ada sukses membuang sampah sisa dalam perutnya. Dokter, yang merasa direpotkan karena akhir tahun begini merasa berhak mengambil cuti, terpaksa membedah perutnya. Itu pula yang terjadi pada seorang lainnya yang menyumpahi istrinya sengsara, nyatanya sumpah itu malah berbalik membuat sang suami terkena stroke, dengan separo tubuh yang baiknya diikhlaskan, sebab nihil untuk digerakkan.

    Tampaknya ada aturan main berhadapan dengan JON yang belum banyak dimengerti:

    1. Jangan mengucap yang buruk-buruk di dekat JON.
    2. Jangan mendoakan keburukan orang lain bila ada di sekitar JON.

     

    Apa yang dilakukan JON?

    Jelang subuh, beberapa waktu sebelum ayam terbangun, JON sudah gegas tinggalkan pondoknya. Satu atau dua kelebat disaksikan peronda dalam perjalanan pulang habis menunaikan tugas mulia (jangan kira meronda hanya tugas rendahan!). Tak ada kabar ke mana JON hendak tuju, tak ada duitnya juga warga mau tahu. Ia baru kembali terlihat di pondok bobroknya bakda bedug lohor, itu pun tak jelas kapan datangnya. Langkah kakinya seperti angin saja.

    “Barangkali ke ladang cari akar-akar buat dijerang jadi jamu,” kata seseorang yang dikutip oleh

    seseorang lagi yang disampaikan oleh seseorang lainnya. JON memang terkenal dengan racikan jamu mujarabnya. Banyak pelanggan dari luar kota memesan namun tak pernah bisa dikirim jika diminta, sehingga harus diminum di tempat yang sama di mana jamu diracik (tak pernah mau dibayar apa pun kecuali dengan ‘kereweng’ atau remahan pecahan genteng).

    “Energi penyembuhnya bisa berubah,” jelas JON singkat, membikin para peminat jamunya datang belaka meski jauh berjarak dua atau tiga kabupaten provinsi, itu pun sebagian perjalanan ditempuh dengan mikrolet desa atau kendaraan yang lebih kecil jika tak mau terjebak jalan yang lebarnya makin menyusut. Maklum, Desa Bulak Ringin tak hanya terpencil namun bahkan pelosok jauh.

    Berbatasan dengan hutan dan bukit yang sesekali disatroni beruk-beruk liar. Segala keanehan itu memunculkan kasak dan kusuk: JON barangkali bersekutu dengan yang gaib-gaib, atau bisa jadi bagian dari yang gaib. Dan seperti kebanyakan pelaku gaib pada umumnya, dikhawatirkan ia menawar tumbal. Bahwa ketika kukatakan di awal jika JON berduit, itu hanya memberi minyak pada kobar api kasak-kusuk penduduk. Kerja tak jelas kok bisa berduit, hampir seluruh warga berkata demikian.

    Sayangnya, bentukan JON agaknya mendukung untuk disebut singup : cukup semampai namun agak bongkok (akibat sering menggunakan punggungnya untuk menggendong botol-botol jamu). Berusia akhir empat puluhan, kiranya. Ada cekung menghitam melingkupi kedua mata. Rambutnya kemerahan, bersih tapi berantakan, sebahu, kadang diikat dengan karet gelang berwarna kuning seperti yang kau lihat pada buntalan nasi kucing. Tubuhnya cenderung kurus namun tak ringkih, hanya sepasang gundukan daging di dadanya yang menandakan bahwa JON berkelamin perempuan (kau menyangka bahwa JON lelaki, bukan?). Dan tatapan mata dengan aura kebosanan itu seolah punya caranya sendiri menyampaikan aku-tahu-banyak-hal. Model tatapan mata orang-orang waskita.

    Tak perlu dipertanyakan dari mana munculnya JON. Kau dan aku sama-sama tak mengetahui, sedangkan JON lebih mengetahui, sebagaimana banyak hal yang JON ketahui, seperti cara menangkal hama di kebun pohon cokelat, menyembuhkan ternak cacingan, memperingatkan jika ada tahun-tahun dengan musim kurang menguntungkan untuk bertani, dan menentukan momentum yang baik untuk berinvestasi Bitcoin dan kapan menjualnya di pasar global persis sebelum terjadi anjlokan nilai. Aku sendiri lebih percaya pundi-pundi JON berasal dari keahliannya itu, alih-alih tuduhan klenik hasil bacotan warga.

    Terlintas di kepalamu bahwa JON adalah waliyullah? Aku pernah diajari oleh pinisepuh di kampungku tentang cara mengetahui apakah seseorang itu waliyullah atau bukan: ucapkan salam secara lirih dari sekian jarak tertentu, sangat lirih hingga telingamu sendiri nyaris tak mendengar. Oleh sebab menjawab salam hukumnya wajib, maka pasti dijawab jika orang tersebut waliyullah. Bagaimana sang waliyullah menjawab, kau akan tahu. Sedangkan JON hanya bergeming. Jadi JON bukan waliyullah. Dan jika kau masih membaca tulisan ini, yang artinya ingin tahu lebih banyak tentang JON (atau ingin membeli jamu JON), sebuah artikel di surat kabar lokal terbitan kemarin bisa memuaskan penasaranmu. Halaman empat, kolom pojok bawah. Kalau tak salah dijuduli “Diduga Sarang Dukun dan Hendak Dibakar Warga, Api Justru Melahap Seluruh Desa.”

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi