Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Kepala Tiga

author = Gary Ghaffuri

Goffar
menghisap sebatang Marlboro di depan minimarket sambil mengamati kendaraan yang
lalu lalang. Pada embusan ketiga ponselnya bergetar. Beberapa pesan Whatsapp
masuk. Kebanyakan pesan dari grup Whatsapp kantor yang memberikan ucapan
selamat ulang tahun kepadanya. Selebihnya ucapan selamat dari teman dekat,
keluarga, dan ibunya.
Goffar membaca sebentar pesan-pesan tersebut lalu kembali melihat lalu lalang
kendaraan yang seakan tidak ada habisnya. Malam itu adalah malam Minggu dan
lalu lintas lebih padat dari biasanya.

Meskipun
Goffar merasa asing dengan dengan kota ini, dia masih bisa meraba urat nadi
jalan-jalan utama hingga gang-gang yang pernah dia jelajahi sewaktu kuliah di
kota ini. Telah banyak hal yang berubah, namun dia masih ingat dengan baik
lokasi angkringan paling enak di kota ini, ruko-ruko mewah yang dulunya adalah
deretan warung Lamongan, hingga lokasi kos-kosan nakal yang membolehkan
penghuninya untuk menyelundupkan perempuan dengan bebas. Semuanya masih terekam
dengan baik di ingatannya meskipun kota ini telah berubah rupa.

“Habis
ini beli bensin dulu ya,” kata Arief sambil duduk di sebelah Goffar. Arief baru
saja membeli minuman di minimarket. Goffar hanya menoleh padanya dan
mengacungkan jempolnya.

“Sekarang
kalau malam Minggu
selalu macet,” kata Arief sambil menyesap larutan penyegar yang baru saja
dibelinya. “Rasa-rasanya kota ini makin sumpek.”

“Filmnya
mulai jam berapa?” tanya Goffar
tanpa memedulikan
keluhan Arief.

“Nanti
 jam 9, sekarang baru jam 7. Kita di sini
dulu ya, kalau di lobi bioskop nggak
bisa ngerokok,” jawab Arief sambil
melihat jam di pergelangan tangannya.

Arief
menyambar sebatang Marlboro milik Goffar, menyalakannya dan mulai asyik dengan
ponselnya. Goffar hanya memperhatikan tingkah sahabatnya sambil membayangkan
bahwa waktu berlalu begitu cepat tanpa disadari. Sewaktu kuliah, Arief adalah
seorang mantan vokalis sebuah band punk
yang terkenal di skena lokal dengan lagu berjudul provokatif  “Alcohol
Is The Answer
”. Sekarang dia bekerja sebagai seorang analis kredit di
sebuah bank BUMN. Pemuda gondrong pembangkang yang gemar memakai kaos Ramones, celana jeans ketat, dan sepatu Vans Slip On telah berubah menjadi pria
dewasa setengah bapak-bapak dengan rambut pendek yang mulai menipis, perut yang
mulai menggembung, jenggot dan kumis yang terpelihara dengan baik, serta gaya
busana yang makin jauh dari kesan fashionable.

“Makan-makan
lah, kamu hari ini ulang tahun kan?” tanya
Arief sambil memasukkan ponsel ke dalam saku jaket.

“Haha
kupikir kamu nggak ingat. Ya nanti deh habis nonton,”

“Pokoknya
jangan angkringan.”

“Warmindo?”

“Bangsat,
yang berkelas sedikit lah, kepala tiga nih,
perlu dirayakan.”

Holy Cow?”

Nah gitu, bayarin bir sekalian di Spiegel
ya.”

“Katanya
sober?”

“Wah,
khusus untuk malam ini nggak ada kata
sober.”

Alcohol is the answer!” Goffar berseru
menyanyikan lagu lama milik band si Arief.

“Bangsat,
masih ingat aja! Hahahaha. Eh si Rozi
katanya mau kawin bulan depan tuh,”
kata Arief.

“Anak-anak
pada datang?”

“Kayaknya
sih datang, tapi nggak tau sih kalau yang rumahnya jauh,”

“Makin
susah aja kumpul-kumpul kalau udah
pada kawin.”

Goffar
dan Arief adalah bagian dari sebuah komplotan beranggotakan sepuluh orang
mahasiswa Sastra Inggris. Mereka bersepuluh berkenalan pada hari pertama masuk
kuliah dan sejak itu mereka tidak terpisahkan hingga wisuda.  

