Author: Tobma

  • [Ngibul #48] Puisi dalam Stereotip Gaib dan Menye

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    Entah mengapa di kalangan masyarakat umum khususnya anak muda puisi kerap dianggap sebagai sesuatu yang kalau tidak gaib ya menye. Gaib karena bagi anak muda bahasa puisi dianggap sebagai bahasa yang berat. Seolah bahasa puisi adalah bahasa planet Namec yang ditulis para alien. Ketika seorang kenalan baru menanyakan pada kita perihal jurusan kuliah, dan tahu bahwa kita adalah mahasiswa sastra, maka mereka akan langsung menyahut, “Wah pintar nulis puisi dong. Berat nih.” Kadang saya mau menjawab, “Berat ndasmu,” tapi urung (karena memang berat sih).

    Kegagalan pencitraan puisi sebagai sesuatu yang indah, manusiawi namun tetap membumi tampaknya memang sudah dikonstruksi sejak lama. Tentu kita ingat jargon “Jangan berbicara padaku dengan bahasa manusia // aku dari surga” dari Chairil Anwar. Nampaknya, kemahatinggian puisi memang sudah terbentuk sejak tradisi sastra Indonesia (modern) lahir. Puisi menjadi asing dari masyarakat, menjadi bahasa golongan menengah perkotaan, dan hidup dalam ruang skala terbatas.

    Meski puisi kerap dianggap mahatinggi, di sisi lain puisi sering dimaknai sebagai sarana pengungkapan rasa cinta yang bertele-tele (menye-menye). Entah apa yang salah dengan persepsi kita mengenai puisi. Puisi seolah hanya urusan kata-kata berbunga penuh rayuan dusta, sarana buat nembak cewek, atau sebagai bahan kutipan kata-kata bijak belaka. Begitu menyedihkannya stereotip puisi terilustrasi di  film layar lebar berjudul Jomblo  (2006). Dalam film itu, tokoh Olive benar-benar menjadi pecundang, mengungkapkan perasaan dengan puisi, susah-susah menulisnya plus akhirnya cintanya tetap ditolak. Njir! Kasihan amat.

    Kalau kita membuka instagram dan menulis tagar puisi dalam kolom pencarian, maka akan muncul puluhan akun yang bertema puisi. Hanya saja, sebagian besar akun itu diisi oleh puisi yang seperti saya katakan di atas: “menye-menye.” Seringkali juga, puisi liris ala Sapardian seperti “aku ingin mencintaimu dengan sederhana”, dikutip oleh para kids ini dengan sepenggalan saja. Padahal puisi itu menyimpan makna filosofis pada bait berikutnya tapi kemudian diabaikan.

    Ini sungguh problematik. Di satu sisi, puisi telah berada dalam stereotip yang asing karena keadiluhungan bahasanya, tetapi di sisi lain puisi muncul dengan stereotip yang lebay. Menariknya, jenis pertama hidup dalam arena skala terbatas yang hanya dinikmati oleh para pecinta sastra. Sementara yang kedua menjadi gejala populer, viral, dan digandrungi.

    Bagaimana kontradiksi ini bisa hadir? Sejauh yang saya pahami tradisi berpuisi kita (sastra Indonesia modern) memang sudah terkonstruksi sedemikian rupa. Dibandingkan dengan karya sastra lain, puisi memang dianggap memiliki kesakralan tersendiri. Tak sembarang orang bisa menciptakan puisi yang bagus. Kata-kata dalam puisi pun begitu dipilih dan seringkali menggunakan bahasa yang kurang dikenal masyarakat sehingga seolah-olah tampak asing. Selain itu, ketaklangsungan pengungkapan yang menjadi salah satu unsur puisi diwujudkan dalam bentuk gaya kebahasaan yang sebenarnya sederhana saja, tetapi karena jarang didengar sehingga kemudian dianggap berat dan asing. Orang tak lagi mau bersusah-payah untuk mengungkap makna di balik pernyataan yang tak langsung itu. Sementara itu, gejala yang kedua yakni puisi cinta menye-menye lahir dari mereka yang menulis puisi dengan tak mau bersusah-susah. Gejala yang kedua ini saya kira lahir dari ketakmampuan menjangkau puisi yang ditulis dengan bahasa yang “bersusah-payah” itu. Sebenarnya, para penulis puisi jenis ini ingin dekat dengan puisi jenis pertama namun puisi tersebut dirasa terlalu tinggi dan tak terjangkau. Kemudian lahirlah jenis puisi yang kedua yang seringkali asbun dan miskin makna.

    Sebagai penjaga gawang rubrik puisi Kibul, kedua gejala ini memang sering saya temukan. Banyak penulis yang mencoba mengikuti gaya penulisan sastra yang bersusah-payah itu. Mereka ini biasanya adalah orang-orang yang memiliki sedikit pengetahuan soal sastra. Hanya saja, seringkali penulis puisi terjebak dalam kebentukan (metafora-metafora) yang malah terlalu muluk bahkan nyaris tak terbaca. Segalanya dibikin canggih dan terkesan begitu puitik namun sebenarnya norak. Sementara jenis yang kedua memang harus saya katakan tidak menarik. Ketika bertemu puisi-puisi cinta yang lebay, jelas ini akan lebih sulit mendapat kesempatan tampil di Kibul (Walaupun banyak puisi cinta yang tak lebay dimuat Kibul).

    Problematika yang demikian memang sudah sejak lama muncul sebagai dinamika dalam perkembangan sastra Indonesia. Sejak masa kolonial, sastra kita memang dibentuk sebagai sastra yang asing. Sastra yang sebelumnya menggunakan bahasa Melayu pasar (sebuah bahasa yang digunakan sehari-hari) kemudian tergeser oleh sastra adiluhung versi Balai Pustaka. Kemudian sastra semacam itu terus direproduksi menjadi sastra kanon sampai ke perkembangannya dewasa ini.

    Sebenarnya perdebatan demi perdebatan telah banyak mencuat, misalnya dalam polemik Lekra versus Manifesto Kebudayaan, perdebatan sastra kontekstual, dan sebagainya. Intinya, banyak pelaku budaya resah karena kemahatinggian kesusastraan Indonesia. Sayangnya jawaban akan hal itu tampaknya tak juga muncul-muncul.

    Di tengah polemik yang tak kunjung usai, gejala populer merebak sejak memasuki tahun 1980-an. Puncaknya adalah pascareformasi ketika orang mulai jenuh dengan keteraturan yang diciptakan. Raditya Dika cs., barangkali menjadi pionier untuk mencipta sastra yang populer pascareformasi dengan gayanya yang nyeleneh tapi digemari. Sastra didekati dengan gaya yang lebih sederhana. Kemudian muncul juga penulis lain yang menulis dengan gaya yang demikian. Hal yang sama juga terjadi dalam penulisan puisi. Puisi pun mulai terdegradasi dalam bentuk yang sederhana. Bahasanya mudah dimengerti tapi seringkali kehilangan substansi. Sayangnya hal tersebut seolah-olah menjadi common sense juga sebagai sesuatu yang taken from granted.

    Sebenarnya ada puisi-puisi yang memiliki bentuk bahasa yang sederhana tapi tetap kaya makna. Puisi Joko Pinurbo barangkali menjadi salah satu catatan di dekade ini yang berhasil membawa puisi dalam ungkapan dan bahasa yang lebih sederhana namun tak kehilangan susastranya. Tapi puisi model Jokpin juga masih belum menyebar dan kalah bersaingan dari puisi lebay yang marak. Remy Silado juga pernah mencoba menghadirkan puisi dengan gaya baru melalui puisi-puisi mbelingnya. Namun lagi-lagi juga kurang efektif menjangkau publik luas dan hanya terbatas pada masyarakat sastra belaka.

    Inilah akar masalahnya. Ada ruang kosong di mana para sastrawan (pemerhati sastra dan juga pemerintah) gagal menciptakan jembatan antara yang adiluhung dan yang bisa diterima masyarakat. Puisi tiba-tiba terpetak dalam ruang yang jaraknya begitu jauh. Masalahnya adalah puisi memang tidak pernah benar-benar dikenalkan kepada masyarakat luas, sehingga yang adiluhung tetap menjadi asing. Padahal, bahasa puisi yang seolah gaib dan berat itu andai saja menjadi konsumsi sehari-hari tentu akan menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja.

    Jika memang terus akan seperti ini, sudah pasti puisi akan tetap berada dalam ruang surgawi yang tertutup itu. Ia akan tetap asing.

     

    *Gambar adalah lukisan Vincent Van Gogh berjudul Wheatfield Under Thunderclouds, 1890

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #47] Pertama, Orang-orang yang Hanya Membaca Buku-buku Tere Liye. Kedua, Orang-orang yang Merasa Tidak Suka Membaca

    author = Bagus Panuntun

    Tak terasa sudah tahun 2018. Artinya, setahun sudah saya menjadi pelapak buku online. Melapak buku pun dimulai dengan posisi keterhimpitan yang keparat. Januari tahun lalu, nasib hidup saya benar-benar kecut. Skripsi belum selesai, beasiswa negara tak lagi cair, ditambah saya harus keluar kerja. Maka dengan gaji terakhir yang bahkan kurang dari UMR Jogja, saya nekat menggunakan uang tersebut untuk mengulak buku dan memulai bisnis online melapak. Kelak saya akan memberi nama lapak buku saya dengan nama Warung Sastra.

    Satu tahun menjadi pelapak buku, mau tak mau membuat saya berinteraksi dengan banyak pembaca. Dari sekian banyak interaksi inilah, saya menemukan dua persoalan dalam dunia literasi yang masih jarang didiskusikan. Pertama, orang-orang yang hanya membaca buku-buku Tere Liye. Kedua, orang-orang yang merasa tidak suka membaca buku. Demi dunia literasi yang makin bergairah, dua tipe manusia ini sesungguhnya adalah insan-insan yang perlu kita ruqyah supaya move on. Saya menceritakan pengalaman bertemu dua tipe manusia tersebut dan bagaimana usaha memperkenalkan bacaan-bacaan baru pada mereka.

     

    Buku-buku untuk Orang-orang yang Hanya Membaca Karya Tere Liye

    Saya memulai langkah melapak buku dengan membuat sebuah akun dagang instagram. Akun tersebut dulunya belum bernama Warung Sastra. Kau boleh percaya atau tidak, tapi saat itu saya memberi nama akun tersebut dengan @jualbukutereliye. Haha.

    Selain karena keisengan, pemilihan nama @jualbukutereliye sebenarnya merupakan bentuk kesinisan dan pelampiasan hasrat kurang ajar saya pada apapun yang sedang disukai banyak orang, misalnya Game of Thrones[1]Kelak saya akan menggilai serial ini dan menyelesaikan 68 episode dalam waktu 7 hari., es krim matcha, juga penulis bernama ganjil ini. Tidak seperti kesinisan saya pada GoT dan es krim matcha yang hampir tidak beralasan, kesinisan saya pada Tere Liye diawali dengan pengalaman membaca karyanya yang berjudul Rx King yang Digeber Tak Pernah Membenci Knalpot Bombongan—maaf, maksud saya Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Kisah cinta dalam novel tersebut benar-benar menye dan picisan. Hasilnya, ia sama-sama membosankannya dengan anak muda yang percaya indahnya pacaran setelah menikah.

    Tak disangka, di bulan pertama saya menjual buku, saya mampu menjual lebih dari 30 eksemplar buku. Angka ini tentu tak buruk bagi seorang pelapak kelas newbie. Adapun lebih dari separuh buku tersebut adalah buku Tentang Kamu karya Tere Liye. Pada awalnya saya cukup bergembira.  Diawali dengan keisengan, ternyata berbuah hasil juga. Tapi setelah berpikir panjang, saya malah prihatin sendiri. Apakah penggemar Tere Liye memang sebanyak itu sampai akun instagram dengan nama semenjijikkan ini plus bermodal foto-foto dari google pun tetap mendapat jatah pembeli?

    Saya pun mengingat pengalaman beberapa tahun belakangan. Saya telah berpuluh kali bertemu orang yang begitu memuja Tere Liye. Dan kesalnya, setiap kali kami mendiskusikan perihal sastra, ia akan selalu mengembalikan obrolannya ke karya-karya Tere Liye. Jangankan sastra, bahkan seandainya saya bicara tentang cawat Neptunus pun, barangkali ia akan kembali ke Tere Liye.

    Akhirnya, saya pun memutuskan mengganti nama akun tersebut dan tidak lagi menjual karya-karya Tere Liye. Sebaliknya, saya memiliki misi untuk memberi alternatif bacaan baru pada para fans garis kerasnya. Tentu ada alasan lain yang lebih masuk akal di balik keputusan tersebut. Tetapi sebelum berlanjut ke situ, saya ingin memberikan beberapa rekomendasi buku yang sering saya berikan pada mereka:

     

    1. Raden Mandasia Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom.

    Buku tentang pengembaraan Raden Mandasia, Sungu Lembu, dan Loki Tua menuju kerajaan Giling Wesi. Mereka bertiga akan mengajak kita beradu maut di tempat-tempat yang mendebarkan: desa yang melarang penyebutan warna, samudra dengan badai terkejam, gurun pasir yang karena saking luasnya hanya dinamai ‘gurun’ saja, hingga kerajaan dengan penduduk paling kreatif dalam mengeksekusi hukuman mati.

    Salah satu hal paling menakjubkan dalam novel ini adalah kemampuan Yusi Avianto Pareanom meminjam puluhan kisah epik: sejarah Majapahit, legenda Tangkuban Perahu, Rara Mendut, petualangan Sindbad, kisah Nabi Yunus, penyaliban Yesus, kecantikan Ratu Balqis, dan wabah black death, untuk melebur dalam satu kisah utuh yang menakjubkan.

    2. Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer

    Minke, tokoh utama dalam novel ini, adalah seorang priyayi jawa yang berbakat dan menekuni dunia tulis menulis. Dengan bakatnya tersebut, ia berusaha membela kepentingan orang-orang yang tertindas di bawah kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Dalam mengasah bakat dan kesadaran politiknya, Minke disokong oleh “guru-gurunya” yang berlatar belakang beragam: Nyai Ontosoroh dari Jawa, Khouw Ah Soe dari China, Miriam de la Croix dari Prancis, bahkan Khommer yang berasal dari Belanda.

    Tetralogi Buru adalah novel Indonesia pertama yang menceritakan proses bangkitnya kesadaran berbangsa. Novel ini menjadi bacaan wajib bagi kita untuk menelusuri kembali identitas Indonesia, identitas yang terbentuk oleh pengaruh berbagai bangsa.

    3. Ulid Tak Ingin ke Malaysia karya Mahfud Ikhwan

    Lerok, sebuah desa yang sebagian besar warganya berprofesi sebagai petani bengkoang dan penambang gamping, mengalami perubahan drastis sejak warganya mendapat tawaran kerja menjadi TKI di Malaysia. Semua orang merayakan Malaysia. Kecuali Ulid, seorang bocah cilik yang merasa teman-teman terdekatnya  dan Bapaknya sendiri telah direnggut oleh negeri tersebut.

    Dari sekian banyak karya Mahfud Ikhwan, buku ini mungkin menjadi bukunya yang paling kurang terkenal. Padahal, buku ini dengan luar biasa mampu menceritakan perubahan corak sosial masyarakat Indonesia era orde baru dari sudut pandang yang segar. Uniknya lagi, isu yang nampaknya serius ini dinarasikan lewat kacamata seorang bocah cilik yang lugu, yang pada akhirnya membuat cerita menjadi nampak begitu jujur dan tidak tendensius.

     

    Saya sebenarnya ingin menulis beberapa judul buku lain seperti Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan atau Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Nama-nama tersebut saya kira juga penting untuk dikenal anak-anak muda kita. Tetapi nampaknya, akan lebih penting jika saya melanjutkan penjelasan tentang keputusan tidak menjual buku Tere Liye.

