Category: artikel

  • Membaca Kasablanka & Ubai | Diskusi Sastra Nasional PKKH Edisi III

    author = Redaksi Kibul

    Dinginnya malam di Yogyakarta akan dihangatkan oleh kehadiran sastrawan asal Nusa Tenggara Barat, Kiki Sulistyo. Pada 24 Agustus 2018 pukul 19.00 WIB di Hall PKKH UGM, Kiki akan membahas mengenai karya-karya Esha Tegar Putra. Pemenang penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2017 ini rencananya akan diundang dalam “Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM” yang rutin diadakan oleh PKKH UGM sebagai bagian dari bentuk apresiasi terhadap perkembangan dan kreativitas kesusastraan di Indonesia.

    Tidak hanya tercatat sebagai Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sastra, Avesina Wisda selaku pemantik acara “Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM”, memiliki beragam kerja kesusastraan. Pria kelahiran Magelang 1 September ini, memiliki Track Record sebagai redaktur dan kontributor di jogjareview.net, Buletin Mimesis, wolez.fun, dan saat ini menjadi Pemimpin Redaksi media daring sukusastra.com, sebuah wahana kesusastraan yang dikemas melalui kemutakhiran teknologi informasi.

    Dalam rangka memandu acara “Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM”, Ahmad Zamzuri akan mengawal acara tersebut dan mendampingi Avisena Wisda dan Kiki Sulistyo dalam membahas karya-karya sastrawan asal Sumatera Barat, Esha Tegar Putra. Dengan pengalaman penelitian selama dua belas tahun lamanya dalam bidang sastra dan bahasa, Ahmad Zamzuri akan mampu mengarahkan acara yang menggagas wacana kesusastraan Indonesia dari beragam daerah di nusantara tersebut.

    Profil Sastrawan Nasional 

    KIKI SULISTYO lahir di kota pelabuhan Ampenan, Lombok, 16 Januari 1978. Berminat pada dunia penulisan sejak masih kanak-kanak dan mulai menulis di usia remaja. Setelah tamat SMP tidak melanjutkan pendidikan formal dan memilih  belajar menulis secara otodidak dengan membaca apa saja sembari mengerjakan sembarang pekerjaan. Tahun 2012 mendapat hadiah dari Forum Sastra Bekasi untuk puisi Sepanjang Jalan ke Dasan Agung. Tahun 2014, Hikayat Lintah, buku puisinya yang pertama, diterbitkan di Surabaya. Tahun 2015, buku puisinya yang kedua, Rencana Berciuman, terbit di Yogyakarta. Di tahun yang sama, Penangkar Bekisar, diterbitkan oleh Penerbit Nuansa Cendekia, Bandung bekerjasama dengan Studio Hanafi. Buku ini masuk dalam daftar panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2015. Tahun 2017 terbit buku puisinya Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? dan meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Bukunya yang terbaru adalah kumpulan cerpen Belfegor dan Para Penambang (2018). Sejak 2009 mendirikan Komunitas Akarpohon yang menggiatkan kerja-kerja penulisan, penerbitan, dan pengarsipan sastra serta proyek-proyek seni lintas disiplin lainnya. Saat ini sedang menyiapkan kitab puisi Rawi Tanah Bakarti dan kumpulan cerpen Apakah Nenek Sudah Bisa Terbang?

    Profil Sastrawan Mahasiswa S2 Ilmu Sastra UGM

    Tidak hanya tercatat sebagai Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sastra, Avesina Wisda selaku  pemantik acara “Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM”, memiliki beragam kerja kesusastraan. Pria kelahiran Magelang 1 September ini, memiliki Track Record sebagai redaktur dan kontributor di jogjareview.net, Buletin Mimesis, wolez.fun, dan saat ini menjadi Pemimpin Redaksi media daring sukusastra.com, sebuah wahana kesusastraan yang dikemas melalui kemutakhiran teknologi informasi. Bertindak sebagai pemateri dalam mengkaji puisi-puisi karya Esha Tegar Putra, ternyata prestasi Wisda tidak hanya meliputi esai sastra. Alumni Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta ini, produktif dalam kepenulisan sastra. Terbukti dirinya memiliki hasil karya sastra yang telah diterbitkan, yakni “Mengurai Bumi Lewat Cinta” dalam “Kumpulan Cerpen Geofiksi” (2014), “Dari Gentar Menjadi Tegar” di “Antologi Seni Komunitas Bergerak Seni Indonesia Berkabung” (2015),  “Kejujuran dan Mitos Realisme” di buku “Antologi Cerpen LPM Sketsa” (2015), dan  naskah drama “Sarapan Terakhir” dalam “Antologi Naskah Drama Remaja Daerah Istimewa Yogyakarta” (2016). Selain itu, Avisena Wisda pernah mendapatkan penghargaan Cerpen Terbaik Pilihan Malam Perjamuan tahun 2015 melalui cerpen “Minggu di Taman Eden” yang merupakan hasil karyanya.

    Profil Moderator

    Ahmad Zamzuri, atau akrab disapa Mas Azam, merupakan seorang ayah satu anak yang ‘nyambi’ kuliah di Pascasarjana Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada. Lahir di Gunungkidul dan menetap di Sleman, Mas Azam aktif berorganisasi sejak kuliah S1 di Universitas Negeri Surabaya dan kini mengoordinatori Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta. Selain itu, Mas Azam pernah juga menjadi Pembina Teater di SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta, SMAN 4 Yogyakarta, dan SMAN 1 Galur, Kulonprogo. Untuk membaca kritik-kritik sastranya, dapat dibaca dalam “Bermain Drama: Perpaduan Fisik, Jiwa, dan Intelegensia” (2009) di Majalah Girli 34, “Eksistensi Perempuan pada Sosok Roro Mendut dalam Novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya” (2009) dalam Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, “Pribumi Vs Asing: Kajian Poskolonial terhadap Putri Cina Karya Sindhunata” (2012), “Modal-modal Majalah Pagagan: Tinjauan Sosiologi Pierre Bourdieu” (2014) di Jurnal Widyaparwa, “Strategi Kepenyairan Iman Budhi Santosa Dalam Arena Sastra” (2016) dalam Jurnal Widyaparwa, “Bengkel Sastra Balai Bahasa DIY Dalam Perspektif Sosiologi Pierre Bourdieu” (2016) dalam Jurnal Paramasastra, “Ideologi Dalam Novel Pabrik Karya Putu Wijaya” 2017 di Jurnal Atavisme, dan di Jurnal Aksara berjudul “Cerpen Matinya Seorang Penari Telanjang Karya Seno Gumira Ajidarma” tahun 2018.

    Profil Performer: Ibu Jari

    Para personil Ibu Jari terdiri dari Sukma Firmansyah, Kidung Mijil Pinilih, Yusuf, dan Indro Retno Wibowo, mereka membawakan puisi-puisi dengan iringan gitar, bass, serta ketipung. Pemilihan puisi yang dimusikkan mereka tidaklah sembarangan, Ibu Jari memiliki selera estetik dalam memilih teks puisi. Maka tak heran, karya-karya seperti “Tembang Padang Telanjang” karya Iman Budhi Santosa, ”Genderang Kurukasetra: Utari” karya Suminto A. Sayuti, ”Derai-Derai Cemara” karya Chairil Anwar, “Malioboro” karya Latief S. Nugraha, “Prologue” karya Sapardi Djoko Damono, dan “Aide Memoire” karya Umbu Landu Paranggi pernah ditampilkan oleh mereka.

  • Perpustakaan Nglemprak: Membiakkan Kebiasaan Membaca Buku dari Tepi Stasiun

    author = About Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    View all posts by Redaksi Kibul →

    SABTU, 1 Juli 2017, sore di Stasiun Lama Losari, sebuah kereta lewat ketika seseorang menyalakan api pada tumpukan sampah di utara jalan tepi stasiun. Tepat di seberangnya empat anak muda, tiga lelaki satu perempuan, menurunkan bawaannya berupa dua tas berisi buku dan beberapa terpal setelah memarkir sepeda motor. Mereka hendak memajang buku-buku itu di atas rerumputan yang membanjar ke barat dari arah stasiun yang ada di timurnya. Di tempat itu mereka rutin menggelar lapak baca buku gratis saban Sabtu, Minggu, dan Senin, dari pukul 16.00 hingga 18.00 WIB.

    Seseorang di antara mereka mengeluh ketika mendapati terpal yang mereka bawa ternyata basah dan kotor. Seseorang yang lain menggerutu dengan menyebut nama seorang pedagang yang kerap tanpa izin mengambil terpal itu untuk menggelar dagangannya di pasar. Jarak basecamp komunitas mereka, tempat segala barang itu disimpan, memang dekat dengan Pasar Losari. Dijalani dengan keluhan dan gerutu, terpal itu dibersihkan dan dikeringkan secukupnya untuk digelar sebagai lapak buku dan satu terpal besar untuk tempat duduk para pembaca.

