Category: film

  • Keluarga Cemara: Kesengsaraan Tak Melulu Menyedihkan

    author = Rizka Nur Laily Muallifa

    Semasa kanak, tayangan-tayangan televisi cuma hiburan di waktu sempit. Sekadar pengisi masa tenggang di antara waktu belajar dan keharusan tidur tepat pukul 21.00 WIB. Meski begitu, aku ingat pernah memiliki gaun hitam yang di bagian dadanya tertera judul sinetron fenomenal – setidaknya di lingkungan tinggalku. Apalagi kalau bukan Tersanjung (1998-2005).

    Aku turut memosisikan diri laiknya ibu-bapak, berselonjor atau tiduran menyimak episode-episode Tersanjung. Tapi, aku tak mendapati ingatan sempat menjadi penonton Keluarga Cemara, meski cuma sekali. Padahal usia sinetron ini lebih tua dua tahun dari Tersanjung. Konon, Keluarga Cemara tayang sejak 1996 sampai 2005. Empat belas tahun kemudian, sutradara Yandy Laurens dalam naungan Rumah Produksi Visinema menghadirkan Keluarga Cemara dalam bentuk film. Tayang perdana pada tanggal 3 Januari 2019, film ini turut mengisi kegembiraan melakoni hari-hari baru.

    Bukan Film Remake

    Mengadaptasi sinetron yang telah mencapai 750 episode menjadi sebuah film bukan kerja yang mudah. Produksi ulang sebuah karya yang pernah begitu dikenal khalayak tentu menanggung beban khusus. Bagaimanapun juga, khalayak penonton sinetron telanjur fenomenal itu akan berbondong-bondong menonton ke bioskop. Berbekal kenangan, sisa ingatan yang terawat, dan tentu saja harapan-harapan menyoal film adaptasi. Sepanjang peristiwa menonton dan setelahnya, mereka berhak melakukan perbandingan-perbandingan.

    Terkait itu, film Keluarga Cemara rupanya bermaksud mengambil salah satu fokus dari keseluruhan episode panjang versi sinetron. Pilihan itu jatuh pada “keluarga”. Fokus itulah yang diupayakan tergarap dengan baik. Akhirnya film berdurasi 110 menit itu memang hadir sebagai film keluarga yang cukup berhasil melibatkan emosi penonton. Sekian penonton memberi kesaksian dirinya menangis sepanjang peristiwa menonton. Beberapa merasa tak cukup menonton sekali dan perlu mengulanginya lagi.

    Sejak mula orang-orang yang terlibat dalam pembuatan film sudah memberi pengakuan bahwa ini bukan sekadar film remake. Di instagram @filmkeluargacemara mata telusur mendapati penjelasan Ringgo Agus terkait sosok Abah. Sebagai pemeran Abah, tampilan visual Ringgo tidak dihadirkan mirip dengan tampilan Abah versi sinetron. Penonton memang tak mendapati rambut Abah (Ringgo Agus) berwarna putih laiknya rambut Abah (Adi Kurdi). Abah versi film juga tak mendapat tuntutan mirip dalam laku keseharian dengan Abah versi sinetron. Kecuali barangkali sikap mengayomi dan bertanggung jawab sebagai selayaknya kepala keluarga. Abah dalam film berupaya hadir semutakhir mungkin.

    Cerita Mutakhir

    Cerita dalam film berupaya senapas dengan zaman terkini. Tokoh-tokoh dan latar dalam film dihadirkan sedekat mungkin dengan kehidupan sosial keluarga mutakhir. Keluarga berkecukupan yang jatuh miskin akibat usahanya yang bangkrut dan penipuan yang melibatkan saudara dekat. Di bagian yang hadir sepintas lalu namun memiliki dampak di keseluruhan cerita inilah penonton mendapati banyak peristiwa yang terasa tak alami. Kecuali mata kamera saat menyorot laporan keuangan yang minus, penonton sempat mengalami kebingungan dan asing menyimak kegiatan Abah dan seorang pegawai di kantor administrasi proyek bangunan. Apalagi penyitaan rumah yang hadir sebagai peristiwa aneh dan begitu tiba-tiba. Serta beberapa adegan serba kebetulan lain yang mirip potongan di sinetron-sinetron kita terkini. Di detail-detail itu, film Keluarga Cemara mengalami cedera agak serius.