    Kebijakan Warung Sastra untuk tak lagi menjual karya Tere Liye sebetulnya tak sesederhana persoalan selera pribadi saja. Lebih dari itu, keputusan ini adalah bentuk perlawanan kecil terhadap permasalahan selera baca masyarakat yang dibentuk pasar. Kita tentu tahu, setiap kali masuk ke gramedia atau toko-toko buku besar lain, kita akan selalu melihat satu tempat, paling depan, paling strategis, di mana puluhan judul buku Tere Liye dipajang bertumpuk seolah merupakan buku terpenting umat manusia. Karya-karya Tere Liye bagi saya dijual overrated. Hal ini berujung pada terbentuknya selera baca masyarakat yang cenderung monoton.

    Meskipun demikian, perlu kita akui bahwa karya-karya Tere Liye sebenarnya telah membuat banyak orang suka membaca. Maka, daripada hanya mencacat selera baca mereka, bukankah lebih baik jika kita menawarkan solusi dengan memperkenalkan bacaan-bacaan alternatif yang lebih segar dan bermutu?

    Saya juga berpikir, apakah orang-orang seperti saya—yang baru membaca satu karyanya—berhak menghakimi seorang fans Tere Liye sebagai pembaca berselera rendah? Tentu saja tidak. Malah snob dan konyol kan?

    Bagaimanapun, akan lebih baik jika kita memberi referensi-referensi baru bagi siapapun yang terjebak pada zona nyamannya. Sesudah itu, biarkan seseorang menilai sendiri adakah karya yang jauh lebih penting daripada karya yang diidolakan sebelumnya.

     

    Buku-buku untuk Orang yang Merasa Tidak Suka Membaca

    Di zaman kiwari di mana informasi mengalir begitu deras dan hampir tak terkendali, kemampuan membaca adalah kebutuhan primer yang dibutuhkan setiap orang. Sebagai sebuah proses melatih diri untuk menangkap informasi secara utuh, kemampuan membaca selayaknya dimiliki siapapun demi menghindarkan diri dari mudarat hoax atau mal-interpretasi atas apa yang dibaca. Persoalannya, banyak sekali orang-orang di sekitar kita, bahkan yang paling dekat, yang merasa bahwa mereka tidak suka membaca.

    Satu tahun terus berkutat dengan buku-buku memberi saya pengalaman baru dalam usaha membuat orang-orang terdekat saya menjadi suka membaca. Buku-buku di bawah ini adalah beberapa judul pilihan yang saya rekomendasikan:

     

    1. Para Bajingan yang Menyenangkan karya Puthut EA

    Buku karya Puthut EA ini merupakan memoar persabatan Puthut bersama lima teman kuliahnya yang hobi judi dan mabuk-mabukan. Mereka membuat sebuah komplotan bernama Jackpot Society yang merupakan plesetan dari judul film Dead Poets Society.

    Para Bajingan yang Menyenangkan penuh dengan tokoh yang jauh dari konsep ideal seorang teladan. Mereka adalah para pendosa yang gemar misuh dan kerap melanggar norma-norma masyarakat. Persoalannya, semua tokoh di sini memiliki satu pandangan yang begitu kuat dalam menghargai persahabatan.

    Saya pernah memberikan buku ini untuk adik saya sendiri. Adik saya adalah gambaran sejati seorang gondes nom-noman. Ia anak SMK jurusan otomotif yang sejak dulu tak suka belajar apalagi membaca, ranking 35 dari 36 siswa, hobi touring dan sesekali balap liar, bahkan sempat jadi anak reggae. Apa yang terjadi ketika saya memberikan buku tersebut? Ia menyelesaikan buku ini dalam waktu kurang dari sehari. Setelah itu, ia bahkan meminta saya untuk sering-sering memberikannya buku baru.

    2. Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya karya Rusdi Mathari

    “Kenapa yang harus dihormati hanya orang yang berhaji? Kenapa orang yang salat tidak dipanggil pak Salat? Orang yang puasa dipanggil Pak Puasa? Orang yang berzakat, Pak Zakat?” – Cak Dlahom (Halaman 137)”

    Nasihat-nasihat à la sufi yang seringkali terlalu menggurui, dalam buku ini justru disampaikan oleh Cak Dlahom, tokoh yang mirip orang gila. Hasilnya tentu berbeda dengan ceramah-ceramah yang seringkali sok bijak. Buku ini berisi kisah-kisah yang mengocok perut tapi juga menyentil nurani. Membaca buku ini juga mengajak kita merenungkan kembali praktik kita dalam beragama yang seringkali keminter.

    Suatu hari, saya memaketkan buku ini pada adik piara saya—adik angkat ketika KKN—di Pulau Obi, Maluku Utara. Ia seorang gadis SMA yang tertarik pada ilmu agama. Ia misalnya selalu membaca Al-Qur’an setiap hari. 1 bulan setelah paket tersebut dikirim, adik piara saya menelfon dan bercerita telah membaca buku tersebut tiga kali. Kami bahkan mendiskusikan cerita-cerita mana yang paling kami sukai. Saya menyukai cerita  ketika Cak Dlahom menyampaikan filosofi garam di air telaga, adik piara saya menyukai cerita saat seluruh desa kebingungan melihat Cak Dlahom menangis berhari-hari di depan makam tetangga miskinnya. Setelah panjang lebar bercakap tentang buku ini, ia berkeluh tentang sesalnya tak pernah membaca cerita. “Kakak, kalau ada rezeki lagi, jang lupa kasi kirim adik buku lagi e!”, mintanya sambil tertawa kecil.

    3. Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari

    Dalam buku yang berisi 15 cerpen ini, Ahmad Tohari menceritakan pada kita tokoh-tokoh golongan bawah dengan segala lika-likunya menghadapi kerasnya hidup. Ia misalnya menceritakan tokoh pengemis yang buta, keluarga gelandangan yang tinggal di bekas toilet terminal, seorang lansia yang takut menyeberang jalan, hingga orang desa pelaku pesugihan.

    Saya pernah memberikan buku ini pada seorang kawan lama yang kini menjadi buruh cuci mobil di Bekasi. Selang seminggu, ia menelfon saya. Kami pun membicarakan nasib sial tokoh-tokoh di buku ini yang kami bandingkan dengan nasib kami sendiri. Cerpen-cerpen Ahmad Tohari adalah refleksi dari kehidupan rakyat yang serakyat-rakyatnya. Bagi orang-orang yang sejak lahir hingga hari ini tak kunjung merasakan hidup yang mudah, cerpen-cerpen Ahmad Tohari seolah mengajak kita berdialog untuk saling merutuki nasib.

     

    Ada beberapa hal yang selalu saya pertimbangkan sebelum memberikan buku pada seseorang. Pertama, saya melihat latar belakang mereka. Untuk orang seperti adik saya yang hidup di lingkungan geng remaja yang solid dan nakal, buku Para Bajingan yang Menyenangkan tentu akan lebih pas dibanding Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya atau Mata yang Enak Dipandang. Pun sebaliknya.

    Kedua, saya melihat bagaimana gaya penulisan buku tersebut. Buku-buku yang telah saya sebut di atas, sebenarnya memiliki gaya penulisan yang mirip. Ketiganya dinarasikan dengan bahasa yang sederhana. Sebagian orang yang mengaku tidak suka membaca, sebenarnya adalah orang-orang yang kadung menganggap bahwa karya sastra adalah karya yang adiluhung. Sastra bagi mereka adalah melulu rangkaian kata yang ndakik dan berbelit-belit. Padahal, ada karya sastra seperti milik Puthut EA, Rusdi Mathari, atau Ahmad Tohari yang justru ditulis dalam bahasa keseharian yang biasa-biasa saja.

    Ketiga, saya mesti memastikan bahwa buku-buku yang saya berikan adalah buku yang pernah saya baca. Melalui pengalaman tersebut, setidaknya saya dapat memastikan bahwa buku-buku yang saya berikan adalah buku-buku yang mengajak kita merenung. Selain itu, dengan sudah membacanya, kita juga bisa mendiskusikan isi buku ini untuk bertukar pikiran. Tentu setelah mereka selesai membaca.

    Jika seorang gondes, gadis pelosok Maluku, atau seorang buruh cuci mobil saja bisa menyukai membaca, bukankah ini berarti bahwa membaca bisa disukai siapa saja? Saya sih malah percaya, sebenarnya tak ada orang yang tak suka membaca. Mereka hanya belum bertemu buku yang memperkenalkan mereka dengan asyiknya membaca saja.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    References

    References
    1 Kelak saya akan menggilai serial ini dan menyelesaikan 68 episode dalam waktu 7 hari.

  • [Ngibul #46] Menjelang Malam di Tepi Bethlehem

    author = Andreas Nova

    Sore itu sama seperti sore-sore sebelumnya, aku menemui Baz di padang Yaar. Tempat itu terletak di tepian Bethlehem. Kata orang-orang tua, Daud menggembalakan kambing dan domba milik ayahnya di padang itu dan tradisi itu masih berlanjut walaupun sempat terputus pada masa pembuangan di Babilonia. Bethlehem, kota kelahiranku memang hanya kota kecil. Jangan bandingkan dengan Yerusalem yang agung. Bethlehem tidak jauh dari Yerusalem, bahkan jika kau memiliki sepasang telinga yang baik, kau akan bisa mendengarkan hingar bingar kota itu dari sini.

    Aku melihat Baz sedang duduk bersandar di sebuah pohon yang cukup rimbun. Ia nampak terkantuk menikmati semilir angin di sore hari yang tidak terlalu gerah ini. Domba-domba karakul dan beberapa kambing berbulu gelap dibiarkannya menikmati rumput yang sedang segar-segarnya. Gembala-gembala—juga Baz tentu saja—menyebutnya rumput Ab. Baz pernah berkata, rumput bulan Ab adalah rumput terbaik. Tidak terlalu lembab seperti pada bulan Siwan, tidak terlalu kering seperti pada bulan-bulan menjelang musim dingin.

    Aku sering sekali menemui Baz pada bulan-bulan seperti ini. Ketika ia dan gembala lainnya naik ke bukit dan menggembalakan ternaknya di padang Yaar. Ia berasal dari Beit Yala yang terletak di sebelah selatan padang Yaar, tidak jauh dari Bethlehem. Biasanya ia akan membangun tenda dan menggembalakan domba-dombanya dari bulan Adar sampai Keshywan. Domba-domba karakul biasanya akan dijual untuk merayakan paskah.

    Aku tidak tahu berapa umur Baz, mungkin sekitar lima puluh tahun. Ia pernah bilang kalau dia sudah diajak menggembalakan domba dan kambing sejak kecil. Ia tahu betul domba mana yang sehat, mana yang sakit dan bagaimana memperlakukan mereka. Katanya ia juga pernah bergulat dengan anjing hutan yang hampir memangsa anak domba yang digembalanya. Semula aku tidak percaya begitu saja. Namun ia menunjukkan bekas luka-luka di lengan kirinya. Luka gigitan dan luka bekas sayatan, mungkin bekas cakar anjing hutan. Eh, apakah anjing hutan bisa mencakar? Aku belum pernah melihatnya, jadi aku tak tahu.

    Kakiku melangkah mendekati Baz. Ia tersadar dari kantuknya, menguap sebentar lalu menengok ke arahku. Aku melambaikan tanganku. Ia membalas dengan senyum. Aku mendekat dan duduk di sebelahnya. Punggungku kusandarkan ke pohon yang sama dengannya. Nyaman sekali rasanya berteduh di pohon setelah berjalan cukup jauh. Aku datang kemari untuk mendengarkannya bercerita. Aku suka mendengarkan cerita orang. Aku bisa membayangkan diriku di setiap kisah yang mereka tuturkan. Aku biasa mendengarkan cerita orang di pasar, di kedai tempat ibuku bekerja, bahkan mendengarkan kisah para nabi dalam khotbah para rabi di sinagoge sangat menyenangkan bagiku. Baz adalah salah satu pencerita yang paling kugemari. Ia bisa menceritakan kisah para raja Israel dari Saul sampai Hosea. Ia bahkan bisa menceritakan kisah para nabi lebih baik dari rabi-rabi di sinagoge.

    Aku pernah menanyakan mengapa ia tidak berminat menjadi seorang rabi. Kupikir ia bisa menjadi Imam Agung yang bijak. Ia menjawabnya dengan menggelengkan kepalanya. Ia bilang, gembala juga merupakan pekerjaan yang mulia. Katanya, domba-domba dari Bethlehem dan sekitarnya kebanyakan diperuntukan sebagai kurban dalam ibadah-ibadah di Bait Allah. Semua orang bisa belajar dan menjadi rabi, namun tidak semua orang bisa terampil menggembalakan domba dan kambing.

    “Baz, adakah kisah menarik yang belum pernah kau ceritakan kepadaku?”

    “Apa yang ingin kau dengar?”

    Aku mengangkat bahuku. Aku menyukai semua ceritanya.

    “Bagaimana tentang masa kecilmu? Aku belum pernah mendengarnya? Aku hanya tahu kau sudah diajak menggembala sejak kecil, namun aku belum pernah mendengarkan cerita masa kecilmu?”

    “Berapa umurmu?”

    “Hmmm… Dua belas.”

    “Baiklah, ketika aku seumuranmu, atau mungkin sedikit lebih besar. Aku sudah diajak pamanku menggembala di padang ini.”

    “Paman? Kemana ayahmu?”

    Ia mengangkat bahunya. “Ibuku meninggal saat melahirkanku dan ayahku meninggal tak lama kemudian. Aku tak mengingat seperti apa wajah mereka. Aku dibesarkan oleh paman dan bibiku.”

    Aku diam menantikan kelanjutan kisahnya.

    “Kau sudah mendengar kabar seorang rabi yang bulan Nisan lalu disalib orang-orang Romawi menggantikan seorang pembunuh?”

    Aku mengangguk. Aku mendengar kabar itu beberapa waktu yang lalu, ketika orang-orang membicarakan sang rabi. Ia mengaku sebagai Anak Allah. Sebagian orang percaya karena pernah melihat atau mendengarnya melakukan mukjizat, dari menyembuhkan orang kusta hingga menghidupkan orang mati. Bahkan ia bisa mengubah air menjadi anggur dalam sebuah pesta pernikahan. Ia dianggap sebagai nabi oleh sebagian orang. Beberapa malah menyamakanannya seperti Musa, atau malah menganggapnya sebagai Elia yang turun kembali untuk menyelamatkan bangsa ini. Seperti ketika Elia menyadarkan raja Ahab dari pengaruh Izebel yang membuat leluhur kami menyembah Baal. Sebagian lain menganggapnya omong kosong belaka.

    “Kau boleh percaya atau tidak, jika benar sang rabi merupakan Anak Allah, maka bisa jadi aku pernah menyaksikan kelahirannya.”

    “Bagaimana bisa?”

    “Aku lupa hal yang akan kuceritakan ini terjadi bulan apa. Antara bulan Iyar atau Sivan. Malam itu aku dan pamanku menggembala di sekitar menara.” Ia menunjuk sedikit ke arah barat. Setahuku di sana ada jalan yang menghubungkan Bethlehem dan Yerusalem. Memang ada sebuah menara di situ. Domba-domba yang biasa dipersembahkan di mazbah Bait Allah biasanya digembalakan di situ.

    “Malam itu malam yang sangat tenang. Aku bisa mendengar suara nafas domba dan kambing yang berbaring di padang. Aku tak bisa tidur, aku berjaga bersama beberapa gembala lain. Sesekali aku berbaring memandang langit cerah yang dipenuhi bintang. Sejak kecil aku mengagumi langit malam. Aku tak tahu bagaimana bintang-bintang diletakkan begitu indahnya di langit malam. Mungkin orang-orang akan menyangka bintang-bintang ditaburkan begitu saja di langit, tapi kupikir Sang Pencipta sudah mengaturnya sebegitu rupa sehingga nampak indah. Malam itu bukan bulan purnama, bahkan mungkin bulan tak nampak malam itu. Tapi langit sangat cerah, hanya sedikit awan tipis yang ada di sana.