Setelah
lulus kuliah, kesepuluh orang tersebut masih sering berkumpul hingga jumlah
anggota yang bisa diajak berkumpul mulai berkurang karena pekerjaan atau sibuk
dengan keluarganya masing-masing. Di antara kesepuluh anggota komplotan
tersebut, hanya tinggal Arief dan Goffar yang belum menikah. Goffar belum
menikah karena dia belum menemukan pasangan yang baru sejak berpisah dari
pacarnya dua tahun yang lalu. Sedangkan Arief memiliki cerita yang agak
mengenaskan.

Arief
baru saja berpisah dengan pacarnya setelah hampir lima tahun pacaran. Alasan mereka
berpisah karena perbedaan agama. Biasalah Indonesia. Seminggu sebelum hari
ulang tahun yang ke-30
Goffar, Arief menelpon dan bercerita bahwa dia sudah berpisah
dengan pacarnya karena keluarganya dan keluarga mantan pacarnya keberatan
dengan pernikahan beda agama. Arief mengajak Goffar untuk bertemu di kota S,
kota di mana
Goffar kuliah sekaligus kota tempat Arief tinggal.   

“Aku
benar-benar lagi stres nih, butuh
teman, main ke sini
bisa nggak?” pinta Arief via telepon.

“Akhir
pekan ini kayaknya bisa. Nanti aku main ke situ
deh. Awas, jangan gantung diri dulu,
utangmu yang gocap belum dibayar.
Sebelum mati lunasin dulu.”

“Anda
pancen asu hahaha,” jawab Arief
sambil mematikan sambungan.

Ketika
bertemu tadi siang, Arief menceritakan semuanya. Dia dan mantan pacarnya
sama-sama tidak ingin mangkir dari agama yang mereka anut sehingga mereka
memutuskan untuk tetap menikah walaupun berbeda agama. Arief berasal dari
keluarga yang konservatif sehingga keputusan untuk menikah beda agama tidak
disetujui. Pada akhirnya semua usaha untuk mempertahankan hubungan dengan
mantan pacarnya harus berakhir karena tidak ada lagi jalan yang bisa ditempuh.
Meskipun mereka bisa saja menikah tanpa sepengetahuan keluarga masing-masing,
mereka berdua sepakat bahwa keluarga adalah harga yang terlampau mahal untuk
dikorbankan. Arief bercerita bahwa yang membuatnya tidak meneruskan rencananya
menikah adalah ibunya. Arief sangat menyayangi ibunya yang merupakan orangtua
tunggal. Ayahnya sudah meninggal sejak dia masih SMA. Dia rela mengorbankan
kebahagiannya sendiri demi kebahagiaan ibunya. Sewaktu dia selesai bercerita, Goffar
hanya terdiam. Goffar merasa tidak bisa memberikan nasihat apa-apa soal
percintaan karena kisah cintanya sendiri tidak kalah mawutnya dengan kisah cinta sahabatnya.

Hubungan
Goffar yang terakhir hanya bertahan sekitar setahun saja. Goffar dan mantan
pacarnya sebenarnya sudah berencana akan menikah. Goffar dan mantan pacarnya
sudah sama-sama kenal dengan orangtua masing-masing. Mereka hanya tinggal
menunggu waktu untuk mempertemukan orangtua untuk membicarakan masalah lamaran
dan lain-lain. Tepat seminggu sebelum pertemuan antar orangtua dilaksanakan,
mantan pacarnya tiba-tiba saja meminta untuk bertemu. “Penting, Mas,”
katanya.

Goffar
tidak akan pernah lupa pertemuan itu. Mereka bertemu di sebuah warung kopi sekitar
jam 7 malam. Goffar bergegas pulang dari kantor untuk menemui mantan pacarnya.
Dengan masih berkemeja kerja Goffar harus menerima kenyataan bahwa mantan
pacarnya ini mengaku belum siap menikah. Goffar tidak terlalu memperhatikan
alasan yang dikemukakan oleh mantan pacarnya karena telinganya mendadak berdenging
dan kepalanya sedikit pening. Bodohnya, Goffar hanya mengatakan bahwa jika
memang itu keputusannya, maka dia akan berusaha menerima dengan lapang dada. Sakitnya
baru terasa setelah Goffar berbaring di ranjang menjelang tidur. Goffar menangis
sampai subuh sambil memutar berulang kali lagu-lagu patah hatinya Adhitia
Sofyan di Sportify. Keesokan harinya Goffar
bolos kerja dan naik motor keliling kota tanpa tujuan dari pagi hingga magrib
untuk menghilangkan pikiran buruk.

