Author: kibulin

  • Anjing Pemburu dari Tindalos [Frank Belknap Long, Jr.]

    author = Devi Santi Ariani

    “Saya senang akhirnya kau datang,” ucap Chalmers. Ia duduk di depan jendela dengan wajah pucat. Dua lilin tinggi hampir terbakar habis di dekat sikunya, memancarkan cahaya ambar yang pucat di sepanjang hidung bangir dan dagunya yang menjorok ke dalam. Chalmers tidak ingin memiliki benda modern apapun di apartemennya. Jiwanya adalah jiwa seorang petapa abad pertengahan yang lebih memilih patung gargoyle yang melotot daripada radio atau mesin-penghitung, lebih suka membaca naskah tua di bawah cahaya lilin daripada mengendarai otomobil.

    Sementara menyeberangi ruangan menuju sofa yang ia siapkan, aku melirik meja kerjanya dan terkejut ketika mendapati ia sedang mempelajari formula matematika dari seorang fisikawan kontemporer yang tersohor, dan telah memenuhi begitu banyak kertas-kertas berwarna kuning dengan desain bangun geometris yang sulit dimengerti. 

    “Bukankah Einstein dan John Dee sedikit aneh untuk dijadikan teman tidur,” ucapku selagi mengalihkan tatapan dari grafik-grafik menuju enam puluh atau tujuh puluh buku aneh yang berkompromis dengan keanehan perpustakaan kecilnya. Plotinus dan Emanuel Moscopulus, St. Thomas Aquinas dan Frenicle de Bessy berdiri berdesakan dalam rak buku kayu ebony yang muram. Pamflet-pamflet tentang sihir medis, ilmu gaib, ilmu hitam dan hal-hal glamor lain yang ditolak dunia modern memenuhi semua meja, kursi dan meja tulis. 

    Chalmers tersenyum bersemangat dan mengulurkan padaku sebatang sigaret Rusia di atas sebuah baki berukiran aneh. “Sekarang ini, kita baru saja menyadari,” ujarnya, “bahwa sang alkemis tua dan para penyihir-penyihir itu dua pertiga benar, dan ilmu biologis dan materialis modern milikmu adalah sembilan persepuluh salah.”

    “Kau memang selalu mencemooh sains modern,” tukasku, sedikit tak sabar.

    “Hanya pada dogma saintifiknya,” jawab Chalmers. “Saya memang selalu melawan, seorang juara originalitas tanpa harapan; itulah kenapa saya memutuskan untuk menolak  kesimpulan dari biologi kontemporer.”

    “Dan Einstein?” tanyaku.

    “Seorang pendeta matematikal transenden!” gumamnya dengan hormat. “Seorang mistikus dan penjelajah rasa ingin tahu yang luar biasa.”

    “Jadi kau tidak benar-benar membenci sains.”

    “Tentu tidak,” Chalmers menekankan. “Saya hanya tidak mempercayai positivisme sains selama lima puluh tahun terakhir, positivisme Heckel dan Darwin serta Mr. Bertrand Russel. Saya percaya bahwa biologi telah dengan menyedihkan gagal untuk menjelaskan misteri asal mula manusia dan takdir.”

    “Beri mereka sedikit waktu,” balasku.

    Sepasang mata Chalmers berpendar, “Sahabatku,” gumamnya, “permainan kata-katamu sungguh indah. Berikan mereka waktu. Tepat seperti apa yang akan kulakukan. Tetapi ahli biologis modern-mu telah menolak waktu. Mereka punya kuncinya, tapi menolak menggunakannya. Apa sebetulnya yang kita tahu tentang waktu? Einstein percaya bahwa waktu bersifat relatif, bisa diinterpretasikan sebagai ruang, ruang yang melengkung. Namun, apakah kita perlu berhenti sampai di situ? Ketika matematika mengecewakan kita, tidak bisakah kita tetap maju dengan—wawasan?”

    “Kau menginjak dasar yang berbahaya,” jawabku. “Jebakan yang dihindari jiwa penyelidikmu. Itulah kenapa sains modern memilih berkembang dengan sangat lambat; menolak apapun yang tidak bisa buktikan. Tapi kau—”

    “Saya akan mengonsumsi ganja, opium, semua narkotika. Saya kan meniru orang-orang bijak dari Timur. Saya akan menguasai—”

    “Apa?”

    “Dimensi keempat.”

    “Teori gila!”

    “Mungkin. Tapi saya percaya kalau narkotika mampu memperluas kesadaran manusia. William James setuju, dan saya telah menemukan satu yang baru.”

    “Narkotika baru?”

    “Digunakan ratusan tahun yang lalu oleh alkemis Cina, tetapi belum dikenal di Barat. Daya yang dihasilkan luar biasa. Dengan bantuan benda ini, dan pengetahuan matematikal, saya yakin mampu kembali ke masa lalu.”

    “Aku tidak mengerti.”

    “Waktu hanyalah persepsi kita yang tidak sempurna atas ruang dimensi baru. Waktu dan gerak adalah ilusi. Semuanya yang ada sejak awal terbentuknya dunia, tetap ada sekarang. Kejadian yang terjadi ratusan tahun yang lalu, tetap berlanjut dalam ruang dimensi yang lain. Kejadian yang akan terjadi ratusan tahun di masa depan, saat ini telah terjadi. Kita tidak bisa memahami keberadaannya karena kita tidak bisa memasuki ruang dimensi yang memuat kejadian-kejadian itu. Manusia seperti yang kita tahu, hanya pecahan kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar. Setiap manusia terhubung dengan semua kehidupan yang telah mendahului mereka sebelumnya. Semua leluhur mereka adalah bagian dari dirinya. Hanya waktu yang memisahkannya dengan kakek-kakek buyutnya, dan waktu pula sebuah ilusi yang membuatnya tidak nyata.”

    “Kurasa aku paham maksudmu,” gumamku.

    “Pengetahuan ini cukup untuk tujuan saya jika kau bisa membentuk gagasan samar tentang apa yang ingin saya capai. Saya ingin menanggalkan tudung ilusi yang menutupi pandangan dan melihat awal dan akhir.”

    “Dan kau pikir narkotika baru ini akan membantumu?”

    “Saya yakin dan saya ingin kau membantu. Saya berencana menggunakannya segera. Saya tidak bisa menunggu. Saya harus melihat.” Tatapannya bersinar aneh. “Saya akan pergi, kembali ke masa lalu, melalui waktu.”

    Chalmers bangkit dan berjalan menuju perapian. Ketika ia berbalik menghadap padaku, ia memegang sebuah kotak kecil di tangan. “Di dalam sini, ada lima butir obat Liao. Obat ini yang digunakan alkemis Lai Tze, dan dengan pengaruhnya ia melihat Tao. Tao adalah gaya paling misterius di dunia; mengelili dan meresap pada semua hal; mengandung seluruh alam semesta dan semua yang kita sebut realita. Ia yang menangkap misteri Tao mampu melihat dengan jelas semua hal yang lalu dan akan datang.”

    “Omong kosong!” seruku.

    “Tao menyerupai binatang, terbaring, tidak bergerak. Dalam tubuhnya yang luar biasa besar ia mengandung semua dunia di alam semesta kita, masa lalu dan masa depan. Kita melihat bagian-bagian dari monster ini melalui celah-celah yang kita sebut waktu. Dengan bantuan obat ini, Saya akan memperbesar celah itu. Saya akan melihat figur kehidupan, seluruh bagian tubuh binatang itu.”

    “Dan apa yang kau ingin aku lakukan?”

    “Mengamati, temanku. Mengamati dan mencatat. Dan jika saya pergi terlalu jauh, kau harus memanggil saya kembali. Kau bisa memanggil saya dengan menggoncangkan tubuh saya dengan keras. Jika saya terlihat kesakitan, kau harus menyadarkan saya segera.”

    “Chalmers,” ucapku, “Aku berharap kau tidak melakukan eksperimen ini. Resikonya terlalu besar. Aku tidak percaya ada dimensi keempat dan sungguh tidak percaya pada Tao. Aku tidak setuju kau bereksperimen dengan narkotika yang tidak dikenal.”

    “Saya mengenal obat ini,” jawabnya. “Saya tahu betul bagaimana obat ini mempengaruhi manusia atau binatang, maupun bahayanya. Resikonya tidak berasal dari obat itu sendiri. Satu-satunya ketakutan saya hanya jika tersesat dalam waktu. Kau lihat, saya harus membantu obatnya. Sebelum mengonsumsinya, saya harus memusatkan perhatian pada simbol-simbol aljabar dan geometri yang ada di kertas ini.” Ia mengangkat grafik matematis yang sejak tadi berdiam di atas lututnya. “Saya harus mempersiapkan pikiran untuk bertamasya ke dalam waktu. Saya akan mendekati dimensi keempat dengan kesadaran pikiran penuh sebelum meminum obat ini yang akan membuat saya mampu menggunakan kekuatan persepsi gaib. Sebelum saya memasuki dunia mimpi dari mistik Timur, saya harus mendapatkan semua bantuan matematikal yang mampu diberikan sains modern. Pengetahuan matematikal ini, pendekatan kesadaran pada pemahaman dimensi keempat dari waktu. Obat ini akan membuka pemandangan baru yang menakjubkan—persiapan matematikal akan membuat saya mampu memahami pemandangan itu secara intelektual. Saya sudah sering menghadapi dimensi keempat itu dalam mimpi, dengan emosional dan intuitif tetapi saya belum pernah mampu mengingat kembali, ketika terjaga, kemegahan mistis yang sesaat terbuka pada saya.

    “Tetapi, dengan bantuanmu, saya yakin mampu mengingatnya kali ini. Kau akan mencatat semua yang saya katakan sementara saya berada di bawah pengaruh obat itu. Tidak peduli seberapa aneh atau kacaunya ucapan saya, kau harus mencatat semuanya. Ketika terbangun, saya mungkin bisa memberikan kunci tentang apapun yang aneh  maupun tidak masuk akal dari catatanmu. Saya tidak yakin bisa berhasil, tapi jika memang berhasil,” kedua matanya tiba-tiba bersinar, “waktu tidak akan berpihak pada saya lagi.”

    Chalmers terduduk seketika, “Saya harus melakukan eksperimen ini segera. Tolong berdirilah di sana dan perhatikan. Apa kau punya pena?”

    Aku mengangguk muram dan mengeluarkan Watermann berwarna hijau pucat dari saku atas rompiku.

    “Dan buku catatan, Frank?”

    Aku mengerang dan mengeluarkan buku memorandum. “Aku sungguh menentang eksperimen ini,” gumamku. “Kau menghadapi resiko yang sangat berbahaya.”

    “Jangan seperti wanita tua bodoh begitu!” tergurnya. “Ucapanmu tidak akan bisa menghentikan saya sekarang. Tolong diamlah selagi saya mempelajari grafik-grafik ini.”

    Chalmers mengangkat grafik-grafiknya dan mempelajari kertas itu dengan tekun. Aku menatap jam di atas perapian berdetik habis sementara rasa ingin tahu yang mengerikan meremas hatiku hingga aku terbatuk.

    Tiba-tiba, jam berhenti berdetak dan tepat saat itu Chalmers menelan obatnya.

    Aku bangkit secepat mungkin untuk mendekatinya tetapi matanya memohon padaku untuk tidak mengganggu. “Jamnya sudah berhenti,” gumamnya. “Gaya yang mengontrol jam itu membuktikan eksperimen ini. Waktu telah berhenti, dan saya menelan obatnya. Saya berdoa pada Tuhan agar tidak kehilangan jalan.”

    Ia menutup matanya dan bersandar pada sofa. Darah surut dari wajahnya, nafasnya terdengar sangat berat. Jelas obat itu telah bereaksi sangat cepat. 

    “Hari mulai gelap,” gumamnya. “Tulislah.. hari mulai gelap dan benda-benda familiar di ruangan ini perlahan memudar. Saya bisa melihat semuanya dengan samar melalui kelopak mata saya, tetapi semuanya memudar perlahan.”

    Aku mengguncang penaku untuk mengeluarkan tintanya dan menulis dengan cepat selagi Chalmers terus mendikte. 

    “Saya meninggalkan ruangan. Dinding-dindingnya menghilang dan saya tidak bisa melihat objek familiar lagi. Tetapi wajahmu masih terlihat. Saya harap kau tetap menulis. Sepertinya sebentar lagi saya akan melakukan lompatan besar—sebuah lompatan melintasi ruang. Atau mungkin saya akan melompat melintasi waktu. Saya tidak tahu. Semuanya gelap, kabur.”

    Ia duduk sebentar, dengan kepada tenggelam di dada. Lalu tiba-tiba tubuhnya kaku dan kelopak matanya membelalak terbuka. “Tuhan di surga!” teriak Chalmers, “Saya melihat!”

    Tubuh Chalmers menegang maju dari kursi, berhadapan dengan dinding. Tapi aku tahu ia melihat melewati dinding itu dan objek di dalam ruangan ini tidak ada lagi baginya. “Chalmers,” seruku, “Chalmers, apa aku perlu membangunkanmu?”

    “Jangan!” pekiknya. “Saya melihat semuanya! Semua milyaran kehidupan yang mendahului saya di planet ini muncul di hadapan saya sekarang. Saya melihat laki-laki dari segala usia, segala ras, segala warna. Mereka bertarung, membunuh, membangun, menari, bernyanyi. Mereka duduk mengitari api di tengah gurun sepi dan terbang membelah angkasa dengan monoplanes. Mereka mengendarai lautan dengan sampan dan kapal uap yang sangat besar; mereka melukis bison dan mammoth pada dinding gua dan menutup kanvas itu dengan desain futuristik yang sulit dimengerti. Saya melihat migrasi dari Atlantis. Saya melihat migrasi dari Lemuria. Saya melihat ras paling tua—gerombolan kurcaci hitam menguasai Asia dan para Neanderthal bongkok dan lutut menekuk mengamuk di seluruh Eropa. Saya melihat suku Achaeans menuju kepulauan Yunani dan awal terbentuknya budaya Hellenic. Saya berada di Athens dan Pericles masih sangat muda. Saya berdiri di tanah Italy. Saya bergabung dalam pemerkosaan wanita-wanita Sabine; saya berderap bersama Imperial Legions. Saya gemetar karena kagum dan rasa ingin tahu sementara moral yang luar biasa berlalu dan bumi bergejolak dengan tapak kaki berjaya hastati. Seribu budak telanjang bersujud saat saya lewat dengan tandu emas dan gading yang ditarik lembu sehitam malam dari Thebes dan para gadis-gadis pembawa bunga berteriak ‘Ave Caesar‘ saat saya mengangguk dan tersenyum. Saya sendiri seorang budak dalam galeri Moorish. Saya menyaksikan pendirian katedral agung. Batu demi batu berdiri, melewati bulan demi bulan dan tahun-tahun saya berdiri dan menyaksikan setiap batu disusun. Saya dibakar pada salib dengan kepala menghadap ke bawah di dalam taman berbau tyme di Nero dan dengan kegirangan dan hina, saya menyaksikan para penyiksa bekerja di ruang penyelidikan. 