    Menjelang tengah malam, tiba-tiba kami dikagetkan oleh domba dan kambing yang mengembik bersahutan. Aku pikir ada serangan sekawanan binatang buas yang mengincar domba-domba. Tapi domba-domba itu tetap diam di tempatnya hanya mengembik. Di kejauhan nampak kerlip cahaya, sebesar kerlip bintang, lalu menjadi sebesar cahaya lentara yang lambat laun semakin terang, semakin terang, seterang matahari. Bayangkan saja ketika matamu menatap matahari terlalu lama di tengah hari. Cahaya itu sangat terang, namun cahayanya tidak menyakiti mataku. Cahayanya seterang matahari namun sinarnya tidak menusuk mataku.

    Dari cahaya itu nampak sesosok menyerupai manusia. Namun aku rasa bukan manusia. Pasti bukan. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas karena cahaya yang sangat terang itu. Lututku gemetar, aku ingin lari tapi kakiku tak bisa kuperintah untuk menjauh. Aku terjatuh berlutut. Ketika aku mencoba melihat sekelilingku, kulihat pamanku dan teman-temannya juga terjatuh berlutut sepertiku. Kami gemetar ketakutan. Kami biasanya gagah berani melawan binatang buas hanya dengan bersenjatakan tongkat dan umban. Namun, kami tak bisa apa-apa di depan cahaya itu.

    Lalu terdengar suara. Suara itu muncul dari dalam kepalaku. Suara itu tidak seperti suara yang didengarkan telingamu. Suara itu muncul dari dalam kepalamu. Seperti suara yang seringkali muncul sebelum kau melakukan hal yang buruk. Suara itu berkata ‘Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juru Selamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.’

    Bulu kudukku berdiri, ketika melihat langit seperti terbelah dan cahaya-cahaya bermunculan membuat malam itu sangat terang. Suara-suara itu muncul lagi, kali ini bersahutan ‘Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.’ Kami sadar, kami menyaksikan kemuliaan Tuhan. Malaikat-malaikat Tuhan berkenan datang menemui kami. Kaum gembala yang biasa dijauhi masyarakat karena kami dekil dan bau domba. Perlahan cahaya-cahaya itu membumbung ke langit kemudian meredup. ‘Ikutilah bintang yang paling terang, disitulah terbaring sang Juru Selamat.’

    Dengan gemetaran kami berdiri. Pamanku, yang tertua dari para gembala yang ada di situ berkata kepada yang lain untuk mengikuti petunjuk Tuhan yang disampaikan para malaikat. Kami berjalan diikuti domba-domba kami. Beberapa gembala berjalan di belakang domba. Aku berjalan di samping pamanku yang berdiri paling depan di antara rombongan. Kami berjalan menuju timur, mengikuti bintang terang yang terlihat jelas di langit malam itu.

    Aku memang pernah mendengar sebuah nubuat nabi tentang sang Juru Selamat. Aku berharap Juru Selamat yang diutus Tuhan akan memimpin dan mempersatukan bangsa ini seperti Musa yang memimpin keduabelas suku keluar dari perbudakan di Mesir menuju Kanaan, tanah terjanji. Sekaligus seperti Daud yang membawa bangsa ini menjadi bangsa yang termasyhur dan disegani bangsa-bangsa lain.

    Bintang itu membawa kami ke sebuah kandang. Aku berpikir apakah mungkin keturunan Daud lahir di sebuah kandang? Bukankah Ia lebih layak tinggal di istana yang mewah seperti istana Herodes yang diangkat pemerintahan Romawi menjadi Raja Yudea? Apakah seorang yang dijanjikan Tuhan layak terlahir di sebuah kandang?

    Jika kau akan bertanya kandang seperti apa yang kudatangi. Kandang itu hanyalah kandang biasa. Seperti kandang tempat berlindung domba-domba dan kambing-kambing dari terpaan angin musim dingin. Temboknya terbuat dari tanah liat, disekat dengan kayu mentah, atapnya dari jerami kering. Kami masuk dan mendapati sepasang suami istri di sana. Mereka terkejut dengan kedatangan kami.

    Aku melihat seorang bayi lelaki yang masih merah, nampak bercahaya diletakan di palungan. Dialasi beberapa jumput jerami dan kain lampin yang membungkusnya. Aku bertanya-tanya, mungkinkah dia sang Juru Selamat? Aku mendekatinya perlahan. Aku tak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba lututku sontak lemas dan berlutut di hadapan bayi laki-laki itu. Kami sekawanan gembala yang papa, berlutut menyembah bayi lelaki itu.

    Pamanku mendekat dan bercakap dengan pasangan itu. Dari yang kucuri dengar dari percakapan mereka, suami istri itu berasal dari Nazareth, di sebuah daerah bernama Galilea, jauh di utara dekat danau Tiberias. Mereka datang ke Bethlehem untuk mendaftarkan diri seperti perintah Kaisar Agustus. Pamanku menceritakan hal yang kami alami, dan bagaimana Malaikat Tuhan datang dan memberi petunjuk kepada kami. Sungguh kemuliaan Tuhan itu besar adanya.

    Kami duduk mengelilingi bayi yang sedang tidur itu. Domba dan kambing yang biasa mengembik bersahutan ketika dibawa ke kandang tak ada yang bersuara seolah tak ingin mengganggu bayi yang sedang tidur itu. Malam itu sungguh syahdu dan kudus adanya.

    Aku terbangun menjelang matahari terbit. Aku mendengar suara derap kuda datang mendekat. Aku membangunkan pamanku. Derap kuda itu berhenti di tepi kandang. Aku melihat ada tiga orang berpakaian aneh, yang tak pernah kulihat sebelumnya, perlahan masuk ke kandang itu. Mereka saling bercakap dengan kata-kata yang tak kupahami maksudnya. Aku tak mengenali satu kata pun yang mereka ucapkan.

    Pamanku berdiri, mengambil tongkatnya kemudian mendekati mereka. Salah satu dari mereka menunduk dan memberi salam dalam bahasa kami. Mereka bertanya-tanya dimanakah raja besar yang baru lahir. Pamanku mempersilakan ketiga orang itu masuk dan menemui Yosef dan Maria, nama orangtua bayi itu. Ia menunjukkan bayi yang terbaring di palungan. Sama halnya seperti kami, mereka bertanya-tanya apakah layak seorang raja lahir dan hadir di kandang seperti ini.

    Mereka berkisah bahwa mereka mengikuti bintang yang muncul di barat. Menurut yang mereka percayai, bintang itu adalah pertanda bahwa ada orang besar yang baru lahir. Biasanya hal itu mengacu pada raja-raja besar yang membawa kejayaan bagi bangsanya. Mereka memperkenalkan diri sebagai orang-orang majusi dari sebuah negara jauh di timur. Mereka membawa persembahan dalam kantung. Orang pertama mempersembahkan sekantung bongkahan kecil logam berwarna kuning, Orang kedua dan ketiga mempersembahkan sekantung rempah-rempah. Wangi rempah itu tercium sangat kuat meskipun kantung yang membungkusnya belum terbuka.

    Kami semakin yakin bahwa kelak bayi itu akan membawa kejayaan bagi bangsa ini. Malam itu tak akan pernah terlupakan.” tutur Baz mengakhiri cerita panjangnya.

    “Bagaimana kau bisa tahu rabi yang mati disalib itu adalah bayi yang kau kunjungi malam itu? Bukankah ia mati sebagai seorang rabi, bukan sebagai raja?” tanyaku polos.

    “Kau tentu tahu, Daud hanyalah seorang gembala sebelum ia diurapi Samuel. Bisa jadi seorang anak tukang kayu dari Nazareth adalah orang besar jika memang ia dikehendaki oleh Tuhan. Kita tidak pernah tahu apa kehendak-Nya. Bahkan Musa sempat ragu ketika Tuhan memintanya memukul laut merah, ketika bangsa ini keluar dari Mesir.”

    “Tapi jika benar ia Juru Selamat, bukankah bangsa ini masih dijajah oleh bangsa Romawi? Bukankah seharusnya Ia memimpin bangsa ini dan melepaskannya dari Romawi?”

    “Aku tak tahu. Dari apa yang kudengar, beberapa orang bercerita bahwa ia bangkit dari kematiannya, setelah ia diturunkan dari salib menjelang paskah. Aku tidak tahu apakah ia akan menyelamatkan kita dari bangsa Romawi, ataukah kelak ia akan menyelamatkan jiwa-jiwa orang yang telah mati. Aku tak tahu apakah ia dijanjikan untuk bangsa ini, atau ia dijanjikan untuk seluruh dunia. Kita tak pernah tahu apa kehendak Tuhan.”

    Aku tak mengerti apa yang dimaksudnya. “Lalu apakah kau percaya Dia adalah Anak Allah?”

    Baz mengangkat bahunya. Ia, aku dan semua manusia mungkin tidak akan pernah bisa memahami kehendak Tuhan. Kami hanya bisa percaya dan meyakini bahwa kelak Ia akan datang di hari penghakiman.

     

    Selamat Natal. Feliz Navidad.

    Semoga damai menyertai semua manusia di dunia.

     

    Gambar Lukisan The Adoration of the Shepherds (Mattia Preti)

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #44] Yerusalem: Dari Ratapan Sampai Kebangkitan Orang-orang Mati

    author = Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    Fakta bahwa terdapat lebih dari 2.000 situs arkeologis di Yerusalem membuat saya bertanya-tanya, seberapa panjang sejarah sebuah kota. Telah berapa juta jiwa manusia yang pernah hidup dan mati di kota ini. Atau di kota-kota lain seperti Athena Yunani, Aleppo Suriah, Luoyang Tiongkok, Varanasi India, yang lebih tua dari Yerusalem. Seorang kawan arkeolog pernah berkata kepada saya, “Satu gempil saja artefak gerabah bisa mengungkap ribuan kisah. Bayangkan kalau artefak itu berupa sebuah kota utuh!”

    Walau terdapat bukti-bukti arkeologis Mata Air Gihon yang menunjukkan adanya pemukiman sejak 4500 SM, namun Yerusalem baru menjadi Yerusalem ketika tahun 1055 SM Raja Daud menaklukan suku Yebus—yang sebelumnya mendiami daerah itu—dan memindahkan ibukota kerajaannya dari Hebron (30 km di selatan Yerusalem) ke Bukit Sion.

    Sejarah kota ini sudah sejak pertama dimulai dengan peperangan, pengepungan, dan penaklukan. Sulit ditentukan pihak mana yang lebih berhak. Bagi penganut keyakinan Abrahamik (dengan segala turunannya), invasi ke dataran Yudea dilandasi atas janji Tuhan sendiri yang diimani dengan teguh lewat hijrahnya Abraham dari Ur-Kasdim. Bagi penduduk sebelum era monotheisme, tanah itu adalah tanah di mana mereka dilahirkan, dan penentuan tempat lahir sudah barang tentu urusan Tuhan, alih-alih kehendak si bayi.

    Perang yang selalu pasang surut di Yerusalem menjadi perhatian banyak orang. Kekhawatiran yang paling mendalam mungkin dirasakan oleh para arkeolog dan para pemerhati budaya. Apalagi sejak hancurnya Patung Budha Bamiyan di Afganistan, Masjid Nabi Yunus di Niniwe, hingga Patung Singa Assyria di Suriah.

    Yerusalem, atau dalam bahasa Ibrani disebut Yerushalayim dan Al-Quds dalam bahasa Arab, memiliki banyak situs berusia ribuan tahun yang akarnya masih sangat kuat menggenggam hati masyarakat modern di abad 21 ini.

    Kotel (atau Tembok Al Buraq, Tembok Barat, Tembok Ratapan), misalnya, yang merupakan satu tembok dari empat sisa reruntuhan kecil Bait Suci Allah generasi kedua (Bait Suci Pertama hancur akibat penyerangan Kekaisaran Babilonia), telah dibangun sejak era Kekaisaran Persia menaklukan Babilonia dan menguasai dataran Yudea. Kendati tidak memeluk agama Yahudi, Kaisar Koresh dari Persia menginisiasi pembangunan ulang Bait Suci tersebut dan dilanjutkan oleh putranya Kaisar Darius I pada tahun 516 SM, sampai kemudian dikembangkan lagi secara masif oleh Herodes Agung 400 tahun kemudian.

    Namun, sepertinya mendung peperangan tidak bosan datang ke Yerusalem. 50 tahun setelah Herodes menyelesaikannya, Bait Suci generasi kedua itu luluh lantak oleh penyerbuan pasukan Romawi di bawah kepemimpinan Kaisar Titus sebagai reaksi atas pemberontakan rakyat Yahudi terhadap penjajahan Romawi. Monumen Arco di Tito, yang sekarang bisa kita lihat Jalan Sacra di Kota Roma, didedikasikan untuk kemenangan ini. Konon, inkripsi di dinding Colosseum yang menyebut bahwa bebatuan Colosseum dibangun dari hasil jarahan perang 79 M merujuk pada Bait Suci generasi kedua.

    Kotel

     

    Kotel sendiri hanyalah tembok sisa dari kejayaan dan kelimpungan peradaban Yahudi di Yerusalem. Meski begitu, kekayaan unsur narasi kisahnya melebihi dari semua itu. Tembok ini menjadi sedemikian suci bagi umat Yahudi karena sifatnya yang ironis. Kotel, atau Tembok Ratapan, pada prinsip fungsinya bukanlah tempat paling suci umat Yahudi. Letak tersuci justru berada persis di balik tembok tersebut, yakni Temple Mount (Bukit Bait Suci) bagian darinya yang diyakini dahulu adalah Ruang Maha Suci dari Bait Suci Allah, tempat diletakkan Tabut Perjanjian berisi dua loh batu Musa sebelum hilang setelah peristiwa penyerangan bangsa Babilonia tahun 587 SM.

    Ironisnya lagi, di balik tembok itu adalah wilayah Islam kompleks Masjidil Aqsa yang menerapkan larangan masuk bagi seluruh umat non-Muslim selama ratusan tahun lamanya sewaktu masa Kesultanan Utsmaniyah. Apalah daya, selain meratap dan berdoa dari balik tembok batu gamping sepanjang 500 meter.

    Yang menarik, pemakaian terma Tembok Ratapan tidak dipakai oleh umat Yahudi, serta tidak datang dari umat Islam. Terma ini berawal dari tradisi lama ketika Kekaisaran Kristen Romawi menguasai Yerusalem (324 – 638 M). Di masa itu seluruh umat Yahudi dilarang memasuki Yerusalem kecuali untuk satu hari saja. Hari itu adalah Tisha B’Av, yakni hari berpuasa nasional bagi umat Yahudi untuk menangisi hancurnya Bait Suci Pertama dan Kedua. Pada hari itu, umat Yahudi meratapi segala kemalangan sejarah mereka.

    Papan Pengumuman Temple Mount

    Kini, terma Tembok Ratapan sudah jarang digunakan dan cenderung dianggap menghina. Pembatasan Masjidil Aqsa pun juga tak seketat dahulu. Umat Yahudi dan Kristen diperbolehkan masuk pada batas-batas tertentu sebagai wisatawan dan dilarang melakukan aktivitas peribadatan. Kendati demikian, masih ada larangan keras berdasarkan Hukum Halakha atas rujukan Taurat yang melarang umat Yahudi biasa memasuki Temple Mount karena sifat kesakralannya, dan hanya memperbolehkan Imam Besar saja.