    Sebuah kereta kembali lewat, dan asap dari tumpukan sampah terbawa angin ke arah lapak. Buldog (19), demikian teman-temannya biasa memanggilnya, menatap tumpukan sampah yang terbakar itu dengan geram ketika menata buku di atas terpal. Ia berujar tak biasanya sampah itu dibakar. Itu tumpukan sampah dari Perumnas Panggangsari, yang ada di dekat stasiun, yang rutin akan diangkut mobil bak sampah untuk dibuang ke TPA. Kegeraman Buldog cukup dimengerti ketika seusai menata buku ia langsung beranjak dan dengan tekun memunguti sampah-sampah plastik yang ada di sekitar rel kereta. Ia memunguti sampah-sampah itu sebagai bahan untuk kerajinan tangan dia dan kawan-kawan komunitasnya. Menurut kawan-kawannya, ia yang paling piawai membuat tas dari plastik bungkus kopi-seperti yang saat itu mereka gunakan untuk membawa buku-buku-,dan membuat aneka boneka pajangan dari botol plastik dan sampah elektronik.

    Selain Buldog, penggerak komunitas mereka yang lain adalah Nandar (19). Ia baru saja datang ketika buku telah tergelar dan kawan-kawannya tengah memilih satu di antara belasan karinding yang ada dalam sebuah kresek. Ya, mereka biasa memainkan karinding di atas rel kereta yang tak lagi berfungsi sembari menunggu sekaligus menarik pembaca. Selain suara kereta yang lewat, stasiun itu cukup sunyi karena berada di antara sawah dan jalan kecil yang hanya sesekali dilewati mobil sehingga suara karinding dapat didengarkan dengan jernih. Termasuk saat itu, ketika mereka memainkan “Bento” dari Iwan Fals.

    Nandar menyalami mereka dan bercerita ia baru mengangkut pasir untuk sebuah rumah baru. Bukan rumahnya, tapi rumah seseorang yang menyewa tenaga Nandar untuk mengangkutnya. Pekerjaan itu belum selesai, kata Nandar, selepas isya akan diteruskan. Ternyata ia menyempatkan diri untuk menemani kawan-kawannya menggelar lapak.

    Saya lalu mengajak Nandar dan Buldog yang tengah sibuk memunguti sampah di antara rel kereta untuk berbincang mengenai kegiatan komunitas mereka, terutama tentang lapak baca buku gratis yang mereka sebut sebagai Perpustakaan Nglemprak (nglemprak adalah bahasa Cirebon, padanan kata yang mendekatinya adalah lesehan). Berikut adalah narasi kecil hasil percakapan dengan mereka yang beberapa kali diselingi suara kereta lewat.

    ***

    Perpustakaan Nglemprak adalah salah satu kegiatan yang diadakan Komunitas Anak Wayang yang beranggotakan 17 orang. Nama komunitas mengambil filosofi wayang yang memiliki beragam karakter tokoh, yang berbeda tapi menyatu. Selain itu, penamaan ini juga mengusung tujuan untuk turut menyebar kebaikan sebagaimana wayang dulu digunakan oleh para Walisanga.

    Komunitas ini ada di bawah naungan OI, organisasi yang kesohor berisi para pengagum Iwan Fals, yang ada di Losari, Cirebon. Selain Perpustakaan Nglemprak, mereka juga mengadakan kegiatan sosial lainnya seperti: mendongeng untuk anak-anak, menggambar bersama, mengolah sampah organik menjadi pupuk, menanam pohon sebulan sekali pada satu hari di minggu pertama (seperti menanam mangrove, kelapa, pucuk merah, ketapang, dan lain-lain, sesuai lokasinya, bisa di pesisir laut atau tepi jalan), membuat beragam kerajinan dari sampah plastik dan barang elektronik, dan mengenalkan serta mengembangkan teknik menanam hidroponik.

    Perpustakaan Nglemprak digagas ketika Nandar melihat kegiatan baca buku gratis di tempat lain. Ia berpikir: mengapa ia dan kawan-kawannya tidak bisa melakukan hal serupa? Pikiran yang sama ternyata juga terlintas di benak Buldog. Keduanya, yang sama-sama gemar membaca buku sejarah dan novel, lalu memberanikan diri menggelar lapak baca buku gratis meskipun saat itu hanya punya 8 buku! Ya, 8 buku yang sebagian besarnya adalah buku pelajaran sekolah!

    Mereka memilih Stasiun Lama Losari sebab di sana biasa digunakan sebagai tempat berkumpul anak-anak dan muda-mudi di sore hari. Tak ada salahnya mereka menawarkan buku-buku untuk dibaca tanpa mengurangi aktivitas anak-anak yang menunggu kereta lewat atau mengganggu laku muda-mudi meniti rel sebagai media berkasih asmara, juga dapat mengisi kekosongan bagi muda-mudi yang ke stasiun sekadar untuk nongkrong.

    Dengan ketekunan mereka menggelar lapak selama tiga bulan sejak menggelar 8 buku itu, beberapa orang yang ada di lingkungan mereka mulai tertarik untuk menyumbangkan bahan bacaan. Kini, sebagian besar koleksi mereka adalah buku dan majalah bekas. Mereka tak membatasi bahan bacaan apa saja yang bisa disumbangkan sehingga hasilnya dapat terlihat dari keragaman puluhan bacaan yang digelar di lapak, dari buku karangan Kuntowijoyo hingga kisah nabi-nabi untuk anak-anak, juga dapat dilihat bagiamana membaurnya majalah Sabili dan Intisari, serta bersisiannya terjemahan kitab karya Al-Ghazali dengan novel populer masa kini.

    Gambar 1: Sebagian koleksi Perpustakaan Nglemprak tampak dari atas.

     

    Meski tak membatasi, mereka mengharapkan para dermawan mengerti bahwa misi mereka adalah untuk menumbuhkan kebiasaan membaca buku, dan untuk saat ini mereka menginginkan lebih banyak bacaan untuk anak-anak. Sebab, yang paling rutin mengunjungi lapak baca buku mereka adalah anak-anak sementara koleksi bacaan anak masih sedikit. Adapun remaja yang kerap baca buku di sana kebanyakan adalah perempuan, yang mengambil buku puisi atau novel.

    Bila ada pembaca yang berminat menyumbangkan buku pada tanggal 17 di setiap bulan, dapat mengirimkannya ke alamat berikut: Perpustakaan Nglemprak Komunitas Anak Wayang OI, Jl. Taryam TPU Pejaratan Dusun 1 Rt 03/Rw 01 Desa Panggangsari Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon 45192.

    Selain rutin menggelar lapak baca di stasiun, mereka juga kadang menggelarnya pada event-event tertentu, baik yang dihelat di Cirebon maupun di Brebes. Bagi mereka, menggelar lapak baca buku gratis adalah cara yang tepat untuk menggalakkan kebiasaan membaca pada masyarakat yang masih mengenal kegiatan membaca sebatas belajar, padahal membaca lebih luas dari belajar, dan belajar tidak melulu dengan membaca. Mereka mengerti bahwa di tiap sekolah, termasuk sekolah yang telah meluluskan mereka, memiliki perpustakaan, tetapi pengunjungnya minim dan koleksinya lebih banyak buku pelajaran sehingga lapak baca buku gratis yang mereka adakan adalah alternatif dari perpusatakaan sekolah. Bila perpustakaan sekolah diam di tempat, lapak baca mereka yang bergerak mendekati pembaca.

    Buldog semenjak lulus sekolah menengah atas sudah memutuskan tidak merantau untuk bekerja di Jakarta, Bandung, atau ke luar negeri menjadi TKI, sebagaimana banyak pemuda di daerahnya. Sementara Nandar hanya tahan 2 bulan merantau di Tangerang untuk kemudian kembali pulang dan memilih bertahan di kampung halaman. Mereka mengerti bahwa tempat tinggalnya memiliki banyak potensi untuk diberdayakan dan terlalu sayang bila ditinggalkan para pemudanya, maka mereka lebih memilih berbakti pada kampung halaman daripada bekerja di perantauan. Keputusan mereka berdua membangun masa depan kampung halaman mengingatkan saya pada satu bait terakhir sajak “Apa Ada Angin di Jakarta” karya Umbu Landu Paranggi:

    Pulanglah ke desa

    Membangun esok hari

    Kembali ke huma berhati.

    ***

    Seusai berbincang, saya menemui tiga anak kecil yang tengah membaca. Ikhwan, kelas 2 sekolah dasar masih membaca dengan nyaring dan agak terbata, bahkan sesekali dituntun kawannya, Rifqi yang sudah kelas 4. Mereka tengah membaca kisah seorang anak muslim salih yang tiap halamannya bergambar. Kata mereka gambar dan ceritanya bagus-bagus sehingga mereka menyukainya. Sementara itu, di dekat mereka ada Revi, gadis kecil berkacamata kelas 5 sekolah dasar, yang tengah membaca dengan tenang, tentu membaca dalam hati, sebuah legenda kisah Nusantara. Kisahnya asyik, kata Revi, banyak (hal) yang baru didapatkannya dari membaca (buku itu).

    Gambar 2: Nandar berbaju hijau sedang membaca buku puisi dan merekam dengan ponselnya sementara teman-temannya mengiringinya dengan karinding.

     

    Saya meninggalkan mereka agar kembali khusyuk membaca. Saya bergabung dengan Nandar, dkk. untuk belajar memainkan karinding. Setelah berkali-kali saya mencoba membunyikan karinding, tiba-tiba saya mendengar teriakan ketiga anak itu dari atas motor yang sedang melaju dikendarai orangtuanya: “Terima kasih, Kakak….!” yang lantas dijawab dengan antusiasme yang sama oleh Nandar, dkk. “Sama-sama, besok datang lagi ya….!”