    “Saya memasuki suaka paling suci; kuil Venus. Saya berlutut mengagumi Magna Mater, dan saya melempar koin ke lutut telanjang para gundik yang duduk dengan wajah bercadar di hutan Babylon. Saya menyusup ke dalam teater masa Elizabeth dengan bau rakyat jelata mengerubungiku lalu bertepuk tangan untuk The Merchant of Venice. Saya berjalan bersama Dante melalui jalanan sempit kota Florence. Saya bertemu dengan Beatrice muda dan tepian pakaiannya menyapu sandal saya sementara saya terpesona memandangnya. Saya adalah pendeta Isis, dan sihir yang saya miliki memesona seluruh negeri. Simon Magnus berlutut di hadapan saya, memohon bantuan dan Pharaoh gemetar ketika saya mendekatinya. Di India saya berbicara dengan pada Master dan berlari sambil berteriak menjauhi mereka karena wahyu yang mereka berikan seperti garam ditaburkan pada luka penuh berdarah.

    “Saya merasakan semuanya serentak. Saya merasakan semuanya dari segala sisi; saya adalah bagian dari padatnya milyaran kejadian di sekitar saya. Saya ada di semua laki-laki dan semua laki-laki ada di dalam diri saya. Saya melihat seluruh sejarah manusia dalam sekejap, masa lalu dan masa kini.

    “Dengan menyaring saya bisa melihat jauh dan lebih jauh ke belakang. Sekarang saya kembali melewati kurva dan sudut-sudut yang membingungkan. Kurva dan sudut-sudut yang membiak di sekitar saya. Saya melihat segmen-segmen waktu yang luar biasa melalui kurva-kurva itu. Waktu melengkung dan waktu bersudut. Makhluk yang berdiam di waktu bersudut tidak bisa memasuki waktu melengkung. Sungguh aneh.

    “Saya terus kembali ke masa lalu. Manusia telah menghilang dari bumi. Reptil-reptil raksasa mendekam di bawah tanaman raksasa dan berenang dalam danau berair hitam yang muram. Tidak ada binatang tersisa di atas tanah, tetapi di bawah air terlihat jelas, figur-figur hitam bergerak perlahan mengitari vegetasi yang telah membusuk. 

    “Figur-figur itu berubah menjadi lebih sederhana dan lebih sederhana. Kini mereka hanya sebuah sel tunggal. Semuanya tentang saya merupakan sudut—sudut aneh yang tidak memiliki pasangan di bumi. Saya sungguh ketakutan.

    “Sebuah jurang neraka yang tidak bisa dipahami manusia.”

    Aku menatapnya. Chalmers bangkit dan menggerakkan tangannya tanpa daya. “Saya melewati sudut yang tidak wajar; saya mendekati—oh sesuatu yang membakar dengan mengerikan!”

    “Chalmers!” teriakku. “Apa kau ingin aku membangunkanmu?”

    Ia mengangkat tangan kanannya dengan cepat ke wajah, seolah ingin meredam pemandangan yang mengerikan. “Belum!” teriaknya, “Saya akan melanjutkan. Saya akan melihat—apa—yang ada—di atas—”

    Keringat dingin muncul di dahinya dan bahunya tersentak berkali-kali. “Di atas kehidupan,” wajahnya memucat penuh kengerian, “ada hal-hal yang tidak bisa saya kenali. Mereka bergerak perlahan melewati sudut-sudut. Mereka tidak bertubuh, dan mereka bergerak dengan sangat pelan melewati sudut-sudut yang mustahil.”

    Saat itulah aku menyadari bau yang muncul di dalam ruangan. Bau tajam yang tidak bisa dijelaskan, sangat memuakkan hingga aku tidak bisa menahannya. Aku bergerak dengan cepat mendekati jendela dan membukanya lebar-lebar. Saat aku berbalik pada Chalmers dan menatap matanya, aku hampir pingsan. 

    “Saya rasa mereka telah mengendus saya!” jeritnya. “Mereka perlahan berbelok ke arah saya.”

    Tubuh Chalmers gemetar hebat. Untuk sesaat ia mencakar udara dengan kedua tangannya. Lalu kakinya melemas dan ia terperosok jatuh menghantamkan wajahnya ke lantai, kejang dan mengerang. 

    Aku melihatnya dalam diam sementara Chalmers menyeret tubuhnya di lantai. Ia bukan lagi manusia. Giginya telanjang dan ludah menetes dari ujung bibirnya.

    “Chalmers!” seruku, “Chalmers, berhenti! Berhenti! Apa kau mendengarku?”

    Seolah menjawab pertanyaanku, ia mengeluarkan suara erangan parau yang tidak menyerupai apapun selain gonggongan anjing, dan menggeliat membentuk lingkaran. Aku berlutut dan mencengkram bahunya. Dengan kasar dan putus asa, aku menggoncangkan tubuhnya. Chalmers memutar kepalanya dan mencaplok pergelangan tanganku. Meskipun begitu ketakutan, aku tidak melepaskan cengkeramanku pada bahunya karena khawatir ia akan menghancurkan dirinya sendiri dalam kemarahan yang meledak-ledak.

    “Chalmers,” gumamku, “kau harus berhenti. Tidak ada apapun di ruangan ini yang bisa melukaimu. Kau mengerti?” 

    Aku terus mengguncang tubuhnya dan perlahan kegilaan itu surut dari wajahnya. Gemetar, ia mendekam di atas karpet. 

    Aku membawanya ke sofa dan mendudukkannya di sana. Wajahnya kesakitan dan aku tahu ia masih kesakitan dan kesulitan untuk keluar dari memori mengerikan itu.

    “Wiski,” gumamnya. “Ada botol dalam kabinet di sebelah jendela—laci kiri atas.”

    Aku mengulurkan wiski, jemarinya mencengkram botol itu hingga buku-buku jarinya berwarna biru. “Mereka hampir mendapatkanku,” ujarnya, terkesiap. Wiski itu tandas dengan beberapa tegukan saja dan perlahan wajahnya kembali berwarna. 

    “Obat itu sangat buruk!” gumamku.

    “Bukan obatnya,” erang Chalmers. 

    Matanya tidak lagi membelalak, tapi wajahnya masih tampak seolah jiwanya belum kembali. 

    “Mereka mengendusku di dalam waktu,” ucapnya. “Aku pergi terlalu jauh.”

    “Seperti apa mereka?” tanyaku, untuk menanggapinya.

    Chalmers mencondongkan tubuhnya ke depan dan mencengkram tanganku. Ia gemetar hebat. “Tidak ada kata-kata dalam bahasa kita yang bisa mendeskripsikan mereka!” Ia bicara dengan suara berbisik yang parau. “Mereka tersimbolisasi dengan samar dalam mitos Kejatuhan, dan dalam bentuk saru yang terkadang ditemukan terukir pada tablet-tablet kuno. Orang Yunani menamai mereka, menutupi sifat keji mereka. Pohon, Ular dan Apel—simbol-simbol ini adalah simbol paling samar dari hampir semua misteri.”

    Suaranya meninggi menjadi teriakan. “Frank, Frank, perbuatan amat buruk telah dilakukan di awal waktu. Sebelum waktu, perbuatan itu, dan dari perbuatan itu—”

    Chalmers bangkit dan mondar-mandir di dalam ruangan. “Benih dari perbuatan itu bergerak melewati sudut dalam ceruk-ceruk gelap dari waktu. Mereka lapar dan haus!”

    “Chalmers,” panggilku untuk menenangkannya. “Kita hidup di dekade ketiga dari abad kedua puluh.”

    “Mereka kurus dan haus!” jeritnya. “Anjing-anjing pemburu dari Tindalos!”

    “Chalmers, perlukah aku menghubungi doktermu?”

    “Seorang dokter tidak bisa membantu sekarang. Mereka sangat mengerikan, dan lagi—” Chalmers menyembunyikan wajahnya di telapak tangan dan mengerang— “mereka nyata, Frank. Saya melihat mereka untuk sesaat yang mengerikan. Untuk sesaat saya berdiri di sisi lain. Saya berdiri di pantai muram di batas ruang dan waktu. Dalam cahaya mengerikan yang sebenarnya bukan cahaya, dalam kesunyian yang menjerit, saya melihat mereka.”

    “Seluruh kekejian di dunia ini berkumpul dalam tubuh mereka yang kurus dan kelaparan. Apakah mereka punya tubuh? Saya melihat mereka hanya sekejap; saya tidak yakin. Tapi saya mendengar mereka bernapas. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, untuk sesaat saya merasakan nafas mereka di wajah saya. Mereka menoleh dan saya lari. Dalam satu momen saya berlari sambil berteriak melewati waktu. Saya berlari menembus satu milyar tahun. 

    “Tapi mereka sudah mengendus saya. Manusia yang membangunkan mereka dalam kelaparan kosmik. Kita berhasil melarikan diri, untuk sementara, dari kekejian yang mengitari mereka. Mereka haus akan sesuatu dari kita yang masih bersih, yang muncul dari perbuatan tanpa noda. Ada bagian dari diri kita yang tidak ambil bagian dalam perbuatan keji itu dan mereka membencinya. Tapi, jangan membayangkan kalau mereka benar-benar keji. Mereka lebih di atas baik dan buruk yang kita pahami. Mereka adalah sesuatu yang, saat awal mula, jatuh dari kesucian. Tapi mereka tidak jahat dalam pengertian kita karena dalam dunia mereka tidak ada pemikiran, tidak ada moral, tidak ada salah dan benar seperti yang kita pahami. Hanya ada suci dan kotor. Yang kotor, jahat dan keji muncul melalui sudut-sudut; sedangkan yang suci muncul melalui kurva. Manusia, bagian suci darinya, diwarisi dari kurva. Jangan tertawa, aku bersungguh-sungguh.”

    Aku bangkit berdiri dan mencari topiku. “Oh maafkan aku, Chalmers,” ucapku, selagi berjalan menuju pintu. “Tapi aku tidak bisa tinggal dan mendengarkan omong kosong ini. Akan kukirimkan dokter untuk memeriksamu. Dia sudah tua dan tidak akan tersinggung jika kau mengusirnya. Tapi aku berharap aku akan mendengarkan sarannya. Satu minggu di sanatorium akan baik untukmu.”

    Aku mendengarnya tertawa sementara melangkah menuju pintu, tapi suara tawanya begitu suram hingga membawaku merasa suram. 

    2

    Ketika Chalmers menelponku keesokan harinya, impuls pertamaku adalah untuk menutup teleponnya segera. Permintaannya begitu aneh dan suaranya terdengar histeris hingga aku merasa interaksi lebih lanjut dengannya akan membuatku gila. Tetapi aku tidak bisa meragukan ketulusan atas penderitaannya, dan ketika ia roboh sepenuhnya dan aku mendengar isak tangisnya dari seberang telepon, aku memutuskan untuk memenuhi permintaannya.

    “Baiklah,” ucapku. “Aku akan segera ke sana dan membawa semen.”

    Dalam perjalanan menuju kediaman Chalmers, Aku berhenti sebentar di toko bangunan dan membeli dua puluh kemasan sepuluh kilogram semen gipsum. Ketika aku memasuki kamar kawanku, ia tengah merunduk di depan jendela memandang ke seberang ruangan dengan mata ketakutan. Ketika ia melihatku masuk, Chalmers bangkit dan merebut bungkusan semen dengan gerakan yang mengejutkan dan mengerikan. Chalmers telah menyingkirkan semua perabot dan ruangan itu tampak begitu sunyi.

    “Kita mungkin bisa menghalangi mereka!” serunya. “Tapi kita harus cepat. Frank, ada tangga di lorong. Bawa kemari, cepat. Lalu ambilkan seember air.”

    “Untuk apa?” gumamku.

    Chalmers menengok cepak padaku dan wajahnya tampak merah padam. “Untuk dicampur dengan semen, bodoh!” teriaknya. “Untuk mencampur semen yang akan menyelamatkan hidup kita dari kontaminasi. Untuk mencampur semen yang akan menyelamatkan dunia dari—Frank, kita harus menghalangi mereka masuk!”

    “Siapa?” gumamku.

    “Anjing-anjing Tindalos!” jawabnya. “Mereka hanya bisa mencapai kita dari sudut. Kita harus menyingkirkan semua sudut dari ruangan ini. Saya akan menutup sudut ruangan ini dengan semen, semua celah. Kita harus membuat ruangan ini menyerupai  bola.”

    Aku tahu tidak ada gunanya berdebat dengannya. Jadi aku mengambil tangga, Chalmers mencampur semen dan selama tiga jam kami bekerja. Kami menutup tiga sudut dinding, titik temu lantai dengan dinding, dinding dengan langit-langit, dan kami melengkungkan sudut tajam dari kusen jendela.

    “Aku akan tinggal di ruangan ini sampai mereka kembali ke dalam waktu,” ujarnya ketika kami selesai. “Ketika mereka menyadari bahwa aroma bisa melewati lengkungan, mereka akan kembali. Mereka akan kembali kelaparan, mendesis, marah akibat perbuatan buruk yang terjadi di awal, sebelum waktu, di atas ruang.”

    Chalmers mengangguk dan menyalakan sigaret. “Kau sangat baik telah membantu,” ucapnya.

    “Kau tidak akan bertemu dokter, Chalmers?” pintaku.

    “Mungkin—besok,” gumamnya. “Tapi sekarang, saya harus menunggu dan waspada.”

    “Menunggu apa?” selaku.

    Chalmers tersenyum lemah. “Kau pikir saya gila,” ucapnya. “Pikiranmu sangat prosaik, dan kau tidak bisa menerima sebuah entitas yang keberadaannya tidak bergantung pada gaya dan materi. Tapi tidakkah terpikir olehmu, kawanku, bahwa gaya dan materi hanya membatasi persepsi yang ditanamkan waktu dan ruang? Ketika satu orang tahu, seperti saya, bahwa waktu dan ruang itu identik dan juga menipu karena keduanya tidak lebih dari manifestasi tidak sempurna dari realitas yang lebih tinggi, manusia tidak lagi mencari penjelasan tentang makhluk misteri dan teror di dunia ini.”

    Aku bangkit dan berjalan menuju pintu.

