Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #94] Tidak Tahu ≠ Goblok

author = Asef Saeful Anwar

“…guoblok tenan!” Itu ekor kalimat yang sempat nyambar telinga Dul Kibul ketika akan duduk di bangku panjang
warung burjo Kabita di depan kosnya.

“Siapa
yang goblok?” timpalnya sebelum meminta Aa Ujang mengambilkan piring.

“Itu
lho, mosok  wudlu dari air segayung ngono kuwi.” sela Lik Narto, menghisap rokok seven-six-nya, menghembuskan asapnya, dan memperlihatkan video yang
barusan dilihatnya di ponsel.

“Siapa
itu?” tanya Dul Kibul.

 “Itu cawapres lho…” Aa Ujang menyambut
sambil menyerahkan piring pada Dul Kibul.  

Masak sih ada cawapres goblok?” Dul
Kibul bertanya, tapi matanya mengarah pada nasi yang tengah dikeluarkannya dari
kantong kresek ke atas piring.

“Kamu
pasti belum tahu juga tingkah lainnya ya?” Lik Narto menyela sambil mematikan
api rokoknya di asbak.

“Kenapa
harus tahu?” Dul Kibul menyambar botol saus, menggoyangkannya ke arah tepi
piringnya.

“Kapan
kamu bisa gemuk kalau makan cuma kitu-kitu
wae?” sela Aa Ujang sambil
mengambilkan air putih untuknya. Dul Kibul tak menjawab. Lik Narto
memperhatikan betapa kurus lelaki gundul di sampingnya, seperti tulang dibalut
kulit, tanpa daging. Dia baru sadar meskipun sering ketemu pada malam Minggu di
pos ronda karena jadwal yang sama.

“Gemuk
dan tidak gemuk itu urusan Tuhan. Yang penting masih bisa makan tanpa
minta-minta itu sudah berkah.”

Emangnya kamu tidak minta saus?” Aa Ujang
menaruh segelas air putih di samping piring Dul Kibul.

“Saus
ini kan hakku karena aku beli
gorengan di sini,” jawabnya setelah mencomot bakwan.

“Halah,
modal kamu cuma seribu,” sergah Aa Ujang yang terpaksa maklum dengan kebiasaan
Dul Kibul. Bila dalam sebulan dirata-rata, tidak sampai 3 kali makan berlauk
telur atau sarden. Selebihnya setiap hari bawa nasi sendiri dan hanya bayar satau
atau dua gorengan. Meski begitu Aa Ujang tidak merasa dirugikan sebab Dul Kibul
sering menemaninya begadang dengan cerita-cerita asyik, dari yang lucu, konspiratif,
jorok, cerita horor, sampai prediksi hasil dan analisis pertandingan sepakbola
yang sering tepat.

Barangkali
uang seribu itu malah bukan modalnya, modal Dul Kibul ya lidahnya yang pintar menghibur
itu. Termasuk ketika ia mengatakan kalau Aa Ujang mirip dengan Charlie ST12
pada malam-malam ketika Dul Kibul memainkan gitar sementara si Aa menyanyikan
lagu-lagu pop melayu.

“Perkara
makananku nggak usah dibahas. Yang
masalah wudlu itu gimana, Lik?” tanyanya setelah menelan kunyahan nasi.

“Kamu
makan dulu, ngobrolnya nanti. Biar kamu benar-benar jadi mahasiswa ber-adab,tidak cuma kuliah di Fakultas Adab,”
saran Lik Narto, yang kembali mengambil bungkus rokok dari sakunya. Tinggal
sebatang, dan ia menyalakannya sambil menunggu Dul Kibul selesai makan.
Sementara Aa Ujang mengaduk-aduk santan burjo yang tengah dihangatkan.

Ketika
piring Dul Kibul hanya menyisakan garis bekas saus dicocol, dan air di gelas
telah diminum tiga perempat, ia kembali bertanya: “Jadi, siapa yang goblok?”

“Iya
orang itu, yang ada dalam video.”