    Meskipun apa yang dilakukan Komunitas Anak Wayang semata untuk membiakkan kebiasaan membaca buku di lingkungannya, pemilihan stasiun sebagai tempat menggelar lapak justru membuat saya berpikir: jangan-jangan mereka tengah mengkritik. Mengkritik siapa? Mengkritik pemerintah yang belum banyak menyediakan bacaan di ruang-ruang publik, termasuk di stasiun.***

     

    Teks: Asef Saeful Anwar

    Foto: Adin dari Komunitas Halaman Kita, beralamat di IG: @losarihalamankita

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/artikel/membaca-buku-dari-tepi-stasiun/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/feataseoart.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/feataseoart-150×150.jpgRedaksi KibulArtikelSosokAnak,Artikel,Asef Saeful Anwar,Budaya,buku,Cirebon,kibul,Komunitas,Perpustakaan,Pustaka,Sastra,SeniSABTU, 1 Juli 2017, sore di Stasiun Lama Losari, sebuah kereta lewat ketika seseorang menyalakan api pada tumpukan sampah di utara jalan tepi stasiun. Tepat di seberangnya empat anak muda, tiga lelaki satu perempuan, menurunkan bawaannya berupa dua tas berisi buku dan beberapa terpal setelah memarkir sepeda motor. Mereka…Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Malam Sastra Seribu Bulan: Merayakan Kembali Sastra Pesantren

    author = About Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    View all posts by Redaksi Kibul →

    Studio Pertunjukan Sastra (SPS) bekerja sama dengan Pondok Pesantren Kaliopak, menggelar Bincang-bincang Sastra (BBS) edisi ke 141 dalam rangkaian acara Malam Sastra Seribu Bulan putaran ke 10 mengusung tajuk “Merayakan Kembali Sastra Pesantren”. Acara akan berlangsung pada Kamis, 15 Juni 2017, pukul 20.00 WIB. di Pondok Pesantren Kaliopak, Jalan Wonosari km 11,5 Klenggotan, Dusun Srimulyo, Piyungan, Bantul. Dalam acara ini akan hadir selaku pembicara ialah M. Jadul Maula, pimpinan Pondok Pesantren Kaliopak dan Sholeh U.G., pegiat sastra pesantren yang akan dipandu oleh Salman Rusydi Anwar dari Komunitas Kutub. Selain itu, acara ini juga akan menampilkan Paguyuban Emprak Pesantren Kaliopak, Mata Langit, Sasono Hinggil, Komunitas Kutub, Nurel Javissyarqi, dan Cak Udin mempertunjukan karya-karya sastra bernuansa Islami dari kitab-kitab klasik dan karya sastra modern.

     

    Mustofa W. Hasyim selaku ketua Studio Pertunjukan Sastra menuturkan bahwa, “Pertama, keberadaan sastra di pesantren berupa sastra kitab (sastra ilmu). Hampir semua kitab klasik ditulis dengan konstruksi dan bahasa sastra. Hal itu menunjukkan bahwa antara pesantren dengan sastra sesungguhnya sudah terjalin keakraban sejak lama. Kedua, tidak sedikit isi kitab klasik yang diolah menjadi suluk, serat, babad. Ketiga, karya sastra ekspresi ulama atau kiai berupa sesingiran, kasidah, salawat-salawat seperti Al Barjanzi, Dibai, Burdah, Dlurori, dan lain sebagainya. Empat, sastra eksptesi santri berupa karya sastra modern seperti puisi, cerita pendek, novel, esai, dan naskah drama.”

     

    Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran Islam di Indonesia, telah tumbuh dan berkembang seiring sejalan dengan sejarah penyebaran agama tersebut. pengembangan ajaran agama Islam melalui unsur-unsur tradisi dan budaya pesantren, memungkinkan sastra tumbuh dan berkembang di pesantren dan lingkungan sekitarnya. Maka di era modern berkembanglah sastra pesantren bahkan sempat ramai diperbincangkan mengenai soal-soal yang meliputis sastra dan pesantren itu.

     

    “Pesantren dan sastra pesantren sebagai khazanah perkembangan peradaban Islam di Indonesia adalah fenomena. Sastra pesantren adalah genre, kanon sastra pesantren, industri sastra pesantren, merebaknya sastra Islami, label sastra Islami, pernah mewarnai ‘perdebatan’ di dalam sastra Indonesia. Yogyakarta merupakan salah satu sumbu yang membuat sastra pesantren menyala. Di Yogyakarta, untuk menyebut beberapa, ada Pesantren Sunan Pandanaran, Pesantren Hasyim Asy’ari (Kutub), Pesantren Nurul Ummah Kotagede, Pesantren Maulana Rumi, Pesantren Tradisional Roudlotul Fatihah, dan Pondok Pesantren Budaya Kaliopak yang sejauh ini diketahui memiliki cukup perhatian terhadap kesenian dan sastra. Hal tersebut tidak luput dari peran pengasuhnya yang juga seorang sastrawan-budayawan. Sebut saja (alm.) Zainal Arifin Thoha, M. Fuad Riyadi, Kuswaidi Syafi’i, M. Jadul Maula, dan beberapa nama yang memilih jalur budaya untuk berdakwah,” ujar Mustofa.

     

    “Agaknya bukanlah suatu hal yang mengada-ada manakala Studio Pertunjukan Sastra hari ini mengajak masyarakat untuk menilik kembali bagaimana sastra pesantren hadir dan melahirkan banyak karya dan sejumlah nama sastrawan di Yogyakarta, khususnya, dan Indonesia pada umumnya,” pungkasnya.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/artikel/malam-sastra-seribu-bulan-merayakan-kembali-sastra-pesantren/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featsps.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featsps-150×150.jpgRedaksi KibulArtikelArtikel,Budaya,Islam,kibul,Peristiwa,Pesantren,Sastra,studio pertunjukan sastraStudio Pertunjukan Sastra (SPS) bekerja sama dengan Pondok Pesantren Kaliopak, menggelar Bincang-bincang Sastra (BBS) edisi ke 141 dalam rangkaian acara Malam Sastra Seribu Bulan putaran ke 10 mengusung tajuk “Merayakan Kembali Sastra Pesantren”. Acara akan berlangsung pada Kamis, 15 Juni 2017, pukul 20.00 WIB. di Pondok Pesantren Kaliopak, Jalan…Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Malam Puncak English Days 2017: Queen at Last, Beyond The Folktale of Lutung Kasarung

    author = Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    Pada tahun ini, Program Studi Sastra Inggris UGM kembali mempersembahkan rangkaian acara dalam rangka melaksanakan acara tahunan Prodi, yaitu English Days. Dengan tema “The Eternal Wisdom of Folktales”, kami mengajak para pemerhati sekalian, baik, anak-anak, pelajar, maupun orang dewasa untuk ikut melestarikan nilai kearifan dalam cerita rakyat yang tak lekang oleh waktu dan harus senantiasa kita junjung dalam upaya menjadi insan yang lebih baik. Melalui teater musikal kami yang berjudul “Queen at Last, Beyond The Folktale of Lutung Kasarung” akan menampilkan sisi lain dari cerita daerah dari Jawa Barat yaitu Lutung Kasarung dengan memfokuskan ke ikatan persaudaraan antara Purbasari dan Purbararang. Teater musikal ini akan berkolaborasi dengan sutradara dan aktor besar Indonesia “Landung Simatupang” serta berbagai komunitas tari tradisional Indonesia.

    Pertunjukan ini merupakan sebuah teater musikal hasil kolaborasi dari komunitas-komunitas seni di Program Studi Sastra Inggris, seperti Terasi (Teater Sastra Inggris), Icety (Komunitas Tari), Kombantrin (Komunitas Musik dan Band), dan Prasasti (Komunitas Musik Jawa/Gamelan). Satu hal yang paling membanggakan pada musical teater tahun ini adalah keterlibatan aktor Landung Simatupang. Beliau akan berkolaborasi penuh dengan aktor dan aktris Sastra Inggris lainnya dalam pementasan kali ini. Pertunjukan akan dilangsungkan pada hari Minggu, 12 November 2017 di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta. Hanya dengan tiket presale 1 25K, presale 2 30K, dan on the spot 35K, kami mengajak para pemerhati sekalian dari segala golongan untuk mengingat pentingnya melihat lebih dalam cerita rakyat yang kita punya dengan menyaksikan pertunjukan kami. Tiket sudah bisa dibeli secara offline dari tanggal 1 Oktober di ticket box depan Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Untuk informasi lebih lanjut dan tiket online hubungi Putri (line : putricyrus), atau instagram : @englishdays.ugm.

    Acara ini kami selenggarakan dengan kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak, seperti UC Web Singapore PTE LDT, Sariayu, Kompas, Sari Roti, PT Rijen Cahaya Muliya, Klick, Dinas Pariwisata DI Yogyakarta, Maestro, Happy Puppy, Movie Box, Jolie, Ayam Preksu, Rumah Kreasi, dan Waroeng SS.

    Demikian, rangkaian acara kami dalam English Days 2017 dapat menjadi bahan edukasi bagi generasi sekarang untuk meningkatkan rasa cinta terhadap cerita-cerita rakyat Indonesia dan melestarian budaya Indonesia.

     

    Sinopsis:

    Queen at Last (Beyond the folktale of Lutung Kasarung) bercerita tentang persaudaraan dua orang putri kerajaan, Purbasari dan Purbararang. Suatu hari, hubungan kakak-beradik yang penuh kasih harus terpecah sehingga mengakibatkan terusirnya salah satu putri dari istana. Dengan bantuan seekor lutung dan terungkapnya akar kebencian di dalam Kerajaan, kedua putri bangkit dengan caranya masing-masing. Mereka pun menyadari bahwa keluarga adalah tempat bernaung yang sesungguhnya.