    Bagi umat Islam, Temple Mount lebih dikenal sebagai Masjidil Aqsa atau Haram Al-Sharif. Wilayah Islam ini adalah yang terluas di Yerusalem. Di dalamnya terdapat Masjid Al Qibli yang pernah dijadikan Istana Templum Solomonis oleh tentara Kristen pada Perang Salib I dan direbut kembali oleh Sultan Saladin pada Perang Salib II. Terdapat pula Kubah Silsilah yang oleh beberapa kalangan diyakini sebagai tempat dimulainya Hari Kiamat, hari ketika semua silsilah akan terputus.

    Mungkin bagian terpenting dari Haram Al-Sharif adalah Kubah Al-Sakhrah atau Kubah Batu. Bangunan ini merupakan landmark paling terkenal yang menjadi skyline ikonik Yerusalem modern dengan warna emas bersinar dari atap kubahnya. Beberapa orang non-Muslim kerap salah mengiranya sebagai sebuah masjid. Nyatanya, Kubah Batu dibangun pada masa Khalifah Abdul Malik (selesai 691 M) yang fungsinya untuk menaungi suatu bongkahan batu besar. Batu ini diyakini sebagai pijakan Nabi Muhammad SAW saat melakukan perjalanan menembus langit menuju Sidratul Muntaha dalam peristiwa Isra Mi’raj. Peristiwa ini dipandang sangat penting bagi umat Islam mengingat inilah kala Tuhan memberikan perintah shalat lima waktu. Sementara menurut tradisi Yahudi, batu tersebut diyakini sebagai batu persembahan Abraham ketika ia mempersiapkan Ishak untuk dikorbankan kepada Tuhan. Pusat Kubah Batu inilah yang diyakini umat Yahudi sebagai bagian tengah dari Bait Suci Allah.

    Konon, setelah Bait Suci generasi kedua hancur, pemerintah Romawi mendirikan Kuil Jupiter tepat di lokasi Kubah Batu. Ketika Kaisar Konstantin memeluk agama Kristen, daerah ini kurang mendapat perhatian. Di masa Kaisar Julianus (363 M), pernah diadakan upaya pembangunan kembali Bait Suci tersebut. Namun tidak jelas apa yang terjadi sampai membuat pembangunannya berhenti total. Dalam beberapa catatan disebutkan banyak terjadi kecelakaan seperti bola-bola api berjatuhan di lokasi proyek. Diyakini terdapat sabotase dalam proses pengerjaannya. Di satu sisi, ada pula yang mengira hal itu akibat gempa bumi Galilea di tahun yang sama (18-19 Mei 363 M).

    bersambung ke halaman berikutnya

    Pendapat Anda:

    Pages: 1 2

  • [Ngibul #43] Mengenang Riyanto dan Para Pemimpin Bijak: Potret Cinta Kasih Islam-Kristen

    author = Fitriawan Nur Indrianto
    Lulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.

    Manakah diantara kedua jenis manusia ini yang apabila meninggal akan tercatat sebagai syuhada sekaligus namanya harum di sisi Tuhannya? Seorang yang mati bunuh diri dengan menggenggam bom di tubuhnya guna meledakkan sebuah gereja, pos polisi, hotel, kantor pemerintah yang kemungkinan  bom itu akan melukai anak yatim, orang muslim yang taat, seorang ayah yang sedang mencari nafkah ataukah seorang yang mengorbankan diri dengan memeluk bom demi menyelamatkan banyak orang?

    Memasuki dekade 2000-an, tindak terorisme memang tengah melanda Indonesia. Aksi yang pertama kali terjadi adalah peledakan bom di Kedubes Filipina pada 1 Agustus 2000 dengan korban 2 orang tewas serta  20 orang luka-luka. Pascaperistiwa tersebut serangkaian tindakan terorisme terus saja terjadi, menelan banyak korban jiwa dan nyatanya sampai detik ini, ancaman tersebut masih saja ada. Aksi serampangan tersebut dilakukan oleh orang yang mengaku tengah melaksanakan Jihad Fi Sabilillah. Padahal, ajaran Islam yang konon dijadikan dasar sebagai landasan aksi tersebut tak pernah mengajarkan yang demikian.

    Bisa dipastikan terorisme bukanlah sebuah tindakan heroik yang mengakibatkan Tuhan menjadi senang dan nama pelakunya akan harum di depan umat. Selama ini,  mereka yang menjadi pelaku terorisme (beberapa melakukan tindakan bom bunuh diri)  disebut sebagai pengantin surga. Konon mereka telah dijanjikan bidadari di surga nanti. Bagi saya, hal tersebut adalah omong kosong belaka.

    Tindakan terorisme yang sering mengatasnamakan umat Islam justru malah mencoreng nama Islam. Bukan hanya di Indonesia, negara-negara yang mayoritas penduduknya non-muslim pun sempat ketakutan dengan mereka yang mengenakan atribut keislaman maupun memiliki nama yang “keislam-islaman”. Akibat ulah segelintir manusia yang salah memahami agama, umat Islam harus berjuang keras untuk kembali menghadirkan citra dirinya sebagai agama yang cinta damai. Terorisme sampai saat ini juga masih menjadi hantu yang mengancam hubungan harmonis antar-agama.

    Entah mengapa pula, umat Nasrani juga menjadi salah satu target tindakan terorisme. Malam 24 Desember 2000, terjadi serangkaian aksi terorisme dengan target utama para jamaah yang sedang melaksanakan misa Natal. Setidaknya ada 12 gereja yang menjadi sasaran terorisme, tersebar di berbagai wilayah di Indonesia antara lain Batam, Pekan Baru, Jakarta, Bandung, Pangandaran, Mojokerto, dan Mataram. Serangkaian aksi terorisme tersebut tentu saja sempat mengoyak keharmonisan dan kerukunan umat beragama di Indonesia yang sudah terjalin ratusan tahun.

    Di antara banyaknya peristiwa duka tersebut, ada seorang pemuda gagah berani bernama Riyanto. Riyanto hanyalah seorang pemuda biasa. Pada malam Natal tahun 2000, ia bersama rekan-rekan sesama anggota Banser (Barisan Ansor Serba Guna; Sebuah gerakan komando pemuda islam di bawah naungan Nahdlatul Ulama) bertugas untuk menjaga malam natal di sebuah gereja di Mojokerto. Entah sial ataukah justru merupakan anugerah bagi dirinya, gereja Eben Haezer menjadi salah satu target sasaran terorisme. Dengan sangat heroik, Riyanto kemudian mengambil bom aktif tersebut dan  menjauhkannya dari keramaian. Namun, Riyanto tak sempat menyelamatkan diri. Bom keburu meledak dan Riyanto meninggal tatkala memeluk bom tersebut.

    Aksi heroik Riyanto adalah sebuah aksi kemanusiaan yang tidak hanya menyelamatkan nyawa manusia tetapi juga menyelamatkan citra umat Islam. Riyanto menjadi penanda bahwa Islam mengutuk tindakan biadab bernama terorisme yang sering dilekatkan sebagai stereotip negatif pada umat Islam. Aksi heroik ini sekaligus menunjukkan bahwa Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki fungsi menjaga toleransi dan melindungi agama-agama minoritas.

    Muslim dan Nasrani adalah dua umat beragama yang dalam sejarahnya sudah saling mengakrabkan diri dan saling menjaga satu sama lain. Jauh sebelum aksi heroik Riyanto, umat Nasrani juga memiliki andil dalam menjaga umat muslim. Tatkala Islam masih sangat muda, para penganut Islam generasi pertama tengah mendapatkan gangguan dan ancaman dari orang Quraisy di kota Makkah. Banyak dari umat Islam yang sebagian darinya adalah orang miskin dan lemah kemudian disiksa, membuat Nabi Muhammad S.A.W sedih akan hal tersebut. Seorang sahabat kemudian mewartakan bahwa di sebuah negeri nan jauh di sana terdapat seorang raja yang tak mengizinkan ketidakadilan terjadi di negerinya. Berita baik tersebut membuat Nabi memberikan perintah agar umat muslim Hijrah ke negeri tersebut. Peristiwa tersebut pun tercatat sebagai peristiwa hijrah pertama umat muslim.

    Habasy, sebuah negeri di benua Afrika (kini dikenal dengan nama Ethiopia) saat itu dipimpin oleh seorang raja beragama Kristen bernama Najasyi. Negeri itu mayoritas penduduknya Nasrani. Tatkala umat Islam yang melarikan diri dari Makkah sampai ke negeri tersebut, mereka disambut hangat oleh raja dan rakyatnya. Mereka pun diberikan jaminan perlindungan sekaligus jaminan hidup. Peristiwa ini pula yang menjadi penanda hubungan indah umat Muslim dan Nasrani pada periode awal kelahiran Islam. Konon, Nabi dan sang Raja pun memiliki kedekatan yang sangat baik.

    Dua peristiwa di atas menunjukkan pada kita bahwa umat Muslim dan Nasrani merupakan dua umat beragama yang sejak dulu bukan hanya saling menghormati tetapi juga saling melindungi. Memang dalam perkembangannya terdapat pula cerita pertikaian yang “seolah melibatkan keduanya.” Kita bisa berkaca pada peristiwa Perang Salib misalnya. Tetapi jika kita berpikir lebih bijak, maka kita akan melihat bahwa peristiwa tersebut bukanlah perang antar umat beragama melainkan perang dalam memperebutkan kekuasaan semata.

    Di balik cerita pertikaian juga, sesungguhnya banyak catatan mengharukan yang bisa kita baca kembali dalam sejarah mengenai hubungan kedua umat beragama yang sesungguhnya begitu hangat dan dekat. Kita bisa melihat bagaimana kemesraan umat Muslim dan Nasrani di Yerusalem saat negeri tersebut dikuasai oleh Raja Baldwin IV. Sang raja tetap mengizinkan orang Muslim berziarah dan tinggal di Yerusalem. Jauh sebelumnya, Khalifah Amirul Mukmini Umar Ibn Kattab juga memerintahkan kepada tentara muslimin agar gereja, salib, pendeta dan umat Nasrani tak satupun diganggu. Mereka juga diberikan kebebasan memeluk agama dan keyakinannya, bahkan Umar Ibn Kattab memberikan jaminan akan hal tersebut.

    Desember tahun ini menjadi begitu indah karena dirayakannya peringatan hari kelahiran dua manusia yang menjadi teladan bagi kedua agama. 1 Desember 2017 lalu, umat Islam merayakan Maulid Nabi sementara 25 Desember 2017 nanti akan dirayakan peringatan kelahiran Isa Al Masih. Kedua momentum ini hendaknya menjadi pengingat bagi kita bahwa kedua manusia itu sesungguhnya diturunkan ke dunia untuk menyebarkan cinta kasih, sebagai sebuah rahmat bagi semesta alam dan kita pun patut meneladani mereka. Mereka yang saya sebut di atas adalah cerminan manusia yang mengamalkan ajaran-ajaran indah kedua manusia teladan tersebut.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #42] Polisi di Film India, Polisi di Film Indonesia

    author = Bagus Panuntun
    Power Ranger Merah

    Tempat paling aman dari cegatan SIM adalah film-film bioskop Indonesia. Padahal, cegatan SIM, razia lalulintas, atau operasi zebra merupakan perihal yang kerap kali kita temui. Saking kerapnya, kita bahkan merasa begitu dekat dengannya. Saking dekatnya, kita bahkan merasa bahwa cegatan SIM adalah entitas yang hidup: ia makhluk yang senantiasa mengawasi dan mengintai kita sehingga kita tetap was-was bahkan ketika sudah lengkap membawa SIM dan STNK.

    Anehnya, perihal yang begitu akrab dengan kita tersebut, hampir tidak pernah muncul dalam film-film Indonesia. Sementara itu, kita semakin kesal melihat fenomena cegatan SIM yang lebih identik dengan praktik korupsi dibanding kedisiplinan. Mengapa fenomena ini seolah tak pernah disindir oleh film-film kita? Pertanyaan tersebut akhir-akhir ini terus berlabuh seiring dengan kebiasaan saya yang cukup intens menonton film India selama tiga tahun terakhir.

    Cerita dalam film-film India hampir selalu menautkan kuat dirinya dengan realitas yang ada di masyarakat. Salah satunya dengan kondisi perpolisian di sana. Sementara polisi dalam film Indonesia hampir selalu dihadirkan sebagai pahlawan yang acap membengkuk penjahat, polisi dalam film-film India justru kerap dihadirkan sebagai sosok manusia biasa yang seringkali kejam, korup, bahkan bodoh.

    Pada mulanya adalah Drishyam (2015), film India pertama yang saya tonton di 2015 yang selanjutnya membuat saya terus melakukan maraton film India hingga hari ini. Drishyam bercerita tentang Vijay Salgaonkar (Ajay Devgan), seorang DO-an kelas 4 SD, yang berusaha menyelamatkan keluarganya dari sisi gelap hukum India. Plot dari film ini bermula ketika Anju—putri pertama Vijay Salgaonkar—secara tak sengaja menghantam batok kepala Sam—putra tunggal Inspektur Jendral Polisi Goa—dengan tongkat besi. Anju berusaha menghantam Sam untuk merebut gawai yang baru saja digunakan Sam untuk merekamnya ketika tengah mandi. Malang, akibat hantaman telak tersebut, Anju justru membunuh anak sang inspektur yang seketika tewas di tempat.

    Sebagai seorang Bapak, Vijay berusaha melindungi keluarganya dari tuduhan pembunuhan berencana. Ia menyusun berbagai alibi untuk membuat keluarganya seolah tak terlibat sama sekali dengan pembunuhan tersebut. Celakanya, Vijay harus berhadapan dengan Inspektur Jendral Polisi Meera Deshmukh (Tabu), ibu dari Sam yang ampun-ampunan cerdas namun sekaligus beringas. Film ini selanjutnya memperlihatkan pada kita bagaimana cara kepolisian India membuat keluarga Vijay mengakui kesalahan. Kepolisian dalam film ini dimunculkan sebagai sosok yang tak segan memaksa bahkan menyiksa tertuduh supaya membuat pengakuan. Di film ini, Anda juga akan bertemu dengan tokoh Gaitonde, sosok polisi berkumis tebal berbadan gempal yang akan membuat hasrat menempeleng Anda memuncak. Gaitonde dalam Drishyam benar-benar dihadirkan sebagai polisi yang ringan tangan. Ia bahkan tak segan menggampar seorang bocah yang baru berusia 7 tahun.

    Film Drishyam bukanlah satu-satunya film India yang dengan sangat realis berani menunjukkan sisi gelap polisi. Jika polisi dalam Drishyam masih dihadirkan sebagai sosok yang meskipun kejam namun cerdas, lain halnya dengan polisi di film Talvar (2015). Dalam film besutan sutradara Meghna Gulsar ini, polisi tak saja nampak sembrono, namun tolol bukan main. Kisah film ini dibuka dengan adegan  ditemukannya mayat Shruti Tandon, gadis berusia 14 tahun yang meregang nyawa dengan leher teriris di kamarnya. Tepat sehari setelah pembunuhan tersebut, rombongan polisi pun datang ke TKP untuk melakukan penyidikan. Biadabnya, mereka melakukan penyidikan tersebut dengan cara yang sama sekali tidak profesional. Pertama, polisi membiarkan TKP tidak steril dengan membiarkan warga lalu lalang di area tersebut. Kedua, mereka tak mencari adanya jejak darah atau sidik jari yang tersebar di sekitar rumah. Akibat kesembronoan tersebut, kasus ini tak dapat segera dipecahkan. Kejaksaan India pun menghadirkan dua detektif yaitu Ashwin Kumar (Irffan Khan) dan Paul (Atul Kumar) untuk memecahkan kasus tersebut. Hasilnya? Dua detektif tersebut memiliki kesimpulan yang berbeda 180 derajat. Film yang memperoleh rating 93 % di situs rotten tomatoes ini kemudian membuat kita sebagai pemirsa bingung menentukan manakah analisis yang tepat dari kedua detektif tersebut, sebab keduanya sama-sama masuk akal. Akan tetapi, terlepas dari apakah kita mendukung alibi Ashwin atau Paul, pada akhirnya kita akan seiya-sekata mendukung bahwa polisi dalam film ini benar-benar dihadirkan sebagai pemalas dungu yang jidatnya layak disundut rokok.

