Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Dewanto Amin Sadono
Juara 1 Lomba Cipta Cerpen Festival Sastra UGM 2020
Ketika mancing di dekat pohon cangkring berumur seratus tahun itu, kail Sobrot nyangkut ikan seukuran telapak tangannya. Matanya berbinar-binar, dadanya bergetar-getar, ikan itu didekapnya hingga menggelepar-gelepar.
“Aku menemukan ibuku,” kata Sobrot pada teman-temannya sesama pemulung. Menurut bualan para pemancing, orang-orang yang mati di sungai itu akan menjelma jadi ikan, berubah jadi manusia lagi jika kena pancingan.
Walau ibunya hilang di pasar, ketemu di sungai juga tak apa-apa, apalagi peristiwa itu sudah lama, bisa saja selama masa itu sang ibu terpeleset saat hendak mengambil sandal jepitnya, lalu tenggelam ke dasar sungai yang penuh busa deterjen itu. Sama seperti umur Sobrot, lima belas tahun lalu ada perempuan yang melompat dari atas Jembatan Mayit tempat Sobrot dan empat kawannya bernaung di bawahnya, ditinggal pacarnya saat hamil. Tubuhnya tak pernah ditemukan, namanya Narti, dan nama itulah yang Sobrot pakai untuk ibunya.
“Bu Narti, jangan tinggalkan Sobrot lagi, ya! Sobrot sudah kerja, ibu di rumah saja!”
Esoknya, Sobrot ke sungai lagi, “Aku akan mancing bapakku,” katanya kepada empat temannya. Punya ibu saja tidak apa-apa, tapi kalau bisa lengkap dengan bapaknya pasti lebih asyik lagi, begitu pikirnya.
Sama seperti kemarin, kali itupun Sobrot sedang dinaungi rejeki, dia dapat ikan lagi, bapaknya berkecipak-cipak di ember plastik yang dibawanya. Dua hari setelah Narti bunuh diri, terjadi kecelakaan. Pengendara motor lagi mabuk yang pulang dari Lokalisasi Silir itu menabrak Jembatan Mayit, lalu terjun ke sungai, mayatnya hilang, namanya Narto, dan Sobrot menamai bapaknya dengan nama itu biar serasi dengan ibunya.
“Bapak Narto sudah tua, temani Ibu Narti di rumah. Sobrot yang kerja!”
Sejak punya bapak dan ibu, Sobrot tidak tidur di bawah Jembatan Mayit lagi, pindah ke kontrakan dua kamar, satu untuk dirinya, satu untuk orang tuanya. Kamar itu ada tempat tidurnya, juga meja kecil, serta toples tempat bapak-ibunya berenang-renang.
Bedeng bambu tak jauh dari jembatan itu milik Gentho, preman paling ditakuti di wilayah itu, sewanya seratus ribu sebulan. Tanah dan air di sepanjang sisi kanan sungai, serta kanan-kiri jalan, membentang lima kilo meter dari Jembatan Mayit sampai Jembatan Jurug sana, termasuk para penghuninya, milik preman yang badannya penuh tato itu, dia suka memalak siapa saja.
Melihat Sobrot tertampak bahagia, empat temannya ingin punya bapak-ibu juga, lalu melakukan hal sama, mancing di dekat pohon cangkring itu, tapi hanya dapat sampah. Kail Cahyo nyangkut sandal jepit kiri yang setipis bokongnya, punya Mukidi kena kaos gambar calon presiden yang kalah, milik Muharyo nyantol sepatu mirip punya tentara, sedangkan kail Jonto kena sesuatu, saat di dalam air gerakannya mirip ikan, tapi saat diangkat ternyata bekas pembalut wanita, masih tersisa warna merahnya.
“Sobrot beruntung,” Cahyo memberikan komentarnya, wajahnya kusam seperti air comberan, remaja kurus kering itu dibuang ibunya waktu umur dua tahun.
“Sobrot diberkati tak ubahnya nabi,” Muharyo ikut memberikan pendapat, dia tak pernah tahu siapa bapak-ibunya, umurnya lima belas, wajahnya berlubang-lubang seperti permukaan Planet Mars usai digempur meteor berulang-ulang.
“Sobrot jadi pemulung paling bahagia,” Jonto ikut menyela, dia yang paling muda, sebelas tahun. Ibunya pelacur yang bingung menentukan ayah dari bayinya, lalu membuangnya ke tempat sampah satu jam setelah dia dilahirkan.
“Sobrot itu jelmaan ikan, pasti mudah mendapat ikan lainnya,” Mukidi menutup gerutuan teman-temannya.
Tak ada yang tahu pasti asal-usul si Sobrot, tapi kabar yang beredar dia ditemukan sedang merangkak di dekat pohon cangkring. Perempuan yang sedang berak itu segera menghentikan beraknya, lalu menyelamatkan Sobrot yang sudah mulai mendekati bibir Kedung Mayit. Karena tak ada yang mau mengakui sebagai anaknya, penjual pecel di Pasar Kliwon itu merawatnya, tapi hanya sampai Sobrot umur lima tahun, disentri menghancurkan usus halusnya, lalu Malaikat Izrail mencabut nyawanya.