    “Maafkan saya,” serunya. “Saya tidak bermaksud menyinggungmu. Kau memiliki kecerdasan superfisial, tapi saya—saya punya kecerdasan superhuman. Wajar jika saya sadar keterbatasanmu.”

    “Telpon aku jika kau butuh sesuatu,” ucapku lalu menuruni tangga dua langkah sekaligus. “Akan kukirim dokter segera,” gumamku, pada diriku sendiri. “Dia maniak, dan hanya surga yang tahu apa yang akan terjadi jika seseorang tidak memeriksa Chalmers segera.”

    3

    Berikut ini adalah kumpulan dua pengumuman yang muncul di koran The Partridgevill Gazette edisi 3 Juli 1928:

    Gempa Bumi  Mengguncang Daerah Keuangan

    Pada pukul 2 dini hari sebuah gempa bumi mengguncang beberapa jendela kaca di Central Square, mengacaukan sistem listrik dan jalur kereta. Guncangan itu berasal dari distrik terpencil dan menara Gereja The First Baptist di bukit Angle Hill (didesain oleh Christopher Wren pada 1717) runtuh karenanya. Pemadam kebakaran mencoba memadamkan api yang mengancam bengkel Partridgeville. Walikota menjanjikan investigasi menyeluruh dan perbaikan segera akibat bencana ini.

    PENULIS OKULTISME DIBUNUH OLEH TAMU TAK DIKENAL

    Kejahatan Mengerikan di Central Square

    Misteri Mengelilingi Kematian Halpin Chalmers

    Pukul 9 pagi ini, jasad Halpin Chalmers, penulis dan jurnalis, ditemukan di sebuah ruang kosong di atas toko perhiasan, Smithwick and Isaacs, blok 24 Central Square. Investigasi koroner mendapati ruangan itu telah disewa lengkap dengan perabotnya oleh Mr. Chalmers pada 1 Mei, dan dia sendiri telah menyingkirkan perabotan itu malam sebelumnya. Chalmers adalah penulis dari beberapa buku tentang okultisme dan anggota Bibliographic Guild. Sebelumnya, ia tinggal di Brooklyn, New York.

    Pada pukul 7 pagi, Mr. L. E. Hancock, yang menempati apartemen di seberang unit Chalmers di gedung yang sama, mencium bau aneh ketika ia membuka pintu untuk membiarkan kucingnya masuk dan mengambil koran. Menurutnya, bau itu asam dan sangat memuakkan, dan ia yakin bahwa baunya berasal dari kamar Chalmers hingga ia harus menutup hidungnya ketika menuju lorong.

    Ketika hendak kembali ke apartemennya, terpikir olehnya mungkinkan Chalmers lupa mematikan gas di dapur. Sangat khawatir karena pemikiran itu, ia memutuskan untuk memeriksa dan ketika berkali-kali mengetuk pintu tetapi tidak ada respon, ia melapor pada pengawas gedung. Petugas kemudian membuka pintu dengan kunci cadangan, dan keduanya segera masuk. Ruangan itu kosong tanpa perabot sama sekali, dan ketika Hancock mengamati lantai, hatinya tiba-tiba terasa dingin. Tanpa bicara satu kata pun, si pengawas membuka jendela dan menatap gedung di seberang selama lima menit penuh. 

    Chalmers terbaring di lantai, di tengah ruangan dalam keadaan telanjang. Dada dan lengannya dipenuhi nanah kebiruan. Kepalanya terbaring dengan posisi aneh dengan kondisi remuk terputus dari tubuhnya. Tidak ada jejak darah sama sekali.

    Ruangan itu tidak kalah aneh. Sudut pertemuan antara dinding, lantai dan langit-langit telah ditutupi dengan semen tebal. Tetapi di antara sudut-sudut itu, bongkahan semen telah remuk dan terjatuh ke lantai. Tampaknya seseorang mengumpulkan bongkahan itu di sekitar jasad Chalmers dan menyusunnya membentuk segitiga. 

    Di sebelah jasad Chalmers, beberapa lembar kertas catatan kuning berserakan di sana-sini. Kertas-kertas itu berisi desain geometris, simbol dan kalimat-kalimat yang ditulis tergesa-gesa. Kalimat-kalimat itu hampir tidak dapat dibaca dengan konteks tidak masuk akal sehingga mustahil menunjukkan pelaku. “Saya menunggu dan memperhatikan.” Tulis Chalmers. “Saya duduk di depan jendela dan memperhatikan dinding dan langit-langit. Saya yakin mereka tidak bisa menyentuh saya, tapi saya harus waspada pada the Doels. Mungkin mereka bisa membantu mereka lepas. Para satir akan membantu, dna mereka bisa maju melewati lingkaran merah. Orang-orang Yunani tahu cara mencegahnya. Sungguh disayangkan kita telah melupakan semuanya.”

    Pada lembar yang lain, lembar yang paling rusak menjadi tujuh atau delapan bagian yang ditemukan Detektif Douglas, tertulis:

    “Tuhan yang maha baik, semennya jatuh! Sebuah gempa bumi meruntuhkan semen dan bongkahannya jatuh. Gempa bumi! Saya tidak pernah mengantisipasi hal ini. Ruangan ini mulai gelap. Saya harus menelpon Frank. Tapi, bisakah ia datang tepat waktu? Saya akan mencoba. Saya akan membacakan formula Einstein. Saya akan—Tuhanku! Mereka datang! Mereka menembus! Asap mengalir dari sudut dinding. Lidah mereka—Aaaa—”

    Menurut pendapat Detektif Douglas, Chalmers telah diracun dengan semacam bahan kimia. Ia telah mengirim nanah kebiruan di tubuh Chalmers ke Laboratorium Kimia Partridgevile; dan berharap hasilnya akan memberikan titik terang pada salah satu dari kejahatan paling misterius abad itu. Bahwa Chalmers menerima tamu pada malam sebelum gempa bumi, adalah hal pasti, karena tetangganya mendengar suara gumam percakapan di ruangan itu ketika ia lewat menuju tangga. Kecurigaan kuat ditujukan pada tamu tak dikenal ini dan polisi berusaha keras mengungkap identitasnya.

    4

    Laporan dari James Morton, ahli kimia dan bakteriologi:

    Kepada Mr. Douglas:

    Cairan yang Anda kirimkan untuk dianalisa merupakan hal paling aneh yang pernah saya teliti. Cairan itu menyerupai protoplasma hidup, tetapi cairan itu tidak memiliki zat khusus bernama enzim. Enzim merupakan katalis untuk reaksi kimia yang terjadi pada sel hidup, dan ketika sel mati, zat itu akan hancur karena hidrolisasi. Tanpa enzim, protoplasma seharusnya memiliki vitalitas untuk bertahan cukup lama, dengan kata lain, immortal. Bisa dikatakan, enzim adalah komponen negatif dari organisme seluler, yang merupakan dasar semua kehidupan. Bahwa makluk hidup dapat terbentuk tanpa enzim adalah mustahil bagi ahli biologi. Belum lagi zat yang Anda kirim pada saya masih hidup dan tidak memiliki enzim. Demi Tuhan, tuan, apa Anda sadar kemungkinan baru yang kini terbuka?

    5

    Kutipan dari The Scarlet Watcher karya mendiang Halpin Chalmers:

    Bagaimana jika, paralel dengan kehidupan yang kita tahu, ada kehidupan lain yang tidak pernah mati, tidak memiliki elemen yang menghancurkan kehidupan kita? Mungkin, di dimensi lain terdapat kekuatan berbeda yang darinya kehidupan kita tercipta. Mungkin kekuatan ini memancarkan energi yang melewati dimensi tak dikenal ini menuju dimensi kita dan menciptakan sebentuk sel kehidupan baru. Tidak ada yang tahu bahwa sel baru itu hidup dalam dimensi kita. Ah, tapi Saya telah bicara dengan the Doels. Dan dalam mimpi, saya melihat pertanda dari mereka. Saya telah berdiri di atas pantai muram di batas ruang dan waktu dan telah melihat-nya. Sel itu bergerak melalui kurva dan sudut aneh. Suatu hari, saya akan bepergian dalam waktu dan menemui-nya sekali lagi, empat mata.

  • 60/40: Rokok, Biji Pelir, dan Bangsat-Bangsat yang Beruntung [Julian Barnes]

    author = A. Nabil Wibisana

    Kami berkumpul beberapa hari setelah Hillary Clinton mengaku kalah. Meja dipenuhi botol dan gelas; dan meskipun rasa lapar telah terpuaskan, tangan kami sesekali masih mencomot buah anggur, mencuil lelehan keju, atau meraih cokelat dari kotak. Kami berbincang tentang peluang Obama melawan McCain, dan penasaran apakah dalam minggu-minggu mendatang Hillary akan memperlihatkan ketegaran atau sekadar penipuan-diri. Kami pun mendiskusikan apakah kini Partai Buruh tak lagi bisa dibedakan dengan Partai Konservatif, tentang betapa semarak jalan-jalan di London karena bus gandeng, seberapa besar kemungkinan serangan Al Qaida pada Olimpiade 2012, dan bagaimana efek pemanasan global pada perkebunan anggur di Inggris. Joanna, yang membisu sepanjang dua topik terakhir, akhirnya angkat suara dengan nada mendesah.

    “Kalian tahu, rasanya nikmat sekali kalau bisa merokok.”

    “Semua orang tampak mengembuskan napas dengan perlahan.

    “Karena suasananya sangat cocok, ya?”

    “Hidangannya lezat. Daging domba itu…”

    “Terima kasih. Butuh enam jam. Cara terbaik untuk mengolahnya. Dan bunga lawang.”

    “Dan anggurnya…”

    “Jangan lupa tamu-tamunya.”

    “Saat aku memutuskan berhenti, celaan orang-oranglah yang paling kubenci, lebih dari hal lain. Kau bertanya apakah orang-orang keberatan, dan mereka semua menjawab tidak, tapi kau bisa merasakan orang-orang itu berpaling dan seakan-akan enggan bernapas. Kalau bukan mengasihanimu, yang terasa sangat merendahkan, mereka sebenarnya muak padamu.”

    “Dan tak ada asbak di rumah mereka, lalu mereka akan pergi lama sekali, berdalih mencari cawan usang yang telah hilang tutupnya.”

    “Dan tahap selanjutnya, kau mesti pergi keluar ruangan dan kedinginan setengah mati.”

    “Dan jika kau mematikan rokokmu di sembarang pot tanaman, mereka akan menatapmu seolah-olah kau baru saja menularkan kanker pada geranium.”  

    “Aku biasanya mengumpulkan puntung rokokku. Dalam sebuah kantong plastik.”

    “Seperti kotoran anjing. Omong-omong, kapan mereka mulai melakukannya? Dalam masa yang hampir sama? Orang-orang berkeliaran membawa plastik-terbalik di tangan, menunggu anjing-anjing mereka buang kotoran.”

    “Kupikir itu mestinya hangat, kan? Merasakan tahi anjing hangat di balik plastik.”

    “Dick, jijik tahu!”  

    “Tapi aku tak pernah melihat mereka menunggu sampai tahi itu mendingin, betul?”

    “Cokelat-cokelat ini, mari ganti topik pembicaraan, mengapa gambarnya tak pernah persis sama dengan apa yang ada di dalam kotak?”

    “Atau sebaliknya?”

    “Sebaliknya pun sama saja. Mereka tetap tidak sama persis.”

    “Gambar itu hanya taksiran. Ibarat cita-cita komunisme. Kondisi dalam dunia ideal. Anggaplah sebagai metafora.” 

    “Cokelatnya?”

    “Bukan, gambar cokelat.”

    “Aku dulu suka sekali cerutu. Tak perlu sebatang utuh. Setengah pun cukup.”

    “Mereka memberimu jenis kanker yang berbeda, bukan?”

    “Mereka maksudnya?”

    “Rokok, tembakau pipa, cerutu. Bukankah tembakau pipa menyebabkan kanker bibir?”

    “Jenis kanker apa yang disebabkan cerutu?”

    “Oh, jenis yang paling keren.”

    “Apa pula maksudnya kanker keren? Bukankah istilah itu kontradiktif?” 

    “Kanker dubur pastilah ada di bagian dasar lapisan.”

    “Dick, ayolah.”  

    “Apa aku salah?”

    “Kanker kalbu—apakah mungkin terjadi?”

    “Hanya sebagai metafora, kurasa.”

    “Raja George VI—apa kena kanker paru-paru?”

    “Atau tenggorokan?”

    “Bagaimanapun, fakta itu membuktikan dia terlalu biasa, bukan? Tinggal di Istana Buckingham dan dihujani bom, lalu berkeliling di East End dengan tangan gemetar di antara puing-puing?”

    “Jadi, mengidap kanker jenis biasa berhubungan dengan karakternya—apakah itu yang ingin kausimpulkan?”

    “Aku tak tahu apa yang ingin kusimpulkan.”

    “Aku tak yakin tangannya gemetar. Raja tetaplah raja.”

    “Ini pertanyaan serius, Obama, McCain, Clinton: siapa di antara ketiganya yang terakhir merokok?”

    “Bill atau Hillary?”

    “Hillary, tentu saja.”

    “Karena kita semua ingat Bill suka cerutu.”

    “Ya, tapi tidakkah dia merokok setelahnya?”

    “Atau menyimpannya di kotak khusus sebagaimana Hillary menyimpan pakaiannya?”

    “Dia bisa saja melelang kotak itu untuk membayar utang-utang kampanye Hillary.”

    “McCain mestinya merokok saat dia menjadi tawanan perang.”

    “Obama mestinya pernah mengisap satu-dua linting ganja.”

    “Aku bertaruh Hillary tak pernah menelan asap rokok.”

    “Dari cara merokok, kau bisa tahu karakter sejati seseorang.”

    “Sebenarnya—sebagai bagian dari warga Amerika—bisa kupastikan Obama dulunya perokok berat. Beralih ke Niccorate saat memutuskan untuk mencalonkan diri. Tapi—akhirnya kembali merokok setelah sekian lama berhenti, begitulah yang kudengar.”

    “Wah, dia pahlawanku.”

    “Apa orang-orang peduli jika salah satu dari mereka ketahuan merokok? Dan difoto?”

    “Itu tergantung dari bagaimana kualitas dan corak penyesalan mereka.” 

    “Seperti Hugh Grant tepergok sedang asyik dikulum di mobilnya.”

    “Nah, perempuan itu betul menelan.”

    Dick, hentikan. Jauhkan botol itu dari hadapannya.”

    “Kualitas dan corak penyesalan—aku suka istilah ini.”

    “Bukannya Bush yang harus menyesal karena telah menjadi pemadat?”

    “Yah, tapi dia tidak membahayakan orang lain.”