Tiga
bulan setelah mantan pacarnya mengakhiri hubungan, Goffar mendengar kabar bahwa
mantan pacarnya akhirnya menikah. Teman-temannya mulai ramai bergosip soal
kemungkinan adanya perselingkuhan. Goffar sendiri tidak mau ambil pusing
mengenai hal itu. Jika memang benar ada perselingkuhan, maka dia malah
bersyukur sudah dihindarkan dari calon istri yang buruk. Terdengar sok tabah memang,
namun bagaimanapun juga, penghiburan kepada diri sendiri perlu dilakukan agar jiwa
tidak digerogoti kesedihan terlalu dalam.

Goffar
masih bisa merasa beruntung jika dibandingkan seorang teman yang akhirnya batal
menikah setelah segala persiapan selesai dilakukan. Calon mempelai pria
membatalkan pernikahan setelah undangan selesai dicetak, katering sudah
dibayar, dan gedung sudah dipesan. Setidaknya masih ada yang nasibnya lebih
sial darinya.

Hal
yang paling menyakitkan sebenarnya bukan soal betapa cepat si mantan pacar
menikah dengan pria lain atau gosip mengenai adanya perselingkuhan. Hal yang
paling menyakitkan adalah dia memberi nama anak pertamanya dengan nama anak yang
kalian cari bersama-sama sewaktu masih pacaran. Bangsat memang.

“Katanya,
di umur-umur memasuki kepala tiga kita bakal dihadapkan pada sebuah kejadian
penting yang bisa mengubah hidup kita,” kata Arief sambil mengepulkan asap Marlboro
ke udara. “Mungkin sekarang kita sedang menghadapi kejadian penting itu.”

“Mungkin.
Tapi sejak putus itu hidupku nggak
terlalu banyak berubah tuh,” jawab Goffar.

Semenjak
gagal menikah, hampir tidak ada yang berubah dalam hidup Goffar. Dalam
pekerjaan memang dia sempat naik jabatan dari semula pegawai biasa akhirnya
dipercaya memimpin sebuah tim kecil. Mungkin ini ada hubungannya dengan
keputusan Goffar untuk tetap bertahan di kota Y, sebuah kota liburan dimana
segala hal berjalan tidak terlalu tergesa gesa.

Banyak
orang percaya bahwa kota J adalah satu-satunya kota di mana karier bisa melesat cepat,
kota metropolitan yang menjanjikan semua kesempatan dan kemungkinan yang ada.
Tapi Goffar berpikir bahwa dalam setiap keputusan yang diambil dalam hidup,
maka ada pengorbanan yang harus dibayarkan. Jadi manusia tinggal memutuskan hal
apa yang ingin dikorbankan dan hal apa yang ingin dipertahankan. Jika Goffar
pindah ke kota J, mungkin rekeningnya sudah gemuk dan kariernya bisa lebih baik,
namun harga yang harus dibayar adalah kemacetan parah, stres yang tinggi, hidup
yang serba terburu-buru, dan paru-paru yang perlahan tergerus oleh polusi udara
yang begitu buruk.

Banyak
teman kuliahnya yang menyarankan Goffar untuk pergi dari kota Y. Namun Gofffar
sudah bertekad untuk mengorbankan kesempatan mendapatkan penghasilan dan karier yang bagus demi
mendapatkan ketenangan dan hidup yang tidak melulu dipacu waktu. Sebagian
pembaca cerpen ini mungkin bakal mencibir habis-habisan keputusan ini namun
Goffar memegang teguh prinsip bahwa hidup hanya sekali, maka lakukan saja
hal-hal yang bisa membuat bahagia. Tidak perlulah menantang diri terlalu keras
karena toh pada akhirnya manusia
bakalan mati juga.

“Kamu
mah terlalu nihilis orangnya,”
komentar rekan kerja Goffar suatu saat ketika mereka makan siang bersama.

“Ya
tapi benar kan, mau jadi apa pun di dunia ini toh
pada akhirnya kita bakalan mati,” jawab Goffar.

Untuk
urusan yang satu ini Goffar memang belum tergoyahkan.