    Film ketiga yang bisa kita tonton adalah Raees. Film yang baru saja rilis di awal tahun 2017 ini disutradarai Rahul Dholakia dan dibintangi aktor India paling dicintai perempuan-perempuan negeri kita. Siapa lagi kalau bukan Shah Rukh Khan. Hanya saja, Anda boleh kecewa jika mengharap Shah Rukh akan berperan sebagai sosok yang baik hati yang tangkas merayu, menari, dan menangis seperti Rahul. Shah Rukh yang berperan sebagai Raees di sini adalah sosok antihero, sosok mafia minuman keras di Gujarat yang ditakuti siapa saja, termasuk polisi. Dengan uang yang dimilikinya, Raees diceritakan mampu membayar kepolisian berapapun dan bahkan membuatnya merasa “berhak” menggasak setiap polisi yang tidak disukainya. Kepolisian benar-benar diolok-olok dalam film ini. Ya, meskipun di sisi lain, film ini juga menghadirkan Majmudar (Nawajuddin Siddiqui), sosok ideal polisi India yang anti sogok dan rela bersusah payah menangkap Raees meski berada di tengah lingkungan kerja yang hancur-hancuran.

    Tiga film di atas hanyalah contoh dari sekian banyak film India yang menghadirkan polisi sebagai lembaga yang jauh dari kata sempurna. Di luar judul-judul tersebut, masih ada puluhan atau mungkin ratusan film lain yang dengan tegas menghadirkan fragmen tentang korupsi polisi atau kekejaman aparat terhadap sipil. Jika Anda ingat genre “Film Inspektur Vijay” yang dulu kerap nongol di televisi swasta kita, film ini juga kerap menghadirkan para “Angry Young Man” anti-kemapanan yang berjuang melawan kejahatan di tengah kebanyakan polisi yang tak bisa diandalkan.

    Pertanyaannya, adakah film Indonesia modern—terutama dalam tiga tahun terakhir— yang berani menghadirkan fragmen-fragmen semacam itu? Sejauh yang saya amati, kita sebenarnya memiliki dua film yang dengan cukup gamblang berani memperlihatkan sisi “manusia” dari polisi-polisi kita. Film tersebut adalah Siti (2014) dan Marlina, Pembunuh dalam Empat Babak (2017). Dalam film Siti misalnya, kita akan melihat polisi yang mau disogok, hobi minum ciu, dan gemar menyewa biduan karaokean. Sementara dalam film Marlina yang baru saya tonton dua hari lalu, kita dapat menjumpai polisi malas-malasan yang lebih memilih main pingpong daripada segera melayani orang yang hendak melapor. Jangan lupa pula bagaimana polisi dalam film tersebut tampak begitu menyepelekan korban pemerkosaan dengan bertanya, “katamu dia (si pemerkosa) kurus dan kerempeng? Kok bisanya kamu diperkosa?”.

    Meski kadar kritik dalam dua film tersebut tidak seintens dan serealis dalam film-film India, sebenarnya kita bisa menganggap dua film tersebut sebagai sebuah harapan. Kita, saya kira, selalu mengharapkan bahwa film-film yang hadir di bioskop Indonesia adalah film yang mampu dijadikan sarana kritik sosial terhadap isu-isu kontemporer. Hanya saja jika dipandang secara lebih kritis, dua film tersebut pun sebenarnya bisa hadir ke bioskop-bioskop setelah sebelumnya memenangkan berbagai penghargaan tingkat internasional. Andai saja film-film tersebut belum memenangkan penghargaan internasional dan misalnya dibintangi Reza Rahardian, Chelsea Islan, atau Vino G Bastian, mungkinkah film-film tersebut tidak dilarang beredar?

    Saat ini kebebasan film Indonesia untuk menghadirkan “gambaran sejati tentang Indonesia” masih jauh panggang dari api. Barangkali, salah satu faktor yang menimbulkan kemampatan ini adalah sisa peninggalan orde baru dengan Kode Etik Produksi Film tahun 1981-nya. Salah satu poin dari kode etik tersebut adalah: “film Indonesia bertanggung jawab meniadakan pernyataan yang memicu merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penegak hukum”. Saya sungguh heran, kenapa sih lembaga penegak hukum di negeri kita selalu lebih peduli pada citra dibanding realita? Padahal, jika ada fragmen film yang menghadirkan sisi buruk penegak hukum kita, kan bisa ditanggapi dengan santai seperti biasanya: “mereka hanya oknum!”

    Iya, oknum. Kan kita semua tahu:

    Kepolisian bersih,

    yang menerima sogok hanyalah oknum.

    Kepolisian baik,

    yang menyiksa sipil hanyalah oknum.

    Kepolisian selalu benar,

    Kalau ada yang salah, mereka ya oknum.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #41] Cilok, Bambu Runcing, dan Pahlawan

    author = Andreas Nova

    Apa yang terbesit di kepala ketika mendengar kata cilok? Barangkali sebagian besar jawaban akan merujuk kepada makanan ringan yang berasal dari Tlatah Sunda yang dibuat dengan cara merebus campuran adonan yang berbahan utama tepung kanji. Makanan ringan ini sangat merakyat. Buktinya kita akan dengan mudah menemui bakul cilok di depan—hampir semua—sekolah yang ada di Yogyakarta. Jika warung burjo melakukan invasi kuliner di seputaran kampus-kampus di Jogja, maka cilok melakukan penetrasi melalui bocah-bocah sekolah.

    Umumnya cilok dibentuk bulat, dinikmati bersama bumbu berbentuk saos dan disantap menggunakan alat bantu berupa tusuk yang terbuat dari bambu. Tusuk dari bambu itu mengingatkan saya kepada senjata yang seringkali disimbolkan sebagai perjuangan merebut kemerdekaan, yaitu Bambu Runcing.

    Tusuk cilok dan Bambu Runcing memiliki persamaan, sama-sama dari bambu dan sama-sama runcing. Ukurannya saja yang berbeda, yang satu panjangnya serentangan telapak tangan, satunya mungkin seukuran tombak kecil. Persamaan lain yang terbesit di benak saya adalah kedua benda tersebut membantu perjuangan kemerdekaan, yang satu perjuangan memerdekakan bangsa Indonesia, satunya memerdekakan diri dari rasa lapar.

    Pada mulanya saya bingung mengapa bambu runcing bisa menjadi lambang perjuangan merebut kemerdekaan? Setahu saya, sampai dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 115 TK Tahun 2017 tanggal 6 November 2017, tidak ada pahlawan nasional yang menggunakan Bambu Runcing sebagai senjatanya. Dari Malahayati hingga Harun bin Said, dari Sultan Iskandar Muda hingga Mohammad Yasin tidak ada yang digambarkan menggunakan Bambu Runcing sebagai senjata. Lagipula seberapa efektif Bambu Runcing digunakan dalam perang fisik melawan kolonialisme? Jika kita menggunakan acuan tahun 1509 sebagai masa awal kolonialisme, bukankah pada masa itu senjata api sudah menjadi senjata yang sangat umum digunakan oleh tentara-tentara Eropa? Melawan senjata api dengan Bambu Runcing barangkali hampir sama dengan bunuh diri.

    Barangkali jika nusantara dijajah saat Eropa masih percaya pada sihir dan pedang, saya yakin Bambu Runcing adalah senjata yang mungkin bisa mengimbangi senjata tentara-tentara abad pertengahan tersebut. Sayangnya ketika Eropa percaya pada sihir dan pedang, mereka juga percaya bahwa timur jauh adalah bagian bumi yang misterius dan beresiko tinggi untuk dijelajahi.

    Sejauh yang saya tahu, Bambu Runcing digunakan sebagai senjata latihan Seinendan pada masa kolonial Jepang. Bambu Runcing digunakan sebagai senjata, sebagai alat perjuangan, berangkat dari tidak adanya peralatan perang yang tersedia, sementara perjuangan harus dilanjutkan terutama setelah Indonesia merdeka. Musuh Indonesia setelah proklamasi menjadi sangat banyak dan berkekuatan besar, Jepang masih bercokol, Belanda masih ingin menguasai lagi dan Sekutu juga akan “menjajah” menggantikan Jepang. Maka untuk memenuhi kebutuhan persenjataan perjuangan tersebut, Bambu Runcing dan peralatan tradisional lain menjadi alternatif karena bahannya mudah ditemukan, mudah dibuat, dan bersifat massal. Kekuatan niat dan doa menjadi faktor utama kekuatan alat-alat tradisional tersebut. Konon, Bambu Runcing bisa digunakan menjadi senjata dalam perjuangan kemerdekaan karena Bambu Runcing tersebut bukan Bambu Runcing biasa, namun telah “diisi” sehingga mampu menembus plat baja panser tentara Inggris dalam pertempuran 10 November.

    Dari situ saya menyadari seheroik apapun cerita kepahlawanan para pahlawan kita, bangsa kita hanya memenangi pertempuran bukan peperangan. We only win the battle, not the war. Pertempuran hanya sebagian dari perang. Kemenangan di satu dua pertempuran belum tentu menghasilkan kemenangan dalam perang. Kemenangan dalam pertempuran-pertempuran tersebut diglorifikasi dalam kurikulum pelajaran sejarah, ditulis dalam buku-buku pelajaran sejarah, dibicarakan dalam cerita guru-guru sejarah. Itulah yang membuat kita kerap kali silau terhadap kemenangan-kemenangan kecil yang tidak membuat kita kemana-mana.

    Jika kita hanya memenangkan pertempuran dan tidak pernah memenangkan perang, bagaimana kita bisa merdeka? Barangkali kita bisa kalah dalam pertempuran fisik, namun kita perlu ingat pada pahlawan-pahlawan Nasional yang menjadi juru runding dalam perundingan-perundingan paska kemerdekaan. Pahlawan-pahlawan yang sering kita lupakan karena kalah pamor dengan pahlawan yang melakukan perjuangan fisik. Barangkali kita lupa Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin dan Johannes Leimena yang mewakili Indonesia dalam Perjanjian Linggajati, atau pada Mohammad Roem yang mendorong terjadinya Konferensi Meja Bundar. Barangkali Indonesia tidak pernah memenangi peperangan secara fisik, namun Indonesia memiliki juru runding yang tak kalah gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsanya melalui jalur diplomasi.

    Perjuangan melalui diplomasi kita juga tidak bisa dikatakan mulus. Tentu kita masih ingat bagaimana Perjanjian Linggajati malah menghasilkan Agresi Militer Belanda Pertama dan Perjanjian Renville malah menghasilkan sekuel Agresi Militer tersebut. Baru di Perjanjian Roem-Roijen Indonesia bisa melakukan kesepakatan untuk melaksanakan Konferensi Meja Bundar yang membuat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

    Kita sering lupa peperangan fisik saja tidak bisa mengantarkan bangsa kita untuk merdeka, perjuangan diplomasi tentu saja sama pentingnya dengan perjuangan fisik. Tanpa adanya Serangan Umum Satu Maret 1949 di Yogyakarta—dan serangan umum di beberapa kota besar yang terjadi secara simultan, Indonesia tidak akan memiliki posisi tawar yang kuat dalam perjuangan diplomasi di PBB sekaligus mematahkan propaganda Belanda yang mengklaim bahwa TNI sudah lemah. Tanpa kedua perjuangan tersebut barangkali kita masih dalam jerat kolonialisme atau justru menjadi negara persemakmuran Belanda.

    Nilai-nilai kepahlawanan tentu saja tidak sesaklek siapa yang menang dan yang kalah dalam sebuah peperangan. Kalah perang bukan berarti menjadi sama artinya dengan menjadi pecundang. Pangeran Diponegoro adalah pihak yang kalah dalam Perang Jawa 1825-1830. Apakah beliau tidak pantas menjadi pahlawan? Tentu saja beliau pantas. Karena beliau telah melakukan perlawanan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Seperti cilok yang bertahan sangat gigih ketika dilumat oleh gigi-gigi kita, walaupun akhirnya ditelan masuk ke kerongkongan.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #39] Untuk Mereka yang Menderita di Bawah Pemerintahan Pontius Pilatus

    author = Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    Hari ke-14 bulan Nisan.

    Akhirnya tiba sudah, disertai gugur daun zaitun dan hembusan kasar angin penggiring pasir berkapur menelusuk mata para gembala. Hari kematian sepupuku, si pencuri ternak. Si pembunuh ternak tepatnya, ia mencuri namun tanpa menikmati hasilnya. Terbunuh sia-sia dia, si domba curian, karena orang banyak telah mulai melempari batu saat sepupuku baru saja bersiap menggarami seiris besar daging di genggamannya.

    Seperti kebanyakan tukang batu, sepupuku tinggal di luar tembok kota sisi timur. Ia ditangkap persis di serambi gubuknya, tak jauh dari kandang kosong milikku. Orang-orang mengerumuni dan menyeretnya setengah telanjang untuk diadili.

    Hari masih terlalu pagi, matahari belum muncul dari belakang bukit, namun nampaknya tak satupun penduduk kota ini yang beristirahat. Semua terjaga. Semalam ada kerusuhan di Getsemani, taman besar tak terawat di kaki Bukit Zaitun, setengah mil dari sini. Orang-orang berbicara tentang pemberontakan, seperti kerusuhan itu bagian darinya. Banyak pemberontak yang ditangkap di persembunyiannya di Getsemani. Sebagian dari mereka bersembunyi di rumah-rumah penduduk. Ada dua kakak beradik yang minta izin bersembunyi di atap rumahku. Mereka bertahan sebentar sebelum lusinan prajurit Romawi mulai mendobrak pintu-pintu rumah.

    Sepupuku yang malang memanfaatkan kejadian malam itu. Ia telah menghilang sejak sore dan kembali menjelang subuh dengan menggendong domba gemuk di pundaknya yang sepertinya sudah mati ditumbuk batu. Itu yang tetangganya katakan padaku pagi ini, di sela-sela kemirisan meratapi sepupuku yang sudah diseret ke jalan. Masih membekas di pasir; campuran peluh dan darah sepupuku yang diseret memanjang dari depan rumah menyusuri sepanjang jalan.

    Ketika itu, sehari sebelum Sabat datang di ujung redup bintang terakhir, sepupuku yang malang telah digiring masuk gerbang timur Shushan. Darah masih belum kering di dahinya, belum lagi ludah puluhan orang yang terus menerus membasahi wajahnya. Aku ikuti rombongan bising serapah ini dari kejauhan. Gerbang dengan pilar-pilar masif Ratu Sheba yang menghimpit kerumunan itu seolah enggan membiarkan sepupuku lewat di selangkangannya. Pintu raksasanya mulai membuka sedikit, ukurannya 4500 hasta, bagian selatan sengaja ditutup sementara yang utara terbuka sekenanya. Ada sesuatu yang mengancam dari struktur batu yang besar dan kaku itu yang membuatku menggigil ketika menatapnya. Bab e-Tauba, Pintu Gerbang Pertobatan, begitu kami mengamininya. Tetapi entah kenapa, walau sudah melaluinya tetap saja sepupuku akan dicambuk, dilumuri cuka dan empedu, kemudian dicambuk lagi, tanpa ada kesempatan bertobat.

    Mulanya sepupuku akan dibawa ke hadapan imam besar Kayafas, namun sebagian besar orang menolak. Kayafas sedang dibenci akhir-akhir ini akibat persekutuannya dengan Romawi. Oleh karenanya, mereka membawa sepupuku ke rumah Hanas, mantan imam besar sebelum Kayafas. Rumahnya di pinggiran kota atas, tepat sesudah terowongan air dari kolam Ular.