    Ekspositoris:

    Purbasari dan Purbararang merupakan dua orang kakak-beradik yang saling mencintai. Purbasari dengan karakternya yang ceria namun menyebalkan mampu melengkapi Purbararang yang tidak percaya diri namun penuh kasih. Hubungan mereka begitu dekat, hingga suatu hari persaudaraan mereka diuji ketika iri dan dengki menyelimuti hati salah satu putri.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021

    author = Redaksi Kibul

    Kibul.in (https://kibul.in) adalah media sastra alternatif kolektif yang berdiri pada awal 2017 dengan salah satu tujuannya adalah mengajak masyarakat—terutama anak muda—menghayati sastra, seni, dan budaya dengan mencairkan pendekatan kepada tiga entitas tersebut secara asyik. 

    Kumpulan Puisi (@kumpulan_puisi) adalah akun di media sosial Instagram yang secara aktif memposting potongan puisi untuk memperkenalkan sastra (khususnya puisi) pada masyarakat—terutama anak muda—yang akrab dengan media sosial.

    Atas dasar kesamaan tujuan tersebut, Kibul.in dan Kumpulan Puisi melakukan kolaborasi untuk mengadakan Sayembara Menulis Puisi 2021. Sayembara yang diselenggarakan mulai 1 Februari hingga 26 April 2021 ini bertujuan untuk mengapresiasi serta memberi ruang bagi rekan-rekan penulis puisi untuk menunjukkan karyanya.

    Linimasa Pelaksanaan Sayembara

    Linimasa pelaksanaan sayembara terbagi periode-periode sebagai berikut: 

    Pengumpulan naskah dibagi ke dalam dua periode yaitu periode Early Bird dari tanggal 1 hingga 25 Februari 2021 dengan biaya pendaftaran sebesar Rp25.000/naskah dan periode Regular dari tanggal 26 Februari hingga 15 April 2021 dengan biaya pendaftaran Rp30.000/naskah

    Tenggat pengumpulan naskah akan ditutup pada 15 April 2021 pukul 23.59, dilanjutkan periode Penjurian tanggal 16 April hingga 23 April 2021 dan diumumkan pada 26 April 2021.

    Ketentuan Teknis & Persyaratan:

    1. Sayembara ini bersifat umum dan boleh diikuti oleh seluruh Warga Negara Indonesia tanpa dibatasi usia

    2. Setiap peserta diperbolehkan mengirim lebih dari satu naskah puisi dengan tema bebas. Adapun panitia tidak memberi ketentuan terkait tema agar peserta dapat melakukan eksplorasi secara lebih luas dan bebas mengambil sudut pandang.

    3. Karya puisi yang diikutsertakan dalam sayembara merupakan hasil karya sendiri, bukan plagiasi, belum pernah dipublikasikan di media apapun, serta belum pernah diikutsertakan dalam perlombaan serupa. 

    4. Naskah yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut akan didiskualifikasi

    5. Puisi yang diikutsertakan dalam lomba adalah puisi berbahasa Indonesia;

    6. Naskah diunggah dalam format file .docx/.doc 

    7. Ketentuan font Times New Roman ukuran 12pt, spasi 1.5, dan ukuran kertas A4. 

    8. Dewan juri akan melakukan penilaian dengan mempertimbangkan kriteria berupa pemilihan tema yang meliputi eksplorasi dan sudut pandang, estetika yang meliputi diksi dan imaji, serta isi puisi

    9. Panitia berhak mempublikasi puisi, hak cipta tetap milik peserta.

    10. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat. Panitia berhak mempublikasi puisi, hak cipta tetap milik peserta.

    Mekanisme Pendaftaran

    1. Pendaftaran sayembara dilakukan dengan mengisi data diri dan mengunggah file naskah puisi, bukti transfer, dan foto/scan kartu identitas di tautan berikut: . 

    2. Pembayaran dapat dilakukan melalui transfer ke salah satu dari rekening berikut: 

    • Mandiri 137 001826 401 6 a/n Andreas Avelinus N K
    • BNI 0776783340 a/n Andreas Avelinus N K
    • BCA 0374456551 a/n Irfan Afiansa S 
    • BRI 216401009725502 a/n Zahara Nisa F 

    Sejumlah Rp25.000 per naskah untuk pendaftaran periode Early Bird dan Rp30.000 per naskah untuk pendaftaran periode Regular. Peserta akan mendapatkan konfirmasi penerimaan naskah via Whatsapp maksimal 2×24 jam.

    Hadiah

    Dari seluruh naskah puisi yang masuk, dewan juri akan memilih tiga naskah terbaik, dan berhak mendapatkan hadiah sejumlah:

    JUARA I : Rp1.500.000 

    JUARA II : Rp1.000.000  

    JUARA III: Rp750.000 

    Selain itu, ketiga pemenang juga akan mendapatkan voucher belanja buku di Warung Sastra serta e-certificate pemenang. 

    Kibul.in akan memberikan apresiasi kepada lima belas puisi dengan perolehan nilai tertinggi berupa kesempatan untuk dipublikasikan di laman Kibul.in dan instagram Kumpulan Puisi sehingga dapat dibaca oleh lebih banyak orang. Selain itu, e-certificate peserta juga akan dibagikan kepada seluruh partisipan terdaftar sebagai bukti keikutsertaan peserta dalam sayembara ini.

    Demikian Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021, apabila terdapat informasi yang perlu ditanyakan dapat menghubungi Whatsapp 085727343561, Instagram @kibul.in, atau Twitter @redaksikibul .

  • Lorem Ipsum

    author =

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam vestibulum sagittis ultrices. Mauris gravida porta mattis. Nullam vel sapien id leo tempor iaculis eu eget nibh. Morbi mattis leo nisi, vitae aliquet lacus viverra sed. Fusce ipsum nisl, egestas fermentum tempor eget, aliquet et risus. Nullam quis rhoncus nisl, non pharetra orci. Suspendisse sollicitudin sollicitudin eros. Suspendisse tristique bibendum tortor ut ornare. Nulla congue, dolor non fermentum commodo, turpis libero semper ex, eu suscipit nisi nulla eu ante. Nulla metus nulla, tincidunt quis aliquam vel, imperdiet nec turpis. Aliquam laoreet urna non leo eleifend, nec lobortis ante molestie.

    Enlarge

    bookcase-1869616_1920

    a bookcase
    A bookcase is a treasure contain a lot of knowledge

    Maecenas a odio et turpis interdum venenatis sit amet bibendum leo. Duis volutpat urna eget augue laoreet, vel molestie ex semper. Curabitur nisl felis, blandit vitae enim auctor, fermentum imperdiet est. Cras in pretium dolor, id ornare enim. Etiam efficitur sagittis magna vitae dictum. Quisque fringilla urna vitae nibh consectetur, et ornare lectus iaculis. Sed varius tellus ut nulla imperdiet, at maximus metus condimentum. Cras non rhoncus nisi. Praesent tempor diam eget eros tincidunt finibus. Nulla facilisi.


    Sed sit amet nisi est. Nulla facilisi. Nam pellentesque magna a lectus suscipit aliquet. In lacinia porttitor dictum. Quisque vulputate eros ut lacus facilisis varius. Mauris at dolor libero. Fusce interdum lacinia quam, vel luctus mi fringilla eu. Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Integer in euismod orci, quis vestibulum ante. Integer orci odio, condimentum a fringilla vitae, tristique a ex. Fusce ac libero sed orci cursus tincidunt. Phasellus lacinia nunc malesuada ligula lacinia, nec dignissim velit mollis. Vivamus sollicitudin nisi non lorem auctor, tincidunt condimentum justo posuere.
    a famous unknown

    Duis vel enim non velit mollis elementum et eu ipsum. Nunc luctus suscipit odio, quis dapibus nibh elementum in. Nunc tristique massa quis ipsum blandit, ac hendrerit mauris placerat. Vestibulum libero velit, laoreet eget luctus non, imperdiet ut nisl. Ut maximus diam turpis, et elementum felis consectetur a. Fusce dui lorem, facilisis quis fermentum at, vestibulum nec nibh. In hac habitasse platea dictumst. Maecenas pretium, mi non facilisis mollis, tortor sem rhoncus lacus, sed feugiat risus risus ac dolor. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Morbi congue, magna in maximus tempor, purus arcu suscipit lacus, id sodales erat justo ac mauris. Proin id tristique ligula.

    Chapter I
    Karang Iku Atos

    Integer ullamcorper eros ipsum, et tincidunt turpis interdum non. Ut est ipsum, sollicitudin eu velit id, luctus pulvinar lacus. Maecenas varius, leo at dapibus rutrum, urna diam efficitur sapien, eget aliquam quam sem id ipsum. Donec ornare ante et commodo rutrum. Mauris ac lorem dolor. Suspendisse mauris risus, tristique at nulla a, accumsan commodo nibh. Aliquam sollicitudin orci non tellus mattis, eget faucibus est blandit. Nullam gravida sit amet ligula eu rutrum. Sed eleifend venenatis enim laoreet feugiat. Proin eleifend arcu metus, in consectetur sem hendrerit sit amet. Ut in quam lorem. Sed aliquam mollis molestie. Cras tempus turpis ac mollis tempor. Aenean pharetra aliquam velit vel lacinia. Donec convallis justo ac fringilla elementum. Maecenas dapibus mauris in quam volutpat, a cursus.