Setelah ditinggal mati ibu angkatnya, anak lima tahun itu menjadi anak asuh banyak orang. Pagi sampai sore hari dipelihara para bakul Pasar Kliwon, kuli angkut, dan tukang becak yang pernah jadi langganan Mbok Ginah, sedangkan sore sampai pagi diasuh para pelacur bertarif lima ribu sekali main yang biasa beroperasi di Alun-Alun Kidul. Mereka menempatkan diri sebagai tantenya, dan mengajari banyak hal, termasuk bercinta. Sobrot kehilangan keperawanan saat umur sepuluh tahun, perempuan beruntung itu lima puluh tahun, oleh para tantenya Sobrot dijadikan hadiah arisan.
Untuk ukuran gelandangan, Sobrot tergolong manis, kulitnya putih, rambutnya ikal, tubuhnya gembal dan bau sampah. Di antara keempat temannya, dia yang paling beruntung, para pelacur sering memberi rokok, makanan, dan tubuhnya, tapi Sobrot tak selalu mau, takut kena sipilis. Hasil pulungan Sobrot juga paling banyak, maka bisa menyewa bedeng. Wilayah kerjanya luas, penguasa Pasar Kliwon membiarkan Sobrot mencari botol plastik bekas di bak sampah di dekat pasar, preman amatir itu mengira Sobrot pacar Gentho.
Kabar tentang Sobrot yang menemukan bapak-ibunya saat mancing segera menyebar. Anak-anak yang orang tuanya minggat ikut mencari peruntungan. Dengan membawa pancingan, ratusan anak berjajar di kanan-kiri sungai berbau tinja itu dari pagi sampai sore, berhari-hari.
Mereka memasang berbagai umpan untuk memikat para ikan, kebanyakan tai dicampur tempe busuk dan roti tawar yang dipilin-pilin seukuran ujung jari kelingking. Namun, sungai yang membelah kota bersejarah itu sedang jadi bedebah, tak ada satu pun pemancing yang mendapat bapak atau ibunya, kecuali ikan sabu-sabu, dan itu bukan jenis ikan yang mereka inginkan, tak bisa menjelma menjadi bapak atau ibu.
“Di sungai ini sudah tidak ada bapak-ibu lagi karena memang hanya dua itu,” kata anak yang datang dari Boyolali, dan sudah dua hari tidak makan.
“Tidak mungkin sungai sebesar ini tidak ada bapak-ibunya,” bantah anak lainnya menghibur diri, dia dari Purwodadi, dan tak ingin pulang dengan tangan hampa.
Pemikiran itu ada benarnya karena sungai itu lebar dan panjang, serta ada bagian yang sangat dalam, yaitu tepat di bawah pohon cangkring, hampir lima belas meter. Dulu namanya Kedung Jaran, batang pohon cangkring itu berbentuk kepala kuda, tapi sejak puluhan bapak dan ibu anggota PKI digorok lehernya, ditembak kepalanya, dan mayatnya dibuang ke kedung itu seperti bangkai ayam, sebutannya berubah menjadi Kedung Mayit.
Nama yang sama dipakai untuk menggantikan Jembatan Bacem, penghubung wilayah Solo dan Sukoharjo, letaknya lima puluh meter dari pohon cangkring. Konon, jembatan itu angker, sering muncul penampakan, ujudnya gembung, hilir-mudik mencari-cari kepalanya yang hilang dipenggal samurai.
Sore itu Sobrot uring-uringan, bapak-ibunya hilang, toples itu terguling, padahal tinggal dua hari lagi jadi manusia. Bapak-ibunya gemuk dan tampak gembira, mestinya betah dan tak kepikiran kembali ke sungai lagi. Sobrot sudah memberi makan sehari dua kali dan mengganti airnya setiap dua hari, sesuai petunjuk Mukidi, temannya ini sempat lulus SMP.
“Kalau dalam dongeng, pangeran kodok langsung berubah jadi manusia begitu ada yang menciumnya. Tapi karena ini bukan dongeng, bapak ibumu baru akan jadi manusia setelah empat puluh hari,” Mukidi pernah mengatakan hal itu.
Sore itu setelah seharian memulung botol-botol plastik bekas, Sobrot ke bawah jembatan, mencari Mukidi, ingin bertanya apa bapak-ibunya bisa dipancing lagi. Namun, Mukidi tidak ada. “Orang bertato naga itu telah membawanya kemarin malam,” Muharyo memberikan laporan.
Sobrot tahu laki-laki itu, Gentho, pernah berperan sebagai pamannya karena mengincar lubang pantatnya, tapi tante-tantenya menghalangi karena menginginkan kemaluannya. Paginya Mukidi ditemukan sudah jadi mayat, mengapung di dekat pohon cangkring, dan tidak menjelma menjadi ikan.
“Kenapa?” tanya Sobrot.
“Ada darahnya tidak?” Muharyo yang mengambil alih pimpinan kawanan pemulung itu justru balik bertanya.