    Untuk mencapainya kami harus mengitari Bait Allah sisi selatan, lalu menuruni puluhan anak tangga sampai kota bawah, kemudian menikung naik memasuki gerbang samping rumah Hanas. Tetapi belum sampai kami menikung, Hanas sudah muncul menghampiri rombongan kami dengan tergesa. Ia baru saja pulang dari rumah imam besar Kayafas dan harus segera kembali lagi ke sana ujarnya. Ada kepentingan mendesak untuk menentukan masa depan bangsa ini. Tetapi orang-orang menyorakinya, memintanya untuk menjatuhi hukuman, apapun itu, kepada sepupuku si pencuri.

    Hanas bukan orang sembarangan, tubuhnya yang kurus membungkuk ditunggangi usia seolah menunjukan betapa besar pengalaman dan pemahamannya sebagai pemimpin tetua. Dilihatnya sekilas sepupuku yang terkapar lemah di tengah kerumunan, dan dengan bijak ia meminta agar tidak ada satupun yang melukai sepupuku sebelum tuduhan akan dia benar adanya. Sidang terhadapnya akan dilaksanakan lusa, setelah Sabat usai. Tetapi sekali lagi orang-orang menyorakinya, memintanya untuk menjatuhi hukuman, apapun itu. Sekarang.

    Maka ia memerintahkan demikian, “Bebaskan ia, sebagai penghormatan akan hari kudus pembebasan bangsa kita! Sebagai ganti apapun yang dicurinya biar aku, imammu, yang menggantikannya bagimu.” Mungkin semua orang di situ, kecuali Hanas, sudah lupa bahwa besok adalah Paskah sekaligus hari pertama perayaan Roti Tak Beragi. Peringatan awal panen dan pembebasan dari Mesir oleh Musa sekutu Allah Ibrahim, Ishaq dan Yakub.

    Namun jawab mereka kepadanya, “Apa engkau mau menggantikan cambuk baginya?”

    “Kalian telah merajam dan meludahinya, apa lagi yang kalian minta,” tanya Hanas tajam.

    “Yang kami harapkan darimu adalah keadilan yang disertakan-Nya di pundakmu.”

    “Maka kukatakan lagi kepada kalian, bebaskan pria itu. Ia pastilah orang miskin yang tak mampu membeli roti seperti yang kalian punya. Untuk itulah ia mencuri sedikit dari apa yang kalian miliki. Lagi pula, itu hanya domba. Sudahlah, jadikan ini berkat pengharapan bagi hari persidangan kalian nanti di akhir zaman. Aku akan pergi sekarang. Kuharap kalian mengikuti apa yang aku perintahkan,” demikian tutup Hanas sambil berjalan membelakangi mereka, kemudian berlari kecil tergesa.

    Kusaksikan satu persatu kebencian di wajah kerumunan itu. Jumlahnya sekarang semakin banyak akibat daya tarik kehadiran Hanas di tengah-tengah mereka. Kira-kira ada 40 orang. Dan dari raut-rautnya, mereka semua setuju menolak keputusan Hanas. Massa yang penuh ketidakpuasan ini kemudian menyeret kembali sepupuku ke arah Bait Allah di mana ia akan dihadapkan kepada imam-imam Mahkamah Sanhedrin yang sedang berada di sana.

    Sekarang aku mulai yakin, sepupuku ini pasti punya banyak musuh. Entah apa karena dia sudah banyak mencuri dahulunya, atau bisa saja ia pernah menggodai istri-istri kerumunan pemarah yang mendengkinya sedemikian rupa hanya karena domba. Di satu sisi kesalahan sepupuku memang pantas. Ia telah melanggar hukum yang sudah ada sejak Musa turun dari Sinai. Ia telah mengingin harta orang lain dengan mencurinya. Itu sama saja mengingini istri tetangganya. Tentu ia pantas dihukum, walau sebenarnya tak perlu sampai diludahi sebegitunya.

    Aku begitu jijik melihat kerumunan ini tidak waras. Kubiarkan mereka mereka bergegas pergi dengan pekikan kompak, meraungkan keadilan ilahiah. “Tuhan Maha Besar!” kata mereka tanpa menyadari bahwa laku mereka sendiri saat itu sedang berusaha menjadi lebih besar dari Allah.

    Sementara mereka menuju Bait Allah, kuputuskan untuk tidak mengikuti rombongan itu. Dapat kupastikan mereka akan berujung di pengadilan Romawi, karena tidak boleh ada hukuman tanpa keputusan penguasa Romawi sebagai pemerintah penjajah. Maka aku segera menuju ke pengadilan, letaknya tak jauh dari istana Herodes Antipas, sebelah barat jembatan lengkung.

    Dari kabar yang aku dengar, para imam di Mahkamah Sanhedrin menolak memberi keputusan karena darah sepupu tak punya hak sebagai Yahudi, biarkan hakim Romawi yang mengadili katanya. Kami orang Edom, berdarah campuran, sama seperti Herodes yang Agung. Harapanku, hakim-hakim Romawi akan sedikit membantu, tapi biasanya mereka bertingkah lebih kejam. Sebut nama, tuduhan, alasan dan kemudian, “Bersalah! 40 cambukan. Potong sehasta dari pangkal lengan kanannya. Denda 12 dirham untuk korban dan empat dinar untuk ganti rugi eksekusi. Silakan keluar.” Bedebah korup. Mencuri satu domba seharga satu dirham dipaksa membayar 16 kali lipatnya.

    Memang keluarga kami bukan berdarah murni. Leluhur kami sepertinya jauh dari Ishaq maupun Ismail. Mungkin dari keturunan tetangga terjauh Ibrahim, dari gundik yang paling tidak dihormati. Tapi bagaimanapun kami juga manusia.

    Sekali lagi, keluargaku bukan berdarah murni dan tentu saja bukan orang kaya. Menolak denda sama saja dengan mengikhlaskan nyawa pada algojo Romawi. Keluarga terpidana dicari-cari, tapi tidak ada dari kami yang akan mengaku. Terang saja tidak. Satu hal, kami tidak akan, pernah selama sisa umur, memiliki dirham lebih dari dua keping. Lain hal, siapa yang mau membayar empat dinar untuk mengganti biaya mencambuk keluarganya sendiri.

    Hukuman ini seharusnya berlangsung cepat, dan menjelang siang sepupuku itu akan sudah berbaring di ranjang kamarku untuk kubalut luka-lukanya. Itu yang seharusnya terjadi seandainya ia tidak berbuat konyol memohon kematiannya. Dia memang terkenal paling tolol di antara saudara-saudaranya.

    Ia tahu keluarga kami tak akan sanggup membayar denda. Dan ia lebih tahu lagi bahwa hidupnya akan lebih terpuruk tanpa satu tangan. Tak ada wanita yang mau menikahinya, dan tak ada tuan tanah yang mau mempekerjakan pencuri, bahkan tuan Nikodemus yang baik hati. Ini artinya tak akan ada masa depan bagi sepupuku. Pilihan terbaiknya saat ini adalah mati. Konyol dan tolol, tapi melegakan.

    Di depan pengadilan, puluhan penonton yang ribut menyumpahinya. Dengan bibir berdarah sepupuku membuka kesaksian yang aku yakin sengaja dibuat-buatnya untuk melapangkan niat matinya. Katanya, dua hari yang lalu ia membunuh seorang wanita tua penjual garam dalam perjalanan melintasi Emaus menuju Yoppa. Sontak saja seisi ruangan bergemuruh, cacian dan kutuk tak berhenti. Semua orang tahu siapa wanita yang meninggal dua hari lalu, terkapar di jalan berdebu sampai ditemukan seorang Samaria. Pelakunya telah ditangkap hari itu juga, Gesmas namanya, dan ia akan dieksekusi mati tengah hari ini.

    Sepupuku berkelit bahwa ia telah membantu Gesmas menghabisi nyawa wanita itu. Niat mereka hanya merampok, tapi wanita itu terlalu angkuh untuk menyerahkan harta bawaannya. Maka dibunuhlah ia, tiga kali pukulan mematikan di tengkuk dengan kayu. Tak hanya itu, besertanya juga dibunuh dua orang anak kecil. Jasad keduanya telah dibuang ke lembah sebelum Emaus.

    Begitu kesaksiannya. Tentu saja semuanya tipu belaka karena ia bersamaku dua hari lalu. Hakim-hakim Romawi bukan sekelompok pembenci berpikiran pendek. Tak sederhana bagi mereka menjatuhkan hukuman mati. Lebih murah biaya mencambuk daripada membunuh seorang terpidana.

    Persidangan tidak dapat membuktikan apapun kecuali kenyataan bahwa kerumunan mulai membeludak, terpupuk keinginan untuk merajam mati si pencuri sekaligus pembunuh saat itu juga. Maka begitulah persidangan berlalu. Kulihat sekilas raut sepupuku dari sela-sela pundak banyak orang. Seolah ia meredup di tengah-tengah nyala merah massa di lingkarnya.

    Seharusnya sepupuku akan diseret ke podium Sang Prefek Negeri Yudea, Yang Terhormat Pontius Pilatus, untuk diputuskan bagaimana seharusnya ia dihukum. Namun kudengar ada kriminal lain yang lebih tenar, lebih bermasalah, dan lebih banyak musuh telah dibawa ke hadapan Pilatus. Maka, sepupuku langsung digiring ke pelataran penyiksaan tanpa surat resmi dari pemerintah. Dengan demikian ia sudah dijatuhi hukuman mati, bukan oleh hakim-hakim Romawi yang korup, tapi oleh mereka yang meludah dengan serapah.

    Sepupuku yang sudah benar-benar telanjang diikat bersujud di altar kecil dengan tangan menyilang. Tempat penyiksaan tak lebih berupa lapangan kecil, menyerupai teras ladam. Bagian kasutnya diselimuti pasir untuk menyerap darah siksaan. Tiga perempat keliling lapangan disekati tembok batu tinggi, sisanya terbuka dan menjorok naik, sebagai area penonton. Di situlah aku, sambil bersandar miring di tembok, menyaksikan sepupuku yang malang meraung-raung menyayat hati.

    Pencambukan adalah peristiwa brutal. Semua penduduk negeri jajahan Romawi tahu inilah alat penyiksa paling mengerikan yang pernah ada. Hukum rajam secara resmi dilarang oleh penguasa Romawi, mengingat eksekusinya yang tidak terstruktur dan terorganisir rapi, tak sesuai dengan keteraturan ala orang Romawi. Sebagai gantinya, mereka memperkenalkan cambuk.

    Cambuk terbuat dari pilinan kulit binatang yang disatukan dengan kayu sebagai gagang. Panjangnya sekitar tiga kaki, terdiri dari empat helai tali pilinan memanjang. Sepanjang talinya diikatkan sejumlah paku, pecahan kaca, logam kecil, potongan tulang dan butiran timah yang runcing. Setelah dicelupkan ke darah kambing, cambuk itu siap digunakan. Setiap bekas cambukan akan meninggalkan setidaknya dua puluh lima luka yang bentuknya bundar dan dalam, lalu secara pararel menyeret keluar dan mengoyak kulit beserta dagingnya. Luka-luka cabikan akan sangat dalam sehingga putihnya tulang iga orang yang dicambuk biasanya dapat terlihat. Itulah pencambukan yang mampu mengubah punggung telanjang menjadi bubur.

    Pencambukan jenis ini biasanya selalu mendahului hukuman salib, dari situ aku tahu bahwa sepupuku akan mati hari ini. Sudah banyak orang yang mati setelah dicambuk sedemikian rupa. Ada pula yang menjadi gila kehilangan akal karena rasa sakit yang melebihi kemampuan tubuhnya. Sedikit orang bisa tetap sadar sampai akhir pencambukan. Sedihnya, sepupuku adalah salah sedikit dari jenis yang disebutkan terakhir. Sebagai tukang batu, tubuhnya diselubungi otot-otot keras yang setidaknya mampu menahan akalnya tetap terjaga sampai cambukan terakhir.

    Demikianlah hukum cambuk berlalu, dibarengi darah meluber di lantai pasir sekitar tubuh sepupuku ketika rantai pengikatnya dilepas dan tubuhnya terkulai di pasir yang memerah. Algojo berhenti di cambukan ke-39. Cambukan terakhir memang tidak pernah dilaksanakan. Gunanya untuk membiarkan luka terus meradang, memaksa si terhukum tetap bernyawa dengan tersiksa dalam kesadaran menuju kematian.

    Setelah disiram cuka dan empedu, setelah teriakan-teriakan kesakitan menyakitkan telinga, setelah punggung sepupuku mulai mati rasa, tempat penyiksaan menjadi bertambah ramai. Jumlahnya mencapai ratusan. Awalnya kupikir hukuman cambuk menarik minat banyak orang. Namun dari apa yang aku dengar dalam bisik-bisik, mereka menuntut sepupuku untuk disalib tengah hari ini bersama Gesmas. Ya Allah, sial sekali nasibnya.

    Dari bisik-bisik yang lain, kabarnya ada seorang lagi yang juga disalibkan bersamaan dengan sepupuku dan Gesmas. Ia adalah seorang rabi yang dihukum karena menghujat Tuhan. Ini level dosa yang mengerikan. Hanya orang gila yang berani menistakan Tuhan di kota ini.

    Kudengar rabi ini dikasihi banyak orang karena keberpihakannya kepada kaum terbuang, namun sebagian kaum dari kelas yang lebih tinggi menyebut rabi ini berkawan dengan pencuri, penyamun dan pelacur. Entah apalagi alasannya. Jujur saja, aku agak kurang peduli. Yang jelas dalam bisik mereka meminta agar sepupuku turut disalib bersamanya.

    Perwira Romawi yang bertugas di situ telah disuap agar meloloskan permintaan mereka untuk menyalib sepupuku. Lagi pula tak ada seorangpun yang menentang, semua sepakat akan penyaliban, termasuk sepupuku sendiri yang tolol. Wajahnya justru tampak bersyukur mengetahui kematiannya segera tiba. Kesengsaraan dunia sudah meniadakan pengharapan untuk terus hidup.

    Maka digiringlah sepupuku, yang telah dijubahi karung, keluar dari tempat penyiksaan menuju lokasi penyaliban di bukit tengkorak Golgota, di sisi utara tembok kota. Sebelumnya ia diwajibkan memanggul palang lebar seukuran tiga kali panjang lengan. Penyaliban gaya Romawi demikian adanya. Pertama, tiang pancang dibiarkan tetap di bukit-bukit penyaliban sebagai peringatan bagi yang hidup. Kedua, palang lebar harus dibawa oleh terpidana dengan memanggulnya dari dalam tembok kota menuju tiang pancang. Letaknya kira-kira setengah mil jika dihitung lurus dari gerbang Domba. Namun jalan dibuat berkelok-kelok mengikuti tekstur perbukitan, dan di ujung jalan sengaja dibuat melingkari tiang pancang terlebih dahulu sebelum menanjak naik dari sisi selatannya.

    Aku ikut iring-iringan paling depan menuju gerbang Domba yang terbuka lebar. Terlihat dari pandanganku orang-orang mengantri masuk menggiring ternaknya, pertanda pasar ternak di luar gerbang sudah usai. Kutinggalkan sepupuku beberapa langkah jauh di belakang. Dan kini mataku disuguhkan lanskap menyedihkan. Tanahnya miring ke bawah setelah pasar, kemudian makam-makam mewah, lalu kebun anggur luas membentang mengitari kaki gundukan batu-batu kapur yang meninggi, menyilaukan dipantul matahari siang. Pegunungan Moria, inilah tempat di mana Ibrahim mempersembahkan anaknya sebagai tanda kesetiaan manusia terpilih, dan di salah satu bukit kecilnya, sepupuku akan disalibkan sebagai tanda kesengsaraan manusia tidak terpilih. Ironi kaum rendahan.