    Chapter II
    Karang Iku Atos Tenan

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam vestibulum sagittis ultrices. Mauris gravida porta mattis. Nullam vel sapien id leo tempor iaculis eu eget nibh. Morbi mattis leo nisi, vitae aliquet lacus viverra sed. Fusce ipsum nisl, egestas fermentum tempor eget, aliquet et risus. Nullam quis rhoncus nisl, non pharetra orci. Suspendisse sollicitudin sollicitudin eros. Suspendisse tristique bibendum tortor ut ornare. Nulla congue, dolor non fermentum commodo, turpis libero semper ex, eu suscipit nisi nulla eu ante. Nulla metus nulla, tincidunt quis aliquam vel, imperdiet nec turpis. Aliquam laoreet urna non leo eleifend, nec lobortis ante molestie.

    Maecenas a odio et turpis interdum venenatis sit amet bibendum leo. Duis volutpat urna eget augue laoreet, vel molestie ex semper. Curabitur nisl felis, blandit vitae enim auctor, fermentum imperdiet est. Cras in pretium dolor, id ornare enim. Etiam efficitur sagittis magna vitae dictum. Quisque fringilla urna vitae nibh consectetur, et ornare lectus iaculis. Sed varius tellus ut nulla imperdiet, at maximus metus condimentum. Cras non rhoncus nisi. Praesent tempor diam eget eros tincidunt finibus. Nulla facilisi.

    Sed sit amet nisi est. Nulla facilisi. Nam pellentesque magna a lectus suscipit aliquet. In lacinia porttitor dictum. Quisque vulputate eros ut lacus facilisis varius. Mauris at dolor libero. Fusce interdum lacinia quam, vel luctus mi fringilla eu. Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Integer in euismod orci, quis vestibulum ante. Integer orci odio, condimentum a fringilla vitae, tristique a ex. Fusce ac libero sed orci cursus tincidunt. Phasellus lacinia nunc malesuada ligula lacinia, nec dignissim velit mollis. Vivamus sollicitudin nisi non lorem auctor, tincidunt condimentum justo posuere.

    Duis vel enim non velit mollis elementum et eu ipsum. Nunc luctus suscipit odio, quis dapibus nibh elementum in. Nunc tristique massa quis ipsum blandit, ac hendrerit mauris placerat. Vestibulum libero velit, laoreet eget luctus non, imperdiet ut nisl. Ut maximus diam turpis, et elementum felis consectetur a. Fusce dui lorem, facilisis quis fermentum at, vestibulum nec nibh. In hac habitasse platea dictumst. Maecenas pretium, mi non facilisis mollis, tortor sem rhoncus lacus, sed feugiat risus risus ac dolor. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Morbi congue, magna in maximus tempor, purus arcu suscipit lacus, id sodales erat justo ac mauris. Proin id tristique ligula.

    Integer vel blandit elit, id vestibulum sapien. Nullam a bibendum purus, eu finibus risus. Praesent auctor, lorem non consectetur venenatis, magna turpis laoreet ex, commodo dapibus ligula lacus quis dolor. Morbi id sem nec mauris pharetra luctus sed ac neque. Nulla non lacus pretium eros ultrices lacinia non et ligula. Cras in turpis mi. Cras ut lectus in dolor pharetra posuere. Fusce ullamcorper consectetur risus, ut ultrices urna accumsan non. Sed libero leo, rutrum vel scelerisque eget, rutrum in purus. Etiam eu dapibus odio. Nullam suscipit tellus sit amet tellus interdum suscipit. Aenean ut tortor elementum, scelerisque nunc faucibus, dictum felis.

    Integer ullamcorper eros ipsum, et tincidunt turpis interdum non. Ut est ipsum, sollicitudin eu velit id, luctus pulvinar lacus. Maecenas varius, leo at dapibus rutrum, urna diam efficitur sapien, eget aliquam quam sem id ipsum. Donec ornare ante et commodo rutrum. Mauris ac lorem dolor. Suspendisse mauris risus, tristique at nulla a, accumsan commodo nibh. Aliquam sollicitudin orci non tellus mattis, eget faucibus est blandit. Nullam gravida sit amet ligula eu rutrum. Sed eleifend venenatis enim laoreet feugiat. Proin eleifend arcu metus, in consectetur sem hendrerit sit amet. Ut in quam lorem. Sed aliquam mollis molestie. Cras tempus turpis ac mollis tempor. Aenean pharetra aliquam velit vel lacinia. Donec convallis justo ac fringilla elementum. Maecenas dapibus mauris in quam volutpat, a cursus.

    • About
    • Latest Posts

    admin

    lorem ipsum

    Latest posts by admin (see all)

    • Lorem Ipsum – 8 January 2017
    • Lorem Ipsum – 4 January 2017
    Bagikan

  • Kumandang: Sastra Jawa Sambang Desa

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra pada tahun 2019 kembali menggelar acara Sastra Jawa Sambang Desa. Acara ini pertama kali digelar pada tahun 2018 di Dusun Onggopatran, Srimulyo, Piyungan, Bantul. Kali ini,  Studio Pertunjukan Sastra dengan mengusung tema “Kumandang” hadir kembali bekerja sama dengan Karang Taruna Hargo Puspito dan Dinas Kebudayaan DIY. Acara ini sedianya akan berlangsung pada Rabu, 20 November 2019 pukul 19.00 di Dusun Dawangsari, Sambirejo, Prambanan, Sleman. 

    Yang akan tampil dalam acara ini adalah Karang Taruna Hargo Puspito Dawangsari dengan sandiwara basa Jawa “Jumbleng” karya Wage Daksinarga yang disutradarai oleh Ali Syafaat; Bocah-Bocah Dawangsari juga akan tampil membawakan dolanan bocah “Ayo Dolanan” karya Annisa Siwi Prastiwi; tidak mau ketinggalan Teater HIMA Jawa UNY pun akan menampilkan dramatic reading crita cekak “Lading” karya Krishna Mihardja; dan kolaborasi antara Ardhanariwari dan Gandhang menampilkan joged gurit “Loro Blonyo” karya Djaimin K. 

    “Kali ini Studio Pertunjukan sastra menggandeng teman-teman Karang Taruna Hargo Puspito Dusun Dawangsari, Sambirejo, Prambanan, bocah-bocah Dusun Dawangsari, dan mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah FBS UNY yang terhimpun dalam Teater HIMA Jawa UNY. Generasi muda, itulah inti dari kegiatan ini. Sebisa mungkin semangat muda menjadi pendorong utama hadirnya acara ini,” ujar Sukandar selaku koordinator acara.

    Sementara itu, Mustofa W. Hasyim selaku ketua Studio Pertunjukan Sastra saat dijumpai di ruang kerjanya menyatakan bahwa “Sastra Jawa di Yogyakarta memiliki usia yang tua. Sejarah mencatat hadirnya karya sastra Jawa yang memiliki mutu tinggi. Serat babad, kitab-kitab berisi naskah Jawa kuno, hingga karya sastra Jawa modern dengan adanya media massa berbahasa Jawa menunjukkan bahwa sastra Jawa di Yogyakarta tak bisa dipandang sebelah mata. Belakangan juga hadir di tengah-tengah kita adanya sayembara penulisan karya sastra Jawa dari kampus maupun instansi-instansi kebudayaan di DIY.” 

    Mustofa menambahkan, “Studio Pertunjukan Sastra menggelar pementasan sastra Jawa di desa-desa, njajah desa milang kori demi mewujudkan hidupnya sastra Jawa dengan kemasan kekinian dapat tumbuh di era milenial. Suatu pergelaran dengan bahan baku karya sastra Jawa perlu digalakkan agar masyarakat kembali dekat dengan karya sastra. Dengan format menyambangi desa-desa di DIY, Studio Pertunjukan Sastra berupaya menyosialisasikan gerakan literasi melalui satu pementasan seni budaya dengan bahan baku karya sastra Jawa.” 

    Disadari bersama bahwa sastra Jawa memiliki beban berat dalam hal bahasa dan budaya, sehingga sudah selayaknya diusung bersama bahu-membahu untuk menyampaikannya kepada khalayak ramai. Dengan menggubah teks menjadi sebuah pertunjukan maka karya sastra akan dapat hadir secara langsung dan dekat di hadapan masyarakat.

    Sastra merupakan sebuah dunia reflektif, sebagai sebuah sarana pembelajaran manusia di Nusantara sejak sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sastra Jawa dan kebudayaan Jawa bersifat membentuk masyarakat di bidang spiritual, sosial, mental, moral, beradab baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional. Di dalam karya sastra Jawa tersimpan kearifan yang menjadi penuntun tata nilai di masyarakat. Sastra Jawa berpegang dan memegang teguh hal tersebut sebagai sebuah cerminan kehidupan. Dengan menampilkan karya para sastrawan Jawa dalam sebuah pertunjukan oleh para sastrawan dan pelaku seni komunitas sastra di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikemas modern semoga masyarakat secara luas dapat menikmatinya sebagai tontonan dan mengkhidmatinya sebagai tuntunan. Melengkapi acara pementasan sastra Jawa ini juga diterbitkan buku yang memuat karya sastra yang dipentaskan.

  • Komunitas Omah Aksara Membaca Eka Kurniawan

    author = Titis Anggalih

    Di tengah budaya milenial kekinian, geliat kesusastraan
    seolah tak berhenti detak dan denyutnya. Komunitas-komunitas penyair, penulis,
    pegiat teater masih aktif berkreasi.

