Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #34] Seorang Belanda yang Memerintahkan Seorang Ronin Jepang Memenggal Kepala Seorang Maluku Demi Bumbu Masak di Pasar Bologna

author = Olav Iban
Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

Ini adalah sebuah kisah tentang seorang Belanda yang memerintahkan seorang ronin Jepang memenggal kepala seorang Maluku demi bumbu masak di Pasar Bologna.

Kisah ini dimulai di tahun 1477, di sebuah pasar bernama Mercato di Mezzo, Bologna, Italia. Pagi itu seorang nelayan paruh baya sedang dipukuli oleh beberapa  pedagang pasar. Nelayan ini mengaku baru saja tiba dari Florence setelah membeli barang selundupan di pelabuhan Venesia: setengah karung bunga pala—yang ternyata hanya bunga pohon cherry yang dikeringkan. Orang-orang berkerumun menyaksikannya, termasuk juga seorang anak kecil bernama Ludo. Ludo kecil bertanya-tanya, mengapa nelayan itu mau menipu demi tanaman kering? Konon katanya, tanaman pala yang sejati hanya bisa didapat dari sebuah pulau di ujung samudera. Harganya amat sangat mahal melebihi emas. Faktanya, para pedagang di Bologna itu membeli bunga pala dari pedagang Venesia yang sebelumnya membeli dari pedagang di Alexandria yang sebelumnya lagi membeli dari pedagang Arab yang membeli dari pedagang India yang membeli dari pedagang China yang membeli dari pedagang Melayu yang membeli dari penduduk asli pulau di ujung samudera itu. Setiap kali berpindah tangan harganya meningkat 100-200%. Ludo kecil ternganga-nganga mendengarnya.

Tahun 1510 di Roma, Italia, sebuah buku harian terbit dan menggemparkan komunitas-komunitas petualang Eropa. Buku harian itu ditulis oleh seorang lelaki Italia yang telah melakukan penjelajahan melintasi Semenanjung Arab,  menyusup ke dalam kota suci Mekah dengan mengaku muslim, menembus kerajaan Hindu, mendaratkan kaki di Pulau Raksasa Sumatera, dan mencapai pulau maharahasia penghasil rempah-rempah. Lelaki Italia itu bernama Ludovico di Varthema.

Sebelum buku harian di Varthema terbit—seperti halnya Mekah—segala tentang muasal rempah-rempah langka bernama pala, sang pelezat masakan di dapur raja-raja Eropa, adalah serba rahasia. Kabur diselubungi awan mitos dan monster-monster laut yang diciptakan dari mulut ke mulut oleh pedangan Arab dan Hindustan di pelabuhan-pelabuhan Eropa. Ada yang bilang asalnya dari pulau dengan cuaca hujan-panas ekstrim yang dihuni naga laut dan dijaga raksasa-raksasa kanibal.

Selama hampir 1.000 tahun, bisnis rempah-rempah di Eropa dikuasai oleh pedagang Arab. Orang Eropa biasanya hanya bisa membeli secara grosir di pasar-pasar Venesia atau di pelabuhan Alexandria, Mesir. Lebih ke timur dari itu, amat sulit bagi seorang pedagang non-Muslim untuk melintasinya.

Satu hari setelah Varthema meluncurkan bukunya, rute pelayaran menuju pulau maharahasia akhirnya sampai di mata para penjelajah. Bukan monster dan naga yang menjaganya, melainkan Angin Pasat Tenggara dan sedikit politik demi keuntungan 990%. Dua tahun kemudian, pada tahun 1512, sebuah kapal ekspedisi Portugis akhirnya berlabuh di pulau itu, dan menjatuhkan batu domino ke kisah selanjutnya.