Kembali
soal cinta, Goffar juga belum merasa siap untuk memulai hubungan baru meskipun
sempat dekat dengan beberapa perempuan. Meskipun dicap sebagai seorang nihilis dan keras
kepala dalam memegang prinsip hidup, Goffar merasa bahwa jiwanya lembek, mudah merasa
sakit hati sehingga dia sangat pemilih dalam menentukan pasangan. Semacam sistem
pertahanan diri yang sudah terlatih dari pengalaman-pengalaman cinta yang
buruk. Goffar sudah merasa cukup merasakan beberapa kali sakit hati dan dia tidak
ingin hal itu terulang lagi. Menyebalkan memang jadi seperti ini. Kadang dia
merasa ingin santai saja macam rekan kerjanya yang bisa sesuka hati
berganti-ganti pacar dan patah hati berkali-kali namun tidak pernah takut untuk
memulai hubungan baru.

Beberapa
minggu lalu Goffar sempat berpikir untuk membuat perubahan dalam hidup. Karena
sudah bosan tinggal di kamar kos, dia sempat ingin mengajukan kredit
kepemilikan rumah. Namun begitu mengetahui harga properti di kota Y, nyali Goffar menciut. Setelah
dikalkulasi dengan menghitung jumlah cicilan setiap bulan ditambah perkiraan
biaya listrik, air, dan pengeluaran lain-lain, nampaknya penghasilan Goffar
yang sekarang masih kurang. Memang ada pilihan rumah murah dengan subsidi dari
pemeritah yang lokasinya berada jauh dari pusat kota. Namun di mata Goffar, rumah-rumah
bersubsidi itu kondisinya sangat mengenaskan. Seorang rekan kerja dengan
setengah bercanda menyarankannya untuk segera menikah sebab jika penghasilan
Goffar dan penghasilan istrinya digabung, maka cicilan rumah yang dia idamkan
bisa ditanggung berdua sehingga lebih ringan. Dan permasalahannya kembali ke urusan
mencari pasangan. Goffar hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Aku
kayaknya bakal menjomblo seumur hidup nih
haha,” seloroh Arief.

“Fasenya
memang begitu, awal-awal memang berat karena kita ngerasa nggak bakal ada yang bisa gantiin dia, tapi lama-lama bakal normal sendiri. Yah setidaknya
yang aku alami seperti itu sih.”

“Kamu
nggak nyobain pakai aplikasi buat
cari pasangan? Temen kantorku ada
yang nyaranin buat pakai itu
soalnya.”

“Haha
udah pernah, tapi nggak lama. Cuma pakai beberapa bulan aja. Perempuan yang umurnya di atas 30 kebanyakan sudah
putus asa sedangkan perempuan yang umurnya 25-an sedang berada dalam puncak
kecantikannya, mereka nggak tertarik
sama pria uzur macam aku.”

“Tapi
aku pernah baca di The Telegraph,
katanya perempuan muda sekarang lebih tertarik sama pria yang lebih tua.”

Kok bisa?”

“Para
perempuan muda menyukai pria yang lebih tua karena alasan finansial dan
kemapanan.”

Asu, kita nggak termasuk kalau begitu.”

Mereka
berdua tertawa.

“Tapi
sudah pernah ada yang ketemu langsung? Maksudku dari kenalan lewat aplikasi.”

“Cuma
dua orang. Itu pun
sekarang nggak kontak lagi.”

“Orangtuamu
nggak mendesak?”

“Iyalah.
Mereka sih cuma mau tahu beres aja, nggak
mau tahu gimana kita
jatuh bangun nyari pasangan haha.”

“Tobat
aja cuk, ngikutin kiai. Habis itu minta dijodohin.”

“Bangsat,”
umpat Goffar sambil tertawa.

“Tiga
puluh ya. Tiga bulan lagi aku juga bakalan nyampe
tiga puluh nih,” gumam Arief. “Kayaknya
aku bukannya nambah bijak tapi nambah bingung aja nih.”

“Sewaktu
masih 20-an, aku rasanya pengen cepat-cepat jadi tua biar segera
paham kehidupan. Di umur yang sekarang aku malah ngerasa makin bingung.”

Gitu ya.”

Setelah
hening yang lumayan lama, Goffar bertanya, “Jadi
bagaimana sekarang?”  

“Sekarang
kita nonton dulu, yang lain bisa
menunggu. Sudah jam 8 nih,” jawab
Arief sambil melihat ke arah jam tangannya.
Arief berdiri,
mengisap batang rokok yang sudah pendek untuk yang terakhir kali dan
membuangnya ke tempat sampah. Goffar berjalan membuntuti Arief menuju ke tempat
parkir sambil berpikir bahwa kadang dalam hidup, tidak semua pertanyaan bisa
terjawab.