Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Titis Anggalih
Di tengah budaya milenial kekinian, geliat kesusastraan
seolah tak berhenti detak dan denyutnya. Komunitas-komunitas penyair, penulis,
pegiat teater masih aktif berkreasi.
“Ada yang sampai kapanpun tidak akan mungkin digantikan
oleh AI (artificial intelligence) yang marak digunakan media-media sejak
beberapa tahun belakangan,” kata Khatmil Mamen, salah satu anggota OA,
“yakni fiksi : cerpen, fiksi flash, atau novel.”
Semangat itulah yang melatarbelakangi berdirinya Omah
Aksara, salah satu komunitas menulis yang terbuka bagi siapa saja.
“Asal suka membaca dan menulis,” kata Rudi
Sarwiyana, member OA. Sejak berdirinya OA tahun 2013, beberapa lomba lokal
seperti Bulan Bahasa dan Festival Sastra UGM pernah dimenangkan. Dimuat dalam
beberapa buku antologi atau media daring setempat. Sedangkan karya atau produk
OA kini bisa dinikmati khalayak melalui media daring ( website www.cuap.in ,
juga akun medium Omah Aksara ) maupun cetak ( buletin Macapat Syafaat ), serta
melalui diskusi pekanan rutin yang diadakan setiap Rabu Malam.
Berikut sedikit rangkuman diskusi Rabu Malam membahas warna
karya Eka Kurniawan bersama Titis Anggalih sebagai salah satu metode alternatif
dalam mengawali langkah kawan-kawan kepenulisan.
Metode memulai belajar menulis fiksi tentunya ada banyak dan
hal tersebuk baik. Sebagai contoh, dalam pengalaman saya, membaca warna tulisan
penulis besar bisa dibilang cukup efektif, dalam hal ini membaca warna karya
Eka Kurniawan.
Dengan membaca, ibarat menemukan poin penting dalam sebuah
perjalanan, yakni arah jalan. Ibaratnya, akan ke mana tujuan, pola,
perkembangan, kreatifitas, tolok ukur, dan gaya tulisan menjadi lebih jelas.
Saya jadi memiliki gambaran dan gambaran itu penting. Jika tidak ada tujuan,
tentunya kita tidak akan sampai di manapun. Dan menariknya, tujuan selalu bisa
diperbarui.
Bukan menerawang. Maksud saya, dengan dimulai dari membaca seluruh kumpulan cerpen dan novel Eka, tidak mungkin kita tidak mendapat apa-apa. Dari membaca karya cetaknya saja, kita turut memahami perkembangan tulisan Eka. Warna karya Eka dalam Corat-coret Di Toilet (yang bisa dibilang sebagai karya-karya mula Eka) tentu berbeda dengan Cantik Itu Luka, misalnya. Nah, perubahan dan perbedaan inilah yang bisa kita jadikan acuan, syukur-syukur kita terapkan dalam perjalanan menulis kita.
Banyak sebenarnya, tidak hanya dari gaya bahasa, namun juga
idiom, “kegenitan-kegenitan” kalimat, hidup tidaknya dialog, mengalir
tidaknya cerita, metafora, dan sebagainya. Pasti berkembang.
Indonesia memiliki penulis-penulis hebat dengan kedalaman
wawasan atau khazanahnya masing-masing, dan hal tersebut tidak bisa
diperbandingkan mana penulis yang lebih baik antara satu dengan lainnya.
Seperti vitamin A kan tidak bisa dibandingkan dengan vitamin C, karena
fungsinya berbeda.
Saya sendiri memilih menjadikan Eka sebagai awalan karena
saya suka dengan kelugasan penceritaannya (rasa suka ini penting sehingga
ketika menjalaninya lebih tulus), terutama dalam Cantik Itu Luka, yang menurut
saya masih merupakan masterpiece Eka Kurniawan. Alurnya padat namun tidak
tanggung, serta banyak kesegaran atau spontanitas yang ditawarkan, lumayan
berbeda dengan O.
Juga yang saya dapati lainnya dari Eka adalah mentalitas
berani mencoba yang spontan. Warna tulisan Eka lahir di tengah gaya nafas
sastra lama yang awalnya dianggap sebelah mata. Cukup berani tampil beda.
Lainnya mendayu-dayu, Eka berani blak-blakan. Seolah terjadi gradasi warna gaya
tulisan lawas. Ia mengawali jenis-jenis tulisan baru dan segar lainnya. Top
lah.
Dengan fokus menekuni perjalanan seorang penulis, peta
tujuan kita memiliki role model yang kita sukai. Ini lebih cepat daripada trial
and error. Selain itu kemampuan kita mengidentifikasi warna dan rasa tulisan
ikut terasah (jangan kaget kalau kita jadi bisa membedakan warna tulisan
penulis lainnya atau bahkan siapa penulis yang mempengaruhinya).
Dengan membaca Eka artinya justru tidak akan berhenti di Eka. Dalam perjalanannya, kita dijadikan tahu siapa saja penulis lain yang menjadikan Eka sebagai Eka saat ini. Bisa jadi Edgar Keret atau Pram, nah siapa yang berpengaruh bagi Eka ini yang kita kejar selanjutnya (apalagi Eka rajin mereview buku apa saja yang ia baca dalam blog pribadinya). Belajarnya jadi tidak berhenti.
Sebagai pemula, meniru adalah keniscayaan. Bocah belajar bicara dan berjalan dengan meniru orang dewasa, namun pada perkembangannya, si bocah menemukan jati dirinya sendiri. Semua tergantung pribadi penulis, kalau mau jadi peniru ya bisa, mau dijadikan jalan menemukan gaya tulisannya sendiri lebih bisa, saya kira.