Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Abinaya Ghina Jamela
Liburan seperti menyambut raja.
Raja adalah liburan yang mengetuk
pintu kelasku. Aku gembira.
Chinka sahabatku melompat katak riang
tapi bukan karena hujan.
Hari itu liburanku ke candi Sambisari.
Aku berlari di halaman candi.
Di sana ada gajah membeku.
Aku ingat cerita bunda tentang Ganesha.
Bunda bilang ia cerdas.
Di sana ada stupa seperti mahkota
batu di kepala ratu.
Aku ingat liburan
ke candi Prambanan bersama bunda.
Ada ratusan candi di Prambanan
tapi bukan putri cantik
yang dikutuk Bandung Bondowoso,
hanya rumah bagi Shiwa, Durga, dan Ganesha
setinggi burung gereja terbang.
Aku mencatatnya di ingatanku.
Hari berlalu, kami kembali ke sekolah
tapi Chinka tak ada. Ia tidak datang.
Kami tidak bermain. Kami tidak mengobrol.
Kami tidak bertukar bekal.
Perpisahan selalu menyedihkan.
Chinka, kau tinggal candi-candi kenanganku.
2017
Sekolah itu tidak menarik
hanya duduk dan belajar
itu saja, tak menarik.
Jika kita terus menerus seperti itu,
otak terbebani sama dengan filsuf,
penyair, cerpenis, esais, ada waktu
menulis, membaca dan bermain.
Walau di sekolah ada waktu istirahat,
itu belum cukup.
Anak-anak seperti orang tua
yang dipaksa belajar.
Soal-soal berada di atas kepala
berputar-putar membuat kami bekerja keras
memecahkannya.
Anak-anak bingung
seperti seorang yang tak tahu apa
yang harus dikerjakan.
100 berada di depan mata, anak-anak gembira
Mengapa?
Apakah 100 tiket menonton di bioskop?
Apakah 100 sekeranjang permen lolipop?
Apakah 100 kado istimewa saat ulang tahun?
Atau 100 hanya pujian dari orang dewasa?
2017
Bunda berbicara, aku mendengarkan
kabar menyedihkan memenuhi kepalaku.
Bunda pergi, air mata memenuhi pipiku
seperti air tumpah dari wadahnya.
Terdengar suara kereta bergerak
cepat seperti seekor ular. Bunda ke Bandung
bukan untuk bermain-main tapi untuk kuliah
karena jika bunda tidak lulus, bunda akan
bayar duit negara, jika tidak bisa dipenjara.
Aku ingin bunda segera lulus dan bunda pasti lulus.
Jika tidak ada bunda, aku sedih tak terhingga.
Anak-anak gembira tak ditinggal orang tua.
Jika yang kuberi ini membuat gembira bunda
aku akan berterimakasih sebanyak-banyaknya
seperti radio yang tak mau diam.
Jangan menangis, kata Bunda.
Aku tetap menangis, tak tahu kenapa.
Aku percaya bunda baik-baik saja, tapi aku
tetap mengkhawatirkannya, bagai daging
dan darah yang tak pernah terpisah.
2017
Gunung Merapi sungguh berbahaya.
Manusia mempersembahkan kesayangannya.
Sultan membuat upacara-upacara.
Mengapa? Karena ada penjaga di luar sana.
Para jin akan meletuskan gunung merapi
seakan tumpahan dari tungku dua petapa
yang diusir para dewa demi pulau Jawa.
Penjaga murka pada manusia.
Manusia membuang sampah sembarangan
manusia menebang pohon-pohon,
alam kotor, penjaga marah.
Seratus keburukan, seratus kesalahan,
seratus letusan sejak 1700.
Tapi Merapi juga penuh kebaikan,
kaya air, mineral, tanah subur, dan tanaman.
Manusia tetap harus berjaga,
tak boleh terlena. Kadang terpaksa
tinggalkan rumah dan tanah hijau
yang sekejap menjadi pasir,
bebatuan, atau kayu hitam,
seakan ukiran belum selesai dipahat,
tak beraturan. Korban-korban ambruk
seakan mereka sangat mengantuk
tapi tak bisa dibangunkan lagi.
Itulah kehidupan, tak bisa diduga
tinggal kau lebih memilih harta atau nyawa.
2017