    “Ada yang sampai kapanpun tidak akan mungkin digantikan
    oleh AI (artificial intelligence) yang marak digunakan media-media sejak
    beberapa tahun belakangan,” kata Khatmil Mamen, salah satu anggota OA,
    “yakni fiksi : cerpen, fiksi flash, atau novel.”

    Semangat itulah yang melatarbelakangi berdirinya Omah
    Aksara, salah satu komunitas menulis yang terbuka bagi siapa saja.

    “Asal suka membaca dan menulis,” kata Rudi
    Sarwiyana, member OA. Sejak berdirinya OA tahun 2013, beberapa lomba lokal
    seperti Bulan Bahasa dan Festival Sastra UGM pernah dimenangkan. Dimuat dalam
    beberapa buku antologi atau media daring setempat. Sedangkan karya atau produk
    OA kini bisa dinikmati khalayak melalui media daring ( website www.cuap.in ,
    juga akun medium Omah Aksara ) maupun cetak ( buletin Macapat Syafaat ), serta
    melalui diskusi pekanan rutin yang diadakan setiap Rabu Malam.

    Berikut sedikit rangkuman diskusi Rabu Malam membahas warna
    karya Eka Kurniawan bersama Titis Anggalih sebagai salah satu metode alternatif
    dalam mengawali langkah kawan-kawan kepenulisan.

    Mengapa dimulai dengan “membaca”?

    Metode memulai belajar menulis fiksi tentunya ada banyak dan
    hal tersebuk baik. Sebagai contoh, dalam pengalaman saya, membaca warna tulisan
    penulis besar bisa dibilang cukup efektif, dalam hal ini membaca warna karya
    Eka Kurniawan.

    Dengan membaca, ibarat menemukan poin penting dalam sebuah
    perjalanan, yakni arah jalan. Ibaratnya, akan ke mana tujuan, pola,
    perkembangan, kreatifitas, tolok ukur, dan gaya tulisan menjadi lebih jelas.
    Saya jadi memiliki gambaran dan gambaran itu penting. Jika tidak ada tujuan,
    tentunya kita tidak akan sampai di manapun. Dan menariknya, tujuan selalu bisa
    diperbarui.

    Apa yang dimaksud dengan “Membaca Eka”?

    Bukan menerawang. Maksud saya, dengan dimulai dari membaca seluruh kumpulan cerpen dan novel Eka, tidak mungkin kita tidak mendapat apa-apa. Dari membaca karya cetaknya saja, kita turut memahami perkembangan tulisan Eka. Warna karya Eka dalam Corat-coret Di Toilet (yang bisa dibilang sebagai karya-karya mula Eka) tentu berbeda dengan Cantik Itu Luka, misalnya. Nah, perubahan dan perbedaan inilah yang bisa kita jadikan acuan, syukur-syukur kita terapkan dalam perjalanan menulis kita.

    Banyak sebenarnya, tidak hanya dari gaya bahasa, namun juga
    idiom, “kegenitan-kegenitan” kalimat, hidup tidaknya dialog, mengalir
    tidaknya cerita, metafora, dan sebagainya. Pasti berkembang.

    Mengapa Eka Kurniawan?

    Indonesia memiliki penulis-penulis hebat dengan kedalaman
    wawasan atau khazanahnya masing-masing, dan hal tersebut tidak bisa
    diperbandingkan mana penulis yang lebih baik antara satu dengan lainnya.
    Seperti vitamin A kan tidak bisa dibandingkan dengan vitamin C, karena
    fungsinya berbeda.

    Saya sendiri memilih menjadikan Eka sebagai awalan karena
    saya suka dengan kelugasan penceritaannya (rasa suka ini penting sehingga
    ketika menjalaninya lebih tulus), terutama dalam Cantik Itu Luka, yang menurut
    saya masih merupakan masterpiece Eka Kurniawan. Alurnya padat namun tidak
    tanggung, serta banyak kesegaran atau spontanitas yang ditawarkan, lumayan
    berbeda dengan O.

    Juga yang saya dapati lainnya dari Eka adalah mentalitas
    berani mencoba yang spontan. Warna tulisan Eka lahir di tengah gaya nafas
    sastra lama yang awalnya dianggap sebelah mata. Cukup berani tampil beda.
    Lainnya mendayu-dayu, Eka berani blak-blakan. Seolah terjadi gradasi warna gaya
    tulisan lawas. Ia mengawali jenis-jenis tulisan baru dan segar lainnya. Top
    lah.

    Bagaimana membaca sebuah karya bisa membantu langkah kita?

    Dengan fokus menekuni perjalanan seorang penulis, peta
    tujuan kita memiliki role model yang kita sukai. Ini lebih cepat daripada trial
    and error. Selain itu kemampuan kita mengidentifikasi warna dan rasa tulisan
    ikut terasah (jangan kaget kalau kita jadi bisa membedakan warna tulisan
    penulis lainnya atau bahkan siapa penulis yang mempengaruhinya).

    Dengan membaca Eka artinya justru tidak akan berhenti di Eka. Dalam perjalanannya, kita dijadikan tahu siapa saja penulis lain yang menjadikan Eka sebagai Eka saat ini. Bisa jadi Edgar Keret atau Pram, nah siapa yang berpengaruh bagi Eka ini yang kita kejar selanjutnya (apalagi Eka rajin mereview buku apa saja yang ia baca dalam blog pribadinya). Belajarnya jadi tidak berhenti.

    Apakah belajar Eka akan menjadikan kita peniru gaya Eka?

    Sebagai pemula, meniru adalah keniscayaan. Bocah belajar bicara dan berjalan dengan meniru orang dewasa, namun pada perkembangannya, si bocah menemukan jati dirinya sendiri. Semua tergantung pribadi penulis, kalau mau jadi peniru ya bisa, mau dijadikan jalan menemukan gaya tulisannya sendiri lebih bisa, saya kira.

  • Pergulatan Kho Ping Hoo di Dunia Persilatan Sastra Indonesia

    author = Latief S. Nugraha

    Dunia persilatan sastra Indonesia sempat diwarnai dengan merebaknya sejumlah nama penulis cerita silat berlatar sejarah Cina. Sebut saja Gan K.L. (Gan Kok Liang), O.K.T. (Oey Kim Tiang), Auyang Hong, dan Tjan I.D. (Tjan Ing Djiu). Hingga kini beberapa nama tersebut masih bisa dijumpai di pasar buku-buku loak dan lewat penerbitan-penerbitan ulang karya mereka. Cerita silat berlatar sejarah Cina agaknya mempunyai arti penting di hati para pembacanya di Indonesia, terutama bagi keturunan Cina yang dibesarkan di bawah tekanan rezim Orde Baru. Dalam suasana tersebut, cerita-cerita silat Cina menjadi salah satu sumber kebudayaan, sejarah, agama, bahkan moral yang penting bagi masyarakat.

    Membicarakan cerita silat berlatar sejarah Cina di Indonesia, ganjil rasanya jika melewatkan nama Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo yang biasa menuliskan namanya Asmaraman S. Kho Ping Hoo dan lebih akrab disebut namanya Kho Ping Hoo. Berbeda dengan para penulis cerita silat yang sudah disebutkan, Kho Ping Hoo tidak menceritakan ulang cerita silat berbahasa Cina ke dalam bahasa Indonesia, tapi mengarang sendiri dengan meramu fantasi dan pengetahuannya. Ia juga memadupadankan latar sejarah Cina dan Jawa ke dalam fantasinya menjadi cerita silat.

    Kho Ping Hoo merupakan seorang Cina peranakan kelahiran Sragen, Jawa Tengah, tepatnya tanggal 17 Agustus 1926. Ia wafat pada tanggal 22 Juli 1994 karena serangan jantung dan dimakamkan di Solo. Seumur hidup ia tinggal di Indonesia. Menarik! Sungguh pun ia tidak dapat membaca dan menulis dalam bahasa Cina dan belum pernah sekali pun menginjakkan kakinya ke Cina. Namun, imajinasi dan bakat menulisnya menunjukkan bahwasannya ia memiliki wawasan luas terhadap tanah leluhurnya itu.

    Konon, cerita-cerita silat karyanya justru lebih banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan. Dari situlah gambaran mengenai detail lokasi kejadian cerita khayalnya berikut nama tempat dan  lanskap alamnya didapat. Keterbatasan penguasaan bahasa Cina membuat Kho Ping Hoo tidak dapat membaca dan memperoleh sumber-sumber sejarah negeri Cina. Walhasil, banyak fakta historis dan geografis Cina yang tidak sesuai dengan kenyataan, terkadung dalam cerita karangannya. Meskipun demikian, selama 30 tahun karier kepenulisannya, lebih kurang ada 400 judul serial cerita silat berlatar sejarah Cina dan 50 judul serial berlatar sejarah Jawa yang telah dihasilkan. Kepiawaiannya menuturkan cerita berdasar pengalaman fantasi yang nyaris realistis tidak hanya berisi omong kosong belaka, namun juga memuat filsafat hidup kemanusiaan. Katanya:

     

    “… sudah terlalu sering terbukti bahwa sang pemimpin sama sekali tidak sama dengan anak-anak buahnya. Watak baik seorang pemimpin sama sekali tidak mencerminkan watak daripada anak buahnya, sungguh pun keadaan baik para petugas tentu tergantung daripada kebijaksanaan sang pemimpin. Dengan lain penjelasan, biarpun seorang pemimpin amat bijaknya dan berbudi mulia, adil dan mencintai rakyat, namun belum tentu kalau anak buahnya, yakni para petugas pemerintahannya, juga adil dan mencintai rakyat! Sebaliknya, kalau para petugas itu melakukan tugas dengan hati bersih daripada korupsi dan penindasan kepada rakyat, sudah boleh dipastikan bahwa sang pemimpin tentu seorang berjiwa besar! Seorang ahli bangunan takkan mungkin mendirikan sebuah bangunan yang indah dan kuat sebagaimana ia rencanakan semula kalau tukang-tukang dan para pekerjanya tidak melakukan pekerjaan dan tugas masing-masing sebagaimana mestinya. Sebaliknya, kalau para petugas itu bekerja baik sehingga terbangun sebuah bangunan yang hebat, sudah dapat ditentukan bahwa pekerjaan itu dipimpin oleh seorang ahli bangunan yang pandai. Pendek kata, kemajuan dan sukses bukan tergantung kepada pemimpin semata, melainkan sebagian besar tergantung kepada para pelaksana tugas.”