    “Tentu saja dia membahayakan orang lain.”

    “Maksudmu, seperti perokok pasif? Tak ada yang namanya pemadat pasif, bukan?”

    “Tidak, kecuali kau bersin.”

    “Jadi tak ada efek buruk bagi orang lain?”

    “Tak ada, selain rasa bosan karena mesti mendengarkan omongan seseorang yang hanya menyenangkan diri sendiri.”

    Sebenarnya…

    “Ya?”

    “Jika Bush, seperti yang mereka bilang, seorang alkoholik dan pemadat di kehidupannya yang lalu, maka itu akan menjelaskan langgam pemerintahannya.”

    “Maksudmu, kerusakan otak?”

    “Bukan, absolutisme pemadat yang mencoba bersih.”

    “Kau punya banyak istilah keren malam ini.”

    “Yah, itu barang jualanku.”

    “Absolutisme pemadat yang mencoba bersih. Maafkan soal itu, Baghdad.”

    “Jadi apa yang sedang kita utarakan adalah memang berpengaruh apa yang kita isap.”

    “Cerutu kerap membuatku kalem.”

    “Rokok kadang membuatku bersemangat, kakiku sampai bergetar.”

    “Oh, aku ingat soal itu.”

    “Aku ingat seseorang yang mengatur alarm supaya dia bisa terjaga pada tengah malam dan bisa mengisap sebatang rokok.”

    “Siapa orang itu, sayang?”

    “Adalah. Sebelum aku kenal dirimu.”

    “Sungguh kuharap begitu.”

    “Ada yang baca sesuatu di koran tentang Macmillan?”

    “Lembaga amal kanker?”

    “Bukan, perdana menteri. Dulu sewaktu dia menjabat Chancellor of the Exchequer, tahun ’55, ’56, atau sekitar itulah. Sebuah laporan mengaitkan antara kebiasaan merokok dan kanker. Sial, pikirnya, dari mana uang akan datang jika pemerintah mesti melarang rokok? Tiga sampai enam poundsterling tambahan pajak per bungkus, entah berapa persisnya. Lantas dia mencermati angka-angkanya. Maksudku, angka mortalitas. Harapan hidup bagi seorang perokok adalah tujuh puluh tiga tahun. Harapan hidup bagi non-perokok: tujuh puluh empat.”  

    “Benarkah?”

    “Begitulah bunyi laporannya. Jadi Macmillan merespon laporan itu: ‘Kementerian Keuangan memutuskan bahwa pendapatan pajak mengalahkan risiko kesehatan.’”

    “Itu kemunafikan yang tak bisa kuterima.”

    “Apakah Macmillan merokok?”

    “Pipa tembakau dan rokok.”

    “Satu tahun. Selisih satu tahun. Betapa menakjubkan jika kau memikirkannya.”

    “Barangkali kita mesti merokok lagi. Saat kumpul-kumpul makan malam saja. Semacam pemberontakan rahasia di dunia komputer masa kini.”

    “Mengapa orang-orang tak boleh merokok sampai mati? Kalau hanya kehilangan satu tahun.”

    “Jangan lupakan rasa sakit hebat dan penderitaan yang harus kaualami menjelang sekarat pada usia tujuh puluh tiga tahun.”  

    “Reagan menjadi bintang iklan Chesterfields, kan? Atau, Lucky Strike?”

    “Apa hubungannya dengan soal itu?”

    “Pasti ada hubungannya.” 

    “Itu kemunafikan yang tak bisa kuterima.”

    “Kau ulang-ulang omong itu.”

    “Lho, memang beralasan. Itulah poinnya. Pemerintah memberitahu warga bahwa rokok berakibat buruk bagi kesehatan sembari tetap menarik pajak dari rokok. Perusahan rokok tahu bahwa produknya berbahaya bagi masyarakat lalu menjualnya besar-besaran ke negara Dunia Ketiga lantaran khawatir mendapatkan tuntutan hukum di sini.” 

    “Negara Berkembang, bukan negara Dunia Ketiga. Kita tak menyebut mereka begitu lagi.”

    “Negara Perkembangan-Kanker.”

    “Belum lagi perkara Humphrey Bogart itu. Ingat saat mereka ingin mengabadikannya dalam perangko dan dia terlihat sedang merokok di foto itu, jadi mereka mengaburkan gambarnya? Seolah-olah akan terjadi insiden sewaktu orang-orang menempelkan perangko di amplop surat, ketika mereka melihat bagaimana Bogart merokok dan tiba-tiba bepikir: wah, merokok tampaknya ide yang keren.”

    “Mereka mungkin akan menemukan cara untuk memotong adegan merokok di film-film. Seperti teknologi mewarnai pada film hitam-putih.”

    “Saat aku menjalani masa remaja di Afrika Selatan, badan sensor memotong film apa pun yang memperlihatkan kontak normal antara orang kulit hitam dan kulit putih. Mereka memangkas Island in the Sun sampai tinggal sekitar dua puluh empat menit saja.”

    “Yah, kebanyakan film memang terlalu panjang.”

    “Aku tak tahu kau tumbuh besar di Afrika Selatan.”

    “Dan kebiasaan lain, semua orang merokok di gedung bioskop. Ingat soal itu? Kau menatap layar melalui lekak-lekuk asap rokok.”

    “Abu rokok di sandaran kursi.”

    “Persis.” 

    “Tapi perkara Bogey yang merokok itu… Kadangkala, saat aku menonton film lawas, dan ada adegan sepasang karib tengah minum-minum dan merokok dan saling bertukar kalimat cerdas di sebuah kelab malam, bangsat, kupikir adegan itu sangatlah glamor. Lantas aku berpikir: sebentar, bisakah aku mendapat rokok dan segelas minuman sekarang juga?”

    “Itu glamor, dulu.”

    “Terlepas dari kanker.”

    “Terlepas dari kanker.”

    “Dan kemunafikan.”

    “Baiklah, jangan telan.”

    “Kemunafikan pasif?”

    “Bisa saja terjadi. Setiap saat.”

    “Omong-omong, apakah ‘mewarnai’ kata kerja yang tepat?”

    “Dan apakah ada yang ingin kopi?”

    “Hanya jika kau ambilkan rokok sekalian.”

    “Selalu berpasangan begitu, ya? Rokok dan kopi.”

    “Kurasa tak ada rokok di rumah ini. Jim meninggalkan beberapa bungkus Gauloises sewaktu dia menginap di sini, tapi rokok itu terlalu keras jadi kami membuangnya.” 

    “Dan temanmu pernah meninggalkan beberapa batang Silk Cut, tapi sebaliknya rokok itu terlalu hambar.”

    “Kami berkunjung ke Brasil tahun lalu dan peringatan bahaya merokok di sana sangat apokaliptik. Gambar-gambar berwarna di bungkusnya mengerikan: bayi-bayi cacat, paru-paru hancur, dan semacamnya. Dan kalimat peringatannya pun tegas sekali, bukan jenis yang sopan seperti peringatan kesehatan dari “Pemerintahan Yang Mulia” kita. Atau, sesuatu seperti “Ahli-ahli kedokteran bedah telah menetapkan bla-bla-bla”. Mereka langsung mengancam apa yang kaupertaruhkan. Ada seorang pria masuk ke toko dan membeli sebungkus… aku lupa apa mereknya. Lantas dia keluar toko, mencermati peringatan kesehatannya, masuk kembali, menyerahkan sebungkus rokok itu dan berujar, ”Yang ini menyebabkan impoten. Bisa tukar dengan yang menyebabkan kanker saja?” 

    “Ya.”

    “Yah, kupikir itu lucu.”

    “Barangkali kau pernah bercerita kepada mereka sebelumnya, sayang.”

    “Bangsat-bangsat ini toh masih bisa tertawa. Ingat, mereka minum anggurku.” 

    “Lebih karena caramu bercerita, Phil. Perlu diperketat narasinya.”

    “Anjing.”

    “Kupikir kami punya ganja yang ditinggalkan seseorang.”

    “Benarkah?”

    “Ya, di pintu kulkas.”

    “Di pintu kulkas sebelah mana?”

    “Di rak dekat keju parmesan dan saus tomat.”

    “Siapa yang meninggalkannya?”

    “Tak ingat. Sudah lama. Mungkin juga sudah hilang sengatannya sekarang.”

    “Apa ganja bisa hilang sengatannya?”

    “Segalanya bisa kehilangan sengatan.”

    “Kandidat presiden?”

    “Lebih dari yang lain.”

    “Aku menawarkan ganja itu kepada Doreena.”

    “Siapa Doreena?”

    “Petugas kebersihan kami.”

    “Doreena si Pembersih. Apa kalian sedang menggoda kami?”

    “Kau tawarkan itu kepada Doreena?”

    “Ya. Memangnya kenapa, melanggar aturan ketenagakerjaan atau bagaimana? Omong-omong, dia tidak tertarik. Dia bilang dia tidak pakai barang semacam itu lagi.”

    “Yesus, dunia macam apa yang akan kita hadapi kalau seorang petugas kebersihan saja menolak narkotika gratis?” 

    “Tentu saja, kita tahu rokok lebih menimbulkan ketergantungan daripada apa pun. Alkohol, obat penenang, obat keras. Lebih adiktif daripada heroin.”

    “Apa kita bisa memastikan hal itu?”

    “Pasti, aku membacanya di koran. Rokok urutan teratas.”

    “Kalau begitu kita bisa memastikannya.”

    “Lebih adiktif daripada kekuasaan?”

    “Nah, itu baru pertanyaan sulit.”

    “Kita juga tahu—bukan dari koran—semua perokok adalah pendusta.”

    “Jadi kau menyebut kami semua mantan pendusta?”

    “Yup. Aku pun salah satunya.”

    “Apa kau bisa lebih spesifik?”

    “Kau berdusta pada orang tuamu saat kau mulai merokok. Kau berdusta berapa batang yang kauisap—bilang lebih sedikit atau lebih banyak. Oh, empat bungkus per hari, macam membual punya kontol paling besar. Atau, hanya sebatang sesekali. Pasti itu artinya tiga batang sehari, minimal. Lantas kau berdusta soal niat berhenti merokok. Dan kau berdusta kepada doktermu ketika kau kena kanker. Oh, aku tak pernah merokok sebanyak itu.

    “Pembual-garis-keras.”

    “Tapi benar juga sih. Sue dan aku pernah serong satu sama lain.” 

    “Dav-id.”

    “Maksudku, hanya berbohong soal merokok, sayang. ‘Aku hanya merokok satu batang saat makan siang.’ Dan ‘Tidak, kawanku yang merokok, aku hanya terpapar baunya.’ Kita berdua melakukannya, berdalih satu sama lain.”

    “Jadi, pilihlah kandidat non-perokok. Pilih Hillary.”

    “Telat. Bagaimanapun, kupikir perokok hanya berbohong soal merokok sebagaimana halnya pemabuk berbohong soal minum-minum.”

    “Itu tidak benar. Aku kenal para pemabuk. Pemabuk berat berdusta tentang segalanya. Supaya mereka bisa minum-minum. Dan aku pun pernah berdusta tentang hal lain supaya aku bisa merokok. Kalian tahu, ‘Aku keluar dulu, cari angin segar’, atau ‘Tidak bisa, aku harus kembali menemui anak-anak.’”

    “OK, jadi kita menyimpulkan perokok dan pemabuk adalah pendusta umum.”

    “Pilih Hillary.”

    “Kita hanya berargumen, semua pembohong menurutkan kehendak berbohong.”

    “Itu terlalu filosofis untuk malam seperti sekarang.”

    “Penipuan-diri, di sisi lain. Teman kami Jerry perokok berat—sebagaimana kawan-kawan segenerasinya. Saat melakukan pemeriksaan kesehatan umum pada usia tujuh puluhan, dia divonis mengidap kanker prostat. Dia memilih opsi bedah radikal. Mereka mengambil biji pelirnya.”

    “Mereka mengambil biji pelirnya?”

    “Yup.”

    “Lalu—lalu dia cuma punya batangnya?”

    “Yah, mereka memberinya biji prostetik.”

    “Terbuat dari apa?”

    “Aku tak tahu—plastik, kukira. Nah, biji itu punya berat yang sama dengan aslinya, supaya kau tidak akan menyadarinya.”

    “Supaya kau tidak menyadarinya?”

    “Apa mereka bisa berputar seperti aslinya?”

    “Apa kita bisa ganti topik pembicaraan?”

    “Kalian tahu apa istilah slang Prancis untuk biji pelir? Les valseuses. Penari waltz. Sebab mereka berputar.”

    “Apa kata itu perempuan? Maksudku feminin. Valseuses.”

    “Ya.”

    “Kenapa sih testis berbentuk feminin dalam bahasa Prancis?

    “Kita memang benar-benar harus ganti topik pembicaraan.”

    Testicules bukan feminin. Tapi valseuses feminin.

    “Testis perempuan. Percayalah pada orang Prancis.”

    “Tak mengherankan mereka tidak mendukung Perang Irak.”

    “Tidak semua orang di meja ini mendukung Perang Irak.”

    “Aku sekira 60/40.”

    “Bagaimana kau bisa bilang 60/40 tentang sesuatu seperti Irak? Itu seperti 60/40 tentang teori bumi datar.”

    “Aku juga 60/40 tentang hal itu.”

    “Omong-omong, alasan mengapa aku menyebut Jerry adalah karena dia merasa lega ketika mereka memberitahunya soal kanker prostat itu. Dia bilang kalau dia mengidap kanker paru-paru, dia mesti berhenti merokok.”

    “Jadi dia tetap lanjut merokok?”

    “Yup.”

    “Lalu?”

    “Yah, dia baik-baik saja selama beberapa tahun. Cukup lama juga. Kemudian kankernya kembali.”

    “Apa dia akhirnya berhenti merokok?”

    “Tidak. Dia bilang tak ada gunanya berhenti pada tahap itu—dia lebih memilih kenikmatan merokok. Aku ingat saat kami terakhir mengunjunginya di rumah sakit. Dia sedang duduk di kasur, menonton pertandingan kriket di televisi, dengan asbak besar yang dipenuhi puntung rokok di hadapannya.”

    “Pihak rumah sakit memperbolehkannya merokok?”

    “Itu kamar pribadi. Rumah sakit swasta pula. Dan peristiwanya terjadi bertahun-tahun lalu. Dia membayar—itu kamarnya. Begitulah kebiasaan masa lalu.”

    “Mengapa kau bercerita kepada kami tentang pria ini?”

    “Aku tak bisa mengingatnya sekarang. Kau mengalihkan perhatianku.”

    “Penipuan-diri.”

    “Benar—penipuan-diri.”

    “Terdengar berkebalikan menurutku—tampaknya dia tahu apa yang dia lakukan. Mungkin dia memutuskan merokok memang berharga.”

    “Persis itulah yang kumaksud dengan penipuan-diri.”

    “Dalam kasus mana menjadi perokok adalah pelatihan wajib untuk seorang presiden?”

    “Kupikir Obama cocok. Hanya pendapatku, sebagai seorang warga Amerika.”

    “Setuju. Yah, 60/40 soal itu.”

    “Kau seorang liberal—kau 60/40 tentang apa pun.”

    “Aku tak yakin aku setuju soal itu.”

    “Nah, kalian lihat, dia bahkan 60/40 tentang apakah dia benar-benar 60/40 atau tidak.”

    “Omong-omong, kau keliru tentang Reagan.”

    “Dia tak menjadi bintang iklan Chesterfields?”

    “Bukan. Maksudku, dia tidak meninggal karena kanker paru-paru.”

    “Aku tidak berkata begitu.”

    “Benarkah?”

    “Tidak. Dia mengidap Alzheimer.”

    “Menurut statistik, perokok lebih sedikit mengidap Alzheimer daripada non-perokok.”

    “Itu karena mereka sudah keburu mampus pada saat Alzheimer biasanya menyerang.” 

    “Peringatan kesehatan terbaru dari pemerintah Brasil: ‘Rokok ini membantu Anda menghindari Alzheimer.’”

    “Kami sempat membaca New York Times minggu lalu. Dalam suatu penerbangan. Ada laporan tentang kajian harapan hidup warga dan biaya komparatif yang harus ditanggung pemerintah, atau negara lebih tepatnya, berdasarkan kategori penyebab kematian. Sebentar, statistik yang diberikan kepada Macmillan tadi itu—dirilis tahun berapa?”

    “1955, 1956, kurasa.”

    “Nah, statistiknya sesuai. Jangan-jangan kita hidup di masa yang serupa. Jika kau perokok, kau cenderung mati pada usia pertengahan tujuh puluhan. Jika kau mengalami obesitas, kau cenderung mati pada usia sekitar delapan puluh. Dan jika kau menjalani pola hidup sehat, non-perokok, tidak kelebihan berat badan, kau cenderung mati pada usia rata-rata delapan puluh empat.”

    “Mereka memerlukan kajian untuk memberitahu kita hal semacam itu?”

    “Tidak. Mereka perlu kajian untuk memberitahu kita hal ini: biaya perawatan kesehatan yang harus ditanggung negara. Dan inilah faktanya. Para perokok adalah golongan yang paling murah. Berikutnya para penderita obesitas. Dan mereka semua yang sehat, tidak kelebihan berat badan, non-perokok itu ternyata merupakan golongan yang menguras biaya terbesar.”

    “Luar biasa. Fakta itu adalah hal terpenting dari semua percakapan kita malam ini.”

    “Terlepas dari betapa lezatnya daging domba itu.”

    “Menempelkan stigma pada perokok, menarik pajak dari mereka tanpa ampun, mengucilkan mereka sampai harus berdiri di pojok jalan di tengah hujan, alih-alih berterima kasih kepada mereka karena telah menjadi beban paling ringan.”

    “Itu kemunafikan yang tak bisa kuterima.”

    “Lagi pula, perokok lebih ramah daripada non-perokok.”

    “Terlepas dari mereka menghadiahkan kanker kepada non-perokok.”

    “Kupikir tak ada landasan medis untuk teori perokok pasif.”

    “Aku pun tak yakin. Bukannya aku bermaksud menjadi seorang dokter. Sama seperti dirimu.”

    “Kupikir itu lebih merupakan sebuah metafora. Misalnya, untuk mengatakan jangan menginvasi wilayahku.”

    “Metafora untuk kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Apa kita kembali ke Irak?”

    “Apa yang kumaksud adalah, bagaimana ya, menurut pengamatanku saat semua orang merokok, orang-orang non-perokok lebih ramah. Kini sebaliknya.”

    “Minoritas yang dipersekusi selalu lebih ramah? Itukah yang Joanna maksudkan?”

    “Maksudku, dulu ada spirit persahabatan. Jika kau menghampiri seseorang di trotoar di luar sebuah pub atau restoran dan berkata ingin membeli sebatang rokok, orang itu akan selalu memberikannya kepadamu.”

    “Kupikir kau tidak merokok.”

    “Tidak, tapi kalaupun aku merokok, orang itu tetap akan memberikannya.”

    “Aku mengendus perubahan kasip menjadi kalimat kondisional.”

    “Sudah kuberitahu kalian, para perokok adalah pendusta.”

    “Kedengarannya seperti topik yang harus didiskusikan setelah kita semua bubar.”

    “Apa yang Dick tertawakan?”

    “Oh, biji prostetik. Gagasannya. Atau frasanya. Keduanya. Politik luar negeri Prancis. Hillary Clinton.”

    Dick.”

    “Maaf. Aku hanyalah pria ketinggalan zaman.”

    “Kau kanak-kanak ketinggalan zaman.”

    “Ouch. Tapi Mami, ketika aku dewasa, bolehkan aku merokok?” 

    “Segala macam tuntutan tentang politisi harus bernyali. Itu cuma ah… biji pelir.”

    “Cerdas.”

    “Kalian tahu, aku heran mengapa kawan kalian itu tidak kembali ke dokter, atau dokter bedah, dan bertanya, ‘Bisakah aku mengganti jenis kanker, apa pun selain kanker yang mengharuskan kau memotong biji pelirku?’”

    “Bukan seperti itu kasusnya. Dia punya pilihan beberapa tindakan medis. Dia memilih opsi paling radikal.”

    “Kau bisa mengatakannya tanpa keraguan. Tak ada 60/40 tentang hal itu.”

    “Bagaimana kau berpikir 60/40 ketika kau hanya punya dua biji pelir?”

    “60/40 hanyalah metafora.”

    “Segala sesuatu adalah metafora pada malam ini.”

    “Dengan catatan, bisakah kalian panggilkan taksi harfiah untuk kami?”

    “Apa kalian ingat pagi setelah kita kebanyakan merokok? Rasa pening karena rokok?”

    “Aku ingat sebagian besar pagi semacam itu. Tenggorokan. Hidung kering. Dada.”

    “Dan rasa pening itu jelas bisa dibedakan dari rasa pening akibat minuman keras yang sering kita konsumsi pada waktu yang sama.”

    “Minuman keras membuatmu lunglai, rokok membuatmu kaku.”

    “Eh?”

    “Merokok mempersempit pembuluh darah. Itulah sebabnya mengapa kau tak pernah bisa memulai hari baik dengan buang air secara wajar.”

    “Apa benar itu penyebabnya?”

    “Bicara bukan sebagai dokter, itu masalahmu sendiri.”

    “Jadi kita kembali pada topik awal?”

    “Topik apa itu?”

    “Plastik terbalik untuk membungkus tahi dan—”

    “Dick, sekarang kami akan benar-benar pergi.”

    Tapi kami tak bubar. Kami tetap tinggal dan berbincang tentang pelbagai hal lain. Kami memperkirakan bahwa Obama akan mengalahkan McCain, bahwa Partai Konservatif hanya sementara saja tak bisa dibedakan dengan Partai Buruh, bahwa Al Qaida nyata-nyata akan melakukan serangan pada Olimpiade 2012, bahwa dalam tahun-tahun mendatang warga London akan merasa rindu pada bus gandeng, bahwa dalam beberapa dekade mendatang kebun anggur akan kembali marak di sepanjang Tembok Hadrian sebagaimana pada masa Romawi Kuno, dan bahwa, dalam berbagai besaran probabilitas, sepanjang sisa masa kehidupan di planet ini, sejumlah orang di berbagai tempat akan selalu merokok, bangsat-bangsat yang sungguh beruntung.

    Julian Barnes menulis tiga belas novel, tiga kumpulan cerita pendek, serta sembilan esai dan laporan jurnalistik. Memenangkan Man Booker Prize untuk novel The Sense of an Ending (2011). Tiga buku lainnya, Flaubert’s Parrot (1984), England, England (1998), dan Arthur & George (2005), masuk daftar pendek ajang penghargaan yang sama. Penghargaan lain yang pernah diraih di antaranya Siegfried Lenz Prize (2016), Austrian State Prize for European Literature (2004), Prix Femina Etranger (1992), E.M. Foster Award dari American Academy and Institute of Arts and Letters (1986), dan Sommerset Maugham Award (1981)

  • 2 B R 0 2 B [Kurt Vonnegut]

    author = Devi Santi Ariani

    Semuanya benar-benar sempurna.

    Tidak ada penjara, gelandangan, rumah sakit jiwa, orang-orang cacat, kemiskinan, atau pun perang. Semua penyakit telah ditaklukan, begitu juga dengan masa tua. Populasi masyarakat Amerika stabil di angka empat puluh milyar jiwa.

    Suatu pagi yang cerah, di sebuah Rumah Sakit Chicago Lying-in, seorang pria bernama Edward K. Wehling, Jr., menunggui istrinya yang tengah bersalin. Ia satu-satunya yang menunggu. Tidak lagi banyak bayi yang lahir dalam sehari.

    Wehling berusia enam puluh enam tahun, masih tergolong sangat muda dalam populasi dimana semua orang rata-rata berumur seratus dua puluh sembilan tahun. Hasil X-ray menunjukkan bahwa istrinya akan melahirkan bayi kembar tiga. Tiga bayi itu adalah anak pertamanya. 

    Wehling muda duduk membungkuk di kursi, kepalanya ditumpukan pada kedua telapak tangan. Ia sangat kusut, tidak banyak bergerak dan pucat hampir tembus pandang. Kamuflase yang sempurna melihat suasana ruang tunggu juga sesuram dirinya. Kursi-kursi dan asbak telah disingkirkan, lantai ditutupi tumpukan lap penuh percikan cat. Ruangan itu sedang didekorasi ulang. Didekorasi sebagai memperingati seorang pria yang telah meninggal dengan suka rela. 

    Seorang pria getir berusia sekitar dua ratus tahun, duduk di atas tangga, melukis sebuah mural yang tidak ia suka. Dulu, pada hari-hari dimana penuaan dapat dilihat dengan mata telanjang, orang-orang akan mengira ia berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Ia telah menua selama itu sebelum obat anti penuaan ditemukan. 

    Mural yang sedang ia kerjakan menggambarkan sebuah kebun yang sangat rapi. Pria dan wanita berpakaian putih, dokter-dokter dan suster-suster, mengolah tanah, menanam benih, menyiangi serangga dan menaburkan pupuk.

    Pria dan wanita dalam pakaian serba ungu mencabuti rumput, menebang tumbuhan yang sudah tua dan rapuh, menyapu dedaunan dan membawanya ke pembakar sampah. Tidak pernah ada satu kebun pun—bahkan tidak di Belanda pada abad pertengah atau Jepang, yang begitu dirawat seperti kebun pada lukisan itu. Setiap tanaman mendapatkan semua hal yang mereka butuhkan; cahaya, air, udara dan nutrisi.

    Seorang perawat berjalan menyusuri koridor sambil menyenandungkan sebuah lagu populer:

    Jika kau tak suka ciumanku, sayang,

    Ini yang akan kulakukan:

    Akan kutemui gadis berbaju ungu,

    Dan ucapkan selamat tinggal pada dunia yang sendu,

    Jika kau tak inginkan cinta ini,

    Kenapa juga dunia harus ku isi?

    Kan kutinggalkan planet tua ini,

    Oleh bayi manis, biar tempatku diganti.

    Perawat itu menatap si Pelukis dan muralnya. “Terlihat sangat nyata,” ucapnya, “Sampai-sampai bisa ku banyangkan diriku berdiri di dalamnya.”

    “Apa yang membuatmu berpikir kau tidak berada di dalamnya?” ucap si Pelukis. Ia tersenyum satir, “Kau tahu, mural ini berjudul ‘Kebun Kehidupan yang Bahagia’.”

    “Itu lukisan Dr. Hitz yang sangat bagus,” ucap si Perawat. 

    ___

    Ia menunjuk saah satu figur berpakaian putih, yang kepalanya diisi potret Dr. Benjamin Hitz, kepala obstetri rumah sakit itu. Ketampanannya Hitz begitu membutakan.

    “Masih banyak wajah yang harus diisi,” ujar si Perawat. Maksud ucapannya adalah banyak wajah dari figur-figur dalam mural itu masih kosong. Wajah-wajah kosong itu akan diisi dengan potret dari orang-orang penting dari staff rumah sakit atau Kantor Biro Penghentian Federal Kota Chicago.

    “Pasti luar biasa rasanya bisa menggambar sesuatu semirip aslinya,” ujar si Perawat.

    Wajah si Pelukis membeku dalam ekspresi mencemooh, “Kau pikir aku bisa bangga dengan lukisan dangkal semacam ini?” ucapnya. “Kau pikir seperti ini menurutku kehidupan seharusnya?”

    “Memang bagaimana menurutmu kehidupan seharusnya?” tanya si Perawat.

    Si Pelukis melambaikan tangannya pada kain lap kotor. “Ini perumpamaan yang bagus,” ucapnya. “Bingkailah, dengan begitu kau bisa bayangkan gambaran yang jauh lebih jujur daripada yang ada di dinding ini.”

    “Kau ini bebek tua yang sangat murung, bukan begitu Pak Tua?”

    “Apa itu salah?” ucap si Pelukis.

    Si Perawat mengangkat bahu. “Kalau kau tak suka di sini, Kakek Tua—” ucap si Perawat, dan ia menyelesaikan kalimatnya dengan pengucapan nomor telepon untuk orang-orang yang sudah tak mau hidup lagi. Angka nol dalam rangkaian nomor telepon itu dibaca “naught”, kosong.

    Nomornya adalah “2BR02B.”

    Itu adalah nomor telepon sebuah institusi yang punya banyak julukan termasuk : “otomat,” “Pulau Burung,” “Pabrik Pengalengan,” “Easy Go,” “Selamat tinggal, Ibu,” “Happy Hooligan,” “Sheepdip,” “Tak-Ada-Tangis-Lagi,” dan “Kenapa khawatir?”

    2BR02B, to be or not to be adalah nomor telepon Ruang Eksekusi Kota milik Biro Penghentian Federal.

    Si Pelukis menjempol hidungnya di depan perawat. “Ketika aku memutuskan untuk mati,” ujarnya, “aku tak akan mati di tempat itu.”

    “Kau lebih suka melakukannya sendiri, ya?” timpal si Perawat. “Itu perkara kacau dan merepotkan, Kakek Tua. Kenapa kau tidak memikirkan orang-orang yang harus membersihkan sisa-sisa mu?”