    Aku telah sampai duluan di lokasi penyaliban. Bentuknya seperti gundukan meninggi yang datar di bagian atasnya. Di mana-mana berserakan batu kapur di atas pasir gurun yang kering. Ada tiga tiang pacang di situ. Tiang paling timur sudah ada seorang terpidana disalibkan di atasnya, sepertinya itu Gesmas. Beberapa prajurit Romawi ada di kaki salib, sebagian lagi tersebar di tiap sisi area ini. Di sisi paling jauh di selatan, komandan mereka duduk di kudanya yang tenang menatap ke tembok kota. Dari kejauhan aku bisa melihat panjangnya iring-iringan sepupuku yang sepertinya berbarengan dengan si rabi, si terpidana yang sedang tenar. Tidak mengherankan begitu banyak prajurit Romawi dari arah iring-iringan itu setelah kerusuhan semalam di Getsemani. Menurut salah satu prajurit yang kutanyai, kerusuhan itu ada kaitannya dengan usaha pemberontakan murid rabi ini. Kabarnya, si rabi ini sudah diincar sejak kerusuhan yang pernah dibuatnya di Bait Allah pada Paskah tahun kemarin.

    Iring-iringan sudah sampai dan berubah menjadi kerumunan-kerumunan kecil yang mencari tempatnya masing-masing. Palang kayu yang dipanggul sepupuku sudah dibawa ke bawah tiang pancang, sementara ia sendiri segera diikat melintang di palang tadi. Aku mengambil posisi agak jauh, berusaha menghindari kontak mata dengan sepupuku.

    Mula-mula tali diikat sangat kencang di kedua pergelangan tangan sepupuku. Itu membuatnya mati rasa. Kemudian di tiap pangkal telapak tangannya ditancapkan dua buah paku seukuran jempol kaki dengan panjang sekitar satu hasta. Aku tidak berani melihat proses ini, namun tangis kesakitannya begitu keras tak mungkin membohongi telingaku. Betapa mengerikan rasa besi tajam menggesek tulang, merobek urat telapang tangan.

    Dua prajurit kemudian mengangkat palang kayu tadi sehingga memaksa sepupuku, yang entah masih sadar atau sudah pingsan, untuk berdiri. Dengan bantuan dua tangga yang disandarkan di kedua sisi tiang pancang, palang kayu dan tubuh sepupuku dinaikan sampai ke bagian paling atas tiang pancang yang membentuk ceruk penyangga. Kaki sepupuku disatukan dan diikat, dengan setengah ditekuk disandarkan di atas kayu penyangga di bagian bawah, kurang lebih setinggi pinggul dari permukaan tanah. Sebelum prajurit terakhir turun, di leher sepupuku, ia mengalungkan sebuah papan kecil bertuliskan tindak kriminal apa yang dituduhkan.

    Nasib buruk tidak memberi sedikit iba bahkan hingga di ujung masa hidup sepupuku. Mungkin dalam lamunan kematiannya ia mengkhayal bertukar peran dengan domba curiannya, yang mati lebih mudah. Atau hidup lebih mudah, karena hanya perlu mengunyah rumput. Mungkin ia mengkhayal apa yang akan terjadi setelah nafas terakhirnya. Mungkin ia mengkhayal akan ada kekosongan dan kehampaan setelah kematian. Paling tidak, ketika saat itu tiba, ia terbebas dari penyiksaan dunia yang menjemurnya tanpa ampun di kayu salib. Mati kelelahan yang mengenaskan.

    Semua mata menyaksikan tiga salib membentang dari timur ke barat. Waktu itu kira-kira sudah lewat dua jam dari tengah hari. Orang-orang masih tersisa di situ, sebagian besar adalah keluarga atau teman dekat para terpidana, si rabi khususnya karena keluarga Gesmas dan sepupuku jelas tak ada yang berani datang. Sebagian lagi pihak imam-imam yang bertugas mengawasi hukuman, dan sisanya prajurit Romawi.

    Ketika hari mendekati sore, para imam meminta salah seorang prajurit untuk mematahkan kaki-kaki terpidana agar kematian cepat datang, sehingga para imam bisa segera pulang karena—terhitung sinar terakhir meredup—hari Sabat dimulai, dan mereka harus sudah ada di rumah sebelum itu.

    Entah atas dasar apa, semua terpidana dipatahkan kaki-kakinya dengan palu godam kecuali si rabi. Sepertinya seorang ibu, yang kuyakini sebagai ibunda si rabi, memohon untuk tidak mematahkan tulang anaknya. Sebagai ganti, prajurit Romawi hanya menusuk lambung si rabi untuk meyakinkan malaikat kematian agar segera datang menjemput.

    Saat kerumunan mulai lengang, kuberanikan untuk lebih mendekat. Pertama kulihat sepupuku, terdiam dan terpejam. Kaki-kakinya yang sudah dipatahkan oleh palu godam berdenyut rancak. Lebam hitam biru tanpa darah. Lebih baik biarkan ia menikmati ketenangan terakhirnya, pikirku sambil berjalan lambat-lambat melaluinya sambil mencoba mengintip kelopak matanya. Tak ada tanda kesadaran. Puji Tuhan, itu lebih baik. Apa yang lebih kejam daripada membiarkan ia sadar melamun tentang kematian, tentang kesengsaraan dan kebosanan batin yang mengerikan menunggu di alam tanpa tubuh. Kuharap sepupuku memimpikan neraka sebagai kebebasan baru, paling tidak lepas dari siksaan manusia.

    Aku berhenti di salib kedua, paling tengah, di samping kiri sepupuku. Kira-kira empat kaki dari salib, ibundanya masih setia menunggu nafas terakhir anaknya, bersiap mengubur sebelum gelap. Tak ada satupun orangtua yang pantas mengubur anaknya.

    Di atas salibnya, rabi ini mengangkat wajah ke langit yang mulai menebar awan petang. Aroma garam yang dibawa angin pananda badai bercampur dengan bau kencing dan amis darah. Bau mengiba dari tubuh tak berdaya dan dipermalukan. Bunyi nafasnya keras sekali, datang dari suatu tempat jauh di dalam dadanya. Lazim bagi orang-orang yang akan merenggang nyawa. Sesekali ia mengerang pilu menggeser-geser jemari di telapak yang terpaku, seolah mengeluarkan sakit dari tubuhnya. Perut kirinya berlubang mengeluarkan cairan bening bercampur darah. Ia mengerang lagi, kini dengan merunduk. Ada lingkaran duri dari ranting pohon Unab yang diikat dengan semak Baltik di kepalanya sebagai olok-olok atas kejahatannya. Ditatap wajah ibundanya, kemudian sejenak bola matanya bergeser menyisir ke penjuru arah. Mimiknya kecut seperti pengkhianat yang terkhianati. Buruk sekali. Namun yang lebih buruk adalah ketidakberdayaannya, sementara ia disalib tegak di kaki bukit ini dengan kami semua yang menyaksikan.

    Aku ingat pernah bertemunya di pasar ikan Kapernaum. Kini wajahnya lebih tua dan kurus. Rahang bawahnya kaku seperti orang menahan muntah. Rautnya penuh goresan umur memberi kesan bijak seolah sesuatu yang kekanak-kanakan telah habis terbakar oleh penderitaannya. Dan ibundanya, tegap berdiri, di barisan depan kerumunan kecil wanita yang terisak-isak. Wanita itu berbeda, ia nampak bersinar-sinar. Ia tenang sekali. Ini luar biasa, seakan sudah lama ia siap untuk pemandangan ini. Seolah ia tahu ini akan terjadi. Mata kami bertemu pandang. Sama sepertiku, ia tidak menangis. Walau ada rembesan air mata berkilau tersiram cahaya, aku yakin itu adalah keteguhan bukan tangisan.

    Aku memalingkan muka, memandang mengitar sekelilingnya. Baru kusadari wanita itu memang benar-benar berbeda. Dibanding yang lain, ia mengenakan pakaian indah: jumbai-jumbai gelap dengan sulaman mengkilat di tiap puncanya. Aku tak yakin ia orang kaya. Ada pesan penderitaan dan kemiskinan dari alas kaki yang dikenakannya, atau dari kerak-kerak kulit yang mengeras kasar mengitari telapak kakinya. Aneh memang, tapi kupikir-pikir lagi apakah ada kesempatan yang lebih baik memakai kemewahan itu daripada sekarang ketika ia masih berkumpul dengan anak laki-lakinya. Mungkin wanita itu sedang bertanya dalam hati, mengapa harus rahimnya yang mengandung pria menyedihkan yang disalib di hadapannya. Sayangnya di dunia ini tidak ada jawaban bagi banyak pertanyaan mengapa.

    Hampir tiga jam setelah tengah hari. Walau masih terbilang sore, matahari sudah sepenuhnya tidak terlihat, tertutup awan gelap yang sangat besar berbentuk keriting seperti janggut Harun namun menakutkan karena kemasifannya. Awan ini semakin gelap, menghitam tidak tembus cahaya matahari. Wujudnya membentuk spiral seperti cincin dengan rongga besar di tengahnya. Badai akan segera datang. Ini hal yang biasa di daerah yang mengantarai dua lautan dengan lanskap pegunungan yang mencuat tidak menentu di sana-sini.

    Tidak ada yang bergeming. Semua mata masih tetap tertuju pada ketiga salib di hadapan kami. Sementara tiga pasang mata, sebaliknya, menatap ke arah kami. Dua pasang tepatnya, karena nyawa Gesmas sudah tercabut sejak dua jam yang lalu. Tidak ada suara selain gemuruh di kejauhan dan serak nafas sepupuku dan si rabu.

    Wajah sepupuku semakin mengenaskan. Kuperhatikan lebih lekat, matanya seperti orang mabuk, merah abu-abu. Ia tetap membuka matanya. Aku paham niatnya, ia ingin mati dengan percaya diri. Sebagai manusia yang bebas, bukan manusia yang sengsara. Ia memaksa kesadarannya untuk tetap siaga kapan saja maut menghampiri. Kepalanya menoleh kiri-kanan-kiri-kanan, memaksa agar terus terjaga.

    Aku bukan satu-satunya yang mendekat di kaki salib. Ada dua orang lagi, yang satu ibunda si rabi dan satu lagi pria muda gempal dengan janggut pendek. Mungkin dia saudara si rabi. Mulut sepupuku tampak berkomat-kamit melafalkan semua doa yang diingatnya semasa hidup.

    Si rabi lebih menyedihkan. Ia berdoa dengan berseru memanggil Elia yang pernah menurunkan hujan badai di langit yang sama seribu tahun lalu. Wajahnya menghitam pahit. Dari jauh ia seperti membentak-bentak langit. Seketika itu tanah tempat aku berdiri bergetar pelan. Ada kilat yang memancar seperti ranting di kejauhan, di balik bayang-bayang Gunung Moria. Mungkin goncangan akibat petir yang terlalu besar menyentuh tanah di daerah sana. Tak ada yang bergeming dari tempatnya masing-masing.

    Hujan gerimis mulai datang yang seakan-akan memerintahkan para prajurit Romawi untuk menurunkan, tapi mereka berteguh menunggu sampai dua terpidana ini mati. Sepupuku sepertinya sudah mulai tiba di ujung hayatnya. Ia menangis menunduk menatapku. Aku memberanikan diri datang mendekat. Apalagi yang bisa kuberi untuk mengurangi penderitaannya selain mendengar kata-kata terakhirnya.

    “Apa salahku?” begitu kalimat yang keluar dari mulut bengkaknya sambil terisak.

    “Aku tidak pernah memilih dilahirkan sebagai manusia paling merana. Bahkan sampai matiku pun merana!” sepupuku mengucapkan itu dalam kemarahan dan kedengkian yang amat sangat, tapi bukan kepadaku walau matanya menusukku.

    Salah seorang dari imam yang masih bertahan di sana membalas ucapan sepupuku, ujarnya, “Di sampingmu ialah rabi yang membangkitkan anak muda yang meninggal di Nain, di Yairus, dan juga di Betania. Ia mengaku diri sebagai anak tunggal Tuhan. Kalau benar pertanyaanmu itu untuk Tuhan, dan bila benar rabi itu anak Allah Yang Maha Tinggi, maka salahkanlah dia atas penderitaan hidupmu yang tak pernah adil itu!”

    Semua orang otomatis langsung menatap salib paling tengah, menatap ke mulut rabi itu, menunggu apa yang akan dikatakannya.

    Suaranya berat, ada gelembung darah di sela-sela giginya ketika ia berucap demikian, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga pria ini akan ada bersama-sama denganku di rumah Bapaku.”

    Kematian sudah datang, jasad sudah diturunkan, dan hari sudah semakin siap menuju malam menandakan datangnya Sabat.

    Dengan berat hati aku membopong jasad sepupuku. Aku tidak punya kafan untuk membalutnya. Uangku hanya cukup untuk membeli roti, tak sanggup membeli setengah panjang kafan sepupuku. Ia pencuri, jelas bukan orang kaya, dan tentu bukan orang terpandang, tidak ada yang membantunya selama hidup, apalagi setelah mati. Tidak ada yang menawarkan makam kosong untuk segera menguburkan jasadnya agar tak lewat hari Sabat. Tidak ada pula yang repot-repot menangisinya. Ia bukan siapa-siapa bagi siapa saja.

    Aku membawanya turun gundukan semampuku. Masih jauh perjalanan menuju tembok kota di hari yang mulai meredup begini. Hujan yang semakin lebat seperti memaksaku untuk meninggalkan begitu saja jasad sepupuku di pinggir jalan. Bayangkan sedihnya, bahkan kuasa alam pun tidak mempedulikan sepupuku ini.

    Di depan sana samar-samar kulihat rombongan orang yang membawa jasad rabi tadi ke daerah pemakaman elit di timur laut tak jauh lokasi penyaliban. Aku mencoba berteriak memanggil mereka, tapi tak ada jawaban. Rombongan mereka berpencar, sebagian besar menuju ke pemakaman, sebagian lagi ke arah tembok kota. Aku mengikuti yang kedua, mereka berjalan lebih lambat sehingga ada kemungkinan menyusulnya.

    Setelah dekat, kucoba berteriak lagi memanggil mereka. Kali ini mereka menoleh, dan bergegas berputar ke arahku. Mendekat, mengambil posisi membantu, lalu mengusung jasad sepupuku yang malang. Kami berjalan tanpa berbicara. Mereka juga sedang berduka.

    Di akhir pemberhentian, setelah kelelahan dan basah kuyup, seorang yang paling gempal dari mereka mendatangiku. Ia menepuk pundakku, membuka pembicaraan sambil menyatakan dukanya. Ia menyebut-nyebut sepupuku turut menggenapkan apa yang sudah dinubuatkan Yesaya delapan ratus tahun yang lalu. Tapi apa peduliku. Aku membayangkan sepupuku berada di istana megah dengan anggur dan daging domba bukan curian, dengan bidadari aduhai, dengan dawai paling merdu, dengan sungai penuh ikan, dengan langit penuh burung, dengan tanah penuh rumput hijau. Tapi itu sudah terlalu jauh. Kenyataannya adalah jasad anak bibiku ada di gendonganku, masih hangat, masih basah, masih berdarah, masih bau kencing ketakutan. Apa peduliku? Berapa lama lagi kemiskinan dan kesengsaraan akan mendesakku di keputusasaan hidup yang sama seperti sepupuku?

     

    *Gambar adalah Lukisan Ecce Homo (1871) karya Antonio Ciseri

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #38] Tentang Penindasan Pribumi terhadap Rakyat Indonesia di Masa Kolonial

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    Jakarta adalah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad lamanya. Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai terjadi di Jakarta ini apa yang dituliskan dalam pepatah Madura, “Itik se atellor, ajam se ngeremme.” Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Seseorang yang bekerja keras, hasilnya dinikmati orang lain—Anies Baswedan.