     

    Secara esensial Kho Ping Hoo berpendapat bahwa segala yang dibuat dan dilakukan oleh manusia dengan maksud untuk dihidangkan kepada orang lain, tidak lepas dari dua hal, yaitu: Mutu dan Nilai. Mutu tidak selalu berjalan dengan nilai, seperti kelezatan dan gisi dalam makanan. Yang bermutu belum tentu bernilai, seperti juga yang lezat belum tentu bergizi. Sebaliknya, yang bernilai belum tentu bermutu dan yang bergizi belum tentu lezat. Mutu selalu ada kaitannya dengan selera, dan selera itu selalu condong ke arah yang enak-enak. Oleh karena itu, yang bermutu itu yang selalu enak, enak dipandang, enak didengar, enak dicium, enak dimakan, enak dipakai, dan selanjutnya yang serba enak lagi.

    Demikian pula dengan buatan manusia berupa karya seni, tulisan atau yang lain sebagainya. Cerita silat sebagai hasil karya seni tulisan tentu tidak lepas dari mutu. Mutu dalam hal ini ialah mutu sesuai jenisnya, yakni jenis cerita silat. Maka sudah barang pasti bahwa cerita silat yang bermutu sajalah yang dapat menarik banyak penggemar dan dapat memiliki daya tahan yang lama, dan tentu saja “enak” dibaca.

    Lantas, bagaimana tentang nilai dalam cerita silat? Bicara soal nilai hasil karya tulisan, lukisan, dan sebagainya, dan sejenisnya, pasti akan menimbulkan pendapat-pendapat yang berbeda dan kadang-kadang bahkan bertentangan satu sama lain. Hanya para ahli sastra, para cerdik pandai sarjana dalam kesastraan sajalah yang suka melakukan penilaian dalam hal nilai sastranya. Sering kali tidak terdapat keseragaman, masing-masing mempertahankan pendapat pribadi masing-masing. Sehingga yang terjadi adalah perdebatan tentang bernilai atau tidaknya sebuah hasil karya tulisan. Debat sastra ini terkadang sedemikian sengitnya sehingga sastranya sendiri menjadi tidak penting, karena masing-masing tenggelam di dalam untuk mencari kemenangan dalam perdebatan itu.

    ***

    Ketika diajukan pertanyaan, “Mengapa memilih menulis cerita silat berlatar Cina di tengah banyaknya penulis cerita berlatar belakang sejarah di Jawa?” maka Kho Ping Hoo akan menjawab, “Sebaiknya lebih dulu kita selidiki apa hubungannya antara cerita silat dengan Cina!”

    Menurut Kho Ping Hoo, kata “silat” identik dengan Cina atau ada hubungan yang amat dekat, terutama ketika istilah “silat” dipergunakan di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah, sejak zaman dahulu orang menganggap bahwa “silat” adalah ilmu beladiri bangsa Cina. Sedangkan untuk ilmu beladiri bangsa Jawa disebut “pencak”. Akhirnya, kini dipergunakan istilah “pencak-silat” untuk ilmu beladiri pada umumnya di Indonesia. Cukup menarik pendapat tersebut. Betapa pun juga, agaknya identitas itu masih menebal manakala kita ingat bahwa “film silat” pada umumnya merujuk pada film Cina yang terjadi banyak adegan perkelahian dengan ilmu silat. Itulah sebab Kho Ping Hoo tidak menamakan “cerita silat” kepada karangan-karangannya yang berlatar belakang sejarah di Jawa, meski di dalamnya terdapat adegan-adegan perkelahian dengan pencak-silat.

    Sekarang kita kembali kepada pertanyaan awal, mengapa Kho Ping Hoo menulis cerita silat Cina. Kho Ping Hoo yang hanya mencecap bangku sekolahan sampai kelas I HIS (Hollandsche Inlandsche School) dikenal memiliki minat baca dan keinginan untuk menulis yang cukup besar. Sejak tahun 1952 ia sudah menulis cerita pendek. Umurnya baru 26 tahun kala itu. Enam tahun setelahnya, cerpen pertamanya dimuat di majalah terbesar Indonesia masa itu, Star Weekly. Tampaknya, hal inilah yang mendorong untuk mengembangkan bakat kepenulisannya.

    Kho Ping Hoo mengenal dunia persilatan sudah sejak kecil berkat bimbingan ayahandanya. Namun, ia mengaku bahwa kepengarangan cerita silat yang ia tekuni sesungguhnya bermula dari kebetulan semata. Kisaran tahun 1960-an, hampir semua majalah dan koran yang terbit di Indonesia, di Jakarta khususnya, memuat cerita silat bersambung. Sebagai seorang yang suka menulis cerpen untuk dikirimkan kepada majalah-majalah, ia melihat peluang di antara banyaknya penggemar cerita silat kala itu. Ia pun menulis cerita silat. Tanpa diduga-duga sebelumnya, cerita silatnya yang berjudul “Si Teratai Merah” memperoleh banyak penggemar. Maka mulailah ia menjadi penulis cerita silat.

    Semakin banyak penggemar cerita silat karangannya, Kho Ping Hoo pun mendirikan Percetakan dan Penerbit CV Gema, beralamat di Mertokusuman 761 RT 02 RW VII, Solo. Penerbitan yang dibangunnya sendiri itu menjadi penerbit tunggal cerita-cerita silat yang novelnya dalam bentuk serial buku saku, dan sangat laris di pasaran, juga di persewaan-persewaan buku.

    Untuk menulis cerita silat berlatar belakang sejarah kuno Cina, tentu saja dibutuhkan pengetahuan yang cukup memadai tentang sejarah, kebudayaan, agama, yang terdapat di Cina pada masa itu, di samping pengetahuan silat itu sendiri. Walaupun sebagian besar hanya teoretis saja, semua itu lalu dirangkai menurut hasil khayali. Dan seperti juga yang sudah pasti terjadi kepada setiap orang penulis, tidak mungkin terlepas dari pengaruh lingkungan. Kesan-kesan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang politik dan sosial mewujud dalam karya-karyanya. Sebagaimana ungkapan “kita adalah buku yang kita baca,” pengaruh dari bacaan-bacaan pun tak dapat dihindarkan lagi pasti menyelinap masuk ke dalam tulisan-tulisan Kho Ping Hoo.

    Seperti sudah disinggung, tak hanya menulis cerita silat berlatar Cina, kakek dari Deddy Mahendra Desta “Club 80’s” itu juga menulis cerita berlatar sejarah Jawa. Bahkan, selain secara gemilang memasukkan makna-makna filosofis, ia pun menanamkan ideologi nasionalisme melintasi batas agama, suku, dan ras dalam cerita silatnya. Karya serial berlatar Jawa yang boleh terbilang melegenda antara lain Perawan Lembah Wilis, Darah Mengalir di Borobudur, dan Badai Laut Selatan.

    Ia mencintai pekerjaan menulis, menuangkan segala yang terasa dan terpikir ke dalam tulisan. Ia tidak peduli lagi apakah itu berbentuk cerita silat, ataukah cerita berlatar belakang sejarah Jawa, atau roman. Dalam penulisan cerita silat Cina, ia menemukan kebebasan seluas-luasnya untuk menuangkan apa saja yang terkandung dalam hati. Ia hidangkan bacaan ringan yang menghibur, di samping ajakan untuk menghadapi kehidupan dengan lebih serius lagi. Melalui cerita silat ia merasa dapat berkomunikasi dengan pembaca. Bukan hanya melalui silat, ia pun mengajak para pembaca merasakan penderitaan kehidupan, sama-sama menghadapinya, mempelajarinya, menyelidikinya, dan menanggulanginya.

    Dengan kesadaran bahwa pekerjaan seorang pengarang/penulis mirip dengan pekerjaan seorang juru masak, kalau masyarakat menghendaki bakso, atau pecel, atau martabak, maka seorang juru masak harus membuat dan menyajikannya. Tak peduli apakah itu bakso, atau pecel, yang penting adalah mutu dan nilai di baliknya.

    Maksudnya, seorang penulis apa pun juga tidak mungkin terlepas dari dunia pembacanya. Apalah arti penulis tanpa pembaca? Jelas bahwa bagi seorang penulis, pembaca merupakan suatu kebutuhan mutlak yang tak dapat ditiadakan. Oleh karena itu, sudah selayaknya penulis mempelajari keadaan pembaca. Masyarakat pembaca memiliki tingkat-tingkat kemampuan daya tangkap. Masyarakat pembaca memiliki seleranya masing-masing.