    Cedera itu berangsur pulih berkat kehadiran Ara (Widuri) yang ekspresif dan total. Dialog-dialog yang ia bangun dan tingkah lakunya khas anak-anak. Mengalami segala peristiwa sebagai keseruan-kebahagiaan. Selain itu, Emak  (Nirina Zubir) dan Euis (Zara JKT48) juga punya peran dan porsi yang pas bagi komposisi keluarga Abah. Tiga tokoh perempuan ini meneguhkan peran Abah sebagai satu-satunya lelaki dalam keluarga.

    Sekalipun merasa paling bertanggung jawab atas kesengsaraan hidup yang menimpa keluarga, Abah terus-menerus mendapat dukungan dari ketiga perempuannya. Terutama keteguhan Emak yang tak sekalipun menyesal memilih hidup bersama. Perjalanan keluarga Abah ialah representasi, rupanya kesengsaraan tak melulu menyedihkan. Selama kesadaran, kasih sayang, tanggung jawab, kepercayaan antaranggota keluarga tak lingsir dan terus diperbarui.

    Penyakit Gila Jakarta

    Kesedihan demi kesedihan rupanya berkelindan dengan Kota Jakarta. Penonton menjadi saksi tokoh Euis remaja sebagai yang paling terpukul mendapati nasib keluarganya musti meninggalkan “kemapanan” Jakarta. Meninggalkan sekolah favorit, teman sepermainan, hobi. Euis ini suara sebagian masyarakat kita yang mengelu-elukan Jakarta sebagai pusat segala. Konon, di Jakarta semua kebutuhan bisa terpenuhi sebab ialah kota yang menghamparkan segala keperluan hidup. Termasuk menyediakan sarana memadahi bagi kebutuhan aktualisasi diri. Daerah yang bukan Jakarta lagi-lagi dihadirkan sebagai lingkungan tinggal yang menyusahkan. Selain Euis, Abah yang saat itu telah memiliki pekerjaan di desa juga sempat terombang-ambing antara mengalami hidup di segar udara pedesaan atau kembali menambal mimpi hidup lebih mudah di Jakarta. Dengan demikian, film ini tak beranjak dari kungkungan dan menambah panjang narasi – bermedium film – bermata Jakartasentris. Tsah!

  • Anomalisa: Menilik Kedalaman Sisi Humanisme Melalui Film Stop Motion

    author = Titis Anggalih










    Anomalisa













    90 menit




    Duke Johnson, Charlie Kaufman




    David Thewlis, Jennifer Jason Leigh, Tom Noonan



    Apa yang membuat kita tertarik untuk menonton sebuah
    film? Apakah faktor pemain, cerita, kecanggihan efek visual, sisi kedalaman
    cerita, hidup tidaknya dialog setiap tokoh, kualitas akting pemain, saran dari
    teman, atau campuran dari semua? Kalau saya, sutradaranya.

    Charlie Kaufman bukan nama sembarangan bagi saya. Ia tekenal dengan film-film yang mengangkat sisi humanis secara mendalam dan ciri khas gaya bertutur yang jenius. Itu membuat film-film Charlie Kaufman mudah terhubung dan dekat dengan satu bagian jiwa kita. Jika bukan Kaufman, barangkali enteng saja melewatkan film stop motion ini. Stop motion sering diidentikkan film untuk anak-anak; setidaknya itu yang saya yakini sebelum menikmati Anomalisa (2015). Begitu yakinnya hingga hampir-hampir saya menambahkannya sebagai salah satu rukun iman. Bahkan yang pertama terlintas dalam benak saya jika disebut kata stop motion adalah Shaun The Sheep (mbeeek !). Seanomali itu.

    Di awal film, kita disuguhi layar gelap total dengan suara banyak orang mengobrol bersamaan, dengan tekanan yang sama, ritme yang sama, volume yang sama, dan bahkan (semua) suara orang itu sama. Itu berlangsung beberapa saat. Tokoh utama kita, Michael Stone, adalah seorang pakar customer service paruh baya yang berwajah kaku kalau bukan murung. Diceritakan ia sedang dalam perjalanan ke luar kota untuk keperluan promosi buku terbarunya. Jangan mengajaknya bicara karena cara dia menjawab bukan jenis gaya bicara yang menyenangkan. Beberapa menit awal itu sungguh membosankan. Tapi tunggu sebentar, saya beri sebuah petunjuk: jika Anda sudah merasa bosan padahal baru beberapa menit menonton Anomalia, itu justru artinya Kaufman berhasil menghipnotis Anda! Memang itu tema besar film ini, rasa bosan!