     

    Sekilas tak ada yang salah dari kutipan yang diambil dari pidato Gubernur DKI Jakarta yang baru saja dilantik. Namun dalam konteks Jakarta, pidato itu akan menimbulkan problem besar karena bukannya meredakan sentimen rasial yang sempat mewarnai Pilkada DKI Jakarta tapi malah semakin memanaskan suasana dengan memberikan pidato yang cukup membuat kita mengelus dada karena menggunakan istilah pribumi dalam teks yang kemudian dibacanya tersebut. Istilah pribumi—dan non-pribumi—memang selama ini menghadirkan dikotomi yang justru merusak persatuan nasional karena lebih banyak ditujukan untuk membedakan etnis keturunan dengan etnis lain yang berada di Indonesia. Masalah ini juga biasanya dikaitkan dengan permasalahan dasar manusia (ekonomi) yang pada gilirannya berimbas pada masalah-masalah di sektor lain.

    Dalam pernyataan tersebut, jika yang dimaksud tentang penjajahan adalah pasca-kolonial, maka penggunaan pribumi akan menjadi problematik mengingat istilah tersebut sudah coba dihindari dalam wacana ke-Indonesiaan yang Bhinneka Tunggal Ika. Namun konon setelah mendapat tanggapan negatif dari banyak orang pasca pidato tersebut, sang Gubernur berdalih bahwa apa yang disampaikannya tersebut untuk menyebut konteks pada masa kolonial, tapi toh hal tersebut justru semakin menguatkan bahwa mantan rektor Universitas Paramadina tersebut “gagap” sejarah.

    Tulisan ini mencoba menggunakan sudut pandang yang digunakan oleh sang Gubernur. Dengan demikian tulisan ini akan tetap memakai kata pribumi maka otomatis akan menghadirkan liyan, yakni apa yang disebut non-pribumi. Jika yang dimaksud Sang Gubernur dengan kata pribumi adalah orang Indonesia asli yang lahir di tanah Indonesia sebelum hadirnya penguasa kolonial maka seharusnya, semua orang yang lahir di Indonesia bisa masuk ke dalam konteks ini tak peduli apa etnisnya, yakni meliputi semua etnis yang ada di wilayah jajahan kolonial, termasuk mereka yang merupakan warga keturunan, termasuk keturunan arab dan Tionghoa, dll yang memang sudah ada, hidup, melakukan perkawinan dengan penduduk setempat dan beranak pinak di bumi “nusantara”. Dengan demikian kata pribumi akan ditentangkan dengan orang Eropa pendatang.

    Tapi jika yang dimaksud pribumi adalah seperti pengertian yang diciptakan oleh penguasa kolonial mengenai pembagian masyarakat Hindia Belanda, maka akhirnya golongan keturunan akan masuk dalam kelompok non-pribumi. Apabila pengertian yang kedua ini dipilih, maka isi pidato yang disampaikannya rawan isu diskriminasi.

    Selain itu, ada bagian penting yang musti juga dikritisi. Dalam bagian pidato sang Gubernur itu juga menempatkan pribumi yang dihadapkan dengan kolonialisme. Pernyataan tersebut problematik dalam konteks kolonialisme di Indonesia. Selama ini, kolonialisme mungkin dianggap hanya melibatkan hubungan antara negara induk dan jajahan, antara orang negara-negara Eropa penjajah dengan negara jajahannya. Namun dalam konteks Indonesia, kolonialisme memilki sebuah definisi dan mekanisme yang lebih rumit dari pada apa yang telah diketahui. Kolonialisme di Indonesia ternyata menggunakan mekanisme struktural pemerintahan yang terdiri bukan saja diisi oleh orang-orang Eropa tetapi juga melibatkan orang Indonesia sendiri. Pemerintah kolonial Belanda menciptakan suatu mekanisme/sistem birokrasi yang ternyata dualistik, melibatkan orang-orang Eropa dalam struktur tersebut (dengan gaya modern) serta melibatkan pembesar-pembesar pribumi yang pernah berkuasa (warisan feodal) untuk terlibat dalam birokrasi pemerintahan.

    Seperti yang kita tahu, penguasa kolonial melibatkan para pembesar bumiputera (pribumi) dalam struktur birokrasi di Hindia Belanda. Khususnya di Jawa, pejabat pribumi dengan kekuasaan tertinggi dipegang oleh seorang Bupati. Di bawah Bupati ada Patih, kemudian Wedana, Asisten Wedana, kemudian Camat. Belum lagi struktur birokrasi di bawahnya yang tak resmi yang tentunya juga “njlimet.” Hal tersebut belum termasuk sistem yang lain misalnya militer, perdaganan dan lain-lain yang tak pelak melibatkan orang pribumi di dalamnya. Dalam struktur birokrasi inilah segala macam kebijakan kolonial kemudian diteruskan hingga sampai kepada rakyat. Oleh sebab itu, masalah penjajahan sekali lagi tak bisa dikerucutkan hanya dalam konteks mereka yang “asing” saja. Dengan demikian, kurang tepat rasanya dengan melihat bahwa kolonialisme menghadirkan pertarungan antara orang Indonesia dengan orang Eropa (penjajah). Setidaknya, jika kita pernah membaca buku Max Havelaar karya Multatuli maka kita akan tahu bahwa penghisapan/penjajahan terhadap rakyat Indonesia bukan saja dilakukan oleh orang Eropa saja melainkan juga melibatkan “pribumi” sendiri melalui pembesar-pembesarnya.

    Dalam konteks mereka yang terjajah, kolonialisme yang terjadi dalam masyarakat Hindia Belanda tak hanya menindas orang-orang yang dikategorikan sebagai pribumi saja. Orang-orang Tionghoa, Arab (totok dan keturunan) pun ikut pula merasakan penindasan dalam sistem kolonial tersebut. Dalam laporan yang ditulis oleh Tirto Adi Soerjo misalnya, ia menuliskan laporan tentang perlakuan tidak adil golongan timur asing yang dilakukan oleh orang Eropa. Mereka diperbudak dalam pekerjaannya dan tidak mendapatkan upah sama sekali. Ini menandakan bahwa golongan lain (di luar kategori pribumi) ikut merasakan ketidakadilan akibat kolonialisme.

    Akibat kebijakan penggolongan masyarakat Hindia Belanda, mereka yang digolongkan oleh penguasa kolonial sebagai golongan timur asing ini pun menjadi teralienasi akibat sistem klasifikasi masyakarat ini. Padahal sebelum adanya kolonialisme, mereka telah berbaur dengan masyarakat di luar golongannya. Dalam kondisi yang serba tak pasti Itulah, mereka kemudian melakukan berbagai perlawanan termasuk mendirikan organisasi yang kelak juga menginspirasi masyarakat bumi putera untuk melakukan perjuangan dalam bentuk yang lebih modern di masa pergerakan nasional.

    Dengan masih menggunakan logika dikotomi pribumi dan non-pribumi, kalau ditarik ke masa sekarang, kita bisa melihat bahwa penjajahan masih dilakukan juga oleh para pejabat pribumi. Misalnya saja kasus korupsi. Sudah berapa ratus orang yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi yang semuanya adalah orang Indonesia (pribumi). Artinya, bahwa sebenarnya penjajahan dalam konteks sekarang tidak saja melibatkan orang/perusahaan asing tetapi juga bisa melibatkan manusia dari “jenis” apapun.

    Jadi, apakah fanatisme pribumi itu masih harus digembor-gemborkan jika dalam semesta pribumi itu tak mengandung satu kesatuan makna? Bahwa penjajah dan yang dijajah bisa berasal dari sumber yang sama? Bukankah seharusnya kita tak lagi menggunaksn istilah yang menjebak kita terjebak entnosentrisme dan isu diskriminasi?

    Tentu, kita juga harus memiliki pandangan positif atas apa yang disampaikan oleh sang Gubernur. Meskipun penggunaan kata pribumi oleh sang Gubernur mungkin kurang tepat, mungkin saja hanya masalah pada pemilihan diksi saja. Barangkali yang dimaksud sang Gubernur adalah bangsa Indonesia secara keseluruhan sehingga dalam konteks ini, sang Gubernur tak bermaksud untuk menghadirkan sentimen rasial. Semoga.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #36] Nostalgia Literasi

    author = Andreas Nova

    “Pourquoi nier l’évidence nécessité de la mémoire?”

    —Marguerite Duras, Hiroshima Mon Amour

     

    Jumat pertama bulan ini, kantor saya mengadakan jamuan makan siang untuk semua karyawan di sebuah hotel yang berlokasi tepat di sebelah selatan Stasiun Tugu. Restoran hotel terdapat di Sky Lounge di lantai teratas. Dari situ lalu lalang, sibuk, dan ramainya stasiun terlihat dari ketinggian. Sesaat kemudian, serangkaian kereta merayap keluar dari stasiun, sembari memandangnya pikiran saya bernostalgia teringat mendiang ayah yang sering mengajak ndelok sepur di Palang (kereta) Srago, Klaten. Ketika sedang asyik memandangi kereta, seorang kolega menyapa dan bercerita bahwa anaknya sangat antusias ketika diajak melihat kereta api. Saya mengangguk menyetujui apa yang ia katakan. Pasalnya anak saya juga memiliki antusiasme yang sama terhadap kereta api—setelah meninggalkan antusiasmenya terhadap eskalator. Lalu ia menceritakan anaknya yang mengkoleksi berbagai macam pernak pernik Thomas, tokoh utama animasi Thomas and Friends. Well, anak saya tidak mengenal Thomas dan kawan-kawannya, ia lebih mengenal trio Wilson, Brewster dan Koko dalam animasi Chuggington—selain menggemari Robocar Poli dan Tayo, the Little Bus.

    Anak saya dan anaknya hanya terpaut tiga tahun. Namun ada perbedaan selera di antara keduanya. Anaknya generasi Thomas dan Barney, sedangkan anak saya generasi Wilson, Brewster dan Koko, kwartet Poli, Roy, Amber, Heli dan Tayo beserta kawan-kawannya Rogi, Lani, juga Gani. Jika kita tarik mundur—dan menggunakan kartun/animasi sebagai acuannya—ke generasi adik saya yang lahir menjelang pergantian millenium. Adik saya generasi Naruto, sedangkan saya yang lahir 1987 bisa jadi disebut generasi Doraemon atau Dragon Balls. Saya membayangkan, mungkin lima atau sepuluh tahun lagi, apakah anak saya akan bernostalgia dengan kesukaan masa kecilnya?

    Kenangan akan masa kecil tentu saja sangat subyektif. Ada yang suka mengenang masa lalu karena memang masa kecilnya cukup menyenangkan, ada pula yang memang tidak mau mengingat masa kecil karena suatu sebab tertentu yang terjadi di masa kecilnya. Lingkungan sekitar mempengaruhi ingatan dan kenangan masing-masing orang. Namun lingkungan bukan variabel tunggal dalam menentukan hal tersebut. Dalam tulisan ini saya ingin mencoba berbagi kenangan seputaran literasi yang saya alami. Bagi saya akan menjadi nostalgia yang menarik, dan mungkin bagi anda akan memantik kenangan akan buku-buku yang pernah anda baca.

    Saya ingat betul waktu SD saya sering menyewa komik di persewaan komik langganan di Klaten. Saya sering bertemu dengan pakdhe saya di tempat itu. Beliau menyewa sebuntel buku karya Kho Ping Hoo, sesekali Api di Bukit Menoreh karya SH Mintardja untuk dibaca di sela waktu luangnya mengajar. Maklum, pada masa itu guru belum dibebani kewajiban untuk mengajar sekian jam per minggu sehingga waktu luangnya cukup banyak digunakan untuk memberi les maupun membaca. Saya sesekali mencoba membaca Kho Ping Hoo, sedangkan untuk Api di Bukit Menoreh, saya sudah jiper duluan karena sudah tertinggal sekian puluh seri. Untuk serial silat, tentu saja saya menggemari Wiro Sableng karya Bastian Tito apa lagi saat itu serial televisinya juga diputar setiap hari Minggu.

    Di rumah, mendiang kakek saya menyukai membaca majalah berbahasa jawa seperti Panjebar Semangat, Djoko Lodhang, ataupun Jaya Baya. Sesekali saya mencoba membacanya, sekalian memperdalam Bahasa Jawa. Beliau tidak pernah berlangganan, hanya sesekali membeli jika ada edisi yang menarik kepada Pak Koran—saya memanggilnya demikian dan sampai sekarang tidak tahu nama aslinya—yang mengantarkan majalah Bobo dan sesekali menawarkan tabloid Fantasy setiap pekan.  

    Beranjak SMP, saya mulai membaca novel-novel yang tidak terlalu tebal. Trio Detektif, karya-karya S. Mara GD menjadi favorit saya, sembari sesekali membeli majalah Hai!. Komik tetap menjadi kegemaran saya, namun dengan genre yang mulai bergeser. Doraemon (Fujiko F. Fujio), Dragon Balls (Akira Toriyama), Kung Fu Boy (Takeshi Maekawa) mulai saya tinggalkan beralih ke genre remaja seperti Kenji (Ryuchi Matsuda), Samurai X (Nobuhiko Watsuki), Samurai Deeper Kyo (Kamijyo Akimine), atau genre sepakbola seperti Offside (Natsuko Heiuchi) dan seri Shoot! (Tsukasa Ooshima). Kalau mau lucu-lucuan ya baca Kariage Kun (Masashi Ueda) dan Kung Fu Komang (In Seo Park). Karena saya suka genre detektif, tentu saja Detektif Conan (Aoyama Gosho) dan Detektif Kindaichi (Youzaburou Kanari) tidak boleh ketinggalan.

    Masa puber ternyata juga mempengaruhi selera saya terhadap buku. Saya mencoba membaca teenlit-teenlit populer pada masa itu semacam Fairish (Esti Kinasih), Dealova (Dyan Nuranindya) juga Confeito (Windhy Puspitadewi). Lumayan buat modal mbribik. Sebagai tambahan modal mbribik pula, saya belajar bermain gitar dan sesekali ikut main basket—walaupun tidak sejago bung Indri. Semua itu gara-gara komik Desperado (Daiji Matsumoto) dan Harlem Beat (Yuriko Nishiyama). Tidak lupa komik “wajib” remaja puber saat itu, Golden Boy (Egawa Tatsuya)!

    Awal kuliah adalah masa peralihan dari bacaan literatur populer ke literatur serius. Pada intinya saya suka membaca, apa saja saya lahap. Kalau memang suka dan berkenan di hati ya saya selesaikan, kalau misalkan tidak sesuai selera tentu tidak saya paksakan. Kecuali memang tugas kuliah dan diwajibkan membaca.

    Nostalgia akan komik dan buku-buku bacaan memang menyenangkan. Sayangnya, karena sebagian besar saya hanya menyewa di persewaan, maka saat ini saya kesulitan jika ingin bernostalgia dengan membaca buku atau komiknya lagi. Sebagian besar komik yang saya tulis di atas sudah tidak di cetak ulang. Sekalipun ada pasti harganya gila, apalagi buku preloved kini terkadang lebih mahal dari buku baru. Untungnya, sebagian komik populer bisa didapatkan secara (rasanya) ilegal dari situs web scanlation. Namun tetap saja rasanya berbeda.

    Nostalgia pastilah melibatkan emosi dan proses pikir. Saat bernostalgia, ia membutuhkan proses kognitif dalam mengingat, dan secara bersamaan melibatkan perasaannya. Nostalgia dapat membawa perasaan manis sekaligus pahit. Manis, karena Anda teringat kejadian yang menyenangkan bagi anda, namun juga pahit karena anda tidak lagi mengalaminya. Jadi, apakah dengan bernostalgia kita akan terjebak dalam masa lalu? Apakah dengan nostalgia kita menafikan masa kini—mungkin juga masa depan?

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi