Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Rizka Nur Laily Muallifa
Semasa kanak, tayangan-tayangan televisi cuma hiburan di waktu sempit. Sekadar pengisi masa tenggang di antara waktu belajar dan keharusan tidur tepat pukul 21.00 WIB. Meski begitu, aku ingat pernah memiliki gaun hitam yang di bagian dadanya tertera judul sinetron fenomenal – setidaknya di lingkungan tinggalku. Apalagi kalau bukan Tersanjung (1998-2005).
Aku turut memosisikan diri laiknya ibu-bapak, berselonjor atau tiduran menyimak episode-episode Tersanjung. Tapi, aku tak mendapati ingatan sempat menjadi penonton Keluarga Cemara, meski cuma sekali. Padahal usia sinetron ini lebih tua dua tahun dari Tersanjung. Konon, Keluarga Cemara tayang sejak 1996 sampai 2005. Empat belas tahun kemudian, sutradara Yandy Laurens dalam naungan Rumah Produksi Visinema menghadirkan Keluarga Cemara dalam bentuk film. Tayang perdana pada tanggal 3 Januari 2019, film ini turut mengisi kegembiraan melakoni hari-hari baru.
Mengadaptasi sinetron yang telah mencapai 750 episode menjadi sebuah film bukan kerja yang mudah. Produksi ulang sebuah karya yang pernah begitu dikenal khalayak tentu menanggung beban khusus. Bagaimanapun juga, khalayak penonton sinetron telanjur fenomenal itu akan berbondong-bondong menonton ke bioskop. Berbekal kenangan, sisa ingatan yang terawat, dan tentu saja harapan-harapan menyoal film adaptasi. Sepanjang peristiwa menonton dan setelahnya, mereka berhak melakukan perbandingan-perbandingan.
Terkait itu, film Keluarga Cemara rupanya bermaksud mengambil salah satu fokus dari keseluruhan episode panjang versi sinetron. Pilihan itu jatuh pada “keluarga”. Fokus itulah yang diupayakan tergarap dengan baik. Akhirnya film berdurasi 110 menit itu memang hadir sebagai film keluarga yang cukup berhasil melibatkan emosi penonton. Sekian penonton memberi kesaksian dirinya menangis sepanjang peristiwa menonton. Beberapa merasa tak cukup menonton sekali dan perlu mengulanginya lagi.
Sejak mula orang-orang yang terlibat dalam pembuatan film sudah memberi pengakuan bahwa ini bukan sekadar film remake. Di instagram @filmkeluargacemara mata telusur mendapati penjelasan Ringgo Agus terkait sosok Abah. Sebagai pemeran Abah, tampilan visual Ringgo tidak dihadirkan mirip dengan tampilan Abah versi sinetron. Penonton memang tak mendapati rambut Abah (Ringgo Agus) berwarna putih laiknya rambut Abah (Adi Kurdi). Abah versi film juga tak mendapat tuntutan mirip dalam laku keseharian dengan Abah versi sinetron. Kecuali barangkali sikap mengayomi dan bertanggung jawab sebagai selayaknya kepala keluarga. Abah dalam film berupaya hadir semutakhir mungkin.
Cerita dalam film berupaya senapas dengan zaman terkini. Tokoh-tokoh dan latar dalam film dihadirkan sedekat mungkin dengan kehidupan sosial keluarga mutakhir. Keluarga berkecukupan yang jatuh miskin akibat usahanya yang bangkrut dan penipuan yang melibatkan saudara dekat. Di bagian yang hadir sepintas lalu namun memiliki dampak di keseluruhan cerita inilah penonton mendapati banyak peristiwa yang terasa tak alami. Kecuali mata kamera saat menyorot laporan keuangan yang minus, penonton sempat mengalami kebingungan dan asing menyimak kegiatan Abah dan seorang pegawai di kantor administrasi proyek bangunan. Apalagi penyitaan rumah yang hadir sebagai peristiwa aneh dan begitu tiba-tiba. Serta beberapa adegan serba kebetulan lain yang mirip potongan di sinetron-sinetron kita terkini. Di detail-detail itu, film Keluarga Cemara mengalami cedera agak serius.
Cedera itu berangsur pulih berkat kehadiran Ara (Widuri) yang ekspresif dan total. Dialog-dialog yang ia bangun dan tingkah lakunya khas anak-anak. Mengalami segala peristiwa sebagai keseruan-kebahagiaan. Selain itu, Emak (Nirina Zubir) dan Euis (Zara JKT48) juga punya peran dan porsi yang pas bagi komposisi keluarga Abah. Tiga tokoh perempuan ini meneguhkan peran Abah sebagai satu-satunya lelaki dalam keluarga.
Sekalipun merasa paling bertanggung jawab atas kesengsaraan hidup yang menimpa keluarga, Abah terus-menerus mendapat dukungan dari ketiga perempuannya. Terutama keteguhan Emak yang tak sekalipun menyesal memilih hidup bersama. Perjalanan keluarga Abah ialah representasi, rupanya kesengsaraan tak melulu menyedihkan. Selama kesadaran, kasih sayang, tanggung jawab, kepercayaan antaranggota keluarga tak lingsir dan terus diperbarui.
Kesedihan demi kesedihan rupanya berkelindan dengan Kota Jakarta. Penonton menjadi saksi tokoh Euis remaja sebagai yang paling terpukul mendapati nasib keluarganya musti meninggalkan “kemapanan” Jakarta. Meninggalkan sekolah favorit, teman sepermainan, hobi. Euis ini suara sebagian masyarakat kita yang mengelu-elukan Jakarta sebagai pusat segala. Konon, di Jakarta semua kebutuhan bisa terpenuhi sebab ialah kota yang menghamparkan segala keperluan hidup. Termasuk menyediakan sarana memadahi bagi kebutuhan aktualisasi diri. Daerah yang bukan Jakarta lagi-lagi dihadirkan sebagai lingkungan tinggal yang menyusahkan. Selain Euis, Abah yang saat itu telah memiliki pekerjaan di desa juga sempat terombang-ambing antara mengalami hidup di segar udara pedesaan atau kembali menambal mimpi hidup lebih mudah di Jakarta. Dengan demikian, film ini tak beranjak dari kungkungan dan menambah panjang narasi – bermedium film – bermata Jakartasentris. Tsah!