    Si Pelukis memperlihatkan dengan seksama, ketidakpeduliannya atas kerepotan orang-orang yang harus melakukan pembersihan.

    “Dunia ini butuh lebih banyak kekacauan, kalau kau tanya padaku,” ucapnya.

    Si Perawat tertawa dan berlalu pergi. Wehling, si Calon Ayah, menggumamkan sesuatu tanpa mengangkat kepala. Dan kemudian, ia kembali terdiam. 

    Seorang wanita yang nampak tangguh melangkah kasar dengan sepatu hak tinggi. Sepatunya, stoking, jubah, tas dan topi; semuanya ungu. Warna ungu yang dideskripsikan si Pelukis sebagai ‘warna anggur saat Hari Penghakiman’.

    Medali pada tas musette ungunya adalah tanda dari Divisi Pelayanan, Biro Penghentian Federal; seekor elang bertengger di atas pintu putar.

    Si Wanita punya banyak sekali bulu wajahnya, sebuah kumis. Itu bukan lagi hal aneh tentang penjaga kamar eksekusi, tidak peduli seberapa cantik dan feminim mereka saat direkrut, semuanya akan berkumis dalam waktu lima tahun. 

    “Apakah ini tempat yang seharusnya saya kunjungi?” ujarnya pada si Pelukis.

    “Tergantung apa keperluanmu,” timpalnya. “Kau tidak akan melahirkan, bukan?”

    “Mereka bilang saya harus berpose untuk mural,” jawabnya. “Nama saya Leora Duncan.” 

    Ia berhenti, menunggu.

    “Dan kau mendorong orang-orang?” ucapnya.

    “Apa?” jawab Leora.

    “Lupakan,” ucap si Pelukis.

    “Itu lukisan yang sangat menawan,” ujar Leora kemudian. “Terlihat seperti surga atau semacamnya.”

    “Atau semacamnya,” ujar si Pelukis. Ia mengambil daftar nama dari saku. “Duncan, Duncan, Duncan,” ujarnya, memindai daftar. “Ya—ini dia. Kau harus dilukis. Kau lihat tubuh-tubuh tanpa wajah ini, pilihlah. Putuskan dimana kau ingin aku menempelkan wajahmu. Kita punya beberapa pilihan saja yang tersisa.”

    Si Wanita mempelajari mural dengan suram, “Wah,” ujarnya, “semuanya keliatan sama bagiku. Aku tidak tahu apa-apa soal seni.”

    “Tubuh ya cuma tubuh, ya?” ucap si Pelukis. “Baiklah, sebagai ahli seni rupa, aku merekomendasikan yang satu ini.” Ia menunjuk lukisan tubuh tanpa wajah seorang wanita yang membawa tongkat pembakar sampah.

    “Umm..” gumam Duncan, “yang itu lebih cocok untuk bagian pembuangan, kan? Pekerjaanku lebih melayani, bukan membuang.”

    Si Pelukis menangkupkan telapak tangannya dengan gaya mengejek. “Tadi kau bilang tak tahu apa-apa soal seni, lalu kau membuktikan kau tahu lebih banyak dari yang aku tahu! Tentu saja yang itu tidak pantas untuk penyambut tamu sepertimu kan. Kau lebih seperti penembak jitu, pemotong—ya lebih cocok untukmu.” Ia menunjuk figur berbaju ungu yang tengah memotong ranting mati dari dahan pohon apel. “Bagiamana dengan yang ini?” ucapnya. “Kau suka?”

    “Ya ampun—” ucap Duncan, bersemu malu—“Itu, kalau yang itu, aku akan akan berdiri di samping Dr. Hitz.”

    “Itu mengganggumu?” tanya si Pelukis.

    “Tentu tidak!” jawabnya. “Hanya—hanya saja, itu sebuah kehormatan.”

    “Ah, kau.. kau mengaguminya, ha?” ujar si Pelukis.

    “Siapa yang tidak mengagumi Dr. Hitz?” ucap Duncan, tatapannya memuja lukisan Hitz. Potretnya bak Zeus, berkulit coklat, berambut putih, pria berumur dua ratus empat puluh tahun yang maha kuasa. 

    “Siapa yang tidak mengaguminya?” ulang Duncan. “Ia bertanggung jawab membangun kamar eksekusi pertama di Chicago.”

    “Tak ada yang lebih menggembirakanku,” ucap si Pelukis, “daripada menempatkanmu di samping Dr. Hitz selamanya. Menggergaji ranting— yang menurutmu tepat?”

    “Itu hampir seperti apa yang aku lakukan,” ucapnya. Tentang pekerjaannya, cara bicaranya seketika melembut. Yang dia lakukan adalah membuat orang-orang merasa nyaman selagi ia membunuh mereka.

    Dan, sementara Leora Duncan berpose untuk mural, ke dalam ruang tunggu masuklah Dr. Hitz.

    Ia setinggi tujuh kaki, auranya menguarkan rasa penting, prestasi dan kesenangan hidup.

    “Wah, Nona Duncan! Nona Duncan!” ucapnya, disusul sebuah lelucon, “Apa yang kau lakukan di sini? Ini bukan tempat orang-orang ingin pergi, ini tempat orang-orang akan datang!”

    “Kita akan berada dalam sebuah lukisan yang sama,” ucapnya malu-malu.

    “Bagus!” ucap Dr. Hitz sepenuh hati. “Dan, oh, lihatnya.. bukankah lukisannya menakjubkan?”

    “Saya merasa sangat terhormat bisa ada di dalamnya bersama Anda,” ucap Duncan.

    “Biar kuberi tahu sesuatu,” ucap Dr. Hitz, “Aku lebih merasa terhormat berada dalam lukisan yang sama denganmu. Tanpa wanita sepertimu, dunia kita yang mengagumkan ini tidak akan mungkin ada.”

    Ia memberi hormat, dan berlalu menuju ruang bersalin. “Tebak siapa yang baru saja lahir,” ucapnya.

    “Aku tidak tahu,” jawab Duncan.

    “Kembar tiga!” ujarnya.

    “Kembar tiga!” seru Duncan. Ia berseru karena teringat implikasi hukum tentang bayi kembar tiga. Hukum menetapkan bahwa tidak ada bayi yang bisa lahir kecuali orang tuanya menemukan seseorang yang rela mati untuk memberikan tempat pada bayi itu. Kembar tiga, dan jika semuanya hidup itu artinya tiga sukarelawan untuk bunuh diri.

    “Apakah orang tuanya sudah menemukan sukarelawan?” tanya Leora Duncan.

    “Kabar terakhir,” ujar Dr. Hitz, “mereka hanya punya satu, dan sedang berusaha mencari dua lagi.”

    “Aku tidak yakin,” ucap Leora Duncan. “Tidak ada yang membuat janji untuk tiga orang dengan divisi kami. Hari ini hanya ada janji tunggal, kecuali ada yang menelpon setelah aku pergi. Siapa namanya?”

    “Wehling,” jawab si Calon Ayah. Berdiri; matanya merah, rambutnya acak-acakan. “Namanya Edward K. Wehling, Jr. Saya, calon Ayah yang berbahagia.” Wehling mengangkat tangan kanannya, menatap sebuah noda di dinding dan tertawa serak. “Hadir,” ujarnya.

    “Oh, Tuan Wehling,” ucap Dr. Hitz, “Aku tidak melihatmu di sana.”

    “Si Pria Tak Tampak,” ucap Wehling.

    “Mereka baru saja memberi kabar, ketiga bayimu telah lahir,” ucap Dr. Hitz. “Semuanya sehat, begitu juga dengan ibunya. Aku dalam perjalanan menemui mereka.”

    “Hore,” seru Wehling dengan hampa.

    “Kau tidak terlihat bahagia,” ucap Dr. Hitz.

    “Pria mana yang tidak bahagia, jika berada di posisiku saat ini?” tanya Wehling. Ia mengayunkan tangannya seolah tidak peduli, “Yang harus aku lakukan hanya memilih satu dari ketiga anak kembarku untuk bisa hidup dan mengantar kakek kandungku untuk dieksekusi lalu kembali ke sini membawa sebuah surat keterangan.”

    Dr. Hitz menatap Wehling dengan tajam. Ia menegakkan tubuhnya yang menjulang di atas Wehling, “Anda tidak setuju dengan usaha pengontrolan populasi, Tuan Wehling?” ucapnya.

    “Saya kira usaha itu sudah sangat sempurna,” jawab Wehling tegang.

    “Apa kau lebih suka kita kembali ke masa lalu, ketika populasi bumi masih dua puluh milyar—menuju empat puluh milyar, lalu delapan puluh milyar, lalu seratus enam puluh milyar? Apa kau tahu apa itu drupelet, Tuan Wehlin?” ujar Hitz.

    “Tidak,” ucap Wehling bersungut.

    Drupelet,” Tuan Wehling, “adalah sebuah ranting kecil pada sebonggol buat beri hitam,” ucap Hitz. “Tanpa kontrol populasi, saat ini, manusia akan berdesakan di Bumi kita yang tua ini seperti sebonggol buah beri! Pikirlah!”

    Wehling kembali menatap noda pada dinding rumah sakit.

    “Di tahun 2000,” ucap Dr. Hitz, “sebelum ilmuwan ikut campur dan menetapkan undang-undangan, kita tidak punya cukup air minum untuk semua orang, dan tidak ada yang bisa dimakan selain rumput laut—dan meskipun begitu, orang-orang tetap menuntut hak untuk bereproduksi seperti kelinci. Dan juga hak, jika mungkin, untuk hidup abadi.”

    “Aku menginginkan anak-anakku,” ucap Wehling pelan, “Ketiganya.”

    “Tentu saja,” ucap Dr. Hitz, “Itu normal.”

    “Aku juga tidak ingin Kakekku mati,” ucap Wehling.

    “Tidak ada orang yang suka memasukkan saudara kandung mereka ke Kotak Kucing,” ucap Hitz dengan simpati.

    “Aku harap orang-orang tidak menyebutnya begitu,” ujar Leora Duncan.

    “Apa?” tanya Dr. Hitz.

    “Aku berharap orang-orang tidak menyebutnya ‘Kotak Kucing’, atau semacamnya,” ucap Duncan. “Sebutan itu memberi kesan yang salah.” 

    “Kau benar,” ucap Dr. Hitz. “Maafkan aku,” ia mengkoreksi dirinya sendiri, lalu menyebut Ruang Eksekusi Kota dengan nama resminya, sebutan yang tidak pernah digunakan orang dalam percakapan mana pun. “Seharusnya aku sebut dengan Studio Bunuh Diri Etis,” ucapnya.

    “Terdengar lebih baik,” ucap Leora Duncan.

    “Anakmu—yang mana pun yang kau putuskan untuk bisa hidup, Tuan Wehling,” ucap Dr. Hitz. “Ia akan hidup bahagia di planet yang lapang, bersih, dan kaya—semua berkat kontrol populasi yang kami lakukan. Persis seperti lukisan taman itu.” Ia menggeleng. “Dua abad lalu, ketika aku masih muda, tempat ini seperti neraka yang kelihatannya tidak akan bertahan hingga dua puluh tahun. Abad ini, adalah abad yang damai. Tempat ini seluas imaginasi kita sanggup berkelana.”

    Senyumnya tersimpul. 

    Namun senyum itu hilang ketika ia melihat Wehling mengeluarkan sebuah revolver.

    Wehling menembak mati Dr. Hitz. “Nah, itu satu ruang kosong—ruang yang besar.”

    Dan kemudian ia menembak Leora Duncan, “Jangan khawatir, ini cuma mati,” ujarnya ketika Duncan jatuh ke lantai. “Nah, ruang kedua sudah kosong.” Kemudian, ia menembak dirinya sendiri, memberikan kesempatan hidup untuk ketiga bayi kembarnya. 

    Tidak ada orang yang datang. Tidak ada, tampaknya, tidak ada yang mendengar suara tembakan. Si Pelukis duduk di puncak tangga, termenung melihat ke bawah; pemandangan yang menyedihkan.

    Si Pelukis merenungkan teka-teki penuh duka dari kehidupan yang menuntut kelahiran, dan ketika lahir, menuntut untuk subur.. berkembang biak dan hidup selama mungkin—dan melakukan semuanya di planet kecil yang harus bertahan selamanya.

    Jawaban yang bisa ia pikirkan, semuanya suram. Bahkan lebih suram daripada sebuah Kotak Kucing, Happy Hooligan, atau Easy Go. Ia memikirkan tentang perang, wabah, dan kelaparan.

    Seketika ia sadar, ia tak akan pernah melukis lagi. Ia membiarkan kuasnya jatuh. Kemudian, memutuskan ia sudah cukup hidup dalam Kebun Kehidupan yang Bahagia ini. Perlahan, ia turuni anak tangga demi anak tangga.

    Ia mengambil pistol Wehling, bermaksud menembak dirinya sendiri. Tapi, tak punya keberanian untuk itu. Si Pelukis kemudian melihat telepon di sudut ruangan. Ia mendekat dan menekan nomor yang sangat diingatnya, “2BR02B.”

    “Biro Eksekusi Federal,” jawab suara hangat di ujung telepon.

    “Seberapa cepat aku bisa membuat janji?” tanyanya hati-hati.

    “Kami dapat memasukkan Anda dalam daftar siang ini, Tuan,” jawabnya. “Mungkin bisa lebih awal, jika ada pembatalan.”

    “Baiklah,” ucap si Pelukis. “Tolong masukkan aku dalam daftar.” Ia memberikan namanya, mengeja hufur per huruf.

    “Terima kasih, Tuan,” ucap si Penerima Telepon. “Kota ini berterima kasih kepada Anda, negara ini berterima kasih kepada Anda, planet ini berterima kasih kepada Anda. Tapi rasa syukur kepada Anda yang paling dalam berasal dari generasi yang akan datang.”

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Maira Noorshabrina Munaf

    Guru selalu membantu kita kalau ada masalah. Karena itulah, kita harus menghormati dan mendengarkan guru. Guru bisa saja marah. Tapi, waktu marah itu, bukan berarti guru tidak menyayangi kita atau tidak peduli pada kita. Tahun lalu, saat aku masih kelas 3 SD, guru wali kelasku adalah Pak Tegar dan Ibu Debby. Tahun ini, aku sudah naik kelas empat. Guru wali kelasku sudah tidak sama lagi.

    Saat awal masuk kelas empat, guru wali kelasku memperkenalkan dirinya. Namanya Ibu Ika. Dia mengajar pelajaran matematika. Ibu Ika tidak hanya mengajar di kelasku, tapi juga di kelas lainnya.