    Setelah bosan, perasaan yang kita alami selanjutnya ialah keganjilan; selain Michael semua orang suaranya sama. Bahkan suara anak dan istri Michael dimainkan oleh pengisi suara yang sama dengan sopir taksi (Tom Noonan). Ada scene yang semua wajah orangnya juga sama. Baru sedikit terjelaskan secara tersirat melalui nama hotel tempat Michael menginap: The Fregoli. Delusi Fregoli adalah gangguan langka seseorang mengalami delusi yang merasa bahwa semua orang pada dasarnya hanya satu orang yang hanya berganti penampilan atau sedang menyamar (Wikipedia). Hingga akhirnya Michael tidak sengaja mendengar suara Lisa (Jennifer Jason Leigh) di lorong hotel. Suara Lisa berbeda dengan semua orang di dunia. Michael terkejut lantas mengajaknya berkenalan sekaligus bercinta pada malam yang sama. Lisa seakan keajaiban di tengah kebosanan dan kesepian yang parah.

    Hmm… apa yang bikin suara Lisa berbeda dari semua
    orang?

    Agar tak disebut spoiler,
    terutama jika Anda mulai tertarik nonton Anomalisa, saya hanya bisa bilang
    bahwa Lisa memiliki sifat yang tidak dimiliki orang-orang yang dikenal Michael.
    Sebuah ketidaknormalan (anomali) bagi kebanyakan orang namun justru kenormalan
    di mata Michael.

    Sedikit tambahan saja, Anomalia memang film stop motion anti mainstream. Saya hampir
    tidak pernah terpengaruh oleh tontonan yang menggunakan adegan seks sekedar gimmick untuk menarik perhatian
    penonton. Tapi dalam Anomalisa, yang bahkan bukan diperankan oleh orang
    sungguhan, adegan seks bisa demikian menyentuh. Nilai kemanusiaan ternyata bisa
    diungkapkan dengan sedekat dan sesederhana itu: terkadang manusia membiarkan
    cinta kasih hilang dari dalam diri mereka ketika mereka dikendalikan oleh
    ketakutan yang membawa mereka pada kesepian.

    Nah, tidak berlebihan jika Anomalisa dinominasikan untuk Film Fitur Animasi Terbaik Academy Award dan Golden Globe Award, juga menjadi film animasi pertama yang
    memenangkan Grand Special Jury Prize di Festival Film Internasional Venesia
    ke-72.

  • Along With The Gods-The Two Worlds: Sebuah Upaya Mengimani Hari Akhir

    author = Syafri Arifuddin










    Along with the Gods-The Two Worlds (신과함께-죄와 벌)









    2017








    139 menit




    Yong-hwa Kim




    Jung-woo Ha, Tae-hyun Cha, Ji-Hoon Ju, Hyang-gi Kim



     

    Saya tidak begitu tertarik dengan apapun yang berbau Korea termasuk film Korea dengan segala drama di dalamnya. Tentunya, Korea yang saya maksud di sini adalah Korea Selatan sebab di Korea Utara, jangankan imajinasi, kebebasan pun dibatasi.

    Selama ini—di dalam kepala saya telah tumbuh stigma bahwa film Korea hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan dan akan selalu bercerita tentang  roman picisan. Namun, saya keliru. Saya adalah tipe penonton film yang melihat dari tinggi rendahnya rating maka alasan itu pula yang membawa saya untuk menonton film Along With The Gods: The Two Worlds ini. Sebuah film yang akhirnya meruntuhkan segala dugaan awal saya yang tak berdasar dan sifat kebiasaan buruk yang cepat menghakimi sesuatu.

    Apa yang terjadi setelah kematian seseorang? Pertanyaan seperti itu telah kita tahu jawabannya dari pelajaran di sekolah dasar bahwa kematian seseorang akan berujung pada dua tempat: surga atau neraka. Tapi pernahkah kita membayangkan bagaimana proses menuju ke sana? Atau bagaimana bentuk sebuah neraka? Saya tidak pernah membayangkannya sebelum film yang diangkat dari komik webtoon ini mengaktifkan imajinasi liar saya tentang kehidupan setelah kematian. Suguhan efek visual yang ditawarkan film ini berhasil membuat saya berdecak kagum dan lantas mengingat kata Rocky Gerung bahwa fiksi membangkitkan imajinasi.