“Tidak, hanya bekas cekikan,” jawab Jonto yang sempat menyaksikan mayat Mukidi.
“Syaratnya harus ada darah!”
Sobrot tidak jadi bertanya tentang bapak-ibunya, memikirkan sendiri, mencari jalan keluarnya. Lima sekawan itu sekarang tinggal berempat, dan Sobrot memutuskan kembali tinggal di bawah jembatan, bekerja jadi pemulung seperti hari-hari sebelumnya. Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali, Muharyo hilang dari gubuk, lima sekawan itu tinggal bertiga, dan Jonto ketakutan.
“Brot, kita pergi saja!” usul Jonto.
“Kemana?” Sobrot bertanya,”Menyusul Muharyo di Jembatan Juruk? Gentho tetap akan menemukan!”
“Muharyo sudah mati dan pelakunya bukan Gentho!” kata Jonto.
“Tahu dari mana?”Sobrot memicingkan mata.
“Ada darahnya,” jawab Jonto.
“Mana buktinya?” desak Sobrot lagi.
“Tadi aku nemu kalung tengkorak milik Muharyo di dekat semak sebelah sana, terselip di antara batu, ada ceceran darah di situ,” Jonto tetap pada pendapatnya.
Esoknya gantian Jonto yang hilang, dan Sobrot mengatakan pada Cahyo, Jonto pindah ke jembatan dekat pabrik sepatu, dan Cahyo percaya. Anak ber-iq dua digit itu selalu merasa dirinya bodoh saat di hadapan orang yang pandai bicara.
Sobrot sudah menunggu lima hari, tapi bapak-ibunya tetap tak kembali, lalu berpikir Muharyo dan Jonto lupa menyampaikan pesan itu, padahal sudah dia ulang lima kali. Sore itu Sobrot menyilet pergelangan tangannya, dia kangen akan bapak-ibunya, lalu terjun ke Kedung Mayit, pemberat berupa batako itu terikat pada kedua kaki.
Dua hari berlalu, dan Cahyo didera rindu akan teman-temannya, tinggal di bawah jembatan sendiri banyak tak enaknya. Pagi itu dia memancing di bawah pohon cangkring, tidak menggunakan umpan tai, tapi lontong dan nasi basi, itu yang biasa dimakan teman-temannya sehari-hari. Kena siapa pun tak masalah, Muharyo atau Sobrot boleh, Jonto juga tak apa-apa, syukur-syukur ketemu bapak-ibunya.
“Brot, Jo, Yo, makan!” Cahyo melemparkan kail ke tengah sungai. Seruan itu sama dengan dulu ketika dia nemu makanan yang bisa dibagi berlima. Dia tak memanggil Mukidi, mayatnya ditemukan dan tidak ada darahnya, juga tak memanggil bapak-ibunya, tak tahu nama mereka.
Sudah berjam-jam, Cahyo masih di bawah pohon cangkring, dan para penghuni pinggir sungai itu ikut merasakan kepedihan dan kesedihan ditinggalkan yang dicintai, mereka juga mengalami. Tante Zirah mengirimi roti, Mbak Melly membelikan gorengan, dan Mang Sapar melemparkan minuman, tapi Cahyo memberikan ke teman-temannya. Roti dan gorengan itu dia cuil-cuil, dijadikan umpan, sedangkan minuman dia buka tutupnya, lalu dia tuang isinya.
“Brot, Jo, Yo, nih, roti dan gorengan kiriman Tante Zirah dan Mbak Melly!” Cahyo melemparkan kail itu ke tengah sungai, ke sepuluh ribu kali.
Malam datang; tak ada seekor ikan pun yang mengendus umpan itu, tapi Cahyo tak peduli, seperti dirinya, dia yakin Sobrot, Muharyo, dan Jontro juga rindu. Dia terus melemparkan kail terikat di ujung bilah bambu itu, ke sepuluh ribu sepuluh kali, dan kambangan dari potongan sandal jepit itu kampul-kampul dipermainkan angin dan riak, tak pernah menyelam, tak ada ikan yang mendekati umpan itu, apa lagi menelannya.
Dulu, pada setiap malam Jumat Kliwon atau sehari menjelang Puasa, orang-orang dari luar daerah sering berziarah ke Kedung Mayit. Mereka mengirim bunga, melantunkan doa, dan ikan-ikan itu segera keluar dari dalam kedung, berkitar-kitar di permukaan, memamerkan kibasan ekornya, berenang dua-dua, membentuk formasi seperti pasukan infantri, dan binatang cantik itu beterbangan di atasnya, berkerlap-kerlip seperti lampu hiasan acara tujuh belasan.
Kunang-kunang itu sudah pindah ke Pekuburan Sonolayu, dan para ikan migrasi ke Laut Jawa, di sana masih ada tabur bunga dan kirim doa bagi para korban pesawat terbang yang nyungsep ke dasarnya.
Sampai saat ini Cahyo masih mancing di bawah pohon cangkring itu, mencari orang tua serta teman-temannya, dan warga sekitar membiarkan, tak tega menghancurkan harapannya.
Pekalongan, 20 Februari 2020