Gelderland adalah nama kapal Belanda pertama yang melego jangkar di lepas pantai Kepulauan Banda. Hari itu adalah hari Senin, 15 Maret 1599. Dan orang yang pertama-tama turun ke datar bernama Roens Pieterszoon. Beberapa tahun kemudian, setelah beberapa Pieterszoon berikutnya, datang pula ke pulau itu seorang Pieterszoon lain. Kali ini bernama Pieterszoon Verhoeven, seorang laksamana yang membawahi sekurang-kurangnya 1.000 orang bersenjata yang terdiri dari orang Belanda dan beberapa samurai tak bertuan dari Jepang yang disewa oleh VOC.

Suatu hari yang membosankan, pada tahun 1609, di sela-sela perseteruan dagang dengan Inggris dan Portugis, Laksamana Pieterszoon Verhoeven mendaratkan sepertiga pasukannya ke pulau itu. Penduduk Banda Naira yang tidak siap memilih melarikan diri bersembunyi ke gunung-gunung. Setelah kira-kira satu bulan pasukan Verhoeven menyerbu dan membangun benteng, para pemimpin Banda Naira mengutus orang untuk melakukan perjanjian damai. Pada tengah hari, pada tanggal 22 Mei, sang Laksamana berangkat menuju tempat perundingan dengan penuh percaya diri. Ia ditemani sebagian besar kapten-kapten kapalnya, lengkap dengan sepasukan bersenjata, sampai di tempat perundingan di bawah sebuah pohon di dekat pantai bagian timur Banda Naira. Betapa kecewanya sang Laksamana menjumpai tempat itu kosong, tidak dilihatnya pihak lawan barang seorang.

Dengan kesal, sang Laksamana menyuruh penerjemahnya menyelidiki di sekitar lokasi. Si penerjemah pun bertemu pihak lawan yang tengah bersembunyi di balik hutan. Kata mereka, “Kami bersembunyi karena ketakutan melihat kalian datang membawa pasukan. Suruhlah pasukan itu pergi. Lalu datanglah ke tempat perundingan baru cukup bersama beberapa orang penting saja untuk menyertai Laksamanamu.”

Mendengar itu, sang Laksamana yang gagah berani menyuruh pasukannya menjauh. Ia bersama beberapa petinggi lain berjalan menuju lokasi baru yang tidak lain dan tidak bukan hanyalah perangkap mematikan. Pieterszoon Verhoeven terbunuh seketika itu juga. Kepalanya dipenggal dan ditancapkan di tombak perang penduduk Banda Naira. Dua puluh enam orang Belanda lainnya dibantai di tempat yang sama. Empat belas lainnya tewas saat lari di antara hujan tombak. Dari sedikit yang selamat, adalah seorang Pieterszoon lain. Namanya Jan Pieterszoon Coen, seorang juru tulis yang di kemudian hari menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Sabtu, 21 Oktober 1600. Di lain tempat, nun jauh di Kepulauan Jepang, ketika kabut tebal menyelimuti lembah sempit Sekigahara, berkumpullah 74.000 pasukan di sisi Timur dan 82.000 pasukan di sisi Barat. Pasukan pertama dipimpin Tokugawa Ieyasu, sementara yang kedua dikomandani oleh Ishida Mitsunari. Kendati selisih kekuatan hampir sebesar 10.000 orang, Kubu Timur justru memenangkan Pertempuran Sekigahara, dan menandai dimulainya kekuasaan Keshogunan Klan Tokugawa selama 250 tahun ke depan yang dikenal sebagai Zaman Edo, zaman di mana banyak samurai tak lagi bertuan.

Pertempuran Sekigara membawa dampak yang sangat hebat bagi sistem sosial Jepang mengingat ini adalah perebutan kekuasaan, sebuah perang yang menentukan siapa penguasa Jepang. Bahkan kelak, tiga abad kemudian, keturunan dari pihak yang kalah dalam pertempuran ini membalaskan dendamnya lewat Restorasi Meiji. Para bangsawan pendukung kubu Mitsunari yang kalah menderita banyak sekali kerugian. Yang paling kentara ialah dicabutnya hak dan kekuasaan wilayah mereka oleh pemerintahan Tokugawa yang baru berkuasa. Akibat pencabutan ini, banyak samurai kemudian kehilangan tuannya. Dan seorang samurai yang tidak memiliki tuan, tidak laik lagi disebut samurai. Ia menjadi seorang ronin, “pengembara”.