    Dalam film ini dikisahkan seorang petugas pemadam kebakaran bernama Kim ja Hong (Ca Tae Hyun) yang meninggal saat sedang memadamkan api sebuah gedung. Setelah ia mati ia hidup kembali dalam dunia yang berbeda. Setiap orang yang meninggal akan memiliki pengawal menuju tempat penghakiman. Gang Lim ( Ha Jung Woo), Hewonmak (Ju Ji Hon), dan Deok Chon (Kim Hyang Gi) yang akan mengawalnya ke sana. Kim Ja Hong ini tergolong arwah pilihan. Dia adalah suri tauladan di akhirat sebab semasa di dunia ia sangat baik hingga tak ada celah kejahatan dan keburukan sifat untuk bermukim dalam dirinya. Karena dia adalah arwah pilihan maka ia mendapatkan kesempatan untuk reinkarnasi atau dilahirkan kembali di dunia. Akan tetapi jika Kim Ja Hong ingin bereinkarnasi maka ia harus melewati tujuh pengadilan di tujuh neraka. Di sinilah bagian yang paling membangkitkan imajinasi, sebuah loncatan besar dalam film yang menggambarkan sesuatu yang bersifat teologis. Andaikan film ini buatan sutradara Indonesia dan menggambarkan akhirat dari perspektif agama maka kita sudah tahu akan berakhir ke mana sutradara film ini.

    Di tujuh neraka itu Kim Ja Hong akan disidang. Ia akan menghadapi penghakiman dewa yang mengisi setiap pos-pos neraka yang berbeda. Apakah nantinya ia pantas untuk direinkarnasi atau tidak. Reinkarnasi itu sendiri adalah konsepsi di mana kita percaya bahwa setelah kematian, akan ada kehidupan baru setelahnya. Kehidupan di mana orang akan terlahir kembali. Tapi semua itu tergantung dari bagaimana kita memperlakukan hidup kita sebelumnya.

    Usaha menuju reinkarnasi Kim Ja Hong mendapati persoalan.  Kim Su Hon (Kim Dong Yok) adiknya menjadi roh jahat karena meninggal dengan cara tidak wajar. Sepertinya Korea dan Indonesia memiliki kesamaan: orang yang meninggal dengan cara tidak wajar akan menjadi roh jahat dan gentayangan. Akibatnya Kim Su Hon menjadi masalah buat kakaknya di persidangan sebab di antara keduanya ternyata ada persoalan yang belum tuntas. Hukum kausalitas pun mengambil peran. Tidak ada sesuatu terjadi begitu saja tanpa memiliki penyebab. Langit dan dunia saling berhubungan. Satu kesalahan di dunia akan menghambat langkah di akhirat seperti sebuah hutang yang belum terbayar.  

    Dalam proses perjalan selama 49 hari di akhirat itu,  barulah drama demi drama terjadi, fakta-fakta baru muncul kalau Kim Ja Ho memiliki celah keburukan dan di sini kita akan paham, tidak ada siapa pun yang lahir dan hidup dengan tidak memiliki kejahatan. Film ini juga berhasil mengaduk-aduk emosi. Pasalnya, film ini juga berkisah tentang keluarga, tentang ibu, tentang sebuah jalan hidup dan tentang sebuah pilihan. Kisah Ibu Kim Ja Hong yang bisu itu akan menuntun dan menyentuh hati paling dalam dan barangkali akan sedikit menampar juga mengeluarkan air mata kita. Pada bagian ini, saya ingat kata teman-teman saya kalau jangan nonton film korea jika tak kuat. Barulah sekarang saya paham maksudnya.  

    “Tidak ada perbuatan yang betul-betul sia-sia di dunia. Semua memiliki konsekuensinya yang akan dipertanggungjawabkan”. Ya, kata-kata ini tidak berasal dari film Along With The Gods tapi begitu familiar bagi siapa saja yang sering mendengar khotbah jumat. Barangkali pesan itu pula yang ingin disampaikan dalam film ini. Juga, bahwa kematian sesungguhnya adalah pintu untuk menuju ke kehidupan selanjutnya ialah sebuah pukulan telak bagi mereka yang tidak mengimani hari akhir.

    Akhirnya Along With The Gods sepertinya adalah sebuah khotbah dalam wujud visual melalui medium film, sebab dari segi cerita yang ditampilkan, begitu banyak pesan-pesan moral. Terlebih tentang bagaimana amal dan dosa seseorang akan ditimbang. Film ini hendak memperingatkan kita kalau kehidupan yang akan datang ditentukan dari bagaimana kita memperlakukan hidup di dunia kita sekarang.