    Guru Bahasa Inggris aku adalah Ibu Suci. Kalau guru Bahasa Indonesia aku adalah Pak Danu. Ibu Suci dan Pak Danu juga mengajar di kelas lainnya.

    Pelajaran tahun ini semakin sulit dibandingkan tahun lalu. Tapi, guruku selalu menerangkan terus-menerus sampai kami mengerti pelajarannya. Guruku selalu membantu kami kalau ada masalah. Misalnya, kalau salah satu dari kami ada yang merasa sakit atau tidak nyaman, ibu bapak guru akan segera membawa kami ke Unit Kesehatan Sekolah, atau sering disingkat UKS. Kita harus menghormati bapak ibu guru karena mereka selalu menjaga kita saat di sekolah.

    Setiap guru pasti mempunyai peraturan di kelas. Kami harus mematuhi peraturan yang telah dibuat oleh guru kami. Tapi, masih ada saja beberapa murid yang tidak mau mematuhi peraturan itu. Misalnya, kami tidak boleh berlari dan bermain di kelas, tapi masih ada yang berlari dan bermain di kelas. Hal itu menyebabkan murid-murid yang lain bisa terganggu dalam belajar.

    Kalau kami tidak mematuhi peraturannya, guru kami bisa marah. Guru kami marah bukan karena guru kami tidak menyayangi atau tidak peduli, tapi karena mereka menyayangi kami dan ingin kami menjadi murid yang lebih baik. Waktu kami tidak mematuhi peraturan, guru kami memberi kami peringatan. Tetapi, biasanya kami masih saja melakukan hal yang sama, tetap tidak mematuhi peraturan. Seharusnya kami selalu mematuhi peraturannya, agar kami tidak mendapat peringatan.

    Di sekolah kami, juga terdapat banyak peraturan. Salah satunya adalah kami harus menjaga kelas dan area sekolah lainnya bersih dan rapi. Setiap hari ada beberapa murid yang ditugaskan untuk merapikan dan membersihkan kelas. Ada yang ditugaskan untuk merapikan buku, merapikan meja dan kursi, dan ada yang ditugaskan untuk memastikan laci murid-murid sudah bersih. Dengan itu kami sudah membantu guru kami dan juga membantu petugas kebersihan sekolah untuk membersihkan dan merapikan kelas.

    Di sekolahku ada banyak pelajaran. Ada pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Science, Social Studies, Kesehatan, Matematika, Kesenian, Musik, Agama, Komputer, dan Olahraga. Setiap pelajaran selalu ada guru yang mengajari kami tentang pelajarannya dengan cara yang mengasyikkan. Setiap pelajaran juga selalu ada ujian dan ulangannya. Guru kami selalu menyiapkan lembar pekerjaan sebelum ujian atau ulangannya dimulai.

    Guru kami telah melakukan banyak hal untuk kami, agar kami menjadi pintar dan lebih baik. Karena itu, kami harus berterima kasih kepada guru kami. Sebenarnya, guru kami sudah merasa sangat senang kalau kami menjadi murid yang baik. Jadi, untuk membanggakan guru kami, setiap murid harus menjadi murid yang baik.

    Semua guru yang mengajariku adalah guru idolaku. Karena, semua guru telah melakukan segala hal yang terbaik untukku dan teman-temanku. Mereka sudah menjaga kami. Mereka juga sudah menjadikan kami murid yang lebih baik.

    Terima kasih guru-guruku.

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Valerie Adelia Gunara

    Namaku Valerie. Aku bersekolah di Kinderfield Duren Sawit. Sekarang aku duduk di kelas 4 SD. Kelasku adalah P4 White. Aku senang bersekolah di sini karena aku punya banyak teman. Pelajarannya menyenangkan, dan gurunya pun baik-baik.

    Sekolahku tidak jauh dari rumah. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 4,7 km dan dapat ditempuh selama 15—20 menit. Setiap hari aku bangun tidur jam 06.30 pagi, kemudian bersiap-siap dan berangkat jam 7 dari rumah ke sekolah. Aku berangkat ke sekolah bersama adikku, karena adikku juga bersekolah di Kinderfield Duren Sawit dan duduk di kelas TK-A White. Ibuku mengantar aku ke sekolah setiap hari. Setelah itu, ibuku berangkat ke kantor. Sedangkan nenekku setiap hari menjemput aku di sekolah.

    Di sekolahku setiap hari ada pelajaran Matematika. Yang mengajar bernama Ibu Verika. Ibu Verika juga adalah wali kelasku. Aku senang diajar oleh Ibu Verika karena aku dapat mengerti pelajaran Matematika dengan mudah. Sekarang aku sedang belajar mengenai sudut. Pada saat pelajaran sudut, aku diharuskan membawa penggaris busur untuk menghitung sudut. Beberapa hari lalu, busurku kotor sehingga angkanya tidak terlihat dengan jelas. Kemudian, Ibu membelikanku busur yang baru. Sekarang aku dapat belajr sudut lebih baik lagi.

    Selain pelajaran Matematika, setiap hari aku juga belajar pelajaran Bahasa Inggris dengan Ibu Suci. Suatu hari anak laki-laki di kelasku membuat pesawat kertas pada saat pelajaran berlangsung. Ibu Suci tidak memarahi anak muridnya tersebut, melainkan ikut membuat pesawat kertas juga. Sungguh menyenangkan belajar bersama ibu Suci.

    Ada juga pelajaran Science, tetapi tidak setiap hari aku belajar Science. Yang mengajar adalah Ibu Lumi. Pelajaran Science bisa sangat menyenangkan karena aku dan teman-teman dapat pergi ke laboratorium. Kami pernah ke laboratorium untuk melakukan percobaan mengenai sel. Saat itu aku melihat sel dan alat pernapasan ikan. Aku dan teman-teman sangat tertarik dan senang.

    Ibu Lumi juga mengajar Health Education kepada kami. Saat pelajaran mengenai kesehatan, aku mendapatkan ilmu yang banyak. Salah satunya mengenai masa pubertas. Aku jadi tahu bahwa laki-laki dan perempuan akan melalui masa pubertas. Anak perempuan akan mengalami menstruasi. Dan apabila saat itu datang, kita harus menjaga kebersihan tubuh kita supaya terhindar dari penyakit yang berbahaya.

    Di sekolahku ada pelajaran Agama setiap hari Kamis. Ada lima macam agama, yaitu Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Islam. Aku beragama Kristen dan aku sangat senang mempelajari tentang Alkitab. Guruku bernama Pak Samuel. Dan ada satu temanku di sekolah yang juga beragama Kristen dan ke gereja yang sama denganku. Dia bernama Alexa. Kami bersama setiap Minggu di gereja. Demikian juga pada saat pelajaran Agama di sekolah. Pada saat pelajaran Agama, aku membawa Alkitab dari rumah. Pak Samuel senang bercerita mengenai firman Tuhan dengan cara yang lucu. Terkadang Pak Samuel memutarkan film mengenai Tuhan Yesus supaya kami tidak bosan dan mudah memelajarinya.

    Bahasa Indonesia adalah bahasaku sehari-hari di rumah, sedangkan kalau di sekolah aku berbahasa Inggris. Pak Danu mengajarkan Bahasa Indonesia dan Pak Danu memberikan tugas untuk membuat cerita sepanjang 500—2.000 kata. Tugas itu untuk membuat kami pandai berbahasa Indonesia dan lebih mudah bercerita.

    Salah satu pelajaran yang aku suka adalah Olahraga karena olahraga membuat badan kita sehat dan juga membuat kita bermain di luar kelas. Olahraga diajarkan oleh Pak Abid. Sejak kelas 1 sampai kelas 3, aku masuk ke dalam tim renang sekolah. Akan tetapi, sekarang tidak lagi karena aku lebih menyukai bernyanyi sehingga aku masuk ke dalam tim paduan suara sekolah. Besok aku akan ikut audisi untuk menjadi penyanyi solo. Tetapi aku tetap menyukai pelajaran Olahraga di sekolah, karena hal itu menyenangkan. Saat paduan suara, aku juga belajar untuk bermain angklung. Paduan suara diajarkan oleh Ibu Sally dan Ibu Jessica. Ibu Sally adalah pengarang lagu anak-anak.

    Selain paduan suara, aku juga belajar musik di sekolah. Beberapa waktu lalu saat pelajaran musik, aku belajar bermain suling dan menjadi dirigen. Yang mengajari musik adalah Ibu Mela. Ibu Mela juga terkenal sebagai penyanyi dan pemain musik. Ayahku juga seorang pemain musik, dia bisa bermain bermacam-macam alat musik, terutama piano. Tetapi aku tidak menyukai bermain piano, aku lebih suka bernyanyi.

    Saat aku kecil aku pernah bermain drum. Akan tetapi, aku tidak terlalu suka sehingga aku tidak pandai bermain musik. Ibuku berjanji akan memasukan aku les vokal apabila aku lolos audisi penyanyi solo. Ibuku berkali-kali berkata bahwa aku akan les vokal tetapi sampai sekarang aku belum ikutan les. Mungkin ibuku khawatir aku bosan apabila les vokal. Sebenarnya aku sangat ingin les vokal. Semoga aku lolos audisinya agar dapat les vokal segera.

    Ibu Guru Irti mengajarkan pelajaran seni. Ibu Irti mengajarakanku menggambar manusia. Nanti, aku juga akan diajarkan untuk melukis di pelajaran seni.

    Pelajaran bahasa asing selain Bahasa Inggris adalah Bahasa Mandarin. Walaupun aku keturunan Cina tetapi aku tidak mengerti bahasa Mandarin, demikian juga ibu dan bapakku. Walaupun pelajaran Bahasa Mandarin sulit, tetapi aku mendapatkan nilai yang bagus. Guru yang mengajar sangat pandai berbahasa Mandarin, namanya Huang Laoshi.

    Pelajaran yang paling sulit adalah Social Studies, karena banyak sekali hafalannya. Social Studies diajarkan oleh Ibu Rika. Akan tetapi, sekarang ini Ibu Rika sedang cuti melahirkan dan guru penggantinya adalah Ibu Egi. Ibu Egi juga baik dan aku dapat mempelajari Social Studies dengan baik.

    Dari semua pelajaran tersebut, aku paling menyukai pelajaran Agama, Olahraga, dan Health Education. Semuanya menyenangkan untukku. Semoga aku mendapatkan nilai yang baik untuk semua pelajaran. Dan guru yang paling aku suka adalah Pak Abid, karena dia lucu. Pernah dia menyebutkan namanya Abray, sesuai dengan tulisan nama di belakang bajunya. Aku juga mempunyai teman yang paling aku sukai, yaitu Tiara Maharani, Rere, Giselle, dan Bitha. Setiap hari aku bermain bersama mereka pada saat istirahat. Mereka adalah teman yang baik dan menyenagkan.

    Di sekolahku juga ada banyak acara-acara, seperti 17 Agustus, karya wisata, perayaan Idul Fitri, dan Natal. Kami merayakan bersama-sama karena kami adalah Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu sesuai dengan semboyan negara Indonesia.

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Josephine Everly Winata Lim

    Hai teman-teman, namaku Josephine Everly Winata Lim. Saat ini saya duduk di kelas lima di Kinderfield Primary School. Sekolahku berlokasi di Jalan Rawa Domba nomor 88, Jakarta Timur. Setiap hari aku bangun pukul 05.30. Setelah sarapan pagi, aku dan kakak berangkat sekolah bersama-sama karena kakak bersekolah di SMP Highfield yang berlokasi di gedung yang sama. Suasana lingkungan di sekolah sangat nyaman. Di pinggir pagar tembok sekolah ditanami pohon-pohon yang rindang sehingga angin terasa sepoi-sepoi dan taman sekolah yang ditanami rumput seperti karpet hijau yang terbentang.

    Di sekolahku kami masuk pada pukul 07.15. Ada kebiasaan khusus di sekolah kami yaitu sebelum memasuki kelas kami akan menyanyikan satu Lagu Nasional dan lagu Sekolah Kinderfield. Tujuan kami menyanyikan lagu tersebut, sebelum dimulai pelajaran agar kami belajar mencintai dan mengenal lagu nasional dan membangkitkan semangat supaya kita lebih segar ketika pelajaran dimulai. Dan menurut saya hal tersebut sangat efektif karena setelah bernyanyi kondisi badan menjadi lebih segar dan bersemangat.

    Di sekolah ada satu hal yang cukup menyenangkan yaitu jika ada pelajaran yang memerlukan pengenalan secara langsung maka guru akan langsung memberikan praktek ke lapangan. Contoh, saat pelajaran Science tentang lingkungan alam dan mengenal jenis bentuk daun, setelah ibu guru menerangkan teori di kelas, setelah itu kami diajak ke lapangan sekolah untuk belajar mengenal lingkungan alam dan bentuk bentuk daun di taman belakang sekolah. Selain praktek di lapangan kami juga sering melakukan eksperimen di laboratorium. Semua murid merasa sangat senang karena kami akan menggunakan alat-alat khusus dalam eksperimen. Sebelum pelajaran dimulai ibu guru mulai memberikan penjelasan tentang nama alat-alat tersebut dan kegunaannya. Para siswa merasa bersemangat karena mendapatkan pengalaman baru yang menarik di laboratorium.

    Saat jam istirahat, kami segera turun ke kantin. Kantin di sekolahku sangat besar, kadang di kantin terdengar suara kicauan burung yang berterbangan di luar. Karena di sekolah banyak ditanami pohon sehingga banyak pula burung yang hinggap di sana. Di kantin sekolah ada dijual bermacam-macam makanan dan minuman seperti jus buah, susu, sayuran dan makanan. Semua makanan yang dijual di kantin sekolah diawasi langsung oleh pihak sekolah dan dipastikan tidak menggunakan penyedap rasa untuk menjamin kesehatan para siswa. Pembayaran makanan di kantin sekolah tidak menerima uang tunai jadi para siswa umumnya membeli kupon di ruang adminstrasi terlebih dahulu.

    Teman-teman, jika saya kehabisan air di botol minum, saya bisa mengisi ulang di sekolah, karena di setiap lantai sekolah termasuk di kantin disediakan air mineral isi ulang. Hal tersebut memudahkan para siswa untuk mengisi botol kembali. Apalagi jika sehabis pelajaran olahraga, badan yang sudah lelah dan kehausan memerlukan cairan yang lebih banyak.