Luasnya perdagangan Belanda serta berbahayanya misi-misi eksplorasi mereka membuat pihak VOC yang kaya raya turut menyewa para ronin Jepang sebagai anak buah kapal-kapal militer mereka. Tak luput juga sang Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, yang di tahun 1621 melakukan penyerangan ke Kepulauan Banda. Ia membawa satu armada terdiri dari 13 kapal besar, 3 kapal kecil dan 6 perahu layar penuh senjata, disertai 1.665 pasukan Eropa, 286 orang hukuman dari Jawa sebagai pendayung perahu, dan beberapa orang kulit hitam. Turut serta di dalamnya 80 ronin Jepang. Tekad Jan Pieterszoon Coen bulat: melumat keberingasan orang Banda yang dahulu pernah memenggal kepala pimpinannya, lalu menguasai sumber utama dan satu-satunya rempah-rempah pala di dunia.

Akibat dari penyerangan Jan Pieterszoon Coen berkali lipat lebih kejam daripada pembunuhan yang dilakukan orang Banda tahun 1609. Setidaknya 6.000 rakyat Banda tewas, 789 orang diasingkan paksa, 1.700 melarikan diri ke pulau-pulau kecil, dan masih banyak yang tak tercatat. Beberapa sumber menyebutkan tindakan Coen membinasakan hampir 60% rakyat Banda dari sekitar 14.000 total penduduknya.

Namun kesadisannya lebih dari itu. Atas perintah Jan Pieterszoon Coen, 32 orang pemimpin Banda dipenggal kepalanya lalu dipotong menjadi empat bagian. Sementara 8 orang sesepuh Banda tubuhnya dipotong empat tanpa memenggal dahulu kepalanya. Keempatpuluh orang itu dieksekusi oleh para ronin Jepang. Berikut catatan dari seorang saksi mata.

“Sabtu, 8 Mei 1621. Keempatpuluh tawanan digiring bagaikan sekawanan domba. Sebuah kurungan bambu berbentuk bulat dibangun di luar benteng, dan sambil terikat erat dengan tali dan dijaga ketat oleh para penjaga, para tawanan itu dipaksa masuk … Bersama para tawanan itu ada juga enam orang ronin Jepang yang diperintahkan masuk ke pagar bambu, dan mereka memotong perut dan membedah tubuh kedelepan tawanan itu dengan pedang yang tajam menjadi empat bagian. Lalu ketigapuluh dua tawanan lainnya juga mengalami nasib yang sama, dipenggal kepala baru dipotong-potong. Eksekusi ini ngeri untuk dilihat. Para tawanan mati tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kecuali salah seorang di antara mereka berkata, ‘Apakah tuan-tuan tidak merasa berdosa?’. Peristiwa ini sangat mengerikan. Kepala dan potongan tubuh mereka yang telah dieksekusi itu ditancapkan pada ujung bambu, dan dipertontonkan kepada masyarakat.”

Sejak peristiwa itu, posisi Belanda di Kepulauan Banda tiada tanding. Bahkan orang-orang Inggris sekalipun tak berani keluar rumah selama dua minggu. Dengan memandulkan Inggris dan membantai orang-orang Banda, Jan Pieterszoon Coen berhasil mencapai tujuan Belanda menguasai salah satu pulau terpenting di dunia perempah-rempahan.

Begitulah kisah tentang seorang Belanda yang memerintahkan seorang ronin Jepang memenggal kepala seorang Maluku demi bumbu masak di Pasar Bologna.

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: http://kibul.in/cara-berkontribusi