“Kenapa
bisa begitu?”

“Ya,
masak masalah wudlu saja nggak ngerti.”

“Memang
kalau nggak ngerti itu bodoh? Kalau nggak tahu itu goblok?”

“Ya
nggak juga, tapi ini masalah paling
dasar. Anak kecil aja tahu.”

“Tapi
nggak bisa begitu, Lik. Anak kecil
tidak bisa dijadikan standar. Masing-masing orang kan dididik berbeda. Barangkali waktu kecil dia belum sempat
diajari bab wudlu dengan baik.”

“Jadi
goblok kan?”

“Jangan
begitu lah… Kalau Lik Narto nggak
tahu bahasa Sundanya “pisang”, apakah disebut goblok? Kalau Aa Ujang tidak tahu
bahasa Jawanya “kelapa”, apakah dia goblok?”

“Ini
bukan masalah bahasa, Bul. Ini masalah agama.”

“Nah
karena masalah agama itu makanya aku berani mendebat. Tidak boleh lah menggoblok-goblokkan
sesama.”

“Tapi
ini sudah keterlaluan.”

“Memangnya
yang bersangkutan sudah diberi tahu tentang cara wudlu yang benar?”

“Ya
nggak tahu, tapi kemarin pernah dia
melangkahi makam seorang kiai.”

“Apa
dia juga sudah diberi tahu tentang adab ziarah kubur lalu mengulangi kesalahan?”

“Itu
juga aku tidak tahu.”

“Berarti
Lik Narto yang goblok.”

“Lho
kok dadi aku?”

“Kan
banyak nggak tahunya… Begini lho, Lik,
keterlaluan itu kalau sudah diingatkan tapi mengulangi kesalahan berkali-kali.
Kalau belum tahu ya wajar.”

“Kayaknya
kamu mendukung cawapres itu ya?”

“Aku
tidak mendukung siapa-siapa. Intinya siapa pun yang salah ya wajib diingatkan.
Bukan digoblok-goblokkan. Lik Narto tahu nggak
kenapa wudlu dalam air segayung tidak sah?”

Nggak tahu. Yang jelas dulu diajarkan
kalau wudlu sebaiknya menggunakan air yang mengalir atau air dalam kolah ukuran
besar.”

“Nah
ini aneh. Lik Narto memang benar kalau wudlu itu nggak sah, tapi sebabnya salah. Lik Narto tahu jenis-jenis air?”

“Air
hujan, air mineral, air minum.”

Mendadak
Dul Kibul tertawa terbahak-bahak. Aa Ujang kaget dan heran, apalagi Lik Narto. Hampir
lima menit, Dul Kibul baru berhenti tertawa dan meminta air putih lagi ke Aa
Ujang. Sehabis menenggak beberapa tegukan, ia tidak menjelaskan mengapa
tertawa, tapi bertanya lagi.

“Lik
Narto tahu air mustakmal?”

“Apa
itu?”

“Ternyata
Lik Narto juga sama nggak tahunya
dengan cawapres tadi.”

“Maksudnya?”

“Bingung
aku menjelaskannya. Pokoknya begini saja, jika muncul masalah adab ziarah kubur,
masalah wudlu, atau masalah sekitar agama Islam lainnya barangkali itu peringatan
agar kita kembali belajar pada dasar-dasar agama Islam. Pada dasarnya masih
banyak orang yang mengaku tahu ajaran Islam, tapi sejatinya belum tahu. Nah
kalau belum tahu tapi dikiranya sudah tahu itu gawat. Sebab pengetahuan itu
beriringan dengan pengamalan. Kalau orang tahunya sholat isya 3 rokaat, pasti
dia akan sholat 3 rokaat.”

“Halah
ini pasti karena kamu mendukung cawapres itu ya?”

“Kalau
mendukung, aku harusnya lebih dulu tahu video itu daripada Lik Narto. Lha ini aku
aja baru tahu.”

“Tapi
kamu membelanya itu maksudnya apa?”