    Suasana lingkungan sekolah yang nyaman serta fasilitas yang mendukung disertai dengan guru-guru yang selalu membantu para siswa membuat kami dapat belajar dengan maksimal. Di sekolah kami biasa mengadakan diskusi dalam suatu materi. Sehingga anak-anak menjadi aktif di kelas. Berani bertanya dan berani menjawab menjadi suatu kebiasaan kami dalam berdiskusi. Jika ada pelajaran yang belum kami mengerti, kami dapat bertanya atau minta diajarkan kembali oleh ibu guru setelah jam sekolah usai. Ibu guru selalu menanyakan apakah ada pertanyaan atau ada yang belum jelas dimengerti oleh kami. Biasanya jika tidak ada pertanyaan dari para murid, ibu guru akan memberi pertanyaan kepada satu per satu murid dalam kelas itu. Beberapa anak murid yang tidak terlalu bisa dalam suatu pelajaran maka guru akan mengadakan kelas tambahan untuk anak murid di materi tersebut setelah jam sekolah usai.

    Sekolah juga sangat mendukung dan memfasilitasi siswa yang memiliki bakat khusus untuk berkembang lebih baik lagi. Adanya program bakat siswa yang diadakan oleh pihak sekolah seperti program berenang, futsal, marching band, balet, dan musik. Tahun ini sekolah kami mendapatkan kesempatan untuk tampil di Istana Negara pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia untuk mementaskan marching band anak. Prestasi lain juga didapatkan dari program renang. Salah satu temanku yang bernama Sharla, dia adalah siswa yang berprestasi di olahraga renang. Sekolah juga mendukung hal tersebut dan membantu melatih dia untuk berkembang lebih baik, sehingga akhirnya dia menjadi perwakilan dari Jakarta Timur untuk perlombaan renang antar provinsi. Itu memotivasi dan memacu siswa lainnya untuk mendapatkan prestasi yang baik di bidangnya masing-masing. Dan saya juga ikut termotivasi untuk bisa menjadi pemain piano yang bisa menghasilkan prestasi yang baik seperti yang lainnya.

    Saya merasa beruntung bisa bersekolah di tempat yang baik, yang selalu memberikan dukungan dan fasilitas bagi para siswa untuk berkembang menjadi pelajar yang lebih bertanggung jawab terhadap cita-cita yang diimpikannya. Semoga ke depan saya bisa menjadi siswa yang berprestasi yang dapat dibanggakan oleh orang tua dan sekolah. Terima kasih untuk para guru yang selalu memberikan dukungannya tanpa rasa lelah kepada kami para murid.

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Polanco Surya Achri

    Sebelum Tidur

    Aku suka bermain bayangan dengan kedua tanganku
    membuat bentuk-bentuk yang mirip dengan hewan, lalu
    bercerita seperi Ayah saat mencerita pertualangan Kancil.

    2018

    Aroki

    Aroki, adalah nama sepedaku. Warnanya ungu
    seperti warna awan yang berarak di langit malam.
    Aku sangat senang bersepeda, karena seperti terbang.
    Angin berhembus dengan kencang. Aku sangat senang
    bersepeda bersama Aroki.

    2018

    Rebit

    Namanya Rebit, dan dia adalah boneka kelinciku.
    Dia berbadan besar, dan bertelinga panjang. Dia juga
    mempunyai bulu berwarna coklat yang sangat lembut.
    Rebit suka mengajakku bermain di Kota Cahaya,
    dan aku merasa seperti Alice, yang ada di Wonderland.

    2018

    Kali Mbah Suma

    Saat masih kelas 1 dan 2, aku sering pulang sekolah melewati
    Kali Mbah Suma. Aku sering pulang bersama teman-temanku.
    Di samping gereja, yang ada di dekat Kali Mbah Suma, kami
    sering berhenti sebentar. Mencari kereweng atau batu pipih untuk
    berlomba: banyak-banyakan loncatan dari batu yang akan kami
    lemparkan ke sungai. Di dekat Kali Mbah Suma, ada rumah berpagar hijau.
    Di sana memelihara anjing. Kami selalu berlari saat melewatinya:
    karena takut digigit, juga ngeri saat mendengar suaranya.

    2017-2018

    Sehabis Hujan

    Aku suka berjalan-jalan di sekitar rumah. Bermain air dan melihat
    bayang-bayangku di genangan hujan. Aku sering membawa sesobek kertas
    yang akan kubuat menjadi kapal-kapalan, dan akan kubiarkan mengambang.
    Ah, aku ingat, semalam Bunda menceritakan kisah Nabi Nuh kepadaku.

    2017-2018

    Mengejar Layangan

    Aku tidak begitu pandai menerbangkan layangan
    tapi aku suka menemani dan membantu sepupuku
    menerbangkannya. Saat yang paling kusukai adalah
    saat melihat layangan yang beradu di langit, dan saat
    ada layangan yang putus aku akan mengejarnya, sambil
    berteriak dengan penuh semangat: Gaaabuuuullll . . .

    2017-2018

    Bermain Bola Plastik

    Kami akan mengumpulkan sisa uang jajan, untuk membeli bola
    dan bermain di lapangan dekat Masjid. Sepasang sandal akan
    menjadi gawang yang dihitung dengan langkah perlahan di dua sisi.
    Hujan bukanlah halangan, dia adalah penambah keasyikan bermain.

    2018

    Memancing

    Saat hari libur, aku sering diajak Ayah pergi memancing.
    Ayah mengajariku bagaimana cara memasang umpan di kail
    dan melemparkan pancing ke dalam air. Ayah sering bilang
    memancing itu harus sabar. Ayah akan membantuku menarik
    pancing saat umpan sudah di makan ikan. Berat! Ternyata, ikan
    yang aku dapat sangat besar. Ayah bilang, itu buah kesabaran.

    2018

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Nova Azzalia Putri

    Udara di Pegunungan

    udara di pegunungan sangat dingin
    di sana banyak pohon yang menggigil
    daun-daun kering beterbangan
    di sana banyak rumput dan tanaman
    juga kayu-kayu kering masih berbau embun
    dan pohon yang sangat tinggi

    Pohon yang Sangat Tinggi

    aku melihat pohon durian
    pohon durian yang sangat tinggi
    pohon itu tumbuh besar dan sangat lama
    lebih lama dari umur manusia
    setiap pagi aku melihat pohon itu
    berdiri seperti membeku

    Pohon Pisang

    pohon pisang berbuah satu kali
    seperti kita yang hidup hanya satu kali
    pohon pisang mempunyai jantung
    seperti kita juga mempunyai jantung
    pohon pisang tumbuh puluhan tahun

    Pohon Jambu Biji

    aku suka memanjat pohon jambu biji
    tumbuh di samping rumah mbah uti*
    kalau aku sakit perut
    daunnya bisa untuk obat
    buahnya mengandung vitamin c

    *mbah uti= Simbah putri, nenek

    Di Sungai Belakang Rumah

    banyak ikan berenang
    menyusuri arus
    segerombolan udang
    bersembunyi di batu-batu
    aku melihat kepiting
    sedang mencari makan
    untuk anaknya yang kelaparan

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Dean Agha Koeswantoro

    Setiap tahun sekolahku menyelenggarakan pameran sains. Dalam acara tersebut, siswa-siswi diberi kesempatan untuk memilih tema dan melakukan penelitian yang berhubungan dengan tema tersebut. Setelah itu, mereka akan mempresentasikan hasil penelitiannya kepada juri. Kemudian juri akan menilai presentasinya dan membandingkan dengan presentasi peserta yang lain. Setelah dibandingkan dan dipilih pemenangnya, pemenang akan dipanggil ke panggung dan diberi hadiah.

    Berikut ini adalah cerita tentang pameran sains di sekolahku.

    Ketika aku mendapat berita bahwa sekolahku akan mengadakan pameran sains, aku senang sekali. Akhirnya aku bisa melakukan apa yang dilakukan orang yang pernah aku lihat di televisi. Setelah mendengarkan beritanya, aku langsung mencari di internet tentang bagaimana melakukan presentasi sains yang bagus. Aku membaca banyak artikel tentang pameran sains.

    Setelah membaca artikelnya, aku harus memilih tema apa yang akan aku kerjakan. Ada banyak sekali tema yang bisa aku pilih. Tapi aku tidak ingin yang terlalu susah. Karena khawatir tidak selesai mengerjakan semua rangkaian penelitiannya. Pertama, aku ingin memilih tema pemurnian air. Tapi aku pikir itu terlalu susah untuk dikerjakan dalam waktu yang singkat. Jadi, aku mencari tema penelitian yang lain. Kemudian aku menemukan tema mengenai pengelompokan daun. Aku memutuskan untuk memilih tema itu.

    Dalam melakukan penelitian, aku harus mengumpulkan daun, meneliti, dan membaginya menurut bentuk dan warna daun. Aku dibantu oleh teman kakekku untuk mengumpulkan daun di sekitar lingkungan rumahku. Karena ada banyak daun yang berbeda, aku bisa membaginya menjadi lebih banyak kelompok.

    Setelah dikumpulkan daunnya, aku harus menelitinya. Aku melihat dengan detail daunnya, baik warna maupun bentuknya. Ada yang berbentuk panjang, berwarna gelap, berbentuk pendek, berwarna terang dan lain sebagainya.

    Setelah diteliti, daunnya aku foto dan tempel di poster yang akan aku gunakan untuk melakukan presentasi. Di poster itu aku juga menulis caraku melakukan eksperimen, hipotesaku, dan kesimpulan dari eksperimenku. Poster itu aku buat dari kertas karton. Posternya aku buat bersama ibuku. Kami harus membuat posternya dengan rapih supaya juri tidak bingung dan pusing.

    Setelah membuat poster di rumah, aku membawanya ke sekolah keesokan harinya. Ketika sudah sampai di sekolah, aku mencari mejaku yang sudah dinamai oleh panitia pameran sains. Setelah menemukan mejaku, aku menyiapkan posterku di meja. Sebelum jurinya datang ke mejaku, aku mengingat kalimat-kalimat yang sudah aku siapkan sebelum ke sekolah. Itu adalah kalimat-kalimat yang akan aku sampaikan pada juri.

    Akhirnya juri menghampiri mejaku lalu aku melakukan presentasi. Setelah melihat presentasiku, juri menilai presentasiku. Aku sedikit mendengar kalau aku mendapat nilai yang bagus untuk presentasiku. Setelah aku mendapat berita kalau nilaiku bagus, aku langsung senang sekali. Sebelum diumumkan pemenangnya, aku ingin keliling ruangan pameran sains yang dipenuhi dengan tugas anak lain.

    Aku sudah melihat tugas anak-anak yang lain. Setelah melihat semuanya, aku khawatir aku tidak menang. Ketika sudah waktunya untuk mengumumkan pemenangnya, aku tidak sabar untuk mengetahui siapa yang menang. Supaya lebih membuat ketegangan, pertama kali pembawa acara mengumumkan juara ketiga, diikuti oleh juara kedua, dan terakhir juara pertama. Setelah menunggu lama untuk juara ketiga dan kedua, aku mendengar namaku disebutkan oleh pembawa acara. Aku pemenang pertama pameran sains di sekolahku.

    Setelah pembagian hadiah, semuanya membereskan meja sendiri. Setelah selesai membereskan meja, aku langsung pulang.

    Bagian terfavoritku dalam eksperimen ini adalah ketika aku meneliti daunnya dan menempelkannya di poster. Aku juga suka melihat-lihat eksperimen anak-anak yang lain. Pengalaman ini sangat menyenangkan.

  • Pohon Pisang dan Puisi-puisi Lain

    author = Fatimah Salsabila Az-Zahra

    Ayah Nina bekerja di luar kota dan selalu pulang ke rumah seminggu sekali. Setiap ayah pulang, Nina selalu dibawakan banyak sekali cokelat dan kue manis berwarna-warni. Sayangnya, Nina tidak mau berbagi dengan Fina, adiknya. Nina memilih untuk menyembunyikan cokelat dan kue-kue kesukaannya di kamar.

    “Aku makan di kamar saja, ah!
    Biar Fina tidak minta!” kata Nina dalam hati sambil membawa satu toples penuh
    berisi cokelat.

    Nina suka sekali makan cokelat di
    kamar sambil membaca buku atau menggambar. Sayangnya, dia selalu lupa membuang
    bungkus cokelatnya dan membersihkan remah-remah yang tertinggal di tempat
    tidurnya.

    Sudah satu minggu Nina selalu
    makan cokelat di kamar dan bahkan menyelipkan bungkusnya di sela-sela tempat
    tidur! Hiyyy!

    Suatu malam, saat jarum jam
    menunjukkan pukul dua pagi, tiba-tiba Nina mendengar suara gaduh di dalam
    kamarnya. Nina terbangun dan merasa ketakutan.

    “Bagaimana ini?” sebuah suara
    terdengar dari bawah. Nina takut sekali dan tidak berani bergerak.

    “Lapor, Raja! Ada makanan yang
    belum terangkut. Kami kesulitan karena tempatnya di dekat bantal Nina.”

    Nina terkejut. Dari balik karpet,
    muncul dua ekor semut yang berukuran lebih besar dari biasanya. Mereka bahkan
    berbicara satu sama lain seperti manusia! “Apakah aku bermimpi?” tanya Nina
    dalam hati.

    Tiba-tiba sesuatu merayap di balik
    tempat tidur Nina. Badan Nina tiba-tiba terangkat. Nina sangat terkejut melihat
    dua semut raksasa menarik rambutnya, sementara lima semut raksasa lainnya
    berusaha mengangkat tubuhnya.

    “Ayo kita pindahkan Nina agar
    bisa mengambil makanan terakhir itu!” perintah salah satu semut yang ada di
    atas karpet.

    Rupanya para semut mengira Nina
    masih terlelap dan mereka ingin memindahkan Nina agar lebih mudah mengambil
    bungkus cokelat yang masih terdapat sisa-sisa cokelat di pinggirannya. Bungkus
    cokelat itu semalam Nina buang begitu saja di dekat bantal sebelum tidur.

    “AAA! Tidaaak! Tolong! Ayah, Ibu!
    Tolong Nina!” teriak Nina.

    Para semut pun terkejut karena
    Nina yang menjerit ketakutan. Tiba-tiba seekor semut yang berukuran paling
    besar mendekat ke arah Nina yang menangis ketakutan. “Oh, maaf Nina kami
    mengganggu tidurmu. Tapi kami sangat menyukai makanan-makanan yang kamu
    tinggalkan di tempat tidurmu.”

    Kemudian, semut-semut itu kembali
    mencoba mengangkat tubuh Nina yang berteriak ketakutan. “Ayah! Ibu!”

    “Nina! Ada apa, sayang?”

    Nina membuka matanya dan melihat
    ibu yang keheranan. Nina merasa lega karena ternyata tadi hanya mimpi. Nina pun
    memeluk ibu erat-erat sambil berjanji untuk membersihkan kamarnya dari sampah
    dan remah cokelat. Nina juga berjanji untuk tidak lagi makan cokelat dan kue di
    kamar.