    Meskipun demikian, Kho Ping Hoo berpendapat bahwa bukan berarti penulis boleh melakukan penjilatan macam apa pun demi memenuhi selera pembaca. Bukan berarti seperti yang sering atau pernah dikatakan orang, penulis boleh melacurkan diri demi menyenangkan pembaca yang berarti demi memperoleh banyak uang. Sudah menjadi penulis tentu setidaknya tahu akan selera apa yang tidak selayaknya dilayani dan selera macam bagaimana yang pantas diberi toleransi.

    ***

    Cerita-cerita kepahlawanan, kemenangan-kemenangan seorang pendekar, merupakan bagian dari sejarah psikoanalisis sambungan sumbangan terhadap pandangan dunia yang pernah ada. Mengapa cerita-cerita wayang, cerita-cerita epos, cerita-cerita lama atau kuno yang menggambarkan tentang pertentangan yang tiada kunjung henti antara si jahat dan si baik, si kuat dan si lemah, si penindas dan si pendekar, selalu disukai oleh pembaca? Demikianlah persoalan esensial di dalam sastra sebagai sebuah usaha merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan perjuangan paham yang benar melawan paham yang salah sesuai prototipe yang dikehendaki oleh ide sang pengarang sesuai yang dikehendaki pembaca.

    Kho Ping Hoo berpendapat, seperti juga cerita wayang, kalau cermat dan pandai mengolahnya, cerita silat mampu menyuguhkan pergolakan si baik dan si jahat tanpa memungkiri realisme dunia. Cerita silat merupakan ajang untuk menumpahkan semua perasaan dendam dan penasaran pembaca yang tak terlampiaskan tatkala terdapat dua kepuasan pembaca betapa si jahat terhukum oleh si pendekar, sebagai obat dari sakit hatinya sendiri yang tak dapat dibalasnya. Bahwa benar adalah benar, dan salah tetaplah salah. Di samping itu, di dalam cerita silat juga dapat dimasukkan masalah-masalah kehidupan sehari-hari, tentang cinta kasih, tentang kebencian, tentang iri hati, keserakahan, dan sebagainya. Maka, akrablah dalam ingatan nama-nama tokoh dunia persilatan seperti Lu Kwan Cu, Kam Bu Song, Suma Han, Kao Kok Cu, atau Wan Tek Hoat dan Putri Syanti Dewi, serta tokoh-tokoh lain dalam Bu Kek Siansu dan Pedang Kayu Harum yang legendaris itu.

    Mudah-mudahan sekelumit tentang Asmaraman S. Kho Ping Hoo dan cerita silat ini ada manfaatnya bagi para pembaca.

     

    Sumber Bacaan:

    Catatan Asmaraman S. Kho Ping Hoo berjudul “Cerita Silat” dalam Pesta Tulisan produksi ke 7 Pabrik Tulisan Yogyakarta, 1977.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Kiki Sulistyo: Adanya komunitas menandakan iklim sastra kita itu buruk

    author = Redaksi Kibul


    Jumat, 24 Agustus 2018 Redaktur Kibul berkesempatan bercakap-cakap dengan sastrawan asal Lombok, Kiki Sulistyo. Penyair peraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 melalui bukunya Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017). Bang Kiki bercerita tentang perkembangan sastra di Lombok, tentang komunitas sastra di sana, juga tentang Komunitas Akarpohon, komunitas yang dibentuknya sejak 2009. Setelah berbincang tentang gempa, dan kondisi masyarakat korban Gempa Lombok, perbincangan kami mulai terarah ke dunia sastra dan sekitarnya. Berikut wawancara Redaktur Kibul dengan Kiki Sulistyo:

    Bagaimana perkembangan sastra di Lombok menurut Bang Kiki?

    Sastra di Lombok, ya saya bisa bilang turun naik lah. Maksudnya kalau saya baca, generasi awal gitu pasti memiliki masa dimana sastrawannya mulai berkurang. Masa-masa ini rata-rata (terjadi) karena tidak ada yang menggerakkan atau menggiatkan. Mungkin (salah satunya) karena di sana tidak ada fakultas sastra, yang ada kan hanya fakultas pendidikan bahasa dan sastra. Jadi kemunculan sastrawan itu biasanya sporadis gitu lho. Seperti datang dari lorong-lorong gelap atau dari mana gitu. Kalau saya baca sejarahnya di NTB itu, gerakan (sastra) di tahun 50-an, 60-an gitu. Ada sastrawan tua almarhum Putu Arya Tirtawirya dia dulu bikin HPPPN, Himpunan Penulis Pengarang Penyair Nusantara. (Himpunan itu) bikin buletin-buletin (sastra). Koordinatnya banyak ada di Malang, dan beberapa daerah. Nah, Putu Arya inilah yang mengumpulkan anak-anak muda sehingga terkumpulah generasi pengarang di era itu. Tapi setelah akhir 90-an itu mulai berkurang, rata-rata itu karena para sastrawan-sastrawan itu telah menikah dan kemudian tidak produktif lagi. Lalu baru sekitar tahun 2008-2009 itu baru mulai (muncul) lagi, itu karena komunitas-komunitas yang mulai tumbuh.

    Seperti apa pendapat Bang Kiki mengenai Sastra Daring?

    Ya pertama itu (berkembang karena) lebih mudah kan. Sejauh yang yang saya lihat, perubahannya itu baru pada kuantitasnya. Kalo kualitasnya sih,… maksud saya media yang baru itu belum dimanfaatkan untuk model-model penulisan yang baru. Misalnya kalau prosa kan di koran panjangnya 9000 cws, kadang-kadang media online itu juga masih dengan 9000 cws. Saya sih memandang itu sebagai media saja, saya suka sastra yang bagus lah, terlepas dari medianya seperti apa.

    Bang Kiki lebih suka menulis cerpen atau puisi?

    Menulis puisi

    Tema-tema seperti yang ingin diangkat Kiki Sulistyo dalam puisi-puisinya?

    Buku saya yang paling bertema itu yang terakhir, yang Di Ampenan (Apa Lagi yang Kau Cari?) itu. Pada awalnya saya tidak memikirkan proyek menulis tentang Ampenan saja, tapi setelah dikumpulkan dalam jangka waktu 10 tahun ternyata banyak puisi tentang Ampenan, maka bukunya jadi nampak bertema. Sebelum-sebelumnya sih lebih acak (temanya).

    Apa saja kegiatan Komunitas Akarpohon yang dibentuk oleh Bang Kiki?

    Akarpohon itu kegiatannya yang rutin ya diskusi mingguan. Diskusi karya gitu. Yang kita diskusikan itu ada 4 kategori. Yang pertama karya penulis muda di sana kita diskusikan, yang kedua karya penulis NTB yang sudah dilupakan, misal pernah menulis satu dua karya kemudian menghilang. Yang ketiga karya penulis Indonesia yang juga sudah dilupakan misalnya Motinggo Busye, lalu juga (keempat) karya terjemahan sastrawan dunia.

    Bagaimana semarak dunia penerbitan di Lombok?

    Kalau penerbitan di NTB sih tidak ramai, buku yang terbit di sana sedikit. Karena kita juga cetaknya di Jogja. Di sana belum ada percetakan yang baik untuk mencetak buku.

    Apa peran komunitas sastra dalam perkembangan dunia sastra?

    Kalau menurut saya, munculnya komunitas menunjukkan kalau iklim sastra di Indonesia itu buruk. Jadi dia itu harus membuat ekosistemnya sendiri, membuat habitatnya sendiri untuk menjaga lingkungan sastranya itu tetap sehat.

    Bagaimana hubungan antar komunitas sastra di Lombok?

    Ada sinergi di sana. Beberapa komunitas sastra itu menerbitkan antologi bareng, bikin acara lokal gitu lah. Ada Festival Sastra lokal, (namanya) Oktofest di bulan Oktober, yang tahun lalu itu mengundang Esha (Tegar Putra). Spotnya berpindah-pindah, tidak di satu spot tapi di beberapa tempat.

    Bagaimana perasaan Bang Kiki diundang di acara Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM?

    Ya pertama saya kaget juga. Senang, kaget, campur-campur lah, dan agak deg-degan juga.

    Dalam acara Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM bertajuk Membaca Kasablanka dan Ubai, puisi-puisi Esha Tegar Putra, Kiki Sulistyo mengungkapkan lebih lanjut alasannya masih grogi ketika diundang dalam acara diskusi malam itu. Kiki mengungkapkan bahwa puisi-puisi Esha tidak bisa dilepaskan dari latar belakang budayanya. Esha yang berlatar belakang budaya Minang tentu saja memiliki latar belakang budaya yang jauh berbeda dengan Kiki yang berasal dari Lombok, meskipun keduanya mengenal dekat secara pribadi.

    Ketika dihubungi paskaacara, Kiki Sulistyo mengungkapkan acara diskusi sastra semacam ini perlu untuk dilanjutkan, karena menyandingkan antara cara seorang praktisi dan seorang akademisi dalam mengurai suatu karya. Hanya saja peserta diskusi seharusnya lebih aktif dalam membuka celah-celah diskusi. Terlepas dari segala kekurangannya, acara seperti ini harus diapresiasi dan diteruskan.