“Aku
tidak membela. Aku cuma mengingatkan Lik Narto.”

“Ya
kan benar. Harusnya cawapres itu yang diingatkan kok malah aku. Sekarang kamu
mending jujur saja. Kamu mendukung siapa?”

“Aku
tidak mendukung siapa-siapa, Lik.”

“Anak
muda kok golput.”

“Tidak
mendukung kan bukan berarti tidak
memilih, Lik.”

“Lha
ya nanti mau milih siapa?”

“Ndak
tahu, Lik. Tahu cawapres itu saja baru sekarang. Siapa capresnya saja belum
tahu.”

Tiba-tiba
Aa Ujang yang menyela: “Dul Kibul itu nggak
tahu apa-apa, Lik, apalagi tentang pilpres. Kalau ke burjo ini saja dia minta
tipi dimatikan, kecuali bola.”

Ya wis ah, aku tak ndisiki ya.” jawab
Lik Narto.

Monggo, Lik.”

Tak
lama setelah Lik Narto pergi, Marbakat datang.

“Bul,
sudah makan?” tanya Marbakat

“Sudah.”

“Padahal
aku mau traktir lho.”

“Belum
rezekiku.”

“Ada
apa eh kethoke lesu tenan?”

“Aku
pesan soda gembira aja boleh?”

“Boleh
saja asal langsung gembira lho ya.”

“Makanya
itu aku pesan minuman itu.”

Mbok cerita. Ada apa toh?”

Dul
Kibul pun bercerita tentang obrolannya dengan Lik Narto tadi sementara Aa Ujang
meracik soda gembira.

“Beneran
seperti itu?” Marbakat menyangsikan.

“Tanya
saja Aa Ujang kalau nggak percaya.
Dia saksinya.” Aa Ujang yang menyuguhkan soda gembira mengangguk, membenarkan.

“Soalnya
ada yang mengganjal dari ceritamu. Dan aku yakin itu fiktif.”

“Soal
apa?” tanya Dul Kibul setelah tiga tegukan soda gembira.

“Pendapat-pendapatmu
terlihat cerdas eh. Nggak mungkin itu
pikiran kamu. Pasti ngarang.”

“Bajingan.
Kamu boleh nraktir aku, tapi tidak
lantas boleh ngenyek gitu lho ya.”

“Sorry,
sorry…. Aku cuma heran kok kamu bisa lesu hanya gara-gara masalah itu. Itu
masalah yang sudah biasa lho, Bul.”

“Biasa
katamu?”

“Makanya
jangan keluar kamar cuma di Burjo. Aktifkan juga media sosialmu biar kamu bisa
mengikuti berita. Sudah banyak pertengkaran karena soal itu. Sudah banyak
pertemanan, persahabatan, bahkan persaudaraan rusak karena soal pilpres.”

“Kalau
seperti itu terus-terusan negara ini bisa bubar.”

“Ternyata
benar kata Lik Narto, kamu mendukung salah satu capres.”

“Jangan
asal nuduh.”

“Itu
kata-katamu persis seperti salah satu capres.”

“Astaga,
yang benar? Tapi benar lho ya kalau bertengkar seperti itu terus, negara ini
bisa punah.”

“Benar-benar
kamu ya.”

“Astaghfirullah….
masih salah lagi?”

“Iya
itu masih sama.”

“Ya
Owloh… Intinya, biar Indonesia nggak
bubar, biar Indonesia nggak punah, make Indonesia great again!”

“Kacau.
Kamu memang pendukung capres itu.”

“Sudahlah
nggak usah dibahas lagi.”

“Nah
kan semakin menunjukkan karakter
pendukung capres itu.”

“Astaghfirullah….pertemanan
kita juga bisa bubar ini gara-gara pilpres.”

“Syukurlah
kalau gitu….”

“Kok
malah disyukuri?”

“Karena
sekarang aku sudah bukan temanmu, itu soda gembira bayar sendiri ya.”

“Oalah…
Semprul !!!”